//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29441 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
thread ini dibuka untuk partisipasi member dalam hal editing, silahkan posting editingnya dan untuk pembahasan diluar editing subjek silahkan ke thread ini => http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.60.html
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #1 on: 16 February 2011, 01:10:35 PM »
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha

[214] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. [ ]Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan  dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan, maka hancurnya perbuatan terjadi. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancurnya penderitaan terjadi. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancurnya perasaan terjadi. Dengan hancurnya perasaan, maka segala penderitaan akan menjadi padam.’ Demikianlah menurut para Nigaṇṭha, Para bhikkhu.

3. “Aku mendatangi para Nigaṇṭha yang mengatakan demikian dan Aku mengatakan: ‘Teman-teman para Nigaṇṭha, benarkah bahwa kalian menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … maka segala penderitaan akan menjadi padam[.]”?’ Jika, ketika mereka ditanya demikian, para Nigaṇṭha itu mengakui dan mengatakan ‘Ya,’ maka aku mengatakan kepada mereka:

4. “‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’[215] ‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’‘Tidak, Teman.’

5. “‘Jadi, Teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan … segala penderitaan akan menjadi padam.”

6. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … [216] … segala penderitaan akan menjadi padam.”

7. “‘Teman Nigaṇṭha, misalkan seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan karenanya ia merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak-saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, orang itu akan merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian belakangan, ketika luka itu sembuh dan tertutup kulit, orang itu menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia kehendaki. Ia mungkin berpikir: “Sebelumnya aku tertusuk oleh anak panah beracun, dan karenanya aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatku, sanak-saudara dan kerabatku, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. [217] Tetapi sekarang luka itu sembuh dan tertutup kulit, aku menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai diriku sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang kukehendaki.”

8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

10. “Ketika hal ini dikatakan, Para Nigaṇṭha berkata kepada-Ku: [218] ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaku.” Ia berkata sebagai berikut: Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau, padamkanlah dengan melaksanakan pertapaan keras. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan … maka segala penderitaan akan menjadi padam.” Kami menyetujui dan menerima ini, dan kami merasa puas.’

11. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: [ ]‘Ada lima hal, Teman Nigaṇṭha, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Di sini, keyakinan yang bagaimanakah yang Para Mulia Nigaṇṭha yakini pada guru yang mengatakan tentang masa lampau? Persetujuan yang bagaimanakah, tradisi lisan yang bagaimanakah, penalaran yang bagaimanakah, penerimaan pandangan melalui perenungan yang bagaimanakah?’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

12. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurut kalian, Teman Nigaṇṭha? Ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? Tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu?’—‘Ketika ada pengerahan keras, Teman Gotama, ada usaha keras, maka kami merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; [219] tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kami tidak merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu.’

13. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras … maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; tetapi ketika tidak ada pengerahan keras … maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: [ ]“Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat … segala penderitaan akan menjadi padam.”

14. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu juga ada, dan ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu tetap masih ada; Kalau begitu, adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”

15. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, oleh karena itu, kalian hanya merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk dari pengerahan yang kalian lakukan sendiri, dan adalah karena kebodohan, ketidaktahuan, dan khayalan [220] maka kalian secara keliru menganggap: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

ko indra, no. 9 nya di bagian mana ya?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #2 on: 16 February 2011, 07:09:15 PM »
16. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini [ ]dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini?’—‘Tidak, Teman.’

17. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan?’’—‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan?’‘Tidak, Teman.’

18. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam pribadi yang matang?’‘Tidak, Teman.’

19. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami?’‘Tidak, Teman.’

20. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami?’‘Tidak, Teman.’

21. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa adalah tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang, dan tidak mungkin suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami. Oleh karena itu, pengerahan Yang Mulia para Nigaṇṭha adalah tidak berbuah, [22] usaha mereka adalah tidak berbuah.’

22. “Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha pasti telah melakukan perbuatan buruk di masa lampau, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, [ ]maka para Nigaṇṭha pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam,  maka para Nigaṇṭha pasti bernasib buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], [ ]maka para Nigaṇṭha pasti berasal dari kelompok yang buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka para Nigaṇṭha pasti berusaha dengan buruk di sini dan saat ini, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka para Nigaṇṭha juga harus dicela.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, [223] maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka. Dengan demikian, pengerahan mereka adalah tidak berbuah, usaha mereka adalah tidak berbuah.

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #3 on: 16 February 2011, 07:27:59 PM »
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha


ko indra, no. 9 nya di bagian mana ya?

9. Tetapi karena, Teman Nigantha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’


Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #4 on: 16 February 2011, 07:47:44 PM »
101  Devadaha Sutta
8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”[’]


9. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,[ ]maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

Lanjutan 101  Devadaha Sutta
----------------------------------------

23. “Dan bagaimanakah pengerahan menjadi berbuah, Para bhikkhu, bagaimanakah usaha menjadi berbuah? Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan; dan ia tidak melepaskan kenikmatan yang sesuai dengan Dhamma, namun ia tidak tergila-gila dengan kenikmatan itu. [ ]Ia mengetahui sebagai berikut: ‘Jika aku berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini akan meluruh dalam diriku karena usaha penuh tekad itu; dan jika mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini meluruh dalam diriku selagi aku mengembangkan keseimbangan.’  Ia berusaha dengan penuh tekad sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; dan ia mengembangkan keseimbangan sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan. Ketika ia berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Ketika ia mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya.

24. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat. Ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu mencintai perempuan itu dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; [224] itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa.”

25. “Kemudian, Para bhikkhu, laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Aku mencintai perempuan ini dengan pikiranku terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; dengan demikian dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padaku ketika aku melihatnya berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana jika aku meninggalkan keinginan dan nafsuku pada perempuan itu?’ Ia meninggalkan keinginan dan nafsunya pada perempuan itu. Belakangan ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain …?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu tidak lagi mencintai perempuan itu; itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain ….”

26. “Demikian pula, Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan … (seperti pada §23 di atas) [225] … demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Demikianlah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

27. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sewaktu aku hidup menuruti kenikmatanku, kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Bagaimana jika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan?’ Ia mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Ketika ia melakukan itu, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. [ ]Belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya bhikkhu itu mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan.

28. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang pembuat anak panah sedang memanaskan sebatang anak panah di antara dua kobaran api, membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Ketika batang anak panah itu telah dipanaskan di antara dua kobaran api dan telah lurus dan dapat dikerjakan, maka belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya si pembuat anak panah itu memanaskan anak panah itu dan membuatnya lurus dan dapat dikerjakan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan.

29. “Demikian pula, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut ... (seperti pada §27 di atas) [226] ... itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

30-37. “Kemudian, Para bhikkhu, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-19) ... ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

38. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

39. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

40. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

41. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

42. [ ]“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah. [227]

44. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan[.]’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

45. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

46. “Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah untuk memuji Beliau:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata pasti telah melakukan perbuatan baik di masa lampau, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang baik, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam, maka Sang Tathāgata pasti bernasib baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], maka Sang Tathāgata pasti berasal dari kelompok yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata pasti berusaha dengan baik di sini dan saat ini, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, [228] maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini untuk memuji Beliau.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #5 on: 16 February 2011, 08:45:28 PM »
102  Pañcattaya Sutta
Lima dan Tiga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SPEKULASI TENTANG MASA DEPAN)

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(II)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(III)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(IV)   Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].
(V)   Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga’.

3. (I) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi;
   Atau memiliki persepsi dari kesatuan;
   Atau memiliki persepsi dari keberagaman;
   Atau memiliki persepsi terbatas;
   Atau memiliki persepsi tanpa batas.
Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.

4. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai materi … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tanpa batas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampauiapakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

5. (II) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

6. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Bahwa petapa atau brahmana mana pun mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya.”—itu adalah tidak mungkin. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

9. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan; [ ]ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan [ ]persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Jika petapa atau brahmana mana pun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bentukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini. [232] Untuk landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, bergegas ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. [ ]Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13. [ ]“Para bhikkhu, petapa atau brahmana mana pun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.

-----------------------
*** Bersambung

ko indra, yg ini uda betul blm ya? krn beda dgn yg no. 10.
8. (III) “Di sana, ... menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

10. “Sang Tathāgata, ... menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian,

trus yg ini "mereka mengkritik"nya dihapus kan?
11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #6 on: 16 February 2011, 09:20:18 PM »
Lanjutan 102  Pañcattaya Sutta
-----------------------------------------

(SPEKULASI TENTANG MASA LAMPAU)

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(2)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(3)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(4)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(5)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(6)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(7)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
( 8 )   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(9)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(10)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(11)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(12)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(13)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(14)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(15)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(16)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’


15. (1) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. [ ]Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi ... abadi dan tidak abadi ... bukan abadi juga bukan tidak abadi ... terbatas ... tidak terbatas ... terbatas dan tidak terbatas ... bukan terbatas juga bukan tidak terbatas ... memiliki persepsi kesatuan ... memiliki persepsi keberagaman ... memiliki persepsi terbatas ... memiliki persepsi tidak terukur ... [mengalami] kenikmatan luar biasa ... [mengalami] kesakitan luar biasa ... [mengalami] kenikmatan dan kesakitan ... tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

(NIBBĀNA DI SINI DAN SAAT INI)

17. (V) “Di sini, Para bhikkhu, [ ]seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.’ Kegembiraan keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. [ ]Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi.’ Kenikmatan nonduniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan dan kenikmatan nonduniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, kenikmatan nonduniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’

24. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju Nibbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada kegembiraan keterasingan atau pada kenikmatan nonduniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, [ ]dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #7 on: 16 February 2011, 09:51:20 PM »
103  Kinti Sutta
Bagaimana Pendapat Kalian mengenai Aku?

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusināra, di Hutan Persembahan. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku, Para bhikkhu? Bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi makanan? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi tempat tinggal? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi kehidupan yang lebih baik?”

“Kami tidak berpendapat demikian mengenai Sang Bhagavā: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah, atau demi makanan, atau demi tempat tinggal, atau demi kehidupan yang lebih baik.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian tidak berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah … atau demi kehidupan yang lebih baik.’ Maka bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku?”

“Yang Mulia, kami berpendapat seperti berikut mengenai Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’

3. “Maka, Para bhikkhu, hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsungyaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapandalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan.

4. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi.

5. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’ [ ]maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: [‘]‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

6. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ [204] Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

7. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ [  ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

8. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

9. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran.

10. “Sekarang, Para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

11. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

12. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

13. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; [242] karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

14. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

15. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan, maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ [ ]Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

16. “Kemudian bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: [243] ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

17. “Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kukuh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #8 on: 16 February 2011, 10:51:16 PM »
104  Sāmagāma Sutta
Di Sāmagāma

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Sāmagāma.

2. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā.  Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal [244] engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputarbalikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak menghasilkan kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.

3. Kemudian Samaṇera Cunda, [ ]yang telah melewatkan musim hujan di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”

“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan [345] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa naungan.’ Aku berpikir, Yang mulia, ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”

5. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinyayaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapanadakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”

“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. [ ]Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”

“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, [ ]perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.

6. “Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. [ ]Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, [246] dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. [247] Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.

12. “Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.

13. “Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara. [ ]Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu dapat diberikan, pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.

14. “Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi? [ ]Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. [ ]Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.

15. “Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.

16. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan? [  ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: [ ]‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ [248] Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #9 on: 16 February 2011, 11:07:51 PM »
17. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, Teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu.

18. “Dan bagaimanakah terjadinya pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’‘Ya, aku melihat.’‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [ ]Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [249]

19. “Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya, aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang. [250]

20. “Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput? [ ]Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’

“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.

21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. [ ]Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan [251] penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apa pun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalahpahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

22. “Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apa pun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?”“Tidak, Yang Mulia.”“Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #10 on: 16 February 2011, 11:24:22 PM »
105  Sunakkhatta Sutta
Kepada Sunakkhatta

[252] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: “Kami memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.”

3. Sunakkhatta, putra Licchavi, [ ]mendengar: “Sepertinya sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Kami memahami: kelahiran telah dihancurkan … tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’” Kemudian Sunakkhatta, putra Licchavi, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Aku telah mendengar, Yang Mulia, bahwa sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā. Apakah mereka benar-benar telah mencapainya atau adakah beberapa bhikkhu di sini yang menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi?”

5. “Ketika para bhikkhu itu, Sunakkhatta, menyatakan pengetahuan akhir di hadapan-Ku, ada beberapa bhikkhu yang benar-benar telah mencapai pengetahuan akhir dan ada beberapa yang menyatakan telah mencapai pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi. [ ]Di sana, ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena benar-benar telah mencapainya, maka pernyataan mereka adalah benar. Tetapi ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’ [ ]Demikianlah dalam hal ini, Sunakkhatta, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’ Tetapi beberapa orang sesat di sini menyusun pertanyaan, menghadap Sang Tathāgata, dan mengajukannya. Dalam hal ini, Sunakkhatta, [253] walaupun Sang Tathāgata telah berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka,’ namun Beliau berubah pikiran.”

6. “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk mengajarkan Dhamma. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Sunakkhatta, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Sunakkhatta, putra Licchavi, menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Ada, Sunakkhatta, lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

8. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi. [ ]Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

9. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang telah lama meninggalkan desa atau kota asalnya, dan ia bertemu dengan orang lain yang baru saja meninggalkan desa atau kota itu. Ia akan menanyakan kepada orang itu apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, dan sehat, dan orang itu akan memberitahukan kepadanya apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, [254] dan sehat. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang pertama akan mendengarkannya, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami?”“Benar, Yang Mulia.”“Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi. Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi … dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu. Ia harus dipahami sebagai seorang yang berhasrat pada hal-hal duniawi.

10. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada ketenangan. [ ]Ketika seseorang berhasrat pada ketenangan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai hal-hal materi duniawi sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

11. “Bagaikan sehelai daun yang telah menguning yang gugur dari tangkainya tidak mampu menjadi hijau kembali, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada ketenangan, ia telah menghalau belenggu hal-hal materi duniawi. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu hal-hal materi duniawi yang berhasrat pada ketenangan.

12. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan kekosongan. Ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. [255] Tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

13. “Bagaikan sebutir batu besar yang pecah menjadi dua tidak dapat digabungkan kembali menjadi satu, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan, ia telah menghalau belenggu ketenangan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu ketenangan yang berhasrat pada landasan kekosongan.

14. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan kekosongan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

15. “Misalkan seseorang telah memakan makanan lezat dan memuntahkannya. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang itu berkeinginan untuk memakannya lagi?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena makanan itu dianggap menjijikkan.”

“Demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, belenggu landasan kekosongan telah ditolak. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan kekosongan dan yang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

16. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada Nibbāna. Ketika seseorang berhasrat pada Nibbāna, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sedang berlangsung, [256] ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #11 on: 16 February 2011, 11:43:53 PM »
17. “Bagaikan sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong menjadi tidak mampu tumbuh lagi, demikian pula, ketika seseorang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi telah dipotongterpotong di akarnya, dibuat menjadi tunggul pohon, dihancurkan sehingga tidak lagi muncul di masa depan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.

18. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; [ ]cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta, [ ]ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia mungkin dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia mungkin dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, dengan badannya mengikuti objek-objek sentuhan yang tidak selayaknya, atau dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. Ketika ia dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya, maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

19. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, [257] kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun dengan meninggalkan sisa-sisa racun itu. Karena berpikir bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal, [ ]ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu olesi luka itu agar nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

20. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan makanan yang tidak layak, dan luka itu bernanah. Dari waktu ke waktu ia tidak mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia tidak mengolesi lukanya, dan nanah dan darah menutupi lukanya. Ia berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah menginfeksi luka itu. Ia tidak merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang tidak selayaknya dan karena sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu membengkak, dan dengan pembengkakan itu, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

21. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; [258] cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta, ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

22. “Karena adalah kematian dalam Disiplin Para Mulia, Sunakkhatta, ketika seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah; dan adalah penderitaan mematikan ketika seseorang yang melakukan pelanggaran yang mengotori.

23. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia tidak dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia tidak dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, tidak dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, tidak dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, tidak dengan badannya mengikuti objek-objek sentuhan yang tidak selayaknya, dan tidak dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. Karena ia tidak dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … tidak dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. [259] Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

24. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun tanpa meninggalkan sisa-sisa racun itu. Mengetahui bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal, ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu oleskan luka itu, sehingga nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

25. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan hanya makanan yang layak, dan luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu ia mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia mengolesi lukanya, dan nanah dan darah tidak menutupi lukanya. Ia tidak berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Ia merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang [ ]selayaknya dan karena tidak ada sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu sembuh, dan dengan kesembuhan itu dan tertutup kulit, ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

26. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; [260] cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

27. “Sunakkhatta, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Luka’ adalah sebutan bagi enam landasan indria internal. ‘Cairan beracun’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Anak panah’ adalah sebutan bagi keinginan. ‘Alat periksa’ adalah sebutan bagi perhatian. [ ]‘Pisau’ adalah sebutan bagi kebijaksanaan mulia. ‘Ahli bedah’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.

28. “Bhikkhu itu, Sunakkhatta, adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, [ ]karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apa pun juga.

29. “Misalkan, Sunakkhatta, terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan. [ ]Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan meminum secangkir minuman itu, dengan mengetahui: ‘Jika aku meminum ini maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?”“Tidak, Yang Mulia.” [261]“Demikian pula, bhikkhu itu adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apa pun juga.

30. “Misalkan, Sunakkhatta, ada seekor ular berbisa yang mematikan, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan mengulurkan tangannya atau jari tangannya, dengan mengetahui: ‘Jika aku digigit oleh ular itu, maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak, dan setelah memahami bahwa kemelekatan adalah akar penderitaan, maka ia adalah tanpa kemelekatan, terbebaskan dalam hancurnya kemelekatan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah objek kemelekatan apa pun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Sunakkhatta, putra Licchavi, merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #12 on: 17 February 2011, 01:07:11 PM »
106  Āneñjasappāya Sutta
Jalan Menuju Ketenangan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, kenikmatan indria [ ]adalah tidak kekal, kosong, palsu, menipu; kenikmatan indria adalah ilusi, ocehan orang-orang dungu. Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, [262] persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatangkeduanya adalah alam Māra, wilayah Māra, umpan Māra, tanah perburuan Māra. Oleh karenanya, kondisi-kondisi batin buruk yang tidak bermanfaat ini seperti ketamakan, niat buruk, dan anggapan muncul, dan merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini.

(KETENANGAN)

3. “Di sana, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang … merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini. Bagaimana jika aku berdiam dengan pikiran berlimpah dan luhur, setelah melampaui dunia dan bertekad kuat dalam pikiran. [ ]Ketika aku melakukan demikian, tidak akan ada kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat dalam diriku, dan dengan ditinggalkannya kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat itu maka pikiranku akan menjadi tidak terbatas, tidak terukur, dan terkembang dengan baik.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. [ ]Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. [ ]Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara pertama yang mengarah pada ketenangan.

4. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang; apa pun bentuk-bentuk materi [yang ada], segala bentuk materi adalah empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada ketenangan. [263]

5. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatangkeduanya adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah tidak layak disenangi, tidak layak disambut, tidak layak digenggam.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada ketenangan.

(LANDASAN KEKOSONGAN)

6. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, dan persepsi-persepsi ketenangansemuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan kekosongan.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke pertama yang mengarah pada landasan kekosongan.

7. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ini adalah kosong dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’ [ ]Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada landasan kekosongan.

8. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah sesuatu yang menjadi milik siapa pun di mana pun, [264] juga tidak ada apa pun yang dimiliki olehku dalam diri siapa pun di mana pun.’ [ ]Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada landasan kekosongan.

ko, yg no. 2 memang "anggapan muncul" ya?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #13 on: 17 February 2011, 03:54:31 PM »
106  Āneñjasappāya Sutta
ko, yg no. 2 memang "anggapan muncul" ya?

maksudnya  ketamakan, niat buruk, dan anggapan, tiga2 ini muncul, bukan cuma anggapannya aja

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #14 on: 17 February 2011, 07:50:48 PM »
(LANDASAN BUKAN PERSEPSI JUGA BUKAN BUKAN-PERSEPSI)

9. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan dan persepsi-persepsi landasan kekosongansemuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”

(NIBBĀNA)

10. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, di sini seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. [ ]Yang Mulia, apakah bhikkhu itu mencapai Nibbāna?”

“Seorang bhikkhu di sini, Ānanda, mungkin mencapai Nibbāna, bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna.”
“Apakah sebab dan alasannya, Yang Mulia, mengapa seorang bhikkhu di sini mungkin mencapai Nibbāna, sedangkan seorang bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia bergembira di dalam keseimbangan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. Ketika ia melakukan itu, kesadarannya menjadi bergantung padanya dan melekat padanya. Seorang bhikkhu yang melekat, Ānanda, tidak mencapai Nibbāna.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, ketika bhikkhu itu melekat, pada apakah ia melekat?”

“Pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Ānanda.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Yang Mulia, tampaknya ia melekat pada [objek] kemelekatan yang terbaik.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Ānanda, ia melekat pada [objek] kemelekatan yang terbaik; karena ini adalah [objek] kemelekatan yang terbaik, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

12. “Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak bergembira di dalam keseimbangan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya. Karena ia tidak melakukan itu, kesadarannya menjadi tidak bergantung padanya dan tidak melekat padanya. Seorang bhikkhu yang tidak melekat, Ānanda, mencapai Nibbāna.”

13. “Mengagumkan, Yang Mulia, menakjubkan! Sang Bhagavā, sungguh, telah menjelaskan kepada kami menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya. [ ]Tetapi, Yang Mulia, apakah pembebasan mulia?”

“Di sini, Ānanda, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan, persepsi-persepsi landasan kekosongan, dan persepsi-persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsiini adalah identitas sejauh jangkauan identitas. [ ]Ini adalah Keabadian, yaitu, pembebasan pikiran melalui ketidakmelekatan.’

14. “Demikianlah, Ānanda, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada ketenangan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan kekosongan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku telah mengajarkan menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya, Aku telah mengajarkan pembebasan mulia.

15. “Apa yang seharusnya dilakukan bagi para siswa-Nya demi belas kasihan oleh seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan dan memiliki belas kasihan terhadap mereka, [266] telah Aku lakukan untukmu, Ānanda. Ada bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Ānanda, jangan menunda, agar engkau tidak menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #15 on: 17 February 2011, 08:28:53 PM »
107  Gaṇakamoggallāna Sutta
Kepada Gaṇaka Moggallāna


[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra. Kemudian Brahmana Gaṇaka Moggallāna mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

2. “Guru Gotama, di Istana Ibunya Migāra dapat terlihat latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap, yaitu, hingga ke anak tangga terakhir. [ ]Di antara para brahmana juga, dapat terlihat latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap, yaitu, dalam hal belajar. Di antara para pemanah juga, dapat terlihat latihan bertahap … yaitu, dalam hal memanah. Dan juga di antara para juru hitung [ ]seperti kami, yang berpenghidupan dari pembukuan, dapat terlihat latihan bertahap … yaitu, dalam hal penghitungan. Karena ketika kami menerima seorang murid, pertama-tama kami mengajarinya berhitung: satu satu, dua dua, tiga tiga, empat empat, lima lima, enam enam, tujuh tujuh, delapan delapan, sembilan sembilan, sepuluh sepuluh; dan kami mengajarinya menghitung seratus juga. Sekarang apakah mungkin, Guru Gotama, untuk menjelaskan latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap dalam Dhamma dan Disiplin ini?” [2]

3. “Adalah mungkin, Brahmana, untuk menjelaskan latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap dalam Dhamma dan Disiplin ini. Seperti halnya, Brahmana, ketika seorang pelatih kuda yang terampil mendapatkan seekor anak kuda berketurunan murni yang baik, pertama-tama ia membiasakannya memakai kekang, dan selanjutnya ia melatihnya lebih lanjut, [ ]demikianlah ketika Sang Tathāgata mendapatkan seseorang untuk dijinakkan, pertama-tama Beliau mendisiplinkannya sebagai berikut: ‘Marilah, Bhikkhu, jadilah bermoral, terkendali melalui pengendalian Pātimokkha, jadilah sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran yang terkecil, berlatihlah dengan menjalankan aturan-aturan latihan.’

4. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu menjadi bermoral … dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran yang terkecil, berlatihlah dengan menjalankan aturan-aturan latihan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, jagalah pintu-pintu indriamu. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika engkau membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasaimu, latihlah cara pengendaliannya, jagalah indria mata, jalankanlah pengendalian indria mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika engkau membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasaimu, latihlah cara pengendaliannya, jagalah indria pikiran, jalankanlah pengendalian indria pikiran.’

5. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah menjaga pintu-pintu indrianya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, makanlah secukupnya. Dengan merenungkan secara bijaksana, engkau harus memakan makanan bukan demi kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk membantu dalam kehidupan suci, dengan merenungkan:[ ]“Demikianlah aku akan menghentikan perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan aku dapat hidup dalam kenyamanan.”’

6. “Ketika, [3] Brahmana, bhikkhu itu telah terkendali dalam hal makanan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, tekunilah kewaspadaan. Selama siang hari, selagi berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Selama jaga pertama malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Selama jaga pertengahan malam hari, engkau harus berbaring di sisi kanan dalam postur singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikiranmu waktu untuk bangun. Setelah bangun, selama jaga ke tiga malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi.’

7. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah menekuni kewaspadaan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, milikilah perhatian penuh dan kewaspadaan penuh. Bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika menekuk dan meregangkan bagian-bagian tubuhmu; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan dan mengecap; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berbicara, dan berdiam diri.’

8. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah memiliki perhatian penuh dan kewaspadaan penuh, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, datangilah tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.’

9. “Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan tubuh, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelaskasihan terhadap kesejahteraan makhluk-makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kelambanan dan ketumpulan, memiliki persepsi cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa terganggu dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. [4]

10. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

11. “Ini adalah instruksi-Ku, Brahmana, kepada para bhikkhu yang berada pada tahap latihan yang lebih tinggi, yang batinnya masih belum mencapai tujuan, yang berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Tetapi hal-hal ini berperan pada kediaman yang nyaman di sini dan saat ini serta pada perhatian dan kewaspadaan penuh bagi para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah terbebaskan sepenuhnya melalui pengetahuan akhir.”

12. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Gaṇaka Moggallāna bertanya kepada Sang Bhagavā: “Ketika para siswa Guru Gotama dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian, apakah mereka semuanya mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, ataukah beberapa di antara mereka tidak mencapainya?”

“Ketika, Brahmana, mereka dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian, beberapa siswa-Ku mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya.”

13. “Guru Gotama, karena Nibbāna ada dan jalan menuju Nibbāna ada dan Guru Gotama juga ada sebagai penuntun, apakah sebab dan alasan mengapa, ketika para siswa Guru Gotama dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian oleh Beliau, beberapa di antara mereka mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya?”

14. “Sehubungan dengan hal itu, Brahmana, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu sebagai balasan. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar. [5] Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah engkau mengenal baik jalan menuju Rājagaha?”

“Benar, Guru Gotama, aku mengenal baik jalan menuju Rājagaha.”

“Bagaimana menurutmu, Brahmana? Misalkan seseorang yang hendak pergi ke Rājagaha mendatangimu dan berkata: Tuan, aku hendak pergi ke Rājagaha, tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Rājagaha.’ Kemudian engkau memberitahunya: ‘Sekarang, Tuan, jalan ini menuju Rājagaha. Ikutilah selama beberapa saat dan engkau akan sampai di sebuah desa tertentu, jalanlah sedikit lebih jauh dan engkau akan sampai di sebuah pemukiman tertentu, jalanlah sedikit lebih jauh dan engkau akan sampai di Rājagaha dengan taman-taman, hutan, padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian, setelah dinasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, ia mengambil jalan yang salah dan pergi menuju ke barat. Kemudian orang ke dua yang hendak pergi ke Rājagaha mendatangimu dan berkata: Tuan, aku hendak pergi ke Rājagaha, tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Rājagaha.’ Kemudian engkau memberitahunya: ‘Sekarang, Tuan, jalan ini menuju Rājagaha. Ikutilah selama beberapa saat … dan engkau akan sampai di Rājagaha dengan taman-taman, hutan, padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian, setelah dinasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, ia tiba dengan selamat di Rājagaha. Sekarang, Brahmana, karena Rājagaha ada dan jalan menuju Rājagaha ada, dan engkau juga ada sebagai penuntun, apakah sebab dan alasan mengapa, ketika orang-orang itu yang telah dinasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, seorang mengambil jalan yang salah dan pergi ke barat dan seorang lainnya sampai dengan selamat di Rājagaha?” [6]

“Apakah yang dapat kulakukan sehubungan dengan hal itu, Guru Gotama? Aku hanyalah seorang yang menunjukkan jalan.”

“Demikian pula, Brahmana, Nibbāna ada, dan jalan menuju Nibbāna ada dan Aku juga ada sebagai penuntun. Namun ketika para siswa-Ku telah dinasihati dan diberikan instruksi demikian, beberapa di antara mereka mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya. Apakah yang dapat Kulakukan sehubungan dengan hal itu, Brahmana? Sang Tathāgata hanyalah seorang yang menunjukkan jalan.”

15. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Gaṇaka Moggallāna berkata kepada Sang Bhagavā: [ ]“Ada orang-orang yang tidak berkeyakinan dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah bukan karena keyakinan melainkan untuk mencari penghidupan, yang palsu, menipu, curang, congkak, kosong, membanggakan diri, berkata-kasar, berbicara-lepas, dengan organ-organ indria tidak terjaga, makan berlebihan, tidak menekuni kewaspadaan, tidak memperhatikan kehidupan pertapaan, tidak menghargai latihan, hidup dalam kemewahan, lengah, para pemimpin dalam kemunduran, mengabaikan keterasingan, malas, memerlukan kegigihan, tidak penuh perhatian, tidak penuh kewaspadaan, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran berkeliaran, hampa dari kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes. Guru Gotama tidak berdiam bersama dengan orang-orang ini.

“Tetapi ada anggota-anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah karena keyakinan yang tidak palsu, tidak menipu, tidak curang, tidak congkak, tidak kosong, tidak membanggakan diri, tidak berkata-kasar, tidak berbicara-lepas; yang [ ]menjaga organ-organ indria terjaga, makan secukupnya, menekuni kewaspadaan, memperhatikan kehidupan pertapaan, menghargai latihan, tidak hidup dalam kemewahan atau lengah, yang tekun menghindari kemunduran, para pemimpin dalam keterasingan, bersemangat, teguh, kukuh dalam perhatian, penuh kewaspadaan, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, memiliki kebijaksanaan, bukan orang bodoh dengan air liur menetes. Guru Gotama berdiam bersama dengan orang-orang ini.

16. “Seperti halnya akar orris hitam diakui sebagai akar harum yang terbaik dan cendana merah diakui sebagai kayu harum terbaik dan melati diakui sebagai bunga harum terbaik, [7] demikian pula, nasihat Guru Gotama adalah yang tertinggi di antara ajaran-ajaran masa kini.

17. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #16 on: 17 February 2011, 09:07:58 PM »
108  Gopakamoggallāna Sutta
Kepada Gopaka Moggallāna

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai, tidak lama setelah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir.

2. Pada saat itu, Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha membentengi Rājagaha karena mencurigai Raja Pajjota.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Masih terlalu pagi untuk menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika aku mendatangi Brahmana Gopaka Moggallāna di tempat kerjanya.”

4. Maka Yang Mulia Ānanda mendatangi Brahmana Gopaka Moggallāna di tempat kerjanya. Dari kejauhan Brahmana Gopaka Moggallāna melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Silakan Guru Ānanda datang! Selamat datang Guru Ānanda! Sudah lama sejak Guru Ānanda berkesempatan untuk datang ke sini. Silakan Guru Ānanda duduk; tempat duduk telah tersedia.” Yang Mulia Ānanda duduk di tempat yang telah dipersiapkan. [8] Brahmana Gopaka mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda:

5. “Guru Ānanda, adakah satu saja bhikkhu yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

“Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun, pembuat jalan yang belum dibuat, pengungkap jalan yang belum terungkapkan; Beliau adalah pengenal Sang Jalan, penemu Sang Jalan, seorang yang terampil dalam Sang Jalan. Tetapi para siswa-Nya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.”

6. Tetapi diskusi antara Yang Mulia Ānanda dan Brahmana Gopaka Moggallāna terhenti; karena saat itu Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, [ ]sewaktu mengawasi perkerjaan di Rājagaha, mendatangi Yang Mulia Ānanda di tempat kerja Brahmana Gopaka Moggallāna. Ia bertukar sapa dengan Yang Mulia Ānanda, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Guru Ānanda? Dan diskusi apakah yang terputus tadi?”

“Brahmana, Brahmana Gopaka Moggallāna bertanya kepadaku: ‘Guru Ānanda, adakah satu saja bhikkhu yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?’ Aku menjawab Brahmana Gopaka Moggallāna: ‘Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun [9] ... Tetapi para siswa-Nya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.’ Ini adalah diskusi kami yang terputus ketika engkau datang.”

7. “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang ditunjuk oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

8. “Tetapi, adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

9. “Tetapi jika engkau tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?”

“Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.”

10. “Tetapi ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu … yang kepadanya kami memohon bantuan.’ Ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu, … [10] … yang kepadanya kami memohon bantuan.’ Ketika engkau ditanya: ‘Tetapi jika kalian tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?’ Engkau menjawab: ‘Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.’ Sekarang bagaimanakah makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami, Guru Ānanda?”

“Brahmana, Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah menetapkan aturan latihan bagi para bhikkhu dan Beliau telah menetapkan Pātimokkha. Pada hari Uposatha, kami semua yang hidup dengan bergantung pada satu desa tertentu berkumpul bersama, dan ketika kami berkumpul, kami memohon pada seseorang yang menguasai Pātimokkha untuk membacakannya. Jika seorang bhikkhu mengingat suatu pelanggaran ketika Pātimokkha sedang dibacakan, maka kami menindaknya sesuai dengan Dhamma, sesuai dengan instruksi. Bukan para mulia yang menyuruh kami menindaknya; adalah Dhamma yang menyuruh kami menindaknya.”

11. “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang sekarang kalian hormati, kalian hargai, kalian puja, dan kalian muliakan, dan yang kepadanya kalian hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya?”

“Ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang sekarang kami hormati, kami hargai, kami puja, dan kami muliakan, dan yang kepadanya kami hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.”

12. “Tetapi ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama …?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu ….’ [ ]Ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha …?’ [11] Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu ….’ Ketika engkau ditanya: ‘Adakah seorang bhikkhu yang sekarang kalian hormati, kalian hargai, kalian puja, dan kalian muliakan, dan yang kepadanya kalian hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya?’ Engkau menjawab: ‘Ada seorang bhikkhu, yang sekarang kami hormati, kami hargai, kami puja, dan kami muliakan, dan yang kepadanya kami hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.’ Sekarang bagaimanakah makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami, Guru Ānanda?”

13. “Ada, Brahmana, sepuluh kualitas yang menginspirasi keyakinan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kesepuluh kualitas ini terdapat dalam diri salah satu di antara kami, maka kami menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya, dan hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya. Apakah sepuluh ini?

14. (1) “Di sini, Brahmana, seorang bhikkhu memiliki moralitas, ia berdiam dengan terkendali oleh pengendalian Pātimokkha, ia sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan dalam pelanggaran yang terkecil, ia melatih dirinya dengan menjalankan aturan-aturan latihan.

15. (2) [ ]“Ia banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, yang menegaskan kehidupan suci yang sungguh-sungguh murni dan sempurnaajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, ia ingat, ia hafalkan, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan.

16. (3) “Ia puas dengan jubahnya, makanannya, tempat tinggalnya, dan obat-obatannya.

17. (4) “Menuruti keinginannya tanpa kesulitan atau kesusahan, ia mencapai keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kediaman yang nyaman di sini dan saat ini.

18. (5) “Ia mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; ia menyelam masuk ke dalam dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; ia berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; [12] dengan duduk bersila, ia bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tangannya ia menyentuh bulan dan matahari, begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma.

19. (6) “Dengan unsur mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

20. (7) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya. Ia memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; ia memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; ia memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; ia memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.

21. (8) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

22. (9) “Dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, …(seperti Sutta 51, §25) … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

23. (10) “Dengan menembus bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

“Ini, Brahmana, adalah sepuluh kualitas yang menginspirasi keyakinan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kesepuluh kualitas ini terdapat dalam diri salah satu di antara kami, maka kami menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya, dan hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.” [13]

24. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, berkata kepada Jenderal Upananda: “Bagaimana menurutmu, Jenderal? Ketika para mulia ini menghormati seseorang yang layak dihormati, menghargai seseorang yang layak dihargai, memuja seseorang yang layak dipuja, dan memuliakan seseorang yang layak dimuliakan, tentu saja mereka menghormati seseorang yang layak dihormati … dan memuliakan seseorang yang layak dimuliakan. Karena jika para mulia ini tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan orang seperti itu, maka siapa lagikah yang mereka hormati, mereka hargai, mereka puja, dan mereka muliakan, dan kepada siapakah mereka dapat hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargai?”

25. “Kemudian Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Di manakah Guru Ānanda menetap sekarang?””

“Sekarang aku menetap di Hutan Bambu, Brahmana.”

“Kuharap, Guru Ānanda, Hutan Bambu itu menyenangkan, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfer kesunyian, jauh dari orang-orang, sesuai untuk melatih diri.”

“Sesungguhnya, Brahmana, Hutan Bambu itu menyenangkan … sesuai untuk melatih diri berkat para pelindung seperti dirimu.”

“Sesungguhnya, Guru Ānanda, Hutan Bambu itu menyenangkan … sesuai untuk melatih diri berkat para mulia yang adalah para meditator dan berlatih meditasi. Pada suatu ketika, Guru Ānanda, Guru Gotama sedang menetap di Vesālī di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar. Kemudian aku datang ke sana dan menghadap Guru Gotama, dan dalam berbagai cara Beliau memberikan khotbah tentang meditasi. Guru Gotama adalah seorang meditator dan berlatih meditasi, dan Beliau memuji segala jenis meditasi.”

26. “Sang Bhagavā, Brahmana, tidak memuji segala jenis meditasi, juga tidak mencela segala jenis meditasi. Jenis meditasi [14] apakah yang tidak dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, Brahmana, seseorang berdiam dengan pikirannya dikuasai oleh nafsu indria, mangsa bagi nafsu indria, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indria yang telah muncul. Sementara ia memendam nafsu indria dalam batinnya, ia bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan salah bermeditasi. [ ]Ia berdiam dengan pikirannya dikuasai oleh niat buruk, mangsa bagi niat buruk … dengan pikirannya dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan, mangsa bagi kelambanan dan ketumpulan … dengan pikirannya dikuasai oleh kegelisahan dan penyesalan, mangsa bagi kegelisahan dan penyesalan … dengan pikirannya dikuasai oleh keragu-raguan, mangsa bagi keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul. Sementara ia memendam keragu-raguan dalam batinnya, ia bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan salah bermeditasi. Sang Bhagavā tidak memuji jenis meditasi ini.

27. “Dan jenis meditasi apakah yang dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, Brahmana, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Sang Bhagavā memuji jenis meditasi ini.”

28. “Tampaknya, Guru Ānanda, bahwa Guru Gotama mencela jenis meditasi yang layak dicela dan memuji jenis meditasi yang layak dipuji. Dan sekarang, Guru Ānanda, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Brahmana.” [15]

Kemudian Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, dengan merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya dan pergi.

29. Kemudian, segera setelah ia pergi, Brahmana Gopaka Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Guru Ānanda belum menjawab apa yang kami tanyakan.”

“Bukankah kami telah memberitahukan kepadamu, Brahmana: ‘Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun, pembuat jalan yang belum dibuat, pengungkap jalan yang belum terungkapkan; Beliau adalah pengenal Sang Jalan, penemu Sang Jalan, seorang yang terampil dalam Sang Jalan. Tetapi para siswa-Nya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.’?”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #17 on: 17 February 2011, 09:44:06 PM »
109  Mahāpuṇṇama Sutta
Khotbah Panjang di Malam Purnama

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, [ ]pada malam purnamaSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dengan dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu.

3. Kemudian seorang bhikkhu bangkit dari duduknya, [ ]membetulkan jubahnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Sang Bhagavā mengenai hal tertentu, jika Sang Bhagavā sudi memberikan jawaban atas pertanyaanku.”“Duduklah di tempat dudukmu, Bhikkhu, dan tanyakanlah apa yang engkau inginkan.” Maka bhikkhu itu duduk di tempat duduknya dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Bukankah hal-hal ini, Yang Mulia, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan; [16] yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Hal-hal ini, Para bhikkhu, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan; yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan … dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan.”

Dengan berkata, “Bagus sekali, Yang Mulia,” bhikkhu itu merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

5. “Tetapi, Yang Mulia, berakar pada apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini?”

“Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini berakar pada keinginan,  Bhikkhu.”

6. “Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini? Atau apakah kemelekatan adalah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Bhikkhu, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Adalah keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan itu yang menjadi kemelekatan di sana.”

7. “Tetapi, Yang Mulia, mungkinkah terjadi keberagaman dalam hal keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini?”

“Mungkin saja, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, Bhikkhu, seseorang berpikir sebagai berikut: ‘Semoga bentuk materiku seperti demikian di masa depan; semoga perasaanku seperti demikian di masa depan; Semoga persepsiku seperti demikian di masa depan; Semoga bentukan-bentukanku seperti demikian di masa depan; Semoga kesadaranku seperti demikian di masa depan.’ Demikianlah mungkin terjadi keberagaman dalam hal keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini.”

8. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah sebutan ‘kelompok-kelompok unsur kehidupan’ berlaku pada kelompok-kelompok unsur kehidupan?”

“Bhikkhu, segala jenis bentuk materi apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatini adalah kelompok unsur bentuk materi. [17] Segala jenis perasaan apa pun … jauh atau dekatini adalah kelompok unsur perasaan. Segala jenis persepsi apa pun … jauh atau dekatini adalah kelompok unsur persepsi. Segala jenis bentukan-bentukan apa pun … jauh atau dekatini adalah kelompok unsur bentukan-bentukan. Segala jenis kesadaran apa pun … jauh atau dekatini adalah kelompok unsur kesadaran. Dengan cara inilah, Bhikkhu, sebutan ‘kelompok-kelompok unsur kehidupan’ berlaku pada kelompok-kelompok unsur kehidupan.”

9. “Apakah sebab dan kondisi, Yang Mulia, bagi perwujudan kelompok unsur bentuk materi? Apakah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur perasaan … kelompok unsur persepsi … kelompok unsur bentukan-bentukan … kelompok unsur kesadaran?”

“Empat unsur utama, Bhikkhu, adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur bentuk materi. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur perasaan. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur persepsi. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur bentukan-bentukan. Batin-jasmani adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur kesadaran.”

10. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas terjadi?”

“Di sini, Bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [18] atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan identitas terjadi.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas tidak terjadi?”

“Di sini, Bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih, yang [ ]menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [18] atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan identitas tidak terjadi.”

12. “Apakah, Yang Mulia, kepuasan, apakah bahaya, dan apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan … sehubungan dengan persepsi … sehubungan dengan bentukan-bentukan … sehubungan dengan kesadaran?”

“Kenikmatan dan kegembiraan, Bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada bentuk materiini adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi. Bentuk materi adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahanini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu terhadap bentuk materiini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada perasaan … dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan … dengan bergantung pada kesadaranini adalah kepuasan sehubungan dengan kesadaran. Kesadaran tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahanini adalah bahaya sehubungan dengan kesadaran. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu terhadap kesadaranini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kesadaran.”

13. “Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat, agar sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, tidak ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan?”

“Bhikkhu, segala jenis bentuk materi apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatseseorang melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apa pun … Segala jenis persepsi apa pun … Segala jenis bentukan-bentukan apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun … ia melihat segala jenis kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Adalah ketika ia mengetahui dan melihat demikian maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, tidak ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan.”

14. Kemudian, dalam pikiran seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiran-Nya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, Para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh keinginan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, Para bhikkhu, kalian telah dilatih oleh-Ku melalui tanya jawab pada berbagai kesempatan sehubungan dengan berbagai hal.

15. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”[20] “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”“Tidak, Yang Mulia.”

16. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apa pun … Segala jenis persepsi apa pun … Segala jenis bentukan-bentukan apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

17. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.

18. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Pada saat khotbah ini dibabarkan, batin keenam puluh bhikkhu itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #18 on: 17 February 2011, 10:55:21 PM »
110  Cūḷapuṇṇama Sutta
Khotbah Pendek di Malam Purnama

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnamaSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dengan dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, mungkinkah seorang bukan manusia sejati [ ]mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Bagus, Para bhikkhu. Itu adalah mustahil, tidak mungkin, bahwa seorang bukan manusia sejati dapat mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati.’ Tetapi mungkinkah seorang bukan manusia sejati mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Bagus, Para bhikkhu. Itu adalah mustahil, tidak mungkin, bahwa seorang bukan manusia sejati dapat mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati.’

4. “Para bhikkhu, seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk; ia bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati, ia berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati, ia memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati, ia berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati, ia bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati, ia menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati, dan ia memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati.

5. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk? Di sini seorang bukan manusia sejati tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan pelanggaran; ia tidak terlatih, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk.

6. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memiliki para petapa dan brahmana yang tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan pelanggaran; yang tidak terlatih, malas, lengah, dan tidak bijaksana, sebagai teman-temannya. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati.

7. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati menghendaki penderitaannya sendiri, menghendaki penderitaan makhluk lain, atau menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati.

8. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, demi penderitaan makhluk lain, atau demi penderitaan keduanya. [22] Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati.

9. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata jahat, mengucapkan kata-kata kasar, dan bergosip. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati.

10. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan berperilaku salah dalam kenikmatan indria. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati.

11. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati.

12. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan secara ceroboh, memberikan bukan dengan tangannya sendiri, memberikan tanpa menunjukkan penghormatan, memberikan apa yang seharusnya dibuang, memberikan dengan pandangan bahwa tidak ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati.

13. “Seorang bukan manusia sejati ituyang memiliki kualitas-kualitas buruk demikian, yang bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati, berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati, bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati, menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati, dan memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati demikian—ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran [ ]seorang bukan manusia sejati. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang bukan manusia sejati? Adalah neraka atau alam binatang.

14. “Para bhikkhu, mungkinkah seorang manusia sejati mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati’?” [23]“Mungkin, Yang Mulia.”“Bagus, Para bhikkhu. Itu adalah mungkin, bahwa seorang manusia sejati dapat mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati.’ Tetapi mungkinkah seorang manusia sejati mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati’?”“Mungkin, Yang Mulia.”“Bagus, Para bhikkhu. Itu adalah mungkin, bahwa seorang manusia sejati dapat mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati.’

15. “Para bhikkhu, seorang manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik; ia bergaul sebagai seorang manusia sejati, ia berkehendak sebagai seorang manusia sejati, ia memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati, ia berbicara sebagai seorang manusia sejati, ia bertindak sebagai seorang manusia sejati, ia menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati, dan ia memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati.

16. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik? Di sini seorang bukan manusia sejati memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan pelanggaran; ia terlatih, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik.

17. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati memiliki para petapa dan brahmana yang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan pelanggaran; yang terlatih, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana, sebagai teman-temannya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati bergaul sebagai seorang manusia sejati.

18. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati berkehendak sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati tidak menghendaki penderitaannya sendiri, tidak menghendaki penderitaan makhluk lain, dan tidak menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati berkehendak sebagai seorang manusia sejati.

19. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati tidak memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, tidak demi penderitaan makhluk lain, dan tidak demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati.

20. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati berbicara sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menghindari mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata jahat, mengucapkan kata-kata kasar, dan bergosip. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati berbicara sebagai seorang manusia sejati.

21. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati bertindak sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, [24] dan berperilaku salah dalam kenikmatan indria. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati bertindak sebagai seorang manusia sejati.

22. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menganut pandangan sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati.

23. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati memberikan persembahan secara saksama, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan dengan menunjukkan penghormatan, memberikan persembahan yang berharga, memberikan dengan pandangan bahwa ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati.

24. “Seorang manusia sejati ituyang memiliki kualitas-kualitas baik demikian, yang bergaul sebagai seorang manusia sejati, berbicara sebagai seorang manusia sejati, bertindak sebagai seorang manusia sejati, menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati, dan memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati demikianketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang manusia sejati. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang manusia sejati? Kemuliaan di antara para dewa atau kemuliaan di antara manusia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #19 on: 18 February 2011, 07:09:58 AM »
111  Anupada Sutta
Satu demi Satu Bermunculan

[25] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Sāriputta bijaksana; Sāriputta memiliki kebijaksanaan besar; Sāriputta memiliki kebijaksanaan luas; Sāriputta memiliki kebijaksanaan gembira; Sāriputta memiliki kebijaksanaan cepat; Sāriputta memiliki kebijaksanaan tajam; Sāriputta memiliki kebijaksanaan yang menembus. Selama setengah bulan, Para bhikkhu, Sāriputta mencapai pandangan terang ke dalam kondisi-kondisi satu demi satu pada saat munculnya. [ ]Pandangan terang Sāriputta ke dalam kondisi-kondisi satu demi satu pada saat munculnya adalah sebagai berikut:

3. “Di sini, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Sāriputta masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

4. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna pertamaawal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; [ ]dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’ Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. [ ]Ia memahami: ‘Ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

5. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Sāriputta masuk dan berdiam dalam [26] jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

6. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke dua inikeyakinan-diri, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

7. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, Sāriputta berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

8. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke tiga inikeseimbangan, kenikmatan, perhatian, kewaspadaan penuh, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

9. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, Sāriputta masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

10. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke empat inikeseimbangan, perasaan bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, ketidaktertarikan pikiran karena ketenangan, [ ]kemurnian perhatian, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, [27] dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

11. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keberagaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

12. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan ruang tanpa batas inipersepsi landasan ruang tanpa batas dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, [27] dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

13. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

14. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan kesadaran tanpa batas inipersepsi landasan kesadaran tanpa batas dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada. [28]

15. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

16. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan kekosongan inipersepsi landasan kekosongan dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatankondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

17. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

18. “Ia keluar dengan penuh perhatian dari pencapaian itu. Setelah itu, ia merenungkan kondisi-kondisi yang telah berlalu, lenyap, dan berubah, sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’ [ ]Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Ia memahami: ‘Ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

19. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Sāriputta masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan penglihatannya melalui kebijaksanaan.

20. “Ia keluar dengan penuh perhatian dari pencapaian itu. Setelah itu, ia mengingat kembali kondisi-kondisi yang telah berlalu, lenyap, dan berubah, sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’ [ ]Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Ia memahami: ‘Tidak ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu tidak ada.

21. “Para bhikkhu, jika mengatakan dengan benar, mengenai siapa pun: ‘Ia telah mencapai kemahiran dan kesempurnaan [ ]dalam moralitas mulia, [29] mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam konsentrasi mulia, mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan mulia, mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam kebebasan mulia,’ adalah sehubungan dengan Sāriputta sesungguhnya kata-kata benar itu diucapkan.

22. “Para bhikkhu, jika mengatakan dengan benar, mengenai siapa pun: ‘Ia adalah putra Sang Bhagavā, terlahir dari dada Beliau, terlahir dari mulut Beliau, terlahir dari Dhamma, tercipta oleh Dhamma, seorang pewaris Dhamma, bukan seorang pewaris dalam benda-benda materi,’ adalah sehubungan dengan Sāriputta sesungguhnya kata-kata benar itu diucapkan.

23. “Para bhikkhu, Roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata terus diputar dengan benar oleh Sāriputta.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #20 on: 18 February 2011, 07:37:14 AM »
112  Chabbisodhana Sutta
Enam Kemurnian

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: ‘Aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

3. “Kata-kata bhikkhu itu tidak perlu disetujui atau tidak disetujui. Dengan tanpa menyetujui atau tidak menyetujui, sebuah pertanyaan harus diajukan: ‘Teman, ada empat jenis pengungkapan yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan yang dilihat seperti apa yang dilihat; ia mengatakan yang didengar seperti apa yang didengar; ia mengatakan yang dicerap seperti apa yang dicerap; ia mengatakan yang dikenal seperti apa yang dikenal. [ ][30] Ini, Teman, adalah empat jenis pengungkapan yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keempat jenis pengungkapan ini, sehingga melalui ketidakmelekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

4. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“‘Teman-teman, sehubungan dengan yang dilihat aku berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. [ ]Sehubungan dengan yang didengar … sehubungan dengan yang dicerap … sehubungan dengan yang dikenal aku berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keempat jenis pengungkapan ini, maka melalui ketidakmelekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

5. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“‘Teman, ada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah lima ini? Yaitu kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini, Teman, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh kemelekatan ini, yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, sehingga melalui ketidakmelekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

6. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“‘Teman-teman, setelah mengetahui bentuk materi adalah rapuh, memudar, dan tidak menyenangkan, [31] dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan bentuk materi, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan bentuk materi, [ ]aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Teman-teman, setelah mengetahui perasaan … setelah mengetahui persepsi … setelah mengetahui bentukan-bentukan … setelah mengetahui kesadaran adalah rapuh, memudar, dan tidak menyenangkan, dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan kesadaran, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan kesadaran, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka melaui ketidakmelekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

7. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“‘Teman, ada enam unsur ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah enam ini? Yaitu unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Ini, Teman, adalah enam unsur yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keenam unsur ini, sehingga melalui ketidakmelekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

8. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“‘Teman-teman, aku telah memperlakukan unsur tanah sebagai bukan-diri, dengan tanpa diri yang berdasarkan pada unsur tanah. Dan dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan unsur tanah, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur tanah, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Teman-teman, aku telah memperlakukan unsur air … unsur api … unsur udara … unsur ruang … unsur kesadaran sebagai bukan-diri, dengan tanpa diri yang berdasarkan pada unsur kesadaran. [ ]Dan dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan unsur kesadaran, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur kesadaran, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keenam unsur ini, maka melaui ketidakmelekatan batinku terbebaskan dari noda-noda.’

9. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ [32] seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“‘Tetapi, Teman, ada enam landasan internal dan eksternal ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah enam ini? Yaitu mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek-objek sentuhan, pikiran dan objek-objek pikiran. Ini, Teman, adalah enam landasan internal dan eksternal ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keenam landasan internal dan eksternal ini, sehingga melalui ketidakmelekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

10. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“‘Teman-teman, dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan, dan perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan mata, bentuk-bentuk, kesadaran-mata, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan, dan perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan telinga, suara-suara, [ ]kesadaran-telinga, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-telinga … sehubungan dengan hidung, bau-bauan, [ ]kesadaran-hidung, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-hidung … sehubungan dengan lidah, rasa kecapan, [ ]kesadaran-lidah, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-lidah … sehubungan dengan badan, objek-objek sentuhan, [ ]kesadaran-badan, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-badan … sehubungan dengan pikiran, objek-objek pikiran, [ ]kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“‘Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keenam landasan internal dan eksternal ini, maka melaui ketidakmelekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

11. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“‘Tetapi, Teman, bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, agar sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan dilenyapkan dalam dirinya?’ [ ][33]

12. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“‘Teman-teman, sebelumnya ketika aku masih menjalani kehidupan rumah tangga, aku bodoh. Kemudian Sang Tathāgata atau siswa-Nya mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma, aku memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Kemudian pada kesempatan lain, dengan meninggalkan harta yang banyak atau sedikit, meninggalkan sanak saudara yang banyak atau sedikit, aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

13-17. “‘Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, … (seperti Sutta 51, §§14-19) [34, 35] … aku memurnikan pikiranku dari keragu-raguan. [36]

18. “‘Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidakmurnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

19. “‘Ketika pikiranku yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. [ ]Aku mengetahui secara langsung sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’. Aku mengetahui secara langsung sebagaimana adanya ‘Ini adalah noda-noda’ … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’ …  ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

20. “‘Ketika aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranku terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

“‘Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan dilenyapkan dalam diriku.’

21. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, ia harus mengatakan kepadanya: ‘Suatu keuntungan bagi kami, Teman, [37] suatu keuntungan besar bagi kami, Teman, bahwa kami bertemu seorang teman dalam kehidupan suci seperti Yang Mulia.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #21 on: 18 February 2011, 01:00:44 PM »
113  Sappurisa Sutta
Manusia Sejati

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang karakter seorang manusia sejati dan karakter seorang bukan manusia sejati.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, bagaimanakah karakter seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga bangsawan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, [38] dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang manusia sejati.

4-6. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga besar … dari keluarga kaya … dari keluarga berpengaruh mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga yang berpengaruh maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

7. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terkenal dan termasyhur mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku terkenal dan termasyhur; tetapi para bhikkhu ini tidak terkenal dan tidak termasyhur.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena kemasyhuran maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak terkenal dan tidak termasyhur, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati. [39]

8. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dengan mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh benda-benda ini.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena perolehannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena perolehan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak memperoleh apa pun, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena perolehan. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

9-20. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terpelajar … yang ahli dalam Disiplin … [40] … yang adalah seorang pembabar Dhamma … yang adalah seorang yang menetap di hutan … yang adalah seorang pemakai jubah bertambalan … [41] … yang adalah pemakan makanan yang didanakan … yang adalah seorang yang menetap di bawah pohon … [42] … yang adalah seorang yang menetap di tanah pekuburan  … yang adalah seorang yang menetap di ruang terbuka … yang adalah seorang yang terus-menerus duduk … yang adalah seorang pengguna alas tidur apa saja … yang adalah seorang yang makan satu kali sehari mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku adalah seorang yang makan satu kali sehari; tetapi para bhikkhu ini bukanlah orang-orang yang makan satu kali sehari.’ [ ]Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena ia adalah seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau kebodohan dihancurkan. Bahkan jika seseorang bukanlah seorang yang makan satu kali sehari, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

21. “Terlebih lagi, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian jhāna pertama; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian jhāna pertama.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi dengan pencapaian jhāna pertama yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’ [ ][43] Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

22-24. “Terlebih lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ...

25. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas ...

26. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas ... [44] ...

27. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan ...

28. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi dengan pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’ Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak meremehkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

29. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang manusia sejati masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. [ ]Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatan dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini tidak menganggap apa pun, ia tidak menganggap sehubungan dengan apa pun, ia tidak menganggap dalam cara bagaimanapun.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko, ini urutannya mana yg benar?

112  Chabbisodhana Sutta
Enam Kemurnian

113  Sappurisa Sutta
Manusia Sejati

KELOMPOK SATU DEMI SATU (ANUPADAVAGGA)

111  Anupada Sutta
112  Sappurisa Sutta
113  Chabbisodhana Sutta
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #22 on: 18 February 2011, 01:12:22 PM »
112  Chabbisodhana Sutta
Enam Kemurnian

113  Sappurisa Sutta
Manusia Sejati

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #23 on: 18 February 2011, 01:19:02 PM »
114  Sevitabbāsevitabba Sutta
Yang Harus Dilatih dan Tidak Boleh Dilatih

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang apa yang harus dilatih dan apa yang tidak boleh dilatih. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(PEMBABARAN PERTAMA)

3. “Para bhikkhu, [ ]perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.  Perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya. Perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya. Kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya. [46] Perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya. Perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya. Perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.”

(PENJELASAN PERTAMA)

4. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut:

5. “Para bhikkhu, perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku jasmani yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku jasmani yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku jasmani yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang membunuh makhluk hidup; ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Ia mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Ia melakukan perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, dan bahkan dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Perilaku-perilaku jasmani demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku jasmani yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelaskasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; ia tidak mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Dengan meninggalkan perbuatan salah dalam kenikmatan indria, ia menghindari perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, atau dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Perilaku-perilaku jasmani demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.’

6. “‘Para bhikkhu, perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku ucapan yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku ucapan yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku ucapan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang mengucapkan kebohongan; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, [48] atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu;’ tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat;' dengan penuh kesadaran ia mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ia mengucapkan kata-kata jahat; ia mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, atau ia mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang rukun, seorang pembuat perpecahan, yang menikmati perselisihan, bergembira dalam perselisihan, bersukacita dalam perselisihan, pengucap kata-kata yang menciptakan perselisihan. Ia berkata kasar; ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakiti orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang konsentrasi. Ia adalah seorang penggosip; ia berbicara di waktu yang salah, mengatakan apa yang tidak benar, mengatakan hal yang tidak berguna, mengatakan yang berlawanan dengan Dhamma dan Disiplin; pada waktu yang salah, ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, melampaui batas, dan tidak bermanfaat. Perilaku-perilaku ucapan demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku ucapan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang, dengan meninggalkan kebohongan, menghindari ucapan salah; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu;’ tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat;’ [49] ia tidak dengan penuh kesadaran mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Dengan meninggalkan kata-kata jahat, ia menghindari kata-kata jahat; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menciptakan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat. Perilaku-perilaku ucapan demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku ucapan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku ucapan adalah salah satu atau yang lainnya.’
« Last Edit: 18 February 2011, 01:25:22 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #24 on: 18 February 2011, 09:54:14 PM »
5. “‘Para bhikkhu, perilaku jasmani ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku jasmani adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

7. “‘Perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perilaku pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang tidak boleh dilatih. Tetapi perilaku pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perilaku yang harus dilatih.

“Dan perilaku pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang bersifat tamak; ia tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘O, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Atau ia memiliki pikiran berniat buruk dan niat membenci [50] sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh dan disembelih, semoga mereka dipotong, musnah, atau dibasmi!’ Perilaku-perilaku pikiran demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perilaku pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang tidak tamak; ia tidak tamak terhadap kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘O, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Pikirannya tanpa niat buruk dan ia memiliki kehendak yang bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, penderitaan, dan ketakutan! Semoga mereka hidup berbahagia!’ Perilaku-perilaku pikiran demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perilaku pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perilaku pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’

8. “‘Kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, kecenderungan pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat [51] dalam diri seseorang yang melatihnya adalah kecenderungan yang tidak boleh dilatih. Tetapi kecenderungan pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah kecenderungan yang harus dilatih.

“Dan kecenderungan pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang  tamak dan berdiam dengan pikiran penuh ketamakan; ia memiliki niat buruk dan berdiam dengan pikiran penuh niat buruk; ia kejam dan berdiam dengan pikiran penuh kekejaman. [ ]Kecenderungan pikiran demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan kecenderungan pikiran yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang [ ]tidak tamak dan berdiam dengan pikiran terlepas dari ketamakan; ia tidak memiliki niat buruk dan berdiam dengan pikiran terlepas dari niat buruk; ia tidak kejam dan berdiam dengan pikiran terlepas dari kekejaman. Kecenderungan pikiran demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, kecenderungan pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan kecenderungan pikiran adalah salah satu atau yang lainnya.’

9. “‘Perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perolehan persepsi yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan persepsi yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan persepsi yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang [ ]tamak dan berdiam dengan persepsi penuh ketamakan; ia memiliki niat buruk dan berdiam dengan persepsi penuh niat buruk; ia kejam dan berdiam dengan persepsi penuh kekejaman. Perolehan persepsi demikian adalah penyebab bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perolehan persepsi yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang [ ]tidak tamak dan berdiam dengan persepsi terlepas dari ketamakan; ia tidak memiliki niat buruk dan berdiam dengan persepsi terlepas dari niat buruk; ia tidak kejam dan berdiam dengan persepsi terlepas dari kekejaman. Perolehan persepsi demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan persepsi ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan persepsi adalah salah satu atau yang lainnya.’ [52]


-----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #25 on: 19 February 2011, 12:49:23 AM »
Lanjutann 114  Sevitabbāsevitabba Sutta
-----------------------------------------------------

10. “‘Perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, perolehan pandangan yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan persepsipandangan yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan pandangan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Perolehan pandangan demikian adalah penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Dan perolehan pandangan yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Di sini seseorang menganut pandangan sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan ada dunia lain; ada ibu dan ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Perolehan pandangan demikian adalah penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan pandangan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan pandangan adalah salah satu atau yang lainnya.’

11. “‘Perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan: [ ]yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, [53] perolehan kepribadian yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang tidak boleh dilatih. Tetapi perolehan kepribadian yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah perolehan yang harus dilatih.

“Dan perolehan kepribadian yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Ketika seseorang membentuk suatu perolehan kepribadian yang tunduk pada penderitaan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang dalam dirinya, menghalanginya dari pencapaian kesempurnaan.

“Dan perolehan kepribadian yang bagaimanakah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya? Ketika seseorang membentuk suatu perolehan kepribadian yang bebas dari penderitaan, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah dalam dirinya, memungkinkannya pencapaian kemuliaan.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘Para bhikkhu, perolehan kepribadian ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Dan perolehan kepribadian adalah salah satu atau yang lainnya.’

12. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN PERTAMA)

13. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

14-20. [54,55] (Dalam paragraf-paragraf ini Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§5-11, dengan menggantikan “Yang Mulia” menjadi “Sāriputta” dan oleh “oleh Sang Bhagavā” menjadi “oleh-Ku.”)

21. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PEMBABARAN KE DUA)

22. “Sariputta, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. [ ]Suara-suara yang dikenali oleh telinga ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Bau-bauan yang dikenali oleh hidung ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Objek sentuhan yang dikenali oleh badan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.”

(PENJELASAN KE DUA)

23. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut:

24. “‘Sāriputta, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

25. “‘Suara-suara yang dikenali oleh telinga ada dua jenis, Aku katakan.’

26. “‘Bau-bauan yang dikenali oleh hidung ada dua jenis, Aku katakan.’ … [57]

27. “‘Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ada dua jenis, Aku katakan.’

28. “‘Objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan ada dua jenis, Aku katakan.’

29. “‘Objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: ‘objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

30. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN KE DUA)

31. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

32-37. (Dalam paragraf-paragraf ini, Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§24-29, dengan penggantian kata seperlunya.)

38. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PEMBABARAN KE TIGA)

39. “Sāriputta, jubah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Makanan ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Tempat tinggal ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Desa ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Pemukiman ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Kota ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Wilayah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih. Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.” [59]

40. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut:

41. “‘Sāriputta, jubah ada dua jenis, Aku katakan: [56] yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, jubah yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi jubah yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: jubah ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

42. “‘Makanan ada dua jenis, Aku katakan.’

43. “‘Tempat tinggal ada dua jenis, Aku katakan.’

44. “‘Desa ada dua jenis, Aku katakan.’

45. “‘Pemukiman ada dua jenis, Aku katakan.’

46. “‘Kota ada dua jenis, Aku katakan.’

47. “‘Wilayah ada dua jenis, Aku katakan.’

48. “‘Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’ Demikianlah dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Yang Mulia, [pergaulan dengan] orang-orang yang menjadi penyebab bagi bertambahnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan berkurangnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah tidak boleh dilatih. Tetapi [pergaulan dengan] orang-orang yang menjadi penyebab bagi berkurangnya kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan bertambahnya kondisi-kondisi yang bermanfaat dalam diri seseorang yang melatihnya adalah harus dilatih.

“Demikianlah, adalah sehubungan dengan hal ini maka Sang Bhagavā mengatakan: Orang ada dua jenis, Aku katakan: yang harus dilatih dan yang tidak boleh dilatih.’

49. “Yang Mulia, aku memahami secara terperinci makna dari ucapan Sang Bhagavā, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, seperti demikian.”

(PENYETUJUAN DAN RANGKUMAN KE TIGA)

50. “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami makna secara terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, sebagai berikut.

51-58. (Dalam paragraf-paragraf ini, Sang Buddha mengulangi kata demi kata dari §§41-48, dengan penggantian kata seperlunya.) [60]

59. “Sāriputta, makna terperinci dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, harus dipahami demikian.

(PENUTUP)

60.  “Sariputta, jika seluruh para mulia memahami makna secara terperinci demikian dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. [ ]Jika seluruh para brahmana … seluruh para pedagang … seluruh para pekerja memahami makna secara terperinci demikian dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, raja-raja dan rakyatnya, memahami makna secara terperinci demikian dari ucapan-Ku, yang Kusampaikan secara ringkas, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia ini untuk waktu yang lama.” [61]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko indra, yg no. 10 yg satu pencapaian kesempurnaan, satunya lagi pencapaian kemuliaan. apa dari englishnya memang beda? no. 14-20, kata oleh yg sblm tanda kurung itu memang ada jugakah?
« Last Edit: 19 February 2011, 01:11:15 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #26 on: 19 February 2011, 01:51:00 AM »
115  Bahudhātuka Sutta
Banyak Jenis Unsur


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketakutan apa pun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; kesulitan apa pun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; bencana apa pun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Seperti halnya sebuah lumbung yang terbuat dari rumpun gelagah atau rerumputan akan membakar bahkan rumah-rumah beratap lancip, dengan dinding yang diplester luar dan dalam, yang tertutup, terkunci dengan palang, dengan jendela berpenutup; demikian pula, Para bhikkhu, ketakutan apa pun yang muncul … semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Demikianlah si dungu membawa ketakutan, si bijaksana tidak membawa ketakutan; si dungu membawa kesulitan, si bijaksana tidak membawa kesulitan; si dungu membawa bencana, si bijaksana tidak membawa bencana. Tidak ada ketakutan yang datang dari si bijaksana, tidak ada kesulitan yang datang dari si bijaksana, tidak ada bencana yang datang dari si bijaksana. Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus menjadi orang bijaksana, kami harus menjadi penyelidik.’” [62]

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dengan cara bagaimanakah, Yang Mulia, seorang bhikkhu dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik?”

“Ketika, Ānanda, seorang bhikkhu terampil dalam unsur-unsur, terampil dalam landasan-landasan, terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan, terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin, dengan cara itulah ia dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik.”

(UNSUR-UNSUR)

4. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Terdapat, Ānanda, delapan belas unsur ini: unsur mata, unsur bentuk, unsur kesadaran-mata; unsur telinga, unsur suara, unsur kesadaran-telinga; unsur hidung, unsur bau-bauan, unsur kesadaran-hidung; unsur lidah, unsur rasa kecapan, unsur kesadaran-lidah; unsur badan, unsur objek sentuhan, unsur kesadaran-badan; unsur pikiran, unsur objek-pikiran, unsur kesadaran-pikiran. Ketika ia mengetahui dan melihat kedelapan belas unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

5. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

6. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur kenikmatan, unsur kesakitan, unsur kegembiraan, unsur kesedihan, unsur keseimbangan, dan unsur kebodohan. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

7. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur keinginan indria, unsur pelepasan keduniawian, unsur niat buruk, unsur tanpa niat buruk, [63] unsur kekejaman, dan unsur tanpa-kekejaman. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

8. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, tiga unsur ini: unsur alam-indria, unsur materi halus, dan unsur tanpa materi. Ketika ia mengetahui dan melihat ketiga unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

9. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, dua unsur ini: unsur terkondisi dan unsur tidak terkondisi. Ketika ia mengetahui dan melihat kedua unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

(LANDASAN-LANDASAN)

10. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan?”

“Terdapat, Ānanda, enam landasan indria internal dan eksternal ini: mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek-objek sentuhan, pikiran dan objek-objek pikiran. [ ]Ketika ia mengetahui dan melihat keenam landasan internal dan eksternal ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan.”

(SEBAB-AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN)

11. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengetahui sebagai berikut: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [terjadi]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka [64] penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan terjadi. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam sebab-akibat yang saling bergantungan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #27 on: 19 February 2011, 02:35:16 AM »
(YANG MUNGKIN DAN YANG TIDAK MUNGKIN)

12. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apa pun sebagai kekaltidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap bentukan apa pun sebagai kekalada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apa pun sebagai menyenangkantidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap bentukan apa pun sebagai menyenangkanada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap apa pun sebagai diritidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap sesuatu sebagai diriada kemungkinan seperti itu.’

13. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ibunyatidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ibunyaada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahanttidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahantada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat melukai seorang Tathāgata hingga berdarahtidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat melukai seorang Tathāgata hingga berdarahada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru laintidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru lainada kemungkinan seperti itu.’

14. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem duniatidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul [ ]dalam satu sistem duniaada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem duniatidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul dalam satu sistem duniaada kemungkinan seperti itu.’

15. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurnatidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang [ ]laki-laki dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurnaada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Sakka [66] … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Brahmātidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang laki-laki dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Sakka … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Brahmāada kemungkinan seperti itu.’

16. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salahtidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salahada kemungkinan seperti itu.’

17. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik… perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baiktidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik … perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baikada kemungkinan seperti itu.’

18. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … [67] menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surgatidak ada kemungkinan seperti itu.’ [ ]Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakaada kemungkinan seperti itu.’

19. Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan benar dalam jasmani … [67] menekuni perbuatan benar dalam ucapan … menekuni perbuatan benar dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakatidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salahbenar dalam jasmani … menekuni perbuatan salahbenar dalam ucapan … menekuni perbuatan salahbenar dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surgaada kemungkinan seperti itu.’

“Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.”

(PENUTUP)

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini, Ānanda, sebagai ‘Banyak Jenis Unsur’ dan sebagai ‘Empat Putaran’ [ ]dan sebagai ‘Cermin Dhamma’ dan sebagai ‘Tambur Keabadian’ dan sebagai ‘Kemenangan Tertinggi dalam Peperangan’.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #28 on: 19 February 2011, 01:33:30 PM »
116  Isigili Sutta
Isigili: Kerongkongan Para Petapa

[68] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di IsigiliKerongkongan Para Petapa. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat Gunung Vebhāra itu?”“Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vebhāra itu. Apakah kalian melihat, Para bhikkhu, Gunung Paṇḍava itu?”“Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Paṇḍava itu. Apakah kalian melihat, Para bhikkhu, Gunung Vepulla itu?”“Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vepulla itu. Apakah kalian melihat, Para bhikkhu, Gunung Gijjhakuṭa ituPuncak Nasar itu?”“Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Gijjhakuṭa ituPuncak Nasar itu. Apakah kalian melihat, Para bhikkhu, Gunung Isigili ituKerongkongan Para petapa?”“Ya, Yang Mulia.”

3. “Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung IsigiliKerongkongan Para Petapa itu. Karena di masa lalu lima ratus paccekabuddha [ ]menetap lama di gunung ini, Kerongkongan Para Petapa ini. Mereka terlihat memasuki bukit ini; begitu masuk, mereka tidak terlihat lagi. Orang-orang yang menyaksikan ini berkata: ‘Gunung ini menelan para petapa ini.’ [ ]Dan oleh karena itulah maka dinamakan ‘Kerongkongan Para Petapa’. Aku akan memberi tahu kalian, Para bhikkhu, nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan menyampaikan kepada kalian nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan mengajarkan kepada kalian [69] nama-nama para paccekabuddha ini. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Paccekabuddha Ariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Upariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Tagarasikhin  … Yasassin … Sudassana … Piyadassin … Gandhāra … Piṇḍola … Upāsabha … Nītha … Tatha … Sutavā … Bhāvitatta menetap lama di Gunung Isigili.

5.    “Makhluk-makhluk suci ini, tanpa keinginan, bebas dari penderitaan,
   Yang masing-masing mencapai pencerahan oleh dirinya sendiri
   Dengarkanlah Aku mengucapkan nama-nama orang-orang ini, Yang Termulia
   Di antara manusia, yang telah mencabut anak panah [kesakitan].

   Ariṭṭha, Upariṭṭha, Tagarasikhin, Yasassin,
   Sudassana, dan Piyadassin yang tercerahkan,
   Gandhāra, Piṇḍola, serta Upāsabha,
   Nītha, Tathā, Sutava, Bhāvitatta. [70]

6.    “Sumbha, Subha, Methula, dan Aṭṭhama,
   Kemudian Assumegha, Anīgha, Sudāṭha
   Dan Hingū, dan Hinga, yang sangat perkasa,
   Para paccekabuddha yang telah menghancurkan saluran menuju penjelmaan.

   Dua bijaksana bernama Jāli, dan Aṭṭhaka,
   Kemudian Kosala yang tercerahkan, kemudian Subāhu,
   Upanemi, dan Nemi, dan Santacitta
   Baik dan benar, bersih dan bijaksana.

   Kāḷa, Upakāḷa, Vijita, dan Jita;
   Anga, dan Panga, dan Gutijjita juga;
   Passin menaklukkan perolehan, akar penderitaan;
   Aparājita menaklukkan kekuatan Māra.

   Satthar, Pavattar, Sarabhanga, Lomahaṁsa,
   Uccangamāya, Asita, Anāsava,
   Manomaya, dan Bhandumant yang bebas dari kebanggaan,
   Tadādhimuta tanpa noda dan gemilang;

   Ketumbarāga, Mātanga, dan Ariya,
   Kemudian Accuta, Accutagāma, Byāmaka,
   Sumangala, Dabbila, Supatiṭṭhita,
   Asayha, Khemābhirata, dan Sorata,

   Durannaya, Sangha, dan kemudian Ujjaya;
   Sang bijaksana lainnya, pejuang mulia.
   Dan dua belas di antaranyapara Ānanda, Nanda, dan Upananda
   Dan Bhāradvāja yang membawa jasmani terakhirnya;

   Kemudian Bodhi, Mahānāma yang tertinggi,
   Bhāradvāja dengan kepala berambut indah;
   Tisa dan Upatissa yang tidak terikat pada penjelmaan;
Upasīdarin, dan Sidarin, yang bebas dari keinginan.

   Mangala yang tercerahkan, bebas dari nafsu;
   Usabha memotong jaring, akar penderitaan.
   Upanita mencapai kondisi kedamaian,
   Murni, unggul, dinamai dengan benar.

   Jeta, Jayanta, Paduma, dan Uppala,
   Padumuttara, Rakkhita, dan Pabbata, [71]
   Mānatthaddha yang agung, Vītarāga
   Dan Kaṇha yang tercerahkan dengan pikiran terbebaskan.

7.   “Orang-orang ini dan juga para paccekabuddha lainnya yang mulia dan perkasa
   Yang tidak lagi mengarah menuju penjelmaan
   Hormatilah para bijaksana ini yang, setelah menyeberangi segala ikatan,
   Telah mencapai Nibbāna akhir, melampaui segala ukuran.”

ko, Tatha Sutavā atau Tathā Sutava?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #29 on: 19 February 2011, 03:38:34 PM »
117  Mahācattarisaka Sutta
Empat Puluh Besar


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang konsentrasi benar yang mulia dan pendukung serta perlengkapannya. [ ]Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Apakah, Para bhikkhu, konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung serta perlengkapannya, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan perhatian benar? Keterpusatan pikiran yang dilengkapi dengan ketujuh faktor ini disebut konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung serta perlengkapannya.

(PANDANGAN)

4. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama.  Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

5. “Dan apakah, Para bhikkhu, pandangan salah? ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada [72] para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah pandangan salah.

6. “Dan apakah, Para bhikkhu, pandangan benar? Pandangan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; [ ]dan ada pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

7. “Dan apakah, Para bhikkhu, pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

8. “Dan apakah, Para bhikkhu, pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Kebijaksanaan, indria kebijaksanaan, kekuatan kebijaksanaan, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, faktor sang jalan pandangan benar dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: [ ]ini adalah pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

9. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan pandangan salah dan memasuki pandangan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam pandangan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling pandangan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(KEHENDAK)

10. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami kehendak salah sebagai kehendak salah dan kehendak benar sebagai kehendak benar: ini adalah [73] pandangan benar seseorang.

11. “Dan apakah, Para bhikkhu, kehendak salah? Kehendak keinginan indria, kehendak niat buruk, dan kehendak kekejaman: ini adalah kehendak salah.

12. “Dan apakah, Para bhikkhu, kehendak benar? Kehendak benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan dan ada kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

13. “Dan apakah, Para bhikkhu, kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa kekejaman: [ ]ini adalah kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda ... matang dalam perolehan.

14. “Dan apakah, Para bhikkhu, kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemikiran, pikiran, kehendak, pencerapan pikiran, ketetapan pikiran, pengarahan pikiran, bentukan ucapan dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: [ ]ini adalah kehendak benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

15. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan kehendak salah dan memasuki kehendak benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan kehendak salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam kehendak benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling kehendak benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(UCAPAN)

16. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami ucapan salah sebagai ucapan salah dan ucapan benar sebagai ucapan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

17, “Dan apakah, Para bhikkhu, ucapan salah? Kebohongan, ucapan jahat, ucapan kasar, dan gosip: ini adalah ucapan salah.

18. “Dan apakah, Para bhikkhu, ucapan benar? Ucapan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan dan ada [74] ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

19. “Dan apakah, Para bhikkhu, ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip: ini adalah ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

20. “Dan apakah, Para bhikkhu, ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari empat jenis perilaku ucapan yang salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku ucapan yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: [ ]ini adalah ucapan benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

21. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan ucapan salah dan memasuki ucapan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan ucapan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam ucapan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling ucapan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #30 on: 19 February 2011, 04:38:33 PM »
(PERBUATAN)

22. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami perbuatan salah sebagai perbuatan salah dan perbuatan benar sebagai perbuatan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

23, “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan salah? Membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan salah.

24. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar? Perbuatan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

25. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria: ini adalah perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.

26. “Dan apakah, Para bhikkhu, perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari tiga jenis perilaku jasmani yang salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku jasmani yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah perbuatan [ ]benar [75] yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.
 
27. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan memasuki perbuatan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan perbuatan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam perbuatan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling perbuatan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(PENGHIDUPAN)

28. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami penghidupan salah sebagai penghidupan salah dan penghidupan benar sebagai penghidupan benar: ini adalah pandangan benar seseorang.

29. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan salah? Menipu, membujuk, mengisyaratkan, merendahkan, mengejar keuntungan dengan keuntungan: ini adalah penghidupan salah.

30. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar? Penghidupan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan.

31. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Di sini, Para bhikkhu, seorang siswa mulia meninggalkan penghidupan salah dan memperoleh penghidupannya melalui penghidupan benar: ini adalah penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda ... matang dalam perolehan.

32. “Dan apakah, Para bhikkhu, penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui duniawi, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari penghidupan salah, penjauhan, penahanan diri, penghindaran dari penghidupan salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah penghidupan benar yang mulia ... sebuah faktor dari sang jalan.

33. “Seseorang berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Dengan penuh perhatian meninggalkan penghidupan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam penghidupan benar: ini adalah perhatian benar seseorang. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling penghidupan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

(EMPAT PULUH BESAR)

34. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? [76] Pada seorang yang memiliki pandangan benar, muncul kehendak benar; [ ]pada seorang yang memiliki kehendak benar, muncul ucapan benar; pada seorang yang memiliki ucapan benar, muncul perbuatan benar; pada seorang yang memiliki perbuatan benar, muncul penghidupan benar; pada seorang yang memiliki penghidupan benar, muncul usaha benar; pada seorang yang memiliki usaha benar, muncul perhatian benar; pada seorang yang memiliki perhatian benar, muncul konsentrasi benar; pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, muncul pengetahuan benar; pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, muncul pembebasan benar. Demikianlah, Para bhikkhu, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki delapan faktor, Arahant memiliki sepuluh faktor.

35. “Di sana, Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Dan bagaimanakah pandangan benar muncul dalam urutan pertama? Pada seorang yang memiliki pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki kehendak benar, kehendak salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

“Pada seorang yang memiliki ucapan benar, ucapan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perbuatan benar, perbuatan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki penghidupan benar, penghidupan salah dilenyapkan [77] … Pada seorang yang memiliki usaha benar, usaha salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki perhatian benar, perhatian salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, konsentrasi salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, pengetahuan salah dilenyapkan … Pada seorang yang memiliki pembebasan benar, pembebasan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pembebasan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

36. “Demikianlah, Para bhikkhu, terdapat dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat, dan terdapat dua puluh faktor pada sisi bermanfaat. [ ]Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini telah diputar dan tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā mana pun atau siapa pun di dunia.

37. “Para bhikkhu, jika petapa atau brahmana mana pun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini. Jika yang mulia itu mencela pandangan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pandangan salah. Jika yang mulia itu mencela kehendak benar, [78] maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki kehendak salah. Jika yang mulia itu mencela ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar … pengetahuan benar … pembebasan benar, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pembebasan salah. Jika petapa atau brahmana mana pun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini.

38. “Para bhikkhu, bahkan para guru dari Okkala, Vassa, dan Bhañña, [ ]yang menganut doktrin nonkausalitas, doktrin tidak-berbuat, dan doktrin nihilisme, tidak akan berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak. Mengapakah? Karena takut disalahkan, diserang, dan dibantah.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #31 on: 19 February 2011, 05:00:57 PM »
Tatha … Sutavā

Offline blood_demon

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 371
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • Om guru lian shen sidhi hum
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #32 on: 19 February 2011, 06:04:48 PM »
118  Ānāpānasati Sutta
Perhatian pada Pernafasan


9. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – para bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

15. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi empat landasan perhatian. Ketika empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka hakl itu memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.

17. “Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

« Last Edit: 19 February 2011, 06:07:39 PM by blood_demon »
Om guru lian shen sidhi hum

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #33 on: 19 February 2011, 07:04:15 PM »
118  Ānāpānasati Sutta
Perhatian pada Pernapasan


(BAGIAN PENDAHULUAN)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra, bersama dengan banyak siswa senior terkenalYang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Mahā Kaccāna, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita, Yang Mulia Mahā Kappina, Yang Mulia Mahā Cunda, [79] Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa senior terkenal lainnya.

2. Pada saat itu, para bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior sedang mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, telah mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

3. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama dalam upacara PavāraṇāSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Aku puas dengan kemajuan ini. Pikiran-Ku puas dengan kemajuan ini. Maka bangkitkanlah lebih banyak kegigihan lagi untuk mencapai yang belum tercapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk menembus apa yang belum ditembus. Aku akan tetap berada di sini di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.”

5. Para bhikkhu dari luar kota mendengar: “Sang Bhagavā akan tetap berada di Sāvatthī hingga bulan purnama Komudī di bulan ke empat.” Dan para bhikkhu dari luar kota datang ke Sāvatthī untuk menemui Sang Bhagavā.

6. Dan para bhikkhu senior semakin intensif mengajar dan memberikan instruksi kepada para bhikkhu baru; beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada sepuluh bhikkhu, beberapa bhikkhu senior mengajar dan memberikan instruksi kepada dua puluh bhikkhu … tiga puluh … empat puluh bhikkhu. Dan para bhikkhu baru itu, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh para bhikkhu senior, [80] mencapai tingkat-tingkat keluhuran tinggi berturut-turut.

7. Pada saat ituhari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama Komudī di bulan ke empatSang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata sebagai berikut:

8. “Para bhikkhu, kelompok ini bebas dari obrolan, kelompok ini bebas dari para pengoceh. Murni terdiri dari inti kayu. Demikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang demikian adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia inidemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga pemberian kecil yang diberikan kepada kelompok itu akan menjadi besar dan pemberian besar menjadi lebih besardemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga jarang terlihat di dunia inidemikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini. Kelompok yang sedemikian sehingga layak menempuh perjalanan sejauh banyak liga dengan membawa tas perjalanan untuk menemuinyademikianlah Sangha para bhikkhu, demikianlah kelompok ini.

9. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhirpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

10. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itupara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

11. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan dengan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, telah menjadi yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke alam ini [81] untuk mengakhiri penderitaanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

12. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi jatuh ke dalam kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

13. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan empat landasan perhatianpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni empat jenis usaha benar … empat landasan kekuatan batin … lima indria … lima kekuatan … tujuh faktor pencerahan … Jalan Mulia Berunsur Delapanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini.

14. “Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan cinta-kasih [82] … belas kasihan … kegembiraan altruistik … keseimbangan … meditasi kejijikan … persepsi ketidakkekalanpara bhikkhu demikian ada dalam Sangha para bhikkhu ini. Dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang berdiam dengan menekuni pengembangan perhatian pada pernapasan.

(PERHATIAN PADA PERNAPASAN)

15. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu berbuah besar dan bermanfaat besar. Ketika perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi empat landasan perhatian. Ketika empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka hal itu memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.

16. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar?

17. “Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan napas.

18. “Menarik napas panjang, ia memahami: [ ]‘Aku menarik napas panjang;’ atau mengembuskan napas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik napas pendek;’ atau mengembuskan napas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas].’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

19. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kegembiraan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraan.’ [ ]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kenikmatan;’ [83] ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kenikmatan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin.’
« Last Edit: 19 February 2011, 07:21:24 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #34 on: 20 February 2011, 01:48:03 AM »
20. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran.’

21. “Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan ketidakkekalan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya;’ ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya.’

22. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernapasan dikembangkan dan dilatih, sehingga berbuah besar dan bermanfaat besar.

(MEMENUHI EMPAT LANDASAN PERHATIAN)

23. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada pernapasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian?

24. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu, dengan menarik napas panjang, memahami: ‘Aku menarik napas panjang,’ atau dengan mengembuskan napas panjang, memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang;’ dengan menarik napas pendek, memahami: ‘Aku menarik napas pendek,’ atau dengan mengembuskan napas pendek, memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh [napas];’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu tubuh tertentu di antara tubuh-tubuh, yaitu napas-masuk dan napas-keluar. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

25. “Para bhikkhu, kapan pun [84] seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan mengalami kegembiraan;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kegembiraankenikmatan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kegembiraankenikmatan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin’—pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku katakan bahwa ini adalah suatu perasaan tertentu di antara perasaan-perasaan, yaitu mengamati dengan saksama pada napas-masuk dan napas-keluar. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

26. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan mengalami pikiran;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Aku tidak mengatakan bahwa ada pengembangan perhatian pada pernapasan pada seseorang yang lengah, yang tidak penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

27. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas panjang dengan merenungkan ketidakkekalan;’[’] berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya;’ [ ]berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya;’ berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya’pada saat itu, ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Setelah melihat dengan kebijaksanaan pada ditinggalkannya ketamakan dan kesedihan, [85] ia mengamati secara saksama dengan keseimbangan. [ ]Itulah sebabnya maka pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

28. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana perhatian pada pernapasan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat landasan perhatian.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #35 on: 20 February 2011, 02:38:15 AM »
Lanjutan 118  Ānāpānasati Sutta
------------------------------------------

(MEMENUHI TUJUH FAKTOR PENCERAHAN)

29. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan?

30. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan duniapada saat itu, perhatian yang tanpa mengendur kukuh dalam dirinya. Kapan pun perhatian yang tanpa mengendur kukuh dalam diri seorang bhikkhupada saat itu, faktor pencerahan perhatian muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

31. “Dengan berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya. Kapan pun, dengan [ ]berdiam penuh perhatian demikian, ia menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnyapada saat itu, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

32. “Dalam diri seseorang yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnya, maka kegigihan tanpa lelah dibangkitkan. Kapan pun kegigihan tanpa lelah dibangkitkan dalam diri seorang bhikkhu yang menyelidiki dan memeriksa kondisi itu dengan kebijaksanaan dan memulai penyelidikan penuh ke dalamnyapada saat itu, faktor pencerahan kegigihan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

33. “Dalam diri seseorang yang memiliki kegigihan yang terbangkitkan, kegembiraan yang bukan duniawi muncul. Kapan pun kegembiraan yang bukan duniawi muncul dalam diri seorang bhikkhu yang telah membangkitkan kegigihan[86] pada saat itu, faktor pencerahan kegembiraan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

34. “Dalam diri seseorang yang gembira, jasmani dan pikiran menjadi tenang. Kapan pun jasmani dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang gembirapada saat itu, faktor pencerahan ketenangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

35. “Dalam diri seseorang yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kapan pun pikiran terkonsentrasi dalam diri seorang bhikkhu yang jasmaninya tenang dan yang merasakan kenikmatanpada saat itu, faktor pencerahan konsentrasi muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

36. “Ia secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapan pun seorang bhikkhu secara saksama memperhatikan dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikianpada saat itu, faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

37. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

38. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

39. “Para bhikkhu, kapan pun seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (ulangi seperti pada §§30-36) … [87] … faktor pencerahan keseimbangan muncul dalam dirinya, dan ia mengembangkannya, dan dengan pengembangan, menjadi terpenuhi dalam dirinya.

40. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana empat landasan perhatian, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan.  [88]

(MEMENUHI PENGETAHUAN DAN PEMBEBASAN SEJATI)

41. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati?

42. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. [ ]Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.

43. “Para bhikkhu, itu adalah bagaimana tujuh faktor pencerahan, yang dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan pembebasan sejati.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #36 on: 20 February 2011, 03:26:15 AM »
119  Kāyagatāsati Sutta
Perhatian pada Jasmani


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di dalam aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.”

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?” [89]

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, bagaimana hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bahwa perhatian pada jasmani, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah besar dan bermanfaat besar.’ Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

3. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, perhatian pada jasmani dikembangkan dan dilatih agar berbuah besar dan bermanfaat besar?

(PERHATIAN PADA PERNAPASAN)

4. “Di sini seorang bhikkhu, [ ]pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan  napas. Menarik napas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik napas panjang’; atau mengembuskan napas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik napas pendek’; atau mengembuskan napas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan napas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan; dengan ditinggalkannya hal-hal itu, pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(EMPAT POSTUR)

5. “Kemudian, Para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘aku sedang berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘aku sedang duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘aku sedang berbaring’; atau ia memahami bagaimanapun posisi tubuhnya. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [90]

(KEWASPADAAN PENUH)

6. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju dan mundur; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan dan ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menekuk dan meregangkan anggota-anggota badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar atau buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(KEJIJIKAN – BAGIAN-BAGIAN TUBUH)

7. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’ Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:[’] Ini adalah beras-gunung, ini adalah beras-merah, ini adalah kacang, ini adalah kacang polong, ini adalah padi-padian, ini adalah beras putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [91]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #37 on: 20 February 2011, 04:01:23 AM »
(UNSUR-UNSUR)

8. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: ‘Di dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga ditinggalkan ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(PERENUNGAN SEMBILAN TANAH PEKUBURAN)

9. “Kemudian, Para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, [  ]satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

10. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani. [92]

11-14. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai-berai berserakan ke segala arahdi sini tulang lengantangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorakseorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

15-17. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, tulang-belulang yang lebih dari setahun …, tulang-belulangnya hancur dan remuk menjadi debu, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’ Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

(JHĀNA-JHĀNA)

18. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian [ ]menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembapan membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu [93] basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

19. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingankonsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

20. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, [94] dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

21. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Ketika ia berdiam demikian dengan rajin ... Ini juga adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.


------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #38 on: 20 February 2011, 04:29:21 AM »
Lanjutan 119  Kāyagatāsati Sutta
-------------------------------------------

(KEMAJUAN MELALUI PERHATIAN PADA JASMANI)

22. “Para bhikkhu, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apa pun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati. [ ]Seperti halnya siapa pun juga yang memperluas pikirannya menjangkau samudra raya telah memasukkan dalam pikirannya sungai-sungai apa pun juga yang mengalir ke samudra; demikian pula, siapa pun juga yang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani telah memasukkan ke dalam dirinya kondisi-kondisi bermanfaat apa pun juga yang berhubungan dengan pengetahuan sejati.

23. “Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebongkah bola batu berat ke atas gundukan tanah liat yang basah. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah bola berat itu akan masuk ke dalam gundukan tanah liat basah itu?”“Benar, Yang Mulia.”[95] “Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

24. “Misalkan terdapat sepotong kayu kering tanpa getah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan sepotong kayu kering tanpa getah itu dengan kayu api sebelah atas?”“Dapat, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

25. “Misalkan terdapat sebuah kendi air yang kosong di letakkan di atas sebuah bidang, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?”“Dapat, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

26. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya. Misalkan seseorang melemparkan sebuah bola benang yang ringan pada sebidang daun pintu yang terbuat dari inti kayu. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah bola benang yang ringan itu dapat masuk menembus daun pintu yang terbuat dari inti kayu itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.
 
27. “Misalkan terdapat sepotong kayu basah bergetah, dan seseorang datang membawa kayu api sebelah atas, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ [96] Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkannya dengan [ ]sepotong kayu basah bergetah itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

28. “Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya, dan seseorang datang dengan membawa persediaan air. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu menuangkan air ke dalam kendi itu?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka Māra tidak memperoleh kesempatan dan dukungan dalam dirinya.

29. “Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apa pun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai. Misalkan, di atas sebuah bidang, terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Jika seorang kuat menepuknya, apakah air itu akan memercik keluar?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, jika ia mengarahkan pikirannya pada pencapaian apa pun yang dapat dicapai melalui pengetahuan langsung, maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

30. “Misalkan terdapat sebuah kolam persegi empat di atas tanah datar, dikelilingi oleh dinding, penuh dengan air hingga ke pinggirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya. Ketika seorang kuat melepaskan dindingnya, apakah airnya akan keluar?”“Ya, Yang Mulia.”“Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

31. “Misalkan terdapat sebuah kereta di atas tanah datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda dari keturunan murni, menunggu dengan tongkat kendali siap digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang di tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, mengendarainya ke sana kemari melalui jalan-jalan yang ia pilih. [“]Demikian pula, Para bhikkhu, jika seseorang telah mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani … maka ia mencapai kemampuan untuk melihat aspek apa pun di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

(MANFAAT DARI PERHATIAN PADA JASMANI)

32. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan. Apakah sepuluh ini?

33. (i) “Seseorang menjadi penakluk ketidakpuasan dan kesenangan, dan ketidakpuasan tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketidakpuasan pada saat munculnya.

34. (ii) “Seseorang menjadi penakluk ketakutan dan kekhawatiran, dan ketakutan dan kekhawatiran tidak menaklukkan dirinya; ia berdiam setelah mengatasi ketakutan dan kekhawatiran pada saat munculnya.

35. (iii) “Seseorang menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, dan kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan ucapan-kasar, kata-kata yang tidak menyenangkan dan perasaan jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan.

36. (iv) “Seseorang sesuai kehendaknya dan tanpa kesulitan atau kesusahan memperolah empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan [98] memberikan kediaman yang nyaman di sini dan saat ini.

37. (v) “Seseorang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … (seperti Sutta 108, §18) … ia mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahmā.

38. (vi) “Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengarkan kedua jenis suara, surgawi dan manusia, suara-suara yang jauh maupun dekat.

39. (vii) “Seseorang memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu … (seperti Sutta 108, §20) … pikiran tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.

40. (viii) “Seseorang mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, [99] satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampaunya.

41. (ix) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk-rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai perbuatan mereka.

42. (x) “Dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

43. “Para bhikkhu, ketika perhatian pada jasmani telah berulang-ulang dipraktikkan, dikembangkan, dilatih, digunakan sebagai kendaraan, digunakan sebagai landasan, ditegakkan, digabungkan, dan dijalankan dengan baik, maka sepuluh manfaat ini dapat diharapkan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #39 on: 20 February 2011, 04:56:10 AM »
120  Sankhārupapatti Sutta
Kemunculan Kembali Melalui Aspirasi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kemunculan kembali sesuai dengan aspirasi seseorang. [ ]Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia.” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para mulia kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. [100] Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

4-5. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para brahmana kaya! … di tengah-tengah para perumah tangga kaya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Empat Raja Dewa berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga … para Yāma … para dewa di alam surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa yang menguasai ciptaan dewa lainnya!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan [101] … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. [ ]Bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan sebutir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Seribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

13-16. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Dua Ribu … Brahmā Tiga Ribu … Brahmā Empat Ribu … Brahmā Lima Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia lima ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan seseorang dengan penglihatan baik meletakkan lima butir biji kecil di tangannya dan memeriksanya, demikianlah Brahmā Lima Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia Lima Ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Lima Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Sepuluh Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi [102] satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Sepuluh Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia sepuluh ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Sepuluh Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa Brahmā Seratus Ribu berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bagaikan sebuah perhiasan terbuat dari emas terbaik, yang dengan sangat terampil ditempa di atas tungku oleh seorang pengrajin emas yang cerdas, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikianlah Brahmā Seratus Ribu berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia seratus ribu alam, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana. Bhikkhu itu berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah Brahmā Seratus Ribu!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

19-32. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa Bercahaya  … para dewa dengan Cahaya Terbatas … para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas … para dewa dengan Cahaya Gemilang … para Dewa Agung … para dewa dengan Keagungan Terbatas … para dewa dengan Keagungan Tanpa Batas … para dewa dengan Keagungan Gemilang … [103] … para dewa dengan Buah Besar … para dewa Aviha … para dewa Atappa … para dewa Sudassa … para dewa Sudassī … para dewa Akaniṭṭha berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa Akaniṭṭha!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu … Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

33-36. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan … kebijaksanaan. Ia mendengar bahwa para dewa di alam landasan ruang tanpa batas … para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas … para dewa di alam landasan kekosongan … para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berpikir: ‘O, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Aku dapat muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ Ia mengarahkan pikirannya pada hal itu, bertekad padanya, mengembangkannya. Aspirasi-aspirasinya ini dan tekadnya yang tidak berubah ini, yang dikembangkan dan dilatih demikian, menuntun menuju kemunculan kembali di sana. Ini, Para bhikkhu, adalah jalan, cara yang mengarah pada kemunculan kembali di sana.

37. “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berpikir: ‘O, bahwa dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, aku di sini dan saat ini dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ Dan dengan menembusnya dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Para bhikkhu, bhikkhu ini sama sekali tidak muncul kembali di mana pun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


yg no. 33-36.
“Kemudian, seorang bhikkhu  … para dewa di alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa <= ada ini juga?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #40 on: 20 February 2011, 01:48:25 PM »
121  Cūḷasuññata Sutta
Khotbah Pendek tentang Kekosongan


[104] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya, mendatangi Sang Bhagavā, setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Yang Mulia, pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Nagaraka. Di sana, Yang Mulia, aku mendengar dan mempelajari hal ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sekarang, Ānanda, Aku sering berdiam dalam kekosongan.’ [ ]Apakah aku mendengar dengan benar, Yang Mulia, apakah aku mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar?”

“Tentu saja, Ānanda, engkau mendengar hal itu dengan benar, mempelajarinya dengan benar, memperhatikannya dengan benar, mengingatnya dengan benar. Seperti sebelumnya, Ānanda, demikian pula sekarang aku juga sering berdiam dalam kekosongan.

4. “Ānanda, seperti halnya istana Ibunya Migāra ini kosong dari gajah-gajah, sapi-sapi, kuda-kuda jantan, dan kuda-kuda betina, kosong dari emas dan perak, kosong dari kumpulan laki-laki dan perempuan, dan hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada Sangha para bhikkhu; demikian pula, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi desa, tidak memperhatikan persepsi orang-orangmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi hutan. [ ]Pikirannya memasuki persepsi hutan itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi desa, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu,  ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’ [ ]Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi desa; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi hutan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa [105] yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

5. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi orang-orang, tidak memperhatikan persepsi hutanmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah. [ ]Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Seperti halnya kulit seekor sapi jantan menjadi bebas dari lipatan jika direntangkan dengan seratus pasak; demikian pula, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan perbukitan dan cekungan di tanah ini, tidak memperhatikan sungai-sungai dan jurang, bidang bertunggul dan berduri, pegunungan dan tempat-tempat yang tidak datarmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi tanah. Pikirannya memasuki persepsi tanah itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi orang-orang, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi orang-orang; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi tanah.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

6. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi hutan, tidak memperhatikan persepsi tanahmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas. [ ]Pikirannya memasuki persepsi landasan ruang tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi hutan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga [106] yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi hutan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

7. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi tanah, tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batasmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Pikirannya memasuki persepsi landasan kesadaran tanpa batas itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi tanah, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi tanah; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

8. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan ruang tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batasmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan. Pikirannya memasuki persepsi landasan kekosongan itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan ruang tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan ruang tanpa batas; [107] bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan kekosongan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

9. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kesadaran tanpa batas, tidak memperhatikan persepsi landasan kekosonganmemperhatikan ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Pikirannya memasuki persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kesadaran tanpa batas, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kesadaran tanpa batas; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

10. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak memperhatikan persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsimemperhatikan ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran. [ ]Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan kekosongan, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan [108] dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan kekosongan; bidang persepsi ini adalah kosong dari persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, ketergantungan tunggal pada yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, tidak menyimpang, dan murni.

11. “Kemudian, Ānanda, seorang bhikkhudengan tidak memperhatikan persepsi landasan kekosongan, tidak menuruti persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsimenuruti ketergantungan tunggal pada konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Pikirannya memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan tekad. Ia memahami: ‘Konsentrasi pikiran tanpa gambaran ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apa pun juga yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ [ ]Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

12. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda keinginan indria, gangguan itu tidak ada di sini; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda penjelmaan; Gangguan apa pun juga yang bergantung pada noda kebodohan, gangguan itu tidak ada di sini. Hanya ada gangguan ini, yaitu, [ ]yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Ia memahami: ‘Bidang persepsi ini adalah kosong dari noda keinginan indria; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda penjelmaan; bidang persepsi ini adalah kosong dari noda kebodohan. Hanya ada ketidakkosongan ini, yaitu, yang berhubungan dengan enam landasan yang bergantung pada jasmani dan dikondisikan oleh kehidupan.’ Demikianlah ia menganggapnya sebagai kosong dari apa yang tidak ada di sana, tetapi sehubungan dengan apa yang ada di sana, ia memahami apa yang ada di sana sebagai berikut: ‘Ini ada.’ Demikianlah, Ānanda, ini adalah masuknya ia ke dalam kekosongan, yang asli, [109] tidak menyimpang, dan murni, yang mulia dan tidak terlampaui.

13. “Ānanda, para petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya telah masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Para petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Para petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui, semuanya masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui yang sama ini. Oleh karena itu, Ānanda, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan masuk dan berdiam dalam kekosongan yang murni, mulia, tidak terlampaui.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #41 on: 20 February 2011, 02:12:23 PM »
122  Mahāsuññata Sutta
Khotbah Panjang tentang Kekosongan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi untuk melewatkan hari ke kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Pada saat itu, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. [ ]Ketika Sang Bhagavā melihat ini, [110] Beliau berpikir: “Ada banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

Pada saat itu, Yang Mulia Ānanda, bersama dengan banyak bhikkhu, sedang sibuk membuat jubah di Ghāṭā kediaman Sakya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi-Nya dan pergi ke Ghāṭā kediaman Sakya. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda.

“Ānanda, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

“Yang Mulia, banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Ada banyak bhikkhu menetap di sana. Ini adalah waktunya bagi kami untuk membuat jubah, Yang Mulia.”

3. “Ānanda, seorang bhikkhu tidak bersinar dengan menyenangkan teman-teman, dengan bergembira bersama teman-teman, dengan menekuni kegembiraan bersama teman-teman; dengan menyenangkan perkumpulan, dengan bergembira bersama perkumpulan, dengan menekuni kegembiraan bersama perkumpulan; sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan, akan tanpa kesulitan atau kesusahan, [ ]jika ia menghendaki, dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. [ ]Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, jika ia menghendaki maka ia akan dapat, tanpa kesulitan atau kesusahan, memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan.

4. “Sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menyenangkan teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kegembiraan bersama teman-teman; yang menyenangkan perkumpulan, yang bergembira bersama perkumpulan, yang menekuni kegembiraan bersama perkumpulan akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [ ]Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari perkumpulan, maka ia akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [111]

5. “Aku tidak melihat bahkan satu jenis bentuk pun, Ānanda, yang dari perubahannya tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan dalam diri seseorang yang menggemarinya dan bergembira di dalamnya.

6. “Akan tetapi, Ānanda, ada kediaman ini yang telah ditemukan oleh Sang Tathāgata: untuk masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal dengan tidak memperhatikan segala gambaran. [ ]Jika, sewaktu Sang Tathāgata sedang berdiam demikian, Beliau didatangi oleh para bhikkhu atau para bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki atau perempuan, oleh raja-raja atau menteri-menteri, oleh para penganut sekte lain atau murid-murid mereka, maka dengan pikiran yang bersandar pada keterasingan, cenderung dan condong pada keterasingan, menarik diri, gembira dalam pelepasan keduniawian, dan sama sekali menyingkirkan hal-hal yang menjadi landasan bagi noda-noda, Beliau tanpa mengecualikan berbicara kepada mereka dengan suatu cara yang dapat membubarkan mereka.

7. “Oleh karena itu, Ānanda, jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal,’ maka ia harus mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. Dan bagaimanakah ia mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya?

8. “Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. [112]

9. “Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. [ ]Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan. [ ]Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku tidak masuk ke dalam ketenangan atau memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

10. “Kemudian bhikkhu itu harus mengukuhkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya pada gambaran konsentrasi yang sama itu seperti sebelumnya. [ ]Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya masuk ke dalam kekosongan secara internal dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketenangan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketenangan, pikirannya masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketenangan, pikiranku masuk ke dalam ketenangan dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh atas hal itu.

11. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berjalan, maka ia berjalan, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berjalan demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ [113] Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Dan ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berdiri, maka ia berdiri … jika pikirannya condong untuk duduk, maka ia duduk … jika pikirannya condong untuk berbaring, maka ia berbaring, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berbaring demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerang.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #42 on: 20 February 2011, 03:05:13 PM »
12. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berbicara, maka ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang para raja, para perampok, para menteri, para prajurit, bahaya-bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan-kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur-sumur, orang-orang mati, hal-hal sepele, asal-mula dunia, asal-mula lautan, apakah hal-hal itu adalah demikian atau tidak demikian: pembicaraan demikian tidak akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: pembicaraan demikian akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

13. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, [114] jika pikirannya condong untuk berpikir, maka ia berketetapan: ‘Pikiran demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pikiran keinginan indria, pikiran berniat buruk, dan pikiran kekejaman: pikiran demikian tidak akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia berketetapan: ‘Pemikiran demikian adalah mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang melatihnya menuju pelenyapan penderitaan sepenuhnya, yaitu, pikiran pelepasan keduniawian, pikiran tanpa niat-buruk, dan pikiran tanpa-kekejaman: pikiran-pikiran demikian akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

14. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. [ ]Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

15. “Di sini, seorang bhikkhu harus terus-menerus memeriksa pikirannya sebagai berikut: ‘Apakah ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku?’ jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini memang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Tetapi jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Tidak ada kegelisahan pikiran sehubungan dengan landasan apa pun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

16. “Ānanda, terdapat lima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan. [ ]Sehubungan dengannya, seorang bhikkhu harus berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah [115] munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya.’

17. “Ketika ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka keangkuhan ‘aku’ yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini ditinggalkan dari dalam dirinya. Ketika itu, bhikkhu itu memahami: ‘Keangkuhan “aku” yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini, ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

18. “Kondisi-kondisi ini adalah seluruhnya bermanfaat dan memiliki hasil bermanfaat; kondisi-kondisi ini mulia, melampaui duniawi, dan tidak terjangkau oleh Yang Jahat.

19. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Kebaikan apakah yang dilihat oleh seorang siswa sehingga ia ingin berdekatan dengan Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

20. “Ānanda, seorang siswa seharusnya tidak mendekati Sang Guru demi khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan. Mengapakah? Sejak lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, menghafalkannya, membacanya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran,m dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan demikian yang membahas tentang kemurnian, yang mendukung kebebasan pikiran, dan yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi.

21. “Karena hal ini, Ānanda, kegagalan seorang guru dapat terjadi, kegagalan seorang murid dapat terjadi, dan kegagalan seorang yang menjalani kehidupan suci dapat terjadi.

22. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang guru terjadi? Di sini, seorang guru mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, [116] belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Guru ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan guru. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan guru terjadi.

23. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang murid terjadi? Seorang murid dari guru itu, meniru keterasingan gurunya, [ ]mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Murid ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan murid. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan murid terjadi.

24. “Dan bagaimanakah kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci terjadi? Di sini, seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjungi-Nya, namun ia tidak menjadi tersesat, atau menjadi dipenuhi dengan keinginan, tidak menyerah pada keinginan, dan tidak kembali kepada kemewahan. [117] Tetapi seorang murid dari guru ini, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada keinginan, dan kembali kepada kemewahan. Orang ini yang menjalani kehidupan suci dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Demikianlah terjadinya kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci memiliki akibat yang lebih menyakitkan, akibat yang lebih pahit, daripada kegagalan guru atau kegagalan murid, dan hal ini bahkan dapat mengarah menuju kesengsaraan.

25. “Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai musuh, bukan sebagai teman? Di sini, Ānanda, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya tidak ingin mendengarkan atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka melakukan kekeliruan dan berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai musuh, bukan sebagai teman.

26. “Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai teman, bukan sebagai musuh? Di sini, Ānanda. Di sini, Ānanda, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya demi belas kasihan: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya ingin mendengar dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka tidak melakukan kekeliruan dan tidak berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai teman, bukan sebagai musuh. [118] Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.

27. “Aku tidak akan memperlakukan engkau seperti seorang pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat kasar yang basah. Berulang-ulang untuk mencegah kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Berulang-ulang untuk menegur kalian, Aku [ ]akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Inti yang benar akan bertahan [terhadap pengujian].”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #43 on: 20 February 2011, 03:40:03 PM »
123  Acchariya-abbhūta Sutta
Mengagumkan dan Menakjubkan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, betapa sakti dan berkuasanya Sang Tathāgata! Karena Beliau mampu mengetahui tentang para Buddha masa lampauyang mencapai Nibbāna akhir, memotong [kekusutan] proliferasi, mematahkan siklus, mengakhiri lingkaran, dan mengatasi segala penderitaanbahwa kelahiran para Bhagavā itu adalah seperti demikian, nama mereka adalah demikian, suku mereka adalah demikian, moralitas mereka adalah demikian, kondisi [konsentrasi] mereka adalah demikian, kebijaksanaan mereka adalah demikian, kediaman mereka [di dalam pencapaian] adalah demikian, kebebasan mereka adalah demikian.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” [119]

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?”

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan ... kebebasan mereka adalah demikian.’ Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada kami: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.” Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah dengan lebih lengkap tentang kualitas-kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata.”

3. “Aku mendengar dan mempelajari ini, Yang Mulia, dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita.’ [ ]Bahwa [120] dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita. Ini kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

4. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

5. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sepanjang umur kehidupan penuh Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

6. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu-Nya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

7. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibu-Nya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunyacahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana. [ ]Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

8. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, empat dewa muda datang untuk menjaganya di empat penjuru agar tidak ada manusia atau bukan-manusia atau siapa pun dapat mencelakai Sang Bodhisatta atau ibunya.’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

9. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, sang ibu menjadi sungguh-sungguh bermoral, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku salah dalam kenikmatan indria, kebohongan, dan anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan kelengahan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [121]

10. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, tidak ada pikiran indriawi yang muncul pada ibunya sehubungan dengan laki-laki, dan ia tidak tersentuh oleh laki-laki mana pun yang memiliki pikiran bernafsu.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

11. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, sang ibu memperoleh kelima utas kenikmatan indria, dan memilikinya, ia menikmatinya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

12. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya, tidak ada penderitaan apa pun yang muncul pada sang ibu; ia bahagia dan bebas dari kelelahan jasmani. Ia melihat Sang Bodhisatta di dalam rahimnya dengan seluruh bagian-bagian tubuhnya, lengkap dengan organ-organ indria. Misalkan terdapat seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau cokelat menembus mengikat sebuah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, dan seseorang yang berpenglihatan baik, memegangnya dengan tangannya, mengamatinya sebagai berikut: “Ini adalah permata beryl yang indah sebening air yang paling jernih, bersisi-delapan, dipotong dengan baik, jernih dan cemerlang, memiliki segala kualitas baik, dan seutas benang berwarna biru, kuning, merah, putih, atau cokelat menembus mengikatnya.” Demikian pula, ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibu-Nya ... lengkap dengan organ-organ indria.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā. [122]

13. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Tujuh hari setelah kelahiran Sang Bodhisatta, sang ibu meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

14. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Para perempuan lain melahirkan setelah mengandung anaknya dalam rahim selama sembilan atau sepuluh bulan, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkan-Nya setelah mengandung-Nya selama tepat sepuluh bulan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

15. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: Para perempuan lain melahirkan dalam posisi duduk atau berbaring, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkan-Nya dalam posisi berdiri.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

16. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, pertama-tama para dewa menerima-Nya, kemudian manusia.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

17. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, Beliau tidak menyentuh tanah. Empat dewa muda menerimanya dan mengangkatnya di depan sang ibu dengan mengatakan: “Bergembiralah, O, Ratu, seorang putra dengan kekuasaan luar biasa telah engkau lahirkan.”’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

18. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, Beliau keluar dalam keadaan bersih, tidak berlumuran [123] air atau cairan atau darah atau kotoran apa pun juga, bersih, dan tanpa noda. Misalkan terdapat sebutir permata yang diletakkan di atas sehelai kain Kāsi, maka permata itu tidak mengotori kain atau kain mengotori permata. Mengapakah? Karena kemurnian keduanya. Demikian pula Sang Bodhisatta keluar ... bersih, dan tanpa noda.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

19. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, dua pancuran air memancar dari angkasa, satu sejuk dan satu hangat, untuk memandikan Sang Bodhisatta dan ibunya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

20. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Segera setelah Sang Bodhisatta lahir, Beliau berdiri tegak dengan kaki menginjak tanah; kemudian Beliau berjalan tujuh langkah ke arah utara, dan dengan payung putih memayungi-Nya, Beliau mengamati tiap-tiap penjuru dan mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok: “Akulah yang tertinggi di dunia; Akulah yang terbaik di dunia; Akulah yang terkemuka di dunia. Inilah kelahiran-Ku yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru bagi-Ku.”’ [ ]Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

21. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibu-Nya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui para dewa muncul di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya. Dan bahkan alam ruang antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya[124] cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa juga muncul di sana.’ Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui kemegahan para dewa ... Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

22. “Karena itu, Ānanda, ingatlah ini juga sebagai kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata: Di sini, Ānanda, bagi Sang Tathāgata, perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya. [ ]Ingatlah ini juga, Ānanda, sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

23. “Yang Mulia, karena bagi Sang Bhagavā, perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnyaIni juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda.




2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan,

ko, itu memang ada "malam"? (kmbli dari menerima dana makan)  :-?
« Last Edit: 20 February 2011, 03:43:37 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #44 on: 20 February 2011, 03:50:05 PM »

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasi-Nya pada malam itu, memasuki aula pertemuan,

ko, itu memang ada "malam"? (kmbli dari menerima dana makan)  :-?

jika sekelompok bhikkhu berkumpul dan berdiskusi setelah makan siang, dan pada malam harinya Sang Buddha datang ketika diskusi masih berlangsung, apa salahnya?

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #45 on: 20 February 2011, 04:03:57 PM »
124  Bakkula Sutta
Bakkula


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Bakkula sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Acela Kassapa, seorang teman dari Yang Mulia Bakkula dalam kehidupan awamnya, [125] mendatangi Yang Mulia Bakkula dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Bakkula:

3. “Teman Bakkula, sudah berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian?”

“Sudah delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, Teman.”

“Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini, berapa kalikah engkau melakukan hubungan seksual?”

“Teman Kassapa, engkau seharusnya tidak menanyakan kepadaku pertanyaan demikian. Engkau seharusnya mengajukan pertanyaan seperti berikut: ‘Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini, berapa kalikah persepsi-persepsi keinginan indria muncul padamu?”

“Teman Bakkula, dalam delapan puluh tahun ini, berapa kalikah persepsi-persepsi keinginan indria muncul padamu?”

“Teman Kassapa, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat ada persepsi keinginan indria yang pernah muncul padaku.”

[Bahwa dalam delapan puluh tahun sejak meninggalkan keduniawian Yang Mulia Bakkula tidak ingat ada persepsi keinginan indria yang pernah muncul padanyaini kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

4-5. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat ada persepsi niat buruk ... persepsi kekejaman yang pernah muncul padaku.”

[Bahwa dalam delapan puluh tahun sejak meninggalkan keduniawian Yang Mulia Bakkula tidak ingat ada persepsi niat buruk ... persepsi kekejaman yang pernah muncul padanyaini kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

6. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat ada pikiran keinginan indria yang pernah muncul padaku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

7-8. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat ada pikiran niat buruk ... pikiran kekejaman yang pernah muncul padaku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.] [126]

9-15. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat pernah menerima jubah yang diberikan oleh seorang perumah tangga  ... pernah mengenakan jubah yang diberikan oleh seorang perumah tangga ... pernah memotong jubah menggunakan pemotong ... pernah menjahit jubah menggunakan jarum ... pernah mewarnai jubah dengan mencelup ... pernah menjahit jubah pada waktu Kaṭhina ... pernah bekerja membuat jubah untuk teman-teman dalam kehidupan suci.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

16-19. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat pernah menerima undangan makan ... pernah memunculkan pikiran: ‘O, semoga seseorang mengundangku makan!’ ... pernah duduk di dalam rumah ... pernah makan di dalam rumah.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

20-25. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat pernah menggenggam gambaran dan ciri-ciri seorang perempuan ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang perempuan, bahkan hanya sebanyak empat baris syair ... pernah mengunjungi kediaman para bhikkhunī ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhunī ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang perempuan yang sedang dalam masa percobaan ... pernah mengajarkan Dhamma kepada seorang samaṇerī.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

26-29. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat pernah memberikan pelepasan keduniawian ... pernah memberikan penahbisan penuh ... pernah memberikan ketergantungan ... pernah memiliki seorang samaṇera melayaniku.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]


30-37. “Teman, dalam delapan puluh tahun sejak aku meninggalkan keduniawian, aku tidak ingat pernah mandi di rumah pemandian ... pernah mandi dengan menggunakan bubuk mandi ... pernah memijat bagian-bagian tubuh temanku dalam kehidupan suci [127] ... pernah mengalami penderitaan bahkan selama waktu yang diperlukan untuk memerah susu sapi ... pernah membawa-bawa obat, bahkan yang sekecil sebutir biji kecil ... pernah menggunakan bantal ... pernah menyiapkan tempat tidur ... pernah memasuki tempat kediaman masa vassa di dalam tempat tinggal di sebuah desa.”

[ ... ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

38. “Teman, selama tujuh hari setelah meninggalkan keduniawian, aku memakan dana makanan dari desa sebagai seorang penghutang; pada hari ke delapan, pengetahuan akhir muncul.”

[Bahwa selama tujuh hari Yang Mulia Bakkula memakan dana makanan dari desa sebagai seorang penghutang, dan pada hari ke delapan pengetahuan akhir munculini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]

39. [Kemudian Acela Kassapa berkata:] “Aku ingin menerima pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin ini, aku ingin menerima penahbisan penuh.” Dan Acela Kassapa menerima pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin ini, ia menerima penahbisan penuh. [ ]Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Kassapa, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya anggota-anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Kassapa menjadi salah satu di antara para Arahant.

40. Kemudian, pada kesempatan lain, Yang Mulia Bakkula mengambil kunci dan mendatangi satu kediaman ke kediaman lagi, dengan mengatakan: “Kemarilah, Para Mulia; Kemarilah, Para Mulia. Hari ini aku akan mencapai Nibbāna akhir.”

[Bahwa Yang Mulia Bakkula mengambil kunci dan mendatangi satu kediaman ke kediaman lagi, dengan mengatakan: “Kemarilah, Para Mulia; Kemarilah, Para Mulia. Hari ini aku akan mencapai Nibbāna akhir.”ini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.] [128]

41. Kemudian, sambil duduk di tengah-tengah Sangha para bhikkhu, Yang Mulia Bakkula mencapai Nibbāna akhir.

[Bahwa, sambil duduk di tengah-tengah Sangha para bhikkhu, Yang Mulia Bakkula mencapai Nibbāna akhirini juga kami ingat sebagai satu kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan dari Yang Mulia Bakkula.]
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #46 on: 20 February 2011, 04:42:43 PM »
125  Dantabhūmi Sutta
Tingkatan Kejinakan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Samaṇera Aciravata sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pangeran Jayasena, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi Samaṇera Aciravata dan saling bertukar sapa dengannya. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Samaṇera Aciravata: “Guru Aggivessana, aku telah mendengar bahwa seorang bhikkhu yang berdiam di sini yang rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.”

“Demikianlah, Pangeran, demikianlah. Seorang bhikkhu yang berdiam di sini yang rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.”

3. “Baik sekali jika Guru Aggivessana dapat mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai.”

“Aku tidak dapat mengajarkan Dhamma kepadamu, Pangeran, seperti yang kudengar dan kukuasai. Karena jika aku mengajarkan Dhamma kepadamu seperti yang kudengar dan kukuasai, engkau tidak dapat memahami kata-kataku, dan hal itu akan melelahkan dan menyusahkan aku.” [129]

4. “Sudilah Guru Aggivessana mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai. Mungkin aku dapat memahami makna dari kata-katanya.”

“Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu, Pangeran, seperti yang kudengar dan kukuasai. Jika engkau dapat memahami makna dari kata-kataku, maka itu bagus. Tetapi jika engkau tidak dapat memahami maknanya, maka biarkanlah demikian dan jangan bertanya kepadaku lebih lanjut.”

“Sudilah Guru Aggivessana mengajarkan kepadaku Dhamma seperti yang telah ia dengar dan kuasai. Jika aku dapat memahami makna dari kata-katanya, maka itu bagus. Tetapi jika aku tidak dapat memahami maknanya, maka aku akan membiarkannya demikian dan aku tidak akan bertanya kepadanya lebih lanjut.”

5. Kemudian Samaṇera Aciravata mengajarkan Dhamma kepada Pangeran Jayasena seperti yang ia dengar dan ia kuasai. Setelah ia selesai berbicara, Pangeran Jayasena berkata: “Mustahil, Guru Aggivessana, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh dapat mencapai keterpusatan pikiran.” Kemudian setelah menyatakan kepada Samaṇera Aciravata bahwa hal ini mustahil dan tidak mungkin terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.

6. Segera setelah Pangeran Jayasena pergi, Samaṇera Aciravata menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan melaporkan kepada Sang Bhagavā tentang keseluruhan percakapannya dengan Pangeran Jayasena. Ketika ia telah selesai, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

7. “Aggivessana, bagaimana mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria, menikmati kenikmatan indria, dimangsa oleh pikiran kenikmatan indria, ditelan oleh pikiran kenikmatan indria, cenderung mencari kenikmatan indria, [130] dapat mengetahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian? Itu adalah tidak mungkin.

8. “Misalkan [ ]terdapat dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, dan dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang tidak jinak dan tidak disiplin. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah kedua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, karena jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak?”“Benar, Yang Mulia.”“Tetapi apakah kedua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang tidak jinak dan tidak disiplin, karena tidak jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak, seperti dua ekor gajah, kuda, atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, Aggivessana, adalah tidak mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria ... dapat mengetahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian.

9. “Misalkan, Aggivessana, terdapat sebuah gunung tinggi tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan dua sahabat meninggalkan desa atau pemukiman itu dan bersama-sama pergi mendatangi gunung itu. Setelah sampai di sana, salah satu sahabat tetap berada di kaki gunung, sementara yang lainnya akan mendaki ke puncak gunung. Kemudian sahabat yang berada di kaki gunung akan berkata kepada sahabat yang berdiri di puncak gunung: ‘Sahabat, apakah yang engkau lihat, dengan berdiri di puncak gunung?’ dan yang lainnya menjawab: ‘Dengan berdiri di puncak gunung, Sahabat, aku melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian sahabat pertama berkata: ‘Mustahil, [131] Sahabat, tidak mungkin terjadi bahwa dengan berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’

“Kemudian sahabat ke dua turun ke kaki gunung, menarik tangan sahabatnya, dan mendaki ke puncak gunung. Setelah memberinya beberapa saat untuk menarik napas, ia bertanya: ‘Baiklah, Sahabat, dengan berdiri di puncak gunung, apakah yang engkau lihat?’ dan sahabatnya menjawab: ‘Dengan berdiri di puncak gunung, Sahabat, aku melihat taman-taman yang indah, semak belukar yang indah, padang rumput-padang rumput yang indah, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian yang lain berkata: ‘Sahabat, barusan tadi kami mendengar engkau berkata: “Mustahil, Sahabat, tidak mungkin terjadi bahwa dengan berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman yang indah ... kolam-kolam yang indah.”’ Kemudian sahabat pertama menjawab: ‘Karena aku terhalang oleh gunung tinggi ini, aku tidak melihat apa yang terlihat di sana.’

10. “Demikian pula, Aggivessana, Pangeran Jayasena dihalangi, dirintangi, diblokir, dan diselimuti oleh kumpulan yang lebih besar daripada inikumpulan kebodohan. Dengan demikian adalah tidak mungkin adalah tidak mungkin bahwa Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kenikmatan indria ... dapat mengetahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, ditembus melalui pelepasan keduniawian.

11. “Aggivessana, jika kedua perumpamaan ini telah terpikirkan olehmu [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena, maka ia akan secara spontan berkeyakinan padamu, dan karena berkeyakinan, maka ia akan memperlihatkan keyakinannya kepadamu.”

“Yang Mulia, bagaimana mungkin kedua perumpamaan ini terpikirkan olehku [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena seperti terpikirkan oleh Sang Bhagavā, karena kedua perumpamaan ini muncul secara spontan dan belum pernah terdengar sebelumnya?”

[132] 12. “Misalkan, Aggivessana, seorang raja mulia yang sah berkata kepada pemburu gajahnya sebagai berikut: ‘Pemburu gajah, tunggangilah gajah raja, pergilah ke hutan gajah, dan ketika engkau melihat seekor gajah hutan, ikatlah gajah itu di lehernya pada gajah raja. Setelah menjawab ‘Baik, Baginda,’ pemburu gajah itu menunggangi gajah raja, pergi ke hutan gajah, dan ketika ia melihat seekor gajah hutan, ia mengikat gajah itu di lehernya pada gajah raja. Gajah raja menuntunnya menuju ruang terbuka. Dengan cara inilah gajah hutan itu keluar ke ruang terbuka; karena gajah hutan itu melekat pada hutan gajah.

“Kemudian pemburu gajah itu memberi tahu raja: ‘Baginda, gajah hutan telah keluar ke ruang terbuka.’ Raja memanggil penjinak gajah sebagai berikut: ‘Pergilah, Penjinak-gajah, jinakkan gajah hutan itu, tundukkanlah kebiasaan-kebiasaan hutannya, taklukkanlah ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak hutannya, hilangkanlah kesedihan, keletihan, dan demam karena meninggalkan hutan. Buatlah agar gajah itu senang di kota, tanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia.’ Setelah menjawab ‘Baik, Baginda,’ penjinak gajah itu menanam sebuah tiang besar di tanah dan mengikat gajah hutan itu pada tiang itu di lehernya untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaan hutannya ... dan untuk menanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia.

 “Kemudian [ ]si penjinak gajah berkata kepada gajah itu dengan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Ketika gajah hutan itu [133] mendengar kata-kata demikian, ia mendengarkan, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami. Si penjinak gajah selanjutnya memberinya hadiah berupa makanan dan air. Ketika gajah hutan itu menerima makanan dan air darinya, penjinak gajah itu mengetahui: ‘Sekarang gajah raja ini akan hidup!’

“Kemudian si penjinak gajah melatih gajah itu lebih jauh lagi sebagai berikut: Berdiri, duduk!’ Ketika gajah raja itu mematuhi perintah si penjinaknya untuk berdiri dan duduk dan melaksanakan instruksinya, si penjinak gajah melatihnya lebih jauh sebagai berikut: ‘Maju, mundur!’ Ketika gajah raja itu mematuhi perintah si penjinaknya untuk berjalan maju dan mundur dan melaksanakan instruksinya, si penjinak gajah melatihnya lebih jauh dalam tugas yang disebut ketenangan. Ia mengikatkan sebilah papan besar pada belalainya; seorang laki-laki dengan tombak di tangan duduk di lehernya; orang-orang dengan tombak di tangan mengelilinginya di segala sisi; dan si penjinak gajah berdiri di depannya dengan memegang tombak panjang. Ketika gajah itu sedang dilatih dalam tugas ketenangan, ia tidak menggerakkan kaki depan atau kaki belakangnya; ia tidak menggerakkan bagian tubuh depan atau belakangnya; ia tidak menggerakkan kepalanya, telinganya, gadingnya, ekornya, atau belalainya. Gajah raja itu mampu menahankan serangan tombak, serangan pedang, serangan anak panah, serangan dari makhluk lain, dan gelegar suara tambur, genderang, dan trompet. Karena bebas dari segala cacat dan kekurangan, bersih dari kerusakan, ia layak menjadi gajah raja, layak melayani raja, dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja. [134]

13-14. “Demikian pula,m Aggivessana, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-13) ... ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Adalah dengan cara ini seorang siswa mulia keluar ke ruang terbuka; karena para dewa dan manusia melekat pada kelima utas kenikmatan indria.

15. “Kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, jadilah bermoral, terkendali dengan pengendalian Pāṭimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tingkah laku, dan melihat dengan takut pada pelanggaran sekecil apa pun, terlatih oleh peraturan-peraturan latihan.’

16. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menjadi bermoral ... dan melihat dengan takut pada pelanggaran sekecil apa pun, terlatih oleh peraturan-peraturan latihan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, jagalah pintu-pintu indriamu. Ketika melihat bentuk dengan mata, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika engkau membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasaimu, latihlah jalan pengendaliannya, jagalah indria mata, jalankanlah pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali objek-pikiran dengan pikiran, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika engkau membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan dapat menguasaimu, latihlah jalan pengendalian, jagalah indria pikiran, jalankanlah pengendalian indria pikiran.’

17. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menjaga pintu-pintu indrianya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, makanlah secukupnya. Dengan merenungkan dengan bijaksana, seorang siswa mulia memakan makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.”’

18. “Ketika, [135] Aggivessana, siswa mulia itu telah menjalani praktik makan secukupnya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, tekunilah kewaspadaan. Selama siang hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sambil berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari, engkau harus berbaring di sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikirannya waktu untuk bangun. Setelah terjaga, pada jaga ke tiga malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi.’

19. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah menekuni kewaspadaan, secukupnya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, milikilah perhatian dan kewaspadaan penuh. Bertindaklah dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju dan mundur ... ketika melihat ke depan dan ke belakang ... ketika menekuk dan merentangkan bagian-bagian tubuh ... ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu ... ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap ... ketika buang air besar dan buang air kecil ... ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.’

20. “Ketika, Aggivessana, siswa mulia itu telah memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, datangilah tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.’


-----------------------
*** Bersambung
« Last Edit: 20 February 2011, 04:57:15 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #47 on: 20 February 2011, 05:16:50 PM »
Lanjutan 125  Dantabhūmi Sutta
-----------------------------------------

21. “Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan ... tumpukan jerami. Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan terhadap dunia, ia berdiam dengan pikiran bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelaskasihan demi kesejahteraan makhluk-makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan bebas dari kelambanan dan ketumpulan, memiliki persepsi cahaya, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa terganggu dengan pikiran yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. [136] Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

22. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidaksempurnaan pikiran ini yang melemahkan kebijaksanaan, ia berdiam dengan merenungkan jasmani [ ]sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan ... pikiran sebagai pikiran ... objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

23. “Seperti halnya, Aggivessana, penjinak gajah yang menanam sebuah tiang besar di tanah dan mengikatkan leher gajah hutan pada tiang itu untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaan hutannya ... dan untuk menanamkan padanya kebiasaan-kebiasaan yang disenangi manusia, demikian pula empat landasan perhatian ini adalah pengikat pikiran siswa mulia itu untuk menundukkan kebiasaan-kebiasaannya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, untuk menaklukkan ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, untuk menghilangkan kesedihan, keletihan, dan demam yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga, dan agar ia dapat mencapai jalan sejati dan mencapai Nibbāna.

24. Kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih jauh: ‘Marilah, Bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tetapi jangan memikirkan pikiran-pikiran keinginan indria. Berdiamlah dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan ... pikiran sebagai pikiran ... objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tetapi jangan memikirkan pikiran-pikiran keinginan indria.’

25. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... jhāna ke tiga ... jhāna ke empat.

26-29. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni ... (seperti Sutta 51, §§24-27) ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’
 
30. “Bhikkhu itu mampu menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, dan kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan ucapan-kasar, kata-kata yang tidak menyenangkan dan perasaan [137] jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan. Karena bebas dari segala nafsu, kebencian, dan kebodohan, bersih dari kerusakan, ia menjadi layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, suatu lahan menanam jasa yang tiada bandingnya di dunia.

31. “Jika, Aggivessana, gajah raja itu mati di usia tua dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah tua yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika gajah raja itu mati di usia pertengahan dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah pertengahan yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika gajah raja itu mati di usia muda dalam keadaan tidak jinak dan tidak disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah muda yang mengalami kematian yang tidak jinak. Demikian pula, Aggivessana, jika seorang bhikkhu tua mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu tua yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika seorang bhikkhu berstatus menengah mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu berstatus menengah yang mengalami kematian yang tidak jinak. Jika seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan mati dengan noda-nodanya belum dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan yang mengalami kematian yang tidak jinak.

32. “Jika, Aggivessana, gajah raja itu mati di usia tua dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah tua yang mengalami kematian yang jinak. Jika gajah raja itu mati di usia pertengahan dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah pertengahan yang mengalami kematian yang jinak. Jika gajah raja itu mati di usia muda dalam keadaan jinak dan disiplin, maka ia dianggap sebagai seekor gajah muda yang mengalami kematian yang jinak. Demikian pula, Aggivessana, jika seorang bhikkhu tua mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu tua yang mengalami kematian yang jinak. Jika seorang bhikkhu berstatus menengah mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu berstatus menengah yang mengalami kematian yang jinak. Jika seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan mati dengan noda-nodanya telah dihancurkan, maka ia dianggap sebagai seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan yang mengalami kematian yang jinak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Samaṇera Aciravata merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #48 on: 20 February 2011, 05:44:21 PM »
126  Bhūmija Sutta
Bhūmija


[138] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Bhūmija merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, mendatangi rumah Pangeran Jayasena dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

3. Kemudian Pangeran Jayasena menghadap Yang Mulia Bhūmija dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Bhūmija: “Guru Bhūmija, ada beberapa petapa dan brahmana yang membuat pernyataan dan menganut pandangan-pandangan sebagai berikut: Jika seseorang beraspirasi [ ]dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun.’ Apakah yang akan dikatakan oleh guru dari Yang Mulia Bhūmija di sini, apakah yang Beliau nyatakan?”

4. “Aku belum pernah mendengar dan mempelajari hal itu dari mulut Sang Bhagavā, Pangeran. Tetapi adalah mungkin bahwa Sang Bhagavā akan mengatakan seperti ini: ‘Jika seseorang beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijaksana, maka ia tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijaksana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijaksana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara tidak bijaksana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Akan tetapi, jika seseorang beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijaksana, maka ia akan dapat memperoleh buah; [139] Jika seseorang tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijaksana, maka ia juga akan dapat memperoleh buah; Jika seseorang beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijaksana, maka ia juga akan dapat memperoleh buah; Jika seseorang bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan ia menjalani kehidupan suci secara bijaksana, maka ia juga tidak akan dapat memperoleh buah.

5. “Jika guru dari Guru Bhūmija berkata demikian, jika Beliau menyatakan demikian, maka tentu saja guru dari Yang Mulia Bhūmija berdiri di depan dari semua para petapa dan brahmana biasa itu.”

6. Kemudian Pangeran Jayasena melayani Yang Mulia Bhūmija dari piring nasi susunya sendiri.

7. [“]Kemudian, ketika Yang Mulia Bhūmija telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā tentang apa yang telah terjadi, dengan menambahkan: “Yang Mulia, kuharap bahwa ketika aku ditanya demikian dan menjawab demikian, aku telah mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta. Kuharap aku telah menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataanku.” [140]

8. “Tentu saja, Bhūmija, ketika engkau ditanya demikian dan menjawab demikian, engkau telah mengatakan apa yang dikatakan oleh-Ku dan tidak salah memahami-Ku dengan apa yang berlawanan dengan fakta sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataanmu.”

9. “Petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah, jika mereka beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci; maka mereka tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika mereka tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika mereka beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika mereka bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

10. “Misalkan seseorang memerlukan minyak, mencari minyak, berkeliling mencari minyak, menumpuk kerikil di dalam bak mandi, menyiramnya dengan air, dan memerasnya. Kemudian, jika ia beraspirasi dan melakukan demikian, ia tidak akan dapat memperoleh minyak apa pun; jika ia tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apa pun; jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apa pun; jika ia bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh minyak apa pun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh minyak. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? [141] Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

11. “Misalkan seseorang memerlukan susu, mencari susu, berkeliling mencari susu, menarik tanduk seekor sapi yang baru melahirkan. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh susu apa pun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh susu. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

12. “Misalkan seseorang memerlukan mentega, mencari mentega, berkeliling mencari mentega, menuangkan air ke dalam gentong susu dan mengaduknya dengan pengaduk susu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh mentega apa pun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh mentega. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

13. “Misalkan seseorang memerlukan api, mencari api, berkeliling mencari api, mengambil [142] kayu-api sebelah atas dan menggosok sepotong kayu bergetah yang basah dengan kayu api itu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga tidak akan dapat memperoleh api apa pun. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh api. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan salah ... mereka juga tidak akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? Karena [jalan salah] bukanlah metode yang benar untuk memperoleh buah.

14. “Petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, jika mereka beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci; mereka akan dapat memperoleh buah apa pun; Jika mereka tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah; Jika mereka beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah; Jika mereka bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan mereka menjalani kehidupan suci, maka mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

15. “Misalkan seseorang memerlukan minyak, mencari minyak, berkeliling mencari minyak, menumpuk tepung wijen di dalam bak mandi, menyiramnya dengan air, dan memerasnya. Kemudian, jika ia beraspirasi dan melakukan demikian, ia akan dapat memperoleh minyak; jika ia tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak; jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak; jika ia bukan beraspirasi dan juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh minyak. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh minyak. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan benar [143] ... mereka juga akan dapat memperoleh buah. [ ]Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

16. “Misalkan seseorang memerlukan susu, mencari susu, berkeliling mencari susu, menarik ambing seekor sapi yang baru melahirkan. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh susu. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh susu. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

17. “Misalkan seseorang memerlukan mentega, mencari mentega, berkeliling mencari mentega, menuangkan dadih ke dalam gentong susu dan mengaduknya dengan pengaduk susu. Kemudian, jika ia beraspirasi … jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh mentega. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] bukanadalah metode yang benar untuk memperoleh mentega. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah apa pun. Mengapakah? Karena [jalan benar] bukanadalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

18. “Misalkan seseorang memerlukan api, mencari susuapi, berkeliling mencari api, mengambil [142] kayu-api sebelah atas dan menggosok sepotong kayu tanpa getah yang kering dengan kayu api itu. Kemudian, jika ia beraspirasi … [144] jika ia tidak beraspirasi … jika ia beraspirasi dan juga tidak beraspirasi … jika ia bukan beraspirasi juga bukan tidak beraspirasi dan melakukan demikian, ia juga akan dapat memperoleh api. Mengapakah? Karena [cara melakukan demikian] adalah metode yang benar untuk memperoleh api. Demikian pula petapa dan brahmana mana pun yang memiliki pandangan benar ... mereka juga akan dapat memperoleh buah. Mengapakah? Karena [jalan benar] adalah metode yang benar untuk memperoleh buah.

19. “Bhūmija, jika keempat perumpamaan ini telah terpikirkan olehmu [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena, maka ia akan secara spontan berkeyakinan padamu, dan karena berkeyakinan, maka ia akan memperlihatkan keyakinannya kepadamu.”

“Yang Mulia, bagaimana mungkin keempat perumpamaan ini terpikirkan olehku [sehubungan] dengan Pangeran Jayasena seperti terpikirkan oleh Sang Bhagavā, karena keduaempat perumpamaan ini muncul secara spontan dan belum pernah terdengar sebelumnya?”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Bhūmija merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #49 on: 20 February 2011, 06:22:21 PM »
127  Anuruddha Sutta
Anuruddha


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Tukang Kayu Pañcakanga berkata kepada seseorang sebagai berikut: “Pergilah, Sahabat, temui Yang Mulia Anuruddha, [145] bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Tukang Kayu Pañcakanga bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Anuruddha dan katakan: “Yang Mulia, sudilah Yang Mulia Anuruddha bersama tiga orang lainnya menerima dana makanan dari Tukang Kayu Pañcakanga besok; dan mohon Yang Mulia Anuruddha datang tepat waktu karena Tukang Kayu Pañcakanga sangat sibuk dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk raja.”’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Anuruddha. Setelah bersujud kepada Yang Mulia Anuruddha, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Yang Mulia Anuruddha menerima dengan berdiam diri.

3. Kemudian, ketika malam berlalu, pada pagi harinya, Yang Mulia Anuruddha merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi menuju rumah Pañcakanga dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Tukang Kayu Pañcakanga melayani Yang Mulia Anuruddha dengan berbagai jenis makanan baik. Kemudian, ketika Yang Mulia Anuruddha telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping. Tukang Kayu Pañcakanga mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Anuruddha.

4. “Di sini, Yang Mulia, para bhikkhu senior telah mendatangiku dan berkata: ‘Perumah tangga, kembangkanlah kebebasan pikiran yang tanpa batas;’ dan beberapa bhikkhu senior mengatakan: ‘Perumah tangga, kembangkanlah kebebasan pikiran yang luhur.’ Yang Mulia, kebebasan pikiran yang Tanpa Batas dan kebebasan pikiran yang luhurapakah kedua kondisi ini berbeda dalam makna dan [146] berbeda dalam kata, atau apakah kedua itu bermakna sama dan hanya berbeda dalam kata?”

5. “Jelaskanlah sesuai pemahamanmu, Perumah tangga. Selanjutnya hal itu akan dijelaskan kepadamu.”

“Yang Mulia, aku berpikir sebagai berikut: kebebasan pikiran yang tanpa batas dan kebebasan pikiran yang luhurkondisi-kondisi ini adalah bermakna sama dan hanya berbeda dalam kata.”

6. “Perumah tangga, kebebasan pikiran yang tanpa batas dan kebebasan pikiran yang luhurkondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata. Dan bagaimana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata harus dipahami sebagai berikut.

7. “Apakah, Perumah tangga, kebebasan pikiran yang tanpa batas? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula dengan arah ke dua, arah ke tiga, arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan ... berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut kebebasan pikiran yang tanpa batas.

8. “Dan apakah, Perumah tangga, kebebasan pikiran yang luhur? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon, meliputinya sebagai luhur: ini disebut kebebasan pikiran yang luhur. [ ]Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah dua atau tiga batang pohon, meliputinya sebagai luhur: ini juga disebut kebebasan pikiran yang luhur. Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas satu desa, meliputinya sebagai luhur … [147] … suatu wilayah seluas dua atau tiga desa … suatu wilayah seluas satu kerajaan besar … suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar … suatu wilayah seluas seluruh daratan yang dibatasi oleh lautan, meliputinya sebagai luhur: ini juga disebut kebebasan pikiran yang luhur. Dengan cara inilah, Perumah tangga, bahwa hal ini dapat dipahami bagaimana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam kata.

9. “Ada, Perumah tangga, empat jenis kemunculan kembali dari suatu makhluk [di masa depan.] [ ]Apakah empat ini? Di sini, seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya terbatas’; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Terbatas. Di sini, seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya tanpa batas’; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas. Di sini, seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya ternoda’; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Ternoda. Di sini, seseorang berdiam dengan melingkupi dan meliputi ‘cahaya murni’; ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Murni. Ini adalah empat jenis kemunculan kembali dari suatu makhluk [di masa depan.]

10. “Pernah terjadi, Perumah tangga, ketika para dewa itu berkumpul di suatu tempat. Ketika mereka telah berkumpul di suatu tempat, perbedaan pada warna mereka dapat terlihat, tetapi tidak ada perbedaan pada cahaya mereka. Seperti halnya, jika seseorang membawa beberapa lampu minyak ke dalam sebuah rumah, perbedaan kobaran api dari lampu itu dapat terlihat, tetapi tidak ada perbedaan pada cahayanya; demikian pula, pernah terjadi ketika para dewa itu berkumpul di suatu tempat [148] … tetapi tidak ada perbedaan pada cahaya mereka.

11. “Pernah terjadi, Perumah tangga, ketika para dewa itu membubarkan diri dari sana. Ketika mereka telah pergi, perbedaan pada warna mereka dapat terlihat dan juga perbedaan pada cahaya mereka. Seperti halnya, jika seseorang mengeluarkan beberapa lampu minyak dari rumah itu, perbedaan pada kobaran api dapat terlihat dan juga perbedaan pada cahayanya; demikian pula, pernah terjadi ketika para dewa itu membubarkan diri dari sana … dan juga perbedaan pada cahaya mereka.

12. “Para dewa itu tidak berpikir: ‘[Kehidupan] kami ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi,’ namun di mana pun para dewa itu berada, mereka menemukan kesenangan. Seperti halnya, ketika lalat-lalat dibawa dengan sebuah galah pemikul atau dengan sebuah keranjang, lalat-lalat itu tidak berpikir: ‘[Kehidupan] kami ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi,’ namun di mana pun lalat-lalat itu berada, mereka menemukan kesenangan; demikian pula, para dewa itu tidak berpikir … namun di mana pun para dewa itu berada, mereka menemukan kesenangan.

13. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Bagus, Yang Mulia Anuruddha, namun aku memiliki pertanyaan lebih lanjut: Apakah semua para dewa bercahaya itu memiliki Cahaya Terbatas, atau apakah beberapa dari mereka adalah para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas?”

“Dengan alasan faktor [yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali], Teman Kaccāna, maka beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, dan beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas.”

14. “Yang Mulia Anuruddha, apakah sebab dan alasan mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, [149] beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas?”

“Sehubungan dengan hal itu, Teman Kaccāna, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Teman Kaccāna? Ketika seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon, meliputinya sebagai luhur, dan seorang bhikkhu lainnya bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas bawah dua atau tiga batang pohon, meliputinya sebagai luhuryang manakah dari kedua pengembangan pikiran ini yang lebih luhur?”“Yang ke dua, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Teman Kaccāna? Ketika seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas dua atau tiga pohon, meliputinya sebagai luhur, dan seorang bhikkhu lainnya berdiam dengan melingkupi suatu wilayah seluas satu desa dan meliputinya sebagai luhur … suatu wilayah seluas satu desa dan suatu wilayah seluas dua atau tiga desa … suatu wilayah seluas dua atau tiga desa [150] dan suatu wilayah seluas satu kerajaan besar … suatu wilayah seluas satu kerajaan besar dan suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar … suatu wilayah seluas dua atau tiga kerajaan besar dan suatu wilayah seluas seluruh daratan yang dibatasi oleh lautan, meliputinya sebagai luhuryang manakah dari kedua pengembangan pikiran ini yang lebih luhur?”“Yang ke dua, Yang Mulia.”

“Ini adalah sebab dan alasan, Teman Kaccāna, mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Terbatas, beberapa dewa memiliki Cahaya Tanpa Batas.”

15. “Bagus, Yang Mulia Anuruddha, namun aku memiliki pertanyaan lebih lanjut: Apakah semua para dewa bercahaya itu memiliki Cahaya Ternoda, atau apakah beberapa dari mereka adalah para dewa dengan Cahaya Murni?” [151]

“Dengan alasan faktor [yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali], Teman Kaccāna, maka beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, dan beberapa dewa memiliki Cahaya Murni.”

16. “Yang Mulia Anuruddha, apakah sebab dan alasan mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, beberapa dewa memiliki Cahaya Murni?”

“Sehubungan dengan hal itu, Teman Kaccāna, aku akan memberikan perumpamaan, karena seorang bijaksana di sini memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan sebuah lampu minyak menyala dari minyak yang tidak murni dan sumbu yang tidak murni; karena ketidakmurnian minyak dan sumbunya, lampu itu menyala dengan suram. Demikian pula, di sini seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi dan meliputi [suatu wilayah dengan] cahaya ternoda. Kelembaman jasmaninya tidak sepenuhnya sirna, ketumpulan dan kelambanannya tidak sepenuhnya dilenyapkan, kegelisahan dan penyesalannya tidak sepenuhnya tersingkirkan; karena hal-hal ini, maka ia bermeditasi, seperti sewajarnya, dengan suram.  Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Ternoda.

“Misalkan sebuah lampu minyak menyala dari minyak yang [ ]murni dan sumbu yang murni; karena kemurnian minyak dan sumbunya, lampu itu menyala dengan tidak suram. Demikian pula, di sini seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi dan meliputi [suatu wilayah dengan] cahaya murni. Kelembaman jasmaninya sepenuhnya sirna, ketumpulan dan kelambanannya sepenuhnya dilenyapkan, kegelisahan dan penyesalannya sepenuhnya tersingkirkan; karena hal-hal ini, maka ia bermeditasi, seperti sewajarnya, dengan terang. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di tengah-tengah para dewa dengan Cahaya Murni. [152]

“Ini adalah sebab dan alasan, Teman Kaccāna, mengapa di antara para dewa yang muncul kembali dalam satu kelompok yang sama, beberapa dewa memiliki Cahaya Ternoda, beberapa dewa memiliki Cahaya Murni.”

17. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Bagus, Yang Mulia Anuruddha. Yang Mulia Anuruddha tidak mengatakan: ‘Demikianlah yang kudengar’ atau ‘Semestinya demikian.’ Melainkan, Yang Mulia Anuruddha mengatakan: ‘Para dewa ini adalah seperti ini dan para dewa itu adalah seperti itu.’ Aku berpikir, Yang Mulia, bahwa Yang Mulia Anuruddha pasti sebelumnya telah bergaul dengan para dewa itu dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.”

“Tentu saja, Teman Kaccāna, kata-katamu menyinggung dan tidak sopan, tetapi aku tetap akan menjawabmu. Sejak lama aku telah bergaul dengan para dewa itu dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka.”

18. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Abhiya Kaccāna berkata kepada Tukang Kayu Pañcakanga: “Suatu keberuntungan bagimu, Perumah tangga, suatu keberuntungan besar bagimu bahwa engkau telah meninggalkan keragu-raguanmu dan telah berkesempatan mendengarkan khotbah Dhamma ini.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #50 on: 20 February 2011, 06:59:17 PM »
128  Upakkilesa Sutta
Ketidaksempurnaan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita.

2. Pada saat itu, para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan.

3. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, [153] dan setelah bersujud kepada Beliau, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, para bhikkhu di sini di Kosambī sedang bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi para bhikkhu itu demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka: “Cukup, Para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Yang Mulia, mohon Sang Bhagavā, Raja Dhamma, hidup dengan tenang menekuni kediaman yang nyaman di sini dan saat ini. Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Untuk ke dua kalinya ... untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: “Cukup, Para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Untuk ke tiga kalinya bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Yang Mulia ... Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

5. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Kosambī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kosambī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau merapikan tempat tinggal-Nya, membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, dan sambil berdiri mengucapkan syair-syair ini: [154]

6.    “Ketika banyak suara berteriak sekaligus
   Tidak ada yang menganggap dirinya sendiri sebagai seorang dungu;
   Walaupun Sangha sedang terpecah
   Tidak ada yang merasa dirinya bersalah.

   Mereka telah melupakan ucapan bijaksana,
   Mereka berbicara dengan hanya dikuasai oleh kata-kata.
   Dengan mulut tidak terkekang, mereka berteriak sesukanya;
   Tidak ada yang mengetahui apa yang membuat mereka bertindak demikian.

   ‘Ia melecehkanku, ia memukulku,
   Ia mengalahkanku, ia merampasku
   Pada mereka yang memendam pikiran-pikiran seperti ini
   Kebencian tidak akan pernah sirna.

   ‘Ia melecehkanku, ia memukulku,
   Ia mengalahkanku, ia merampasku
   Pada mereka yang tidak memendam pikiran-pikiran seperti ini
   Kebencian telah siap untuk disingkirkan.

   Karena di dunia ini kebencian tidak akan pernah
   Disingkirkan melalui kebencian lebih lanjut.
   Kebencian disingkirkan oleh ketidakbencian:
   Ini adalah hukum yang pasti dan abadi.

   Mereka tidak mengetahui
   Bahwa di sini kita harus mengendalikan diri sendiri.
   Tetapi mereka yang bijaksana yang menyadari ini
   Seketika mengakhiri segala permusuhan mereka.

   Para penghancur tulang-belulang dan para pembunuh,
   Mereka yang mencuri ternak, kuda, dan harta kekayaan,
   Mereka yang menjarah seluruh negeri
   Bahkan orang-orang ini dapat bertindak bersama
   Mengapa kalian tidak dapat melakukan demikian juga?

   Jika seseorang dapat menemukan teman yang layak
   Seorang teman yang bermoral dan setia,
   Maka dengan mengatasi segala ancaman bahaya
   Dan berjalan bersamanya dengan puas dan penuh perhatian.

   Tetapi jika seseorang tidak menemukan teman yang layak,
   Tidak ada teman yang bermoral dan setia,
   Maka bagaikan seorang raja meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya
   Berjalanlah sendirian bagaikan gajah di hutan.

   Lebih baik berjalan sendirian,
   Tidak berteman dengan orang-orang dungu.
   Berjalan sendirian dan tidak melakukan kejahatan,
   Santai bagaikan gajah di hutan.

7. Kemudian, setelah mengucapkan syair-syair ini sambil berdiri, Sang Bhagavā pergi menuju Desa Bālakaloṇakāra. Pada saat itu, [155] Yang Mulia Bhagu sedang menetap di Desa Bālakaloṇakāra. Ketika dari kejauhan Yang Mulia Bhagu melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia mempersiapkan tempat duduk dan air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kaki-Nya. Yang Mulia Bhagu bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Kuharap engkau dalam keadaan baik, Bhikkhu, Kuharap engkau cukup nyaman, Kuharap engkau tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh dana makanan.”

“Aku dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, aku cukup nyaman, aku tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh dana makanan.”

Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Yang Mulia Bhagu dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari duduk-Nya dan pergi menuju Hutan Bambu Timur.

8. Pada saat itu, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Hutan Bambu Timur. [ ]Dari jauh penjaga taman melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Jangan memasuki taman ini, Petapa. Ada tiga anggota keluarga di sini mencari kebaikan mereka. Jangan mengganggu mereka.”

9. Yang Mulia Anuruddha mendengar penjaga taman itu berbicara dengan Sang Bhagavā dan memberitahunya: “Teman penjaga taman, jangan membiarkan Sang Bhagavā di luar. Beliau adalah Guru kami, Sang Bhagavā, yang telah datang.” Kemudian Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila dan berkata: “Keluarlah, Yang Mulia, keluarlah! Guru kita, Sang Bhagavā, telah datang.”

10. Kemudian ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luar-Nya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kaki-Nya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.” [156]

“Kami baik-baik, Sang Bhagavā, kami nyaman, dan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

11. “Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

12. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa Aku tidak mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ Kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, Yang Mulia, tetapi kami satu pikiran.”

Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila masing-masing mengatakan hal yang sama, dan menambahkan: “Itu adalah bagaimana, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

13. “Bagus, bagus, Anuruddha. Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.” [157]

“Tentu saja, Yang Mulia, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #51 on: 20 February 2011, 07:25:24 PM »
14. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, siapa pun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapa pun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apa pun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak, ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia mencuci tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapa pun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seseorang lain dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

15. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi ketika kalian berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh demikian, apakah kalian telah mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, suatu kediaman yang menyenangkan?”

“Yang Mulia, ketika kami berdiam di sini rajin, tekun, dan teguh, kami melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk. [ ]Segera setelahnya, cahaya dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap, tetapi kami belum mengetahui penyebab dari hal itu.”

16. “Kalian seharusnya menemukan penyebab dari hal itu, [ ]Anuruddha. Sebelum pencerahan-Ku, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk. Segera setelahnya, cahaya [158] dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi mengapa cahaya dan penampakan bentuk-bentuk ini lenyap?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Keragu-raguan muncul dalam diri-Ku, dan karena keragu-raguan maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

17. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaya dan penampakan bentuk-bentuk. Segera setelahnya, cahaya dan penampakan bentuk-bentuk itu lenyap. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi mengapa cahaya dan penampakan bentuk-bentuk ini lenyap?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kurangnya perhatian muncul dalam diri-Ku, dan karena kurangnya perhatian itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

18. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kelambanan dan ketumpulan muncul dalam diri-Ku, dan karena kelambanan dan ketumpulan itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian dan kelambanan dan ketumpulan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

19. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketakutan muncul dalam diri-Ku, dan karena ketakutan itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang melakukan perjalanan dan para pembunuh melompat keluar dari kedua sisinya; kemudian ketakutan akan muncul dalam dirinya. Demikian pula, ketakutan muncul dalam diri-Ku … cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan [159] agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian dan kelambanan dan ketumpulan dan ketakutan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

20. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegembiraan muncul dalam diri-Ku, dan karena kegembiraan itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencari pintu masuk menuju harta karun sampai pada lima pintu masuk menuju harta karun; [ ]maka kegembiraan muncul dalam dirinyaku karena hal itu. Demikian pula, kegembiraan muncul dalam diri-Ku … cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan ketakutan dan kegembiraan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

21. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kelembaman muncul dalam diri-Ku, dan karena kelembaman itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegembiraan dan kelembaman tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

22. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegigihan yang berlebihan muncul dalam diri-Ku, dan karena kegigihan yang berlebihan itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencengkeram seekor burung puyuh erat-erat dengan kedua tangannya; burung puyuh itu akan mati di tempat itu dan pada saat itu juga. Demikian pula, kegigihan berlebihan muncul dalam diri-Ku ... cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kelembaman dan kegigihan yang berlebihan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

23. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kegigihan lemah muncul dalam diri-Ku, [160] dan karena kegigihan lemah itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap.’ Misalkan seseorang mencengkeram seekor burung puyuh dengan longgar; burung puyuh itu akan terbang keluar dari tangan orang itu. Demikian pula, kegigihan lemah muncul dalam diri-Ku ... cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. [Aku mempertimbangkan sebagai berikut:] Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegigihan yang berlebihan dan kegigihan lemah tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

24. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kerinduan muncul dalam diri-Ku, dan karena kerinduan itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kegigihan lemah dan kerinduan tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

25. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Persepsi keberagaman muncul dalam diri-Ku, [ ]dan karena persepsi keberagaman itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan kerinduan dan persepsi keberagaman tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

26. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin … Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk muncul dalam diri-Ku, [ ]dan karena meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk itu maka konsentrasi-Ku jatuh; ketika konsentrasi-Ku jatuh, maka cahaya dan penampakan bentuk-bentuk menjadi lenyap. Aku harus mengusahakan agar keragu-raguan dan kurangnya perhatian ... dan persepsi keberagaman dan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk tidak muncul dalam diri-Ku lagi.’

27. “Ketika, Anuruddha, aku memahami bahwa keragu-raguan adalah suatu ketidaksempurnaan pikiran,  aku meninggalkan keragu-raguan, suatu ketidaksempurnaan pikiran. Ketika Aku memahami bahwa kurangnya perhatian ... kelambanan dan ketumpulan ... ketakutan ... kegembiraan ... kelembaman ... kegigihan yang berlebihan ... kegigihan lemah ... kerinduan ... persepsi keberagaman ... meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk [161] adalah suatu ketidaksempurnaan pikiran, aku meninggalkan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk, suatu ketidaksempurnaan pikiran.

28. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaya, tetapi Aku tidak melihat bentuk-bentuk; Aku melihat bentuk-bentuk, tetapi Aku tidak melihat cahaya, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi untuk hal ini?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Pada saat Aku tidak memperhatikan gambaran bentuk-bentuk tetapi memperhatikan gambaran cahaya, maka Aku melihat cahaya tetapi tidak melihat bentuk-bentuk. Pada saat Aku tidak memperhatikan gambaran cahaya tetapi memperhatikan gambaran bentuk-bentuk, maka Aku melihat bentuk-bentuk tetapi tidak melihat cahaya, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam.’

29. “Ketika, Anuruddha, aku sedang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, Aku melihat cahaya terbatas dan melihat bentuk-bentuk terbatas; Aku melihat cahaya tanpa batas dan melihat bentuk-bentuk tanpa batas, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam. Aku berpikir: ‘Apakah sebab dan kondisi untuk hal ini?’ Kemudian Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Pada saat konsentrasi terbatas, maka penglihatan juga terbatas, dan dengan penglihatan terbatas, Aku melihat cahaya terbatas dan bentuk-bentuk terbatas. Tetapi pada saat konsentrasi adalah tanpa batas, maka penglihatan juga tanpa batas, dan dengan penglihatan tanpa batas, Aku melihat cahaya tanpa batas dan bentuk-bentuk tanpa batas, bahkan selama sehari penuh atau semalam penuh atau sehari semalam.’

30. “Ketika, [162] Anuruddha, Aku memahami bahwa keragu-raguan adalah suatu ketidaksempurnaan pikiran dan telah meninggalkan keragu-raguan, suatu ketidaksempurnaan pikiran; ketika Aku memahami bahwa kurangnya perhatian adalah suatu ketidaksempurnaan pikiran dan telah meninggalkan kurangnya perhatian ... meninggalkan kelambanan dan ketumpulan ... meninggalkan ketakutan ... meninggalkan kegembiraan ... meninggalkan kelembaman ... meninggalkan kegigihan yang berlebihan ... meninggalkan kegigihan lemah ... meninggalkan kerinduan ... meninggalkan persepsi keberagaman ... meninggalkan meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk, suatu ketidaksempurnaan pikiran; kemudian aku berpikir: ‘Aku telah meninggalkan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan pikiran itu. Sekarang Aku akan mengembangkan konsentrasi dalam tiga cara.’

31. “Selanjutnya, Anuruddha, Aku mengembangkan konsentrasi dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa awal pikiran tetapi hanya dengan kelangsungan pikiran saja; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran; Aku mengembangkan konsentrasi dengan kegembiraan; Aku mengembangkan konsentrasi tanpa kegembiraan; Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan; Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

32. “Ketika Anuruddha, Aku telah Aku mengembangkan konsentrasi dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran … ketika Aku telah Aku mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan, pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diri-Ku: ‘Kebebasan-Ku adalah tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran-Ku yang terakhir; tidak ada penjelmaan menjadi makhluk yang baru.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Anuruddha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko, yg no. 14 ini englishnya gimana ya?
Ia mencuci tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #52 on: 20 February 2011, 09:57:00 PM »
129  Bālapaṇḍita Sutta
Orang Dungu dan Orang Bijaksana


[163] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SI DUNGU)

2. “Bhikkhu, ada tiga karakteristik dari seorang dungu ini, tanda-tanda seorang dungu, sifat-sifat seorang dungu. Apakah tiga ini? Di sini seorang dungu adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk, mengucapkan kata-kata buruk, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Jika seorang dungu tidak demikian, bagaimana mungkin para bijaksana dapat mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang bukan manusia sejati’? Tetapi karena seorang dungu adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk, mengucapkan kata-kata buruk, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, maka para bijaksana mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang bukan manusia sejati.’

3. “Seorang dungu merasakan kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini dalam tiga cara. Jika seorang dungu duduk dalam suatu pertemuan atau berada di jalan atau di suatu lapangan dan orang-orang di sana sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan, maka, jika si dungu itu adalah seorang yang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan, ia berpikir: “Orang-orang ini sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan; hal-hal ini terdapat dalam diriku, dan aku terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis pertama kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

4. “Kemudian, seorang penjahat perampok tertangkap, seorang dungu menyaksikan raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya:  [164] setelah menderanya dengan cambukan, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan pemukul; setelah memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; dikenai siksaan ‘panci bubur’, ‘bentuk kulit kerang yang halus’, ‘mulut Rāhu’, ‘lingkaran api’,[ ]tangan menyala’, ‘helai rumput’, ‘pakaian kulit kayu’, ‘kijang’, ‘kail daging’, ‘kepingan uang’, ‘cairan asin’, ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’, [ ]dan mereka disiram dengan minyak mendidih, dan mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang. Kemudian si dungu berpikir: [ ]‘Karena perbuatan-perbuatan jahat demikian, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya: mereka menderanya dengan cambukan ... dan memenggal kepalanya dengan pedang. Hal-hal ini terdapat dalam diriku, dan aku terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis ke dua kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

5. “Kemudian, ketika seorang dungu sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan di masa laluperilaku salah secara jasmani, ucapan, dan pikiranmeliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Bagaikan bayangan sebuah puncak gunung besar di malam hari meliputi, menyelimuti, dan membungkus bumi ini, demikian pula, ketika seorang dungu sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, [165] kemudian perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan di masa laluperilaku salah secara jasmani, ucapan, dan pikiranmeliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Kemudian si dungu berpikir: ‘Aku tidak pernah melakukan apa yang baik, aku tidak pernah melakukan apa yang bermanfaat, aku tidak pernah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan. Aku telah melakukan apa yang buruk, aku telah melakukan apa yang kejam, aku telah melakukan apa yang jahat.’ Ia berdukacita, sedih, dan meratap, ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ini adalah jenis ke tiga kesakitan dan kesedihan yang dirasakan oleh seorang dungu di sini dan saat ini.

6. “Seorang dungu yang telah menyerahkan diri kepada perilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali dalam kondisi kesengsaraan, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, bahkan di neraka.

(NERAKA)

7. “Jika dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Sungguh tidak diharapkan, sungguh tidak diinginkan, sungguh tidak menyenangkan,’ adalah tentang neraka yang, dengan benar dikatakan ini, sedemikian sehingga sulit menemukan perumpamaan bagi penderitaan di neraka.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Yang Mulia, dapatkah suatu perumpamaan diberikan?”

8. “Dapat, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata.  “Para bhikkhu, misalkan beberapa orang menangkap seorang penjahat perampok dan membawanya ke hadapan raja, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah seorang penjahat perampok. Perintahkanlah hukuman apa pun yang engkau inginkan atas dirinya.’ Kemudian raja berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di pagi hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di pagi hari dengan seratus tombak. Kemudian di siang hari raja bertanya: ‘Bagaimana orang itu?’‘Baginda, ia masih hidup.’ Kemudian ia berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di siang hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di siang hari dengan seratus tombak. Kemudian di malam hari raja bertanya: ‘Bagaimana orang itu?’‘Baginda, ia masih hidup.’ Kemudian ia berkata: ‘Pergilah dan tusuk orang ini di malam hari dengan seratus tombak.’ Dan mereka menusuknya di malam hari dengan seratus tombak. [166] Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah orang itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditusuk dengan tiga ratus tombak?”

“Yang Mulia, orang itu akan mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditusuk bahkan hanya dengan satu tombak, apa lagi tiga ratus.”

9. Kemudian, dengan mengambil sebutir batu berukuran sekepalan tangan-Nya, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Manakah yang lebih besar, batu kecil yang kuambil ini, yang berukuran sekepalan tangan-Ku, atau Himalaya, raja pegunungan?”

“Yang Mulia, batu kecil yang telah Sang Bhagavā ambil itu, yang berukuran sekepalan tangan Beliau, tidak berarti dibandingkan Himalaya, raja pegunungan; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.”

“Demikian pula, Para bhikkhu, kesakitan dan kesedihan yang orang itu alami karena ditusuk dengan tiga ratus tombak adalah tidak berarti dibandingkan penderitaan neraka; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.

10. “Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus perutnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

11. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.
« Last Edit: 20 February 2011, 10:18:09 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #53 on: 20 February 2011, 10:12:44 PM »
12. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

13. “Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya ke sana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar. [167] Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

14. “Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan arang yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

15. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

16. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang sehubungan dengan Neraka Besar, para bhikkhu:

   Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun
   Dengan empat pintu, satu di setiap sisinya,
   Berdinding ke atas dan ke sekeliling terbuat dari besi
   Dan ditutup dengan atap besi.
   Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus liga
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

17. “Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang neraka. [ ]Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di neraka.

(ALAM BINATANG)

18. “Para bhikkhu, ada binatang-binatang yang memakan rumput. Binatang-binatang itu makan dengan mengunyah rumput-rumput segar atau kering dengan giginya. Dan binatang-binatang apakah yang memakan rumput? Kuda, sapi, keledai, kambing, dan rusa, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang pemakan rumput itu.

19. “Ada binatang-binatang yang memakan kotoran. Binatang-binatang itu mencium bau kotoran dari kejauhan dan mendatanginya, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan, kami bisa makan!’ Seperti halnya para brahmana yang mendatangi aroma suatu pengorbanan, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan di sini, kami bisa makan di sini!’ demikian pula binatang-binatang yang memakan kotoran ini [168] mencium kotoran dari kejauhan dan mendatanginya, dengan berpikir: ‘Kami bisa makan di sini, kami bisa makan di sini!’ Dan binatang-binatang apakah yang memakan kotoran? Unggas, babi, anjing, dan serigala, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang pemakan kotoran itu.

20. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan? Ngengat, belatung, dan cacing tanah, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kegelapan.

21. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air? Ikan, kura-kura, dan buaya, dan binatang-binatang lain semacam itu. Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam air.

22. “Ada binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan. Dan binatang-binatang apakah yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan? Binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam ikan busuk atau dalam mayat busuk atau dalam bubur basi atau dalam jamban atau dalam saluran air kotor. [169] Seorang dungu yang sebelumnya bergembira dalam rasa kecapan di sini dan melakukan perbuatan jahat di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di tengah-tengah binatang-binatang yang lahir, menjadi tua, dan mati dalam kebusukan.

23. “Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang alam binatang. Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di alam binatang.

24. “Misalkan seseorang melemparkan sebuah gandar berlubang satu ke laut, dan angin timur meniupnya ke barat, dan angin barat meniupnya ke timur, dan angin utara meniupnya ke selatan, dan angin selatan meniupnya ke utara. Misalkan ada seekor kura-kura buta yang muncul ke permukaan setiap satu abad sekali. Bagaimana menurutmu, Para bhikkhu? Dapatkah kura-kura buta itu memasukkan lehernya ke dalam gandar berlubang satu itu?”

“Dapat, Yang Mulia, pada suatu saat atau di akhir suatu masa yang lama.”

“Para bhikkhu, kura-kura buta itu dapat memasukkan lehernya ke dalam gandar berlubang satu itu lebih cepat daripada seorang dungu, yang begitu terlahir di alam sengsara, dapat memperoleh kondisi manusianya kembali, Aku katakan. Mengapakah? Karena tidak ada praktik Dhamma di sana, tidak ada praktik kebenaran, tidak melakukan apa yang bermanfaat, tidak ada pelaksanaan kebajikan. Di sana hanya ada saling memangsa, dan pembantaian pada yang lemah.

25. “Jika pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama. Si dungu itu terlahir kembali menjadi manusia, adalah di dalam keluarga rendah ia terlahir kembalidalam keluarga buangan atau pemburu atau pengrajin bambu atau pengrajin kereta atau pemungut sampahyang miskin dan kekurangan makanan dan minuman, yang bertahan hidup dengan kesulitan, di mana ia sulit memperoleh makanan dan pakaian; dan ia buruk rupa, tidak indah dilihat, dan cacat, berpenyakit, buta, dengan tangan dan kaki yang timpang, atau lumpuh; ia tidak memperoleh makanan, minuman, dan pakaian, [170] kendaraan, kalung-bunga, wangi-wangian dan salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan cahaya; ia berperilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan setelah melakukan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

26. “Para bhikkhu, misalkan seorang penjudi pada lemparan pertamanya yang tidak beruntung kehilangan anak dan istrinya dan seluruh hartanya dan lebih jauh lagi ia akhirnya diperbudak, namun suatu lemparan tidak beruntung seperti itu adalah tidak berarti; adalah lemparan yang jauh lebih tidak beruntung ketika seorang dungu berperilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ini adalah kesempurnaan penuh dari tingkatan si dungu.


------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #54 on: 20 February 2011, 10:35:10 PM »
Lanjutan 129  Bālapaṇḍita Sutta
----------------------------------------

(ORANG BIJAKSANA)

27. “Bhikkhu, ada tiga karakteristik dari seorang bijaksana ini, tanda-tanda seorang bijaksana, sifat-sifat seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Di sini seorang bijaksana adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran baik, mengucapkan kata-kata baik, dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika seorang bijaksana tidak demikian, bagaimana mungkin seorang bijaksana dapat mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang manusia sejati’? Tetapi karena seorang bijaksana adalah seorang yang memikirkan pikiran-pikiran baik, mengucapkan kata-kata baik, dan melakukan perbuatan-perbuatan [ ]baik, maka para bijaksana mengenalinya sebagai berikut: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang manusia sejati.’

28. “Seorang dungubijaksana merasakan kenikmatan dan kegembiraan di sini dan saat ini dalam tiga cara. Jika seorang bijaksana duduk dalam suatu pertemuan atau berada di jalan atau di suatu lapangan dan orang-orang di sana sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan, maka, jika si bijaksana itu adalah seorang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari berperilaku salah dalam kenikmatan indria, [171] menghindari kebohongan, menghindari meminum anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan, ia berpikir: “Orang-orang ini sedang mendiskusikan persoalan-persoalan yang berhubungan dan berkaitan; hal-hal ini tidak terdapat dalam diriku, dan aku tidak terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ [ ]Ini adalah jenis pertama kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang bijaksana di sini dan saat ini.

29. “Kemudian, seorang penjahat perampok tertangkap, seorang bijaksana menyaksikan raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya ... (seperti pada §4) ... Kemudian si bijaksana berpikir:  ‘Karena perbuatan-perbuatan jahat demikian, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya. Hal-hal ini tidak terdapat dalam diriku, dan aku tidak terlihat sedang melakukan hal-hal tersebut.’ Ini adalah jenis ke dua kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang bijaksana di sini dan saat ini.

30. “Kemudian, ketika seorang bijaksana sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan di masa laluperilaku baik secara jasmani, ucapan, dan pikiranmeliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Bagaikan bayangan sebuah puncak gunung besar di malam hari meliputi, menyelimuti, dan membungkus bumi ini, demikian pula, ketika seorang bijaksana sedang berada di atas kursinya atau di atas ranjangnya atau sedang beristirahat di atas tanah, kemudian perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan di masa laluperilaku baik secara jasmani, ucapan, dan pikiranmeliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Kemudian si bijaksana berpikir: ‘Aku tidak pernah melakukan apa yang buruk, aku tidak pernah melakukan apa yang kejam, aku tidak pernah melakukan apa yang jahat. Aku telah melakukan apa yang baik, aku telah melakukan apa yang bermanfaat, aku telah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan. Ketika aku meninggal dunia, Aku akan pergi menuju alam tujuan kelahiran dari mereka yang tidak pernah melakukan apa yang jahat ... yang telah menjadikan diriku sebagai perlindungan dari penderitaan.’ Ia tidak berdukacita, sedih, dan meratap, ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ini adalah jenis ke tiga kenikmatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh seorang dungubijaksana di sini dan saat ini.

31. “Seorang bijaksana yang telah menyerahkan diri kepada perilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, [172] ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga.

(SURGA)

32. “Jika dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Sungguh sangat diharapkan, sungguh sangat diinginkan, sungguh sangat menyenangkan,’ adalah tentang surga yang, dengan benar dikatakan ini, sedemikian sehingga sulit menemukan perumpamaan bagi kebahagiaan di alam surga.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Yang Mulia, dapatkah suatu perumpamaan diberikan?”

33. “Dapat, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Para bhikkhu, misalkan bahwa seorang Raja Pemutar-Roda  memiliki tujuh pusaka dan empat jenis keberhasilan, dan karena hal itu mengalami kenikmatan dan kegembiraan.

34. “Apakah ketujuh pusaka ini? Di sini, ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari Uposatha hari ke lima belas [ ]dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan Uposatha, di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam setiap aspek. Ketika melihatnya, raja mulia yang sah itu berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari Uposatha hari ke lima belas dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan Uposatha, dan di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam setiap aspek, maka raja itu menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Apakah aku adalah seorang Raja Pemutar-Roda?’

35. “Kemudian raja mulia yang sah itu bangkit dari duduknya, dan dengan membawa sekendi air di tangan kirinya, ia memercikkan pusaka-roda itu dengan kanannya, dengan berkata: ‘Berputarlah maju, pusaka-roda yang baik; menanglah, pusaka-roda yang baik!’ Kemudian pusaka-roda itu berputar maju ke arah timur dan Sang Raja Pemutar Roda mengikutinya bersama dengan empat barisan bala tentaranya. Sekarang di wilayah mana pun pusaka-roda itu berhenti, di sana Sang Raja Pemutar-Roda berdiam bersama keempat barisan bala tentaranya. Dan [173] para raja lawan di arah timur mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Datanglah, Raja Agung; selamat datang, Raja Agung; perintahlah, Raja Agung; nasihatilah, Raja Agung.’ Sang Raja Pemutar-Roda berkata sebagai berikut: ‘Kalian tidak boleh membunuh makhluk-makhluk hidup; kalian tidak boleh mengambil apa yang tidak diberikan; kalian tidak boleh berperilaku salah dalam kenikmatan indria; kalian tidak boleh mengucapkan kebohongan; kalian tidak boleh meminum minuman memabukkan; kalian seharusnya memakan apa yang biasanya kalian makan.’ Dan para raja lawan di arah timur mematuhi Raja Pemutar-Roda.

“Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudra timur dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah selatan ... Dan para raja lawan di arah selatan mematuhi Raja Pemutar-Roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudra selatan dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah barat ... Dan para raja lawan di arah barat mematuhi Raja Pemutar-Roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudra barat dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah utara ... Dan para raja lawan di arah utara mematuhi Raja Pemutar-Roda.

“Sekarang ketika pusaka-roda telah memenangkan seluruh bumi hingga ke batas samudra, pusaka-roda itu kembali ke ibu kota dan berdiam seolah-olah terpasang pada porosnya di gerbang istana dalam si Raja pemutar-Roda, sebagai penghias gerbang menuju istana dalamnya. Demikianlah pusaka-roda yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

36. “Kemudian, pusaka-gajah muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, berwarna putih, dengan tujuh sikap berdiri, dengan kekuatan gaib, terbang melalui angkasa, raja gajah bernama ‘Uposatha’. Ketika melihatnya, pikiran Sang Raja Pemutar-Roda berkeyakinan sebagai berikut: ‘Akan menakjubkan sekali menunggang gajah ini, jika ia dapat dijinakkan!’ Kemudian pusaka-gajah itu [174] dijinakkan seperti seekor gajah dari keturunan murni yang baik yang telah dijinakkan dengan baik untuk waktu yang lama. Dan demikianlah yang terjadi pada Raja Pemutar-Roda, ketika mencoba pusaka-gajahnya, menungganginya di pagi hari, dan setelah melewati seluruh permukaan bumi hingga ke batas samudra, ia kembali ke ibu kota kerajaan untuk sarapan pagi. Demikianlah pusaka-gajah yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #55 on: 20 February 2011, 11:25:13 PM »
37. “Kemudian, pusaka-kuda muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, berwarna putih, dengan kepala sehitam burung gagak, dengan bulu tengkuk seperti rumput muñja, dengan kekuatan gaib, terbang melalui angkasa, raja kuda bernama ‘Valāhaka’ [‘Awan petir’]. Ketika melihatnya, pikiran Sang Raja Pemutar-Roda berkeyakinan sebagai berikut: ‘Akan menakjubkan sekali menunggang kuda ini, jika ia dapat dijinakkan!’ Kemudian pusaka-kuda itu dijinakkan seperti seekor kuda dari keturunan murni yang baik yang telah dijinakkan dengan baik untuk waktu yang lama. Dan demikianlah yang terjadi pada Raja Pemutar-Roda, ketika mencoba pusaka-kudanya, menungganginya di pagi hari, dan setelah melewati seluruh permukaan bumi hingga ke batas samudra, ia kembali ke ibu kota kerajaan untuk sarapan pagi. Demikianlah pusaka-kuda yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

38. “Kemudian, pusaka-permata muncul untuk si Raja Pemutar-Roda. Permata itu adalah sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik. Sekarang cahaya dari pusaka-permata itu bersinar sejauh satu liga. Dan demikianlah yang terjadi ketika Sang Raja Pemutar-Roda mencoba pusaka-permatanya, ia membariskan keempat barisan bala tentaranya, dan menaikkan permata itu di atas benderanya, ia berjalan di dalam kegelapan dan kekelaman malam. Kemudian semua [penduduk] desa di dekatnya mulai bekerja dengan penerangan dari permata itu, menganggap bahwa hari telah siang. Demikianlah pusaka-permata yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

39. “Kemudian, pusaka-perempuan muncul untuk si Raja Pemutar-Roda, cantik, menarik, dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, [175] tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah, melampaui kecantikan manusia tanpa menyaingi kecantikan surgawi. Sentuhan pusaka-perempuan adalah seperti sentuhan segumpal kapok atau segumpal kapas. Ketika cuaca dingin, tubuhnya hangat; ketika cuaca hangat, tubuhnya dingin. Dari tubuhnya menguar aroma cendana, dan dari mulutnya menguar aroma teratai. Ia bangun sebelum Sang Raja dan tidur setelah Sang Raja. Ia suka melayani, berperilaku menyenangkan, dan bertutur-kata manis. Karena ia tidak pernah berkhianat pada Sang Raja Pemutar-Roda bahkan dalam pikiran, bagaimana mungkin ia melakukannya secara jasmani? Demikianlah pusaka-perempuan yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

40. “Kemudian, pusaka-pelayan muncul untuk si Raja Pemutar-Roda. Mata dewa yang muncul karena perbuatan masa lampau muncul dalam dirinya sehingga ia mampu melihat harta-harta karun tersembunyi baik yang ada pemiliknya maupun yang tidak ada pemiliknya. Ia mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Baginda, silakan engkau bersantai. Aku akan mengatur urusan keuanganmu.’ Dan demikianlah yang terjadi ketika Sang Raja Pemutar-Roda mencoba pusaka-pelayannya, ia menaiki perahu, dan melayarkannya ke Sungai Gangga, di tengah sungai ia berkata kepada pusaka-pelayan: ‘Aku memerlukan emas dan perak, Pelayan.’—‘Kalau begitu, Baginda, silakan perahu ini menepi ke satu sisi.’‘Pelayan, sebenarnya aku memerlukan emas dan perak itu di sini.’ Maka pusaka-pelayan itu mencelupkan tangannya ke air dan menarik sekendi penuh emas dan perak, dan ia berkata kepada Raja Pemutar-Roda: ‘Apakah ini cukup, Baginda? Cukupkah yang telah dilakukan, cukupkah yang telah dipersembahkan?’‘Ini cukup, Pelayan, apa yang dilakukan telah mencukupi, apa yang dipersembahkan telah mencukupi.’ Demikianlah pusaka-pelayan yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

41. “Kemudian, pusaka-penasihat muncul [176] untuk si Raja Pemutar-Roda, bijaksana, cerdas, dan cerdik, mampu menyarankan Sang Raja Pemutar-Roda untuk memajukan apa yang seharusnya dimajukan, untuk menolak apa yang seharusnya ditolak, dan untuk menegakkan apa yang seharusnya ditegakkan. Ia mendatangi Raja Pemutar-Roda dan berkata: ‘Baginda, silakan engkau bersantai. Aku akan memerintah.’ Demikianlah pusaka-penasihat yang muncul bagi seorang Raja Pemutar-Roda.

“Ini adalah ketujuh pusaka yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

42. “Apakah keempat jenis keberhasilan? Di sini seorang Raja Pemutar-Roda tampan, menarik, dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan pertama yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

43. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda berumur panjang dan bertahan lama, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan ke dua yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

44. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda bebas dari penyakit dan penderitaan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, dan ia melampaui kecantikan manusia dalam hal ini. Ini adalah keberhasilan ke tiga yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

45. “Kemudian seorang Raja Pemutar-Roda disayangi dan menyenangkan bagi para brahmana dan para perumah tangga. Seperti halnya seorang ayah disayangi dan menyenangkan bagi anak-anaknya, demikian pula seorang Raja Pemutar-Roda disayangi dan menyenangkan bagi para brahmana dan para perumah tangga. Para brahmana dan para perumah tangga, juga, disayangi dan menyenangkan bagi Sang Raja Pemutar-Roda. Seperti halnya anak-anak disayang dan menyenangkan bagi seorang ayah, demikian pula para brahmana dan para perumah tangga, juga, disayangi dan menyenangkan bagi Sang Raja Pemutar-Roda. Suatu ketika seorang Raja Pemutar-Roda sedang berkendara di Taman Rekreasi bersama dengan keempat barisan bala-tentaranya. Kemudian para brahmana dan para perumah tangga mendatanginya dan berkata: ‘Baginda, berjalanlah lebih lambat agar kami dapat melihatmu lebih lama.’ Dan demikianlah ia memerintahkan kusirnya: [177] ‘Kusir, berjalanlah lebih lambat agar aku dapat melihat para brahmana dan para perumah tangga ini lebih lama.’ Ini adalah keberhasilan ke empat yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

“Ini adalah keempat jenis keberhasilan yang dimiliki oleh seorang Raja Pemutar-Roda.

46. “Bagaimana menurut kalian, Para Bhikkhu? Apakah seorang Raja Pemutar-Roda mengalami kenikmatan dan kegembiraan karena memiliki ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan ini?”

“Yang Mulia, seorang Raja Pemutar-Roda mengalami kenikmatan dan kegembiraan karena memiliki bahkan hanya satu pusaka, apalagi ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan ini.”

47. Kemudian, dengan mengambil sebutir batu berukuran sekepalan tangan-Nya, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Manakah yang lebih besar, batu kecil yang kuambil ini, yang berukuran sekepalan tangan-Ku, atau Himalaya, raja pegunungan?”

“Yang Mulia, batu kecil yang telah Sang Bhagavā ambil itu, yang berukuran sekepalan tangan Beliau, tidak berarti dibandingkan Himalaya, raja pegunungan; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.”

“Demikian pula, Para bhikkhu, kenikmatan dan kegembiraan yang dialami oleh seorang Raja Pemutar-Roda karena memiliki ketujuh pusaka dan keempat keberhasilan adalah tidak berarti dibandingkan penderitaan nerakakebahagiaan surga; bahkan tidak ada sebagian kecilnya, tidak dapat dibandingkan.

48. “Jika pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama. Si bijaksana itu terlahir kembali menjadi manusia, adalah di dalam keluarga makmur ia terlahir kembalidalam keluarga mulia kaya, atau keluarga brahmana kaya, atau keluarga perumah tangga kayayang kaya, memiliki banyak harta kekayaan, memiliki banyak kepemilikan, dengan emas dan perak berlimpah, dan aset dan harta berlimpah, dan dengan uang dan hasil panen berlimpah. Ia tampan, menarik, dan anggun, memiliki kulit yang sangat indah. Ia [ ]mendapatkan makanan dan minuman, pakaian, kendaraan, kalung-bunga, wangi-wangian dan salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan cahaya. [178] Ia berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan setelah melakukan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga.

49. “Para bhikkhu, misalkan seorang penjudi pada lemparan pertamanya yang beruntung memenangkan harta besar, namun suatu lemparan beruntung seperti itu adalah tidak berarti; adalah lemparan yang jauh lebih beruntung ketika seorang bijaksana yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. [ ]Ini adalah kesempurnaan penuh dari tingkatan si bijaksana.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #56 on: 21 February 2011, 12:13:36 AM »
130  Devadūta Sutta
Utusan Surgawi


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, misalkan terdapat dua rumah berpintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang masuk dan keluar dan berlalu-lalang. Demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Atau makhluk-makhluk mulia ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan [179] pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam manusia. Tetapi makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam hantu. Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk …  ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam binatang. [ ]Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk … ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka.’

3. “Sekarang para penjaga neraka menangkap makhluk itu pada kedua lengannya dan membawanya ke hadapan Raja Yama, [ ]dengan berkata: ‘Baginda, orang ini telah memperlakukan ibunya dengan buruk, memperlakukan ayahnya dengan buruk, memperlakukan para petapa dengan buruk, memperlakukan para brahmana dengan buruk; ia tidak menghormati para tetua sukunya. Silakan Raja menjatuhkan hukuman.’

4. “Kemudian Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama muncul di dunia?’ [ ]Ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang bayi lembut yang berbaring telungkup, kotor dengan kotoran dan air kencingnya sendiri?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmuseorang manusia yang cerdas dan dewasa“Aku juga tunduk pada kelahiran, aku tidak terbebas dari kelahiran: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu atau ayahmu, [180] atau oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, atau oleh teman-teman dan sahabatmu, atau oleh sanak saudara dan kerabatmu, atau oleh para petapa dan brahmana, atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

5. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua muncul di dunia?’ Ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-lakiatau seorang perempuanberumur delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti rusuk atap, terlipat dua, berjalan dengan ditopang oleh tongkat, terhuyung-huyung, lemah, tiada kemudaan, gigi tanggal, rambut memutih, rambut berguguran, botak, keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmuseorang manusia yang cerdas dan dewasa“Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

6. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga: [181] ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga muncul di dunia?’ Ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-lakiatau seorang perempuanyang sakit, menderita, dan sakit parah, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

[ ]
“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmuseorang manusia yang cerdas dan dewasa“Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

7. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tigaempat muncul di dunia?’ Ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya: setelah menderanya dengan cambukan ... (seperti Sutta 129, §4) ... dan kepala mereka dipenggal dengan pedang?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmuseorang manusia yang cerdas dan dewasa“Mereka yang melakukan perbuatan jahat akan mengalami berbagai jenis siksaan di sini dan saat ini; [182] apa lagi setelah kematian? Tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

8. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dualima muncul di dunia?’ Ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-lakiatau seorang perempuansatu hari setelah mati, dua hari setelah mati, tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan meneteskan cairan?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmuseorang manusia yang cerdas dan dewasa“Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

9. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima, Raja Yama berdiam diri.

10. “Kemudian para penjaga neraka [183] menyiksanya dengan lima tusukan. [ ]Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus perutnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

11. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

12. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #57 on: 21 February 2011, 12:31:09 AM »
13. “Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya ke sana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

14. “Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan arang yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

15. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

16. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang sehubungan dengan Neraka Besar, para bhikkhu:

   Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun
   Dengan empat pintu, satu di setiap sisinya,
   Berdinding ke atas dan ke sekeliling terbuat dari besi
   Dan ditutup dengan atap besi.
   Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus liga
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

17. “Sekarang lidah api yang menyambar dari tembok timur mengenai tembok barat. Lidah api yang menyambar dari tembok barat mengenai [184] tembok timur. Lidah api yang menyambar dari tembok utara mengenai tembok selatan. Lidah api yang menyambar dari tembok selatan mengenai tembok utara. Lidah api yang menyambar dari lantai mengenai atap. Lidah api yang menyambar dari atap mengenai lantai. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

18. Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

“Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu barat Neraka Besar itu terbuka ... pintu utara Neraka Besar itu terbuka ... pintu selatan Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat ... Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

19. “Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ia keluar melalui pintu itu.

20. “Persis di sebelah Neraka Besar [185] adalah Neraka Kotoran yang luas. Ia terjatuh ke dalam neraka itu. Di dalam Neraka Kotoran itu, makhluk-makhluk bermulut jarum mengebor kulit luarnya dan mengebor kulit dalamnya dan mengebor dagingnya dan mengebor uratnya dan mengebor tulangnya dan melahap sumsumnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

21. “Persis di sebelah Neraka Kotoran adalah Neraka Bara Api Panas yang luas. Ia terjatuh di sana. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

22. “Persis di sebelah Neraka Bara Api Panas adalah Hutan Pepohonan Simbali yang luas, tingginya satu liga, berduri dengan duri-duri sepanjang enam belas lebar jari, yang terbakar, menyala, dan berpijar. Mereka menyuruhnya memanjat pepohonan itu naik dan turun. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

23. “Persis di sebelah Hutan Pepohonan Simbali adalah Hutan Daun-pedang yang luas. Ia masuk ke sana. Dedaunannya, digerakkan oleh angin, memotong tangannya dan memotong kakinya dan memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya dan memotong hidungnya dan memotong telinga dan hidungnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

24. “Persis di sebelah Hutan Daun-pedang adalah sungai besar berair tajam. Ia terjatuh di sana. Di sana ia tersapu mengikuti arus dan melawan arus dan mengikuti-sekaligus-melawan arus. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

25. “Kemudian para penjaga neraka menariknya dengan kail, [186] dan menaikkannya ke atas tanah, mereka bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ Ia berkata: ‘Aku lapar, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka memasukkan bola besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya, bola besi itu membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

26. “Kemudian para penjaga bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ Ia berkata: ‘Aku haus, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka menuangkan tembaga cair yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya. Tembaga itu membakar bibirnya, membakar mulutnya, membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

27. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya kembali ke dalam Neraka Besar.

28. “Pernah Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan yang dijatuhkan pada mereka. O, semoga aku terlahir kembali menjadi manusia, semoga seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia, semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu, semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami Dhamma Sang Bhagavā itu!”

29. “Para bhikkhu, Aku mengatakan hal ini kepada kalian bukan sebagai sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain. Aku mengatakan hal ini kepada kalian sebagai sesuatu yang sebenarnya diketahui, dilihat, dan ditemukan oleh-Ku sendiri.” [187]

30. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah Yang Sempurna mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi,
   Banyak yang lalai,
   Dan orang-orang sungguh akan berdukacita dalam waktu yang lama
   Begitu pergi ke alam rendah.
   Tetapi ketika oleh para utusan surgawi
   Orang-orang baik di sini dalam kehidupan ini teringat,
   Mereka tidak berdiam dalam kelalaian
   Namun mempraktikkan Dhamma mulia dengan baik.
   Dengan takut mereka melihat kemelekatan
   Karena dapat mengakibatkan kelahiran dan kematian;
   Dan melalui ketidakmelekatan, mereka terbebas
   Dalam hancurnya kelahiran dan kematian.
   Mereka berdiam dalam kebahagiaan karena mereka aman
   Dan mencapai Nibbāna di sini dan saat ini.
   Mereka melampaui segala ketakutan dan kebencian;
   Mereka telah membebaskan diri dari segala penderitaan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #58 on: 21 February 2011, 12:48:08 AM »
131  Bhaddekaratta Sutta
Satu Malam Keramat

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’. [ ]Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan Mortalitas
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat. [188]

4. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’ [ ]Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

5. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’ [ ]Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ ... ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu.

6. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan[!].’ [ ]Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan.’ Itu adalah bagaimana seseorang membangun harapan di masa depan.

7. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan[!].’ Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan.’ ... ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan.’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak membangun harapan di masa depan.

8. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? [ ]Di sini, Para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri [189] … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

9. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Di sini, Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

10.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.

11. “Demikianlah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari “Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat.”’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #59 on: 21 February 2011, 07:23:58 PM »
132  Ānandabhaddekaratta Sutta
Ānanda dan
Satu Malam Keramat


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Ānanda sedang memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan [190] para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan. Ia sedang mengulangi ringkasan dan penjelasan dari “Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Keramat”.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi-Nya dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, siapakah yang telah memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan? Siapakah yang telah mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’?”

“Ia adalah Yang Mulia Ānanda, Yang Mulia.”

Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, bagaimanakah engkau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’.

3-10. “Aku melakukannya sebagai berikut, Yang Mulia: [191]

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelumnya, §3-10 hingga:[ ])
   Yang telah melewati satu malam keramat.’

11. “Aku memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’ seperti itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Bagus sekali bahwa engkau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma, dan mengulangi ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang Telah Melewati Satu Malam Keramat’ sebagai berikut:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelumnya, §3-10 hingga:[ ])
   Yang telah melewati satu malam keramat.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #60 on: 21 February 2011, 08:32:58 PM »
133  Mahākaccānabhaddekaratta Sutta
Mahā Kaccāna dan
Satu Malam Keramat

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Taman Mata Air Panas. Kemudian, menjelang fajar, Yang Mulia Samiddhi pergi ke mata air panas untuk mandi. Setelah mandi, ia keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah, mengeringkan tubuhnya. Kemudian, ketika malam hampir berlalu, sesosok dewa berpenampilan indah yang menerangi seluruh Mata Air Panas itu, mendekati Yang Mulia Samiddhi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu berkata:

2. “Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang setelah itu lenyap seketika.

3. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, [193] menceritakan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

4. “Kalau begitu, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. Sang Bhagavā berkata:

5.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan Mortalitas
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

6. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan itu, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya.

7. [ ]Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: [ ]“Sekarang, Teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” [194] Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

8. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

9. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [195] berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, Para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci; Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

10. “Tentu saja, Teman Kaccāna, dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

11. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kusampaikan.”“Baiklah, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

12. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.
 
Aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

13. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? [196] Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’ [ ]Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, ‘Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan objek-objek sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan objek-objek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia menghidupkan kembali masa lalu. Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

14. “Bagaimanakah seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu? Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Mataku adalah seperti demikian di masa lalu dan bentuk-bentuk adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

“Kesadarannya tidak menjadi terikat dengan keinginan dan nafsu di sana dengan berpikir, Telingaku adalah seperti demikian di masa lalu dan suara-suara adalah seperti demikian … Hidungku dan bau-bauan … Lidahku dan rasa kecapan … Badanku dan objek-objek sentuhan … Pikiranku adalah seperti demikian di masa lalu dan objek-objek pikiran adalah seperti demikian.’ Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak menghidupkan kembali masa lalu.

15. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

“Seseorang berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan objek-objek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan [197] objek-objek pikiran seperti demikian!’ Karena ia berkeinginan demikian, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia membangun harapan di masa depan.

16. “Bagaimanakah, Teman-teman, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga mataku seperti demikian di masa depan dan bentuk-bentuk seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

“Seseorang tidak berkeinginan untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, dengan berpikir, ‘Semoga telingaku seperti demikian di masa depan dan suara-suara seperti demikian ... Semoga hidungku dan bau-bauan ... Semoga lidahku dan rasa kecapan ... Semoga badanku dan objek-objek sentuhan ... Semoga pikiranku seperti demikian di masa depan dan objek-objek pikiran seperti demikian!’ Karena ia tidak berkeinginan demikian, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tidak membangun harapan di masa depan.

17. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan objek-objek sentuhan ... pikiran dan objek-objek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia bergembira di dalamnya. Ketika ia bergembira di dalam itu, maka ia kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang kalah sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

18. “Bagaimanakah, seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk yang muncul saat ini, kesadaran seseorang tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

“Sehubungan dengan telinga dan suara-suara yang muncul saat ini ... hidung dan bau-bauan ... lidah dan rasa kecapan ... badan dan objek-objek sentuhan ... pikiran dan objek-objek pikiran yang muncul saat ini, kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu pada apa yang muncul saat ini. Karena kesadarannya tidak terikat dengan keinginan dan nafsu, maka ia tidak bergembira di dalamnya. Ketika ia tidak bergembira di dalam itu, maka ia tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini. Itu adalah bagaimana seseorang tak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu:

‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
   Yang telah melewati satu malam keramat.
 
Aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: [199] “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepada-Ku tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #61 on: 21 February 2011, 08:57:22 PM »
134  Lomasakangiyabhaddekaratta Sutta
Lomasakangiya dan
Satu Malam Keramat


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, Yang Mulia Lomasakangiya sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada larut malam, Candana, dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Taman Nigrodha, mendekati Yang Mulia Lomasakangiya. Sambil berdiri di satu sisi, Candana si dewa muda berkata kepadanya:

“Bhikkhu, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?” [200]

“Teman, aku tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku juga tidak ingat ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Bhikkhu, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Teman, aku tidak ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Tetapi, Teman, apakah engkau ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’?”

“Bhikkhu, aku ingat syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

“Tetapi, Teman, bagaimanakah syair dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ yang engkau ingat?”

“Bhikkhu, suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, di atas batu pualam merah di bawah pohon Pāricchattaka. [ ]Di sana Sang Bhagavā membabarkan ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ kepada para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga:

3.    “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu
   Atau membangun harapan di masa depan;
   Karena masa lalu telah ditinggalkan
   Dan masa depan belum dicapai.
   Melainkan lihatlah dengan pandangan terang
   Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;
   Ketahuilah dan yakinlah,
   Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.
   Saat ini usaha harus dilakukan;
   Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu?
   Tidak ada tawar-menawar dengan Mortalitas
   Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya,
   Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun,
   Tanpa mengendur, siang dan malam
   Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang bijaksana yang damai,
   Yang telah melewati satu malam keramat.

4. “Bhikkhu, aku ingat syair ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ seperti demikian. Bhikkhu, pelajarilah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, kuasailah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, hafalkanlah ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’. Bhikkhu, ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’ adalah bermanfaat, dan merupakan dasar-dasar kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Candimaana si dewa muda, yang setelah itu lenyap seketika.

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Lomasakangiya merapikan tempat tinggalnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī. Ia [201] akhirnya sampai di Sāvatthī, dan menghadap Sang Bhagavā di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, memberitahukan kepada Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi, dan berkata: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang yang telah melewatkan satu malam keramat’.

6. “Bhikkhu, apakah engkau mengenal dewa muda itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bhikkhu, dewa muda itu bernama Candana. Ia menekuni Dhamma, memperhatikan, menekuninya dengan seluruh pikirannya, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Maka, Bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Lomasakangiya menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7-14.   ‘Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu ...
(Ulangi keseluruhan sutta sebelumnya, §3-10 hingga:[ ]) [202]
   Yang telah melewati satu malam keramat.’

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Lomasakangiya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #62 on: 21 February 2011, 09:38:32 PM »
135  Cūḷakammavibhanga Sutta
Pembabaran Singkat tentang Perbuatan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi, mengapa manusia terlihat hina dan mulia? Orang-orang terlihat berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, cantik dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak berpengaruh, miskin dan kaya, berkelahiran rendah dan berkelahiran tinggi, bodoh dan [203] bijaksana. Apakah sebab dan kondisi, Guru Gotama, mengapa manusia terlihat hina dan mulia?”

4. “Murid, makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari penyataan Guru Gotama, yang diucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku agar aku dapat memahami secara terperinci makna dari pernyataan Guru Gotama.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” murid brahmana Subha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan [ ]ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berumur pendek.  Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan [ ]ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.

6. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelaskasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berumur panjang. [ ]Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelaskasihan pada semua makhluk hidup.

7. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berpenyakit. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada penyakit, yaitu, seseorang yang terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

8. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan sehat. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kesehatan, yaitu, seseorang yang tidak terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau.

9. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan memiliki karakter pemarah dan mudah tersinggung; bahkan jika dikritik sedikit, ia menjadi tersinggung, menjadi marah, bermusuhan, dan membenci, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki rupa yang buruk. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada rupa yang buruk, yaitu, seseorang yang memiliki karakter pemarah … dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

10. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memiliki karakter pemarah dan tidak mudah tersinggung; bahkan jika banyak dikritik, ia tidak menjadi tersinggung, tidak menjadi marah, tidak bermusuhan, dan tidak membenci, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki rupa yang cantik. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada rupa yang cantik, yaitu, seseorang yang tidak memiliki karakter pemarah … dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam.

11. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan bersifat iri, seorang yang iri-hati, sakit hati, dan iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia tidak akan memiliki pengaruh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada ketiadaan pengaruh, yaitu, seseorang yang bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. [205]

12. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak bersifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak sakit hati, dan tidak iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan memiliki pengaruh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kepemilikan pengaruh, yaitu, seseorang yang tidak bersifat iri … terhadap perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain.

13. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak memberikan makanan, minuman, pakaian, kereta, kalung bunga, wangi-wangian, salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi miskin. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kemiskinan, yaitu, seseorang tidak memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

14. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi kaya. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kekayaan, yaitu, seseorang memberikan makanan … dan pelita kepada para petapa atau para brahmana.

15. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan keras kepala dan sombong; ia tidak memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, tidak bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, tidak memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berkelahiran rendah. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kelahiran rendah, yaitu, sifat keras kepala dan sombong … dan tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

16. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak keras kepala dan tidak sombong; ia memberi hormat kepada seorang yang selayaknya menerima penghormatan, bangkit berdiri untuk seseorang yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, memberikan tempat duduk kepada ia yang layak menerima tempat duduk, memberi jalan untuk seseorang yang seharusnya ia beri jalan, dan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan berkelahiran tinggi. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kelahiran tinggi, yaitu, sifat tidak [ ]keras kepala dan tidak sombong … dan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan seseorang yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

17. “Di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? Apakah yang tidak bermanfaat? Apakah yang tercela? Apakah yang tidak tercela? Apakah yang harus dilatih? Apakah yang tidak boleh dilatih? Perbuatan apakah yang mengarah pada kerugian dan penderitaanku untuk waktu yang lama? Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali dalam kondisi menderita … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi bodoh. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kebodohan, yaitu, seseorang tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian. [206]

18. “Tetapi di sini, Murid, seorang laki-laki atau perempuan mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat? … Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian … ia muncul kembali di alam bahagia … Tetapi jika sebaliknya ia kembali ke alam manusia, maka di mana pun ia terlahir kembali, ia akan menjadi bijaksana. Demikianlah, Murid, hal itu mengarah pada kebijaksanaan, yaitu, seseorang mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian.

19. “Demikianlah, Murid, jalan yang mengarah pada umur yang pendek menyebabkan orang-orang menjadi berumur pendek, jalan yang mengarah pada umur yang panjang menyebabkan orang-orang menjadi berumur panjang; jalan yang mengarah pada penyakit menyebabkan orang-orang menjadi berpenyakit, jalan yang mengarah pada kesehatan menyebabkan orang-orang menjadi sehat; jalan yang mengarah pada rupa yang buruk menyebabkan orang-orang menjadi buruk rupa, jalan yang mengarah pada rupa yang cantik menyebabkan orang-orang menjadi cantik; jalan yang mengarah pada ketiadaan pengaruh menyebabkan orang-orang [ ]menjadi tidak berpengaruh, jalan yang mengarah pada kepemilikan pengaruh menyebabkan orang-orang menjadi berpengaruh; jalan yang mengarah pada kemiskinan menyebabkan orang-orang menjadi miskin, jalan yang mengarah pada kekayaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi kaya; jalan yang mengarah pada kelahiran rendah menyebabkan orang-orang menjadi berkelahiran rendah, jalan yang mengarah pada kelahiran tinggi menyebabkan orang-orang menjadi menjadi berkelahiran tinggi; jalan yang mengarah pada kebodohan menyebabkan orang-orang menjadi bodoh, jalan yang mengarah pada kebijaksanaan menyebabkan orang-orang menjadi menjadi bijaksana.

20. “Makhluk-makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terhubung dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.”

21. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #63 on: 21 February 2011, 10:36:35 PM »
136  Mahākammavibhanga Sutta
Pembabaran Panjang tentang Perbuatan


[207] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. [ ]Pada saat itu, Yang Mulia Samiddhi sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pengembara Potaliputta, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi Yang Mulia Samiddhi dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi.

“Teman Samiddhi, aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Petapa Gotama sendiri: ‘Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Dan: ‘Ada pencapaian yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apa pun sama sekali.’”

“Jangan berkata begitu, Teman Potaliputta, jangan berkata begitu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā, tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti ini: [;]Perbuatan jasmani adalah kosong, perbuatan ucapan adalah kosong, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Tetapi, Teman, memang ada pencapaian itu yang dengan memasukinya seseorang tidak merasakan apa pun sama sekali.”

“Berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian, Teman Samiddhi?”

“Belum lama, Teman: tiga tahun.”

“Demikianlah, apa yang akan kami katakan kepada para bhikkhu senior ketika seorang bhikkhu muda berpikir bahwa Sang Guru harus dibela seperti demikian? Teman Samiddhi, setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, apakah yang dirasakan seseorang?”

“Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, seseorang merasakan penderitaan, Teman Potaliputta.”

Kemudian, dengan tidak menerima juga tidak menolak kata-kata Yang Mulia Samiddhi, Pengembara Potaliputta bangkit dari duduknya dan pergi.

3. Segera setelah Pengembara Potaliputta pergi, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Yang Mulia Ānanda [208] dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan melaporkan keseluruhan percakapannya dengan Pengembara Potaliputta kepada Yang Mulia Ānanda. Setelah ia selesai berbicara, Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya: “Sahabat Samiddhi, percakapan ini harus diberitahukan kepada Sang Bhagavā. Marilah, kita menghadap Sang Bhagavā dan memberi tahu Beliau mengenai hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.”“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Samiddhi menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Yang Mulia Samiddhi bersama-sama mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda melaporkan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Samiddhi dengan Pengembara Potaliputta kepada Sang Bhagavā.

5. Ketika ia selesai, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Aku bahkan tidak ingat pernah bertemu dengan Pengembara Potaliputta, jadi bagaimana mungkin pernah terjadi percakapan ini? Walaupun pertanyaan Pengembara Potaliputta seharusnya dianalisis terlebih dulu sebelum dijawab, namun orang sesat Samiddhi ini menjawabnya secara sepihak.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkin Yang Mulia Samiddhi berkata demikian dengan merujuk pada [prinsip]: ‘Apa pun yang dirasakan adalah termasuk dalam penderitaan.’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Lihatlah, Ānanda, bagaimana orang sesat Udāyin ini menyimpulkan. Aku tahu, Ānanda, bahwa saat ini orang sesat Udāyin ini akan menyimpulkan dengan cara keliru. Sejak awal Pengembara Potaliputta menanyakan tentang ketiga jenis perasaan. Orang sesat Samiddhi ini [209] seharusnya menjawab Pengembara Potaliputta dengan benar jika, ketika ditanya demikian, ia menjelaskan: ‘Teman Potaliputta, [ ]setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyenangkan, maka seseorang merasa senang. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyakitkan, maka seseorang merasa sakit. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka seseorang merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan.’ Tetapi siapakah orang-orang dungu ini, para pengembara bodoh dari sekte lain, yang dapat memahami penjelasan panjang dari Sang Tathāgata tentang perbuatan? Engkau harus mendengarkan Sang Tathāgata, Ānanda, sewaktu Beliau menjelaskan penjelasan panjang tentang perbuatan.”

7. “Sekaranglah waktunya, Sang Bhagavā, sekaranglah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk membabarkan penjelasan panjang tentang perbuatan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Ānanda, [ ]ada empat jenis orang terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata jahat, mengucapkan kata-kata kasar, bergosip; ia tamak, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Tetapi seseorang di sini membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan kebohongan, menghindari mengucapkan kata-kata jahat, [210] menghindari mengucapkan kata-kata kasar, menghindari gosip; ia tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

9. “Di sini, Ānanda, melalui semangat, usaha, kegigihan, ketekunan, dan perhatian benar, seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

10. “Tetapi di sini, Ānanda, [211] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

11. “Di sini, Ānanda, melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

12. “Tetapi di sini, Ānanda, [212] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup ... dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

13. “Di sana, Ānanda, [ ]ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

14. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ [213] Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

15. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.


-------------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #64 on: 21 February 2011, 10:47:59 PM »
Lanjutan 136  Mahākammavibhanga Sutta
------------------------------------------------------

16. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: [214] ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

17. “Di sana, Ānanda, [ ]sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. [ ]Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. [ ]Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

18. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. [ ]Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [ ]Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

19. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [ ]Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup [215] … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

20. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. [ ]Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

21. “Demikianlah, Ānanda, ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak tidak mampu; ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak mampu; ada perbuatan yang mampu dan tampak mampu; dan ada perbuatan yang mampu dan tampak tidak mampu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #65 on: 22 February 2011, 01:25:38 PM »
137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Enam Landasan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan tentang enam landasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [216]

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami. Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami. Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu. Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang enam landasan.

4. “‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, dan landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan internal harus dipahami.’

5. “‘Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-objek sentuhan, dan landasan-[ ]objek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan eksternal harus dipahami.’

6. “‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’

7. “‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, dan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kontak harus dipahami.’

8. “‘Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. [ ]Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... [217] Ketika menyentuh suatu objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, seseorang mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi objek-pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Demikianlah ada enam jenis eksplorasi dengan kegembiraan, enam jenis eksplorasi dengan kesedihan, dan enam jenis eksplorasi dengan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’

9. “‘Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. [ ]Ada enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ada enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

10. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … perolehan akan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … perolehan akan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

11. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … [218] objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

12. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … bukan perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … bukan perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … bukan perolehan akan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … bukan perolehan akan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawianatau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubahkesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

13. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’ [ ]Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, [219] ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’ Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

14. “Di sini, apakah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Keseimbangan seperti ini tidak melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Keseimbangan seperti ini tidak melampaui objek-pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

15. “Di sini, apakah enam jenis kesedihankeseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidakkekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa objek-objek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui objek pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’ [220]

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #66 on: 22 February 2011, 08:20:30 PM »
Lanjutan 137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
----------------------------------------------------

16. “‘Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu ditinggalkan; Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu dilampaui.

“Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu dilampaui.

17. “Ada, Para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman; dan ada keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

18. “Dan apakah, Para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman? Ada keseimbangan sehubungan dengan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Ini, Para bhikkhu, adalah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman.

19. “Dan apakah, Para bhikkhu, keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan? Ada keseimbangan sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, Para bhikkhu, adalah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

20. “Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan, tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui.

“Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan ketiadaan-identifikasi, [ ]tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui. [221]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’

21. “‘Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

22. “Di sini, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswa-Nya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswa-Nya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan merasakan ketidakpuasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut landasan perhatian pertama yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

23. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswa-Nya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswa-Nya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan tidak merasakan kepuasan, dan Beliau tidak kecewa dan tidak merasakan kekecewaan; dengan senantiasa bebas dari kepuasan dan kekecewaan, Beliau berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut perhatian ke dua yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

24. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Para siswa-Nya mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata puas dan merasakan kepuasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, Para bhikkhu, disebut perhatian ke tiga yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. [222]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’

25. “‘Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Dengan dituntun oleh penjinak gajah, Para bhikkhu, gajah yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak kuda, Para bhikkhu, kuda yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak sapi, Para bhikkhu, sapi yang akan dijinakkan berjalan ke satu arahtimur, barat, utara, atau selatan.

26. “Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

“Dengan memiliki bentuk materi, ia melihat bentuk-bentuk: ini adalah arah pertama. Tanpa melihat bentuk-bentuk secara internal, ia melihat bentuk-bentuk secara eksternal: ini adalah arah ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah arah ke tiga. Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah arah ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah arah ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah arah ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah arah ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah arah ke delapan.

“Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

28. “[“]Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko, no. 27 nya di mana?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #67 on: 22 February 2011, 09:32:24 PM »
138  Uddesavibhanga Sutta
Penjelasan suatu Ringkasan


[223] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu ringkasan dan penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidakmelekatan ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidakmelekatan ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaankelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan.”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya.

5. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, Teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

6-8. [224,225] (Seperti Sutta 133, §§8-10.)

9. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

10. “Bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’? [ ]Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya mengikuti gambaran bentuk, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, [ ]terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’.

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya mengikuti gambaran objek pikiran, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’.

11. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’? Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bentuk, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’. [226]

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran objek pikiran, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran objek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’.

12. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘melekat secara internal’? [ ]Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

13. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Jika kesadarannya mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal’.

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Jika kesadarannya mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘melekat secara internal’. Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘melekat secara internal’. [227]

16. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal’? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

17. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

18. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Jika kesadarannya tidak mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal’.

19. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘tidak melekat secara internal’. Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal’.

20. “Bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya gangguan karena kemelekatan? [ ]Di sini seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi muncul bersama-sama  dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan, ia menjadi terganggu.  [228]

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … Ia menganggap persepsi sebagai diri … Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [ ]atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan, ia menjadi terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya gangguan karena kemelekatan.

21. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya ketanpagangguan karena ketidakmelekatan? [ ]Di sini seorang siswa mulia yang terlatih, yang [ ]menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi tidak muncul bersama-sama dan tidak menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidakmelekatan, ia menjadi tidak terganggu.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri … Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [ ]atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran tidak muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidakmelekatan, ia menjadi tidak terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya ketanpagangguan karena ketidakmelekatan.

22. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidakmelekatan, ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidakmelekatan, ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaankelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan,’ aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. [229] Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

23. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

24. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepada-Ku tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #68 on: 23 February 2011, 08:01:42 PM »
139  Araṇavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Tanpa-Konflik


[230] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat. Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. [ ]Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela, melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma. Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri. Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus-terang yang tajam. Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru. Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang tanpa-konflik.

4. “‘Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. [ ][231] Terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’

5. “‘Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’ Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini … menuju Nibbāna.’

6. “‘Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

7. “Bagaimanakah Para bhikkhu, terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatdikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat[232] dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaatadalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan  dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan adalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang. Ini adalah bagaimana terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma.

8. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadinya tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. [ ]Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah [ ]memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang salah,’ [233] tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Selama belenggu penjelmaan belum ditinggalkan, maka penjelmaan juga belum ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Ketika belenggu penjelmaan ditinggalkan, maka penjelmaan juga ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’

9. “‘Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Sekarang kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indriasuatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak mulia. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya tidak dikejar, seharusnya tidak dikembangkan, seharusnya tidak dilatih, dan seharusnya ditakuti.

“Di sini, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya dikejar, seharusnya dikembangkan, seharusnya dilatih, dan seharusnya tidak ditakuti. [234]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’

10. “‘Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata tersamar adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

[ ]“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #69 on: 23 February 2011, 08:31:34 PM »
11. “‘Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan terburu-buru, tubuhnya menjadi lelah dan pikirannya menjadi bergairah, suaranya menjadi tegang dan tenggorokannya menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan terburu-buru adalah tidak jelas dan sulit dimengerti.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan tidak terburu-buru, tubuhnya tidak menjadi lelah dan pikirannya tidak menjadi bergairah, suaranya tidak menjadi tegang dan tenggorokannya tidak menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah jelas dan mudah dimengerti.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’

12. “‘Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadi pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebagai sebuah ‘piring’ [pāti], [235] sebuah ‘mangkuk’ [patta], sebuah ‘wadah’ [vittha], sebuah ‘cawan’ [serāva], sebuah ‘panci’ [dhāropa], sebuah ‘kendi’ [poṇa], atau sebuah ‘baskom’ [pisīla]. Jadi, bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, ia mengucapkannya sesuai itu, dengan kukuh melekati [ungkapan itu] dan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya adalah salah.’ Ini adalah bagaimana terjadinya pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum.

“Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadinya tanpa pemaksaan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebuah ‘piring’ … atau sebuah ‘baskom’. Jadi, bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, tidak dengan kukuh melekati [ungkapan itu] ia mengucapkannya sesuai itu, dan berpikir: ‘Para mulia ini, tampaknya, sedang berbicara sehubungan dengan ini.’ Ini adalah bagaimana terjadinya tanpa pemaksaan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’

13. “Di sini, Para bhikkhu, pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indriayang rendah … dan tidak bermanfaatadalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, terlepas dari pengejaran penyiksaan-diriyang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat—adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. [236] Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrem ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Ini adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kenikmatan indriasuatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak muliaadalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan, adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.
 
“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam [237] yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang yang berbicara dengan terburu-buru adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang yang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tanpa-pemaksaan bahasa setempat dan tanpa-mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputusasaan, dan demam. Oleh karena itu, ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

14. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus mengetahui kondisi dengan konflik dan kami harus mengetahui kondisi tanpa konflik, dan dengan mengetahui hal-hal ini, kami akan memasuki jalan tanpa konflik.’ Sekarang, Para bhikkhu, Subhūti adalah anggota keluarga yang telah memasuki jalan tanpa konflik.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #70 on: 23 February 2011, 09:16:48 PM »
140  Dhātuvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Unsur-Unsur


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Magadha dan akhirnya sampai di Rājagaha. Di sana Beliau mendatangi pengrajin tembikar Bhaggava dan berkata kepadanya:

2. “Jika tidak menyusahkanmu, Bhaggava, Aku akan bermalam satu malam di [ ]tempat kerjamu.”

“Sama sekali tidak menyusahkan bagiku, Yang Mulia, tetapi ada petapa lain yang telah berdiam di sini. Jika ia setuju, maka silakan tinggal selama yang Engkau kehendaki, Yang Mulia.” [238]

3. Pada saat itu, seorang anggota keluarga bernama Pukkusāti yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Bhagavā dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan pada saat itu ia telah mendiami tempat kerja si pengrajin tembikar. [ ]Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Pukkusāti dan berkata kepadanya: “Jika tidak menyusahkanmu, Bhikkhu, Aku akan bermalam satu malam di tempat kerja ini.”

“Tempat kerja pengrajin tembikar ini cukup luas, Sahabat. [ ]Silakan Yang Mulia tinggal selama yang Beliau kehendaki.”

4. Kemudian Sang Bhagavā memasuki rumah tempat kerja si pengrajin tembikar, mempersiapkan hamparan rumput di satu sudut, dan duduk bersila, menegakkan tubuh-Nya, dan menegakkan perhatian di depannya. Kemudian Sang Bhagavā melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi], dan Yang Mulia Pukkusāti juga melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi]. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini berperilaku sedemikian sehingga membangkitkan keyakinan. Bagaimana jika Aku menanyainya.” Maka Beliau bertanya kepada Yang Mulia Pukkusāti:

5. “Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, Bhikkhu? Siapakah gurumu? Dhamma siapakah yang engkau anut?”

“Sahabat, ada Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang berita baik sehubungan dengan Gotama yang Terberkahi itu telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Aku meninggalkan keduniawian di bawah Sang Bhagavā itu; Sang Bhagavā adalah guruku; aku menganut Dhamma dari Sang Bhagavā itu.”

“Tetapi, Bhikkhu, di manakah Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap sekarang?”

“Ada, Sahabat, sebuah kota di negeri utara bernama Sāvatthī. Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap di sana sekarang.”

“Tetapi, Bhikkhu, pernahkah engkau bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya? Apakah engkau mengenalinya jika engkau bertemu dengannya?” [239]

“Tidak, Sahabat, aku belum pernah bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya, juga tidak akan mengenalinya jika aku bertemu dengannya.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah-Ku. Bagaimana jika aku mengajarkan Dhamma kepadanya.” Maka Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Pukkusāti sebagai berikut: “Bhkkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Pukkusāti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis eksplorasi pikiran, dan ia memiliki empat landasan. [ ]Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai. Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian. Ini adalah ringkasan penjelasan enam unsur.

8. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’

9. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kontak-mata, landasan kontak-telinga, landasan kontak-hidung, landasan kontak-lidah, landasan kontak-badan, landasan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’

10. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia [ ]mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … [240] Ketika mencium suatu aroma dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, [ ]seseorang mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia [ ]mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’

11. “‘Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kebijaksanaan, landasan kebenaran, landasan pelepasan, dan landasan kedamaian. [ ]Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’

12. “‘Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

13. “Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan? [ ]Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.

14. “Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, kotoran, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang, baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur tanah.

15. “Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa [241] internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang, baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

16. “Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang, baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

17. “Apakah, Bhikkhu, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, napas masuk, napas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang, baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

18. “Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang [242] internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang, baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

19. “Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah. [ ]Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? Ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyenangkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyakitkan’; ia mengenali: ‘[Ini] adalah bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan maka muncul perasaan menyenangkan. [ ]Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian ituperasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkanjuga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian ituperasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkanjuga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itubukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkanjuga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, [243] dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu …  juga lenyap dan sirna.’

20. “Kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.  Misalkan, Bhikkhu, seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan sebuah tungku, memanaskan wadah, mengambil sejumlah emas dengan penjepit, dan memasukkannya ke dalam wadah. Dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu ia memercikkan air ke atasnya, dan dari waktu ke waktu ia hanya melihatnya. Emas itu akan menjadi murni, lebih murni, dan sangat murni, tanpa cacat, bebas dari kotoran-kotoran logam, lunak, lentur, dan bersinar. Kemudian jenis perhiasan apa pun yang ingin ia buat dari emas itu, apakah rantai emas atau anting-anting, atau kalung, atau kalung-bunga, maka keinginannya akan terpenuhi. Demikian pula, Bhikkhu, kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.


ko, no. 19 yg bukan menyakitkan juga bukan menyakitkan => bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #71 on: 23 February 2011, 09:53:44 PM »
Lanjutan 140  Dhātuvibhanga Sutta
----------------------------------------------

21. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama. [ ]Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … [244] … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.’

22. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi. [ ]Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.’ Ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan. [ ]Karena ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan, maka ia tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

23. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, [ ]ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’

24. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia melepaskan; [“]Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia melepaskan; Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia melepaskan. Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani.’ [245] Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ [ ]Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’ [ ]Bhikkhu, seperti halnya lampu minyak yang membakar dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan ketika minyak dan sumbunya habis, jika lampu itu tidak mendapatkan bahan bakar lagi, maka lampu itu akan padam karena kekurangan bahan bakar; demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani … perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

25. “Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kebijaksanaan ini] memiliki landasan kebijaksanaan tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebijaksanaan mulia tertinggi, yaitu, pengetahuan hancurnya segala penderitaan.

26. “Pembebasannya, karena didirikan di atas kebenaran, adalah tidak tergoyahkan. Karena itu adalah salah, Bhikkhu, yang memiliki sifat menipu, dan itu adalah benar, yang memiliki sifat tidak menipuNibbāna. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kebenaran] ini memiliki landasan kebenaran yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebenaran mulia tertinggi, yaitu, Nibbāna, yang memiliki sifat tidak menipu.

27. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia menjalani dan menerima perolehan; [ ]sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [pelepasan ini] memiliki landasan pelepasan yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah pelepasan mulia yang tertinggi, yaitu, pelepasan segala perolehan.

28. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketamakan, keinginan, dan nafsu; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kemarahan, niat buruk, dan kebencian; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kebodohan dan khayalan; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya [246] di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu, seorang bhikkhu yang memiliki [kedamaian ini] memiliki landasan kedamaian yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kedamaian mulia yang tertinggi, yaitu, damainya nafsu, kebencian, dan khayalan.

29. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’

30. “‘Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ [ ]Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

31. “Bhikkhu, ‘aku’ adalah anggapan; ‘aku adalah ini’ adalah anggapan; ‘aku akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku tidak akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan. Anggapan adalah penyakit, anggapan adalah tumor, anggapan adalah anak panah. Dengan mengatasi segala anggapan, Bhikkhu, maka seseorang disebut seorang bijaksana damai. Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apa pun padanya yang dengannya ia dapat terlahir. [ ]Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan?

32. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Bhikkhu, ingatlah penjelasan singkat tentang enam unsur ini.”

33. Pada saat itu, Yang Mulia Pukkusāti berpikir: “Sungguh, Sang Guru telah mendatangiku! Yang Sempurna telah mendatangiku! Yang Tercerahkan Sempurna telah mendatangiku!” Kemudian ia bangkit dari duduknya dan merapikan jubahnya di salah satu bahunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, ia berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, aku menyapa Sang Bhagavā sebagai ‘Sahabat’. Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhikkhu, suatu pelanggaran menguasaimu, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, engkau menyapa-Ku sebagai ‘Sahabat’. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu demikian dan memperbaiki sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau. Karena adalah kemajuan dalam Disiplin Para Mulia ketika seseorang melihat pelanggarannya demikian, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

34. “Yang Mulia, aku ingin menerima penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā.”

“Tetapi apakah mangkuk dan jubahmu sudah lengkap, Bhikkhu?”

“Yang Mulia, mangkuk dan jubahku masih belum lengkap.”

“Bhikkhu, Para Tathāgata tidak memberikan penahbisan penuh kepada siapa pun yang mangkuk dan jubahnya belum lengkap.”

35. Kemudian Yang Mulia Pukkusāti, dengan merasa gembira dan bersukacita mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap berada di sisi kanannya, ia pergi untuk mencari mangkuk dan jubah. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Pukkusāti sedang mencari mangkuk dan jubahnya, seekor sapi liar membunuhnya.

36. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, anggota keluarga Pukkusāti, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, anggota keluarga Pukkusāti adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkan-Ku dalam menginterpretasikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, anggota keluarga Pukkusāti telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #72 on: 23 February 2011, 11:24:37 PM »
141  Saccavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Kebenaran-Kebenaran


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, [ ]yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

3. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

4. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

5. “Kembangkanlah persahabatan dengan Sāriputta dan Moggallāna, Para bhikkhu; bergaullah dengan Sāriputta dan Moggallāna. Mereka bijaksana dan sangat membantu bagi teman-teman mereka dalam kehidupan suci. Sāriputta bagaikan seorang ibu; Moggallāna bagaikan seorang perawat. Sāriputta melatih orang-orang lain mencapai buah memasuki-arus, Moggallāna melatih untuk mencapai tujuan tertinggi.  Sāriputta, Para bhikkhu, mampu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia.”

6. Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan memasuki kediaman-Nya. [249]

7. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman, Para bhikkhu.”“Teman,”[ ]para bhikkhu menjawab Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

8. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya …  dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

9. Mengumumkan … dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan ... kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

10. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

11. “Dan apakah, Teman-teman, kelahiran itu? [ ]Kelahiran makhluk-makhluk adalah berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontakini disebut kelahiran.

12. “Dan apakah, Teman-teman, penuaan itu? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kehidupan menurun, indria-indria melemahini disebut penuaan.

13. “Dan apakah, Teman-teman, kematian itu? Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuhini disebut kematian.

14. “Dan apakah, Teman-teman, dukacita itu? Dukacita, menyedihkan, kesedihan, dukacita batin, kesedihan batin, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut dukacita.

15. “Dan apakah, Teman-teman, ratapan itu? mengeluh dan meratap, mengeluhkan dan meratapi, [250] keluhan dan ratapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut ratapan.

16. “Dan apakah, Teman-teman, kesakitan itu? Kesakitan jamani, ketidaknyamanan jasmani, sakit, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmaniini disebut kesakitan.

17. “Dan apakah, Teman-teman, kesedihan itu? Kesedihan batin, ketidaknyamanan batin, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak batinini disebut kesedihan.

18. “Dan apakah, Teman-teman, keputusasaan itu? Kesulitan dan keputusasaan, kesulitan besar dan kehilangan harapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkanini disebut keputusasaan.

19. “Dan apakah, Teman-teman, [‘]tidak memperolah apa yang diinginkan adalah penderitaan adalah penderitaan’? Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran muncul keinginan: ‘O, semoga kami tidak tunduk pada kelahiran! Semoga kelahiran tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan. Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan … tunduk pada penyakit … tunduk pada kematian … tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan, muncul keinginan: ‘O, semoga kami tidak tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan! Semoga dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan.

20. “Dan apakah, Teman-teman, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

21. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan dalam ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria, keinginan untuk menjelma, [251] keinginan untuk tidak menjelma. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.

22. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, berhentinya, lepasnya, membiarkan, dan menolak keinginan yang sama ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.

23. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

24. “Dan apakah, Teman-teman, pandangan benar itu? Pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, pengetahuan tentang jalan menuju lenyapnya penderitaanini disebut pandangan benar.

25. “Dan apakah, Teman-teman, kehendak benar itu? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa kekejamanini disebut kehendak benar.

26. “Dan apakah, Teman-teman, ucapan benar itu? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari obrolan tanpa tujuanini disebut ucapan benar.

27. “Dan apakah, Teman-teman, perbuatan benar itu? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indriaini disebut perbuatan benar.

28. “Dan apakah, Teman-teman, penghidupan benar itu? Di sini seorang siswa mulia, setelah meninggalkan penghidupan salah, mencari penghidupannya melalui penghidupan benarini disebut penghidupan benar.

29. “Dan apakah, Teman-teman, usaha benar itu? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul, [252] dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidaklenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya.

30. “Dan apakah, Teman-teman, perhatian benar? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. … Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ini disebut perhatian benar.

31. “Dan apakah, Teman-teman, konsentrasi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini disebut konsentrasi benar.

“Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

32. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di duniayaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #73 on: 23 February 2011, 11:50:23 PM »
142  Dakkhiṇāvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Persembahan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī membawa sepasang jubah baru dan mendatangi Sang Bhagavā[,]. [ ]Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sepasang jubah baru ini telah dipintal oleh saya, ditenun oleh saya, khusus untuk Sang Bhagavā. Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima ini demi belas kasihan.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, … menerima ini demi belas kasihan.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

3. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima sepasang jubah baru ini dari Mahāpajāpatī Gotamī. Mahāpajāpatī Gotamī telah sangat berjasa bagi Sang Bhagavā, Yang Mulia. Sebagai adik ibu-Nya, ia adalah perawat-Nya, ibu tiri-Nya, seorang yang memberi-Nya susu. Ia menyusui Sang Bhagavā ketika ibunya meninggal dunia. Sang Bhagavā juga telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī, Yang Mulia. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki [254] moralitas yang disenangi oleh para mulia. [ ]Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sang Bhagavā telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī.

4. “Demikianlah, Ānanda, demikianlah! Ketika seseorang, berkat orang lain, berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan, bangkit untuknya, memberikan salam penghormatan dan pelayanan sopan[.], dan dengan memberikan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas yang disenangi oleh para mulia, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

5. “Terdapat empat belas jenis persembahan pribadi, Ānanda. [ ]Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; ini adalah persembahan pribadi jenis pertama. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Paccekabuddha; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Arahant siswa Sang Tathāgata; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan; ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis lima. [255] Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke enam. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tujuh. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke delapan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang pemasuk-arus; ini adalah persembahan pribadi jenis sembilan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus; [ ]ini adalah persembahan pribadi jenis ke sepuluh. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria; [ ]ini adalah persembahan pribadi jenis ke sebelas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada binatang: ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat belas.

6. “Di sini, Ānanda, dengan memberikan suatu pemberian kepada seekor binatang, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus kali lipat. [ ]Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali seratus ribu kali lipat.

“Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan yang tidak terhitung, tidak terukur. Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang pemasuk-arus? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali … kepada yang-kembali-sekali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali … kepada seorang yang-tidak-kembali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan … kepada seorang Arahant … kepada seorang Paccekabuddha? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?

7. “Terdapat tujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Sangha, Ānanda. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] yang dipimpin oleh Sang Buddha; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis pertama. [ ]Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] setelah Sang Tathāgata mencapai Nibbāna akhir; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke dua. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhu; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tiga. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhunī; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke empat. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke lima. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke enam. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhunī dari Sangha;’ [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tujuh.

8. “Di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota kelompok yang, ‘berleher-kuning’, tidak bermoral, dan berkarakter jahat. [  ]Orang-orang akan memberikan pemberian kepada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan meskipun begitu, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan kepada Sangha adalah tidak terhitung, tidak terukur. [ ]Dan Aku katakan bahwa tidak mungkin suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu akan lebih berbuah daripada persembahan yang diberikan kepada Sangha.

9. “Terdapat, Ānanda, empat jenis pemurnian persembahan. Apakah empat ini? Ada persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima. [ ]Ada persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi. Ada persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima. Ada persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima.

10. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima.

11. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi? Di sini, si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi.

12. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima.

13. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima? Di sini, si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. [257] Demikianlah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima. Ini adalah empat jenis pemurnian persembahan.”

14. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan hal itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Pemberian itu, Aku katakan, akan berbuah sepenuhnya.

   Ketika seorang yang tanpa nafsu memberi kepada seorang yang tanpa nafsu
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
  Pemberian itu, Aku katakan, adalah yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #74 on: 24 February 2011, 01:19:32 PM »
143  Anāthapiṇḍikovāda Sutta
Nasihat kepada Anāthapiṇḍika


[258] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan. Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

3. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Perumah tangga Anāthapiṇḍika bersama dengan Yang Mulia Ānanda sebagai pelayannya. Setelah sampai di sana, [259] ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Aku harap engkau lebih baik, Perumah tangga, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

4. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah bara api panas menyala, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.”

5. “Maka, Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada mata, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada mata.’ [ ]Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada telinga … Aku tidak akan melekat pada hidung … Aku tidak akan melekat pada lidah … Aku tidak akan melekat pada badan … Aku tidak akan melekat pada pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

6. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk-bentuk, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada bentuk-bentuk.’ Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada suara-suara … Aku tidak akan melekat pada bau-bauan … Aku tidak akan melekat pada rasa kecapan … Aku tidak akan melekat pada objek-objek sentuhan … Aku tidak akan melekat pada objek-objek pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada objek-objek pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

7. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kesadaran-mata … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-telinga … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-hidung … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-lidah … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-badan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

8. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak[ ]-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

9. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

10. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada unsur tanah … Aku tidak akan melekat pada unsur air … Aku tidak akan melekat pada unsur api … Aku tidak akan melekat pada unsur udara … Aku tidak akan melekat pada unsur ruang … Aku tidak akan melekat pada unsur kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada unsur kesadaran. Demikianlah engkau harus berlatih.

11. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk materi … Aku tidak akan melekat pada perasaan … Aku tidak akan melekat pada persepsi … Aku tidak akan melekat pada bentukan-bentukan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

12. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada landasan ruang tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kesadaran tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kekosongan … [261] … Aku tidak akan melekat pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

13. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada dunia ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia ini. [‘]Aku tidak akan melekat pada dunia setelah ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia setelah ini.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

14. [ ]“Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada apa yang dilihat, didengar, dicerap, dikenali, diperoleh, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada itu.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

15. Ketika hal ini dikatakan, Perumah tangga Anāthapiṇḍika menangis dan meneteskan air mata. Kemudian Yang Mulia Ānanda bertanya kepadanya: “Apakah engkau terjatuh, Perumah tangga, apakah engkau merosot?”

“Aku tidak terjatuh, Yang Mulia Ānanda, aku tidak merosot. Tetapi walaupun aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang layak dihormati, tidak pernah sebelumnya aku mendengarkan khotbah Dhamma seperti ini.”

“Khotbah Dhamma demikian, Perumah tangga, tidak dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada mereka yang telah meninggalkan keduniawian.”

“Baiklah, Yang Mulia Sāriputta, mohon agar khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Ada anggota-anggota keluarga dengan sedikit debu di mata mereka yang akan sia-sia karena tidak mendengarkan [khotbah] Dhamma ini. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma ini.”

16. Kemudian, setelah memberikan nasihat ini kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika, Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduk dan pergi. Segera setelah mereka pergi, [262] Perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.

17. Kemudian, ketika malam telah larut, Anāthapiṇḍika, sekarang adalah dewa muda berpenampilan indah, mendatangi Sang Bhagavā, dengan menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “O, Hutan Jeta ini sungguh terberkahi,
   Didiami oleh Sangha yang bijaksana
   Di mana berdiam Sang Raja Dhamma,
   Sumber seluruh kebahagiaanku.

   Dengan perbuatan, pengetahuan, dan Dhamma,
   Dengan moralitas dan gaya hidup mulia
   Dengan hal-hal ini makhluk-makhluk dimurnikan,
   Bukan dengan silsilah atau kekayaan.

   Oleh karena itu, seorang bijaksana yang melihat
   Apa yang sesungguhnya menuntunnya menuju kebaikannya,
   Seharusnya menyelidiki Dhamma
   Dan memurnikan dirinya sendiri di dalamnya.

   Sāriputta telah mencapai puncak
   Dalam hal moralitas, kedamaian, dan cara-cara bijaksana;
   Bhikkhu mana pun yang telah menyeberang
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.”

18. Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda Anāthapiṇḍika, dan Sang Guru menyetujuinya. Kemudian dewa muda Anāthapiṇḍika, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyetujuiku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

19. Ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, tadi malam ketika malam telah larut, muncul satu dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepada-Ku, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada-Ku dalam syair sebagai berikut:

   ‘O, Hutan Jeta ini sungguh terberkahi …
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.’ [263]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda itu. Kemudian dewa muda itu, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyetujuiku,” memberi hormat kepada-Ku, dan dengan [ ]Aku di sisi kanannya, ia lenyap seketika.”

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Tentu saja, Yang Mulia, dewa muda itu pasti adalah Anāthapiṇḍika. Karena Perumah tangga Anāthapiṇḍika memiliki keyakinan sempurna pada Yang Mulia Sāriputta.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Sejauh menarik kesimpulan, engkau telah menarik kesimpulan dengan benar. Dewa muda itu memang adalah Anāthapiṇḍika, bukan yang lain.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #75 on: 24 February 2011, 01:37:26 PM »
144  Channovāda Sutta
Nasihat kepada Channa


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Cunda, Yang Mulia Channa sedang menetap di Gunung Puncak Nasar.

3. Pada saat itu, Yang Mulia Channa jatuh sakit, menderita, dan sakit parah. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Cunda, dan berkata kepadanya: “Teman Cunda, marilah kita mendatangi Yang Mulia Channa dan menanyakan tentang penyakitnya.”“Baik, Teman,” Yang Mulia Mahā Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda mendatangi Yang Mulia Channa dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika [264] ramah tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Channa:
“Aku harap engkau lebih baik, Teman Channa, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

5. “Teman Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; … (seperti Sutta 143, §4) … bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Aku akan menggunakan pisau, [ ]Teman Sāriputta; aku tidak memiliki keinginan untuk hidup.”

6. “Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup. Kami ingin Yang Mulia Channa tetap hidup. Jika ia tidak memiliki [ ]makanan yang sesuai, maka aku akan pergi mencarikan makanan yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki obat yang sesuai, aku akan pergi mencarikan obat yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki pelayan yang baik, aku akan melayaninya. Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup.”

7. “Teman Sāriputta, bukan karena aku tidak memiliki makanan yang sesuai; aku memiliki makanan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki obat-obatan yang sesuai; aku memiliki obat-obatan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki pelayan yang baik; aku memiliki pelayan yang baik. Terlebih lagi, Teman, sejak lama Sang Guru telah dilayani olehku dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik; karena adalah selayaknya seorang siswa melayani Sang Guru dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik. Ingatlah ini, Teman Sāriputta: Bhikkhu Channa akan menggunakan pisau dengan tanpa noda.”

“Kami akan bertanya kepada Yang Mulia Channa mengenai hal tertentu, jika ia sudi menjawab pertanyaan kami.”

“Tanyalah, Teman Sāriputta. Ketika mendengarnya, aku akan mengetahui.”

“Teman Channa, apakah engkau menganggap mata, kesadaran-mata, dan bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, [265] ini diriku’? Apakah engkau menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”

“Teman Sāriputta, aku menganggap mata, kesadaran-mata, bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Aku menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”
 
10. “Teman Channa, apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam mata, dalam kesadaran-mata, dan dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, yang engkau anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’? Apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam telinga … dalam hidung … dalam lidah … dalam badan … dalam pikiran, dalam kesadaran-pikiran, dan dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, yang engkau anggap sebagai: Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’?”

“Teman Sāriputta, melalui melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam mata, di dalam kesadaran-mata, dan di dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’[?] Karena aku telah melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam telinga … di dalam hidung … di dalam lidah … di dalam badan … di dalam pikiran, di dalam kesadaran-pikiran, dan di dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, [266] maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”

11. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Cunda berkata kepada Yang Mulia Channa: [ ]“Oleh karena itu, Teman Channa, ajaran Sang Bhagavā ini harus terus-menerus diperhatikan: ‘Ada keraguan bagi seseorang yang tergantung, tidak ada keraguan bagi seseorang yang tidak tergantung. Ketika tidak ada keraguan, maka ada ketenangan; ketika ada ketenangan, maka tidak ada anggapan; ketika tidak ada anggapan, maka tidak ada datang dan pergi; ketika tidak ada datang dan pergi, maka tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali; ketika tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali, maka tidak ada di sini juga tidak ada di sana juga tidak ada di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan.’”

12. Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda telah memberikan nasihat kepada Yang Mulia Channa, mereka bangkit dari duduk dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah mereka pergi, Yang Mulia Channa menggunakan pisau.

13. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Channa telah menggunakan pisau. Ke manakah alam tujuannya, di manakah ia dilahirkan kembali?”

“Sāriputta, bukankah Bhikkhu Channa menyatakan ketanpanodaannya kepadamu?”

“Yang Mulia, ada Desa Vajji bernama Pubbavijjhana. Di sana Yang Mulia Channa memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya].”

“Yang Mulia Channa memang memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya]; tetapi Aku tidak mengatakan sehubungan dengan hal ini bahwa ia menjadi tercela. Sāriputta, ketika seseorang melepaskan tubuh ini dan mengambil tubuh lainnya, maka Aku katakan bahwa ia tercela. Ini tidak terjadi dalam kasus Bhikkhu Channa. Bhikkhu Channa menggunakan pisau dengan tanpa noda. Demikianlah, Sāriputta, engkau harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

ko, no.8 & 9 blm ditaruh.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #76 on: 24 February 2011, 09:06:30 PM »
145  Puṇṇovāda Sutta
Nasihat kepada Puṇṇa


[267] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari meditasinya dan mendatangi Sang Bhagavā. [ ]Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

2. “Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi memberikan nasihat singkat kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh.”

“Baiklah, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Puṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Puṇṇa, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan. [ ]Ada, Puṇṇa, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, [268] dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.

4. “Puṇna, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu tidak bergembira di dalamnya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan, Puṇṇa, maka lenyap pula penderitaan, Aku katakan.

5. “Sekarang Aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Yang Mulia, karena sekarang Sang Bhagavā telah memberikan nasihat singkat kepadaku, aku akan menetap di Negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tinju, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan bongkahan tanah, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tongkat kayu.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tongkat kayu, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tongkat kayu, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak menusukku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menusukmu dengan pisau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa muak, dan malu, dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari penyerang. Tetapi aku telah memperoleh penyerang ini bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

6. “Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian[ ], engkau akan mampu bertahan di Negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, sekarang adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

7. Kemudian, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, [ ]dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju Negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di Negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa vassa, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati. Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.

8. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, Anggota keluarga Puṇṇa, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, Anggota keluarga Puṇṇa adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkan-Ku dalam menginterpretasikan Dhamma. Anggota keluarga Puṇṇa telah mencapai Nibbāna akhir.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #77 on: 24 February 2011, 09:36:47 PM »
146  Nandakovāda Sutta
Nasihat dari Nandaka


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī bersama dengan lima ratus bhikkhunī mendatangi Sang bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menasihati para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan instruksi kepada para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī.”

3. Pada saat itu, para bhikkhu senior bergiliran dalam memberikan nasihat kepada para bhikkhunī, tetapi Yang Mulia Nandaka tidak mau menasihati mereka ketika gilirannya tiba. [ ]Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, giliran siapakah menasihati para bhikkhunī hari ini?”

“Yang Mulia, adalah giliran Yang Mulia Nandaka untuk menasihati para bhikkhunī, tetapi ia tidak mau menasihati mereka walaupun hari ini adalah gilirannya.”

4. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Nasihatilah para bhikkhunī, Nandaka. Berikanlah instruksi kepada para bhikkhunī, Nandaka. Babarkanlah khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī, Brahmana.”

“Baik, Yang Mulia,” [271] Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia bersama seorang teman pergi ke Taman Rājaka. Dari kejauhan para bhikkhunī melihat kedatangan Yang Mulia Nandaka dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Yang Mulia Nandaka duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kakinya. Para bhikkhunī bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhunī:

5. “Saudari-saudari, khotbah ini akan disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Jika kalian mengerti maka katakanlah: ‘Kami mengerti;’ jika kalian tidak mengerti maka katakanlah: ‘Kami tidak mengerti;’ jika kalian ragu-ragu atau bingung maka kalian harus bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia? Apakah makna dari hal ini?’”

“Yang Mulia, kami cukup puas dan senang dengan Guru Nandaka dalam hal bahwa ia mengundang kami bahkan hingga sejauh ini.”

6. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

7. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk-bentuk … suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

8. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah kesadaran-mata … [273] … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam kelompok kesadaran ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

9. “Saudari-saudari, misalkan sebuah lampu minyak menyala: minyaknya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan; sumbunya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi cahayanya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka cahayanya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan internal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian,[ ] [274] dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

10. “Saudari-saudari, misalkan sebatang pohon besar memiliki inti kayu: akarnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, batangnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dahan-dahannya dan dedaunannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dan bayangannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Akar, batang, dahan-dahan, dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi bayangannya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, akar, batang, dahan-dahan, dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka bayangannya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan eksternal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan?’”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian, dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

11. “Saudari-saudari, misalkan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi dan memotongnya dengan pisau daging yang tajam. Tanpa merusak daging bagian dalamnya dan tanpa merusak kulit luarnya, ia membelah, memotong, dan mencincang urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi dengan pisau daging yang tajam. [275] Kemudian setelah membelah, memotong, dan mencincang semua itu, ia menguliti kulit luarnya dan menutupnya lagi dengan kulit yang sama. apakah ia mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya?’”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi [ ][ ]dan membelah, memotong, dan mencincang semua itu, bahkan jika ia menutupnya lagi dengan kulit yang sama dan berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya,’ namun sapi itu tetap terlepas dari kulit itu.”

12. “Saudari-saudari, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Berikut ini adalah maknanya: ‘Daging bagian dalam’ adalah sebutan untuk enam landasan internal. ‘Kulit luar’ adalah sebutan untuk enam landasan eksternal. ‘Urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi’ adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. ‘Pisau daging yang tajam’ adalah sebutan untuk kebijaksanaan muliakebijaksanaan mulia yang membelah, memotong, dan mencincang kekotoran-kekotoran bagian dalam, belenggu-belenggu, dan ikatan-ikatan.

13. “Saudari-saudari, ada tujuh faktor pencerahan ini [ ]yang melalui pengembangan dan pelatihannya, seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Apakah tujuh ini? Di sini, Saudari-saudari, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ini adalah tujuh faktor pencerahan yang melalui pengembangan dan pelatihannya, seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” [276]

14. Ketika Yang Mulia Nandaka telah memberikan nasihat kepada para bhikkhunī seperti itu, ia membubarkan mereka, dengan berkata: “Pergilah, Saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Nandaka, pergi dengan Yang Mulia Nandaka tetap di sisi kanan mereka. Mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā memberi tahu mereka: “Pergilah, Saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

15. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal empat belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas tidak penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka masih belum terpenuhi.”

16-26. “Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Baiklah, Nandaka, besok engkau juga harus memberikan nasihat kepada para bhikkhunī itu dengan cara yang persis sama.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah … (ulangi kata demi kata §§4-14 di atas, hingga) [277] … Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

27. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal lima belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka telah belum terpenuhi. Para bhikkhu, bahkan yang paling tidak maju di antara kelima ratus bhikkhunī itu adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #78 on: 24 February 2011, 09:53:08 PM »
147  Cūḷarāhulovāda Sutta
Khotbah Pendek
Nasihat kepada Rāhula


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang sendirian dalam meditasi, sebuah pemikiran muncul pada Beliau sebagai berikut: “Kondisi-kondisi yang matang dalam kebebasan telah muncul dalam diri Rāhula. [ ]Bagaimana jika Aku menuntunnya lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:

“Bawalah alas dudukmu, Rāhula; mari kita pergi ke Hutan Orang Buta [278] untuk melewatkan hari.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Rāhula menjawab, dan dengan membawa alas duduknya, ia mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

Pada saat itu, ribuan para dewa mengikuti Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Hari ini Sang Bhagavā akan menuntun Yang Mulia Rāhula lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon di atas tempat duduk yang telah dipersiapkan. Dan Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Rāhula:

3. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

“Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah bentuk-bentuk … Apakah kesadaran-mata … [279] … Apakah kontak-mata … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

4-8. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah telinga adalah kekal atau tidak kekal?[ ]… Apakah hidung adalah kekal atau tidak kekal … Apakah lidah adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah badan adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak pikiran sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Yang Mulia.”“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?”“Tidak, Yang Mulia.”

9. “Dengan melihat demikian, Rāhula, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga ... Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, [280] dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisinya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan, batin Rāhula terbebas dari noda-noda. Dan pada ribuan para dewa itu muncul penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #79 on: 24 February 2011, 10:31:55 PM »
148  Chachakka Sutta
Enam Kelompok Enam


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Aku akan mengungkapkan kehidupan suci yang sungguh murni dan sempurna, [ ]yaitu, enam kelompok enam. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Enam kelompok kontak harus dipahami. Enam kelompok perasaan harus dipahami. Enam kelompok keinginan harus dipahami.

(PENGURAIAN)

4. (i) “‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam pertama. [281]

5. (ii) “‘Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-objek sentuhan, landasan-objek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke dua.

6. (iii) “‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke tiga.

7 (iv) “‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke empat.

8. (v) “‘Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ [282] Ini adalah kelompok enam ke lima.

9. (vi) “‘Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. [ ]Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan … dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncul keinginan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke enam.

(DEMONSTRASI BUKAN DIRI)
 
10. (i) “Jika seseorang mengatakan, ‘Mata adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. [ ]Timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bentuk-bentuk adalah diri’ [ ]… Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Bentuk-bentuk adalah diri.’ Dengan demikian bentuk-bentuk adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kesadaran-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kesadaran-mata adalah diri.’ Dengan demikian kesadaran-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kontak-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kontak-mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Perasaan adalah diri’ [283] … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Perasaan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

11. (ii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Telinga adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Telinga adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Suara-suara adalah diri’ … ‘Kesadaran-telinga adalah diri’ … ‘Kontak-telinga adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri, suara-suara adalah bukan diri, kesadaran-telinga adalah bukan diri, kontak-telinga adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

12. (iii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Hidung adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Hidung adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bau-bauan adalah diri’ … ‘Kesadaran-hidung adalah diri’ … ‘Kontak-hidung adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri, bau-bauan adalah bukan diri, kesadaran-hidung adalah bukan diri, kontak-hidung adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

13. (iv) “Jika seseorang mengatakan, ‘Lidah adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Lidah adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Rasa kecapan adalah diri’ … ‘Kesadaran-lidah adalah diri’ … ‘Kontak-lidah adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri, rasa-kecapan adalah bukan diri, kesadaran-lidah adalah bukan diri, kontak-lidah adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

14. (v) “Jika seseorang mengatakan, ‘Badan adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Badan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek sentuhan adalah diri’ … ‘Kesadaran-badan adalah diri’ … ‘Kontak-badan adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri, objek-objek sentuhan adalah bukan diri, kesadaran-badan adalah bukan diri, kontak-badan adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

15. (vi) “Jika seseorang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek pikiran adalah diri’ … ‘Kesadaran-pikiran adalah diri’ … ‘Kontak-pikiran adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … [284] … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri, objek-objek pikiran adalah bukan diri, kesadaran-pikiran adalah bukan diri, kontak-pikiran adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

-----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #80 on: 24 February 2011, 11:08:44 PM »
Lanjutan 148  Chachakka Sutta
----------------------------------------

(ASAL-MULA IDENTITAS)

16. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju asal-mula identitas.[ ] (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

17-21. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

(LENYAPNYA IDENTITAS)

22. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju lenyapnya identitas.[ ] (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini [ ]bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

23-27. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan [285] sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, [ ]kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin.

29-33. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin. [286]

(DITINGGALKANNYA KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

34. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia tidak menyenanginya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia tidak berdukacita, tidak bersedih dan tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada dan tidak menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, dengan menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, dengan membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah mungkin.

35-39. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah mungkin.

(PEMBEBASAN)

40. “Dengan melihat demikian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga … Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

41. “Karena kecewa, [287] ia menjadi bosan, melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, melalui ketidakmelekatan, batin enam puluh bhikkhu terbebaskan dari noda-noda.

ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #81 on: 25 February 2011, 12:23:31 PM »
149  Mahāsaḷāyatanika Sutta
Enam Landasan Besar


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan membabarkan khotbah kepada kalian tentang enam landasan besar. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ketika ia berdiam dengan terbakar oleh nafsu, terbelenggu, tergila-gila, merenungkan kepuasan, maka kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dibangun untuknya di masa depan; [ ]dan keinginannyayang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan pada ini dan itumeningkat. Gangguan pada jasmani dan batinnya meningkat, siksaan pada jasmani dan batinnya meningkat, demam pada jasmani dan batinnya meningkat, dan ia mengalami penderitaan jasmani dan batin.

4-8. “Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat telinga sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat hidung sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat lidah sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat badan sebagaimana adanya … Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat pikiran sebagaimana adanya … ia mengalami penderitaan jasmani dan batin.

9. “Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui dan melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika seseorang mengetahui dan melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika seseorang mengetahui dan melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia tidak terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ketika ia berdiam dengan tidak terbakar oleh nafsu, tidak terbelenggu, tidak tergila-gila, merenungkan bahaya, maka kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan berkurang baginya di masa depan; dan keinginannyayang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan pada ini dan ituditinggalkan. Gangguan pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, siksaan pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, demam pada jasmani dan batinnya ditinggalkan, [289] dan ia mengalami kenikmatan jasmani dan batin.

10. “Pandangan seseorang yang seperti ini adalah pandangan benar. Kehendaknya adalah kehendak benar, usahanya adalah usaha benar, perhatiannya adalah perhatian benar, konsentrasinya adalah konsentrasi benar. Perbuatan jasmaninya, ucapannya, dan penghidupannya telah dimurnikan sebelumnya. [ ]Dengan demikian Jalan Mulia Berunsur Delapan menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan. Ketika ia mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, maka empat landasan perhatian juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; empat jenis usaha benar juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; empat landasan kekuatan batin juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; lima indria juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; lima kekuatan juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan; tujuh faktor pencerahan juga menjadi terpenuhi dalam dirinya melalui pengembangan. Kedua hal iniketenangan dan pandangan terangmuncul dalam dirinya berpasangan dengan seimbang. [ ]Ia sepenuhnya memahami melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung. Ia meninggalkan melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung. Ia mengembangkan melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. Ia menembus melalui pengetahuan langsung hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

11. “Dan apakah hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung? Jawabannya adalah: kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung.

“Dan apakah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung? Kebodohan dan keinginan akan penjelmaan. Ini adalah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung.

“Dan apakah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung? Ketenangan dan pandangan terang. [ ]Ini adalah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. [290]

“Dan apakah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung? Pengetahuan sejati dan kebebasan. [ ]Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

12-14. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat telinga sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

15-17. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat hidung sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

18-20. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat lidah sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

21-23. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat badan sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.

24-26. “Ketika seseorang mengetahui dan melihat pikiran sebagaimana adanya … Ini adalah hal-hal yang harus ditembus melalui pengetahuan langsung.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #82 on: 25 February 2011, 12:30:01 PM »

ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?


ini harus ditanyakan kepada penyusun Nikaya, bukan saya yg membuat urutan itu

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #83 on: 25 February 2011, 12:45:45 PM »
150  Nagaravindeyya Sutta
Kepada Penduduk Nagaravinda


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya sampai di sebuah desa Kosala bernama Nagaravinda.

2. Para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu [291] dan telah sampai di Nagaravinda. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 41, §2) … Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. “Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Para perumah tangga, petapa dan brahmana seperti apakah yang seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan?’ maka kalian harus menjawab: ‘Para petapa dan brahmana yang belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang tidak damai dalam batin, dan yang perilakunya dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang burukpetapa dan brahmana demikian seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Mengapakah? Karena kami sendiri belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, kami tidak damai dalam batin, dan perilaku kami dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk. Karena kami tidak melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

“‘Para petapa dan brahmana yang belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang tidak damai dalam batin, dan yang perilakunya dalam jasmani, ucapan, dan pikiran kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk … seharusnya tidak dihormati … [292] … Karena kami tidak melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya tidak dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.

5. “Tetapi, Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Para perumah tangga, petapa dan brahmana seperti apakah yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan?’ maka kalian harus menjawab: ‘Para petapa dan brahmana yang terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang damai dalam batin, dan yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiranpetapa dan brahmana demikian seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan. Karena kami melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.

“‘Para petapa dan brahmana yang terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang damai dalam batin, dan yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran … seharusnya dihormati … Karena kami melihat adanya perilaku baik yang lebih tinggi di pihak para petapa dan brahmana baik itu, maka mereka seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan.’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.

6. “Para perumah tangga, jika para pengembara sekte lain menanyakan kepada kalian sebagai berikut: ‘Tetapi apakah alasan kalian dan apakah bukti kalian sehubungan dengan para mulia itu yang karenanya kalian mengatakan tentang mereka: “Pasti para mulia ini [293] telah terbebas dari nafsu atau sedang berlatih untuk melenyapkan nafsu; mereka telah terbebas dari kebencian atau sedang berlatih untuk melenyapkan kebencian; mereka telah terbebas dari kebodohan atau sedang berlatih untuk melenyapkan kebodohan?”’—Jika ditanya demikian, kalian harus menjawab para pengembara itu sebagai berikut: ‘Adalah karena para mulia itu bertempat tinggal di hutan-hutan belantara yang terpencil. Karena tidak ada bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka lihat. Karena tidak ada suara-suara yang dapat dikenali oleh telinga dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka dengar. Karena tidak ada rasa kecapanbau-bauan yang dapat dikenali oleh hidung dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka cium. Karena tidak ada rasa kecapan yang dapat dikenali oleh lidah dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka kecap. Karena tidak ada objek-objek sentuhan yang dapat dikenali oleh badan dari jenis yang dapat mereka senangi yang dapat mereka sentuh. Ini adalah alasan kami, Sahabat-sahabat, ini adalah bukti kami yang karenanya kami mengatakan tentang para mulia itu: “Pasti para mulia ini telah terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan atau sedang berlatih untuk melenyapkannya.”’ Jika ditanya demikian, Para perumah tangga, maka kalian harus menjawab seperti ini.”

7. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Nagaravinda berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #84 on: 25 February 2011, 01:01:39 PM »
ini harus ditanyakan kepada penyusun Nikaya, bukan saya yg membuat urutan itu

ko, boleh minta english nya utk frasa yg font merah ini?

Lanjutan 148  Chachakka Sutta
----------------------------------------

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, [ ]kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejatiini adalah tidak mungkin.

149  Mahāsaḷāyatanika Sutta
Enam Landasan Besar

3. “Para bhikkhu, ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat mata sebagaimana adanya, [ ]ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat bentuk-bentuk sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kesadaran-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat kontak-mata sebagaimana adanya, ketika ia tidak mengetahui dan tidak melihat [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya sebagaimana adanya, maka ia terbakar oleh nafsu pada mata, pada bentuk-bentuk, pada kesadaran-mata, pada kontak-mata, pada [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #85 on: 25 February 2011, 01:24:05 PM »
151  Piṇḍapātapārisuddhi Sutta
Pemurnian Dana Makanan


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: [294]

2. “Sāriputta, indria-indriamu jernih. Warna kulitmu bersih dan cerah. Kediaman apakah yang sering engkau diami sekarang, Sāriputta?”

“Sekarang, Yang Mulia, aku sering berdiam dalam kekosongan.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Sekarang, sesungguhnya, engkau sering berdiam dalam kediaman seorang manusia besar. Karena ini adalah kediaman seorang manusia besar, yaitu, kekosongan.

3. “Maka, Sāriputta, jika seorang bhikkhu berkehendak: ‘Semoga sekarang aku sering berdiam dalam kekosongan,’ ia harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, adakah keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata?’ [ ]Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, tidak ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

4-8. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan, atau di tempat-tempat di mana aku berkeliling menerima dana makanan, atau di jalan di mana aku kembali dari perjalanan menerima dana makanan, adakah keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga? … sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung? … sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah? … sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan? … sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran? [295] Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan … ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Di jalan di mana aku mendatangi suatu desa untuk menerima dana makanan … tidak ada keinginan, nafsu, kebencian, kebodohan, atau ketidaksenangan dalam pikiranku sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

9. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku?’ [ ]Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kelima utas kenikmatan indria itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

10. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima rintangan telah ditinggalkan dari dalam diriku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima rintangan belum ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kelima rintangan itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima rintangan telah ditinggalkan dari dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

11. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan telah sepenuhnya dipahami olehku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan belum sepenuhnya dipahami olehku,’ maka ia harus berusaha untuk sepenuhnya memahami kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, [296] ia mengetahui sebagai berikut: ‘Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan telah sepenuhnya dipahami olehku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

12. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah keempat landasan perhatian telah terkembang dalam diriku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Keempat landasan perhatian belum terkembang dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk mengembangkan keempat landasan perhatian itu. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Keempat landasan perhatian telah terkembang dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

13-19. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah keempat jenis usaha benar telah terkembang dalam diriku? … Apakah keempat landasan kekuatan batin telah terkembang dalam diriku? … Apakah kelima indria telah terkembang dalam diriku? … Apakah kelima kekuatan telah terkembang dalam diriku? … Apakah ketujuh faktor pencerahan telah terkembang dalam diriku? … Apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan telah terkembang dalam diriku? [297] … Apakah ketenangan dan pandangan terang telah terkembang dalam diriku? Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Ketenangan dan pandangan terang belum terkembang dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk mengembangkannya. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Ketenangan dan pandangan terang telah terkembang dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

20. “Kemudian, Sāriputta, seorang bhikkhu harus mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Apakah pengetahuan sejati dan kebebasan telah ditembus olehku?’ Jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Pengetahuan sejati dan kebebasan belum ditembus olehku,’ maka ia harus berusaha untuk menembus pengetahuan sejati dan kebebasan. Tetapi jika, dengan melakukan peninjauan demikian, ia mengetahui sebagai berikut: ‘Pengetahuan sejati dan kebebasan telah ditembus olehku,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

21. “Sāriputta, petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang telah memurnikan dana makanan mereka semuanya telah melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan memurnikan dana makanan mereka semuanya akan melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian. Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang memurnikan dana makanan mereka semuanya melakukan hal itu dengan berulang-ulang merenungkan demikian.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #86 on: 25 February 2011, 01:31:25 PM »
[ko indra, urutan perasaannya:
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan
atau
menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ya?

kadang menyakitkan dulu, baru menyenangkan.. kdg menyenangkan dulu, baru menyakitkan..
perlu diselaraskan?

[/quote]

menyenangkan, menyakitkan, bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan

Offline Hendra Susanto

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #87 on: 25 February 2011, 02:38:52 PM »
Yumi highlight yg membingungkan itu. Nanti saya cek source textnya, ntah uda dikirim atau belum. Om uda kirim belum ya?
« Last Edit: 25 February 2011, 02:41:50 PM by Hendra Susanto »

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #88 on: 25 February 2011, 04:10:22 PM »
mungkin lebih baik editingnya tidak ke esensi isi dari katanya, lebih baik hanya ke struktur saja. Karena perubahan penggunaan kata bisa jadi malahan merubah/makin jauh dair aslinya.
There is no place like 127.0.0.1

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #89 on: 25 February 2011, 11:07:15 PM »
152  Indriyabhāvanā Sutta
Pengembangan Indria-Indria


[298] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kajangalā di hutan pepohonan mukhelu.

2. Kemudian murid brahmana Uttara, siswa dari Brahmana Pārāsariya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Uttara, apakah Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya?”

“Benar, Guru Gotama.”

“Tetapi, Uttara, bagaimanakah ia mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya?”

“Di sini, Guru Gotama, seseorang tidak melihat bentuk-bentuk dengan mata, ia tidak mendengar suara-suara dengan telinga. Demikianlah Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya.”

“Kalau begitu, Uttara, maka orang buta dan orang tuli memiliki indria-indria terkembang, menurut apa yang dikatakan oleh Brahmana Pārāsariya. Karena orang buta tidak melihat bentuk-bentuk dengan mata, dan orang tuli tidak mendengar suara-suara dengan telinga.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Uttara, siswa Pārāsariya, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak menjawab.

3. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Brahmana Pārāsariya mengajarkan pengembangan indria-indria kepada para siswanya dalam satu cara, tetapi dalam Disiplin Para Mulia, pengembangan indria-indria yang tertinggi adalah bukan seperti itu.”

“Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā [299] untuk mengajarkan Dhamma. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Sekarang, Ānanda, bagaimanakah pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia? Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. [ ]Ia memahami sebagai berikut: ‘Di sana telah muncul padaku apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Tetapi hal itu adalah terkondisi, kasar, muncul bergantungan; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, keseimbangan.’ Apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dalam dirinya dan keseimbangan ditegakkan. [ ]Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, setelah membuka matanya seketika menutupnya kembali atau setelah menutup matanya seketika membukanya kembali, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata.

5. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah menjentikkan jarinya, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga.

6. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya [300] tetesan air di atas daun teratai yang miring akan bergulir turun dan tidak berdiam di sana, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung.

7. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah meludahkan gumpalan ludah yang terkumpul di ujung lidahnya, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah.

8. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seorang kuat dapat dengan mudah merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan.

9. “Kemudian, Ānanda, ketika seorang bhikkhu mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ia memahami sebagai berikut … dan keseimbangan ditegakkan. Seperti halnya seseorang menjatuhkan setetes atau dua tetes air ke atas sebuah piringan besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, jatuhnya tetesan air mungkin lambat, tetapi air itu akan dengan cepat menguap dan lenyap, [ ]demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan keseimbangan ditegakkan. Ini disebut pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia sehubungan dengan objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran.

“Itu adalah bagaimana pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia.

10. “Dan bagaimanakah, Ānanda, seseorang adalah seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, seorang yang telah memasuki sang jalan? Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata … [301] mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu bau dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan; ia muak, malu, dan jijik dengan apa yang menyenangkan yang muncul, dengan apa yang tidak menyenangkan yang muncul, dan dengan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul. [ ]Itu adalah bagaimana seseorang adalah seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, seorang yang telah memasuki sang jalan.

11-16. “Dan bagaimanakah, Ānanda, seseorang adalah seorang mulia dengan indria-indria terkembang?  Di sini, Ānanda, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata … mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu bau dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, di sana muncul dalam dirinya apa yang menyenangkan, di sana muncul apa yang tidak menyenangkan, di sana muncul apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. [ ]Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan dan ketidakjijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan ketidakjijikan dalam hal itu. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan dan kejijikan,’ maka ia berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam hal itu. Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan menghindari kejijikan dan ketidakjijikan, [302] berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan,’ maka ia berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan. [ ]Itu adalah bagaimana seseorang adalah seorang mulia dengan indria-indria terkembang.

17. “Demikianlah, Ānanda, pengembangan indria-indria yang tertinggi dalam Disiplin Para Mulia telah diajarkan oleh-Ku, siswa dalam latihan yang lebih tinggi yang telah memasuki sang jalan telah diajarkan oleh-Ku, dan seorang mulia dengan indria-indria terkembang telah diajarkan oleh-Ku.

18. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswa-Nya demi belas kasih seorang guru yang mengutamakan kesejahteraan mereka dan memiliki belas kasihan pada mereka, telah Aku lakukan untukmu, Ānanda. Ada bawah pohon ini, gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Ānanda, jangan menunda atau engkau akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #90 on: 27 February 2011, 11:15:25 AM »
SUTTA 101

922) Doktrin ini, yang di sini dianggap berasal dari para Jain, juga digunakan sebagai kritik oleh Sang Buddha pada SN 36:21/iv.230-31 dan AN 3:61/i.173-74. Ajaran Sang Buddha mengakui keberadaan perasaan yang bukan merupakan akibat dari perbuatan lampau melainkan suatu hal yang muncul bersamaan dengan perbuatan sekarang, dan juga mengakui perasaan yang bukan aktif melalui kamma juga bukan akibat kamma.

923) Dari sini hingga §5, “Kalau begitu ...,” juga terdapat pada MN 14.17-19, pernyataan dari Nigaṇṭha Nātaputta, yang pada MN 14.17 memperkenalkan posisi Nigaṇṭha, di sini adalah lanjutannya, pada §10, sebagai pembenaran para Nigaṇṭha atas pernyataan mereka.

924) Seperti pada MN 95.14.

925) Tidaklah selayaknya bagi mereka untuk membuat pernyataan itu karena “pengerahan keras” mereka, yaitu, praktik pertapaan mereka, adalah penyebab perasaan menyakitkan mereka itu, seperti yang disebutkan oleh Sang Buddha pada §15.

926) Ini adalah ungkapan teknis bagi perbuatan yang masak dalam kehidupan ini.

927) MA: “Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang” adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini.[”] Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan berikutnya. Tetapi sebuah ketentuan diberikan sebagai berikut: Perbuatan apa pun yang menghasilkan akibat dalam kehidupan yang sama adalah perbuatan yang akibatnya harus dialami di sini dan saat ini, tetapi hanya suatu perbuatan yang menghasilkan akibatnya dalam tujuh hari yang disebut sebagai perbuatan yang akibatnya harus dialami dalam pribadi yang matang.

928) Ini adalah perbuatan yang tidak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibatnya dan dengan demikian menjadi tertutup.

929) Issaranimmānahetu. Doktrin Theis yang dikritik oleh Sang Buddha dalam AN 3:61/i.174.

930) Sangatibhābahetu. Ini menyinggung doktrin dari Makkhali Gosāla, yang dikritik secara panjang-lebar dalam MN 60.21 dan AN 3:61/i.175.

931) Abhijātihetu. Ini juga merujuk pada prinsip Makkhali Gosāla.

932) Ini adalah formulasi Jalan Tengah dari Sang Buddha, yang menghindari ekstrem penyiksaan diri tanpa terjatuh pada ekstrem lainnya yaitu mengejar kenikmatan indria.

933) MA menjelaskan sumber penderitaan sebagai keinginan, disebut demikian karena merupakan akar penderitaan yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Paragraf ini menunjukkan dua pendekatan alternatif untuk mengatasi keinginanyang satu menggunakan usaha yang gigih, yang lainnya adalah keseimbangan yang terlepas. “Peluruhan” dari sumbernya diidentifikasikan oleh MA sebagai jalan lokuttara. Paragraf ini dikatakan mengilustrasikan praktik dari seseorang yang berjalan pada jalan yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat (sukhapaṭipadā khippābhiññā).

934) Paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan alasan Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menjalani praktik pertapaan (dhutanga): penggunaan pertapaan keras yang secukupnya adalah membantu untuk mengatasi kekotoran; tetapi itu dijalani untuk menghapuskan kamma lampau dan untuk memurnikan jiwa, seperti yang dipercaya oleh para petapa Jain dan petapa lainnya. MS mengatakan bahwa paragraf ini mengilustrasikan praktik dari seorang yang berjalan pada jalan yang sulit dengan pengetahuan langsung yang lambat (dukkhapaṭipadā dandhābhiññā).


SUTTA 102

935) Sutta ini adalah padanan dengan panjang menengah dari Brahmajāla Sutta yang lebih panjang, yang terdapat dalam Digha Nikāya dan diterbitkan dalam terjemahannya dengan komentarnya dalam Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views. Penjelasan terperinci pada hampir seluruh pandangan yang disebutkan dalam sutta ini dapat dibaca dalam Pendahuluan dan Bagian ke dua buku tersebut. Ada terjemahan Tibet atas Pañcatraya Sūtra, padanan dari teks ini yang berasal dari aliran Mūlasarvāstivāda, yang bukunya dituliskan dalam Skt. Teks ini dibahas oleh Peter Skilling dalam Mahāsūtras II, pp. 469-511. Skilling menggarisbawahi perbedaan menarik antara versi teks ini dan versi Pali.

936) Skilling menunjukkan bahwa Pañcatraya versi Tibet, menyatakan Nirvāṇa di sini dan saat ini tidak termasuk dalam pandangan akan masa depan melainkan merupakan kelompok terpisah. Brahmajāla Sutta menempatkan pernyataan Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini di antara pandangan-pandangan akan masa depan, tetapi penataan dalam versi Tibet tampaknya lebih logis.

937) Dalam Brahmajāla Sutta, [ ]keenam belas variasi pandangan ini disebutkan, delapan yang terdapat di sini dan dua tetrad lainnya: diri sebagai terbatas, tidak terbatas, keduanya, dan bukan keduanya; dan diri sebagai mengalami kenikmatan luar biasa, kesakitan luar biasa, gabungan keduanya, dan bukan keduanya. Dalam sutta sekarang ini, kedua tetrad ini dimasukkan ke dalam spekulasi tentang masa lampau pada §14, tetapi pada SN 24:37-44/iii.219-20 dijelaskan sebagai diri setelah kematian.

938) Jelas, bahwa dalam daftar di atas pandangan-pandangan diri sebagai tanpa materi, memiliki persepsi kesatuan, dan memiliki persepsi tanpa batas adalah berdasarkan pada pencapaian landasan ruang tanpa batas. MṬ menjelaskan kasiṇa-kesadaran sebagai landasan kesadaran tanpa batas, menyebutkan bahwa para penganut teori ini menyatakan landasan itu sebagai diri.

939) Persepsi di dalam meditasi tanpa materi ke tigalandasan kekosonganadalah yang paling halus dari semua persepsi duniawi. Walaupun masih ada jenis persepsi dalam pencapaian tanpa materi ke empat, ini begitu halusnya sehingga tidak lagi layak disebut sebagai persepsi.

940) MA menuliskan sebagai berikut: “Semua jenis persepsi itu bersama dengan pandangan-pandangan adalah terkondisi, dan karena terkondisi, maka kasar. Tetapi karena ada Nibbāna, yang disebut lenyapnya bentukan-bentukan, yaitu, bentukan-bentukan yang terkondisi. Setelah mengetahui, ‘Ada hal ini,’ yaitu ada Nibbāna, dengan melihat jalan membebaskan diri dari yang terkondisi, maka Sang Tathāgata telah melampaui yang terkondisi itu.”

941) Tetrad ke dua dari §3 dihilangkan di sini, karena diri dianggap sebagai tidak memiliki persepsi. Dalam Brahmajāla Sutta, kedelapan variasi pandangan ini disebutkan, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas.

942) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dibuat dengan merujuk pada alam-alam kehidupan di mana terdapat seluruh kelima kelompok unsur kehidupan. Dalam alam tanpa-materi, kesadaran ada tanpa kelompok unsur bentuk-materi, dan dalam alam tanpa-persepsi ada bentuk-materi tetapi tanpa kesadaran. Tetapi kesadaran tidak pernah ada tanpa ketiga kelompok unsur batin lainnya.

943) Brahmajāla Sutta menyebutkan delapan variasi pandangan ini, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas.

944) Sammoha, [ ]di sini jelas memiliki makna berbeda daripada “kebingungan” atau “khayalan” umumnya.

945) MA menjelaskan kata majemuk diṭṭhasutamutaviññātabha sebagai bermakna “apa yang dikenali sebagai terlihat, terdengar, dan tercerap” dan menganggapnya merujuk pada pengenalan pintu indria. Akan tetapi, hal ini juga dapat merupakan seluruh pengenalan pintu pikiran yang lebih kasar. Untuk memasuki pencapaian tanpa materi ke empat, semua “bentukan batin” yang biasa yang terlibat dalam proses pengenalan lainnya harus diatasi, karena keberadaannya adalah rintangan untuk memasuki pencapaian ini. Karena itu, ini disebut “tidak memiliki persepsi” (n’eva saññi).

946) Sasankhārāvasesasamāpatti. Di dalam pencapaian tanpa materi ke empat masih ada sisa-sisa bentukan batin yang sangat halus, karena itu disebut “bukan tidak memiliki persepsi” (nāsaññi).

947) Brahmajāla menjelaskan tujuh jenis nihilisme, di sini seluruhnya dikelompokkan menjadi satu.

948) “Ketakutan dan kejijikan pada identitas” adalah suatu aspek vibhavataṇhā, keinginan akan ketiadaan. Pandangan nihilis yang karenanya “ketakutan dan kejijikan pada identitas” ini muncul masih melibatkan suatu identifikasi sebagai diridiri yang musnah pada saat kematiandan dengan demikian, terlepas dari penyangkalan ini, hal ini mengikat si penganutnya pada lingkaran kehidupan.

949) Sejauh ini hanya empat dari lima kelompok spekulasi tentang masa depan yang telah dianalisa, namun Sang Buddha berkata seolah-olah semuanya telah dijelaskan. MA berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menjelaskan bahwa pernyataan “Nibbāna di sini dan saat ini” tercakup dalam “memiliki persepsi kesatuan” dan “memiliki persepsi keberagaman” dalam §3. Akan tetapi, penjelasan ini tidak meyakinkan. Ñm, dalam Ms, menambahkan judul “Nibbāna di sini dan saat ini” sebelum §17-21 yang tampaknya bersesuaian dengan empat terakhir dari lima doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dalam Brahmajāla. Akan tetapi, interpretasi ini sepertinya dilawan oleh §13 dan oleh frasa yang digunakan dalam §17, §19, dan §21, “dengan melepaskan pandangan-pandangan tentang masa lampau dan masa depan,” yang mengeluarkan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dari pandangan-pandangan tentang masa depan (walaupun ditempatkan di antara pandangan-pandangan demikian dalam pembukaan). Persoalan ini tampaknya tidak dapat dipecahkan, dan memunculkan kecurigaan bahwa teks telah mengalami perubahan hingga tingkat tertentu dalam penyampaian lisan. Penambahan pandangan-pandangan tentang masa lampau persis di bawah juga menimbulkan persoalan. Bukan hanya karena pandangan-pandangan itu tidak disebutkan dalam pembukaan, tetapi penempatan yang masa lampau setelah yang masa depan membalikkan urutan waktu yang normal. Skilling beranggapan bahwa paragraf ini adalah bagian dari komentar lisan dari sutta ini yang, pada titik tertentu, terserap ke dalam teks.

950) Pandangan ini memasukkan seluruh empat pandangan eternalis yang berspekulasi tentang masa lampau yang disebutkan dalam Brahmajāla.

951) Karena ini adalah pandangan yang merujuk pada masa lampau, dapat dianggap menyiratkan bahwa pada titik tertentu di masa lampau, diri dan dunia muncul secara spontan dari ketiadaan. Demikianlah ini terdiri dari dua doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan dari Brahmajāla, seperti pendapat MA.

952) Ini memasukkan keempat jenis eternalisme sebagian.

953) Ini dapat memasukkan keempat jenis pengelakan tanpa akhir atau “geliat-belut” pada Brahmajāla.

954) Pandangan-pandangan 5-8 bersesuaian persis dengan empat pandangan perpanjangan dari Brahmajāla.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #91 on: 27 February 2011, 11:34:56 AM »
955) Kedelapan pandangan (9-16) adalah, dalam Brahmajāla, termasuk di dalam doktrin-doktrin yang memiliki persepsi keabadian yang terdapat dalam kelompok spekulasi tentang masa depan.

956) Yaitu, mereka harus menerima doktrin mereka di atas suatu dasar selain pengetahuan, yang melibatkan kepercayaan atau penalaran. Pada MN 95.14, dikatakan bahwa kelima dasar pendirian ini menghasilkan kesimpulan yang dapat terbukti benar atau salah.

957) MA: ini sebenarnya bukanlah pengetahuan, melainkan pemahaman keliru; demikianlah ini dinyatakan sebagai kemelekatan pada pandangan-pandangan.

958) MA mengatakan bahwa pada titik ini, keseluruh enam puluh dua pandangan yang dijelaskan dalam Brahmajāla Sutta telah dicantumkan, namun sutta ini bahkan memiliki jangkauan yang lebih luas karena memasukkan penjelasan atas pandangan identitas (paling jelas pada §24).

959) Bagian judul ini, dan huruf Romawi berikutnya “V”, ditambahkan oleh Ñm dengan anggapan bahwa paragraf ini menyajikan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini, yang disebutkan tetapi tidak dijelaskan sebelumnya.

960) MA: Bagian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana keseluruhan enam puluh dua pandangan spekulatif muncul di atas pandangan identitas.

961) Pavivekaṁ pītiṁ. Ini merujuk pada dua jhāna pertama, di mana pīt termasuk.

962) MA menjelaskan bahwa ini adalah kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan jhāna. Kesedihan ini tidak muncul segera saat lenyapnya jhāna, melainkan setelah perenungan atas lenyapnya.

963) Nirāmisaṁ sukhaṁ. Ini adalah kenikmatan jhāna ke tiga.

964) Jhāna ke empat.

965) Santo’ham asmi, nibbuto’ham asmi, anupādāno’ham asmi. Dalam Pali, ungkapan aham asmi, “aku”, mengungkapkan bahwa ia masih terlibat dengan kemelekatan, seperti yang akan ditunjukkan oleh Sang Buddha.

966) MA menganggap ini sebagai kiasan dari pandangan identitas. Demikianlah ia masih melekati pandangan.

967) MA di tempat lain menyebutkan ungkapan “kebebasan melalui ketidakmelekatan” (anupāda vimokkha) menyiratkan Nibbāna, tetapi di sini ini berarti pencapaian buah Kearahatan.

968) Brahmajāla Sutta juga menunjuk pada pemahaman asal-mula, dan seterusnya atas keenam landasan kontak sebagai jalan untuk melampaui segala pandangan.


SUTTA 103

969) Bhavābhavahetu. MA: “Apakah engkau berpendapat bahwa Beliau mengajarkan Dhamma sebagai cara untuk memperoleh jasa sehingga Beliau dapat mengalami kebahagiaan dalam kondisi makhluk ini atau [yang lebih tinggi]?”

970) Abhidhamma. MA mengatakan bahwa ini merujuk pada tiga puluh tujuh bantuan pada pencerahan yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Baca n.362.

971) Makna (attha) dan kata-kata (byañjana) adalah dua aspek Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha. Paragraf berikut ini, §§5-8, harus dibandingkan dengan DN 29.18-21/iii.128-29, yang juga mengungkapkan kepedulian pada pelestarian makna dan kata-kata yang benar dari Dhamma.

972) Pernyataan ini dibuat karena sedikit penyimpangan dari kata-kata yang sebenarnya tidak harus merupakan rintangan bagi pemahaman benar akan makna. Tetapi di tempat lain (misalnya, AN 2:20/i.59) Sang Buddha menunjukkan bahwa ungkapan salah dari kata-kata dan interpretasi salah dari makna adalah dua faktor yang bertanggung jawab atas distorsi dan lenyapnya Dhamma sejati.

973) Prinsip umum yang mendasari §§10-14 adalah sebagai berikut: jika bhikkhu yang melanggar dapat direhabilitasi, maka terlepas dari apakah hal itu akan melukainya atau seseorang akan mengalami kerepotan, maka ia harus berusaha untuk memperbaikinya. Tetapi jika ia tidak dapat direhabilitasi, maka seseorang seharusnya hanya mempertahankan keseimbangannya sendiri.

974) “Sang Petapa” (samaṇa) dikemas oleh MA dengan satthā, Sang Guru, yang merujuk pada Sang Buddha. Penggunaan kata yang serupa terdapat pada MN 105/18,21.

975) “Hal itu” (dhamma) yang dimaksudkan, menurut MA, adalah pertengkaran.


SUTTA 104

976) Pembukaan sutta ini sama dengan pembukaan sutta DN 29, yang juga menekankan pada pelestarian kerukunan dalam Sangha setelah Sang Buddha meninggal dunia.

977) MA: “Altar” dan “perlindungan” adalah Nigaṇṭha Nātaputta, yang saat itu telah mati.

978) Samaṇera Cunda adalah adik dari YM. Sāriputta.

979) Bahkan selagi Sang Buddha masih hidup, perselisihan telah terjadi di antara para bhikkhu di Kosambi, merujuk pada MN 48.2.

980) Ini adalah perselisihan tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan atau bantuan menuju pencerahan lainnya.

981) Empat pasang pertama ini termasuk dalam “ketidaksempurnaan yang mengotori pikiran” pada MN 7.3.

982) Adhikaraṇa. Horner menerjemahkan “pertanyaan-pertanyaan sah”. Dibahas secara panjang lebar pada Vin Cv Kh 4/Vin ii.88-93; baca Horner, Book of the Discipline, 5:117-25. Secara singkat, perkara karena perselisihan (vivādādhikaraṇa) muncul ketika para bhikkhu berselisih tentang Dhamma dan Disiplin; perkara karena tuduhan (anuvādādhikaraṇa) ketika para bhikkhu menuduh seorang bhikkhu melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan monastik; perkara karena pelanggaran (āpattādhikaraṇa) ketika seorang bhikkhu yang telah melakukan pelanggaran mencari cara untuk membebaskan diri dari pelanggaran itu; dan perkara sehubungan dengan prosedur (kiccādhikaraṇa) sehubungan dengan mengundang fungsi formal Sangha.

983) Adhikaraṇasamatha. Dibahas secara terperinci dalam Vin Cv Kh 4. Bagaimana ketujuh cara penyelesaian ini diberlakukan bagi pemecahan keempat jenis perkara ini dibahas dalam Vin ii.93-104; baca Horner, Book of the Discipline, 5:125-40.

984) Sammukhāvinaya. Horner menerjemahkan “keputusan yang dihadiri oleh”. Pada Vin ii.93, ini dijelaskan sebagai konfrontasi dengan (atau di hadapan) Sangha, Dhamma, Disiplin, dan individu-individu yang berselisih. Jenis penyelesaian ini berlaku pada seluruh empat jenis perkara ini, dengan perbedaan minor dalam formulasi.

985) Dhammanetti samanumajjitabbā. MA memberikan sebagai contoh dhammanetti adalah sepuluh perbuatan bermanfaat dan tidak bermanfaat, tetapi mengatakan bahwa di sini Dhamma dan Disiplin itu sendiri yang dimaksudkan.

986) Sativinaya. Horner menerjemahkan “keputusan tidak bersalah”. Pada Vin ii.80, dikatakan bahwa ini diberikan ketika seorang bhikkhu adalah bersih dan tanpa pelanggaran dan ia dituduh melakukan pelanggaran; ia harus memohon agar Sangha memberikan kepadanya keputusan demikian dengan cara memohon dengan mengingat perilakunya secara lengkap dan benar.

987) Suatu pelanggaran yang melibatkan kejatuhan, pelanggaran pārājika, mengharuskan pengusiran dari Sangha. Suatu pelanggaran yang berbatasan dengan kejatuhan adalah pelanggaran sanghādisesa, yang memerlukan sidang resmi Sangha dan suatu periode hukuman sementara, atau tahap awal yang mengarah pada pelanggaran pārājika. Saya mengikuti BBS dan SBJ, dengan seorang bhikkhu sebagai yang menuduh, bukan seperti PTS, yang menggunakan bentuk jamak. Demikian pula yang di bawah.

988) Amūḷhavinaya. Suatu keputusan ketidakwarasan masa lalu diberikan jika seorang bhikkhu melakukan pelanggaran selama masa kegilaan. Kriteria yang menentukan ketidakwarasan adalah bahwa ia tidak dapat mengingat perilakunya selama masa yang karenanya keputusan itu dimohon.

989) Prosedur yang dijelaskan adalah metode yang ditetapkan yang mana seorang bhikkhu memperoleh kebebasan atas pelanggarannya ketika ia jatuh ke dalam pelanggaran apa pun yang dapat dimurnikan melalui pengakuan.

990) Pāpiyyāsika. Horner menerjemahkan “keputusan atas keburukan tertentu”, keputusan ini dijatuhkan pada seorang bhikkhu yang merupakan seorang penyebab perselisihan dan pertengkaran dalam Sangha, yang bodoh dan banyak melakukan pelanggaran, atau yang hidup dengan pergaulan yang tidak sepantasnya dengan para perumah tangga.

991) Tiṇavatthāraka. Ini berarti penyelesaian tercapai ketika Sangha telah terlibat dalam perselisihan yang dalam perjalanannya para bhikkhu melakukan banyak pelanggaran minor. Karena untuk memproses pelanggaran-pelanggaran ini dapat memperpanjang konflik, maka pelanggaran-pelanggaran itu dibersihkan dengan cara-cara yang dijelaskan dalam sutta ini. MA menjelaskan bahwa metode ini bagaikan menaburkan rumput di atas kotoran sapi untuk menghilangkan baunya. Demikianlah asal namanya “menutup dengan rumput”.

992) Pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius adalah pelanggaran-pelanggaran dalam kelompok pārājika dan sanghādisesa. Pelanggaran yang berhubungan dengan umat awam adalah kasus-kasus di mana seorang bhikkhu mencela dan merendahkan para perumah tangga.

993) Seperti pada MN 48.6.

994) Pada MN 21.21, ini dikatakan sehubungan dengan perumpamaan gergaji.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #92 on: 27 February 2011, 12:06:47 PM »
SUTTA 105

995) Baca MN 12 dan n.177.

996) Adhimānena. MA: mereka menyatakan ini karena keangkuhan, menganggap mereka telah mencapai apa yang belum mereka capai.

997) MA: Untuk menyatakan tingkat pencapaian mereka.

998) MA: Karena mereka termotivasi oleh keinginan, pikiran Sang Tathāgata untuk mengajarkan Dhamma, yang muncul terhadap para praktisi sejati, menjadi berubah (yaitu, luntur).

999) Lokāmisa. [ ]Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

1000) Āneñja (BBS); ānañja (PTS). Ini adalah istilah teknis untuk pencapaian-pencapaian meditatif dari jhāna ke empat melalui empat pencapaian tanpa materi. Tetapi karena dua pencapaian tanpa materi yang tertinggi dibahas secara terpisah, sepertinya bahwa dalam sutta ini hanya jhāna ke empat dan dua pencapaian tanpa materi yang lebih rendah yang dimaksudkan sebagai “ketenangan”.

1001) Sang Buddha.

1002) Membaca sama seperti BBS, evaṁmāni assa atathaṁ samānaṁ. CPD menyarankan atathaṁ samānaṁ [ ]mungkin berbentuk akusatif absolut. Paragraf ini merujuk kembali kepada persoalan terlalu tinggi menilai diri sendiri yang dengannya khotbah dimulai.

1003) Saya mengikuti PTS di sini, yang tulisannya sepertinya didukung oleh semua versi sebelum BBS. Karena ahli bedah melambangkan Sang Tathāgata, dan teks tidak dapat menganggap bahwa Sang Buddha melakukan kesalahan penilaian, BBS mempertahankan penerapan keras atas perumpamaan ini dan telah “mengoreksi” teks dengan tulisan sa-upādiseso ti jānamāno. Saya mengikuti tulisan ini dalam edisi pertama, tetapi sekarang yakin bahwa itu adalah kesalahan pada BBS dalam mengubah teks yang diterima; penulisan secara paralel keras dalam penerapan perumpamaan adalah tidak seharusnya. Seluruh edisi menuliskan janamāno sebagai kata kerja dalam versi berlawanan dari perumpamaan di bawah. Di mana PTS menuliskan alañ di bawah, kita harus membaca analañ sama seperti BBS dan SBJ, yang juga didukung oleh kemasan dalam MA.

1004) Pelanggaran apa pun dalam dua kelompok, pārājika dan sanghādisesa; baca n.987. Analogi ini sulit diterapkan dengan tepat, karena jika keinginan dan kebodohan telah benar-benar dilenyapkan dalam dirinya dengan hanya sisa-sisa yang tertinggal, maka bhikkhu itu adalah seorang sekha; namun tidak mungkin bahwa seorang sekha dapat meninggalkan latihan atau melakukan pelanggaran yang mengotori. Sepertinya dalam kasus ini, analogi ini harus diterapkan secara longgar, dan bhikkhu itu harus dipahami sebagai seorang yang secara keliru membayangkan bahwa keinginan dan kebodohan telah dilenyapkan dalam dirinya.

1005) Baca MN 66.17. MA: Arahant, terbebaskan dalam Nibbāna, hancurnya keinginan [dengan menggunakannya] sebagai objek, tidak akan pernah mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikirannya untuk melibatkan diri dalam kelima utas kenikmatan indria.

1006) Seperti pada MN 46.19. Saya mengikuti BBS dan SBJ, yang memasukkan rasampannorasampanno, yang tidak terdapat dalam PTS.


SUTTA 106

1007) Baca n.1000. Di sini juga, kata “ketenangan” tampaknya hanya merujuk pada jhāna ke empat dan dua pencapaian tanpa materi yang lebih rendah.

1008) MA mengatakan yang dimaksudkan adalah objek kenikmatan indria objektif dan kekotoran indria.

1009) MA mengemas: “setelah melampaui alam-indria dan setelah bertekad dalam pikiran dengan jhāna sebagai objeknya”.

1010) MA menjelaskan frasa “pikirannya memperoleh keyakinan dalam landasan ini” berarti bahwa ia mencapai pandangan terang yang ditujukan pada pencapaian Kearahatan atau pendahuluan dari jhāna ke empat. Jika ia mencapai pendahuluan dari jhāna ke empat, ini menjadi landasannya untuk mencapai “ketenangan”, yaitu, jhāna ke empat itu sendiri. Tetapi jika ia memperoleh pandangan terang, maka “ia [ ]bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan” dengan memperdalam pandangan terang untuk mencapai Kearahatan. Ungkapan “tekad dengan kebijaksanaan” dapat menjelaskan mengapa ada begitu banyak bagian-bagian berikutnya dari sutta ini, walaupun yang memuncak pada pencapaian bersamaan dengan skala konsentrasi, diungkapkan dalam frasa yang sesuai bagi pengembangan pandangan terang.

1011) MA menjelaskan bahwa paragraf ini menjelaskan proses kelahiran kembali dari seseorang yang tidak mampu mencapai Kearahatan setelah mencapai jhāna ke empat. “Kesadaran yang berkembang” (saṁvattanikaṁ viññāṇaṁ) adalah kesadaran hasil yang dengannya seseorang terlahir kembali, dan ini memiliki sifat ketenangan yang sama dengan kesadaran formatif secara kamma yang dicapai pada jhāna ke empat. Karena itu adalah kesadaran jhāna ke empat yang menentukan kelahiran kembali, orang ini akan terlahir kembali dalam satu alam luhur yang bersesuaian dengan jhāna ke empat.

1012) MA mengatakan bahwa ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai jhāna ke empat. Karena ia memasukkan bentuk materi di antara hal-hal yang harus dilampaui, jika ia mencapai ketenangan, maka ia mencapai landasan ruang tanpa batas, dan jika ia tidak mencapai Kearahatan, maka ia terlahir kembali di alam ruang tanpa batas.

1013) MA mengatakan bahwa ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai landasan ruang tanpa batas. Jika ia mencapai ketenangan, maka ia mencapai landasan kesadaran tanpa batas dan ia terlahir kembali di alam itu jika ia tidak mencapai Kearahatan.

1014) Ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai landasan kesadaran tanpa batas dan bertujuan untuk mencapai landasan kekosongan.

1015) MA menyebutkan ini sebagai kekosongan dua sisiketiadaan “aku” dan “milikku”dan mengatakan bahwa ajaran landasan kekosongan ini dijelaskan lebih melalui pandangan terang daripada konsentrasi, pendekatan ini digunakan pada bagian sebelumnya. Pada MN 43.33, perenungan ini dikatakan mengarah menuju kebebasan pikiran melalui kekosongan.

1016) MA menyebut ini sebagai kekosongan empat sisi dan menjelaskan sebagai berikut: (i) ia tidak melihat dirinya di mana pun; (ii) ia tidak melihat dirinya sendiri yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain, misalnya, saudara, teman, pelayan, dan sebagainya; (iii) ia tidak melihat diri orang lain; (iv) ia tidak melihat diri orang lain yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang dimilikinya. Terdapat catatan dalam Ms oleh Ñm: “Ungkapan-ungkapan ini [dalam paragraf ini dan paragraf berikutnya] sepertinya adalah slogan atau penggambaran stereotip dari pencapaian kekosongan, terutama bagi non-Buddhis, dan kadang-kadang digunakan sebagai landasan bagi pandangan jasmani-yang-ada [=identitas].” Baca catatan 19 pada Vsm XXI,53 oleh Ñm untuk pembahasan lebih lanjut dan referensi lainnya.

1017) MA mengemas: “Jika lingkaran kamma belum terakumulasi olehku, maka sekarang tidak ada bagiku lingkaran akibat; jika lingkaran kanma tidak terakumulasi olehku sekarang, maka di masa depan tidak akan ada lingkaran akibat”. “Apa yang ada, apa yang telah terjadi” adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Bagian pertama dari formula ini sekali lagi tampaknya adalah formulasi singkat dari pandangan yang dianut oleh non-Buddhis. Beberapa sutta mengidentifikasikan ini sebagai suatu ungkapan bagi pandangan Nihilis, yang diadaptasi oleh Sang Buddha dengan memberikan makna baru. Untuk kemunculan formula ini di tempat lainnya, baca SN iii.55-56, 99, 183, 206; AN iv.69-72, v.63.

MA mengatakan bahwa ia memperoleh keseimbangan pandangan terang, tetapi dari §11 sepertinya bahwa yang dimaksudkan adalah juga keseimbangan dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

1018) Terdapat permainan kata di sini yang tidak dapat dengan sempurna dipadankan dalam terjemahan. Kata kerja parnibbāyati, diterjemahkan “mencapai Nibbāna”, juga berlaku pada padamnya api. Dengan demikian, pencapaian Nibbāna adalah “padamnya” api nafsu, kebencian, dan kebodohan. Upādāna, “kemelekatan”, juga disebut sebagai bahan bakar yang dibutuhkan oleh api itu. Demikianlah kesadaran berlanjut dalam lingkaran kelahiran kembali selama disokong oleh bahan bakar kemelekatan. Ketika kekotoran-kekotoran padam, maka tidak ada lagi bahan bakar bagi kesadaran yang dapat dibakar, dan dengan demikian bhikkhu yang tanpa kemelekatan “padam” oleh pencapaian Nibbāna. Demikianlah bahan bakar paling halus, yaitu objek kemelekatan yang paling halus (seperti yang diperlihatkan dalam percakapan berikutnya), adalah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #93 on: 27 February 2011, 12:22:09 PM »
1019) MA: Ini dikatakan dengan merujuk pada kelahiran kembali dari seseorang yang mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Artinya adalah bahwa ia terlahir kembali dalam alam kehidupan yang terbaik, tertinggi.

1020) Nissāya nissāya oghassa nittharaṇā. MA: Sang Buddha telah menjelaskan menyeberangi banjir bagi seorang bhikkhu yang menggunakan segala pencapaian dari jhāna ke tiga hingga pencapaian tanpa materi ke empat sebagai landasan (untuk mencapai Kearahatan).

1021) MA: Pertanyaan Ānanda dimaksudkan untuk mendapatkan penjelasan dari Sang Buddha tentang praktik dari meditator pandangan terang tanpa jhāna (sukkhavipassaka), yang mencapai Kearahatan tanpa bergantung pada pencapaian jhāna.

1022) Esa sakkāyo yāvatā sakkāyo. MA: ini adalah identitas pribadi secara keseluruhanlingkaran tiga alam kehidupan; tidak ada identitas pribadi di luar ini.

1023) MA mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah Kearahatan dari meditator pendangan terang tanpa jhāna. MṬ menambahkan bahwa Kearahatan disebut “Keabadian” karena memiliki rasa Keabadian, karena dicapai dengan berlandaskan Nibbāna Keabadian.


SUTTA 107

1024) MA: Adalah tidak mungkin membangun istana bertingkat tujuh dalam satu hari. Begitu lahan dibersihkan, sejak saat fondasi dibangun hingga pekerjaan mengecat diselesaikan terdapat kemajuan bertahap.

1025) Gaṇaka. Namanya berarti “Moggallāna si juru hitung”.

1026) Baca MN 65.33.

1027) Walaupun langkah-langkah praktik sebelumnya adalah suatu hal yang diperlukan bagi para bhikkhu yang berlatih untuk mencapai Kearahatan, namun hal-hal itu juga bermanfaat bagi para Arahant dalam hal peranannya dalam “kediaman yang nyaman di sini dan saat ini”. MA mengidentifikasi ini sebagai “kediaman” dengan pencapaian buah Kearahatan, dan menjelaskan bahwa beberapa Arahant dapat memasuki buah dengan mudah pada setiap saat sementara yang lainnya harus mengerahkan diri mereka dengan tekun untuk menjalani tahapan praktik untuk memasuki buah.

1028) Maggakkhāyī Tathāgato. Bandingkan dengan Dhp 276: “Engkau sendiri yang harus berusaha; Sang Tathāgata hanya menunjukkan jalan.”

1029) Yang berikut ini sama seperti pada MN 5.32.

1030) Paramajjadhammesu. MA: doktrin dari Gotama adalah yang terbaik, tertinggi, di antara ajaran-ajaran masa ituajaran-ajaran enam guru lainnya.


SUTTA 108

1031) MA mengatakan bahwa setelah relik-relik Sang Buddha dibagikan, Yang Mulia Ānanda datang ke Rājagaha untuk membacakan Dhamma (pada Sidang Sangha pertama).

1032) Raja Pajjota adalah sahabat Raja Bimbisāra dari Magadha, yang telah dibunuh oleh putranya, Ajātasattu. Menurut MA, Ajātasattu berpikir bahwa Raja Pajjota mungkin akan menuntut balas atas pembunuhan sahabatnya.

1033) Baca DN 16.1.2-5/iii.72-76.

1034) Inti dari pernyataan ini adalah bahwa Sangha tidak diatur oleh penilaian pribadi anggota-anggotanya, melainkan oleh Dhamma dan aturan Disiplin yang ditetapkan oleh Sang Buddha. Dalam hal ini, para bhikkhu mengikuti instruksi terakhir Sang Buddha: “Apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan Disiplin akan menjadi guru kalian setelah Aku meninggal dunia.” [ ](DN. 16.6.1/ii.154).

1035) Baca n.525.


SUTTA 109

1036) Hari ke lima belas dari setengah bulan. Baca n.59 dan n.809.

1037) MA menjelaskan bahwa bhikkhu ini adalah seorang Arahant dan guru dari enam puluh bhikkhu lainnya yang menetap bersamanya di dalam hutan, berjuang dalam meditasi. Dengan tuntunan sang guru, mereka telah mengembangkan berbagai pengetahuan pandangan terang, namun tidak dapat mencapai sang jalan dan buah. Oleh karena itu, guru mereka membawa mereka pergi menghadap Sang Buddha dengan harapan bahwa Beliau dapat menuntun mereka menuju pencapaian lokuttara. Sang guru mengajukan pertanyaan, bukan karena ia memiliki keragu-raguan, melainkan untuk menyingkirkan keragu-raguan murid-muridnya.

1038) Chandamūlakā. MA mengemas chanda menjadi taṇhā, keinginan, yang merupakan asal-mula penderitaan yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan.

1039) Seperti pada MN 44.6.

1040) Dalam kelompok unsur bentuk materi, masing-masing dari empat unsur utama adalah kondisi bagi ketiga lainnya dan bagi bentuk materi yang diturunkan. Kontak adalah kondisi bagi masing-masing dari ketiga kelompok unsur yang pertengahan, seperti dikatakan: “Dengan kontak seseorang merasakan; dengan kontak seseorang memersepsikan; dengan kontak seseorang berkehendak” (SN 35:93/iv.68). MA menjelaskan bahwa pada saat kehamilan, fenomena materi dan ketiga kelompok unsur batin lainnya yang muncul adalah batin-jasmani yang menjadi kondisi bagi kesadaran kelahiran kembali. Selama perjalanan kehidupan, organ-organ indria fisik dan objek-objek indria bersama-sama dengan ketiga kelompok unsur batin lainnya adalah batin-jasmani yang menjadi kondisi bagi kesadaran indria.

1041) Seperti pada MN 44.7-8.

1042) Tampaknya bahwa bhikkhu ini memiliki kesulitan dalam memahami bagaimana kamma dapat menghasilkan akibat tanpa diri yang menerimanya.

1043) Tulisan dalam kalimat ini saling berbeda dalam edisi-edisi yang berbeda. Sutta yang sama muncul pada SN 22:82/iii.104, dan tulisan di sana (paṭipucchā vinītā) tampaknya lebih sesuai pada tulisan di sini (dalam PTS, paṭicca vinītā; dalam BBS, paṭivinītā). Terjemahan di sini mengikuti teks Saṁyutta. Terjemahan Ñm, yang berdasarkan pada teks Majjhima dari PTS, menuliskan: “Sekarang, Para bhikkhu, kalian telah dilatih oleh-Ku dalam hal ketergantungan [kondisionalitas] dalam berbagai kesempatan.” Tidak ada versi yang merupakan idiom Pali, dan komentar pada kedua Nikāya tidak menjelaskan apa pun.

1044) MA: keenam puluh bhikkhu meninggalkan subjek meditasi awal mereka dan menyelidiki subjek baru (berdasarkan pada khotbah Sang Buddha, MṬ). Tanpa mengubah postur mereka, masih di tempat duduk masing-masing mereka mencapai Kearahatan.


SUTTA 110

1045) Asappurisa. MA mengemasnya dengan pāpapurisa, seorang jahat.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #94 on: 27 February 2011, 01:44:50 PM »
SUTTA 111

1046) Anupadadhammavipassanā. MA menjelaskan bahwa ia mengembangkan pandangan terang ke dalam kondisi-kondisi secara berurutan melalui pencapaian-pencapaian meditatif dan faktor-faktor jhāna, seperti akan dijelaskan. Masa dua minggu merujuk pada hari penahbisan YM. Sāriputta di bawah Sang Buddha hingga pada pencapaian Kearahatan ketika mendengarkan penjelasan Sang Buddha tentang pemahaman perasaan kepada Dīghanaka (baca MN 74.14).

1047) Kelima kondisi pertama adalah urutan faktor-faktor jhāna dari jhāna pertama; kondisi-kondisi berikutnya adalah komponen tambahan yang masing-masing melakukan fungsinya masing-masing di dalam jhāna. Analisis kondisi-kondisi batin secara terperinci ke dalam komponen-komponennya mengantisipasi metodologi Abhidhamma, dan oleh karena itu, bukan kebetulan bahwa nama Sāriputta berhubungan erat dengan munculnya literatur Abhidhamma.

1048) Semua kata ini menyiratkan ditekannya kekotoran secara sementara oleh kekuatan jhāna, bukan kebebasan sepenuhnya dari kekotoran melalui pelenyapan oleh jalan tertinggi, yang belum dicapai oleh YM. Sāriputta.

1049) “Jalan membebaskan diri melampaui ini” (uttariṁ nissaraṇaṁ) di sini adalah pencapaian yang lebih tinggi berikutnya, jhāna ke dua.

1050) Membaca sama seperti edisi BBS passaddhattā cetaso anābhogo. MA menjelaskan bahwa ketertarikan pikiran pada kenikmatan, yang ada dalam jhāna ke tiga, sekarang dianggap kasar, dan ketika lenyap, di sana ada “ketidaktertarikan pikiran karena ketenangan”. Edisi PTS menuliskan passi vedanā, tidak dapat dimengerti dan jelas suatu kesalahan.

1051) Metode introspeksi tidak langsung ini digunakan untuk merenungkan pencapaian tanpa materi ke empat karena pencapaian ini, karena sangat halus, tidak termasuk dalam wilayah penyelidikan langsung bagi para siswa. Hanya para Buddha yang tercerahkan sempurna yang mampu merenungkannya secara langsung.

1052) MA memberikan penjelasan atas paragraf ini, yang disampaikan oleh “para sesepuh dari India”: “Bhikkhu Sāriputta melatih ketenangan dan pandangan terang secara berpasangan dan mencapai buah yang-tidak-kembali. Kemudian ia memasuki pencapaian lenyapnya, dan setelah keluar dari sana, ia mencapai Kearahatan.”

1053) Karena tidak ada faktor-faktor batin dalam pencapaian lenyapnya, MA mengatakan “kondisi-kondisi ini” di sini pasti merujuk pada kondisi-kondisi bentuk materi yang terjadi selama ia mencapai lenyapnya, atau merujuk pada faktor-faktor batin dari pencapaian tanpa materi ke empat yang dicapai sebelumnya.

1054) Perhatikan pencapaian bahwa “tidak ada jalan membebaskan diri melampaui” pencapaian Kearahatan.

1055) Vasippatto pāramipatto. Baca n.763.


SUTTA 112

1056) Baca n.17.

1057) Seperti pada MN 111.4, tetapi di sini kata-kata ini dimaksudkan untuk mengungkapkan lenyapnya kekotoran sepenuhnya melalui jalan Kearahatan.

1058) MA: Semua kata-kata ini menyiratkan keinginan dan pandangan-pandangan.

1059) MA: frasa pertama menegaskan pertimbangan unsur tanah sebagai diri, yang ke dua menegaskan pertimbangan faktor-faktor jasmani dan batin selain unsur tanah sebagai diri. Metode yang sama berlaku untuk unsur-unsur lainnya.

1060) Teks tampaknya berlebihan dalam menyebutkan bentuk-bentuk (rūpa) dan hal-hal yang dikenali (oleh pikiran) melalui kesadaran-mata (cakkhuviññāṇa-viññātabbā dhammā). MA menyebutkan dua pendapat yang diusulkan untuk memecahkan persoalan ini: yang pertama menganggap bahwa “bentuk-bentuk” merujuk pada benda-benda terlihat yang memasuki jangkauan pengenalan, [ ]“hal-hal yang dikenali ...” hingga benda-benda terlihat yang lenyap tanpa dikenali. Pendapat ke dua menganggap bahwa kata pertama menyiratkan semua bentuk tanpa perbedaan, kata berikutnya menyiratkan ketiga kelompok unsur batin yang berfungsi bersama-sama dengan kesadaran-mata.

1061) MA menjelaskan “pembentukan-aku” (ahankāra) sebagai keangkuhan dan “pembentukan-milikku” (mamankāra) sebagai keinginan. “Semua gambaran eksternal” (nimitta) adalah objek-objek eksternal.

1062) MA: Mengingat kehidupan lampau dan pengetahuan kematian dan kemunculan kembali makhluk-makhluk (yang biasanya ada dalam jenis pembabaran seperti ini) di sini tidak termasuk karena pertanyaan pada §11 hanya berhubungan dengan pencapaian Kearahatan, bukan pencapaian lokiya.

1063) MA mengatakan bahwa sutta ini juga disebut Ekavissajjita Sutta (Khotbah Jawaban Tunggal). MA kesulitan menjelaskan mengenai “enam” yang disebutkan dalam judul aslinya, karena hanya lima pertanyaan dan jawaban yang terdapat dalam khotbah ini. MA mengusulkan untuk membagi pertanyaan terakhir menjadi duajasmani diri sendiri dengan kesadarannya dan tubuh kesadaran orang laindan juga menyebutkan pendapat lain bahwa empat makanan seharusnya ditanyakan sebagai pertanyaan ke enam. Akan tetapi, tidak satu pun dari usul-usul ini yang meyakinkan, dan tampaknya bahwa bagian teks itu telah hilang.


SUTTA 113

1064) Sappurisadhamma; asappurisadhamma.

1065) Ini adalah sembilan dari tiga belas praktik pertapaan yang dibahas dalam Vsm II. Yang “duduk terus-menerus” (nesajjika) melaksanakan praktik tidak pernah berbaring, melainkan tidur dalam postur duduk[,].

1066) MA menjelaskan “ketiadaan-identifikasi” (atammayatā, lit. “bukan terdiri dari itu”) sebagai ketiadaan keinginan. Akan tetapi, konteksnya menyiratkan bahwa maknanya adalah ketiadaan keangkuhan. Pernyataan “karena dalam cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu” (yena yena hi maññanti tato taṁ hoti aññathā) adalah suatu teka-teki filosofis yang juga muncul pada Sn 588, Sn 757, dan Ud 3:10. Walaupun MA tidak menjelaskan apa pun, Komentar Udāna (atas Ud 3:10) menjelaskan ini sebagai bermakna bahwa dalam cara bagaimanapun juga kaum duniawi menganggap kelima kelompok unsur kehidupansebagai diri atau sebagai milik diri, dan seterusnyahal yang dianggap tersebut terbukti adalah bukan aspek dari hal tersebut; bukan diri atau milik diri, bukan “aku” atau “milikku”.

1067) Harus dipahami bahwa tidak ada paragraf tentang seorang bukan manusia sejati memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak seperti jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa materi, yang dapat dicapai oleh kaum duniawi, pencapaian lenyapnya adalah bidang eksklusif yang hanya dicapai oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant.

1068) Na kiñci maññati, na kuhiñci maññati, na kenaci maññati. Ini adalah pernyataan singkat atas situasi yang sama dengan yang dijelaskan secara lengkap pada MN 1.51.146. Mengenai “penganggapan” baca n.6.


SUTTA 114

1069) Paragraf pertama ini sekadar memberikan “daftar isi” yang akan dijelaskan dalam batang tubuh sutta ini.

1070) Aññamaññaṁ. MA: kedua ini bersifat saling eksklusif, dan tidak ada cara untuk menganggapnya sebagai yang lain.

1071) Walaupun pandangan salah dan pandangan benar biasanya termasuk dalam perilaku pikiran, dalam sutta ini diperlihatkan secara terpisah dalam §10 “perolehan pandangan”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #95 on: 27 February 2011, 02:03:07 PM »
1072) Sementara ketamakan dan niat buruk pada §7 memiliki kekuatan dari keseluruhan perbuatan (kammapatha), dalam bagian ini tentang kecenderungan pikiran (cittuppāda) diperlihatkan dalam tahap awal sebagai sekadar watak yang masih belum berkembang menjadi kehendak yang berkuasa.

1073) “Perolehan kepribadian” (attabhāvapaṭilābha) di sini merujuk pada cara kelahiran kembali.

1074) Apariniṭṭhitabhāvāya. Ungkapan ini mungkin khas pada sutta ini. MA mengemasnya menjadi bhavānaṁ apariniṭṭhitabhāvāya dan menjelaskan: ada empat cara keberadaan individu “yang tunduk pada penderitaan” (sabyābajjhattabhāvā). Yang pertama adalah kaum duniawi yang tidak mampu mencapai kesempurnaan kehidupan dalam kehidupan itu; baginya, sejak saat terlahir kembali, kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat bertambah dan kondisi-kondisi yang bermanfaat berkurang, dan ia menghasilkan suatu kepribadian yang disertai oleh penderitaan. Demikian pula pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali. Bahkan para yang-tidak-kembali masih belum meninggalkan keinginan akan penjelmaan, dan dengan demikian masih belum mencapai kesempurnaan. Individu-individu [yang disebutkan di bawah dalam teks ini] yang memperoleh kehidupan pribadi “yang bebas dari penderitaan” (abyābajjhattabhāvā) adalah empat yang sama ketika mereka memasuki kehidupan terakhir di mana mereka mencapai Kearahatan. Bahkan kaum duniawi dalam kehidupan terakhirnya mampu menyempurnakan kehidupannya, seperti halnya pembunuh berantai Angulimāla. Kehidupan mereka dikatakan bebas dari penderitaan, dan mereka dikatakan mencapai kesempurnaan.

1075) MA menunjukkan bahwa klausa “Bentuk-bentuk adalah salah satu atau yang lainnya” tidak digunakan di sini karena perbedaannya bukan terletak dalam objeknya melainkan dalam pendekatannya pada objek itu. Bagi seseorang, nafsu dan kekotoran muncul terhadap suatu bentuk tertentu, tetapi orang lain mengembangkan kebosanan dan ketidakterikatan sehubungan dengan bentuk yang sama.

1076) MA mengatakan bahwa mereka yang mempelajari teks dan komentar atas sutta ini tanpa berlatih sesuai sutta ini tidak dapat dikatakan “memahami makna terperinci”. Hanya mereka yang melatihnya yang dapat dikatakan demikian.


SUTTA 115

1077) Delapan belas unsur ini didefinisikan dalam Vbh §§183-84/87-90 dan dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XV, 17-43. Secara ringkas, unsur pikiran (manodhātu), menurut Abhidhamma, termasuk kesadaran yang beralih pada kelima objek indria yang mengalami kontak dengan kelima organ indria (pañcadvārāvajjana-citta) dan kesadaran yang menerima objek setelah dikenali melalui indria-indria (sampaṭicchana-citta). Unsur kesadaran-pikiran (manoviññāṇadhātu) termasuk semua jenis kesadaran kecuali kesadaran lima indria dan unsur pikiran. Unsur objek-pikiran (dhammadhātu) termasuk jenis-jenis fenomena materi yang halus yang tidak terlibat dalam pengenalan indria, yaitu ketiga kelompok unsur batin perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan, dan Nibbāna. Tidak termasuk konsep-konsep, gagasan-gagasan abstrak, penilaian-penilaian, dan sebagainya. Walaupun yang terakhir ini termasuk dalam gagasan objek-pikiran (dhammārammaṇa), unsur objek-pikiran hanya termasuk hal-hal yang ada karena sifat alaminya, bukan hal-hal yang dibentuk oleh pikiran.

1078) Ini didefinisikan dalam Vbh §§180/85-86. Unsur kenikmatan dan kesakitan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam jasmani; unsur kegembiraan dan kesedihan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam batin; unsur keseimbangan adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. MA mengatakan bahwa kebodohan disebutkan karena jelas serupa dengan unsur keseimbangan.

1079) Vbh §§183/86-87 mendefinisikan ini sebagai enam yang bersesuaian dengan jenis-jenis awal pikiran (vitakka); baca MN 19.2.

1080) MA menjelaskan unsur bidang-indria sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-indria (kāmāvacara), unsur materi-halus sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-materi halus (rūpāvacara), dan unsur tanpa materi sebagai empat kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam tanpa materi (arūpāvacara).

1081) MA: unsur terkondisi termasuk segala sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi dan merupakan sebutan bagi kelima kelompok unsur kehidupan. Unsur tidak terkondisi adalah Nibbāna.

1082) Kedua belas landasan didefinisikan dalam Vbh §§155-167/70-73 dan dijelaskan dalam Vsm XV, 1-6. Landasan pikiran termasuk semua jenis kesadaran, dan dengan demikian terdiri dari seluruh tujuh unsur yang memfungsikan kesadaran. Landasan objek-pikiran adalah identik dengan unsur objek-pikiran.

1083) Mengenai kata-kata dalam formula sebab-akibat yang saling bergantungan ini, baca pendahuluan pp.30-31.

1084) MA: Seseorang yang memiliki pandangan benar (diṭṭhisampanno) adalah seorang yang memiliki pandangan sang jalan, seorang siswa mulia dengan tingkat minimal pemasuk-arus. “Bentukan” di sini harus dipahami sebagai bentukan terkondisi (sankhata-sankhāra) yaitu, segala sesuatu yang terkondisi.

1085) MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia di bawah tingkat Kearahatan masih dapat memahami bentukan-bentukan sebagai menyenangkan dengan pikiran yang terlepas dari pandangan salah, tetapi ia tidak dapat mengadopsi pandangan bahwa segala bentukan adalah menyenangkan. Walaupun persepsi dan pikiran atas bentukan-bentukan sebagai menyenangkan muncul dalam dirinya, ia mengetahui melalui perenungan bahwa gagasan demikian adalah keliru.

1086) Dalam paragraf tentang diri, sankhāra, “bentukan”, digantikan oleh dhamma, “sesuatu”. MA menjelaskan bahwa penggantian ini dilakukan untuk memasukkan konsep-konsep, seperti gambaran kasiṇa, dan sebagainya, yang oleh orang biasa cenderung diidentifikasikan sebagai diri. Akan tetapi, dengan memandang fakta bahwa Nibbāna digambarkan sebagai tidak dapat hancur (accuta) dan sebagai kebahagiaan (sukha), dan juga dapat disalahpahami sebagai diri (baca MN 1.26), kata sankhāra dapat dianggap hanya termasuk yang terkondisi, sedangkan dhamma termasuk baik yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi. Akan tetapi, interpretasi ini tidak disetujui oleh komentar-komentar dari Ācariya Buddhaghosa.

1087) Bagian ini membedakan orang biasa dan siswa mulia dalam hal lima kejahatan berat. MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia tidak mampu secara sengaja membunuh makhluk hidup, tetapi perbedaan yang diberikan di sini melalui pembunuhan ibu dan pembunuhan ayah menekankan pada sisi bahaya dari kondisi orang biasa dan kekuatan seorang siswa mulia.

1088) Yaitu, dapat mengakui seorang lain selain Sang Buddha sebagai guru spiritual tertinggi.

1089) MA: kemunculan seorang Buddha lain adalah tidak mungkin terjadi sejak pada saat seorang Bodhisatta memasuki rahim ibu-Nya dalam kehidupan terakhir-Nya hingga Pengajaran-Nya lenyap sama sekali. Persoalan ini dibahas dalam Miln 236-39.

1090) Pernyataan ini hanya menegaskan bahwa seorang Buddha yang Tercerahkan Sempurna adalah selalu berjenis kelamin laki-laki, tetapi tidak menyangkal bahwa seorang yang sekarang adalah perempuan dapat menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan. Akan tetapi, untuk menjadi demikian, pada tahap awalnya, ia harus terlahir kembali sebagai seorang laki-laki.

1091) Dalam paragraf ini, frasa karena hal itu, karena alasan itu” (tannidāna tappaccayā) adalah sangat penting. Seperti yang akan diperlihatkan oleh Sang Buddha dalam MN 136, seorang yang menekuni perbuatan jahat mungkin terlahir kembali di alam surga dan seorang yang menekuni perbuatan baik mungkin terlahir kembali di alam rendah. Tetapi dalam kasus-kasus itu, kelahiran kembali itu disebabkan oleh beberapa kamma yang berbeda dengan kamma dari kebiasaan yang ia tekuni. Hukum yang ketat hanya berlaku pada hubungan antara kamma dan akibatnya.

1092) “Empat putaran” adalah unsur-unsur, landasan-landasan, sebab-akibat yang saling bergantungan, dan yang mungkin dan yang tidak mungkin.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #96 on: 27 February 2011, 02:18:30 PM »
SUTTA 116

1093) Di Srilanka, sutta ini secara teratur dibacakan sebagai khotbah perlindungan dan termasuk dalam kompilasi era pertengahan, Mahā Pirit Pota, “Buku besar Perlindungan”.

1094) Ini dan yang berikutnya adalah gunung-gunung yang mengelilingi Rājagaha.

1095) Seorang paccekabuddha adalah seorang yang mencapai pencerahan dan kebebasan oleh dirinya sendiri, tanpa bersandar pada Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi tidak mampu mengajarkan Dhamma kepada orang lain dan menegakkan Pengajaran. Para paccekabuddha hanya muncul pada masa ketika tidak ada Pengajaran dari seorang Buddha di dunia ini. Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang topik ini, baca Ria Kloppenborg, Tha Paccekabuddha: A Buddhist Ascetic.

1096) Ayaṁ pabbato ime isī gilati: terdapat suatu permainan kata di sini. Gili dalam Isigili tentu saja adalah variasi dialek dari giri, gunung, tetapi teks menghubungkannya dengan kata kerja gilati, menelan, dan dengan gala, tenggorokan, kerongkongan.

1097) Tagarasikhin dirujuk pada Ud 5:4/50 dan SN 3:20/.i.92.

1098) Ñm berkomentar dalam Ms bahwa tanpa bantuan komentar adalah sangat sulit untuk membedakan nama-nama yang benar dari para paccekabuddha dari gelar-gelar yang menggambarkan mereka.


SUTTA 117

1099) Ariyaṁ sammā samādhiṁ sa-upanisaṁ saparikkhāraṁ. MA menjelaskan “mulia” di sini sebagai lokuttara, dan mengatakan bahwa ini adalah konsentrasi yang berhubungan dengan jalan lokuttara. “pendukung dan perlengkapannya”, seperti akan dijelaskan, adalah ketujuh faktor jalan lainnya.

1100) Pubbangamā, lit. “pelopor”. MA mengatakan bahwa kedua jenis pandangan benar adalah pelopor: pandangan benar dari pandangan terang, yang menyelidiki bentukan-bentukan sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri; dan pandangan benar dari sang jalan, yang muncul sebagai akibat dari pandangan terang dan berdampak pada hancurnya kekotoran secara radikal. Pandangan benar dari pandangan terang sebagai pelopor dijelaskan dalam §§4,10,16,22 dan 28; pandangan benar dari sang jalan sebagai pelopor dijelaskan dalam §§34 dan 35.

1101) Pernyataan ini menyarankan bahwa untuk memperoleh pandangan benar tentang sifat dari kenyataan, maka seseorang pertama-tama harus mampu membedakan antara ajaran salah dan pandangan benar tentang sifat kenyataan. MA mengatakan bahwa ini adalah pandangan benar dari pandangan terang yang memahami pandangan salah sebagai objek dengan menembus karakteristik ketidakkekalan, dan seterusnya dan yang memahami pandangan benar dengan mengerahkan fungsi pemahaman dan dengan membersihkan kebingungan.

1102) Ini adalah pandangan benar lokiya, faktor baik yang berperan pada kelahiran kembali yang bahagia tetapi tidak dapat melampaui kehidupan yang terkondisi. Ungkapan upadhi-vepakka dikemas oleh MA berarti bahwa pandangan benar ini memberikan hasil yang terdapat dalam perolehan [MṬ = kelangsungan kelima kelompok unsur kehidupan].

1103) Definisi ini mengartikan pandangan benar lokuttara sebagai kebijaksanaan (paññā) yang terdapat di antara bantuan-bantuan menuju pencerahan sebagai satu indria, kekuatan, faktor pencerahan, dan faktor sang jalan. Definisi yang diformulasikan lebih melalui fungsi kognisi daripada isi objektif dari pandangan benar. Di tempat lain (MN 141.24), pandangan benar sang jalan didefinisikan sebagai pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Kita dapat memahami bahwa pemahaman konseptual dari empat kebenaran mulia termasuk dalam pandangan benar lokiya, sedangkan penembusan langsung pada kebenaran-kebenaran dengan mencapai Nibbāna melalui sang jalan adalah pandangan benar lokuttara.

1104) MA: Faktor-faktor itu menyertai pandangan benar sebagai pendamping dan “pembuka-jalan”. Usaha benar dan perhatian benar adalah pendamping dengan pandangan benar lokuttara; pandangan benar dari pandangan terang adalah “pembuka-jalan” dari pandangan benar lokuttara.

1105) MA menjelaskan ini sebagai pandangan benar dari pandangan terang yang memahami kehendak benar melalui fungsinya dan dengan membersihkan kebingungan. Walaupun tampaknya perbedaan yang lebih mendasar dari kedua jenis kehendak inilah yang menjadi topiknya.

1106) Ini adalah definisi standar dari kehendak benar sebagai salah satu faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; baca MN 141.25.

1107) Dalam definisi ini, faktor kehendak (sankappa) diidentifikasikan dengan awal pikiran (vitakka), yang lebih jauh lagi ditetapkan sebagai faktor yang bertanggung jawab pada pencerapan dengan memusatkan dan mengarahkan pikiran pada objek. Untuk penjelasan awal pikiran sebagai “bentukan ucapan”, baca 44.15.

1108) MA: Pernyataan ini secara khusus merujuk pada faktor pendamping yang menyertai kehendak benar lokuttara. Pada tahap awal praktik, ketiga kehendak benar lokiya muncul secara terpisah, tetapi pada saat jalan lokuttara, satu kehendak benar tunggal muncul memotong ketiga kehendak salah. Demikianlah kehendak benar lokuttara juga dapat dijelaskan sebagai kehendak meninggalkan keduniawian, tanpa niat buruk, dan tanpa kekejaman. Metode yang sama berlaku pada ucapan benar, dan seterusnya.

1109) Sementara ucapan benar lokiya dilakukan dalam empat cara berbeda menurut jenis ucapan salah yang dihindari, pada saat jalan lokuttara, faktor tunggal ucapan benar mengerahkan empat fungsi memotong kecenderungan terhadap empat jenis ucapan salah. Prinsip serupa berlaku pada perbuatan benar.

1110) Ini adalah cara-cara salah bagi para bhikkhu untuk memperoleh benda-benda kebutuhannya; ini dijelaskan pada Vsm I, 61-65. MA mengatakan bahwa yang disebutkan dalam sutta bukanlah keseluruhan jenis penghidupan salah, yang termasuk cara mencari penghidupan yang melibatkan pelanggaran aturan. Dalam AN 5:177/iii.208, Sang Buddha menyebutkan lima jenis penghidupan salah bagi umat awam: yang berhubungan dengan senjata, makhluk-makhluk hidup, daging, minuman keras, dan racun.

1111) MA menjelaskan bahwa bagi seseorang yang memiliki pendangan benar sang jalan, maka muncul kehendak benar sang jalan; demikian pula, bagi seseorang yang memiliki pandangan benar buah, maka muncul kehendak benar buah. Demikian pula, faktor-faktor berikutnya kecuali dua terakhir juga merujuk pada jalan lokuttara.

1112) Kedua faktor tambahan yang dimiliki oleh Arahant adalah pengetahuan benar, yang diidentifikasikan dengan pengetahuan peninjauannya bahwa ia telah menghancurkan segala kekotoran, dan pembebasan benar, yang dapat diidentifikasikan dengan pengalamannya atas kebebasan dari segala kekotoran.

1113) Dua puluh faktor pada sisi bermanfaat adalah sepuluh faktor benar dan kondisi-kondisi bermanfaat yang berasal-mula dari masing-masing faktor; Dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat adalah sepuluh faktor salah dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dari masing-masing faktor. Demikianlah asal nama “Empat Puluh Besar”.

1114) MA hanya mengatakan bahwa kedua orang ini menetap di Negeri Okkala. Identitas lainya tidak diketahui.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #97 on: 27 February 2011, 02:54:23 PM »
SUTTA 118

1115) Pavāraṇā adalah upacara yang menutup masa vassa, yang mana masing-masing bhikkhu mengundang semua bhikkhu lainnya untuk menegurnya atas pelanggaran-pelanggarannya.

1116) Komudi adalah hari purnama di bulan Kattika, bulan ke empat musim hujan; disebut dengan nama ini karena bunga Lily (kumuda) dikatakan mekar pada masa itu.

1117) Catatan penjelasan untuk tetrad pertama terdapat pada nn.140-142. MN 10.4 berbeda dengan paragraf ini hanya dengan penambahan perumpamaan. Karena Ācariya Buddhaghosa telah memberikan komentar atas empat tetrad tentang perhatian pada pernapasan ini dalam Visuddhimagga, [ ]dalam MA, ia hanya sekadar merujuk para pembaca kepada Visuddhimagga untuk penjelasan itu. Catatan-catatan 1118-21 ditarik dari Vsm VIII, 226-37, juga dimasukkan oleh Ñm dalam Mindfulness of Breathing.

1118) Seseorang mengalami kegembiraan dalam dua cara: dengan mencapai salah satu dari dua jhāna yang lebih rendah yang mana terdapat kegembiraan, ia mengalami kegembiraan dalam modus ketenangan; dengan keluar dari jhāna itu dan merenungkan bahwa kegembiraan itu tunduk pada kehancuran, ia mengalami kegembiraan dalam modus pandangan terang.

1119) Metode penjelasan yang sama seperti dalam n.1118 berlaku pada klausa ke dua dan ke tiga, kecuali bahwa pada yang ke dua terdiri dari ketiga jhāna yang lebih rendah, dan yang ke tiga terdiri dari seluruh empat jhāna. Bentukan batin adalah persepsi dan perasaan (baca MN 44.14), yang ditenangkan melalui pengembangan tingkat-tingkat ketenangan dan pandangan terang yang lebih tinggi secara berturut-turut.

1120) “Mengalami pikiran” harus dipahami melalui empat jhāna. “Menggembirakan pikiran” dijelaskan sebagai pencapaian dua jhāna yang terdapat kegembiraan atau sebagai penembusan jhāna-jhāna itu dengan pandangan terang sebagai tunduk pada kehancuran, dan seterusnya. “Mengonsentrasikan pikiran” merujuk pada konsentrasi yang berhubungan dengan jhāna atau pada konsentrasi saat-ke-saat yang muncul bersama dengan pandangan terang. “Membebaskan pikiran” berarti membebaskannya dari rintangan-rintangan dan faktor-faktor jhāna yang lebih kasar melalui tingkat-tingkat konsentrasi yang lebih tinggi secara berturut-turut, dan dari distorsi kognitif melalui pengetahuan pandangan terang.

1121) Tetrad ini seluruhnya membicarakan tentang pandangan terang, tidak seperti tiga sebelumnya, yang membicarakan baik tentang ketenangan maupun pandangan terang. “Merenungkan peluruhan” dan “merenungkan lenyapnya” dapat dipahami baik sebagai pandangan terang ke dalam ketidakkekalan bentukan-bentukan maupun sebagai jalan lokuttara yang mencapai Nibbāna, yang disebut meluruhnya nafsu (yaitu, kebosanan, virāga) dan lenyapnya penderitaan. “Merenungkan lepasnya” adalah melepaskan kekotoran melalui pandangan terang dan memasuki Nibbāna melalui pencapaian sang jalan.

1122) MA: Napas masuk-dan-keluar termasuk dalam unsur udara di antara empat unsur yang membentuk jasmani. Juga termasuk dalam landasan sentuhan di antara fenomena jasmani (karena objek perhatian adalah sensasi sentuhan napas masuk dan keluar dari lubang hidung).

1123) MA menjelaskan bahwa pengamatan saksama (sādhuka manasikāra) bukanlah perasaan, tetapi dikatakan demikian hanya sebagai kiasan. Dalam tetrad ke dua, perasaan yang sebenarnya adalah kenikmatan yang disebutkan pada klausa ke dua dan juga perasaan yang terdapat dalam ungkapan “bentukan batin” dalam klausa ke tiga dan ke empat.

1124) MA: Walaupun bhikkhu yang bermeditasi mengambil gambaran napas masuk-dan-keluar sebagai objeknya, ia dikatakan sebagai “merenungkan pikiran sebagai pikiran” karena ia mempertahankan pikirannya pada objek dengan membangkitkan perhatian dan kewaspadaan penuh, dua faktor pikiran.

1125) MA: Ketamakan dan kesedihan menyiratkan kedua rintangan pertama, keinginan indria dan niat buruk, dan dengan demikian mewakili perenungan objek-objek pikiran, yang dimulai dengan lima rintangan. Bhikkhu itu melihat ditinggalkannya rintangan-rintangan yang dipengaruhi oleh perenungan ketidakkekalan, peluruhan, lenyapnya, dan lepasnya, dan demikianlah kemudian mengamati objek dengan keseimbangan.

1126) MA mengatakan bahwa paragraf di atas menunjukkan faktor-faktor pencerahan yang muncul bersamaan dalam tiap-tiap saat-pikiran dalam praktik meditasi pandangan terang.

1127) Baca n.48.

1128) MA: Perhatian yang memahami napas adalah lokiya; perhatian pada pernapasan lokiya menyempurnakan landasan perhatian lokiya; landasan perhatian lokiya menyempurnakan faktor-faktor pencerahan lokuttara; dan faktor-faktor pencerahan lokuttara menyempurnakan (atau memenuhi) pengetahuan sejati dan kebebasan, yaitu, buah dan Nibbāna.


SUTTA 119

1129) §§4-17 dari sutta ini identik dengan MN 10.4-30, kecuali bahwa di sini pengulangan pada pandangan terang digantikan dengan pengulangan yang dimulai dengan “Ketika ia berdiam demikian dengan rajin”. Perubahan ini menunjukkan pergeseran dalam penekanan dari pandangan terang dalam MN 10 menjadi konsentrasi dalam sutta yang sekarang ini. Pergeseran ini muncul kembali dalam paragraf §§37-41, yang keduanya membedakan sutta ini dengan MN 10.

1130) Perumpamaan untuk jhāna-jhāna ini juga terdapat pada MN 39.15-18 dan MN 77.25-28.

1131) Vijjābhāgiya dhammā. MA menjelaskan kondisi-kondisi ini sebagai delapan jenis pengetahuan yang dibabarkan pada MN 77.29-36.


SUTTA 120

1132) Walaupun saya telah mencoba untuk menerjemahkan sankhārā secara konsisten sebagai “bentukan-bentukan”, di sini tampaknya bahwa isinya memerlukan terjemahan berbeda untuk membawakan makna yang dimaksudkan. Ñm menggunakan “tekad”, pilihannya yang konsisten untuk sankhārā. MA awalnya menjelaskan sankhārupapatti sebagai bermakna kemunculan kembali (yaitu, kelahiran kembali) dari hanya bentukan-bentukan, [ ]bukan makhluk atau orang, atau sebagai bermakna kemunculan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan baru di sepanjang bentukan-kamma baik. Akan tetapi, dalam paragraf berikutnya, MA mengemas sankhārā menjadi patthanā, kata yang tidak diragukan bermakna aspirasi.

1133) MA: “Cara” adalah lima kualitas yang dimulai dari keyakinan, bersama dengan aspirasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini tanpa aspirasi, atau aspirasi tanpa kualitas-kualitas, tidak memiliki alam tujuan kelahiran yang pasti. Alam tujuan kelahiran hanya dapat dipastikan ketika kedua faktor ini hadir.

1134) MA menjelaskan bahwa ada lima jenis peliputan: peliputan pikiran, yaitu, mengetahui pikiran makhluk-makhluk di seluruh seribu alam; peliputan kasiṇa, yaitu, memperluas gambaran kasiṇa hingga menjangkau seribu alam; peliputan mata dewa, yaitu, melihat seribu alam dengan mata dewa; peliputan cahaya, yang sama dengan peliputan sebelumnya; dan peliputan jasmani, yaitu, memperluas aura jasmani seseorang menjangkau seribu alam.

1135) Baca n.426.

1136) MA: kelima kualitas yang disebutkan adalah cukup untuk memperoleh kelahiran kembali di alam indria, tetapi untuk kelahiran kembali di alam-alam yang lebih tinggi dan hancurnya noda-noda, diperlukan lebih lagi. Dengan melandaskan dirinya pada kelima kualitas, jika ia mencapai jhāna-jhāna, maka ia terlahir kembali di alam-Brahmā; jika ia mencapai pencapaian tanpa materi, maka ia terlahir kembali di alam tanpa materi; jika ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah yang-tidak-kembali, maka ia terlahir kembali di Alam Murni; dan jika ia mencapai jalan Kearahatan, maka ia mencapai hancurnya noda-noda.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #98 on: 27 February 2011, 03:05:45 PM »
SUTTA 121

1137) Suññatāvihāra. Khotbah ini secara bertahap menjelaskan bahwa ini merujuk pada buah pencapaian kekosongan (suññataphala-samāpatti), buah pencapaian Kearahatan yang dimasuki dengan memusatkan pada aspek kekosongan dari Nibbāna. Baca n.458.

1138) MA: Ia menuruti persepsi hutan yang bergantung pada satu hutan itu sendiri, dengan berpikir: “Ini adalah hutan, ini adalah pohon, ini adalah gunung, ini adalah belukar.” Dalam kalimat berikutnya, saya membaca sama seperti BBS dan SBJ adhimuccati, bukan seperti PTS vimuccati.

1139) MA dan MṬ menjelaskan makna dari paragraf ini sebagai berikut: gangguan kekotoran-kekotoranketertarikan dan kejijikanyang muncul melalui persepsi orang-orang tidak ada di sini. Tetapi masih ada gangguan yang disebabkan oleh munculnya kondisi-kondisi kasar karena kurangnya ketenangan yang diperlukan.

1140) MA: Ia meninggalkan persepsi hutan dan menuruti persepsi tanah karena seseorang tidak dapat mencapai keluhuran dalam meditasi melalui persepsi hutan, tidak konsentrasi pendahuluan juga tidak pencerapan penuh. Tetapi tanah dapat digunakan sebagai objek awal bagi kasiṇa, yang dengan berdasarkan pada objek itu seseorang memperoleh jhāna, mengembangkan pandangan terang, dan mencapai Kearahatan.

1141) Setelah menggunakan persepsi tanah untuk mencapai empat jhāna, ia memperluas kasiṇa-tanah dan kemudian menghilangkan gambaran kasiṇa untuk mencapai landasan ruang tanpa batas. Baca Vsm X, 6-7.

1142) Animitta cetosamādhi. MA: ini adalah konsentrasi pikiran dalam pandangan terang; ini disebut “tanpa gambaran” karena hampa dari gambaran-gambaran kekekalan, dan sebagainya.

1143) Baca MN 52.4. MA menyebut ini “pandangan terang-lawan” (paṭivipassanā), yaitu, penerapan prinsip-prinsip pandangan terang pada tindakan kesadaran yang melakukan fungsi pandangan terang. Dengan berdasarkan pada ini, ia mencapai Kearahatan.

1144) Di sini kata “yang mulia dan tidak terlampaui” (paramānuttarā) telah ditambahkan. MA mengatakan bahwa ini adalah buah pencapaian kekosongan seorang Arahant.


SUTTA 122

1145) Sutta ini bersama dengan komentar lengkapnya telah diterbitkan dalam terjemahannya oleh Ñm dalam The Greater Discourse on Voidness.

1146) MA: ini adalah sebuah bangunan yang dibangun di Taman Nigrodha oleh Kāḷakhemaka orang Sakya. Tempat-tempat tidur, tempat-tempat duduk, alas-alas tidur, dan alas kaki telah dipersiapkan, dan semuanya itu saling berdekatan sehingga bangunan itu menyerupai kediaman dari sekelompok bhikkhu.

1147) MA menjelaskan bahwa ini hanyalah pertanyaan retoris, karena Para Buddha mampu mengetahui apa pun yang ingin Mereka ketahui melalui pengetahuan langsung. Sang Buddha menanyakan ini dengan pikiran: “Segera setelah para bhikkhu ini membentuk komunitas dan bergembira dalam perkumpulan, maka mereka akan bertindak tidak selayaknya. Aku akan membabarkan Praktik Agung Kekosongan yang akan menjadi aturan latihan [larangan bergembira dalam perkumpulan].”

1148) MA: YM. Ānanda bermaksud mengatakan: “Para bhikkhu menjalani kehidupan seperti ini bukan karena mereka bergembira dalam kesibukan, tetapi karena sedang membuat jubah.”

1149) Baca MN 66.20 dan n.678.

1150) Yang pertama adalah kebebasan melalui jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tanpa materi, dan yang ke dua adalah kebebasan melalui jalan-jalan lokuttara. Baca juga MN 29.6 dan n.348.

1151) MA: Sang Buddha memulai paragraf ini untuk mencegah kritik bahwa sementara Beliau menginstruksikan agar para siswa-Nya hidup dalam keterasingan, Beliau sendiri sering dikelilingi oleh banyak pengikut. “Kekosongan” di sini adalah buah pencapaian kekosongan’ bava n.1137.

1152) MA menjelaskan kekosongan secara internal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan seseorang, kekosongan secara eksternal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan orang lain. Dengan demikian, kekosongan yang dibicarakan di sini pasti adalah kebebasan pikiran sementara yang dicapai melalui perenungan pandangan terang tanpa-diri, seperti yang dijelaskan dalam MN 43.33. Ketika pandangan terang ke dalam tanpa-diri dibawa hingga tingkat sang jalan, keluar dalam buah mengalami Nibbāna melalui aspek kekosongannya.

1153) MA: Ia memperhatikan suatu pencapaian meditatif tanpa materi yang tanpa gangguan.

1154) MA: ini merujuk pada jhāna yang digunakan sebagai landasan bagi pandangan terang. Jika setelah keluar dari jhāna dasar itu, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan melalui perenungan pandangan terang pada kelompok-kelompok unsur kehidupannya sendiri atau kelompok-kelompok unsur kehidupan orang lain, dan ia juga tidak mencapai pencapaian tanpa materi yang tanpa-gangguan, maka ia harus kembali ke jhāna dasar yang sama yang ia kembangkan sebelumnya dan memperhatikannya lagi dan lagi.

1155) Menurut MA, hingga pada titik ini, Sang Buddha telah menunjukkan latihan untuk mencapai kedua jalan pertama, yaitu jalan memasuki-arus dan yang-kembali-sekali. Sekarang Beliau membicarakan paragraf yang sekarang ini (§§14-15) untuk menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan yang-tidak-kembali, yang memuncak dalam ditinggalkannya keinginan indria.

1156) Paragraf ini (§§16-17) menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan Kearahatan, yang memuncak pada ditinggalkannya keangkuhan “aku”.

1157) Ācariyūpaddava, antevāsūpaddava, brahmacariyūpaddava. Ūpaddava juga dapat diterjemahkan sebagai bencana, malapetaka. MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membicarakan paragraf ini untuk menunjukkan bahwa dalam kesendirian ketika seseorang tidak memenuhi tujuan selayaknya dari kehidupan menyendiri. “Guru” adalah seorang guru di luar pengajaran Sang Buddha.

1158) MA: Meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah di luar Pengajaran Sang Buddha memberikan perolehan yang kecil, sehingga seseorang yang jatuh dari sana hanya jatuh dari pencapaian duniawi; ia tidak mengalami penderitaan besar, seperti seseorang yang jatuh dari punggung seekor keledai hanya akan menjadi kotor oleh debu. Tetapi meninggalkan keduniawian dalam Pengajaran Sang Buddha memberikan perolehan besarjalan, buah, dan Nibbāna. Dengan demikian, seseorang yang jatuh dari sana akan mengalami penderitaan besar, bagaikan seseorang yang jatuh dari punggung seekor gajah.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #99 on: 27 February 2011, 03:14:20 PM »
1159) Perbedaan perumpamaan ini antara cara pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat yang basah dan cara ia memperlakukan adonan kendi yang dihasilkan dari tanah liat itu. MA menuliskan: “Setelah menasihati sekali, Aku tidak akan berdiam diri; Aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menegur engkau. Bagaikan pengrajin tembikar menguji kendi-kendi, menyingkirkan kendi-kendi yang retak, pecah, atau cacat, dan menyimpan hanya yang lolos ujian, demikianlah Aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menguji engkau. Mereka yang di antara kalian yang selamat, telah mencapai jalan dan buah, akan bertahan menghadapi pengujian.” MA menambahkan bahwa kualitas-kualitas mulia duniawi juga termasuk dalam kriteria keselamatan.


SUTTA 123

1160) Kemampuan ini ditunjukkan dalam DN 14, yang memberikan informasi terperinci mengenai enam Buddha sebelum Gotama.

1161) Ini merujuk pada kelahiran kembali Sang Bodhisatta di alam Surga Tusita, setelah kehidupannya di alam manusia sebagai Vessantara dan sebelum kelahirannya di alam manusia sebagai Siddhattha Gotama.

1162) MA: Di antara setiap tiga sistem dunia terdapat sebuah ruang antara berukuran 8.000 yojana; ini seperti ruang antara ketiga roda kereta atau mangkuk yang saling bersentuhan. Makhluk-makhluk terlahir kembali di sana karena melakukan pelanggaran berat terhadap orang tua mereka atau para petapa dan brahmana baik, atau karena kebiasaan-kebiasaan jahat seperti membunuh binatang, dan lain-lain.

1163) MA: empat dewa adalah Empat Raja Dewa (para dewa yang menetap di alam surga Empat Raja Dewa).

1164) MA: Hal ini terjadi, bukan karena kegagalan dalam persalinan, melainkan karena habisnya umur kehidupannya; karena tempat (di dalam rahim) yang ditempati oleh Sang Bodhisatta, yang menyerupai kamar bagian dalam dari sebuah cetiya, tidak dapat digunakan oleh orang lain.

1165) MA menjelaskan masing-masing aspek dari peristiwa ini sebagai simbol dari pencapaian Sang Buddha kelak. Demikianlah, berdiri pada kedua kakinya (pāda) dengan tegak di atas tanah adalah simbol dari pencapaian empat landasan kekuatan batin (iddhipāda); Beliau menghadap ke utara, melambangkan Beliau mengarah ke atas dan melampaui banyak makhluk; tujuh langkah-Nya, melambangkan Beliau memperoleh tujuh faktor pencerahan sempurna; payung putih, melambangkan Beliau memperoleh payung kebebasan; mengamati segala penjuru, melambangkan Beliau memperoleh pengetahuan kemahatahuan yang tanpa halangan; mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok, melambangkan Beliau memutar Roda Dhamma yang tidak bisa dihalangi; pernyataan “Inilah kelahiran-Ku yang terakhir,” melambangkan Beliau meninggal dunia dan memasuki unsur Nibbāna tanpa sisa (dari faktor-faktor kehidupan).

1166) Pernyataan ini [ ]tampaknya adalah cara Sang Buddha dalam menilai kualitas yang Beliau anggap sebagai yang sungguh-sungguh mengagumkan dan menakjubkan.


SUTTA 124

1167) Menurut MA, YM. Bakkula menjadi bhikkhu pada saat usianya delapan puluh, yang berarti ia berumur 160 pada saat sutta ini terjadi. Ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul sehubungan dengan kesehatan.

1168) MA mengatakan bahwa paragraf di sini yang diapit oleh tanda kurung ditambahkan oleh para sesepuh yang menyusun Dhamma.

1169) Paragraf ini dan paragraf berikutnya menunjukkan YM. Bakkula sebagai pelaku praktik pertapaan. Waktu kaṭhina adalah periode setelah tiga bulan masa vassa ketika para bhikkhu membuat jubah baru dari kain yang mereka terima.

1170) MA mengatakan bahwa setelah ia meninggalkan keduniawian, ia masih menjadi orang biasa selama tujuh hari, tetapi pada hari ke delapan ia mencapai Kearahatan bersama dengan pengetahuan analitis (paṭisambhidā).

1171) MA: YM. Bakkula sendiri tidak memberikan penahbisan (yang merupakan pelanggaran bagi praktik ini) tetapi membuat pengaturan bagi para bhikkhu lain untuk memberikan penahbisan.

1172) MA: YM. Bakkula telah mempertimbangkan bahwa seumur hidupnya, ia tidak pernah menjadi beban bagi para bhikkhu lain, dan ia tidak ingin jenazahnya menjadi beban setelah kematiannya. Demikianlah ia memasuki meditasi pada unsur panas dan mencapai Nibbāna akhir dengan membakar tubuhnya. Hanya reliknya yang tersisa.

1173) MA mengatakan bahwa sutta ini dibacakan pada penyusunan Dhamma ke dua, yang diadakan sekitar seratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbāna.


SUTTA 125

1174) MA mengidentifikasikan Pangeran Jayasena sebagai seorang putra Raja Bimbisāra.

1175) Perumpamaan seperti pada MN 90.11.

1176) Perhatikan bahwa di sini empat landasan perhatian dijelaskan di tempat yang biasanya ditempati oleh empat jhāna.

1177) Saya menerjemahkan dengan lebih berdasarkan pada BBS dan SBJ (yang didukung oleh edisi Sinhala tahun 1937) daripada PTS. Baik BBS maupun SBJ menyingkat paragraf ini; di mana PTS membaca kāyūpasaṁhitaṁ dan dhammūpasaṁhitaṁ, kedua edisi ini membaca kāmūpasaṁhitaṁ dalam kedua tempat, suatu perbedaan besar. Saya diberi tahu bahwa terjemahan China dari Madhyama Āgama (padanan MN dalam Skt) memiliki tulisan yang bersesuaian dengan yang terdapat pada BBS dan SBJ. Versi China menyebutkan seluruh empat jhāna.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #100 on: 27 February 2011, 03:27:28 PM »
SUTTA 126

1178) MA mengatakan bahwa YM. Bhūmija adalah paman dari Pangeran Jayasena.

1179) Āsaṁ karitvā: jika seseorang berkehendak, jika ia memunculkan harapan atau ekspektasi. Petapa atau brahmana yang menganut pandangan ini pasti adalah para skeptis atau nihilis.


SUTTA 127

1180) Appamāṇā cetovimutti, mahaggatā cetovimutti. Pada MN 43.31, seperti juga di sini, kebebasan pikiran yang tanpa batas dijelaskan sebagai empat brahmavihāra. Karena formula dalam tiap-tiap brahmavihāra mencantumkan kata “luhur”, Pañcakanga menjadi bingung dan menganggap kedua kebebasan ini bermakna sama.

1181) MA: Ia mencakup suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon dengan gambaran kasiṇa, dan ia berdiam dengan melingkupi gambaran kasiṇa itu, meliputinya dengan jhāna yang luhur. Metode penjelasan yang sama berlaku untuk kasus-kasus berikutnya.

1182) MA: Ajaran ini dibabarkan untuk menunjukkan jenis-jenis kelahiran kembali yang dihasilkan dari pencapaian kebebasan yang luhur.

1183) MA menjelaskan bahwa tidak ada alam dewa terpisah yang disebut “Cahaya Ternoda” dan “Cahaya Murni”. Keduanya adalah sub-kelompok dari kedua alampara dewa dengan Cahaya Terbatas dan para Dewa dengan Cahaya Tanpa Batas. Kelahiran kembali di antara para dewa dengan Cahaya Terbatas ditentukan oleh pencapaian jhāna (ke dua) dengan gambaran kasiṇa terbatas, kelahiran kembali di antara para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas ditentukan oleh pencapaian jhāna yang sama dengan gambaran kasiṇa yang diperluas. Kelahiran kembali dengan cahaya ternoda adalah untuk mereka yang belum menguasai jhāna dan memurnikannya dari kondisi-kondisi yang merintangi; kelahiran kembali dengan cahaya murni adalah untuk mereka yang telah memperoleh kemahiran dan pemurnian.

1184) Terdapat suatu permainan kata di sini. Dalam Pāli, kata kerja jhāyati bermakna ganda, yaitu: membakar dan juga bermakna bermeditasi, walaupun kedua makna ini diturunkan dari kata kerja Sanskrit yang berbeda: kshāyati adalah membakar, dhyāyati adalah bermeditasi.

1185) Kata-kata Abhiya, tampaknya, adalah tidak sopan karena secara langsung menyinggung pengalaman pribadi Yang Mulia Anuruddha. MA mengatakan bahwa selama masa pemenuhan kesempurnaannya (pārami) dalam kehidupan-kehidupan lampau, Anuruddha telah meninggalkan keduniawian, dan melalui tiga ratus kehidupan tanpa terputus di alam Brahmā. Karena itulah, ia menjawab demikian.



SUTTA 128

1186) Bagian pembukaan dari sutta ini sama dengan pembukaan dari MN 48.

1187) Bait ini dan tiga berikutnya juga terdapat pada Dhp 3-6. Tiga bait terakhir terdapat pada Dhp 328-30.

1188) Paragraf pada §§8-15 nyaris identik dengan MN 31.3-10. Akan tetapi, dari kelanjutannya, jelas bahwa sutta sekarang ini terjadi pada waktu yang lebih dulu, karena dalam MN 31, seluruh tiga bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan, sedangkan di sini mereka masih berusaha untuk mencapai tujuan.

1189) Di sinilah sutta yang sekarang ini berlanjut secara berbeda dengan MN 31. MA menjelaskan cahaya (obhāsa) sebagai cahaya awal, yang dikemas oleh MṬ sebagai cahaya yang dihasilkan oleh akses pada jhāna. MṬ menambahkan bahwa seseorang yang mencapai jhāna ke empat mengembangkan kasiṇa-cahaya sebagai persiapan untuk membangkitkan mata-dewa. “Penampakan bentuk-bentuk” (dassanaṁ rūpānaṁ) adalah penglihatan pada bentuk-bentuk dengan mata dewa. YM. Anuruddha kelak dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang paling unggul dalam pengerahan mata-dewa.

1190) Nimittaṁ paṭivijjhitabbaṁ. Lit. “Engkau harus menembus gambaran itu.”

1191) Baca MN 52.15.

1192) MA menuliskan: ‘Sewaktu Aku sedang memperhatikan sejenis bentuk tunggal, kerinduan muncul’. Dengan berpikir ‘Aku akan memperhatikan jenis-jenis bentuk berbeda,’ kadang-kadang Aku mengarahkan perhatianku pada alam surga, kadang-kadang pada alam manusia. Sewaktu aku memperhatikan jenis-jenis bentuk berbeda, persepsi keberagaman muncul dalam diri-Ku.[”]

1193) Atinijjhāyittaṁ rūpānaṁ. MA: “Ketika persepsi keberagaman muncul, Aku pikir Aku dapat memperhatikan satu jenis bentuk, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sewaktu Aku melakukan demikian, meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk muncul dalam diriKu.”

1194) Cittassa upakkileso. Kata yang sama digunakan pada MN 7.3, walaupun di sini berarti ketidaksempurnaan dalam pengembangan konsentrasi. Oleh karenanya ungkapan ini telah diterjemahkan dengan sedikit berbeda dalam kedua kasus ini.

1195) “Tiga cara” tampaknya adalah ketiga jenis pertama dari konsentrasi yang disebutkan dalam paragraf berikutnya, juga disampaikan sebagai sebuah triad pada DN 33.1.10/iii.219. Dari ketiga ini, yang pertama adalah jhāna pertama dan yang ke tiga mencakup ketiga jhāna yang lebih tinggi dari skema empat jhāna umumnya. Konsentrasi jenis ke dua tidak mendapat tempat pada skema empat, tetapi muncul sebagai jhāna ke dua dalam pengelompokan lima jhāna yang dijelaskan dalam Abhidhamma Piṭaka. Jhāna ke dua dari skema lima ini dicapai oleh mereka yang tidak dapat mengatasi awal pikiran dan kelangsungan pikiran secara bersamaan, melainkan harus menyingkirkannya secara berturut-tururt.

1196) MA: Konsentrasi dengan kegembiraan adalah dua jhāna yang lebih rendah; konsentrasi tanpa kegembiraan adalah dua jhāna yang lebih tinggi; konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan (sāta), adalah tiga jhāna yang lebih rendah; konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan adalah jhāna ke empat. PTS menghilangkan sātasahagato pi samādhi bhāvito ahosi, yang terdapat dalam edisi-edisi [ ]lain.

1197) MA mengatakan bahwa Sang Buddha mengembangkan konsentrasi-konsentrasi ini pada jaga terakhir malam hari pada malam pencerahan-Nya sambil duduk di bawah pohon Bodhi.


SUTTA 129

1198) Seperti pada MN 13.14

1199) Perumpamaan berikut ini juga digunakan pada SN 12:63/ii.100 untuk mengilustrasikan makanan bagi kesadaran (viññāṇāhāra).

1200) Dan Beliau akan menjelaskanpada MN 130.17-27.

1201) MA: Yaitu, si dungu melakukan ketiga jenis perilaku salah, yang karenanya ia terlahir kembali di neraka. Karena sisa-sisa kamma itu, ketika ia terlahir kembali di alam manusia, ia terlahir kembali di keluarga rendah. Sekali lagi melakukan ketiga jenis perilaku salah, dan sekali lagi terlahir kembali di neraka.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #101 on: 27 February 2011, 03:40:52 PM »
1202) Walaupun Pali tidak mencantumkan partikel negatif na, [ ]namun tampaknya di sini diperlukan untuk menghasilkan makna yang dimaksudkan, dan ini muncul pada klausa sejenis dalam paragraf berikutnya.

1203) Baca MN 91.5. Legenda Raja Pemutar-Roda dibahas secara lengkap dalam DN 17 dan DN 26.

1204) Baca n.809.

1205) MA: Yaitu, si bijaksana melakukan ketiga jenis perbuatan baik, yang karenanya ia terlahir kembali di alam surga. Kembali ke alam manusia, ia terlahir kembali dalam keluarga yang baik dengan kerupawanan dan kekayaan. Sekali lagi ia melakukan ketiga jenis perbuatan baik dan sekali lagi terlahir kembali di alam surga. Harus dipahami bahwa “kesempurnaan sepenuhnya dari tingkatan si bijaksana” adalah sepenuhnya duniawi dan tidak berhubungan dengan tingkat-tingkat kesucian pada jalan kebebasan.

SUTTA 130

1206) Yama adalah dewa kematian. MA mengatakan bahwa ia adalah raja makhluk halus yang memiliki istana surgawi. Kadang-kadang ia menetap di istana surgawi menikmati kenikmatan surgawi, kadang-kadang ia mengalami akibat kamma; ia adalah raja yang baik. MA menambahkan bahwa sebenarnya ada empat Yama, satu di setiap empat gerbang (neraka?).

1207) Menurut legenda Buddhis, tiga dari para utusan surgawiorang tua, orang sakit, dan orang matimenampakkan diri di hadapan Sang Bodhisatta ketika ia sedang menetap di istana, menghancurkan pesona kehidupan duniawi dan menyadarkannya pada keinginan untuk mencari jalan kebebasan. Baca AN 3:38/i.145-46 untuk penjelasan atas asal-usul secara psikologis dari mana legenda ini berkembang.

1208) Penjelasan mengenai neraka berikut ini, hingga ke §16, juga terdapat pada MN 129.10-16.


SUTTA 131

1209) Khotbah ini dengan pendahuluan dan catatan yang panjang tersedia secara terpisah dalam terjemahan oleh Bhikkhu Ñāṇananda dengan judul Ideal Solitude.

1210) Dalam edisi pertama, saya mengikuti Ñm dalam menerjemahkan bhaddekaratta sebagai “satu kemelekatan yang menguntungkan”. Akan tetapi, atas saran dari YM. Thānissaro Bhik, saya mengubahnya menjadi “satu malam keramat”, yang tampaknya lebih tepat. Ratta dan ratti dapat dianggap mewakili Skt rātra dan rātri (= malam) atau Skt rakta dan rakti (= kemelekatan). Ñm mengartikan kata-kata ini dalam makna ke dua, tetapi fakta bahwa baik MA maupun MṬ tidak mengemas ratta dengan menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah “malam”; karena jika kata itu digunakan dalam makna kemelekatan, suatu kondisi tidak bermanfaat yang khas dalam khotbah Buddhis, maka beberapa klarifikasi komentar pasti telah diberikan. Versi Skt dari Asia Tengah, judul Skt pada versi Tibet, dan terjemahan Tibet sendiri semuanya menggunakan bhadrakarātri. Ini menegaskan identifikasi ratta sebagai “malam”; perubahan dari –e- menjadi -a- dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mempermudah bacaan menjadi suatu bacaan yang lebih akrab. (Saya berhutang pada Peter Skilling atas informasi ini.) Madhyama Āgama dari China hanya menyalin kembali judul itu dari versi Skt dan dengan demikian tidak memberikan bantuan.

Selain dari rangkaian sutta-sutta ini, kata bhaddekaratta tidak terdapat di mana pun dalam Kanon Pali. MA hanya mengatakan: “‘Satu malam keramat’ adalah satu malam yang keramat karena memiliki penerapan pandangan terang” (bhaddekarattassā ti vipassanāyogasamannāgatattā bhaddekassa ekarattassa). MṬ hanya memberikan pemecahan kata (ekā ratti ekaeratto; bhaddo ekaratto etassā ti bhaddekarattaṁ) dan mengatakan bahwa ini merujuk pada seseorang yang melatih pandangan terang. Seperti yang ditekankan pada syair yang mendorong perlunya menaklukkan kematian dengan mengembangkan pandangan terang, judul ini mungkin menggambarkan seorang meditator yang telah melewati satu malam (dan satu hari) keramat dengan mempraktikkan pandangan terang yang “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. Ñm mengatakan dalam Ms: “Mungkin dapat dianggap bahwa kata ‘bhaddekaratta’ adalah frasa terkenal yang digunakan oleh Sang Buddha dan diberikan makna khusus oleh Beliau, hal ini bukan tidak sering dilakukan, tetapi tampaknya tidak ada alasan untuk melakukan hal itu dan tidak ada bukti untuk kasus ini. Lebih mungkin bahwa kata ini diciptakan oleh Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan aspek pengembangan tertentu.”

1211) Secara lebih literal, kedua baris pertama dapat diterjemahkan: Janganlah seseorang kembali ke masa lampau atau hidup dalam pengharapan di masa depan”. Makna ini akan lebih jelas dalam paragraf penjelasan di dalam sutta ini.

1212) MA: Ia harus merenungkan tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini, tepat di mana munculnya, melalui tujuh perenungan pandangan terang (pandangan terang ke dalam ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri, kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, lepasnya.)

1213) Asaṁhīraṁ asankuppaṁ. MA menjelaskan bahwa sutta ini dikatakan bertujuan untuk menunjukkan pandangan terang dan lawan pandangan terang (baca n.1143); karena pandangan terang adalah “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. Karena tidak terkalahkan atau tergoyahkan oleh nafsu dan kekotoran lainnya. Di tempat lain, ungkapan “tak terkalahkan, tak tergoyahkan” digunakan untuk menggambarkan Nibbāna (yaitu, Sb v.1149) atau menggambarkan kebebasan pikiran (misalnya, Thag v.649), tetapi di sini tampaknya merujuk pada tingkatan dalam pengembangan pandangan terang. Kemunculan kembali bentuk kata kerja saṁhirati pada §8 dan §9 menyiratkan bahwa makna yang dimaksudkan adalah perenungan saat ini tanpa tersesat ke dalam pandangan diri.

1214) “Sang Bijaksana damai” (santo muni) adalah Sang Buddha.

1215) MA: Seseorang “menemukan kesenangan” dengan membawa keinginan atau pandangan yang berhubungan dengan keinginan di masa lalu. Harus dipahami bahwa ini bukanlah sekadar perenungan masa lalu melalui ingatan yang menyebabkan belenggu, tetapi menghidupkan kembali pengalaman masa lalu dengan pikiran-pikiran keinginan. Sehubungan dengan hal ini, ajaran Sang Buddha sangat jauh berbeda dengan ajaran Krishnamurti, yang tampaknya menganggap bahwa ingatan itu sendiri sebagai penjahat di belakang layar.

1216) Sintaksis dari Pali memperbolehkan kalimat ini diinterpretasikan dalam dua cara, sebagai menyebutkan bahwa seseorang berpikir, “Aku telah memiliki bentuk demikian di masa lalu,” namun tidak menemukan kesenangan dalam pikiran itu; atau bahwa seseorang tidak menemukan kesenangan di masa lalu dengan memikirkan pikiran demikian. Horner, Ñāṇananda (dalam Ideal Solitude), dan Ñm (dalam Ms) menafsirkan kalimat ini dalam cara pertama; saya mempertahankan terjemahan Ñm dalam edisi pertama. Setelah mempertimbangkan, sekarang saya percaya bahwa interpretasi ke dua adalah lebih tepat menyampaikan makna teks tersebut. Ini juga berkaitan, secara lebih baik, dengan syair itu sendiri, yang menginstruksikan agar siswa tidak berdiam di masa lalu dan di masa depan, melainkan merenungkan “tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini” seperti yang disampaikan oleh syair itu sendiri.

1217) Dalam edisi pertama, kalimat ini diterjemahkan: “Dengan berpikir, ‘Aku akan memiliki bentuk materi demikian di masa depan,’ seseorang menemukan kesenangan di dalam itu”. Setelah merenungkan kembali, sekarang bagi saya tampaknya bahwa kalimat itu mengungkapkan seruan harapan di masa depan.

1218) Kata kerja di sini dan dalam paragraf berikutnya, saṁhirati, merujuk kembali pada baris dalam syair, “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. MA mengemas: “Seseorang ditarik oleh keinginan dan pandangan karena ketiadaan pandangan terang”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #102 on: 27 February 2011, 03:56:35 PM »
SUTTA 133

1219) Hingga §12, seperti pada MN 18.10-15.

1220) MA: Pada dua sutta sebelumnya dan satu sutta berikutnya, Sang Buddha membabarkan garis besar dan analisis melalui kelima kelompok unsur kehidupan, tetapi di sini ia membabarkannya sedemikian sehingga dapat dianalisis melalui kedua belas landasan indria. Memahami maksud Sang Buddha, YM. Mahā Kaccāna menjelaskan seperti yang ia lakukan, dan karena kemahirannya dalam menangkap metode bahkan ketika tidak ditunjukkan secara eksplisit, Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa yang terunggul dalam menjelaskan secara terperinci suatu ajaran yang dinyatakan secara ringkas.


SUTTA 134

1221) Menurut Komentar Thag, Yang Mulia Lomasakangiya telah menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kassapa. Setelah Buddha Kassapa membabarkan Bhaddekaratta Sutta, seorang bhikkhu tertentu menyampaikannya kepada Lomasakangiya. Karena tidak mampu memahaminya, ia berseru: “Di masa depan, semoga aku mampu mengajarkan sutta ini kepadamu!” yang lain menjawab: “Semoga aku dapat menanyakannya kepadamu!” Pada masa sekarang, Lomasakangiya terlahir di sebuah keluarga Sakya di Kapilavatthu, sedangkan bhikkhu lainnya itu menjadi Dewa Candana.

1222) MA menjelaskan bahwa ini terjadi pada tahun ke tujuh setelah Pencerahan Sang Buddha, pada saat Beliau melewatkan tiga bulan masa vassa di alam surga Tiga Puluh Tiga mengajarkan Abhidhamma kepada para dewa dari sepuluh ribu sistem dunia yang berkumpul di sana.


SUTTA 135

1223) Baca MN 99. Menurut MA, ayahnya, Brahmana Todeyya, terlahir kembali sebagai anjing di rumahnya sendiri karena kekikirannya yang sangat luar biasa. Sang Buddha mengidentifikasikannya dengan menyuruh anjing itu menggali beberapa harta tersembunyi milik ayah Subha yang dikuburkan sebelum kematiannya. Hal ini menginspirasi keyakinan Subha pada Sang Buddha dan mendorongnya untuk mendatangi dan bertanya tentang cara kerja kamma.

1224) Jika kamma pembunuhan secara langsung menentukan modus kelahiran kembali, maka hal itu akan menghasilkan kelahiran kembali dalam salah satu alam sengsara. Tetapi jika kamma baik mengantarkan menuju kelahiran kembali di alam manusiadan kelahiran kembali sebagai manusia selalu diakibatkan oleh kamma baikkamma pembunuhan akan bekerja dengan cara yang berlawanan dengan kamma penghasil kelahiran kembali dengan menyebabkan berbagai kemalangan yang bahkan berujung pada kematian prematur. Prinsip yang sama berlaku pada kasus berikutnya yang mana kamma buruk menjadi matang dalam kehidupan sebagai manusia: dalam tiap-tiap kasus, kamma buruk melawan kamma baik yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali sebagai manusia dengan menimbulkan jenis kemalangan tertentu sesuai kualitas penentunya.

1225) Dalam kasus ini, kamma baik menghindari pembunuhan secara langsung bertanggung jawab atas kelahiran kembali di alam surga atau umur panjang di alam manusia. Prinsip yang sama berlaku dalam seluruh paragraf tentang matangnya kamma baik.


SUTTA 136

1226) MA mengatakan bahwa Potaliputta sesungguhnya tidak secara langsung mendengar dari Sang Buddha, tetapi pernah mendengarkan berita bahwa pernyataan-pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha. Pernyataan pertama adalah versi menyimpang dari pernyataan Sang Buddha dalam MN 56.4 bahwa perbuatan pikiran adalah paling tercela di antara ketiga jenis perbuatan bagi pelaksanaan perbuatan jahat. Pernyataan ke dua diturunkan dari pembahasan lenyapnya persepsi oleh Sang Buddha dalam Poṭṭhapāda Sutta (DN 9). MA mengemas kata “kosong” menjadi “tidak berbuah”.

1227) Pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha pada SN 36:11/iv.216, sehubungan dengan penderitaan yang terkandung dalam segala bentukan karena alasan ketidakkekalannya. Walaupun pernyataan itu benar, Samiddhi tampaknya telah salah menginterpretasikannya menjadi bermakna bahwa semua perasaan dirasakan sebagai penderitaan, yang jelas salah.

1228) MA: bagian ini tidak menjelaskan pengetahuan Sang Tathāgata mengenai [ ]penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi membentuk kerangka yang bertujuan untuk menyajikan penjelasan.

1229) MA: Ini juga tidak membabarkan pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi masih membentuk kerangka. Tujuannya di sini adalah untuk menunjukkan apa yang dapat diterima dan apa yang harus ditolak dari pernyataan para petapa dan brahmana luar. Singkatnya, dalil yang melaporkan pengamatan langsung mereka dapat diterima, tetapi generalisasi yang mereka turunkan dari pengamatan itu harus ditolak.

1230) Di sini dimulai penjelasan atas pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan.

1231) MA: Orang yang dengan mata dewa telah terlihat melakukan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan seterusnya, terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat lain yang telah ia lakukan sebelum ia melakukan pembunuhan, dan seterusnya, atau karena perbuatan jahat yang ia lakukan setelahnya, atau karena pandangan salah yang ia terima pada saat kematian. Walaupun Pali sepertinya mengatakan bahwa ia seharusnya terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan selain daripada yang terlihat sedang ia lakukan, ini jangan dipahami sebagai suatu pernyataan mutlak, melainkan hanya sebagai suatu pernyataan kemungkinan. Yaitu, walaupun mungkin saja bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat yang ia terlihat lakukan, tetapi mungkin juga bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan jahat lain yang ia lakukan sebelumnya atau sesudahnya.

1232) Pernyataan ini menunjukkan bahwa bahkan jika kamma buruknya tidak menghasilkan modus kelahiran kembali, namun kamma itu akan tetap matang baginya dalam suatu cara, apakah dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikut, atau dalam beberapa kehidupan setelah itu.

1233) Dalam kasus ini, kelahiran kembali di alam surga pasti disebabkan karena perbuatan-perbuatan lainnya selain daripada perbuatan yang terlihat sedang ia lakukan, karena suatu perbuatan jahat tidak dapat menghasilkan modus kelahiran kembali yang beruntung.

1234) MA menjelaskan abhabba, tidak mampu, sebagai tidak bermanfaat (akusala), disebut “tidak mampu” karena kosong dari kapasitas untuk tumbuh; dan bhabba, mampu, sebagai berkemampuan, disebut mampu” karena memiliki kapasitas untuk tumbuh. Penjelasan ini tampaknya meragukan; bhabba (Skt bhavya) hanya bermakna “berpotensi, mampu menghasilkan akibat”, tanpa menyiratkan penilaian moral tertentu. MA memberikan dua penjelasan atas dua tetrad itu. Yang pertama berangkat dengan menganggap akhiran –ābhāsa sebagai bermakna “mengungguli” atau “mengatasi”, dan dengan demikian keempat kata itu menunjukkan cara suatu kamma dari satu kualitas dapat mengungguli” kamma lainnya dalam menghasilkan akibatnya. Penjelasan ke dua yang tampaknya lebih meyakinkan, menganggap –ābhāsa sebagai bermakna “tampak”, yang saya ikuti dalam terjemahan ini. Pada penjelasan ini, jenis pertama diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di neraka: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, dan tampak tidak mampu karena ia terlahir kembali di neraka, yang sepertinya menjadi sebab bagi kelahiran kembalinya di sana. Yang ke dua diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di alam surga: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, namun tampak mampu karena ia terlahir kembali di alam surga; demikianlah bagi para petapa dan brahmana luar, hal ini tampak seperti sebab bagi kelahirannya di alam surga. Kedua kata berikutnya harus dipahami dengan cara yang sama, dengan perubahan seperlunya.


SUTTA 137

1235) MA: Eksplorasi pikiran (manopavicāra) adalah awal pikiran dan kelangsungan pikiran. Seseorang mengeksplorasi (arau memeriksa, upavicarati) objek melalui munculnya kelangsungan pikiran (vicāra), dan awal pikiran berhubungan dengan kelangsungan pikiran.

1236) MA: Setelah melihat suatu bentuk dengan kesadaran-mata, seseorang mengeksplorasi suatu bentuk yang, sebagai suatu objek, adalah penyebab bagi kegembiraan (kesedihan, keseimbangan).

1237) MA: Ini adalah posisi-posisi (pada) bagi makhluk-makhluk yang bertekad pada lingkaran kehidupan dan bagi mereka yang bertekad pada lenyapnya lingkaran.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #103 on: 27 February 2011, 04:16:14 PM »
1238) MA: “Berdasarkan pada kehidupan rumah tangga” berarti berhubungan dengan utas-utas kenikmatan indria; “berdasarkan pada pelepasan keduniawian” berarti berhubungan dengan pandangan terang.

1239) MA: Ini adalah kegembiraan yang muncul ketika seseorang telah menegakkan pandangan terang dan sedang duduk mengamati hancurnya bentukan-bentukan dengan pengetahuan pandangan terang yang tajam dan cerah yang terpusat pada bentukan-bentukan.

1240) MA menjelaskan “kebebasan tertinggi” dan “landasan itu” sebagai Kearahatan. Baca 44.28.

1241) MA: Ini adalah keseimbangan tanpa mengetahui yang muncul dalam diri seseorang yang belum menaklukkan keterbatasan yang dijatuhkan oleh kekotoran atau akibat (perbuatan) masa depan. Ini “tidak melampaui bentuk” karena terjerat, terikat pada objek bagaikan lalat pada segumpal gula.

1242) MA: Ini adalah keseimbangan yang berhubungan dengan pengetahuan pandangan terang. Ini tidak menjadi bernafsu pada objek-objek menyenangkan yang masuk dalam jangkauan indria-indria, juga tidak menjadi marah karena objek-objek tidak menyenangkan.

1243) MA mengatakan bahwa sebelumnya yang dibahas adalah keseimbangan duniawi, tetapi di sini perbedaannya adalah antara keseimbangan dalam membedakan pengalaman indria dan keseimbangan pencapaian meditatif.

1244) MA menuliskan: “Melalui keseimbangan pencapaian tanpa materi, tinggalkanlah keseimbangan pencapaian materi halus; melalui pandangan terang ke dalam alam tanpa materi, tinggalkanlah pandangan terang ke dalam alam materi-halus”.

1245) MA mengatakan bahwa ketiadaan-identifikasi (atammayatābaca n.1066) di sini merujuk pada “pandangan terang yang menuntun menuju keluar”, yaitu, pandangan terang persis sebelum munculnya jalan lokuttara; karena ini berdampak pada ditinggalkannya keseimbangan pencapaian tanpa materi dan keseimbangan pandangan terang.

1246) Satipaṭṭhāna di sini jelas memiliki makna berbeda dari biasanya, seperti akan jelas pada bagian selanjutnya. “Seorang Mulia” adalah Sang Buddha.

1247) Ini adalah salah satu dari Sembilan gelar Sang Buddha dalam penguraian umum kualitas-kualitas Sang Buddha.

1248) “Delapan arah ini” adalah delapan pembebasan, tentang ini baca n.764.


SUTTA 138

1249) Agak janggal bahwa Sang Buddha, setelah mengatakan bahwa Beliau akan mengajarkan ringkasan dan penjelasan, hanya membabarkan ringkasan dan pergi tanpa membabarkan penjelasan. Walaupun di tempat lain Sang Buddha pergi mendadak setelah memberikan pernyataan yang membingungkan (seperti, pada MN 18), pada peristiwa-peristiwa itu Beliau sebelumnya memang tidak menyatakan niatnya untuk memberikan penjelasan. MA tidak memberikan penjelasan.

1250) MA: Kesadaran “kacau dan berhamburan secara eksternal”, yaitu, di antara objek-objek eksternal, ketika muncul melalui keterikatan pada objek eksternal.

1251) MṬ: Bentuk itu sendiri disebut gambaran bentuk (rūpanimitta) dalam hal bahwa bentuk itu menjadi penyebab bagi munculnya kekotoran. Satu yang “muncul setelahnya” melalui nafsu.

1252) MA: pikiran “melekat secara internal” melalui kemelekatan pada objek internal. Teks sutta itu sendiri bergeser dari viññāṇa dalam ringkasan oleh Sang Buddha menjadi citta dalam penjelasan oleh Mahā Kaccāna.

1253) Seluruh edisi MN 38 Pali di sini menuliskan anupādā paritassanā, secara literal “gangguan karena ketidakmelekatan”, yang jelas berlawanan dengan apa yang secara konsisten diajarkan oleh Sang Buddha: gangguan yang muncul dari kemelekatan, dan lenyap dengan lenyapnya kemelekatan. Akan tetapi, tulisan ini jelas lebih dulu daripada komentar, karena MA menerima anupādā sebagai benar dan memberikan penjelasan berikut: “Dalam makna apakah terjadinya gangguan karena ketidakmelekatan? Melalui ketiadaan segala sesuatu yang dilekati. Karena jika ada bentukan apa pun yang kekal, stabil, suatu diri, atau milik diri, mungkin dilekati. Maka gangguan ini adalah gangguan karena kemelekatan (sesuatu yang dilekati). Tetapi karena tidak ada bentukan yang dapat dilekati demikian, maka walaupun bentuk materi, dan seterusnya, dilekati dengan gagasan ‘bentuk materi adalah diri’, dan seterusnya, sesungguhnya hal-hal itu tidak dilekati (dengan cara bagaimana hal itu dianggap). Demikianlah, apa yang di sini disebut ‘gangguan karena ketidakmelekatan’ adalah dalam makna gangguan karena kemelekatan melalui pandangan-pandangan.” Ñm mengikuti tulisan ini, dan berdasarkan pada penjelasan MA, menerjemahkan frasa “kesedihan [gangguan] karena tidak menemukan apa pun yang dapat dilekati”. Ia tidak membahas persoalan ini dalam catatannya.

Sebuah sutta dalam Saṁyutta Nikāya (SN 22:7/iii,16) sebenarnya identik dengan paragraf ini dari MN 138, kecuali bahwa di sini tertulis, upādā paritassanā, seperti seharusnya, “gangguan karena kemelekatan”. Dari teks Saṁyutta, kita dapat dengan aman menyimpulkan bahwa tulisan dalam Majjhima adalah kesalahan yang seharusnya dihilangkan. Terjemahan saya di sini adalah berdasarkan pada tulisan dari MN 22:7. Horner juga mengikuti bagian belakangan dari teks dalam MLS.

1254) MA menjelaskan frasa tidak umum paritassanā dhammasamppādā sebagai ‘gangguan keinginan dan munculnya kondisi-kondisi tidak bermanfaat (lainnya)”.

1255) Gangguan demikian berakibat dari ketiadaan inti yang kekal dalam segala sesuatu yang dapat memberikan perlindungan dari penderitaan yang diendapkan oleh perubahan dan ketidakstabilannya.

1256) Frasa ini adalah identik baik dalam versi Majjhima maupun Saṁyutta.


SUTTA 139

1257) Ini secara intinya identik dengan pernyataan yang dengannya Sang Buddha yang baru tercerahkan memulai khotbah pertamanya kepada Lima Bhikkhu, sebelum mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada mereka.

1258) Ini adalah sebuah ungkapan yang rumit untuk pengejaran kenikmatan indria.

1259) MA: “dikepung oleh penderitaan, kesulitan”, dan seterusnya, melalui  penderitaan, kesulitan, dan seterusnya dari akibat yang ditimbulkan dan penderitaan dan kesulitan, dan seterusnya, dari kekotoran yang menyertainya.

1260) Ini adalah keinginan akan penjelmaan. Persis di bawah kita harus membaca sekali lagi sebagai bhavasaṁyojanaṁ (seperti pada BBS dan SBJ), bukan seperti PTS vibhavasaṁyojanaṁ.

1261) Yaitu, memuji dan mencela terjadi ketika seseorang membingkai pernyataan seseorang dalam hal orang-orangnya, beberapa dipuji dan yang lainnya dicela. Seseorang mengajarkan “hanya Dhamma” ketika ia membingkai pernyataan seseorang dalam hal kondisi (dhamma)modus praktiktanpa secara eksplisit menghubungkannya dengan orang-orang.

1262) Persoalan “pemaksaan bahasa setempat” ini pasti sangat akut dalam Sangha, ketika para bhikkhu menjalani kehidupan yang terus-menerus mengembara dan melewati banyak daerah dengan bahasa atau dialek yang berbeda-beda.

1263) YM. Subhūti adalah adik dari Anāthapiṇḍika dan menjadi bhikkhu pada hari Hutan Jeta dipersembahkan kepada Sangha. Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa terunggul dalam dua kategoriyang hidup tanpa konflik dan yang layak menerima pemberian.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #104 on: 27 February 2011, 04:46:11 PM »
SUTTA 140

1264) Menurut MA, Pukkusāti adalah raja Takkasilā dan bersahabat dengan Raja Bimbisāra dari Magadha melalui para pedagang yang melakukan perjalanan di antara kedua negeri untuk berdagang. Dalam suatu pertukaran hadiah, Bimbisāra mengirimkan sebuah panel emas kepada Pukkusāti di mana ia menuliskan penjelasan Tiga Permata dan berbagai aspek Dhamma. Ketika Pukkusāti membaca tulisan itu, ia menjadi gembira dan memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Tanpa melalui penahbisan resmi, ia mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan istana. Ia pergi ke Rājagaha dengan maksud untuk menemui Sang Buddha, yang saat itu berada di Sāvatthī, kira-kira 300 mil jauhnya. Sang Buddha melihat Pukkusāti melalui mata batinnya, dan mengetahui kemampuannya untuk mencapai jalan dan buah, Beliau melakukan perjalanan sendirian dengan berjalan kaki menuju Rājagaha untuk menemuinya. Agar tidak dikenali, melalui kekuatan kehendak-Nya Sang Buddha menyembunyikan ciri-ciri fisiknya seperti tanda-tanda Manusia Luar Biasa, dan ia tampil seperti umumnya seorang bhikkhu pengembara. Beliau tiba di gubuk pengrajin tembikar tidak lama setelah Pukkusāti, yang telah tiba terlebih dulu, bermaksud untuk pergi ke Sāvatthī pada keesokan harinya untuk menemui Sang Buddha.

1265) Pukkusāti yang tidak menyadari bahwa pendatang baru itu adalah Sang Buddha, menyapa Beliau dengan panggilan akrab “āvuso”.

1266) MA: Sang Buddha mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sekadar untuk memulai suatu percakapan, karena Beliau telah mengetahui bahwa Pukkusāti telah meninggalkan keduniawian karena Beliau.

1267) MA: Karena Pukkusāti telah memurnikan praktik awal sang jalan dan mampu mencapai jhāna ke empat melalui perhatian pada pernapasan, Sang Buddha langsung memulai dengan suatu khotbah tentang meditasi pandangan terang, membabarkan kekosongan tertinggi yaitu landasan bagi Kearahatan.

1268) MA: Di sini Sang Buddha membabarkan keberadaan yang bukan sesungguhnya melalui keberadaan yang sesungguhnya; karena unsur-unsur adalah keberadaan yang sesungguhnya, tetapi manusia adalah keberadaan yang bukan sesungguhnya. Maksudnya adalah[ ]: “Bahwa apa yang engkau lihat sebagai seorang manusia adalah terdiri dari enam unsur. Sesungguhnya tidak ada manusia di sini. ‘Manusia’ hanyalah sekadar konsep.”

1269) Seperti pada 137.8.

1270) Paññadhiṭṭhāna, saccādhiṭṭhāna, cāgadhiṭṭhāna, upasamādhiṭṭhāna. Ñm, dalam Ms, awalnya menerjemahkan adhiṭṭhāna sebagai “tekad”, dan kemudian menggantinya menjadi “modus pengungkapan”, yang keduanya tampaknya tidak sesuai untuk konteks ini. MA mengemas kata ini dengan patiṭṭhā, yang jelas berarti landasan, dan menjelaskan makna dari pernyataan itu sebagai berikut: “Manusia ini yang terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis pendekatan pikiranketika ia berpaling dari ini dan mencapai Kearahatan, pencapaian tertinggi, ia melakukannya dengan berlandaskan pada keempat landasan ini.” Keempat landasan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian selanjutnya, §§12-29.

1271) MA: Sejak awal seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan yang muncul dari konsentrasi dan pandangan terang untuk menembus kebijaksanaan buah Kearahatan. Ia harus mempertahankan ucapan jujur untuk mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi. Ia harus melatih pelepasan kekotoran untuk melepaskan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Sejak awal ia harus berlatih dalam penenangan kekotoran untuk menenangkan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Demikianlah kebijaksanaan, dan seterusnya yang muncul dari ketenangan dan pandangan terang dijelaskan sebagai landasan awal untuk mencapai landasan kebijaksanaan, dan seterusnya (ciri khas Kearahatan).

1272) MA: Tidak-melalaikan kebijaksanaan dijelaskan melalui meditasi pada unsur-unsur. Analisis unsur-unsur di sini identik dengan yang terdapat pada MN 28.6, 11, 16,21, dan MN 62.8-12.

1273) MA: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa”[ ]dalam itu masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di bawah judul kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan.

1274) Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidakkekalannya melalui lenyapnya kondisinya.

1275) MA mengidentifikasi ini sebagai keseimbangan jhāna ke empat. Menurut MA, Pukkusāti telah mencapai jhāna ke empat dan memiliki kemelekatan kuat pada jhāna itu. Sang Buddha pertama-tama memuji keseimbangan ini untuk menginspirasi keyakinan Pukkusāti, kemudian setahap demi setahap Beliau menuntunnya menuju jhāna-jhāna tanpa materi dan pencapaian jalan dan buah.

1276) Maknanya adalah: Jika ia mencapai landasan ruang tanpa batas dan meninggal dunia selagi masih melekatinya, maka ia akan terlahir kembali di alam ruang tanpa batas dan akan hidup di sana selama umur kehidupan maksimum 20.000 kappa yang ditentukan di alam itu. Di tiga alam tanpa materi yang lebih tinggi, umur kehidupannya berturut-turut adalah 40.000 kappa, 60.000 kappa, dan 84.000 kappa.

1277) MA: ini dikatakan untuk menunjukkan bahaya dalam jhāna-jhāna tanpa materi. Dengan satu frasa, “ini adalah terkondisi”, Beliau menunjukkan: “Bahkan walaupun umur kehidupan di sana adalah 20.000 kappa, namun itu adalah terkondisi, dirancang, dibangun. Dengan demikian maka tidak kekal, tidak stabil, tidak bertahan lama, sementara. Tunduk pada kemusnahan, kehancuran, dan kelenyapan; ini melibatkan kelahiran, penuaan, dan kematian, yang berlandaskan penderitaan. Ini bukanlah suatu naungan, suatu tempat aman, suatu perlindungan. Setelah meninggal dunia dari sana sebagai kaum duniawi, seseorang masih dapat terlahir kembali di empat alam sengsara.

1278) So n’eva abhisankharoti nābhisañcetayati bhavāya vā vibhavāya. Kedua kata kerja ini menyiratkan gagasan kehendak sebagai kekuatan pembangun yang membangun kelangsungan kehidupan terkondisi. Lenyapnya kehendak akan penjelmaan atau tanpa-penjelmaan menunjukkan padamnya keinginan akan kehidupan abadi dan pemusnahan, yang memuncak pada pencapaian Kearahatan.

1279) MA mengatakan bahwa pada titik ini Pukkusāti menembus tiga jalan dan buah, menjadi yang-tidak-kembali. Ia menyadari bahwa gurunya adalah Sang Buddha sendiri, tetapi ia tidak dapat mengungkapkan hal ini karena Sang Buddha masih melanjutkan khotbah-Nya.

1280) Paragraf ini menunjukkan kediaman Arahant dalam unsur Nibbāna dengan sisa (dari faktor-faktor kehidupan yang terkondisi, sa-upādisesa nibbānadhātu). Walaupun ia tetap mengalami perasaan, namun ia bebas dari nafsu terhadap perasaan menyenangkan, dari penolakan terhadap perasaan menyakitkan, dan dari kebodohan terhadap perasaan netral.

1281) Yaitu, ia terus mengalami perasaan hanya selama jasmaninya dengan indria kehidupannya berlangsung, tetapi tidak melampaui itu.

1282) Ini merujuk pada pencapaian unsur-Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa nibbānadhātu)lenyapnya segala kehidupan terkondisi melalui kematiannya.

1283) Ini menutup penjelasan atas landasan pertama, yang dimulai pada §13. MA mengatakan bahwa pengetahuan hancurnya segala penderitaan adalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah Kearahatan.

1284) MA menyebutkan empat jenis perolehan (upadhi) di sini: baca n.674.

1285) “Arus pasang penganggapan” (maññussavā), seperti yang ditunjukkan dalam paragraf berikut ini, adalah pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang berasal-mula dari ketiga akar penganggapankeinginan, keangkuhan, dan pandangan. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, baca n.6. Sang “bijaksana damai” (muni santo) adalah Arahant.

1286) Apa yang tidak ada padanya adalah keinginan akan penjelmaan, yang menuntun mereka yang belum melenyapkannya kembali kepada kelahiran kembali setelah kematian.

1287) MA mengatakan bahwa ia terlahir kembali di Alam Murni yang disebut Avihā dan mencapai Kearahatan segera setelah ia terlahir kembali di sana. MA mengutip sebuah syair dari Saṁyutta Nikāya (SN 1:50/i.35) menyebutkan Pukkusāti sebagai satu dari ketujuh bhikkhu yang terlahir kembali di Avihā dan mencapai pembebasan dengan melampaui belenggu-belenggu surgawi.




SUTTA 141

1288) Ini merujuk pada khotbah pertama Sang Buddha, yang dibabarkan kepada lima bhikkhu di Taman Rusa di Isipatana.

1289) MA: YM. Sāriputta melatih mereka hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mencapai buah memasuki-arus, kemudian ia membiarkan mereka mengembangkan jalan-jalan yang lebih tinggi dengan usaha mereka sendiri dan ia melatih kelompok murid yang baru. Tetapi YM. Moggallāna melanjutkan melatih murid-muridnya hingga mereka mencapai Kearahatan.

1290) Definisi kelahiran, penuaan, dan kematian juga terdapat pada MN 9.22, 26. Keseluruhan analisis terperinci dari Empat Kebenaran Mulia ini juga termasuk dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, dengan penjelasan yang bahkan lebih lengkap pada bagian kebenaran ke dua dan ke tiga. Baca DN 22.18-21/ii.305-13.


SUTTA 142

1291) Mahāpajāpatī Gotamī adalah adik perempuan Ratu Mahāmāyā, ibu Sang Buddha, dan juga istri Raja Suddhodana. Setelah kematian Mahāmāyā, ia menjadi ibu tiri Sang Buddha. Sutta ini terjadi pada masa awal pengajaran Sang Buddha, pada salah satu perjalanan-Nya mengunjungi kota asal-Nya. Setelah kematian Raja Suddhodana, Mahāpajāpatī memohon kepada Sang Buddha agar memperbolehkan perempuan bergabung dalam Sangha, dan penerimaannya menandai awal dari Sangha bhikkhunī, kisah ini terdapat pada Vin Cv Kh 10/ii.253-56 (baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.104-7).

Suatu penempatan kejadian pada waktu yang salah ini dicetuskan oleh YM. Ajahn Sucitto dari Vihara Cittaviveka kepada saya. Sutta ini menggambarkan Mahāpajāpatī Gotamī sebagai seorang umat Buddhis yang berbakti dan merujuk pada Sangha Bhikkhunī seolah-olah Sangha Bhikkhunī sudah ada pada masa itu, namun kisah kanonis tentang berdirinya Sangha Bhikkhunī menunjukkan bahwa Mahāpajāpatī adalah bhikkhunī pertama dalam sejarah. Dengan demikian, Sangha Bhikkhunī pasti belum ada pada saat sutta ini dibabarkan jika Mahāpajāpatī masih menjadi seorang umat awam perempuan. Kita dapat memecahkan persoalan perbedaan ini (yang terabaikan oleh komentator) dengan menganggap bahwa khotbah asli telah belakangan dimodifikasi setelah berdirinya Sangha Bhikkhunī agar sesuai dengan skema persembahan kepada Sangha.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #105 on: 27 February 2011, 05:18:32 PM »
1292) MA: Sang Buddha menyuruhnya agar memberikan pemberian itu kepada Sangha karena Beliau menghendaki agar kehendak kedermawanan itu diarahkan baik kepada Sangha maupun kepada Beliau sendiri, karena kehendak gabungan itu akan menghasilkan jasa yang mendukung kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama di masa depan. Beliau juga mengatakan hal ini agar generasi mendatang akan terinspirasi untuk memberikan penghormatan kepada Sangha, dan dengan menyokong Sangha dengan empat benda kebutuhan fisik akan berperan pada lamanya umur Pengajaran.

1293) Ini adalah empat faktor memasuki-arus. Dengan demikian, jelas bahwa pada saat sutta ini dibabarkan, Mahāpājapatī adalah seorang Pemasuk-arus.

1294) MA: Sang Buddha membabarkan ajaran ini karena sutta ini dimulai dengan pemberian pribadi yang dipersembahkan untuk-Nya, dan Beliau ingin menjelaskan perbandingan nilai dari persembahan kepada pribadi dan persembahan kepada Sangha.

1295) MA dan MṬ menjelaskan bahwa kata ini dapat mencakup pada umat awam yang telah berlindung kepada Tiga Permata, serta umat awam dan para bhikkhu yang berusaha memenuhi latihan moral dan praktik konsentrasi dan pandangan terang. Dalam makna teknis yang tepat, hal ini merujuk hanya pada mereka yang memiliki jalan lokuttara memasuki-arus.

1296) Ini adalah para praktisi non-Buddhis yang mencapai jhāna-jhāna dan jenis pengetahuan langsung lokiya.

1297) MA: dalam seratus kehidupan hal ini menghasilkan umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, dan kecerdasan, dan menjadikan seseorang bebas dari gangguan. Pencapaian-pencapaian selanjutnya dapat dipahami dengan cara yang sama.

1298) MA mengatakan bahwa walaupun akibat dari memberi dalam tiap-tiap kasus ini adalah tidak terhitung, namun ada tingkatan meningkat dalam ketidakterhitungannya, serupa dengan ketidakterhitungan air yang terdapat di dalam sungai meningkat hingga ke air di samudra. Mungkin nilai “tidak terhitung, tidak terukur” dari pemberian-pemberian ini terletak dalam fungsinya sebagai kondisi pendukung bagi pencapaian jalan, buah, dan Nibbāna.

1299) MA: Tidak ada pemberian yang dapat menyamai nilai pemberian ini. Ini adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh Mahāpajāpatī dengan mempersembahkan sepasang jubah baru kepada Sangha.

1300) MA: “Anggota-anggota kelompok” (gotrabhuno) adalah mereka yang menjadi bhikkhu hanya secara nama. Mereka bepergian dengan sehelai kain kuning yang diikatkan di leher atau di lengan mereka, dan masih menyokong anak dan istri mereka dengan melibatkan diri dalam perdagangan dan pertanian, dan sebagainya.

1301) Pemberian ini tidak terhitung dan tidak terukur dalam hal nilai karena dipersembahkan, melalui kehendak si pemberi, bukan kepada si “leher kuning” sebagai individu, melainkan kepada Sangha sebagai keseluruhan kelompok. Dengan demikian, si penerima termasuk semua bhikkhu bermoral di masa lampau, bahkan termasuk mereka yang telah lama meninggal dunia.

1302) MA menyebutkan bahwa suatu pemberian yang dipersembahkan kepada seorang bhikkhu yang tidak bermoral yang mewakili keseluruhan Sangha adalah lebih berbuah dibandingkan suatu pemberian yang dipersembahkan kepada seorang Arahant secara pribadi. Tetapi agar pemberian itu dapat dipersembahkan dengan benar kepada Sangha, si pemberi tidak boleh mempertimbangkan kualitas-kualitas pribadi si penerima, melainkan harus melihatnya hanya sebagai wakil dari keseluruhan Sangha.

1303) MA: Di sini kata “dimurnikan” memiliki makna “berbuah”.

1304) MA: bait terakhir ini merujuk pada pemberian dari seorang Arahant kepada seorang Arahant lainnya. Walaupun Arahant meyakini buah kamma, namun karena ia tidak memiliki keinginan dan nafsu terhadap kehidupan, maka perbuatan memberi itu tidak akan menghasilkan buah. Hal itu hanya sekadar perbuatan fungsional (kiriya) yang tidak meninggalkan jejak di belakang.


SUTTA 143

1305) MA mengatakan bahwa kemelekatan pada mata terjadi melalui keinginan dan nafsu; kesadaran bergantung pada mata melalui keinginan dan pandangan. Akan tetapi, karena Anāthapiṇḍika adalah seorang pemasuk-arus, ketergantungan baginya hanya melibatkan keinginan, karena pandangan telah dilenyapkan melalui jalan memasuki-arus.

1306) Pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa ada ke-eksklusif-an atau pembeda-bedaan dalam cara Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya. Tetapi karena mereka yang masih menjalani kehidupan awam harus memelihara keluarga, harta, dan pekerjaannya, khotbah demikian yang mengarah pada ketidakmelekatan sepenuhnya adalah tidak sesuai bagi mereka.


SUTTA 144

1307) Ini adalah suatu ungkapan untuk melakukan bunuh diri.

1308) Dengan mengucapkan pernyataan ini, ia secara tidak langsung mengaku bahwa ia adalah seorang Arahant, seperti akan dijelaskan pada §13. Apakah pengakuannya pada titik ini benar atau tidak, hal ini tidak dapat dipastikan, komentar menganggapnya sebagai suatu kasus menilai diri sendiri terlalu tinggi.

1309) MA mengatakan bahwa YM. Mahā Cunda memberikan instruksi ini kepadanya dengan berpikir bahwa ia masih seorang biasa, karena ia tidak mampu menahankan kesakitan yang mematikan itu dan ingin melakukan bunuh diri.

1310) Makna dari instruksi dapat dijelaskan dengan bantuan MA sebagai berikut: Seseorang menjadi bergantung karena keinginan dan pandangan dan menjadi tidak bergantung dengan meninggalkannya melalui tercapainya Kearahatan. Anggapan (nati, lit. kecenderungan) terjadi melalui keinginan, dan ketiadaannya berarti tidak ada kecenderungan atau keinginan terhadap kehidupan. Tidak ada datang dan pergi dicapai melalui berakhirnya kelahiran kembali dan kematian, tidak ada di sini juga tidak ada di sana juga tidak ada di antara keduanya dicapai melalui dilampauinya dunia ini, dunia berikutnya, dan jalan antara dunia ini dan dunia berikutnya. Ini adalah akhir penderitaan kekotoran dan penderitaan lingkaran.

1311) MA: Ia memotong lehernya, dan persis pada saat itu ketakutan akan kematian mendatanginya dan gambaran kelahiran kembali di masa depan muncul. Menyadari bahwa ia masih seorang awam, ia tergerak dan mengembangkan pandangan terang. Dengan memahami bentukan-bentukan, ia mencapai Kearahatan persis sebelum meninggal dunia.

1312) MA: Walaupun pernyataan (ketanpanodaan) ini diungkapkan sewaktu Channa masih menjadi seorang kaum duniawi, karena pencapaian Nibbāna akhir terjadi segera setelah itu, maka Sang Buddha menjawab dengan merujuk pernyataan itu.
   
Harus dipahami bahwa interpretasi komentar diberikan pada teks dari luar, seperti biasanya. Jika seseorang berpegang pada kata-kata dari teks, tampaknya Channa telah menjadi Arahant ketika ia memberikan pernyataan itu, suatu pukulan dramatis yang disampaikan melalui kegagalan kedua bhikkhu bersaudara itu dalam mengenali hal ini. Implikasinya, tentu saja, adalah bahwa kesakitan luar biasa dapat mendorong bahkan seorang Arahant untuk bunuh diribukan karena ketidaksenangan, melainkan hanya sekadar agar terbebas dari kesakitan yang tidak tertahankan.

1313) Kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan keluarga-keluarga awam yang menyokong Yang Mulia Channamittakulāni suhajjakulāni upavajjakulānijelas saling bersinonim. Istilah ke tiga memberikan kesempatan bagi suatu permainan kata. MA mengemasnya sebagai upasankamitabbakulāni, “keluarga-keluarga yang harus didekati” (yaitu, untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhannya). Menurut CPD, upavaja di sini mewakili Skt upavrajya; kata dalam makna ini tidak terdapat dalam PED, walaupun ini mungkin satu-satunya kemunculan kata ini yang bermakna demikian. Kata ini ber-homonim dengan kata lain yang bermakna “tercela”, mewakili Skt upavadya, dengan demikian berhubungan dengan pengakuan Channa sebelumnya bahwa ia akan bunuh diri dengan tanpa noda (anupavajja). Baca catatan berikut.

1314) Pernyataan ini tampaknya menyiratkan bahwa Channa adalah seorang Arahant pada saat ia melakukan tindakan bunuh diri, walaupun komentar menjelaskan sebaliknya.


SUTTA 145

1315) Puṇṇa ini adalah orang yang berbeda dengan Puṇṇa Mantāṇiputta dalam MN 24. Ia berasal dari keluarga pedagang yang menetap di kota pelabuhan Suppāraka di Negeri Sunāparanta (sekarang Maharashtra). Dalam suatu perjalanan dagang menuju Sāvatthī, ia mendengar Sang Buddha membabarkan khotbah dan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi seorang bhikkhu.

1316) MA menjelaskan instruksi ini sebagai ajaran singkat tentang Empat Kebenaran Mulia. Kegembiraan (nandi) adalah suatu aspek keinginan. Melalui munculnya kegembiraan sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk, maka muncullah penderitaan pada kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah pada bagian pertama dari instruksi Sang Buddha mengajarkan lingkaran kehidupan melalui dua kebenaran pertamapenderitaan dan asal-mulanyapada saat kemunculannya melalui keenam indria. Pada bagian ke dua (§4) ia mengajarkan akhir dari lingkaran melalui dua kebenaran berikutnyalenyapnya dan sang jalanyang diungkapkan sebagai ditinggalkannya kegembiraan dalam keenam indria dan objek-objeknya.

1317) Yaitu, ia meninggal dunia. Karena Sang Buddha masih menyebut Puṇṇa sebagai anggota keluarga (kulaputta), maka ia pasti meninggal dunia tidak lama setelah kembali ke Negeri Sunāparanta. Teks tidak memberikan catatan tentang bagaimana ia meninggal dunia. Versi sutta ini pada SN 35:88 (iv.60-63) mengatakan bahwa ia meninggal dunia selama masa vassa pertamanya di sana.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #106 on: 27 February 2011, 05:35:21 PM »
SUTTA 146

1318) Salah satu dari delapan peraturan penting yang ditetapkan oleh Sang Buddha ketika Beliau membentuk Sangha Bhikkhunī menetapkan bahwa setiap setengah bulan bhikkhunī harus memohon para bhikkhu untuk mengutus seorang bhikkhu dengan tujuan untuk memberikan nasihat. Menurut MA, dalam kehidupan lampaunya, YM. Nandaka adalah seorang raja dan para bhikkhunī itu adalah selir-selirnya. Ia ingin menghindar dari gilirannya memberikan nasihat kepada para bhikkhunī karena ia berpikir bahwa bhikkhu lain yang memiliki pengetahuan kehidupan lampau, yang melihatnya memberikan nasihat dikelilingi oleh para bhikkhunī, akan berpikir bahwa ia masih tidak dapat memisahkan diri dari selir-selir lampaunya itu. Tetapi Sang Buddha melihat bahwa khotbah dari Nandaka kepada para bhikkhunī itu akan bermanfaat bagi mereka dan dengan demikian, Beliau menyuruhnya memberikan instruksi kepada mereka.

1319) MA: Mereka telah melihat hal ini dengan kebijaksanaan pandangan terang.

1320) Tajjaṁ tajjaṁ paccayaṁ paṭicca tajjā tajjā vedanā uppajjanti. Pertemuan antara mata, bentuk-bentuk, dan kesadaran-mata adalah kontak-mata, dan ini adalah kondisi utama bagi munculnya perasaan yang muncul dari kontak-mata. Dengan lenyapnya mata, maka salah satu dari faktor-faktor yang bertanggung jawab atas kontak-mata dilenyapkan. Demikianlah kontak-mata lenyap, dan dengan lenyapnya kontak-mata, maka perasaan yang muncul dari kontak-mata juga lenyap.

1321) MA: Ia membabarkan ajaran tentang faktor-faktor pencerahan ini karena kebijaksanaan sendiri tidak mampu memotong kekotoran-kekotoran, tetapi hanya jika disertai dengan enam faktor pencerahan lainnya (kebijaksanaan adalah sama dengan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi).

1322) MA: Ia yang menjadi yang terakhir sehubungan dengan kualitas-kualitas baik telah menjadi seorang pemasuk-arus, tetapi mereka yang memiliki kehendak untuk menjadi yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant masing-masing mencapai pemenuhan kehendak mereka. Karena hasil ini, Sang Buddha menyatakan YM. Nandaka sebagai bhikkhu terunggul dalam hal memberikan instruksi kepada para bhikkhunī.


SUTTA 147

1323) MA mengatakan bahwa khotbah ini dibabarkan kepada Rāhula tidak lama setelah penahbisan penuhnya, mungkin pada usia dua puluh tahun. Sutta ini juga muncul pada SN 35:121/iv.105-7.

1324) Vimuttiparipācaniyā dhammā. MA menginterpretasikan ini sebagai lima belas kualitas yang memurnikan lima indria (keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan), yaitu, untuk masing-masing indria: menghindari orang-orang yang tidak memiliki indria itu, bergaul dengan orang-orang yang memiliki indria itu, merenungkan sutta-sutta yang menginspirasi kematangannya. MA membawakan kelompok lima belas kualitas yang lain: kelima indria itu sendiri, lima persepsi yang berhubungan dengan penembusan, yaitu, persepsi ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri, meninggalkan, dan kebosanan; dan lima kualitas yang diajarkan kepada Meghiya, yaitu, persahabatan mulia, dan moralitas peraturan-peraturan monastik, percakapan yang sesuai, kegigihan, dan kebijaksanaan (baca AN 9:3/iv.356; Ud 4:1/36).

1325) MA mengatakan bahwa para dewa ini, yang datang dari berbagai alam surga. Adalah teman-teman Rāhula pada kehidupan lampau di mana ia pertama kali bercita-cita untuk mencapai Kearahatan sebagai putra seorang Buddha.

1326) Harus dipahami bahwa empat hal yang disebutkan terakhir adalah empat kelompok unsur batin. Dengan demikian, khotbah ini tidak hanya mencakup landasan-landasan indria, tetapi juga kelima kelompok unsur kehidupan, kelompok unsur bentuk materi dijelaskan melalui organ indria fisik dan objek-objeknya.

1327) Menurut MA, pemasuk-arus adalah pencapaian terendah dari para dewa itu, tetapi beberapa di antara mereka mencapai jalan-jalan dan buah yang lebih tinggi hingga tingkat Kearahatan.


SUTTA 148

1328) Rangkaian sebutan ini, biasanya menggambarkan Dhamma secara keseluruhan, tetapi di sini bertujuan untuk menekankan pentingnya khotbah yang akan dibabarkan oleh Sang Buddha ini.

1329) Dua klausa terakhir dalam rangkaian ini juga terdapat dalam formula standar dari Sebab-akibat yang saling bergantungan, yang secara implisit tersirat dalam khotbah tentang enam kelompok enam ini.

1330) Kata kerja upapajjati (edisi PTS menuliskan, uppajjati, adalah suatu kesalahan), biasanya berarti “muncul kembali” atau “terlahir kembali”, tetapi juga memiliki penggunaan khusus yang secara logika berarti “dipertahankan, diterima”, seperti makna di sini.

1331) Argumentasi ini menurunkan prinsip tanpa-diri dari premis ketidakkekalan yang tahan-uji. Struktur argumentasi ini secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut: apa pun yang menjadi diri pasti adalah kekal; X secara langsung terlihat sebagai tidak kekal, yaitu, ditandai dengan timbul dan tenggelamnya; oleh karena itu, X adalah tidak kekal.

1332) Argumentasi lengkap pada paragraf sebelumnya diulangi untuk masing-masing dari kelima hal lainnya dalam tiap-tiap kelompok enam.

1333) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan dua kebenaran muliapenderitaan dan asal-mulanyamelalui tiga obsesi (gāha). Kebenaran penderitaan ditunjukkan dengan kata “identitas”, di tempat lain dijelaskan sebagai lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (MN 44.2). Ketiga obsesi adalah keinginan, keangkuhan, dan pandangan, yang berturut-turut memunculkan gagasan “milikku”, “aku”, dan “diriku”. Kedua kebenaran ini bersama-sama merupakan lingkaran kehidupan.

1334) MA: Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan kedua kebenaran mulia lainnyalenyapnya dan sang jalandengan penolakan pada ketiga obsesi. Kedua kebenaran ini merupakan akhir dari lingkaran.

1335) MA: Paragraf ini menunjukkan lingkaran kehidupan sekali lagi, kali ini melalui kecenderungan tersembunyi. Tentang kecenderungan tersembunyi dan hubungannya dengan tiga jenis perasaan, baca MN 44.25-28.

1336)  MA: Kebodohan yang disebutkan pertama adalah tidak adanya pemahaman atas asal-mula, dan seterusnya terhadap perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Penyebutan ke dua adalah kebodohan yang menjadi akar dari lingkaran.

1337) MA: Tidak ada yang luar biasa pada fakta bahwa enam puluh bhikkhu itu mencapai Kearahatan ketika Sang Buddha mengajarkan sutta ini untuk pertama kali. Tetapi setiap kali Sāriputta, Moggallāna, dan delapan puluh siswa besar lainnya mengajarkan sutta ini, enam puluh bhikkhu mencapai Kearahatan. Di Sri Lanka, Bhikkhu Maliyadeva mengajarkan sutta ini di enam puluh tempat, dan di setiap tempat enam puluh bhikkhu mencapai Kearahatan. Tetapi ketika Bhikkhu Tipiṭaka Cūḷanāga mengajarkan sutta ini kepada sekelompok besar para dewa dan manusia, di akhir khotbah ini seribu bhikkhu mencapai Kearahatan, dan di antara para dewa hanya satu yang masih tetap menjadi kaum duniawi.


SUTTA 149

1338) MA: Ketika seseorang tidak mengetahui dan tidak melihat melalui pengetahuan pandangan terang dan pengetahuan sang jalan.

1339) Yaitu, keinginan yang muncul dan berdiam pada mata dan bentuk-bentuk, dan seterusnya, menggenggamnya dengan kemelekatan, dan ini menghasilkan kamma yang dapat menghasilkan lima kelompok unsur kehidupan yang baru dalam penjelmaan mendatang.

1340) Ketika seseorang mengetahui dan melihat melalui pandangan terang dan sang jalan.

1341) Delapan faktor sang jalan disebutkan di sini tampaknya berhubungan dengan porsi awal atau duniawi dari sang jalan. MṬ mengidentifikasikannya dengan faktor-faktor yang dimiliki oleh seseorang pada pengembangan pandangan terang tingkat tertinggi, persis sebelum munculnya jalan lokuttara. Pada tingkat ini, hanya lima faktor jalan yang sebelumnya yang bekerja secara aktif, ketiga faktor dalam kelompok moralitas telah dimurnikan sebelum menjalani meditasi pandangan terang. Tetapi ketika jalan lokuttara muncul, seluruh delapan faktor muncul bersamaan, ketiga faktor dalam kelompok moralitas menjalankan fungsi untuk melenyapkan kekotoran yang bertanggung jawab atas pelanggaran moral dalam ucapan, perbuatan, dan penghidupan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #107 on: 27 February 2011, 05:51:02 PM »
1342) MA mengatakan bahwa ini merujuk pada kemunculan ketenangan dan pandangan terang secara bersamaan dalam jalan lokuttara. Ketenangan hadir dengan sebutan konsentrasi benar, pandangan terang hadir dengan sebutan pandangan benar.

1343) Ini adalah empat fungsi yang dijalankan oleh jalan lokuttara: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan penyebab penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan.

1344) Di sini, ketenangan dan pandangan terang mewakili keseluruhan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

1345) MA mengidentifikasikan “pengetahuan sejati” sebagai pengetahuan jalan Kearahatan, “kebebasan” sebagai buah Kearahatan. Di sini hal-hal ini mengambil tempat yang biasanya disediakan untuk Nibbāna, lenyapnya penderitaan yang sebenarnya.

1346) Paragraf ini dan tiap-tiap paragraf berikutnya mengulangi keseluruhan teks pada §§9-11, dengan perubahan hanya pada organ indria dan objeknya.


SUTTA 151

1347) [ ]MA: Pencapaian kekosongan dari buah Kearahatan. Baca n.458 dan n.1144.

1348) MA. Ini adalah kediaman dari manusia-manusia besar (mahāpurisa) seperti para Buddha, para paccekabuddha, dan para siswa besar Sang Tathāgata.

1349) Di antara kelima sebutan ini, keinginan dan nafsu adalah bersinonim seperti halnya kebencian dan ketidaksenangan.

1350) Dimulai dari bagian ini dapat terlihat urutan pengembangan. Ditinggalkannya kelima utas kenikmatan indria adalah langkah awal untuk mengembangkan jhāna-jhāna, dan ditinggalkannya kelima rintangan (§10) adalah langkah persis sebelum tercapainya jhāna pertama. Pemahaman sepenuhnya pada kelima kelompok unsur kehidupan (§11) menunjukkan kebijaksanaan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan memasuki-arus, dan bagian tentang tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (§12-18) adalah pelatihan faktor-faktor yang diperlukan untuk sampai pada tingkatan-tingkatan kesucian menengah. Bagian tentang ketenangan dan pandangan terang (§19), walaupun berlaku pada semua tingkatan, namun dapat dilihat sebagai sepenuhnya dilaksanakan oleh yang-tidak-kembali yang berusaha untuk mencapai Kearahatan. Akhirnya, bagian pengetahuan sejati dan kebebasan menyiratkan pencapaian jalan dan buah Kearahatan.

1351) Walaupun Arahant, yang sepenuhnya telah menembus pengetahuan sejati dan kebebasan, tidak lagi memerlukan latihan lebih lanjut, namun ia terus-menerus melatih ketenangan dan pandangan terang untuk memasuki kebahagiaan jhāna-jhāna, buah pencapaian Kearahatan, dan lenyapnya persepsi dan perasaan.


SUTTA 152

1352) Ungkapan “pengembangan indria-indria” (indriyabhāvanā) dengan tepat menyiratkan pengembangan pikiran dalam menanggapi objek-objek yang dialami melalui organ-organ indria. Aspek yang lebih rendah dari praktik ini, pengendalian organ-organ indria (indriyasaṁvara), melibatkan pengendalian pikiran sedemikian sehingga seseorang tidak menggenggam “gambaran dan ciri-ciri” dari segala sesuatu, sifat-sifat kemenarikan dan kejijikannya.

Pengembangan indria-indria membawa proses pengendalian ini hingga ke titik di mana, dengan berkehendak, seseorang dapat seketika menegakkan pandangan terang bahkan dalam tahap persepsi indria. Pada tingkat tertinggi, seseorang memperoleh kemampuan untuk secara drastis mengubah makna subjektif dari objek yang dipersepsikan itu sendiri, membuatnya tampak berlawanan dengan apa yang biasanya dipahami.

1353) MA menjelaskan bahwa ketika suatu bentuk yang menyenangkan memasuki jangkauan mata, maka suatu kondisi yang menyenangkan (manāpa) muncul; ketika suatu bentuk yang tidak menyenangkan memasuki jangkauan mata, maka suatu kondisi yang tidak menyenangkan (amanāpa) muncul; dan ketika suatu bentuk yang netral memasuki jangkauan mata, maka suatu kondisi yang baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan muncul. Harus dipahami bahwa walaupun istilah-istilah ini biasanya digunakan untuk menilai objek indria, namun di sini tampaknya juga menyiratkan kondisi-kondisi halus suka, tidak suka, dan kebodohan yang tidak membeda-bedakan yang muncul karena pengaruh kecenderungan tersembunyi. MṬ mengartikan “menyenangkan” sebagai kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat yang berhubungan dengan kegembiraan, “tidak menyenangkan” sebagai kondisi-kondisi pikiran tidak bermanfaat yang berhubungan dengan kesedihan (ketidaksenangan), dan “menyenangkan dan tidak menyenangkan” sebagai kondisi pikiran yang berhubungan dengan perasaan netral.

1354) MA: Keseimbangan ini adalah keseimbangan pandangan terang (vipassan’upekkhā). Bhikkhu itu tidak membiarkan pikirannya dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan, melainkan memahami objek dan menegakkan pandangan terang dalam kondisi netral. MṬ menjelaskan hal ini sebagai bermakna bahwa ia memasuki keseimbangan sehubungan dengan bentukan-bentukan (sankhār’upekkhā), suatu tingkatan tertentu dalam pengetahuan pandangan terang (baca Vsm XII, 61-66).

1355) MṬ: Pengembangan indria-indria yang mulia adalah menekan nafsu, dan seterusnya yang muncul melalui mata, dan menegakkan keseimbangan pandangan terang.

1356) Perumpamaan yang sama terdapat pada MN 66.16.

1357) Walaupun sekha telah memasuki jalan menuju kebebasan akhir, namun ia masih rentan terhadap kondisi-kondisi suka, tidak suka, dan kebodohan yang tidak membeda-bedakan sehubungan dengan objek-objek indria. Akan tetapi, ia mengalami hal-hal ini sebagai rintangan bagi kemajuannya, dan dengan demikian menjadi muak, malu, dan jijik karenanya.

1358) Ariya bhāvitindriya: maksudnya adalah Arahant.

1359) Karena Arahant telah melenyapkan seluruh kekotoran bersama dengan kecenderungan tersembunyinya, dalam paragraf ini ketiga istilahmenyenangkan, dan seterusnyaharus dipahami hanya sebagai perasaan yang muncul melalui kontak dengan objek-objek indria, dan bukan sebagai jejak halus suka, tidak suka, dan netral yang berhubungan dengan paragraf sebelumnya.

1360) Paṭisambhidāmagga menyebut praktik ini sebagai “kekuatan batin mulia” (ariya iddhi) dan menjelaskannya sebagai berikut (ii.212): Untuk berdiam dengan memersepsikan ketidakjijikan dalam kejijikan, seseorang meliputi suatu objek menjijikkan dengan cinta kasih, atau ia memperhatikan suatu objek menjijikkan (apakah makhluk hidup atau benda mati) sebagai hanya sekadar kumpulan unsur-unsur tanpa pribadi. Untuk berdiam dengan memersepsikan kejijikan dalam ketidakjijikan, seseorang meliputi seseorang yang menarik (secara indria) dengan gagasan kebusukan jasmani, atau ia memperhatikan suatu objek yang menarik (apakah makhluk hidup atau benda mati) sebagai tidak kekal. Metode ke tiga dan ke empat melibatkan penerapan perenungan pertama dan ke dua pada objek-objek yang menjijikkan dan tidak-menjijikkan, tanpa membeda-bedakan. Metode ke lima adalah menghindari kegembiraan dan kesedihan sebagai reaksi atas keenam objek indria, dengan demikian memungkinkan seseorang berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan.

Walaupun lima perenungan ini hanya dimiliki oleh Arahant sebagai suatu kekuatan yang sepenuhnya dikendalikan olehnya, namun di tempat lain Sang Buddha mengajarkannya kepada para bhikkhu yang masih berlatih sebagai cara untuk mengatasi tiga akar tidak bermanfaat. Baca AN 5:144/iii.169-70; dan untuk komentar mendalam tentang sutta ini, baca Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil, pp.73-78.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~