//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua  (Read 40129 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
82 Ratthapala Sutta
« Reply #45 on: 12 September 2010, 10:48:06 AM »
82 Raṭṭhapāla Sutta
Tentang Raṭṭhapala

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Kusu bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di suatu pemukiman Kuru bernama Thullakoṭṭhita.

2. Para brahmana perumah tangga di Thullakoṭṭhita mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kuru [55] bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Thullakoṭṭhita. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang  telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Thullakoṭṭhita pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma.

4. Pada saat itu seorang anggota keluarga bernama Raṭṭhapāla, putera seorang kepala suku di Thullakoṭṭhita itu, sedang duduk di tengah-tengah pertemuan itu.  Kemudian ia berpikir: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kedunaiwian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

5. Kemudian para brahmana perumah tangga Thullakoṭṭhita, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau. Mereka bangkit dari duduk [56], dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

6. Segera setelah mereka pergi, Raṭṭhapāla mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepemuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Yang Mulia, aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kedunaiwian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

“Apakah engkau telah diizinkan oleh orangtuamu, Raṭṭhapāla, untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

“Belum, Yang Mulia, aku belum diizinkan oleh orangtuaku.”

“Raṭṭhapāla, Tathāgata tidak memberikan pelepasan keduniawian kepada siapa pun yang belum mendapatkan izin orangtuanya.”

7. Kemudian Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Ia menghadap orangtuanya dan memberitahu mereka: “Ibu dan ayah, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepemuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Ketika ia mengatakan hal ini, orangtuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, anakku Raṭṭhapāla.  [57] Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya anggota keluarga Raṭṭhapāla berkata kepada orangtuanya: “Ibu dan ayah … izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orangtuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Kemudian, karena tidak menerima izin dari orangtuanya untuk meninggalkan keduniawian, anggota keluarga Raṭṭhapāla berbaring di lantai, dan berkata: “Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.” [58]

8. Kemudian orangtua Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, anakku Raṭṭhapāla. Bangunlah, anakku Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Kami tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orangtuanya berkata kepadanya: ‘Anakku Raṭṭhapāla … jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Untuk ke tiga kalinya, Raṭṭhapāla berdiam diri.

9. Kemudian orangtua Raṭṭhapāla mendatangi teman-temannya dan berkata: “Anak-anak, Raṭṭhāpala berbaring di lantai, setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.’ Marilah, anak-anak, datangilah Raṭṭhapāla dan katakan kepadanya: ‘Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putera tunggal orangtuamu … Bangunlah, teman Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu … [59] bagaimana mungkin orangtuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

10. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putera tunggal orangtuamu, yang disayangi dam dicintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Sahabat Raṭṭhapāla. Bangunlah, Sahabat Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Orangtuamu tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, mereka tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya teman-temannya berkata kepadanya: “Teman Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Untuk ke tiga kalinya Raṭṭhapāla berdiam diri.

11. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatang orangtuanya dan berkata kepada mereka: “Ibu dan ayah, Raṭṭhāpala berbaring di lantai, setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau [60] menerima pelepasan keduniawian.’ Sekarang jika kalian tidak mengizinkannya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, ia akan mati di sana. tetapi jika kalian mengizinkannya, kalian akan melihatnya lagi setelah ia meninggalkan keduniawian. Dan jika ia tidak menikmati pelepasan keduniawian, apa lagi yang dapat ia lakukan selain kembali ke sini? Jadi izinkanlah ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Kalau begitu, anak-anak, kami mengizinkan Raṭṭhapāla meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika ia telah meninggalkan keduniawian, ia harus mengunjungi orangtuanya.”

Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Bangun, teman Raṭṭhapāla. Orangtuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika engkau telah meninggalkan keduniawian, engkau harus mengunjungi orangtuamu.”

12. Kemudian Raṭṭhapāla bangun, dan ketika ia telah memulihkan kekuatannya, ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, aku telah mendapatkan izin dari orangtuaku untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sudilah Sang Bhagavā memberikan pelepasan keduniawian kepadaku.” Kemudian Raṭṭhapāla menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh.

13. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā, setelah menetap di Thullakoṭṭhita selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī, dan di sana [61] Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

14. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Raṭṭhapāla, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.  Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Raṭṭhapāla menjadi salah satu di antara para Arahant.

15. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, aku ingin mengunjungi orangtuaku, jika Sang Bhagavā mengizinkan.”

Kemudian Sang Bhagavā dengan pikiranNya menembus pikiran Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ketika Beliau mengetahui bahwa Raṭṭhapāla tidak mungkin lagi meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah, Beliau berkata: “Engkau boleh pergi, Raṭṭhapāla.”

16.  Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubahnya, ia pergi menuju Thullakoṭṭhita. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di Thullakoṭṭhita. Di sana ia menetap di Thullakoṭṭhita di Kebun Migācira Raja Koravya. Kemudian, pada pagi harinya, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Thullakoṭṭhita untuk menerima dana makanan. Ketika berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Thullakoṭṭhita, ia sampai di rumah ayahnya sendiri.

17. Pada saat itu ayah dari Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang duduk di aula di pintu tengah setelah merapikan rambutnya. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Raṭṭhapāla, ia berkata: “Putera tunggal kami, yang kami sayangi dan cintai, telah meninggalkan keduniawian gara-gara para petapa gundul ini.” [62] Kemudian di rumah ayahnya sendiri Yang Mulia Raṭṭhapāla tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus; melainkan ia menerima hinaan.

18. Kemudian seorang budak perempuan milik salah satu sanak saudaranya sedang membuang bubur basi. Melihat hal ini, Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Saudari, jika makanan itu hendak dibuang, buanglah ke dalam mangkukku ini.”

Ketika ia melakukan hal itu, ia mengenali ciri-ciri tangan, kaki, dan suaranya. Kemudian ia mendatangi sang ibu dan berkata: “Untuk engkau ketahui, Nyonya, bahwa putera majikanku, Raṭṭhapāla, telah datang.”

“Astaga! Jika apa yang engkau katakan benar, maka engkau tidak akan menjadi budak lagi!”

Kemudian ibu Yang Mulia Raṭṭhapāla mendatangi sang ayah dan berkata: Untuk engkau ketahui, perumah tangga, bahwa sang anggota keluarga, Raṭṭhapāla, telah datang.”

19. Saat itu Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang memakan bubur basi di dekat tembok di suatu tempat berteduh. Ayahnya mendatanginya dan berkata: “Raṭṭhapāla, anakku, tentu saja ada … dan engkau memakan bubur basi!  Apakah itu bukan rumahmu untuk engkau kunjungi?”

“Bagaimana mungkin kami memiliki rumah, perumah tangga, jika kami telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah? Kami tidak memiliki rumah, perumah tangga. Kami mendatangi [63] rumahmu, namun kami tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus di sana; sebaliknya kami hanya menerima hinaan.”

“Marilah, anakku Raṭṭhapāla,  mari masuk ke rumah.”

“Cukup, perumah tangga, aku sudah selesai makan hari ini.”

“Kalau begitu, anakku Raṭṭhapāla, sudilah menerima makanan besok.” Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima dengan berdiam diri.

20. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Yang Mulia Raṭṭhapāla telah menerima, ayahnya pulang ke rumahnya di mana ia meletakkan uang-uang emas dan perak dalam tumpukan besar dan menutupinya dengan kain. Kemudian ia menyuruh para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Kemarilah, menantu, hiaslah dirimu dengan perhiasan-perhiasan agar Raṭṭhapāla melihatmu sangat cantik dan menarik.”

21. Ketika malam telah berlalu, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla mempersiapkan berbagai jenis makanan di rumahnya dan mengumumkan waktunya kepada Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Sudah waktunya, anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

22. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Raṭṭhapāla merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi ke rumah ayahnya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian ayahnya membuka tumpukan uang emas dan perak itu dan berkata: “Anakku Raṭṭhapāla, ini adalah kekayaan dari pihak ibumu; kekayaan dari pihak ayahmu adalah tumpukan yang lain dan kekayaan leluhurnya adalah tumpukan yang lain lagi. Anakku Raṭṭhapāla, engkau dapat menikmati kekayaan dan melakukan perbuatan baik. Marilah, anakku, [64] tinggalkanlah latihan dan kembalilah ke kehidupan rendah, nikmatilah kekayaan dan melakukan perbuatan baik.”

“Perumah tangga, jika engkau sudi menuruti nasihatku, maka muatlah tumpukan uang emas dan perak ini dalam kereta dan bawalah untuk dibuang di tengah arus sungai Gangga. Mengapakah? Karena, perumah tangga, karena benda-benda ini akan muncul padamu dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan.”

23. Kemudian para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla memeluk kakinya dan berkata kepadanya: “Bagaimanakah rupa mereka, putera junjunganku, para bidadari yang karena mereka engkau menjalani kehidupan suci?”

“Kami tidak menjalani kehidupan suci demi bidadari, Saudari-saudari.”

“Putera junjungan kami, Raṭṭhapāla, memanggil kami ‘saudari-saudari,’” Mereka menangis dan jatuh pingsan di sana.

24. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepada ayahnya: “Perumah tangga, jika ada makanan yang hendak diberikan, maka berikanlah. Jangan menyusahkan kami.”

“Makanlah, anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

Kemudian, dengan tangannya sendiri, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla melayaninya dengan berbagai makanan baik. Ketika Yang Mulia Raṭṭhapāla telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke sampung, ia berdiri dan mengucapkan syair ini:

25.    “Lihatlah sebuah boneka di sini didandani,
   Sebuah tubuh yang dibangun dari luka,
   Sakit, suatu obyek keprihatinan,
   Di mana tidak ada kestabilan di dalamnya.

   Lihatlah sesosok patung di sini didandani
   Dengan perhiasan dan anting-anting juga,
   Kerangka tulang-belulang yang dibungkus kulit,
   Dibuat menarik oleh pakaiannya.

   Kakinya dihias dengan warna kemerahan
   Dan bedak ditaburkan di wajahnya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang. [65]

   Rambutnya dihias dalam delapan kepangan
   Dan salep dioleskan di matanya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Tubuh kotor yang dihias indah
   Bagaikan kendi salep yang baru dicat:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Pemburu rusa memasang perangkap
   Tetapi sang rusa tidak terjebak;
   Kami memakan umpan dan sekarang pergi
   Meninggalkan di pemburu yang meratap.”

--------------
Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 11:57:47 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
82 Ratthapala Sutta (Lanjutan)
« Reply #46 on: 12 September 2010, 10:53:26 AM »
Lanjutan 82 Ratthapala Sutta
--------------------------------

26. Setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla berdiri dan mengucapkan syair ini, ia pergi ke kebun Migācira Raja Koravya dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

27. Kemudian Raja Koravya berkata kepada penjaga kebun sebagai berikut: “Penjaga kebun, bersihkan Kebun Migācira agar kami dapat pergi ke kebun rekreasi untuk melihat tempat yang menyenangkan.” – “Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika ia sedang membersihkan Kebun Migācira, si penjaga kebun melihat Yang Mulia Raṭṭhapāla duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika ia melihatnya, ia mendatangi Raja Koravya dan memberitahunya: “Baginda, Kebun Migācira telah dibersihkan. Raṭṭhapāla ada di sana, putera seorang kepala suku terkemuka di Thullakoṭṭhita ini, yang sering engkau puji,  ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

“Kalau begitu, penjaga kebun, cukuplah dengan kebun rekreasi untuk hari ini. Sekarang kami akan pergi memberi penghormatan kepada Guru Raṭṭhapāla itu.”

28. Kemudian, dengan berkata: “Bagikanlah semua makanan yang telah dipersiapkan di sana,” Raja Koravya mempersiapkan sejumlah kereta, dan mengendarai salah satunya, dengan disertai oleh banyak kereta, ia pergi keluar dari Thullakjoṭṭhita dengan kemegahan penuh seorang raja untuk menemui Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki bersama dengan para menterinya menuju tempat di mana Yang Mulia Raṭṭhapāla berada. [66] Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Raṭṭhapāla, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Ini adalah permadani kulit gajah. Silahkan Guru Raṭṭhapāla duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda. Duduklah, aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

Raja Koravya duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata:

29. “Guru Raṭṭhapāla, ada empat jenis kehilangan. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini? Yaitu kehilangan karena penuaan, kehilangan karena penyakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara.

30. “Dan apakah kehilangan karena penuaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau untuk menambah kekayaan yang telah diperoleh. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penuaan itu, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penuaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apapun karena penuaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

31. “Dan apakah kehilangan karena penyakit? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi sakit, menderita, dan sakit parah. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sakit, menderita, dan sakit parah. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [67] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penyakit itu … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penyakit. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini bebas dari penyakit dan kesakitan; ia memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apapun karena penyakit. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

32. “Dan apakah kehilangan kekayaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang yang kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaannya menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: “Sebelumnya aku kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaanku menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan kekayaan … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan kekayaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan kekayaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

33. “Dan apakah kehilangan sanak saudara? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: “Sebelumnya aku memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [68] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan sanak saudara … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan sanak saudara. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan sanak saudara mana pun. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

34. “Guru Raṭṭhapāla, ini adalah empat jenis kehilanagn itu. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami salah satu dari empat ini. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

35. “Baginda, ada empat ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini?

36. (1) “’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’:  ini adalah ringkasan pertama dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

(2) “’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung’:  ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(3) “’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’:  ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(4) “’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan’:  ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

37. “Baginda, ini adalah ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. [69] Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

38. “Guru Raṭṭhapāla berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Ketika engkau berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, apakah engkau adalah seorang penunggang gajah yang mahir, seorang penunggang kuda yang mahir? Seorang kusir kereta yang mahir? Seorang pemanah mahir, seorang pemain pedang yang mahir, dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur?”

“Ketika aku berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, Guru Raṭṭhapāla aku adalah seorang penunggang gajah yang mahir …dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur. Bahkan kadang-kadang aku berpikir bahwa aku memiliki kekuatan super. Aku tidak melihat seorang pun yang dapat menyamaiku dalam hal kekuatan.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau sekarang memiliki tangan dan kaki yang sama kuatnya, sama kekarnya dan sama mampunya untuk bertempur?”

“Tidak, Guru Raṭṭhapāḷa. sekarang aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan; umurku sudah delapan puluh tahun. Kadang-kadang aku bermaksud meletakkan kakiku di sini namun aku meletakkannya di tempat lain.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

39. “Guru Ratthapāla, ada di kerajaan ini pasukan gajah dan pasukan berkuda, pasukan kereta dan pasukan pejalan kaki, yang akan mengatasi segala ancaman pada kita. [70] Sekarang Guru Ratthapāla berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau memiliki penyakit kronis?”

“Aku memiliki penyakit masuk angin kronis, Guru Raṭṭhapāla. Kadang-kadang teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, berdiri di sekelilingku, berpikir: “Sekarang Raja Koravya akan mati, sekarang Raja Koravya akan mati!’”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Dapatkah engkau memerintahkan teman-teman dan sahabatmu, sanak saudara dan kerabatmu: ‘Marilah, teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, semua kalian yang hadir di sini ambillah sebagian perasaan sakit ini agar perasaan sakit ini menjadi berkurang’? Atau apakah engkau harus merasakan sakit itu sendiri?”

“Aku tidak dapat memerintahkan teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku demikian, Guru Raṭṭhapāla. Aku harus merasakan sakit itu sendiri.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

40. “Guru Raṭṭhapāla, ada di kerajaan ini uang-uang emas dan perak yang berlimpah yang tersimpan dalam gudang-gudang harta dan lumbung-lumbung. Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Engkau sekarang [71] menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria, tetapi apakah engkau dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang: ‘Semoga aku dapat menikmati dan memiliki kelima utas kenikmatan indria yang sama ini’? atau apakah orang lain akan mengambil-alih harta ini, sementara engkau harus berlanjut sesuai dengan perbuatanmu?”

“Aku tidak dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang, Guru Raṭṭhapāla. Sebaliknya, orang lain akan mengambil-alih harta ini sementara aku harus berlanjut sesuai dengan perbuatanku.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

41. “Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menguasai negeri Kuru yang kaya ini?”

“Benar, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari timur dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari timur, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya, berpenduduk padat dan ramai oleh orang-orang. Terdapat banyak pasukan gajah di sana, banyak pasukan berkuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kaki; ada banyak gading di sana, dan banyak uang-uang emas dan perak baik yang telah diolah maupun belum diolah, dan banyak perempuan untuk dijadikan istri. Dengan kekuatanmu yang sekarang engkau dapat menaklukkannya. Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?” [72]

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari barat … dari utara … dari selatan … dari seberang samudera dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari seberang samudera, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya … Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?”

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: ’[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

42. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Raṭṭhapāla. Dan setelah mengatakan hal itu ia berkata lebih lanjut:

   “Aku melihat orang-orang kaya di dunia ini, yang masih
   Karena kebodohan tidak memberikan harta yang mereka kumpulkan.
   Dengan serakah mereka menimbun kekayaan mereka
   Masih menginginkan kenikmatan indria yang lebih jauh lagi.

   Seorang raja yang telah menaklukkan bumi ini secara paksa
   Dan menguasai negeri yang dibatasi oleh samudera
   Namun masih tidak puas dengan pantai sebelah sini
   Dan lapar akan pantai seberang juga. [73]

   Sebagian besar orang juga, bukan hanya seorang raja,
   Menemui kematian dengan keinginan tidak mereda;
[Dengan rencana-rencana] yang masih belum terlaksana mereka meninggalkan jasad
Keinginan masih tetap tidak terpuaskan di dunia ini.

Sanak saudaranya meratap dan menjambak rambut mereka,
Menangis, ‘Ah aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
Mereka membawa jasad yang terbungkus kain pembungkus mayat
Untuk meletakkannya di atas tumpukan kayu bakar dan membakarnya disana.

Dengan Berpakaian kain pembungkus mayat, ia meninggalkan harta kekayaannya.
Didorong dengan tongkat kayu ia terbakar [di atas tumpukan kayu bakar]
Dan ketika ia mati, tidak ada sanak saudara atau teman-teman
Yang dapat memberikannya naungan dan perlindungan di sini.

Sementara keturunannya mengambil alih harta kekayaannya, makhluk ini
Harus berlanjut sesuai dengan perbuatannya;
Dan ketika ia mati tak seorangpun yang dapat mengikutinya;
Tidak anak atau istri atau harta kekayaan atau pun kerajaan.

Usia panjang tidak diperoleh melalui harta kekayaan
Juga kemakmuran tidak dapat menghalau usia tua;
Hidup ini singkat, seperti yang dikatakan oleh semua orang bijaksana,
Tidak mengenal keabadian, hanya perubahan.

Yang kaya dan yang miskin sama-sama akan merasakan sentuhan [Kematian],
Yang dungu dan yang bijaksana juga akan merasakannya;
Tetapi sementara si dungu terbentur oleh kedunguannya,
si bijaksana tidak gemetar akan sentuhannya.

Kebijaksanaan adalah lebih baik di sini daripada harta kekayaan,
Karena dengan kebijaksanaan seseorang mencapai tujuan akhir.
Karena orang-orang melalui kebodohan melakukan perbuatan-perbuatan jahat
Sementara gagal mencapai tujuan dalam kehidupan demi kehidupan.

Ketika seseorang memasuki rahim dan alam berikutnya,
Memperbarui lingkaran kelahiran berikutnya,
Yang lain dengan sedikit kebijaksanaan, karena mempercayainya,
Juga memasuki rahim dan alam berikutnya. [74]

Bagaikan seorang perampok yang tertangkap dalam perampokan
Mengalami penderitaan karena perbuatan jahatnya,
Demikian pula orang-orang setelah kematian, di alam berikutnya,
Mengalami penderitaan karena perbuatan-perbuatan jahatnya.

Kenikmatan indria, bervariasi, manis, menyenangkan,
Dalam berbagai cara mengganggu pikiran:
Melihat bahaya dalam ikatan indria ini
Aku memilih menjalani kehidupan tanpa rumah, O Baginda.

Bagaikan buah yang jatuh dari pohonnya, demian pula orang-orang,
Baik muda maupun tua, jatuh ketika jasmani ini hancur.
Melihat hal ini juga, O Baginda, aku meninggalkan keduniawian:
Kehidupan pertapaan adalah jaminan yang lebih baik.”
« Last Edit: 21 September 2010, 11:59:08 AM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
83 Makhadeva Sutta
« Reply #47 on: 12 September 2010, 10:56:15 AM »
83  Makhādeva Sutta
Raja Makhādeva

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Mithilā di Hutan Mangga Makhādeva.

2. Kemudian di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyun? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini hiduplah seorang raja bernama Makhādeva. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma.  Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha [75] di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

4. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: ‘Tukang cukur yang baik, jika engkau melihat ada uban yang tumbuh di kepalaku, beritahukanlah kepadaku.’ – ‘Baik, Baginda,’ ia menjawab. Dan setelah banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, si tukang cukur melihat uban yang tumbuh di kepala Raja Makhādeva.  Ketika ia melihatnya, ia berkata kepada raja: ‘Utusan surgawi telah muncul, Baginda; uban telah terlihat tumbuh di kepala Baginda.’ – ‘Kalau begitu, tukang cukur yang baik, cabutlah uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan letakkan di telapak tanganku.’ – ‘Baik, Baginda,’ Ia menjawab, dan ia mencabut uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan letakkan di telapak tangan raja.

“Kemudian Raja Makhādeva menganugerahkan sebuah desa kepada tukang cukurnya, dan setelah memanggil pangeran, putera sulungnya, ia berkata: ‘Anakku Pangeran, utusan surgawi telah muncul,  uban telah terlihat tumbuh di kepalaku. Aku telah menikmati kenikmatan indria manusia, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan indria surgawi. Marilah, anakku Pangeran, ambil-alihlah tahta ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan sekarang, anakku Pangeran, ketika engkau juga melihat uban tumbuh di kepalamu, maka setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurmu, dan setelah dengan saksama memberikan instruksi kepada pangeran, putera sulungmu, dalam ketahtaan, cukurlah rambut dan janggutmu, kenakan jubah kuning, dan tinggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan jalani kehidupan tanpa rumah. Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir. Anakku Pangeran, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik ini – ia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, anakku Pangeran, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.’

5. “Kemudian, setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurnya dan dengan saksama memberikan instruksi kepada Sang Pangeran, putera sulungnya, dalam ketahtaan, di dalam Hutan Mangga Makhādeva ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

6. “Selama delapan puluh empat ribu tahun Raja Makhādeva memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun ia bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun ia memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun ia menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.


7-9. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putera Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “putera Raja Makhādeva” pada seluruh bagian) … [77, 78] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

10. “Keturunan putera Raja Makhādeva hingga berjumlah delapan puluh empat ribu berturut-turut, setelah mencukur rambut dan janggut mereka dan mengenakan jubah kuning, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di Hutan Mangga Makhādeva. Mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih ... penuh belas kasihan ... kegembiraan altruistik ... penuh keseimbangan ... tanpa niat buruk.

11. “Selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka terlahir kembali di alam Brahma.

12. “Nimi adalah yang terakhir dari raja-raja itu. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

13. “Suatu ketika, Ānanda, ketika para dewa Tiga-Puluh-Tiga [79] mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: ‘Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Videha bahwa raja mereka Raja Nimi adalah seorang raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamm. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

“Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada para dewa Tiga-Puluh-Tiga: ‘Tuan-tuan, apakah kalian ingin bertemu dengan Raja Nimi?’ – ‘Tuan, kami ingin bertemu dengan Raja Nimi.’

“Pada saat itu, bertepatan pada hari Uposatha hari ke lima belas, Raja Nimi setelah mencuci kepalanya dan naik ke kamar atas di istananya, di mana ia duduk untuk menjalankan Uposatha. Kemudian, secepat seorang kuat merenungkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari antara para dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di hadapan Raja Nimi. Ia berkata: ‘Suatu keuntungan bagimu, Baginda, suatu keuntungan besar bagimu, Baginda. Ketika para dewa Tiga Puluh Tiga mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: “Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.” Baginda, para dewa ingin bertemu denganmu. Aku akan mengirimkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni untukmu, Baginda. Baginda, naiklah ke kereta surgawi itu tanpa merasa takut.”

“Raja Nimi menerima dengan berdiam diri. Kemudian, secepat seorang kuat merenungkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari hadapan Raja Nimi adn muncul di antara para dewa Tiga-Puluh-Tiga.

14.  “Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada si kusir, Mātali, sebagai berikut: ‘Pergilah, Mātali, siapkan sebuah kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, dan datangi Raja Nimi dan katakan: “Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini [80] tanpa merasa takut.”’

“’Baik, Yang Mulia,” si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, ia mendatangi Raja Nimi dan berkata: ‘Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini tanpa merasa takut. Tetapi, Baginda, melalui jalan manakah aku harus mengantar engkau: melalui jalan di mana para pelaku kejahatan mengalami akibat perbuatan jahat mereka, atau melalui jalan di mana para pelaku kebaikan mengalami akibat perbuatan baik mereka?’ – ‘Antarkan aku melalui kedua jalan itu, Mātali.”

15. “Mātali mengantarkan Raja Nimi menuju Aula Sudhamma. Dari kejauhan, Sakka, penguasa para dewa, melihat kedatangan Raja Nimi dan berkata kepadanya: ‘Silahkan masuk, Baginda! Selamat datang, Baginda! Para dewa Tiga Puluh Tiga, Baginda, yang duduk di Aula Sudhamma, telah mengatakan di antara mereka sendiri sebagai berikut: “Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.’ Baginda, para Dewa Tiga Puluh Tiga ingin bertemu denganmu. Baginda, nikmatilah kekuasaan surgawi di antara para dewa.’

“’Cukup, Tuan. Mohon sang kusir mengantarkan aku kembali ke Mithilā. Di sana aku akan berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana aku akan menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

16. “Kemudian Sakka, penguasa para dewa, menyuruh si kusir Mātali: “Pergilah, Mātali, siapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni dan antarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā.”

“Baik, Yang Mulia,” si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni, ia mengantarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā. Dan di sana, sungguh, Raja Nimi berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana [81] ia menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

17.19. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putera Raja Nimi berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “Raja Nimi” pada seluruh bagian) … [82] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

20. “Sekarang Raja Nimi memiliki seorang putera bernaam Kaḷārajanaka. Ia tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan tidak menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia memutuskan praktik yang baik itu. Ia adalah orang terakhir di antara mereka.

21. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah Raja Makhādeva pada saat itu yang memulai praktik yang baik itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah Raja Makhādeva pada saat itu. Aku memulai praktik yang baik itu dan generasi-generasi berikutnya melanjutkan praktik yang baik yang dimulai olehKu itu. Tetapi jenis praktik baik demikian tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna, melainkan hanya kemunculan kembali di alam-Brahma. Tetapi ada jenis praktik baik yang dimulai olehKu saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, penuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna. Dan apakah praktik baik itu? Adalah, Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, [83] usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah praktik baik yang dimulai olehKu saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, penuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna.

“Ānanda, Aku katakan kepadamu: lanjutkanlah praktik baik yang dimulai olehKu ini dan jangan menjadi orang terakhir. Ānanda, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik ini – ia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, Ānanda, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:01:42 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
84 Madhura Sutta
« Reply #48 on: 13 September 2010, 09:25:35 PM »
84  Madhurā Sutta
Di Madhurā

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Kaccāna sedang menetap di Madhurā di Hutan Gundā.

2. Raja Avantiputta dari Madhurā mendengar: “Petapa Kaccāna sedang menetap di Madhurā di Hutan Gundā. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Kaccāna telah menyebar sebagai berikut: ‘Ia bijaksana, cerdas, cerdik, terpelajar, pandai berbicara, dan tajam; ia sudah tua dan ia adalah seorang Arahant. Adalah baik sekali menemui Arahant demikian.’”

3. Kemudian Raja Avantiputta dari Madhurā mempersiapkan sejumlah kereta kerajaan, dan dengan mengendarai salah satunya, ia pergi keluar dari Madhurā dengan kemegahan kerajaan untuk menemui Yang Mulia Mahā Kaccāna. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju tempat Yang Mulia Mahā Kaccāna. [84] Ia saling bertukar sapa dengannya, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

4. “Guru Kaccāna, para brahmana berkata sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta dengan kulit paling cerah, kasta lainnya berkulit gelap; hanya para brahmana yang murni, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan putera-putera Brahmā, keturunan Brahmā, terlahir dari mulut Brahmā, terlahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Bagaimana menurut Guru Kaccāna mengenai hal ini?”

5. “Itu hanyalah kepercayaan di dunia ini, Baginda, bahwa ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi … pewaris Brahmā.’ Dan ada suatu cara untuk memahami bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini.

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang mulia makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para mulia yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang beruaha menyenangkannnya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para brahmana, para pedagang, dan para pekerja yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang brahmana makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para brahmana yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang beruaha menyenangkannnya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para pedagang, para pekerja, dan para mulia [85] yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang pedagang makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para pedagang yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang beruaha menyenangkannnya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para pekerja, para mulia, dan para brahmana yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika seorang pekerja makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para pekerja yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang beruaha menyenangkannnya dan berkata-kata manis dengannya, dan adakah para mulia, para brahmana, dan para pedagang yang akan melakukan hal serupa?”

“Pasti ada, Guru Kaccāna.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [86]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

6. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang mulia demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja demikian, Guru Kaccāna, maka ia akan [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [87]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

6. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gossip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang mulia demikian, Guru Kaccāna, ia akan [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga, atau sebaliknya, atau bagaimanakah menurutmu mengenai hal ini?”

“Jika seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja demikian, Guru Kaccāna, ia akan [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Demikianlah menurutku mengenai hal ini, dan demikianlah yang kudengar dari para Arahant.”

“Bagus, bagus, Baginda! Apa yang engkau pikirkan adalah benar, Baginda, dan apa yang telah engkau dengar dari para Arahant adalah benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?” [88]

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

8. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, atau menggoda istri orang lain, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apapun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apapun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang mulia, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja … mendobrak masuk ke rumah ... atau menggoda istri orang lain, dan jika orang-orangmu menangkapnya dan membawanya ke hadapanmu, dengan berkata: ‘Baginda, ini adalah penjahat itu; perintahkanlah hukuman apapun terhadapnya yang engkau kehendaki.’ Bagaimanakah engkau akan memperlakukannya?”

“Kami akan mengeksekusinya, Guru Kaccāna, atau kami akan menjatuhkan denda kepadanya, atau kami akan mengusirnya, atau kami akan melakukan apapun yang layak ia terima. Mengapakah? Karena ia telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja, dan hanya dikenal sebagai seorang perampok.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini. [89]

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang mulia, setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari ucapan salah. Menghindari makan di malam hari, ia hanya makan pada satu bagian siang hari, dan menjalani hidup selibat, bermoral, berkarakter baik. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena is telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang mulia, dan hanya dikenal sebagai seorang petapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang brahmana … seorang pedagang … seorang pekerja, setelah mencukur rambut dan janggutnya … dan menjalani hidup selibat, bermoral, berkarakter baik. Bagaimanakah engkau memperlakukannya?

“Kami akan menghormatinya, Guru Kaccāna, atau kami akan bangkit ketika ia datang, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima persembahan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; atau kami akan mengatur penjagaan, pertahanan, dan perlindungan yang sesuai hukum untuknya. Mengapakah? Karena is telah kehilangan statusnya yang sebelumnya sebagai seorang brahmana ... seorang pedagang ... seorang pekerja, dan hanya dikenal sebagai seorang petapa.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Kalau begitu, maka apakah keempat kasta ini adalah sama, atau tidak sama, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Tentu saja, kalau demikian, Guru Kaccāna, maka keempat kasta ini adalah sama: sama sekali tidak ada perbedaan yang kulihat.”

“Itu juga adalah  satu cara, Baginda, untuk memahami bagaimana bahwa pernyataan para brahmana itu hanyalah kepercayaan di dunia ini.

10. “Ketika hal ini dikatakan, Raja Avantiputta dari Madhurā berkata kepada Yang Mulia Mahā Kaccāna: “Mengagumkan, Guru Kaccāna! Mengagumkan, Guru Kaccāna! Guru Kaccāna telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah ia menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Kaccāna dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Kaccāna mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

“Jangan berlindung padaku, Baginda. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang sama dengan yang padaNya aku berlindung.”

“Di manakah Beliau menetap sekarang, Guru Kaccāna, Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

“Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu telah mencapai Nibbāna akhir, Baginda.”

11. “Jika kami mendengar bahwa Sang Bhagavā berada sepuluh liga jauhnya, maka kami akan pergi sejauh sepuluh liga untuk menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kami mendengar bahwa Sang Bhagavā berada dua puluh liga ... tiga puluh liga ... empat puluh liga ... lima puluh liga ... seratus liga, maka kami akan pergi sejauh sertus liga untuk menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Tetapi karena Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna akhir, maka kami berlindung pada Sang Bhagavā itu, dan kepada Dhamma, dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Kaccāna mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:05:45 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
85 Bodhirajakumara Sutta
« Reply #49 on: 13 September 2010, 09:26:51 PM »
85  Bodhirājakumāra Sutta
Kepada Pangeran Bodhi

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.

2. Pada saat itu sebuah istana bernama Kokanada baru saja dibangun untuk Pangeran Bodhi, dan istana itu belum ditempati oleh petapa atau brahmana atau manusia mana pun juga.

3. Kemudian Pangeran Bodhi berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

4. Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Sañjikāputta bangkit dari duduknya, mendatangi Pangeran Bodhi, dan memberitahukan apa yang telah terjadi [92], dengan menambahkan: “Petapa Gotama telah menerima.”

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Pangeran Bodhi mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia menutupi Istana Kokanada dengan kain putih hingga ke anak tangga terakhir. Kemudian ia berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan umumkan waktunya sebagai berikut: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia, makanan telah siap.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan mengumumkan bahwa waktunya telah tiba: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

6. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke kediaman Pangeran Bodhi.

7. Pada saat itu Pangeran Bodhi sedang berdiri di serambi luar menunggu Sang Bhagavā. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia keluar untuk menyambut dan bersujud kepada Beliau; dan kemudian, setelah mempersilahkan Sang Bhagavā untuk mendahuluinya, ia berjalan menuju Istana Kokanada. Tetapi Sang Bhagavā berhenti di anak tangga paling bawah. Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagava menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagava menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”

Sang Bhagava menatap Yang Mulia Ānanda. [93] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Pangeran Bodhi: “Pangeran, singkirkanlah kain ini. Sang Bhagavā tidak akan menginjak sehelai kain; Sang Tathāgata memperhitungkan generasi mendatang.”

8. Maka Pangeran Bodhi memerintahkan agar kain itu disingkirkan, dan ia mempersiapkan tempat-tempat duduk di kamar atas Istana Kokanada. Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu menaiki Istana Kokanada dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

9. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Pangeran Bodhi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Pangeran Bodhi mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami memiliki pikiran sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’”

10. “Pangeran, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga berpikir sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’

11.14. “Belakangan, Pangeran, ketika Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan … (seperti Sutta 36, §§15-17) … dan aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

15-42. “Saat itu tiga perumpamaan muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-44, tetapi dalam sutta sekarang ini dalam §§18-23 – bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana” tidak muncul; dan di sutta yang sekarang ini pada §§37, 39 dan 42 – bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seseorang yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.

45-53. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam’ … (seperti Sutta 26, §§19-29) [94] … dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

54. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, tidak lama setelah diajari dan diberikan instruksi olehKu, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

55. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Benar, Yang Mulia.”

56. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh tipuan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kekuarangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”

57. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95] ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia  bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”
 
58. “Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

“Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.

“Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.

“Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.

“Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

59. “Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [96]

“Jangankan tujuh tahun, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama enam tahun ... lima tahun ... empat tahun ... tiga tahun ... dua tahun ... satu tahun ... Jangankan satu tahun, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh bulan ... enam bulan ... lima bulan ... empat bulan ... tiga bulan ... dua bulan ... satu bulan ... setengah bulan ... Jangankan setengah bulan, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam ... enam hari enam malam ... lima hari lima malam ... empat hari empat malam ... tiga hari tiga malam ... dua hari dua malam ... dan sehari semalam.

“Jangankan sehari semalam, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari.”

60. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sañjikāputta berkata kepada Pangeran Bodhi: “Tuan Bodhi mengatakan: ‘Oh Buddha! Oh Dhamma! Oh, betapa Dhamma dibabarkan dengan baik!’ Tetapi ia tidak mengatakan: ‘Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu.’”

“Jangan berkata begitu, Sañjikāputta, jangan berkata begitu. Aku mendengar dan mengetahui ini dari mulut ibuku: [97] Pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian ibuku, yang sedang hamil, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, pangeran atau puteri dalam rahimku, yang manapun itu, berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingat [anak ini] sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Juga pernah pada suatu ketika Sang Bhagava sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa. Kemudian perawatku, dengan menggendongku di pinggulnya, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi ini berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatnya sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Sekarang, Sañjikāputta, untuk ke tiga kalinya aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:08:33 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
86 Angulimala Sutta
« Reply #50 on: 13 September 2010, 09:27:52 PM »
86  Angulimāla Sutta
Tentang Angulimāla

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu terdapat seorang penjahat di wilayah kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, [98] dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung.

3. Kemudian, pada suatu pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berkeliling menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau merapikan tempat tinggalNya, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, berjalan ke arah Angulimāla. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Beliau: “Jangan melewati jalan ini, Petapa. Di jalan ini, ada penjahat bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tangan Angulimāla.” Ketika ini diucapkan, Sang Bhagavā berlalu sambil berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Sang Bhagavā, namun Sang Bhagavā tetap berlalu sambil berdiam diri.

4. Dari jauh penjahat Angulimāla melihat Sang Bhagavā datang. Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, [99] tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang petapa ini datang sendirian, tanpa teman, seolah-olah memaksakan diri. Mengapa aku tidak mengambil nyawa petapa ini?” Angulimāla kemudian mengambil pedang dan tamengnya, mengikat busur dan sarung anak panah, dan mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

5. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batinNya sehingga penjahat Angulimāla, walaupun berlari secepat yang ia mampu, namun tidak dapat mengejar Sang Bhagavā, yang berjalan dengan kecepatan biasa. Kemudian penjahat Angulimāla berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku bahkan mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kuda yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kereta yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar rusa yang tercepat dan menangkapnya; tetapi sekarang, walaupun aku berlari secepat yang aku mampu, namun tidak dapat mengejar Petapa ini, yang berjalan dengan kecepatan biasa!” Ia berhenti dan berteriak kepada Sang Bhagavā: “Berhenti, Petapa! Berhenti, Petapa!”

“Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.”

Kemudian Pejahat Angulimāla berpikir: “Para Petapa ini, putera-putera suku Sakya, mengatakan yang sebenarnya, menegaskan kebenaran; tetapi walaupun petapa ini masih berjalan, ia mengatakan: ‘Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.’ Aku akan menanyai petapa ini.”

6. kemudian Penjahat Angulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

“Selagi engkau berjalan, petapa, engkau berkata bahwa engkau telah berhenti;
Tetapi sekarang, ketika aku telah berhenti, engkau berkata bahwa aku belum berhenti.
Aku bertanya kepadamu, O Petapa, mengenai makna:
Bagaimanakah bahwa Engkau telah berhenti dan aku belum?”

“Angulimāla, Aku telah berhenti untuk selamanya,
Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk-makhluk hidup;
Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala sesuatu yang hidup:
Itulah mengapa Aku telah berhenti dan engkau belum.” [100]

“Oh, setelah sekian lama Petapa ini, seorang bijaksana terhormat,
Telah datang ke hutan ini demi kesejahteraanku.
Setelah mendengar syairMu mengajarkan aku Dhamma,
Aku akan meninggalkan kejahatan selamanya.”

Setelah mengatakan hal itu, penjahat itu mengambil pedang dan senjata-senjatanya
Dan melemparkannya ke dalam celah dalam;
Sang penjahat menyembah kaki Yang Tertinggi,
Dan pada saat itu dan di tempat itu juga memohon penahbisan.

Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasih,
Sang Guru dunia bersama dengan [semua] dewa,
Berkata kepadanya, “Datanglah, bhikkhu.”
Dan demikianlah ia menjadi seorang bhikkhu.

7. Kemudian Sang Bhagavā berjalan kembali ke Sāvatthī bersama dengan Angulimāla sebagai pelayanNya. Berjalan setahap demi setahap, akhirnya Beliau tiba di Sāvatthi, dan di sana Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

8. Pada saat itu banyak orang berkumpul di gerbang istana dalam Raja Pasenadi, gaduh dan berisik, meneriakkan: “Baginda, Penjahat Angulimāla di wilayahmu; ia adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Raja harus menangkapnya!”

9. Kemudian pada tengah hari itu Raja Pasenadi dari Kosala keluar dari Sāvatthī bersama dengan lima ratus orang prajurit dan pergi menuju taman. Ia berkendara sejauh yang bisa dilalui keretanya, dan kemudian turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju Sang Bhagavā. [101] setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada apa, Baginda? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavi dari Vesāli, atau raja-raja kejam lainnya?”

10. ”Yang Mulia, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerangku, juga tidak para Licchavi dari Vesāli, juga tidak raja-raja kejam lainnya. Tetapi ada seorang penjahat di wailayahku bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Aku tidak akan bisa menangkapnya, Yang Mulia.”

11. “Baginda, seandainya engkau melihat Angulimāla mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan tanpa rumah; bahwa ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindari ucapan salah; makan sekali sehari, dan hidup selibat, bermoral, bersikap baik. Jika engkau melihatnya demikian, bagaimanakah engkau memperlakukannya?”

“Yang Mulia, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangkit untuknya atau mengundangnya untuk duduk,; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat peristirahatan, atau obat-obatan; atau kami akan menyediakan penjagaan, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang tidak bermoral demikian, seorang yang bersifat jahat, mungkin memiliki moralitas dan pengendalian seperti itu?”

12. Pada saat itu Yang Mulia Angulimāla duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā merentangkan lengan kanannya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, inilah Angulimāla.”

Kemudian Raja Pasenadi ketakutan, gelisah dan was-was. Mengetahui ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Jangan takut, Baginda, jangan takut. Tidak ada yang perlu engkau takutkan darinya.”

Kemudian rasa takut, [102] gelisah dan was-was lenyap. Ia mendekati Yang Mulia Angulimāla dan berkata: “Yang Mulia, benarkah Yang Mulia adalah Angulimāla?”

“Benar, Baginda.”

“Yang Mulia, dari keluarga apakah ayah dari Yang Mulia? Dari keluarga apakah ibunya?”

“Ayahku adalah seorang Gagga, Baginda; ibuku adalah seorang Mantāṇi.”

“Semoga Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta berdiam dengan nyaman. Aku akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta.”

13. Yang Mulia Angulimāla sebelumnya adalah seorang penghuni hutan, pemakan dana makanan, pemakai jubah dari kain terbuang, dan membatasi dirinya dengan tiga jubah. Ia menjawab: “Cukup, Baginda, tiga jubahku sudah lengkap.”

Raja Pasenadi kemudian kembali ke Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana Bhagavā menjinakkan yang belum jinak, membawa kedamaian bagi yang tidak damai, dan menuntun ke Nibbāna bagi mereka yang belum mencapai Nibbāna. Yang Mulia, kami sendiri tidak mampu menjinakkannya dengan kekerasan dan senjata., namun Sang Bhagavā menjinakkannya tanpa menggunakan kekerasan dan senjata. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pamit. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

“Silahkan pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

14. Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthī, ia menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. [103] Ketika ia melihat hal itu, ia berpikir: “Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!”

Ketika ia telah berkeliling untuk menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, pagi hari ini aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarku, pergi ke Sāvatthi untuk menerima dana makanan. Ketika aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthi, aku menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. Ketika aku melihat hal itu, aku berpikir: ‘Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!’”

15. “Kalau begitu, Angulimāla, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku dilahirkan, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’”

“Yang Mulia, bukankah dengan demikian aku mengatakan kebohongan dengan sengaja, karena aku telah dengan sengaja membunuh banyak makhluk hidup?”

“Kalau begitu, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Angulimāla menjawab, dan setelah pergi ke Sāvatthī, ia berkata kepada perempuan itu: “Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!” Kemudian perempuan itu dan bayinya selamat.

16. Tidak lama, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang mulia Angulimāla, dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” [104] Dan Yang Mulia Angulimāla menjadi salah satu dari para Arahant.

17.  Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Pada saat itu seseorang melemparkan segumpal tanah dan mengenai tubuh Yang Mulia Angulimāla, seorang lainnya melemparkan tongkat dan mengenai tubuhnya, dan seorang lainnya melemparkan pecahan tembikar dan mengenai tubuhnya. Kemudian, dengan darah mengucur dari kepalanya yang terluka, dengan mangkuk pecah, dan dengan jubah luar robek, Yang Mulia Angulimāla mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepadanya: “Tahankanlah, brahmana! Tahankanlah, brahmana! Engkau mengalami di sini dan saat ini akibat dari perbuatanmu yang karenanya engkau seharusnya disiksa di neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun.”

18. Kemudian, selagi Yang Mulia Angulimāla sedang sendirian dalam keheningan mengalami kebahagiaan kebebasan, ia mengucapkan seruan berikut ini:

 “Siapapun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian menjadi tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Yang melawan perbuatan jahat yang ia lakukan
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang megabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka mengabdi pada Ajaran Buddha
Semoga musuh-musuhku melayani orang-orang baik
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

[105] Semoga musuh-musuhku memberikan telinga dari waktu ke waktu
Untuk mendengarkan Dhamma dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang membicarakan serta memuji kebajikan,
Dan semoga mereka melanjutkan perbuatan baik.

Karena pasti mereka tidak akan ingin mencelakaiku,
Juga mereka tidak berpikir untuk mencelakai makhluk lain,
Demikianlah mereka yang melindungi semua makhluk, lemah atau kuat,
Semoga mereka mencapai kedamaian yang tanpa banding.

Pembuat saluran menuntun air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu meluruskan kayu,
Tetapi orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang jinak dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi aku dijinakkan oleh Orang
Yang tidak memiliki tongkat kayu atau senjata apapun.

“Tanpa-bahaya” adalah nama yang kubawa,
Walaupun aku berbahaya di masa lalu.
Nama yang kubawa sekarang adalah benar:
Aku tidak menyakiti makhluk hidup sama sekali.

Dan walaupun aku pernah hidup sebagai penjahat
Yang dikenal sebagai si ‘Kalung-jari,’
Seorang yang terhanyutkan oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Dan walaupun aku pernah bertangan-darah
Dengan nama si ‘Kalung-jari’
Bertemu dengan perlindungan yang kutemukan:
Belenggu penjelmaan telah terpotong.

walaupun aku melakukan banyak perbuatan yang mengarah
pada kelahiran kembali di alam rendah,
namun akibatnya telah mendatangiku sekarang,
dan karenanya aku makan bebas dari hutang.

Mereka adalah orang-orang dungu dan tidak berakal sehat
Yang menyerahkan diri mereka pada kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga ketekunan
Dan memperlakukannya sebagai kebaikan yang terbesar.

Jangan menyerah pada kelengahan
Juga jangan mencari kegembiraan dalam kenikmatan indria,
Tetapi bermeditasilah dengan tekun
Agar dapat mencapai kebahagiaan sempurna.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Dari semua ajaran yang dipelajari
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan telah menyelesaikan semua yang diajarkan oleh Sang Buddha.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:09:38 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
87 Piyajatika Sutta
« Reply #51 on: 14 September 2010, 10:58:20 PM »
87  Piyajātika Sutta
Terlahir dari Mereka yang Disayangi

[106] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu seorang putera tunggal tersayang dari seorang perumah tangga telah meninggal dunia,. Setelah kematian puteranya, ia tidak lagi berkeinginan untuk bekerja ataupun makan. Ia terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putera tunggalku, di manakah engkau ? Putera tunggalku, di manakah engkau ?”

3. Kemudian perumah tangga itu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya. Indra-indriamu tidak sewajarnya.”

“Bagaimana mungkin indria-indriaku bisa sewajarnya, Yang Mulia? Karena putera tunggalku yang tersayang dan tercinta telah meninggal dunia. Sejak ia mati aku tidak lagi berkeinginan untuk belerja ataupun makan. Aku terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putera tunggalku, di manakah engkau ? Putera tunggalku, di manakah engkau ?”

“Demikianlah, perumah tangga, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

“Yang Mulia, siapakah yang beranggapan bahwa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi? Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.” Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, perumah tangga itu bangkit dari duduknya dan pergi.

4. Pada saat itu beberapa orang penjudi sedang bermain dadu tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian perumah tangga itu mendatangi para penjudi itu dan berkata: “Baru saja, tuan-tuan, [107] aku mendatangi Petapa Gotama, dan setelah bersujud kepada Beliau, aku duduk di satu sisi. Ketika aku talah melakukan demikian, Petapa Gotama berkata kepadaku: ‘Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya.’ ... (ulangi keseluruhan percakapan seperti di atas) ... Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.” Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, aku bangkit dari dudukku dan pergi.”

“Demikianlah, perumah tangga, demikianlah! Kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

Kemudian perumah tangga itu pergi dengan pikiran: “Aku sependapat dengan para penjudi itu.”

5. Akhirnya kisah ini sampai ke istana raja. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā: “Ini adalah apa yang telah dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

“Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.”

“Tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Bagaikan seorang murid yang menuji apapun yang dikatakan oleh gurunya kepadanya, dengan mengatakan: ‘Demikianlah, guru, demikianlah!’; demikian pula Mallikā, Tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu [108] telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Pergilah, Mallikā, pergilah engkau!”

6. Kemudian Ratu Mallikā berkata kepada Brahmana Nāḷijangha: “Pergilah, Brahmana, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau bebas dari sakit dan apakah Beliau sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: Yang Mulia, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”?’ Dengarkanlah baik-baik apa jawaban Sang Bhagavā dan laporkanlah kepadaku; karena Sang Bhagavā tidak mengucapkan kebohongan.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman. Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”?’”

7. “Demikianlah, Brahmana, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

8. “Dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ibunya meninggal dunia. Karena kematian ibunya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jelan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat ibuku? Apakah kalian melihat ibuku?’ [109]

9-14. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang puteranya meninggal dunia ... yang puterinya meninggal dunia ... yang suaminya meninggal dunia. Karena kematian suaminya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jelan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat suamiku? Apakah kalian melihat suamiku?’

15-21. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang laki-laki yang ibunya meninggal dunia ... yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang puteranya meninggal dunia ... yang puterinya meninggal dunia ... yang istrinya meninggal dunia. Karena kematian istrinya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jelan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat istriku? Apakah kalian melihat istriku?’

22. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang perempuan yang menetap bersama keluarga sanak saudaranya. Sanak saudaranya ingin menceraikan dirinya dari suaminya dan menyerahkan dirinya kepada orang yang tidak ia sukai. Kemudian perempuan itu berkata kepada suaminya: ‘Suamiku, sanak-saudaraku ingin menceraikan aku darimu dan menyerahkan aku kepada orang lain yang tidak aku sukai.’ Kemudian sang suami memotong perempuan itu menjadi dua [110] dan menusuk perutnya sendiri, dengan pikiran: ‘Kita akan bersama-sama lagi dalam kehidupan berikut.’ Ini juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

23. Kemudian, dengan merasa senang dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā, Brahmana Nāḷijangha bangkit dari duduknya, menghadap Ratu Mallikā, dan melaporkan kepadanya seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā.

24. Kemudian Ratu Mallikā menghadap Raja Pasenadi dari Kosala dan bertanya: “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Puteri Vajiri?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Puteri Vajiri.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan  terjadi pada Puteri Vajiri, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul pada dirimu?”

“Perubahan pada Puteri Vajiri berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’

25-28. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Ratu Vāsabhā? … Apakah engkau menyayangi Jenderal Viḍūḍabha? … [111] … Apakah engkau menyayangiku? … Apakah engkau menyayangi Kāsi dan Kosala?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Kāsi dan Kosala. Kita berhutang pada Kāsi dan Kosala dalam hal bahwa kita menggunakan kayu cendana dan memakai kalung bunga, dupa, dan salep dari Kāsi”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan terjadi pada Kāsi dan Kosala, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul dalam dirimu?”

“Perubahan pada Kāsi dan Kosala berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

29. “Sungguh mengagumkan, Mallikā, sungguh menakjubkan betapa jauhnya [112] Sang Bhagavā menembus dengan kebijaksanaan dan melihat dengan kebijaksanaan! Pergilah, Mallikā, ambilkan aku air pencuci.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah membenahi jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna!”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:10:41 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
88 Bahitika Sutta
« Reply #52 on: 14 September 2010, 10:59:33 PM »
88  Bāhitika Sutta
Mantel

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, dan membawa jubah luarnya, pergi menuju Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia pergi ke Taman Timur, menuju Istana Ibu Migāra, untuk melewatkan hari.

3. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala sedang menunggang gajah Ekapuṇḍarika dan pergi keluar dari Sāvatthi di tengah hari. Dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda dan bertanya kepada menteri Sirivaḍḍha: “Bukankah itu adalah Yang Mulia Ānanda?” – “Benar, Baginda, itu adalah Yang Mulia Ānanda.”

4. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menyuruh orangnya: “Pergilah, temui Yang Mulia Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu [113] sebentar, demi belas kasihan.’”

5. “Bagik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda dan ia mengatakan ini: ’Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu sebentar, demi belas kasihan.’”

6. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ’Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi mendatangi tepi sungai Aciravati, demi belas kasihan.

7. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Ia pergi ke tepi sungai Aciravati dan duduk di bawah sebatang pohon di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ini, Yang Mulia, adalah permadani kulit gajah. Silahkan Yang Mulia Ānanda duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda, duduklah. Aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

8. Raja Pasenadi dari Kosala duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata: “Yang Mulia Ānanda, mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.” [114]

“Mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.”

9. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Karena apa yang tidak mampu kami capai dengan sebuah pertanyaan telah dicapai oleh Yang Mulia Ānanda dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kami tidak mengenali sesuatu yang tidak berharga dalam pujian dan celaan orang lain yang diucapkan oleh orang-orang dungu, yang mengucapkan dengan tanpa menyelidiki dan mengevaluasi; tetapi kami mengenalinya sebagai berharga pujian dan celaan orang-orang lain yang diucapkan oleh orang-orang bijaksana, cerdas dan pintar yang mengucapkan setelah menyelidiki dan mengevaluasi.

10. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang tidak bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak bermanfaat?”

“segala perilaku jasmani yang tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tercela?”

“segala perilaku jasmani membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang membawa penderitaan?”

“segala perilaku jasmani memiliki akibat menyakitkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia, Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyakitkan?”

“segala perilaku jasmani, Baginda, yang mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi bertambah, dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang. Perilaku jasmani demikian dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana, Baginda.”

11. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

12. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [115] ...”

13. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

14. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang bermanfaat?”

“segala perilaku jasmani yang tidak tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak tercela?”

“segala perilaku jasmani tidak membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak membawa penderitaan?”

“segala perilaku jasmani memiliki akibat menyenangkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia, Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyenangkan?”

“segala perilaku jasmani, Baginda, yang tidak mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi berkurang, dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Perilaku jasmani demikian, Baginda, tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.”

15. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

16. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [116] ...”

17. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan mengembangkan segala kondisi bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

18. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan betapa baiknya hal itu diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda! Dan kami merasa puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan olehnya. Yang Mulia, Dan kami begitu puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda sehingga jika pusaka-gajah boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika pusaka-kuda boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika anugerah desa boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya. Tetapi kami mengetahui, Yang mulia, bahwa hal-hal ini tidak boleh dipersembahkan kepada Yang Mulia Ānanda. Tetapi mantelku ini,  Yang Mulia, yang dikirim kepadaku dalam payung kerajaan oleh Raja Ajāttasattu dari Magadha, enam belas lengan panjangnya dan delapan lengan lebarnya. Sudilah Yang Mulia Ānanda menerimanya demi belas kasihnya.”

“Tidak perlu, Baginda. Tiga jubahku sudah lengkap.” [117]

19. “Yang Mulia, sungai Aciravati ini telah dilihat baik oleh Yang Mulia Ānanda maupun oleh kami sendiri ketika awan tebal menurunkan hujat lebat di gunung-gunung; kemudian sungai Acitavati ini meluap di kedua tepinya. Demikian pula, Yang Mulia Ānanda dapat membuat tiga jubah dari mantel ini, dan ia dapat membagikan tiga jubahnya yang lama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci. Dengan demikian, persembahan kami akan meluap. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia Ānanda menerima mantel ini.”

20. Yang Mulia Ānanda menerima mantel itu. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata: “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus kami lakukan.”

“Silahkan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya; dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Ānanda, dengan Yang Mulia Ānanda tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan mempersembahkan mantel itu kepada Sang Bhagavā.

22. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Sungguh suatu keuntungan, para bhikkhu, bagi Raja Pasenadi dari Kosala, Sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa ia mendapat kesempatan bertemu dan bersujud kepada Ānanda.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:11:31 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
89 Dhammacetiya Sutta
« Reply #53 on: 14 September 2010, 11:02:36 PM »
89 Dhammacetiya Sutta
Monumen Dhamma

[118] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa.

2. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Nagaraka untuk suatu urusan. Kemudian ia berkata kepada Dīgha Kārāyaṇa:  “Kārāyana, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi ke taman rekreasi untuk melihat pemandangan indah.”

“Baik, Baginda,” Dīgha Kārāyaṇa menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silahkan engkau berangkat.”

3. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, ia berkendara keluar dari Nagaraka dengan kemegahan kerajaan dan bergerak menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

4. Ketika ia berjalan-jalan di taman untuk berolah-raga. Raja Pasenadi melihat bawah pepohonan yang indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfir keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri. Pemandangan ini mengingatkannya pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Bawah pepohonan ini indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfir keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri, seperti tempat-tempat di mana kami biasanya memberi penghormatan kepada Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.” Kemudian ia memberitahukan apa yang telah ia pikirkan kepada Dīgha Kārāyaṇa dan bertanya: “Di manakah Beliau menetap saat ini, [119] Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

5. “Ada, Baginda, sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa. Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, saat ini menetap di sana.”

“Berapa jauhkan Nagaraka ke Medaḷumpa?”

“Tidak jauh, Baginda, tiga liga.  Masih cukup siang untuk ke sana.”

“Kalau begitu, Kārāyaṇa, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi menemui Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

“Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silahkan engkau berangkat.”

3. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, pergi dari nagaraka menuju pemukiman Sakya di Medaḷumpa. Ia tiba di sana ketika hari masih siang dan melanjutkan perjalanan menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

7. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi mereka dan bertanya: “Para Mulia, di manakah Beliau berada saat ini, Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna? Kami ingin menemui Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

8. “Itu adalah tempat kediaman Beliau, Baginda, yang pintunya tertutup. Pergilah ke sana dengan tenang, tanpa terburu-buru, masuki berandanya, berdehemlah, dan ketuk pintunya. Sang Bhagavā akan membukakan pintunya untukmu.” Raja Pasenadi menyerahkan pedang dan turbannya kepada Dīgha Kārāyaṇa di sana pada saat itu juga. Kemudian Dīgha Kārāyaṇa berpikir: “Raja akan melakukan pertemuan pribadi sekarang! Dan aku harus menunggu di sini sendirian!”  Tanpa terburu-buru, Raja Pasenadi dengan tenang mendatangi kediaman dengan pintu tertutup itu, memasuki beranda, berdehem, dan mengetuk pintu. Sang Bhagavā membuka pintu.

9. Kemudian Raja Pasenadi [120] memasuki tempat kediaman itu. Bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia; aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia.”

“Tetapi, Baginda, atas alasan apakah yang engkau lihat sehingga memberikan penghormatan yang begitu tinggi pada tubuh ini dan memperlihatkan persahabatan demikian?”

10. “Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’ Sekarang, Yang Mulia, aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang menjalani kehidupan suci terbatas selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau empat puluh tahun, dan kemudian belakangan aku melihat mereka berpenampilan rapi dan dengan hiasan indah, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan idnria. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama mereka hidup dan bernafas. Sesungguhnya, aku tidak melihat ada kehidupan suci lainnya yang semurni dan sesempurna ini. Itulah sebabnya mengapa, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

11. “Kemudian, Yang Mulia, para raja bertengkar dengan para raja, para mulia dengan para mulia, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, ibu bertengkar dengan puteranya, putera dengan ibunya, ayah dengan puteranya, putera dengan ayahnya, saudara laki-laki bertengkar dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman.  Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu hidup dengan rukun, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, bercampur bagaikan susu dan air, [121] saling melihat satu sama lain dengan tatapan ramah. Aku tidak melihat adanya kelompok lain dengan kerukunan demikian. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

12. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah berjalan dan mengembara dari taman ke taman dari kebun ke kebun. Di sana aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang kurus, menyedihkan, buruk rupa, kekuningan, dengan urat menonjol keluar dari bagian-bagian tubuh mereka, sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini tidak puas dalam menjalani kehidupan suci, atau mereka telah melakukan perbuatan jahat dan berusaha menyembunyikannya, mereka begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku mendatangi mereka dan bertanya: “Mengapakah kalian, para mulia, begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat kalian lagi?’ jawaban mereka adalah: ‘Ini adalah penyakit keluarga kami, Baginda.’ Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu tersenyum dan ceria, gembira, bersukacita, indria-indria mereka segar, hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari apa yang diberikan oleh orang lain, berdiam dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā, karena mereka berdiam dengan tersenyum dan ceria … dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar demikian.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

13. “Kemudian, Yang Mulia, sebagai seorang raja mulia yang sah, [122] aku dapat mengeksekusi mereka yang patut dieksekusi, menghukum mereka yang patut dihukum, mengusir mereka yang patut diusir. Namun ketika aku sedang duduk dalam persidangan, mereka menyelaku. Walaupun aku mengatakan: ‘Tuan-tuan, jangan menyelaku ketika aku sedang duduk dalam persidangan; tunggulah hingga pembicaraanku berakhir,’ mereka tetap menyelaku. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu sewaktu Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma  kepada sekelompok yang terdiri dari beberapa ratus pengikut dan di sana bahkan tidak ada suara dari siswa Sang Bhagavā yang batuk atau berdehem. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut dan di sana seorang siswa berdehem. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya untuk mengisyaratkan: “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bagaimana kelompok ini dapat begitu disiplin tanpa paksaan atau senjata!’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

14. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, berpengetahuan tentang doktrin-doktrin sekte lain, setajam ahli menembak pembelah rambut;  mereka mengembara, membantah pandangan-pandangan sekte lain dengan kejataman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan mendatangi Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan kepada Beliau. Jika Beliau ditanya seperti ini, Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti ini; dan jika Beliau ditanya seperti itu, Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti itu.’ Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka mendatangi Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, [123] dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru menjadi siswa Beliau. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

15. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para brahmana terpelajar tertentu …

16. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para perumah tangga terpelajar tertentu …

17. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para petapa terpelajar tertentu … Mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru memohon agar Sang Bhagavā memperbolehkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka mengatakan sebagai berikut: ‘Kami nyaris tersesat, kami nyaris binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

18. “Kemudian, Yang Mulia, Isidatta dan Purāṇa,  kedua pengawasku, memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka tidak memberikan penghormatan kepadaku [124] seperti yang mereka lakukan terhadap Sang Bhagavā. Suatu ketika aku pergi dengan memimpin bala tentaraku dan menguji kedua pengawasku, Isidatta dan Purāṇa, aku ditempatkan dalam suatu tempat yang sempit. Kemudian kedua pengawas ini, Isidatta dan Purāṇa, setelah membicarakan Dhamma semalam suntuk, berbaring dengan kepala mereka menghadap ke arah di mana mereka mendengar Sang Bhagavā berada dan dengan kaki mereka menghadap ke arahku. Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan! Kedua pengawasku ini, Isidatta dan Purāṇa, yang memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka lebih menghormati Sang Bhagavā daripada aku. Pasti kedua orang baik ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

19. “Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā berasal dari kasta mulia dan aku juga berasal dari kasta mulia; Sang Bhagavā adalah orang Kosala dan aku juga adalah orang Kosala; Sang Bhagavā berusia delapan puluh tahun dan aku juga berusia delapan puluh tahun.  Karena hal itu, aku rasa adalah selayaknya memberikan penghormatan tertinggi kepada Sang Bhagava dan menunjukkan persahabatan.

20. “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

“Silahkan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, sebelum bangkit dari duduknya dan pergi, Raja Pasenadi ini telah mengucapkan monumen Dhamma.  Pelajarilah monumen Dhamma ini, para bhikkhu, kuasailah [125] monumen Dhamma ini; ingatlah monumen Dhamma. Monumen Dhamma sangat bermanfaat, para bhikkhu, dan merupakan landasan kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:12:40 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
90 Kannakatthala Sutta
« Reply #54 on: 14 September 2010, 11:03:40 PM »
90 Kaṇṇakatthala Sutta
Di Kaṇṇakatthala

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ujuññā, di Taman Rusa Kaṇṇakatthala.

2. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Ujuññā untuk suatu urusan.  Kemudian ia berkata kepada orangnya: “Pergilah, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya.

3. Dua bersaudari Somā dan Sakulā  mendengar: “Hari ini [126] Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.”

Kemudian, ketika makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari itu menghadap raja dan berkata: “Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā bersujud dengan kepala mereka di kaki Sang Bhagavā, dan mereka menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’”

4. Kemudian, ketika ia telah menyelesaikan sarapannya, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesan dari kedua bersaudari Somā dan Sakulā.

“Tetapi, Baginda, apakah Kedua bersaudari Somā dan Sakulā tidak dapat mengutus utusan lain?”

“Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā mendengar: ‘Hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’ Kemudian, sewaktu makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari Somā dan Sakula mendatangiku dan berkata: ‘Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit …  dan berdiam dengan nyaman.’”

“Semoga Kedua bersaudari Somā dan Sakulā berbahagia, Baginda.”

5. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Tidak ada petapa atau brahmana yang maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap; itu adalah tidak mungkin.” Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian [127] mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataan mereka?”

“Baginda, mereka yang mengatakan deemikian tidak mengatakan apa yang telah dikatakan olehKu, melainkan salah memahamiKu dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.”

6. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Ia adalah Sañjaya, Baginda, brahmana dari suku Ākāsa.”

7. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala memanggil orangnya: “Pergilah, atas namaku beritahulah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab. Ia mendatangi Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, dan memberitahunya: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.”

8. Sementara itu Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkinkah sesuatu yang lain telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dengan merujuk pada hal itu, dan seseorang memahaminya secara keliru? Bagaimanakah Sang Bhagavā ingat telah mengucapkan ucapan demikian?”

“Aku ingat pernah mengucapkan sebagai berikut, Baginda: ‘Tidak ada petapa atau brahmana yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

“Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. ‘Tidak ada petapa atau brahmana [128] yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

9. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Dua di antaranya, yaitu, para mulia dan para brahmana, dianggap lebih tinggi karena orang-orang menyembah mereka, bangkit untuk mereka, dan memberikan penghormatan dan pelayanan yang sopan kepada mereka.”

10. “Yang Mulia, aku tidak menanyakan tentang kehidupan sekarang; aku menanyakan tentang kehidupan mendatang.  Ada empat kasta, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Baginda, ada lima faktor usaha ini.  Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha. Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci. Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat. Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”

11. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, [129] dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, apakah ada perbedaan di antara mereka?”

“Di sini, Baginda, Aku katakan bahwa perbedaan di antara mereka terletak pada keberagaman usaha mereka. Misalkan terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, dan dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, karena jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak?

“Benar, Yang Mulia.”

“Dan apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin, karena belum jinak, dapat memiliki perilaku yang jinak, seperti kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, tidaklah mungkin bahwa apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan, yang bebas dari penyakit, yang jujur dan tulus, yang bersemangat, dan yang bijaksana, dapat dicapai oleh seseorang yang tidak memiliki keyakinan, yang memiliki penyakit, yang curang dan penuh tipuan, yang malas, dan yang tidak bijaksana.”

12. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika.

“Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, dan jika usaha mereka benar, apakah ada perbedaan di antara mereka dalam hal itu?”

“Di sini, Baginda, dalam hal ini Aku katakan bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya. Misalkan seseorang mengambil kayu sāka kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya mengambil kayu sāla kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; [130] dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu mangga kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu ara kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah ada perbedaan antara api-api ini yang dinyalakan oleh jenis kayu yang berbeda-beda, yaitu, antara nyala api yang satu dengan nyala api yang lainnya, atau antara warna api yang satu dengan warna api lainnya, atau antara cahaya api yang satu dengan cahaya api lainnya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, ketika api [spiritual] dibangkitkan oleh kegigihan, dinyalakan oleh usaha, Aku katakan, tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya.”

13. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah ini: apakah ada para dewa?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah para dewa itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, para dewa yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

14. Ketika hal ini dikatakan, Jenderal Viḍūḍabha bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah para dewa yang masih tunduk pada niat buruk dan kembali ke alam [manusia] ini menjatuhkan atau mengusir para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk dan tidak  kembali ke alam [manusia] ini dari tempat itu?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Jenderal Viḍūḍabha ini adalah putera Raja Pasenadi dari Kosala, dan aku adalah putera Sang Bhagavā. Ini adalah waktunya bagi satu putera berbicara dengan putera lainnya.” Ia berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah sesuai apa yang engkau anggap benar. Jenderal, bagaimanakah menurutmu? Terdapat seluruh wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana [131] ia berkuasa dan memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana manapun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal?  Terdapat seluruh wilayah yang bukan kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana ia tidak berkuasa dan tidak memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana manapun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia tidak dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Jenderal, bagaimana menurutmu? Pernahkan engkau mendengar tentang para dewa Tiga Puluh Tiga?”

“Ya, Yang Mulia, aku pernah mendengarnya. Dan Raja Pasenadi dari Kosala juga pernah mendengarnya.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal? Dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir para dewa Tiga Puluh Tiga dari tempat itu?”

“Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bahkan tidak dapat melihat para dewa Tiga Puluh Tiga, jadi bagaimana mungkin ia menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

“Demikian pula, Jenderal, para dewa yabng masih tunduk pada niat-buruk dan yang kembali ke alam [manusia] ini bahkan tidak dapat melihat para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat-buruk dan yang tidak kembali lagi ke alam [manusia] ini; jadi bagaimana mungkin mereka menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

15. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, siapakah nama bhikkhu ini?”

“Namanya adalah Ānanda, Baginda.”

“Sungguh ia adalah Ānanda (kegembiraan), Yang Mulia, dan ia tampak Ānanda. Apa  [132] yang Yang Mulia Ānanda katakan cukup masuk akal, apa yang ia katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, apakah ada Brahmā?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah Brahmā itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, Brahmā yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, Brahmā yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

16. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, telah tiba.”

Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: “Brahmana, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Baginda, ia adalah Jenderal Viḍūḍabha.”

Jenderal Viḍūḍabha berkata: “Baginda, Ia adalah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa.”

17. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, sekarang waktunya untuk pergi.”

Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang kemaha-tahuan, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang kemaha-tahuan; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang pemurnian empat kasta, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang pemurnian empat kasta; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para dewa, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para dewa; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para Brahmā, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para Brahmā; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Apapun yang kami tanyakan kepada Sang Bhagavā, telah dijawab oleh Sang Bhagavā; kami menyetujui dan menerima jawaban-jawaban itu. [133] Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

“Silahkan engkau pergi, Baginda.”

18. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:13:56 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
91 Brahmayu Sutta
« Reply #55 on: 14 September 2010, 11:06:45 PM »
91 Brahmāyu Sutta
Brahmāyu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu.

2. Pada saat itu Brahmana Brahmāyu sedang menetap di Mithilā. Ia sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa.

3. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang  telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.” [134]

4. Pada saat itu Brahmana Brahmāyu memiliki seorang murid brahmana bernama Uttara yang menguasai Tiga Veda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia berkata kepada muridnya: “Muridku Uttara, Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu ... Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian. Pergilah, muridku Uttara, temui Petapa Gotama dan lihat apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan. Dengan demikian kami akan mengenal Guru Gotama melalui dirimu.”

5. “Tetapi bagaimanakah aku mengetahuinya, Tuan, apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

“Muridku Uttara, tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain.  Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-panakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: Pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh.  Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudera, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia.  Tetapi aku, muridku Uttara, adalah pemberi syair-syair pujian; engkau adalah penerimanya.”

6. “Baik, Tuan,” ia menjawab. Ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Brahmana Brahmāyu, dengan Brahmana Brahmāyu tetap di sisi kananya, ia pergi menuju Negeri Videha, di mana Sang Bhagavā sedang mengembara. [135] Dengan berjalan secara bertahap, ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Murid brahmana Uttara ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuhKu, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

7. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batinNya sehingga murid brahmana Uttara melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup.  Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidahnya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telingaNya dan kedua lubang hidungnya, dan Beliau menutupi seluruh keningnya dengan lidahnya.

8. Kemudian murid brahmana Uttara berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda seorang Manusia Luar Biasa. Bagaimana jika aku mengikuti Petapa Gotama dan mengamati perilakunya?”

Kemudian ia mengikuti Sang Bhagavā selama tujuh bulan bagaikan bayangan, tidak pernah meninggalkanNya. Di akhir tujuh bulan itu di negeri Videha, ia melakukan perjalanan menuju Mithilā di mana Brahmana Brahmāyu berada. Ketika ia tiba, ia bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Kemudian, Brahmana Brahmāyu bertanya kepadanya: “Baiklah, muridku Uttara, apakah berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama [136] benar atau tidak? Dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

9. “Berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama adalah benar, Tuan, dan bukan sebaliknya; dan Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini dan bukan sebaliknya. Beliau memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama menapakkan kakinya secara merata – ini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa dalam diri Guru Gotama.

Di telapak kakinya terdapat roda-roda dengan seribu jeruji dan lingkar dan pusatnya semua lengkap …

Tumitnya menonjol …
Jari-jari tangan dan kakinya panjang …
Tangan dan kakinya lunak dan lembut …
Beliau memiliki tangan dan kaki dengan jaring-jaring …
Kakinya melengkung …
Kakinya seperti kaki kijang …

Jika ia berdiri tanpa membungkuk, kedua telapak tangannya dapat menyentuh dan mengusap lututnya …
Organ kelaminnya terselubung dalam lapisan penutup …
Beliau berwarna keemasan, kulitnya berkilau keemasan …
Kulitnya halus, dan karena kehalusan kulitnya, debu dan kotoran tidak menempel di tubuhnya …

Bulu badannya tumbuh secara tunggal, sehelai bulu badan tumbuh pada setiap pori-porinya …
Ujung bulu badannya menghadap ke atas; bulu badannya yang menghadap ke atas itu berwarna hitam-kebiruan, berwarna collyrium, keriting dan melingkar ke kanan …
Beliau memiliki lengan dan kaki lurus bagaikan lengan dan kaki Brahmā …
Beliau memiliki tujuh bagian cembung …

Beliau memiliki batang-tubuh seekor singa …
Alur di antara kedua bahunya terisi …
Beliau memiliki rentangan pohon banyan; rentang kedua lengannya sama dengan tinggi badannya, dan tinggi badannya sama dengan rentang kedua lengannya …

Leher dan bahunya rata …
Kecapannya sangat tajam …
Beliau memiliki rahang seperti singa … [137]
Beliau memiliki empat puluh gigi …
Gigi-giginya rata …
Gigi-giginya tanpa celah …
Gigi-giginya sangat putih …
Beliau memiliki lidah yang lebar …
Beliau memiliki suara surgawi, bagaikan kicauan burung Karavīka …
Matanya biru gelap …
Beliau memiliki bulu mata seekor sapi …
Beliau memliki rambut yang tumbuh di antara kedua alis matanya, yang berwarna putih dengan kemilau katun yang halus …
Kepalanya berbentuk turban – ini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa ini.

10. “Ketika Beliau berjalan, Beliau melangkahkan kaki kanan terlebih dulu. Beliau tidak melangkahkan kakiNya terlalu jauh atau terlalu dekat. Beliau tidak berjalan terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Beliau berjalan tanpa kedua lututnya saling beradu. Beliau berjalan tanpa mengangkat atau menurunkan pahanya, dan tanpa merapatkan atau merenggangkannya. Ketika Beliau berjalan, hanya bagian bawah tubuhNya yang bergerak, dan Beliau tidak berjalan dengan usaha tubuhNya. Ketika Beliau melihat ke belakang, Beliau melakukannya dengan seluruh tubuhnya. Beliau tidak melihat ke atas; Beliau tidak melihat ke bawah. Beliau tidak berjalan dengan melihat ke sekeliling. Beliau melihat sejauh panjang gandar-bajak di depan; di luar itu Beliau memiliki pengetahuan dan penglihatan yang tanpa halangan.

11. “Ketika Beliau memasuki rumah, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan badannya, atau membungkuk ke depan atau ke belakang. [138] Beliau berputar tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dari tempat duduk. Beliau tidak bersandar pada tempat duduk dengan tangannya. Beliau tidak melemparkan badannya ke tempat duduk.

12. “Ketika duduk di dalam rumah, Beliau tidak menggerak-gerakkan tangannya karena gelisah. Beliau tidak menggerak-gerakkan kakinya karena gelisah. Beliau tidak duduk dengan lutut bersilang. Beliau tidak duduk dengan pergelangan kaki bersilang. Beliau tidak duduk dengan bertopang dagu. Ketika duduk di dalam rumah Beliau tidak takut, Beliau tidak menggigil dan gemetar, Beliau tidak gugup. Karena tidak takut, tidak menggigil atau gemetar atau gugup, Beliau tidak merinding dan Beliau mengarahkan perhatian pada keterasingan.

13. “Ketika Beliau menerima air untuk mencuci mangkuknya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuknya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuknya. Beliau mencuci mangkuknya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuknya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuknya di lantai untuk mencuci tangannya: ketika mencuci tangannya, mangkuknya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuknya, tangannya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

14. “Ketika Beliau menerima nasi, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuknya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit nasi. Beliau menambahkan kuah dengan porsi selayaknya; Beliau tidak melebihi takaran yang seharusnya dalam suapannya. Beliau membalikkan suapan itu dua atau tiga kali di dalam mulutnya dan kemudian menelannya, dan tidak ada butiran nasi yang memasuki tubuhnya tanpa dikunyah, dan tidak ada butiran nasi yang tertinggal di mulutnya; kemudian Beliau mengambil suapan berikutnya. Beliau memakan makanannya dengan mengalami rasanya, namun tanpa mengalami keserakahan akan rasanya. Makanan yang Beliau makan memiliki delapan faktor: bukan demi kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya demi ketahanan dan kelangsungan jasmani ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, dan untuk membantu kehidupan suci; [139] Beliau mempertimbangkan: “Dengan demikian Aku akan menghilangkan perasaan lama tanpa memunculkan perasaan baru dan Aku akan sehat dan tanpa cela dan hidup dalam kenyamanan.”

15. “Ketika Beliau telah selesai makan dan menerima air untuk mencuci mangkukNya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuknya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuknya. Beliau mencuci mangkuknya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuknya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuknya di lantai untuk mencuci tangannya: ketika mencuci tangannya, mangkuknya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuknya, tangannya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

16. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau meletakkan mangkuknya di lantai tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat; dan Beliau sama sekali tidak mengabaikan mangkuknya juga tidak terlalu mencemaskannya.

17. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau duduk sebentar, tetapi tidak melewatkan waktu untuk memberikan pemberkahan.  Ketika Beliau telah selesai makan dan memberikan berkah, Beliau tidak melakukannya dengan mengkritik makanan atau mengharapkan makanan lainnya; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Ketika Beliau telah melakukan semua itu, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

18. “Beliau tidak berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat, dan Beliau tidak pergi bagaikan seorang yang ingin melarikan diri.

19. “JubahNya tidak dikenakan terlalu tinggi atau terlalu rendah di badanNya, juga tidak terlalu ketat di badanNya, juga tidak terlalu longgar di badannya, juga angin tidak meniup terbang jubahnya dari badanNya. Debu dan kotoran tidak mengotori badanNya.

20. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Setelah duduk, Beliau mencuci kakinya, walaupun Beliau tidak peduli dengan keindahan kakinya. Setelah mencuci kakiNya, Beliau duduk bersila, menegakkan tubuhNya, dan menegakkan perhatian di depanNya. Beliau tidak memenuhi pikirannya dengan penderitaan diriNya sendiri, atau penderitaan makhluk lain, atau penderitaan keduanya; Beliau duduk dengan pikiran terarah pada kesejahteraan diri sendiri, pada kesejahteraan makhluk lain, dan pada kesejahteraan keduanya, bahkan pada kesejahteraan seluruh dunia. [140]

21. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau mengajarkan Dhamma kepada para hadirin. Beliau tidak menyanjung juga tidak mencela para hadirin; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Kata-kata yang keluar dari mulutnya memiliki delapan kualitas: jelas, dapat dipahami, berirama, dapat didengar, bergema, merdu, dalam, dan nyaring. Tetapi walaupun suaranya menjangkau keseluruhan pendengar, namun kata-katanya tidak keluar dari keseluruhan pendengar. Ketika orang-orang telah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Beliau, mereka bangkit dari duduk dan pergi dengan menatap Beliau dan tidak mempedulikan hal lainnya.

22. “Kami telah melihat Guru Gotama berjalan, Tuan, kami telah melihat Beliau berdiri, kami telah melihat Beliau memasuki rumah, kami telah melihat Beliau di dalam rumah duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau makan di dalam rumah. Kami telah melihat Beliau duduk diam setelah makan, kami telah melihat Beliau memberikan pemberkahan setelah makan, kami telah melihat Beliau kembali ke vihara, kami telah melihat Beliau di dalam vihara duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau di dalam vihara mengajarkan Dhamma kepada para pendengar. Demikianlah Guru Gotama; demikianlah Beliau, dan lebih dari itu.”

23. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama, mungkin kami dapat berbincang-bincang dengan Beliau.”

24. Kemudian, dalam pengembaraanNya, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Mithilā. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Para brahmana perumah tangga di Mithilā mendengar: [141] “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu, dan sekarang Beliau telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti pada § 3 di atas) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

25. Kemudian para brahmana perumah tangga di Mithilā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

26. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva.”

Kemudian Brahmana Brahmāyu mendatangi Hutan Mangga Makhādeva bersama dengan sejumlah besar murid brahmana. “Tidaklah selayaknya bagiku untuk menemui Petapa Gotama tanpa terlebih dulu diperkenalkan.” Maka ia berkata kepada seorang murid brahmana: “Pergilah, murid brahmana, temui Petapa Gotama dan tanyakan atas namaku apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Guru Gotama, Brahmana Brahmāyu menanyakan apakah Guru Gotama terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman,’ dan katakan ini: ‘Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama, sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Dari semua brahmana perumah tangga di Mithilā, Brahmana Brahmāyu dinyatakan sebagai yang terkemuka di antara mereka dalam hal kekayaan, dalam hal pengetahuan syair puji-pujian, [142] dan dalam hal usia dan kemayhuran. Ia ingin bertemu dengan Guru Gotama.’”

“Baik, Tuan,” murid brahmana itu menjawab. Ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dan menyampaikan pesannya. [Sang Bhagavā berkata:]

“Murid, silahkan Brahmana Brahmāyu datang.”

--------------
Bersambung
« Last Edit: 21 September 2010, 12:15:44 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
91 Brahmayu Sutta (Lanjutan)
« Reply #56 on: 14 September 2010, 11:07:58 PM »
Lanjutan Brahmayu Sutta
---------------------------

27. Kemudian murid brahmana itu mendatangi Brahmana Brahmāyu dan berkata: “Izin telah diberikan oleh Petapa Gotama. Silahkan engkau datang, Tuan.”

Maka Brahmana Brahmāyu mendatangi Sang Bhagavā. Dari kejauhan orang-orang yang berkumpul di sana melihat kedatangannya, dan seketika mereka memberi jalan kepadanya sebagai seorang yang terkenal dan termashyhur. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada kumpulan itu: “Cukup, tuan-tuan, silahkan semuanya duduk. Aku akan duduk di sini di sebelah Petapa Gotama.”

28. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa dalam tubuh Sang Bhagavā. [143] Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

29. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Tiga puluh dua tanda yang kupelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa –
   Aku masih belum melihat dua tanda ini
   Pada tubuhMu, Gotama.
   Apakah yang seharusnya terbungkus kain
   Tersembunyi dalam lapisan penutup, manusia tertinggi?
   Walaupun disebut dengan kata berjenis perempuan,
   Mungkinkah lidahmu adalah lidah laki-laki?
   Mungkinkah lidahmu juga lebar,
   Sesuai dengan apa yang telah kami pelajari?
   Sudilah memperlihatkannya sedikit
   Dan dengan demikian, O Yang Bijaksana, mengobati keragu-raguan kami
   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang
   Dan sekarang kami menginginkan izin untuk bertanya
   Tentang sesuatu yang sangat ingin kami ketahui.”

30. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Brahmāyu ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuhKu, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batinNya sehingga Brahmana Brahmāyu melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidahnya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telingaNya dan kedua lubang hidungnya, dan Beliau menutupi seluruh keningnya dengan lidahnya.

31. Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair ini sebagai jawaban kepada Brahmana Brahmāyu:

   “Tiga puluh dua tanda yang engkau pelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa –
   Semuanya dapat ditemukan pada tubuhKu:
   Oleh karena itu, Brahmana, janganlah engkau meragukan hal itu lagi.

   Apa yang harus diketahui telah Kuketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang,
   Karena izin telah diberikan kepadamu, silahkan engkau bertanya
   Tetang apa pun yang ingin engkau ketahui.”

32. Kemudian Brahmana Brahmāyu berpikir: “Izin telah diberikan kepadaku oleh Petapa Gotama. Apakah yang harus kutanyakan kepadanya: kebaikan dalam kehidupan ini atau kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berpikir: “Aku mahir dalam hal kebaikan dalam kehidupan ini, dan orang-orang lain juga bertanya kepadaku tentang kebaikan dalam kehidupan ini. Mengapa aku tidak menanyakan hanya tentang kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Bagaimanakah seseorang menjadi seorang brahmana?
   Dan bagaimanakah ia mencapai pengetahuan?
   Bagaimanakah agar ia memiliki tiga pengetahuan?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang terpelajar suci?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang Arahant?
   Dan bagaimanakah ia mencapai kesempurnaan?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang yang hening?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang Buddha?”

33. Kemudian Sang Bhagavā menjawab dalam syair:

   “Yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya.
   Melihat surga dan alam-alam sengsara,
   Dan telah sampai pada hancurnya kelahiran –
   Seorang bijaksana yang mengetahui melalui pengetahuan langsung,
   Yang mengetahui pikirannya murni,
   Sepenuhnya bebas dari segala nafsu.
   Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Yang sempurna dalam kehidupan suci,
   Yang melampaui segalanya –
   Seorang yang seperti ini disebut seorang Buddha.”

34. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama; Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama.”

35. Mereka yang berada dalam kumpulan itu merasa heran dan takjub, dan mereka berkata: “Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan, betapa besar kekuasaan dan kekuatan Petapa Gotama, karena Brahmana Brahmāyu yang terkenal dan termasyhur pun menunjukkan kerendahan hati seperti itu.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Brahmāyu: [145] “Cukup Brahmana, bangkitlah; duduklah di tempatmu karena pikiranmu telah berkeyakinan padaKu.”

Brahmana Brahmāyu kemudian bangkit dan duduk di tempat duduknya.

36. Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi bertingkat kepadanya,  yaitu, khotbah tentang berdana, khotbah tentang moralitas, khotbah tentang alam surga; Beliau menjelaskan bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan berkah pelepasan keduniawian. Ketika Beliau mengetahui bahwa pikiran Brahmana Brahmāyu telah siap, bisa menerima, bebas dari rintangan, gembira, dan berkeyakinan, Beliau membabarkan kepadanya ajaran yang khas para Buddha: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Seperti halnya sehelai kain yang bersih dengan segala noda telah dihilangkan akan menerima warna dengan merata, demikian pula, selagi Brahmana Brahmāyu duduk di sana, penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda muncul padanya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.” Kemudian Brahmana Brahmāyu melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak tergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

37. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup. Sudilah Sang Bhagavā, bersama dengan Sangha para bhikkhu, menerima persembahan makanan dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

38. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Brahmana Brahmāyu mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.” [146]

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju tempat kediaman Brahmana Brahmāyu dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, selama satu minggu, dengan kedua tangannya sendiri, Brahmana Brahmāyu melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik.

39. Di akhir satu minggu tersebut, Sang Bhagavā melakukan perjalanan mengembara di negeri Videha. Tidak lama setelah Beliau pergi, Brahmana Brahmāyu meninggal dunia. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Brahmāyu telah meninggal dunia. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Para bhikkhu, Brahmana Brahmāyu bijaksana, ia memasuki jalan Dhamma, dan ia tidak menyulitkan Aku dalam mengartikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana, tanpa pernah kembali lagi dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:16:36 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
92 Sela Sutta
« Reply #57 on: 14 September 2010, 11:09:32 PM »
92 Sela Sutta
Kepada Sela

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, [102] yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah pemukiman Anguttarāpa bernama Āpaṇa.

2. Petapa berambut kusut Keṇiya mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh [103]  bhikkhu, dan Beliau telah tiba di Āpaṇa. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian Petapa berambut kusut Keṇiya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma. Kemudian, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerime persembahan makanan dariku besok.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya, [104] terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan engkau berkeyakinan penuh pada para brahmana.”

Untuk ke dua kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama, terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan walaupun aku berkeyakinan penuh pada para brahmana, namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerime persembahan makanan dariku besok.” Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya …”

Untuk ke tiga kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama … namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

4. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, petapa berambut kusut Keṇiya bangkit dari duduknya dan kembali ke pertapaannya di mana ia berkata kepada teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya sebagai berikut: “Dengarkan aku, tuan-tuan, teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku. Petapa Gotama telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan dariku besok bersama dengan Sangha para bhikkhu. Lakukanlah pembelanjaan dan persiapan yang diperlukan untukku.”

“Baik, Tuan,” mereka menjawab, dan beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiya sendiri mendirikan sebuah paviliun.

5. Pada saat itu Brahmana Sela sedang menetap di Āpaṇa. [105] Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa, dan sedang mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana.

6. Ketika ia si petapa berambut kusut Keṇiya berkeyakinan penuh pada Brahmana Sela. Kemudian Brahmana Sela, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya. Di sana ia melihat beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiyasendiri mendirikan sebuah paviliun.

7. Ketika ia melihat ini, ia bertanya kepada si petapa berambut kusut Keṇiya: “Apa? Apakah Guru Keṇiya akan mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anaknya? Atau apakah akan mengadakan upacara pengorbanan besar? Atau apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha telah diundang bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok?”

8. “Aku tidak mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anakku, Guru Sela, juga tidak mengundang Raja Seniya Bimbisara dari Magadha bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok, tetapi aku merencanakan suatu pengorbanan besar. Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan telah sampai di Āpaṇa. [106] Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. tercerahkan [Buddha], terberkahi.’ Beliau telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan besok bersama dengan Sangha para bhikkhu.”

9. “Apakah engkau mengatakan ‘Buddha,’ Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

“Apakah engkau mengatakan ‘Buddha,’ Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

10. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Bahkan kata ‘Buddha’ saja sulit terdengar di dunia ini. Sekarang tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain. Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-panakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: Pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh. Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudera, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia.”

11. [Ia berkata]: “Keṇiya yang baik, dimanakah Guru Gotama, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna, sekarang menetap?”

Ketika hal ini dikatakan, si petapa bermbut kusut Keṇiya merentangkan lengan kanannya dan berkata: [107] “Di sana, di mana batas hijau hutan terletak, Guru Sela.”

12. Kemudian Brahmana Sela pergi bersama tiga ratus murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā. Ia berkata kepada para murid brahmana: “Berjalanlah dengan tenang, tuan-tuan, melangkahlah dengan hati-hati; karena Para Bhagavā ini sulit didekati bagaikan singa yang mengembara sendirian. Ketika aku sedang berbicara dengan Petapa Gotama, jangan menyelaku, tetapi tunggulah hingga pembicaraan kami selesai.”

13. Kemudian Brahmana Sela mendatangi Sang Bhagava dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Sela ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuhKu, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

14. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batinNya sehingga Brahmana Brahmāyu melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. [108] Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidahnya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telingaNya dan kedua lubang hidungnya, dan Beliau menutupi seluruh keningnya dengan lidahnya.

15. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa; tanda-tanda itu lengkap, bukan tidak lengkap. Tetapi aku tidak tahu apakah Beliau adalah Buddha atau bukan. Akan tetapi, aku telah mendengar dari para para sesepuh brahmana yang lanjut usia yang berbicara menurut silsilah para guru bahwa mereka yang adalah Para Sempurna, Para tercerahkan Sempurna, mengungkapkan diri mereka ketika puji-pujian diucapkan. Bagaimana jika aku memuji Petapa Gotama dengan syair-syair selayaknya.”

Kemudian ia memuji Sang Bhagava dengan syair-syair selayaknya.

16.  Sela
“O yang sempurna tubuhnya, menarik,
Indah dan menyenangkan dipandang;
O Sang Bhagava, keemasan warna kulitMu,
Dan putih gigiMu; Engkau kuat.

Ciri-ciri yang terlihat seluruhnya
Yang membedakan seorang yang berkelahiran baik;
Semuanya terdapat pada tubuhMu,
Tanda-tanda ini mengungkapkan seorang Manusia Luar Biasa.

Dengan mata yang jernih, dengan wajah cerah,
Agung, tegak bagaikan kobaran api,
Di tengah-tengah sosok para petapa ini
Engkau bersinar bagaikan matahari yang menyala.

Seorang bhikkhu yang begitu indah dipandang
Dengan kulit yang berkilau keemasan –
Dengan ketampanan yang begitu jarang terdapat mengapa Engkau
Puas dengan kehidupan seorang petapa?

Engkau layak menjadi seorang raja, pemimpin barisan kereta,
Seorang raja yang memutar roda,
Seorang pemenang di empat penjuru
Dan pemimpin Hutan Pohon Jambu.

   Dengan para prajurit dan para pangeran mulia
   Semuanya mengabdi padaMu,
   O Gotama, Engkau seharusnya berkuasa
   Sebagai pemimpin manusia, raja di atas segala raja.”

17. Buddha
   “Aku memang adalah seorang raja, O Sela,”
   Sang Bhagavā menjawab.
   “Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda,
   Roda yang tidak dapat dihentikan oleh siapa pun.”

18. Sela
   “Engkau mengaku tercerahkan sempurna,” Brahmana Sela berkata,
   “Engkau mengatakan kepadaku, O Gotama,
   ‘Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda.’

   Siapakah JenderalMu, siswaMu
   Yang mengikuti dalam jalan Sang Guru?
   Siapakah yang membantuMu memutar
   Roda Dhamma yang Engkau putar?”

19. Buddha
   “Roda yang Kuputar,”
   Sang Bhagavā menjawab,
   “Roda Dhamma tertinggi yang sama itu,
   Sāriputta putera Sang Tathāgata
   membantuKu memutar roda ini.

   Apa yang harus diketahui telah diketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah dikembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah ditinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Maka singkirkanlah keragu-raguanmu padaKu
   Dan biarkan tekad muncul,
   Karena adalah sulit untuk menyaksikan
   Pemandangan Para Yang Tercerahkan. [110]

   Aku adalah seorang yang kehadirannya di dunia ini
   Adalah sangat jarang terjadi,
   Aku adalah Yang Tercerahkan Sempurna,
   Aku, O Brahmana, adalah tabib tertinggi.

   Aku adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra;
   Setelah mengalahkan semua musuhKu,
   Aku bergembira bebas dari ketakutan.”

20. Sela
   “O Tuan-tuan, dengarkan ini, dengarkan apa yang Beliau katakan,
   Orang berpenglihatan, sang tabib,
   Pahlawan perkasa yang mengaum
   Bagaikan singa di dalam hutan.

   Siapakah, bahkan walaupun seorang yang berkelahiran hina,
   Yang tidak mempercayainya ketika ia melihat
   Bahwa Beliau adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra?

   Sekarang silahkan mengikuti bagi yang menginginkan
   Dan yang tidak menginginkan, silahkan pergi.
   Karena aku akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

21. Murid-murid
   ‘Jika, O Tuan, sekarang engkau menyetujui
   Ajaran dari Yang Tercerahkan ini,
   Kami juga akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

22. Sela
   “Ada tiga ratus brahmana di sini
   Yang dengan tangan teracung memohon:
   ‘O semoga kami menjalani kehidupan suci
   Di bawah Engkau, O Sang Bhagavā.’”

23. Buddha
   “Kehidupan suci telah dinyatakan dengan sempurna,
   O Sela,” Sang Bhagavā berkata,
   “Terlihat di sini dan tidak tertunda;
   Seorang yang berlatih dengan tekun
   Akan memperoleh buah pelepasan keduniawian.”

24. Kemudian Brahmana Sela dan kelompoknya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan mereka menerima penahbisan penuh.

25. Kemudian, ketika malam telah berlalu, si petapa berambut kusut Keṇiya mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di pertapaannya [111] dan mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan sudah siap.” Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan kedua tangannya sendiri, si petapa berambut kusut melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkukNya ke samping, si petapa berambut kusut mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā memberikan pemberkahan kepadanya dengan syair ini:

26.    “Persembahan yang terbakar adalah keagungan api,
   Sāvitri adalah keagungan syair pujian Veda,
   Seorang raja adalah keagungan manusia,
   Samudera adalah keagungan sungai yang mengalir;

   Bulan adalah keagungan bintang-bintang,
   Matahari adalah keagungan dari segala yang bersinar;
   Jasa adalah keagungan dari semua yang mengharapkannya;
   Sangha adalah keagungan dari mereka yang memberi.”

Setelah Sang Bhagava memberikan berkah dengan syair-syair ini, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Kemudian tidak lama setelah penahbisan penuh mereka, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Sela dan kelompoknya, [112] dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Dan Yang Mulia Sela dan kelompoknya menjadi para Arahant.

28. Kemudian Yang Mulia Sela dan kelompoknya menghadap Sang Bhagavā. Setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, dengan merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata dalam syair sebagai berikut:

   “Delapan hari telah berlalu, Yang Maha-Melihat,
   Sejak kami berlindung padaMu.
   Dalam tujuh malam ini, O Sang Bhagavā,
   Kami telah dijinakkan di dalam ajaranMu.

   Engkau adalah Sang Buddha, Engkau adalah Sang Guru,
   Engkau adalah Sang Bijaksana, penakluk Māra.
   Setelah memotong segala kecenderungan buruk,
   Engkau telah menyeberang dan menuntun umat manusia menyeberang.

   Engkau telah mengatasi segala perolehan,
   Engkau telah melenyapkan segala noda.
   Engkau adalah singa yang bebas dari kemelekatan,
   Engkau telah meninggalkan ketakutan dan kekhawatiran.

   Di sini ketiga ratus bhikkhu ini berdiri
   Dengan tangan dirangkapkan dalam penghormatan.
   O Pahlawan, julurkanlah kakiMu,
   Dan ijinkan makhluk-makhluk agung ini menyembah Sang Guru.”

« Last Edit: 21 September 2010, 12:18:08 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
93 Assalayana Sutta
« Reply #58 on: 14 September 2010, 11:12:38 PM »
93  Assalāyana Sutta
Kepada Assalāyana


[147] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu lima ratus brahmana dari berbagai propinsi sedang menetap di Sāvatthī untuk suatu urusan. Kemudian para brahmana itu berpikir: “Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta.  Siapakah di sini yang mampu membantahNya atas pernyataan ini?”

3. Pada saat itu seorang murid brahmana bernama Assalāyana sedang menetap di Sāvatthī. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Kemudian para brahmana berpikir: “Ada seorang murid brahmana muda bernama Assalāyana yang sedang menetap di Sāvatthī. Muda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia akan mampu berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

4. Maka para brahmana itu mendatangi murid brahmana Assalāyana dan berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke dua kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana”

Untuk ke dua kalinya murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke tiga kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana. Jangan sampai Guru Assalāyana kalah sebelum bertempur.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tentu saja, tuan-tuan, aku belum selesai ketika aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma.’ Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Tetapi, tuan-tuan, atas permintaan kalian  aku akan pergi.”

5. Kemudian murid brahmana Assalāyana pergi bersama dengan sejumlah besar para brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, para kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta yang paling cerah, para kasta lainnya adalah gelap; hanya para brahmana yang dimurnikan, bukan non-brahmana; hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal itu?”

“Sekarang, Assalāyana, para perempuan brahmana terlihat mengalami periode menstruasi, menjadi hamil, melahirkan, dan menyusui.  Namun para brahmana itu, walaupun terlahir dari rahim, mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... hanya para brahmana yang merupakan para putera Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’” [149]

6. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

‘Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Pernahkah engkau mendengar bahwa Yona dan Kamboja  dan di negeri asing lainnya terdapat hanya dua kasta, majikan dan budak, dan bahwa para majikan menjadi budak dan budak menjadi majikan?”

“Demikianlah yang kudengar, Tuan.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

7. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

‘Bagaimana menurutmu, Assalāyana?  Misalkan seorang mulia membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana? Misalkan seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – dan bukan seorang brahmana?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang membunuh makhluk-makhluk hidup [150] … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

8. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

‘Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang brahmana menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gossip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga – dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali alam yang bahagia, bahkan di alam surga.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

9. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, [151] tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

‘Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

10. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja – mereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

11. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

‘Bagaimana menurutmu, Assalāyana? [152] Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda dan berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, silahkan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga mulia atau keluarga brahmana atau keluarga bangsawan mengambil sebatang kayu api kayu sāla, kayu salala, kayu cendana,  atau kayu padumaka dan menyalakan api dan menghasilkan panas. Dan juga silahkan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga buangan, keluarga pemburu, keluarga pembuat keranjang, keluarga pembuat kereta, atau keluarga pemungut sampah, mengambil kayu dari tempat minum anjing, dari tempat makan babi, dari tempat sampah, atau dari kayu jarak dan menyalakan api dan menghasilkan panas.’

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, apakah api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan apakah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api, sementara ketika api dinyalan dan panas dihasilkan oleh seseorang dari kelompok ke dua, api itu tidak memiliki kobaran, tanpa warna, dan tanpa cahaya, dan tidak mungkin menggunakannya sebagai fungsi api?”

“Tidak, Guru Gotama. Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Dan api yang dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok ke dua, api itu juga memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Karena semua api memiliki kobaran, [153] warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Kalau begitu atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: : ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’?”

12. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda mulia hidup bersama dengan seorang gadis brahmana, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ayah atau seorang brahmana mengikuti sang ibu?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

13. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda brahmana hidup bersama dengan seorang gadis mulia, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ibu atau seorang brahmana mengikuti sang ayah?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seekor kuda betina dikawinkan denagn seekor keledai jantan, dan seekor anak kuda terlahir sebagai akibatnya. Apakah anak kuda itu disebut seekor kuda mengikuti sang ibu atau seekor keledai mengikuti sang ayah?”

“Itu adalah seekor bagal, Guru Gotama, karena anak kuda itu tidak berasal dari jenis mana pun. [154] Aku melihat perbedaan dalam kasus terakhir ini, tetapi aku tidak melihat perbedaan dalam kasus-kasus sebelumnya.”

15. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang rajin belajar dan cerdas, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas dapat menghasilkan buah besar?”

16. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas tetapi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk dapat menghasilkan buah besar?”

17. “Pertama-tama, Assalāyana, engkau berpegang pada kelahiran, dan setelah itu engkau berpegang pada pembelajaran kitab-kitab, dan setelah itu engkau akhirnya berpegang pada landasan pemurnian bagi keseluruhan empat kasta, seperti yang Kujelaskan.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana duduk diam dan cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak mampu menjawab. Mengetahui hal ini, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

18, “Suatu ketika, Assalāyana, ketika tujuh petapa brahmana sedang berdiskusi di dalam sebuah gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: ‘Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... [155] ... pewaris Brahmā.’ Petapa Devala si Gelap mendengar hal ini.  Kemudian ia merapikan rambut dan janggutnya, mengenakan pakaian berwarna kuning, memakai sandal besar, dan memegang tongkat emas, ia muncul di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu. Kemudian, selagi berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu, Petapa Devala si Gelap berkata sebagai berikut: ‘Kemanakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Kemanakah para petapa brahmana mulia itu pergi?’ Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Siapakah yang berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana seperti orang dusun dan mengatakan: “Kemanakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Kemanakah para petapa brahmana mulia itu pergi?” mari kita mengutuknya!’ Kemudian ketujuh petapa brahmaan itu mengutuk petapa Devala si Gelap sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ Tetapi semakin ketujuh petapa brahmana itu mengutuknya, Petapa Devala si Gelap itu  menjadi semakin menarik dan tampan. Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Pertapaan kami sia-sia, kehidupan suci kami tidak berbuah; karena sebelumnya jika kami mengutuk seseorang sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ maka ia pasti menjadi abu; tetapi semakin kami mengutuk orang ini, ia menjadi semakin menarik dan tampan.’

“’Pertapaan kalian tidak sia-sia, tuan-tuan, kehidupan suci kalian bukan tidak berbuah. Tetapi, Tuan-tuan, singkirkanlah kebencian kalian terhadapku.’ [156]

“’Kami telah menyingkirkan kebencian kami terhadapmu, Tuan. Siapakah engkau?’

“’Pernahkah kalian mendengar tentang Petapa Devala si Gelap, Tuan-tuan?’ – ‘Pernah, Tuan.’ – Akulah Petapa si gelap itu, Tuan-tuan.’

“Kemudian ketujuh petapa brahmana itu mendatangi Petapa Devala si Gelap dan bersujud padanya. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, aku mendengar ketika ketujuh petapa brahmana sedang berdiam di dalam gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: “Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.”’ – ‘Demikianlah, Tuan.’

“’Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu yang melahirkan kalian hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’ – ‘Tidak, Tuan.’

“’Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu dari ibu kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’ – ‘Tidak, Tuan.’

“’Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah yang menurunkan kalian hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’ – ‘Tidak, Tuan.’

“’Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah dari ayah kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’ – ‘Tidak, Tuan.’

“’Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bagaimana munculnya janin terjadi?’

“’Tuan, kami mengetahui bagaimana munculnya janin terjadi. [157] Di sini, penyatuan ibu dan ayah, dan ibu sedang dalam masa subur, dan gandhabba hadir. Demikianlah munculnya janin terjadi melalui perpaduan ketiga hal ini.’

“Kalau begitu, Tuan-tuan, apakah kalian mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?’

“Tuan, kami tidak mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja.’

“’Kalau begitu, Tuan-tuan, jadi siapakah kalian?’

“’Kalau begitu, Tuan, kami tidak mengetahui siapa kami ini.’

“Sekarang, Assalāyana, bahkan ketujuh petapa brahmana itu, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh Petapa Devala si Gelap tentang pernyataan mereka sendiri sehubungan dengan kelahiran, tidak mampu mempertahankannya. Tetapi bagaimana mungkin engkau, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat olehKu tentang pernyataanmu sehubungan dengan kelahiran, mampu mempertahankannya? Engkau, yang mengandalkan doktrin-doktrin gurumu, [bahkan] tidak [sebanding dengan] Puṇṇa pemegang sendok mereka.”

19. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagunkan, Guru Gotama! ... (seperti Sutta 91, §37)  ... Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatkan sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 21 September 2010, 12:19:17 PM by Hendra Susanto »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
94 Ghotamukha Sutta
« Reply #59 on: 14 September 2010, 11:13:32 PM »
94  Ghoṭamukha Sutta
Kepada Ghoṭamukha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Hutan Mangga Khemiya.

2. Pada saat itu Brahmana Ghoṭamukha telah tiba di Benares untuk suatu urusan. Sewaktu ia sedang [158] berjalan-jalan untuk berolah-raga, ia sampai di Hutan Mangga Khemiya. Pada saat itu Yang Mulia Udena sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mendatangi Yang Mulia Udena dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, sambil berjalan mondar-mandir bersama Yang Mulia Udena, ia berkata: “Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udena melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia.  Dan Ghoṭamukha juga melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediaman, di mana ia berdiri di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Udena berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Brahmana, silahkan duduk jika engkau menginginkan.”

“Kami tidak duduk karena kami sedang menunggu Guru Udena [berbicara]. Karena bagaimana mungkin seseorang seperti diriku berani duduk di tempat duduk tanpa sebelumnya diundang untuk duduk?”

4. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Udena: ‘Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.’

“Brahmana, jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diterima, maka terimalah; jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diperdebatkan, maka perdebatkanlah, tanyakanlah untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini kita dapat mendiskusikan persoalan ini.”

“Guru Udena, jika aku merasa bahwa apa pun pernyataan Guru Udena harus diterima, maka aku akan menerima; jika aku merasa bahwa apa pun pernyataannya harus diperdebatkan, maka aku akan memperdebatkannya; dan jika aku [159] tidak memahami makna dari pernyataan Guru Udena, maka aku akan menanyakan kepada Guru Udena untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini marilah kita mendiskusikan persoalan ini.”

5-6. “Brahmana, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini?” … (seperti Sutta 51, §§5-6) [160] …

“Tetapi, Guru Udena, jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang kain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci – ia tidak menyiksa dan melukai dirinya maupun makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Itulah sebabnya jenis orang ini memuaskan pikiranku.”

7. “Brahmana, ada dua jenis kelompok. Apakah dua ini? Di sini kelompok tertentu bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak. Tetapi di sini kelompok tertentu tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang ada jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang kain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci. Dalam kelompok manakah dari kedua jenis kelompok ini engkau biasanya melihat orang jenis ini, Brahmana – dalam kelompok yang bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak; atau dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

[161] “Aku biasanya melihat orang jenis ini, Guru Udena, dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak … meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

8. “Tetapi baru saja, Brahmana, kami mendengar engkau mengatakan: ‘Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.’

“Tentu saja, Guru Udena, adalah dengan tujuan untuk belajar maka aku mengatakan kata-kata itu. Ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma; demikianlah sepertinya bagiku, dan sudilah Guru Udena mengingatku [telah berkata] demikian. Baik sekali jika, demi belas kasihan, Guru Udena sudi menjelaskan kepadaku secara terperinci mengenai keempat jenis orang yang telah disebutkan secara singkat.”

9. “Maka, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan,” – “Baik, Tuan,” Brahmana Ghoṭamukha menjawab. Yang Mulia Udena berkata sebagai berikut:

10-30. “Brahmana, orang-orang jenis apakah yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang ... (seperti Sutta 51,§§8-28) [162] ... dan berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Ghoṭamukha berkata kepada Yang Mulia Udena: “Mengagumkan, Guru Udena! Mengagumkan, Guru Udena! Guru Udena telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita adalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Udena dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

32. “Jangan berlindung padaku, Brahmana. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang sama dengan yang padaNya aku berlindung.”

“Di manakah Beliau menetap sekarang, Guru Gotama itu, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, Guru Udena?”

“Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu telah mencapai Nibbāna akhir, Brahmana.”

11. “Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada sepuluh liga jauhnya, maka kami akan pergi sejauh sepuluh liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada dua puluh liga ... tiga puluh liga ... empat puluh liga ... lima puluh liga ... seratus liga, [163] maka kami akan pergi sejauh sertus liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Tetapi karena Guru Gotama telah mencapai Nibbāna akhir, maka kami berlindung pada Guru Gotama itu, dan kepada Dhamma, dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

33. “Sekarang, Guru Udena, Raja Anga memberikan persembahan harian kepadaku. Dari persembahan itu izinkan aku memberikan persembahan rutin kepada Guru Udena.”

“Persembahan rutin apakah yang diberikan oleh Raja Anga kepadamu, Brahmana?”

“Lima ratus kahāpaṇa, Guru Udena.”

“Kami tidak diperbolehkan menerima emas dan uang, Brahmana.”

“Jika tidak diperbolehkan bagi Guru Udena, maka aku akan membangun sebuah vihara untuk Guru Udena.”

“Jika engkau ingin membangun sebuah vihara untukku, Brahmana, bangunlah sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

“Aku bahkan menjadi lebih puas dan lebih senang dengan usul Guru Udena untuk memberikan persembahan kepada Sangha. Maka dengan persembahan rutin ini dan persembahan rutin lainnya, aku akan membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

Kemudian dengan persembahan rutin [yang ia persembahkan kepada Guru Udena] dan persembahan rutin lainnya [yang ditambahkan], Brahmana Ghoṭamukha membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta. Dan sekarang dikenal sebagai Ghoṭamukhi.
« Last Edit: 21 September 2010, 12:20:31 PM by Hendra Susanto »

 

anything