//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52328 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #15 on: 22 July 2010, 10:42:26 AM »
40. (4) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di antara manusia.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di antara manusia, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah datar dengan dedauan yang lebat menghasilkan bayangan yang penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. [76]

41. (5) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan terdapat sebuah istana, dan istana itu memiliki kamar atas yang di-plester bagian luar dan dalamnya, terkunci, diperkokoh dengan teralis, dengan jendela tertutup, dan di dalamnya terdapat sebuah dipan berlapiskan permadani, selimut dan alas dipan, dengan penutup dipan dari kulit rusa, lengkap dengan kanopi serta bantal merah di kedua ujungnya [kepala dan kaki]; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju istana tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke istana ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring di dalam kamar atas di dalam istana itu mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan.

42. (6) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.’ Dan kemudian setelah itu Aku melihat bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan.  Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju kolam tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke kolam ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu telah masuk ke dalam kolam, mandi, minum, dan melepaskan segala kepenatan, kelelahan, dan telah keluar lagi dan sedang duduk atau berbaring di dalam hutan [77] mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. Ini adalah lima alam tujuan kelahiran.

43. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya’ – jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka. Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan akan menikmati pengetahuan akhir di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka.

(PRAKTIK KERAS SANG BODHISATTA)

44.  “Sāriputta, Aku ingat telah menjalani kehidupan suci yang memiliki empat faktor. Aku telah mempraktikkan pertapaan – pertapaan sangat keras; Aku telah mempraktikkan kekasaran – sangat kasar; Aku telah mempraktikkan kehati-hatian – sangat hati-hati; Aku telah mempraktikkan keterasingan – sangat terasing.

45. “Beginilah pertapaanKu, Sāriputta, bahwa Aku bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan-kebiasaan, menjilat tanganKu, tidak datang ketika dipanggil, tidak berhenti ketika diminta; Aku tidak menerima makanan yang dibawa atau makanan yang secara khusus dipersiapkan atau suatu undangan makan; Aku tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; Aku tidak menerima ikan atau daging, Aku tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Aku mendatangi satu rumah, satu suap; aku mendatangi dua [78] rumah, dua suap; … Aku mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Aku makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari; Aku makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; aku berdiam menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan. Aku adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Aku hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; Aku memakan buah-buahan yang jatuh. Aku mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. Aku adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut. Aku adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Aku adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Aku adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku; Aku menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidurKu. Aku berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara Aku berdiam dengan menjalani praktik menyiksa dan menghukum diri. Demikianlah pertapaanKu.

46. “Beginilah kekasaranKu, Sāriputta, bagaikan batang pohon Tindukā, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel dan mengelupas, demikian pula, debu dan daki, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel di tubuhKu dan mengelupas. Tidak pernah terpikir olehKu: ‘Oh, Aku akan menggosok debu dan daki ini dengan tanganKu, atau membiarkan orang lain menggosok debu dan daki ini dengan tangannya’ – tidak pernah terpikirkan olehKu demikian. Demikianlah kekasaranKu.

47. “Beginilah kehati-hatianKu, Sāriputta, bahwa Aku senantiasa penuh perhatian dalam melangkah maju dan melangkah mundur. Aku selalu berbelas kasihan bahkan pada [makhluk-makhluk] dalam setetes air sebagai berikut: ‘Semoga Aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah tanah ini.’  Demikianlah kehati-hatianKu.

48. “Beginilah keterasinganKu, Sāriputta, bahwa [79] Aku akan memasuki hutan dan berdiam di sana. Dan ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba atau seseorang yang sedang mengumpulkan rumput atau kayu, atau seorang pekerja hutan, Aku akan pergi dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit. Mengapakah? Agar mereka tidak melihatKu atau agar Aku tidak melihat mereka. Bagaikan seekor rusa yang lahir di dalam hutan, ketika melihat manusia, akan lari dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, demikian pula, ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba … Demikianlah keterasinganKu.

49. “Aku akan bepergian dengan keempat tangan dan kakiKu menuju kandang sapi ketika sapi-sapi telah pergi dan si penggembala meninggalkannya, dan Aku akan memakan kotoran sapi-sapi muda. Selama kotoran dan air kencingKu masih ada, Aku akan memakan kotoran dan air kencingKu sendiri. Demikianlah praktik kerasKu dalam hal memakan kotoran.

50.  “Aku akan pergi ke hutan-hutan yang menakutkan dan berdiam di sana – hutan yang begitu menakutkan sehingga umumnya akan membuat seseorang merinding jika ia tidak terbebas dari nafsu. Pada malam-malam musim dingin selama ‘delapan hari interval beku,’ Aku akan berdiam di ruang terbuka dan siang harinya di dalam hutan.  Dalam bulan terakhir musim panas Aku akan berdiam di ruang terbuka pada siang hari dan di dalam hutan pada malam hari. Dan di sana secara spontan muncul dalam diriKu syair ini yang belum pernah terdengar sebelumnya:

   ‘Kedinginan di malam hari dan terpanggang di siang hari,
   Sendirian di dalam hutan yang menakutkan,
   Telanjang, tidak ada api untuk duduk di dekatnya,
   Namun Sang Petapa tetap melanjutkan pencariannya.’

51. “Aku membuat tempat tidur di tanah pekuburan dengan tulang-belulang orang mati sebagai bantal. Dan anak-anak penggembala datang dan meludahiKu, mengencingiKu, melemparkan tanah kepadaKu, dan menusukkan kayu ke dalam telingaKu. Namun Aku tidak ingat bahwa Aku pernah membangkitkan pikiran jahat [kebencian] terhadap mereka. Demikianlah kediamanKu dalam keseimbangan. [80]

52.  “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’  Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan buah kola,’ dan mereka memakan buah kola, mereka memakan tepung kola, mereka meminum air buah kola, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan buah kola. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu buah kola sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa buah kola pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; buah kola pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu buah kola sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku unta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

53-55. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’ Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan kacang,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan wijen,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan nasi,’ dan mereka memakan nasi, mereka memakan tepung beras, [81] mereka meminum air beras, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan beras. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu butir nasi sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa butiran nasi pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; butiran nasi pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu butir nasi sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit ... maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

56. “Akan tetapi, Sāriputta, dengan melakukan demikian, dengan praktik demikian, dengan melakukan pertapaan keras demikian, Aku tidak mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Karena Aku belum mencapai kebijaksanaan mulia yang ketika tercapai maka menjadi mulia dan membebaskan dan menuntun seseorang yang mempraktikkannya menuju kehancuran total penderitaan.

57. “Sāriputta, Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui lingkaran kelahiran kembali.’ Tetapi tidaklah mudah menemukan alam dalam lingkaran ini di mana Aku belum pernah [82] melaluinya dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni; dan jika Aku terlahir kembali sebagai dewa di Alam Murni, maka Aku tidak akan kembali ke dunia ini.

58. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] kelahiran tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis kelahiran kembali yang mana Aku belum pernah terlahirkan kembali dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni ...

59. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] alam kehidupan tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis alam di mana Aku belum pernah berdiam di dalamnya ... kecuali sebagai para dewa di alam murni ...

60. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pengorbanan.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis pengorbanan yang belum pernah Kupersembahkan dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

61. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pemujaan api.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis api yang belum pernah Kusembah dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

62. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Selama orang baik ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam dengan berkah kemudaannya, dalam tahap utama kehidupannya, maka selama itu ia sempurna dalam kebijaksanaan cerahnya. Tetapi ketika orang baik ini tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir, berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, maka kecemerlangan kebijaksanaannya hilang.’ Tetapi jangan beranggapan demikian. Aku sekarang sudah tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir: umurku sudah delapan puluh tahun. Misalkan Aku memiliki empat siswa dengan umur kehidupan seratus tahun, sempurna dalam perhatian, daya ingat, ingatan, dan kebijaksanaan cemerlang.  Bagaikan seorang pemanah terampil, terpelajar, terlatih, dan teruji, mampu dengan mudah menembakkan anak panah menembus bayangan sebatang pohon palem, misalkan mereka sempurna dalam perhatian, memiliki daya ingat yang kuat, [83] dan kebijaksanaan cemerlang. Misalkan mereka terus-menerus menanyakan kepadaKu tentang Empat Landasan Perhatian dan Aku menjawab mereka ketika ditanya dan bahwa mereka mengingat semua jawabanKu dan tidak pernah mengajukan pertanyaan lanjutan atau berhenti bertanya kecuali untuk makan, minum, mengunyah, mengecap, buang air, dan beristirahat untuk menghilangkan kantuk dan keletihan. Namun selagi pembabaran Dhamma oleh Sang Tathāgata, penjelasanNya tentang faktor-faktor Dhamma, dan jawabanNya atas pertanyaan-pertanyaan itu masih belum berakhir, tetapi sementara itu keempat siswaKu yang memiliki umur kehidupan seratus tahun akan meninggal dunia di akhir seratus tahun itu. Sāriputta, bahkan jika engkau harus membawaku pergi ke mana-mana di atas tempat tidur, namun tidak akan ada perubahan dalam kecerahan kebijaksanaan Sang Tathāgata.

63. “Sebenarnya, jika dikatakan tentang seseorang: ‘Suatu makhluk yang tidak tunduk pada kebodohan telah muncul di dunia ini demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, dan demi kebahagiaan para dewa dan manusia,’ Adalah padaKu ucapan benar itu seharusnya ditujukan.

64. Pada saat itu Yang Mulia Nāgasamāla sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā mengipasi Beliau.  Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Sewaktu aku mendengarkan khotbah Dhamma ini, bulu badanku berdiri. Yang Mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Sehubungan dengan hal ini, engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini sebagai: ‘Khotbah yang menegakkan bulu badan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Nāgasamāla merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:46:45 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #16 on: 22 July 2010, 10:44:24 AM »
13  Mahādukkhakkhandha Sutta
Khotbah Panjang tentang Kumpulan Penderitaan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar mereka, [84] memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan. Bagaimana jika kami pergi ke taman para pengembara sekte lain.” Maka mereka pergi ke taman para pengembara sekte lain dan saling bertukar sapa dengan para pengembara. Setelah ramah-tamah itu berakhir, mereka duduk di satu sisi. Para pengembara itu berkata kepada mereka:

3. “Teman-teman, Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada bentuk materi, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada perasaan, dan kami juga demikian. Kalau begitu, apakah perbedaannya di sini,  antara ajaran Petapa Gotama akan Dhamma dan ajaran kami, antara instruksi-instruksi Beliau dan instruksi-instruksi kami?”

4. kemudian para bhikkhu itu tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu. Dengan tanpa melakukan kedua hal itu mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “Kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”

5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] [85]
 
6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: “Tetapi, teman-teman, apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan?’ dengan ditanya demikian, para pengembara sekte lain tidak akan mampu menjelaskan hal itu, dan lebih jauh lagi, mereka akan mengalami kesulitan. Mengapakah? Karena hal ini bukanlah bidang mereka. Para bhikkhu, Aku tidak melihat satupun di dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya, yang mampu memuaskan pikiran dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kecuali Sang Tathāgata atau para siswaNya yang telah mempelajarinya dari Beliau.

(KENIKMATAN INDRIA)

7. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini adalah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria.

8. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria? Di sini, para bhikkhu, sehubungan dengan keterampilan yang dengannya seorang anggota keluarga mencari nafkah – apakah juru periksa atau akuntan atau juru hitung atau petani atau pedagang atau peternak atau pemanah atau pegawai kerajaan, atau keterampilan apapun – ia harus mengalami dingin, ia harus mengalami panas, ia terluka oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia terancam kematian oleh lapar dan haus. Ini adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan, dengan kenikmatan indria sebagai sumbernya, kenikmatan indria sebagai dasarnya, [86] penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

9. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, maka ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

10. “Jika ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, ia mengalami kesakitan dan kesedihan dalam menjaganya: ‘Bagaimana agar raja atau pencuri tidak merampas hartaku, juga agar api tidak membakarnya, juga agar air tidak menghanyutkannya, juga agar pewaris yang penuh kebencian tidak merampasnya?’ Dan ketika ia menjaga dan melindunginya, raja atau pencuri merampasnya, atau api membakarnya, atau air menghanyutkannya, atau pewaris yang penuh kebencian merampasnya. Dan ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

11. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para mulia berselisih dengan para mulia, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah tangga berselisih dengan perumah tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki berselisih dengan saudara perempuan, saudara perempuan berselisih dengan saudara laki-laki, teman berselisih dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

12. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan belapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

13. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan [87] dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

14. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mendobrak masuk ke rumah-rumah, merampas harta, melakukan perampokan, menyergap di jalan-jalan, menggoda istri orang lain, dan ketika mereka tertangkap, raja menjatuhkan berbagai hukuman pada mereka. Raja memerintahkan untuk mencambuk mereka, memukul dengan rotan, memukul dengan pentungan, memotong tangan mereka, memotong kaki mereka, memotong tangan dan kaki mereka, memotong telinga mereka, memotong hidung mereka, memotong telinga dan hidung mereka; mereka dikenai siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’;   dan mereka disiram dengan minyak mendidih, dan mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepala mereka dipenggal dengan pedang - yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, orang-orang melakukan perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah melakukan demikian, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang,  dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

16 (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Yaitu lenyapnya keinginan dan nafsu, melepaskan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.  Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria.

17. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya [88] kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah mungkin.

(BENTUK MATERI)

18. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan bentuk materi? Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta brahmana atau perumah tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah. Apakah kecantikan dan kemenarikannya sedang berada pada puncaknya?” – “Benar, Yang Mulia.” – “kenikmatan dan kegembiraan yang bergantung pada kecantikan dan kemenarikan itu adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi.

19. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan bentuk materi? Kemudian seseorang melihat perempuan yang sama di sini pada usia delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti kerangka atap, terlipat, ditopang oleh tongkat, berjalan terhuyung-huyung, lemah, kemudaannya sirna, giginya tanggal, rambutnya memutih, rambutnya rontok, gundul, keriput, dengan seluruh tubuh berbisulan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

20. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sakit, menderita, dan sakit keras, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh orang lain. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

21. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, satu, dua, tiga hari setelah kematian, membengkak, memucat, dan cairan menetes. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

22-29. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, dimangsa oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis belatung ... [89] tulang-belulang dengan daging dan darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang yang tercerai-berai di segala penjuru – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang paha, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak ... tulang-belulang yang memutih, berwarna seperti kulit kerang ... tulang-belulang menumpuk, lebih dari setahun ... tulang-belulang membusuk dan remuk menjadi debu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

30. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan bentuk materi. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

31. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah mungkin.

(PERASAAN)

32. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Pada saat itu ia tidak menghendaki  penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. [90] pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. “Kemudian lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

36. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan perasaan? Perasaan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan. Ini adalah bahaya sehubungan dengan perasaan.

37. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan perasaan. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan.

38. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah mungkin.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:47:29 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #17 on: 22 July 2010, 01:26:58 PM »
14  Cūḷadukkhakkhandha Sutta
Khotbah Pendek tentang Kumpulan Penderitaan

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahānāma orang Sakya  mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Keserakahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, kebencian adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori oleh mereka sendiri, kebodohan adalah adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori oleh mereka sendiri.’ Namun walaupun aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā demikian, sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranku dan menetap di sana. Aku bertanya-tanya, Yang Mulia, kondisi yang manakah yang masih belum ditinggalkan olehku secara internal, karena apakah sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranku dan menetap di sana.”

3. “Mahānāma, masih ada satu kondisi yang belum engkau tinggalkan secara internal, yang karenanya sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranmu dan menetap di sana; karena jika kondisi itu telah ditinggalkan olehmu secara internal maka engkau tidak akan menjalani kehidupan rumah tangga, engkau tidak akan menikmati kenikmatan indria.  Adalah karena kondisi itu belum engkau tinggalkan secara internal maka engkau menjalani kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

4. “Bahkan walaupun seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, selama ia masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia masih tertarik pada kenikmatan indria.  Tetapi ketika seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. [92]

5. “Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, tetapi selama Aku masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku masih dapat tertarik pada kenikmatan indria. Tetapi ketika Aku dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan Aku telah mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau telah mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria.

6-14. “Dan apakah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Mahānāma, ada lima utas kenikmatan indria ini ... (seperti Sutta 13, §§7-15) ... Ini adalah juga bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Sekarang, Mahānāma, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah Nigaṇṭha yang sedang menetap di Batu Hitam di lereng Isigili sedang mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu.

16. “Kemudian, pada malam harinya, Aku bangkit dari meditasi dan mendatangi para Nigaṇṭha di sana. Aku bertanya kepada mereka: ‘Teman-teman, mengapa kalian mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu?’

17. “Ketika hal ini Kukatakan, mereka menjawab: ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta maha tahu dan maha melihat dan mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna sebagai berikut: “Apakah aku sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga, [93] pengetahuan dan penglihatan yang terus-menerus dan tanpa terputus hadir padaku.” Ia berkata sebagai berikut: “Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau; padamkanlah dengan melaksanakan praktik keras yang menyiksa. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Dengan memusnahkan perbuatan masa lampau dengan pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada konsekuensi di masa depan. Dengan tidak ada konsekuensi di masa depan, maka itu adalah kehancuran perbuatan. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancur pula penderitaan. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancur pula perasaan. Dengan hancurnya perasaan, maka semua penderitaan padam.” Ini adalah [doktrin] yang kami setujui dan kami terima, dan kami puas dengan ajaran ini.’

18. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada mereka: ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’ - ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’

19. “Jadi, teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,  mereka yang adalah para pembunuh, para pelaku kejahatan dengan tangan berdarah di dunia ini, ketika mereka terlahir kembali di antara manusia, meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah sebagai para Nigaṇṭha.’

20. “Teman Gotama, kenikmatan tidak diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan. [94] Karena jika kenikmatan diperoleh melalui kenikmatan, maka Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha pasti memperoleh kenikmatan, karena ia berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Yang Mulia Gotama.’

“’Tentu saja Yang Mulia para Nigaṇṭha telah mengucapkan kata-kata ini dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Adalah Aku yang seharusnya bertanya: “Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?”’

“’Tentu saja, Teman Gotama, kami mengucapkan kata-kata itu dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Tetapi biarlah demikian. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Gotama: Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?’

21. “’Maka, teman-teman, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai balasan. Jawablah sesuai apa yang kalian anggap benar. Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama tujuh hari tujuh malam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama enam, lima, empat, tiga, atau dua hari dua malam? ... selama sehari semalam?’ – ‘Tidak, Teman.’

22. “’Tetapi, teman-teman, Aku dapat berdiam tanpa menggerakkan tubuhKu atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama sehari semalam ... selama dua, tiga, empat, lima, dan enam hari enam malam ... selama tujuh hari tujuh malam.  Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dengan demikian, siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Aku?’

“Kalau begitu, [95] maka Yang Mulia Gotama berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Mahānāma orang Sakya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:48:23 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #18 on: 22 July 2010, 01:29:49 PM »
15  Anumāna Sutta
Kesimpulan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakalā, Taman Rusa. Di sana ia memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati Aku,  Aku ingin dinasihati oleh para mulia,’ namun jika ia sulit dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati, jika ia tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya tidak dinasihati atau tidak diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang tidak dapat dipercaya.

3. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya sulit dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan-keinginan jahat;  ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(3) Kemudian, seorang bhikkhu marah dan dikuasai oleh kemarahan; ini adalah kualitas …
(4) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan kesal karena kemarahan …
(5) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan keras kepala karena kemarahan …
(6) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan ia mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menentang si penegur …
(8) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menjatuhkan reputasi  si penegur …
(9) Kemudian, [96] seorang bhikkhu ditegur, dan ia balik menegur si penegur …
(10) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia berbicara berputar-putar, mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia tidak memperbaiki perilakunya …
(12) Kemudian, seorang bhikkhu meremehkan orang lain dan congkak …
(13) Kemudian, seorang bhikkhu iri dan tamak …
(14) Kemudian, seorang bhikkhu curang dan menipu …
(15) Kemudian, seorang bhikkhu keras kepala dan angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

“Teman-teman, ini disebut kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

4. Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu tidak berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati Aku, Aku ingin dinasihati oleh para mulia,’ namun jika ia mudah dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dinasihati, jika ia sabar dan menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya dinasihati atau diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang dapat dipercaya.

5. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya mudah dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan jahat dan tidak dikuasai oleh keinginan jahat; ini adalah kualitas yang membuatnya mudah dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu tidak memuji dirinya sendiri dan tidak mencela orang lain; ini adalah kualitas …
(3) Ia tidak marah dan tidak membiarkan kemarahan menguasainya …
(4) Ia tidak marah dan tidak kesal karena kemarahan …
(5) Ia tidak marah dan tidak keras kepala karena kemarahan …
(6) Ia tidak marah, dan ia tidak  mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Ia ditegur, dan ia tidak menentang si penegur …
(8) Ia ditegur, dan ia tidak menjatuhkan reputasi  si penegur … [97]
(9) Ia ditegur, dan ia tidak balik menegur si penegur …
(10) Ia ditegur, dan ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Ia ditegur, dan ia  memperbaiki perilakunya …
(12) Ia tidak meremehkan orang lain dan tidak congkak …
(13) Ia tidak iri-hati dan tidak tamak …
(14) Ia tidak curang dan tidak menipu …
(15) Ia tidak keras kepala dan tidak angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu tidak melekat pada pandangan-pandangannya sendiri atau menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan mudah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

6. “Sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu seharusnya berpendapat mengenai dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Seseorang yang memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan tidak akan dikuasai oleh keinginan jahat.’
(2-16) ‘Seseorang yang memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain … [98] … Seseorang yang melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat, dan aku akan melepaskannya dengan mudah.’

7. “sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Apakah aku memiliki keinginan jahat dan apakah aku dikuasai oleh keinginan jahat?’ jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku memiliki keinginan jahat, aku dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak memiliki keinginan jahat, aku tidak dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(2-16) Kemudian, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut: ‘Apakah aku memuji diri sendiri dan mencela orang lain?’ … [99] … ‘Apakah aku melekat pada pandangan-pandanganku, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah?’ Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka [100] ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

8. “Teman-teman, ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini belum ditinggalkan olehnya, maka ia harus berusaha untuk meninggalkannya seluruhnya. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini telah seluruhnya ditinggalkan olehnya, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

“Seperti halnya ketika seorang perempuan – atau laki-laki – muda, belia, menyukai hiasan, ketika melihat bayangan wajahnya di cermin yang bersih atau dalam semangkuk air, melihat noda atau kotoran di sana, maka ia berusaha untuk membersihkannya, tetapi jika ia melihat tidak ada noda atau kotoran di sana, maka ia menjadi gembira dengan pikiran: ‘Sungguh suatu keberuntungan bagiku bahwa wajahku bersih’; demikian pula ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian … maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Mahā Moggallāna. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Moggallāna.

« Last Edit: 01 May 2012, 02:49:08 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #19 on: 22 July 2010, 06:21:04 PM »
16  Cetokhila Sutta
Belantara dalam Batin

[101] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang belum meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan belum mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah tidak mungkin.

3. “Apakah, para bhikkhu, lima belantara dalam pikiran yang belum ia tinggalkan? Di sini seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

4. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Dhamma  … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

5. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Sangha … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada latihan … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

7. “Kemudian, seorang bhikkhu marah dan tidak senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, penuh kekesalan dan tidak berperasaan terhadap mereka, dan dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

8. “Apakah, para bhikkhu, lima belenggu dalam pikiran yang belum ia patahkan? Di sini seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam pikiran yang belum ia patahkan.

9. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani  Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam pikiran yang belum ia patahkan. [102]

10. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam pikiran yang belum ia patahkan.

11. “Kemudian, seorang bhikkhu makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, dan mengantuk … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam pikiran yang belum ia patahkan.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah],’ dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu kelima dalam pikiran yang belum ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam pikiran yang belum ia patahkan.

13. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang belum meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan belum mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah tidak mungkin.

14. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang telah meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan telah mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah mungkin.

15. “Apakah, para bhikkhu, lima belantara dalam pikiran yang telah ia tinggalkan? Di sini seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

16. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Dhamma … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Sangha … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada latihan … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam pikiarn yang telah ia tinggalkan.

19. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak marah dan tidak tidak-senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, tidak kesal dan tidak tanpa-perasaan terhadap mereka, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. [103] Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

20. “Apakah, para bhikkhu, lima belenggu dalam pikiran yang telah ia patahkan? Di sini seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam pikiran yang telah ia patahkan.

21. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani. Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam pikiran yang telah ia patahkan.

22. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam pikiran yang telah ia patahkan.

23. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan tidak menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, atau mengantuk … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam pikiran yang telah ia patahkan.

24. “Kemudian, seorang bhikkhu bukan menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah],’ dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu kelima dalam pikiran yang telah ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam pikiran yang telah ia patahkan.

25. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang telah meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan telah mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah mungkin.

26.  “Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kemauan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kegigihan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari [kemurnian] pikiran dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari penyelidikan dan tekad berusaha. Dan semangat sebagai yang ke lima.

27. “Seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah [104] mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.

“Misalkan seekor ayam betina memiliki delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur, yang ia lindungi, erami, dan pelihara dengan baik. Walaupun ia tidak menghendaki: ‘Oh, semoga anak-anakku mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu akan mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat.  Demikian pula, seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:50:02 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #20 on: 22 July 2010, 06:22:17 PM »
17  Vanapattha Sutta
Hutan Belantara

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian khotbah tentang hutan belantara. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara.  Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – sulit diperoleh. Bhikkhu itu [105] harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus meninggalkan hutan belantara itu pada malam itu juga atau pada hari itu juga; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun  kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus pergi dari hutan belantara itu; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: [106] ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun  kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu; ia seharusnya tidak pergi.

6. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; dan juga  kebutuhan hidup … mudah diperoleh.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak pergi.

7-10. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah desa tertentu …

11-14. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah pemukiman tertentu …

15-18. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah kota tertentu …

19-22. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah negeri tertentu …

23. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §3) … [107] … Bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu tanpa pamit; ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

24. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §4) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu setelah pamit;  ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

25. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §5) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu; ia seharusnya tidak meninggalkannya.

26. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §6) [108]  … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak meninggalkannya, bahkan jika diminta untuk pergi.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

« Last Edit: 01 May 2012, 02:50:44 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #21 on: 22 July 2010, 06:23:16 PM »
18  Madhupiṇḍika Sutta
Bola Madu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke Hutan Besar untuk melewatkan hari itu, dan setelah memasuki Hutan Besar, duduk di bawah anak pohon bilva untuk melewatkan hari itu.

3. Daṇḍapāni orang Sakya, sewaktu berjalan dan berkeliling untuk berolah-raga, juga memasuki Hutan Besar, dan ketika ia telah memasuki Hutan Besar, ia berjalan menuju anak pohon bilva di mana Sang Bhagavā berada dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dengan bersandar pada tongkatnya dan bertanya kepada Sang Bhagavā: “Apakah yang Sang Petapa nyatakan, apakah yang Beliau ajarkan?”

4. “Teman, Aku menegaskan dan menyatakan [ajaranKu] sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapapun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya; sedemikian sehingga persepsi tidak lagi mendasari, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan.”

5. “Ketika hal ini dikatakan, Daṇḍapāni orang Sakya menggelengkan kepalanya, [109] menjulurkan lidahnya, dan mengangkat alis matanya hingga keningnya berkerut dalam tiga garis.  Kemudian ia pergi, dengan bersandar pada tongkatnya.

6. kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berjalan menuju Taman Nigrodha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untukNya dan memberitahukan kepada para bhikkhu tentang apa yang telah terjadi. Kemudian seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Tetapi, Yang Mulia, apakah [ajaran] yang Sang Bhagavā nyatakan sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapapun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya? Dan, Yang Mulia, bagaimanakah bahwa persepsi tidak lagi mendasari Sang Bhagavā, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan?”

8. “Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan  [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, [110] akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat pemukul dan senjata, akhir dari pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuding-menuding, fitnah, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.”

9. Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya.

10.  Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci.  Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

11. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, [111] dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

12. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci;  Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

13. “Tentu saja, teman Kaccāna, Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

14. “Maka dengarkanlah, teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.” – “Baiklah, teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

15. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata … di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

16. “Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncul kesadaran-mata. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. [112] Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui mata.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan … Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka muncul kesadaran-pikiran. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan obyek-obyek pikiran masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui pikiran.

17. “Ketika ada mata, bentuk, dan kesadaran-mata, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak.  Ketika ada manifestasi kontak, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika ada manifestasi perasaan, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika ada manifestasi persepsi, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika ada manifestasi pemikiran, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika ada telinga, suara, dan kesadaran-telinga … Ketika ada hidung, bau-bauan, dan kesadaran-hidung … Ketika ada lidah, rasa kecapan, dan kesadaran-lidah … Ketika ada badan, obyek sentuhan, dan kesadaran-badan … Ketika ada pikiran, obyek pikiran, dan kesadaran-pikiran … adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

18. “Ketika tidak ada mata, tidak ada bentuk, dan tidak ada kesadaran-mata, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. Ketika tidak ada manifestasi kontak, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika tidak ada manifestasi perasaan, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika tidak ada manifestasi persepsi, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika tidak ada manifestasi pemikiran, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika tidak ada telinga, tidak ada suara, dan tidak ada kesadaran-telinga … Ketika tidak ada hidung, tidak ada bau-bauan, dan tidak ada kesadaran-hidung … Ketika tidak ada lidah, tidak ada rasa kecapan, dan tidak ada kesadaran-lidah … Ketika tidak ada badan, tidak ada obyek sentuhan, dan tidak ada kesadaran-badan … Ketika tidak ada pikiran, tidak ada obyek pikiran, dan tidak ada kesadaran-pikiran … adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā [113] bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat pemukul dan senjata, akhir dari pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuding-menuding, fitnah, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami makna terperinci dari ringkasan itu seperti demikian. Sekarang, teman-teman, jika kalian menginginkan, pergilah menghadap Sang Bhagavā dan tanyakan kepadaNya tentang makna dari hal ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk mereka dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā mengenai apa yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan menanyakan kepadanya tentang makna ini. [114] Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna adalah seorang bijaksana, para bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian menanyakan kepadaKu tentang makna dari hal ini, Aku akan menjelaskannya dengan cara yang sama seperti Mahā Kaccāna menjelaskannya. Demikianlah makna dari hal ini, dan kalian harus mengingatnya.”

22. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, bagaikan seseorang yang keletihan dan lemah karena lapar dan menemukan bola madu,  pada saat memakannya ia akan menemukan rasa yang manis dan lezat; demikian pula, Yang Mulia, bhikkhu manapun yang penuh perhatian, pada saat menyelidiki dengan kebijaksanaan atas makna dari khotbah Dhamma ini, akan merasa puas dan berkeyakinan dalam batin. Yang mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?

“Kalau begitu, Ānanda, engkau dapat mengingat khotbah Dhamma ini sebagai ‘Khotbah Bola Madu.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:51:46 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #22 on: 22 July 2010, 06:24:38 PM »
19  Dvedhāvitakka Sutta
Dua Jenis Pikiran

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku membagi pikiran-pikiranKu dalam dua kelompok.’  Kemudian Aku mengelompokkan ke satu sisi pikiran-pikiran keinginan indria, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran kekejaman, dan Aku mengelompokkan ke sisi yang lain pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, pikiran-pikiran tanpa niat buruk, dan pikiran-pikiran tanpa-kekejaman.

3. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, [115] suatu pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran keinginan indria ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna.’ Ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanKu,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan keduanya,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika Aku merenungkan: ‘pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

4-5. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran berniat buruk muncul dalam diriKu ... suatu pikiran kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna.’ Ketika aku merenungkan … maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran kekejaman muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

6. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran keinginan indria, maka ia telah meninggalkan pikiran pelepasan keduniawian dan mengembangkan pikiran keinginan indria, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran keinginan indria. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran berniat buruk … pikiran kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran tanpa-kekejaman dan mengembangkan pikiran kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada kekejaman.

7. “Bagaikan pada bulan terakhir musim hujan, pada musim gugur, ketika panen berlimpah, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya dengan secara terus-menerus menepuk dan menyodok sapi-sapinya dan dengan tongkat mengawasi dan mengekang sapi-sapi itu. Mengapakah? Karena ia melihat bahwa ia akan dicambuk, dikurung, dihukum, atau disalahkan [jika ia membiarkan sapi-sapi itu berkeliaran ke dalam wilayah panen]. Demikian pula Aku melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat dan berkah pelepasan keduniawian, aspek pemurnian dalam kondisi-kondisi bermanfaat. [116]

8. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran pelepasan keduniawian muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran pelepasan keduniawian ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna.’ Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

9-10. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran tanpa niat buruk muncul dalam diriKu ...  pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran tanpa-kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna.’ Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

11. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, maka ia telah meninggalkan pikiran keinginan indria dan mengembangkan pikiran pelepasan keduniawian, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran pelepasan keduniawian. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran tanpa niat buruk … pikiran tanpa-kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran kekejaman dan mengembangkan pikiran tanpa-kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada tanpa-kekejaman.

12. “Bagaikan pada bulan terakhir musim panas, ketika semua hasil panen telah dibawa ke dalam desa-desa, [117] seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya sambil duduk di bawah sebatang pohon atau di ruang terbuka, karena ia hanya perlu memperhatikan bahwa sapi-sapinya ada di sana; demikian pula, aku hanya perlu memperhatikan bahwa kondisi-kondisi itu ada di sana.

13.  “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa henti menjadi kokoh, tubuhKu tenang dan tidak terganggu, pikiranKu terkonsentrasi dan terpusat.

14-23. “Dengan cukup terasing dari keinginan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama (seperti Sutta 4, §§23-32) … Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

24. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

25. “Misalkan, para bhikkhu, bahwa di dalam sebuah hutan terdapat rawa-rawa yang luas di dekat sekumpulan rusa yang menetap di sana. Kemudian seseorang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu bagi rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia membuka jalan palsu, dan ia meletakkan umpan dan memasang benda-benda tiruan sehingga kumpulan rusa itu akan mengalami bencana, malapetaka, dan kehancuran. Tetapi seorang lainnya datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi rusa-rusa itu, dan ia membuka kembali jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan palsu, dan ia membuang umpan dan menghancurkan benda-benda tiruan, sehingga kumpulan rusa itu dapat berkembang, bertambah dan berlimpah.

26. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. [118] Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Rawa-rawa yang luas’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. ‘Sekumpulan rusa’ adalah sebutan bagi makhluk-makhluk. ‘Seseorang yang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Jalan Palsu’ adalah sebutan bagi jalan palsu berunsur delapan, yaitu: pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kenikmatan dan nafsu. ‘Benda-benda tiruan’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Seorang lainnya yang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. ‘Jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu’ adalah sebutan bagi Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

“Demikianlah, para bhikkhu, jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan telah dibuka kembali olehKu, jalan palsu telah ditutup, umpan telah dibuang, benda-benda tiruan telah dihancurkan.

27. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswaNya demi belas kasih seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan dan memiliki belas kasih terhadap mereka, telah Kulakukan untuk kalian, para bhikkhu. Terdapat bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan menunda atau kalian akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:52:21 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #23 on: 22 July 2010, 08:25:39 PM »
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta
Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” [119] mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang mengejar pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan lima gambaran.  Apakah lima ini?

3. (i) “Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat.  Ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya dapat menghancurkan, menghilangkan, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

4. (ii) “Jika, sewaktu ia sedang memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini tidak bermanfaat, tercela, berakibat pada penderitaan.’  Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan, muda, belia, dan menyukai hiasan, akan ketakutan, malu, dan jijik jika mayat seekor ular atau seekor anjing atau manusia [120] digantungkan dilehernya, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa pikiran-pikiran ini … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

5. (iii) “Jika, sewaktu ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya.  Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang dengan mata yang baik, yang tidak ingin melihat bentuk-bentuk yang ada dalam jarak pandanganya akan menutup matanya atau menatap ke arah lain, demikian pula … Ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut.  Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat?’ dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri?’ dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berdiri? Bagaimana jika aku duduk?’ dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring?’ dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

7. (v) “Jika, sewaktu ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.  [121] Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang kuat yang menangkap seorang yang lebih lemah di kepala atau bahu dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula … ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

8. “Para bhikkhu,  ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, kemudian ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memperhatikannya … Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, [122] menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini dapat disebut seorang guru dalam perjalanan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apapun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan keinginan, membuang belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:53:03 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #24 on: 22 July 2010, 08:27:46 PM »
21  Kakacūpama Sutta
Perumpamaan Gergaji

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Yang Mulia Moliya Phagguna bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī.  Ia begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapannya, maka ia akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela Yang Mulia Moliya Phagguna di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya. Demikianlah pergaulan akrab Yang Mulia Moliya Phagguna dengan para bhikkhunī.

3. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, [123] Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Moliya Phagguna atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Moliya Phagguna dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Phagguna.” – “Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya:

5. “Phagguna, benarkah bahwa engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Bahwa engkau begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela engkau di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya? Apakah engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī seperti yang terlihat?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Phagguna, bukankah engkau adalah seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?” – “Benar, Yang Mulia.”

6. “Phagguna, tidaklah selayaknya bagimu, seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Oleh karena itu, jika seseorang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

“Jika seseorang menyerang para bhikkhunī itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang mencela di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang menyerangmu itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau [124], maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku makan sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, makanlah sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.’ Dan Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.  Misalkan ada sebuah kereta di tanah yang datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda-kuda berdarah murni, menunggu dengan tongkat kendali siap untuk digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir dari kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang dengan tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, dapat menjalankannya maju dan mundur melalui jalan manapun yang ia sukai. Demikian pula, Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.

8. “Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Misalkan terdapat hutan besar pepohonan sāla di dekat sebuah desa atau kota, dan hutan itu terganggu oleh rerumputan jarak, dan seseorang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan. Ia akan menebang dan menyingkirkan anak-anak pohon yang bengkok yang merampas getah, dan ia akan membersihkan bagian dalam hutan dan memelihara anak-anak pohon yang lurus dan berbentuk baik, sehingga, hutan pohon-sāla itu akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan. Demikian pula, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, [125] karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

9. “Sebelumnya, para bhikkhu, di Sāvatthī yang sama ini terdapat seorang ibu rumah tangga bernama Vedehikā. Dan berita baik sehubungan dengan Nyonya Vedehikā telah menyebar sebagai berikut: ‘Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.’ Nyonya Vedehikā memiliki seorang pembantu bernama Kālī, yang cerdas, gesit, dan rapi dalam pekerjaannya. Kālī si pembantu berpikir: ‘berita baik sehubungan dengan majikanku telah menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.” Bagaimanakah sekarang, walaupun ia tidak memperlihatkan kemarahan, tetapi apakah saat ini ada kemarahan dalam dirinya atau tidak ada? Atau kalau tidak demikian, apakah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun ada kemarahan dalam dirinya? Bagaimana jika aku menguji majikanku.’

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat!’ Dan ia marah dan tidak senang. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada; dan adalah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.’

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat di siang hari. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat di siang hari?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat di siang hari!’ Dan ia marah dan tidak senang dan ia mengucapkan kata-kata ketidak-senangan. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.’

“Maka Kālī si pembantu bangun lebih terlambat lagi di siang hari. Nyonya Vedehikā [126] berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun lebih terlambat di siang hari?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun lebih terlambat lagi di siang hari!’ Dan ia marah dan tidak senang, dan ia mengambil penggilingan dan memukulnya di kepalanya, dan melukai kepalanya.

“Kemudian Kālī si pembantu, dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, mengadukan majikannya kepada para tetangga: ‘Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang baik! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang lembut! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang cinta damai! Bagaimana mungkin ia menjadi marah dan tidak senang pada pembantu satu-satunya karena bangun terlambat? Bagaimana mungkin ia mengambil penggilingan, memukulnya di kepala, dan melukai kepalanya?’ kemudian berita buruk sehubungan dengan Nyonya Vedehikā menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang kasar, Nyonya Vedehikā adalah orang yang kejam, Nyonya Vedehikā adalah orang yang tanpa belas kasihan.”

10. “Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu sangat baik, sangat lembut, sangat cinta damai, selama ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan tidak menyentuhnya. Tetapi ketika ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan menyentuhnya maka dapat diketahui apakah bhikkhu itu sungguh-sungguh baik, lembut, dan cinta damai. Aku tidak mengatakan seorang bhikkhu mudah dinasihati pada ia yang mudah dinasihati dan membuatnya mudah dinasihati hanya demi mendapatkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mengapakah? Karena bhikkhu itu tidak mudah dinasihati dan tidak membuat dirinya mudah dinasihati ketika ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi ketika seorang bhikkhu mudah dinasihati dan membuat dirinya mudah dinasihati karena ia menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma, ia Kukatakan mudah dinasihati. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mudah dinasihati dan membuat diri kami mudah dinasihati karena kami menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma.’ Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

11. “Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan [127] atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian,  ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya,  kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

12. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: ‘Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah.’ Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: ‘jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah!’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

13. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … (seperti pada §11) … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa pewarna merah, jingga, nila, atau merah tua dan berkata: ‘Aku akan melukis gambar yang muncul dari ruang kosong.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu melukis gambar yang muncul dari ruang kosong?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena ruang kosong adalah tanpa bentuk dan tidak terlihat; ia tidak mungkin dapat melukis gambar yang muncul dari sana. [128] Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

15. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

16. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa obor dari rumput yang menyala dan berkata: ‘Aku akan memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala ini.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala itu?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena sungai Gangga dalam dan sangat besar; tidak mungkin dapat dipanaskan dan dibakar dengan obor rumput menyala. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

17. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

18. “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah tas kulit kucing yang telah digosok, digosok dengan baik, digosok dengan sangat baik, lembut, halus, bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, dan seseorang datang dengan membawa tongkat atau pecahan tembikar dan berkata: ‘Terdapat tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik. Aku akan membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, tidak mungkin dapat dibuat berbunyi gesekan atau berbunyi gemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

19. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat [129] atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian,  ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

20. “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi mereka dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan diri mereka, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

21. “Para bhikkhu, jika kalian terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini, apakah kalian melihat ada ucapan, halus atau kasar, yang tidak dapat kalian terima?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini. Hal ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:53:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #25 on: 22 July 2010, 08:29:21 PM »
22  Alagaddūpama Sutta
Perumpamaan Ular

(SITUASI)

[130] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu suatu pandangan salah telah muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha, seorang mantan pemburu nasar, sebagai berikut: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan bertanya kepadanya: “Teman Ariṭṭha, benarkah bahwa suatu pandangan salah telah muncul dalam dirimu?”

“Demikianlah, teman-teman. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

Kemudian para bhikkhu ini, berniat untuk melepaskannya dari pandangan salah itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Ariṭṭha, jangan berkata demikian. Jangan salah memahami Sang Bhagavā; tidaklah baik engkau salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”

Namun walaupun ditekan, dipertanyakan, dan didebat oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, masih tetap bersikeras melekati pandangan salah itu dan mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya [131] dari pandangan salah itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, dari pandangan salah ini, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar,  atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – [132] “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Ariṭṭha.”

“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Ariṭṭha, benarkah bahwa pandangan salah berikut ini telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.’?”

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Ariṭṭha ini, mantan pemburu nasar, telah menyalakan bahkan sepercikan kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

8. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, [133] apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Ariṭṭha ini, si mantan pemburu nasar, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan … bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”

“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan … betapa besarnya bahaya di dalamnya. Tetapi Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, salah memahami kita dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

9. “Para bhikkhu, bahwa seseorang dapat menekuni kenikmatan indria tanpa keinginan indria, tanpa persepsi keinginan indria, tanpa pikiran keinginan indria – itu adalah tidak mungkin.

(PERUMPAMAAN ULAR)

10. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhamma – khotbah, syair, penjelasan, bait-bait, ungkapan kegembiraan, sabda-sabda, kisah-kisah kelahiran, keajaiban-keajaiban, dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tanpa memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka mempelajari Dhamma hanya demi untuk mengkritik orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka tidak mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.  Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkap gulungannya atau ekornya, ular itu akan berbalik dan menggigit tangannya atau lengannya atau anggota tubuh lainnya. [134] dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Mengapakah? Karena ia menangkap ular itu dengan cara yang salah. Demikian pula, di sini beberapa orang sesat mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.

11. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma – khotbah, syair … jawaban-jawaban atas pertanyaan – dan setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Dengan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Mereka bukan mempelajari Dhamma demi untuk mengkritik orang lain dan bukan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya dengan benar menggunakan tongkat penjepit, dan setelah itu, mencengkeramnya tepat di lehernya. Kemudian walaupun ular itu akan membelit tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, tetapi ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan yang mematikan karena belitan itu. Mengapakah? Karena cengkeramannya yang benar pada ular itu. Demikian pula, di sini beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara benar pada ajaran-ajaran itu.

12. “Oleh karena itu, para bhikkhu, ketika kalian memahami makna dari pernyataanKu, ingatlah itu; dan ketika kalian tidak memahami makna dari pernyataanKu, maka bertanyalah kepadaKu atau kepada para bhikkhu yang bijaksana.

(PERUMPAMAAN RAKIT)

13. “Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: ‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.’ Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

14. “Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.

(SUDUT PANDANG BAGI PANDANGAN-PANDANGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang bagi pandangan-pandangan ini.  Apakah enam ini? seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’  Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’  Dan sudut pandang ini bagi pandangan ini: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; [136] aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

16. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan sudut pandang ini bagi pandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

17. “Karena ia beranggapan demikian, maka ia tidak terganggu dengan apa yang tidak ada.”

(GANGGUAN)

18. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

19. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang tidak berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

20. “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia [137] berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”
« Last Edit: 01 May 2012, 02:55:06 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #26 on: 22 July 2010, 08:30:21 PM »
21. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang tidak berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia … aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia tidak berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”

(KETIDAK-KEKALAN DAN TANPA DIRI)
 
22. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha memperoleh suatu kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak mengalami perubahan, dan dapat bertahan selamanya.  Tetapi apakah kalian melihat ada kepemilikan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak mengalami perubahan, dan dapat bertahan selamanya.

23. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha melekati doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.  Tetapi apakah kalian melihat ada doktrin diri yang demikian?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu, Aku juga tidak melihat adanya doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.

24. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha menjadikan sebagai pendukung pandangan yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.  Tetapi apakah kalian melihat adanya pendukung pandangan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya pendukung pandangan [138] yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.

25. “Para bhikkhu, jika ada diri, maka apakah ada yang menjadi milik dirin bagiku?”  – “Ada, Yang Mulia.” – “Atau, jika ada yang menjadi milik diri, maka apakah diri padaku?” - “Ada, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, karena diri dan apa yang menjadi milik diri tidak dipahami sebagai benar dan pasti, maka sudut pandang atas pandangan ini, yaitu, ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya.’ – bukankah ini jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu?”

“Bagaimana mungkin sebaliknya, Yang Mulia? Itu jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu.”

26. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” -  “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan mengalami perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah perasaan … apakah persepsi … apakah bentukan-bentukan … apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” -  “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan mengalami perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

27. “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, [139] kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

28. “Dengan melihat demikian, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.

29. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [pikirannya] terbebaskan.  Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami : ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

(ARAHANT)

30. “Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang palang penghalangnya telah diangkat, yang paritnya telah ditutup, yang tiangnya telah dicabut, seseorang yang tanpa pasak, seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.

31. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan kebodohan, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah mengakhirinya, sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat.

32. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lingkaran kelahiran yang menimbulkan penjelmaan baru, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup.

33. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keinginan, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut.

34. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak.

35. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keangkuhan ‘Aku’, telah memotongnya di akar [140] … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.

36. “Para bhikkhu, ketika para dewa bersama dengan Indra, dengan Brahmā dan dengan Pajāpati mencari seorang bhikkhu yang terbebaskan dalam pikiran seperti demikian, mereka tidak menemukan [apapun yang dengannya mereka dapat mengatakan]: ‘Kesadaran dari ia yang telah pergi demikian didukung oleh ini.’ Mengapakah? Seorang yang pergi demikian, Aku katakan, tidak dapat dilacak di sini dan saat ini.

(SALAH MEMAHAMI SANG TATHĀGATA)

37. “Dengan mengatakan demikian, dengan mengajarkan demikian, Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’  Karena Aku tidak demikian, karena Aku tidak mengajarkan demikian, maka Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’

38. “Para bhikkhu, dari dulu hingga saat ini apa yang Kuajarkan adalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.  Jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata akan berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’

39.  “Oleh Karena itu, para bhikkhu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang kalian, kalian tidak boleh merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian tidak boleh merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian seharusnya berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’

(BUKAN MILIKMU)

40. “Oleh karena itu, para bhikkhu, apapun yang bukan milikmu, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Perasaan bukan milik kalian. [141] Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Persepsi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Bentukan-bentukan bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

41. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Jika orang-orang mengambil rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Hutan Jeta ini, atau membakarnya, atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap benda-benda itu. Akankah kalian berpikir bahwa: ‘Orang-orang mengambil kami atau membakar kami atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap kami’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena benda-benda itu bukan diri kami juga bukan milik kami.” – “Demikian pula, para bhikkhu, apapun yang bukan milik kalian, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian … Perasaan bukan milik kalian … Persepsi bukan milik kalian … Bentukan-bentukan bukan milik kalian … Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

(DALAM DHAMMA INI)

42. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan.  Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, tidak ada manifestasi dari lingkaran [masa depan] sehubungan dengan para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.

43. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah semuanya pasti muncul kembali secara spontan di [Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu

44. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu yang lebih rendah dan melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, semuanya adalah yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan.

45. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu, semuanya adalah pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam neraka, [142] pasti [mencapai kebebasan] dan menuju pencerahan.

46. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang adalah para pengikut-Dhamma atau pengikut-keyakinan semuanya menuju pencerahan.

47. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, para bhikkhu yang memiliki cukup keyakinan padaKu, cukup cinta kasih terhadapKu, semuanya menuju alam surga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:55:44 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #27 on: 22 July 2010, 08:31:34 PM »
23  Vammika Sutta
Gundukan Sarang Semut

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.  Pada saat itu Yang Mulia Kumāra Kassapa sedang menetap di Hutan Orang Buta.

Kemudian, pada larut malam, sesosok dewa dengan penampilan memesona yang menerangi seluruh Hutan Orang Buta mendatangi Yang Mulia Kumāra Kassapa dan berdiri di satu sisi.  Sambil berdiri, dewa itu berkata kepadanya:

2. “Bhikkhu, bhikkhu, gundukan sarang semut ini berasap pada malam hari dan menyala pada siang hari.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah Menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah palang: ‘Sebuah palang, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah palang itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kodok: ‘Seekor kodok, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kodok itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah garpu: ‘Sebuah garpu, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah garpu itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah saringan: ‘Sebuah saringan, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: [143] ‘Buanglah saringan itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kura-kura: ‘Seekor kura-kura, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kura-kura itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah parang dan balok pemotong: ‘Sebuah parang dan balok pemotong, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah parang dan balok pemotong itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sepotong daging: ‘Sepotong daging, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah sepotong daging itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor ular Nāga: ‘Seekor ular Nāga, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Biarkan ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga, hormatilah ular Nāga.’

“Bhikkhu, engkau harus menghadap Sang Bhagavā dan menanyakan tentang teka-teki ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah engkau harus mengingatnya. Bhikkhu, selain Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata yang telah mempelajarinya dari Beliau, aku tidak melihat seorangpun di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang mampu menjelaskan teka-teki ini dengan memuaskan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang kemudian lenyap seketika.

3.  Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Kumāra Kassapa menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang telah terjadi. Kemudian ia bertanya: “Yang Mulia, apakah gundukan sarang semut? Apakah berasap di malam hari, apakah menyala di siang hari? Siapakah brahmana itu, siapakah sang bijaksana? Apakah pisau, apakah menggali, apakah palang, apakah kodok, apakah garpu, apakah saringan, apakah kura-kura, apakah parang dan balok pemotong, apakah sepotong daging, apakah ular Nāga?” [144]

4. “Bhikkhu, gundukan sarang semut adalah perumpamaan bagi jasmani ini, terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dibangun oleh nasi dan bubur,  dan tunduk pada ketidak-kekalan, pada keusangan, pada kehancuran.

“Apa yang seseorang pikirkan dan renungkan pada malam hari berdasarkan pada perbuatannya di siang hari adalah ‘berasap di malam hari.’

“Perbuatan yang dilakukan pada siang hari oleh jasmani, ucapan, dan pikiran setelah memikirkan dan merenungkan pada malam hari adalah ‘menyala di siang hari.’

“Brahmana adalah perumpamaan bagi Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Sang bijaksana adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu dalam latihan yang lebih tinggi. Pisau adalah perumpamaan bagi kebijaksanaan mulia. Menggali adalah perumpamaan bagi pengerahan kegigihan.

“Palang adalah perumpamaan bagi kebodohan.  ‘Buanglah palang itu: tinggalkanlah kebodohan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Kodok adalah perumpamaan bagi keputus-asaan karena kemarahan: ‘Buanglah kodok itu: tinggalkanlah keputus-asaan karena kemarahan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Garpu adalah perumpamaan bagi keragu-raguan.  ‘Buanglah garpu itu: tinggalkanlah keragu-raguan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Saringan adalah perumpamaan bagi kelima rintangan, yaitu, rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. ‘Buanglah saringan itu: tinggalkanlah kelima rintangan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Kura-kura adalah perumpamaan bagi kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan.  Yaitu, kelompok bentuk materi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok perasaan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok persepsi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan. ‘Buanglah kura-kura itu: tinggalkanlah kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Parang dan balok pemotong adalah perumpamaan bagi kelima utas kenikmatan indria  - bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, [145] dan merangsang nafsu. ‘Buanglah parang dan balok pengganjal itu: tinggalkanlah kelima utas kenikmatan indria. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Sepotong daging adalah perumpamaan bagi kenikmatan dan nafsu.  ‘Buanglah sepotong daging itu: tinggalkanlah kenikmatan dan nafsu. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Ular Nāga adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan noda-noda.  ‘Biarkanlah ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga; hormatilah ular Nāga.’ Ini adalah maknanya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Kumāra Kassapa merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:57:02 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #28 on: 22 July 2010, 08:32:27 PM »
24  Rathavinīta Sutta
Barisan Kereta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari negeri asal [Sang Bhagavā],  yang melewatkan musim hujan di sana, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu si sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci, sebagai berikut: ‘Memiliki sedikit keinginan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit; puas terhadap dirinya sendiri, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan; hidup terasing, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keterasingan; jauh dari pergaulan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang menjauhi pergaulan; bersemangat, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang membangkitkan semangat; mencapai moralitas, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian moralitas; mencapai konsentrasi, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian konsentrasi; mencapai kebijaksanaan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebijaksanaan; mencapai kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebebasan; mencapai pengetahuan dan penglihatan kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian pengetahuan dan penglihatan kebebasan;  ia adalah seorang yang menasihati, memberitahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihormati di negeri asal [Sang Bhagavā] oleh para bhikkhu di sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.”

3. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Suatu keuntungan bagi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, suatu keuntungan besar baginya bahwa teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci memujinya dalam segala hal di hadapan Sang Guru. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dan berbincang-bincang dengannya.”

4. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan mengembara secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

5. Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Sāvatthī dan menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.” Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta merapikan tempat kediamannya, dan membawa jubah luar dan mangkuknya, melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, ia akhirnya sampai di Sāvatthī dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, untuk menjumpai Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorongnya dengan khotbah Dhamma. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, setelah menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepadanya: “Teman Sāriputta, Bhikkhu Puṇṇa Mantāṇiputta yang sering engkau puji [147] baru saja diberi instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma; setelah senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Sāriputta segera mengambil alas duduk dan mengikuti persis di belakang Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dengan tetap mempertahankan kepalanya dalam jarak pandangan. Kemudian Yang Mulia Puṇna Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta dan duduk  di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Yang Mulia Sāriputta juga memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

8. Kemudian, Pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasi, mendatangi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, teman?” – “Benar, teman.” – “Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” -  “Kalau begitu apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” 

10. “Teman, ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Kalau begitu demi apakah, teman [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”

“Teman, adalah demi Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

11. “Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?” – “Tidak, teman.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Tetapi bagaimanakah, teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

13. “Teman, jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian moralitas sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.  Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini, maka seorang biasa juga mencapai Nibbāna akhir, karena orang biasa tidak memiliki kondisi-kondisi ini.

14. “Sehubungan dengan hal tersebut, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga … dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat … dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima … dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam … dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: ‘Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini?’ Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, teman, ia harus menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga … ke empat … ke lima … ke enam … kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa.’ Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian.”

15. “Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Puṇṇa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Mantāṇiputta.”

“Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah dijawab, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta.”

17. Ketika ini dikatakan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Upatissa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Sāriputta.”

“Sungguh, teman, kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Yang Mulia Sāriputta, siswa yang menyamai Sang Guru sendiri.  Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta, maka kami tidak akan berbicara begitu banyak. Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah diajukan, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Sāriputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta.”

Demikianlah kedua manusia agung itu bergembira mendengar kata-kata baik masing-masing.

« Last Edit: 01 May 2012, 02:57:44 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #29 on: 22 July 2010, 08:46:53 PM »
25  Nivāpa Sutta
Umpan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pemburu rusa tidak meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘Semoga kelompok-kelompok rusa itu menikmati umpan yang kuletakkan ini dan dengan demikian dapat berumur panjang dan indah dan bertahan lama.’ Pemburu rusa meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘kelompok-kelompok rusa itu akan memakan makanan ini dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah kuletakkan ini; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu akan menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu akan menjadi lengah; ketika lengah, aku dapat melakukan apapun yang kuinginkan terhadap mereka berkat umpan ini.’

3. “Sekarang rusa kelompok pertama memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok pertama itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

4. “Sekarang rusa kelompok ke dua memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, [152] tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami semuanya menghindari makanan umpan itu; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan pergi ke dalam hutan belantara dan menetap di sana.’ dan mereka melakukan hal itu. Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh si pemburu rusa. Mereka memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

5. “Sekarang rusa kelompok ke tiga memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan pemburu itu. [153] Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke tiga ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke tiga ini, ke mana mereka bersembunyi.’ Demikianlah mereka melakukan hal itu, dan mereka melihat tempat tinggal rusa kelompok ke tiga, ke mana mereka bersembunyi. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

6. “Sekarang rusa kelompok ke empat memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Dan rusa dari kelompok ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama [154] dan juga kegagalan rusa kelompok ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana pemburu rusa dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, [155] pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke empat ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke tiga ini, ke mana mereka bersembunyi.’ Demikianlah mereka melakukan hal itu, tetapi mereka tidak menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke empat, ke mana mereka bersembunyi. Kemudian si pemburu rusa dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Jika kami menakuti rusa kelompok ke empat ini, karena ketakutan mereka akan memperingatkan yang lain, dan karenanya kelompok-kelompok rusa akan meninggalkan umpan yang telah kami letakkan. Bagaimana jika kami membiarkan rusa kelompok ke empat ini.’ Mereka melakukan hal itu. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke empat itu berhasil terbebaskan dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

7. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan sebuah makna. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kelima utas kenikmatan indria. ‘Pemburu rusa’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Para pengikut pemburu rusa’ adalah sebutan bagi para pengikut Māra. ‘Kelompok rusa’ adalah sebutan bagi para petapa dan brahmana.

8. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis pertama memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dan langsung mendatangi umpan dan benda-benda materi duniawi yang diletakkan oleh Māra; [156] dengan melakukan hal itu mereka menjadi mabuk, mereka menjadi lengah; ketika mereka lengah, Māra melakukan apa yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan dan benda-benda materi duniawi tersebut. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis pertama gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok pertama.

9. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke dua memperhitungkan: ‘Para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami sepenuhnya menghindari umpan makanan dan benda-benda materi duniawi; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan masuk ke hutan belantara dan menetap di sana.’ dan mereka melakukan hal itu. Mereka adalah pemakan sayur-sayuran dan milet atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Mereka hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan, mereka memakan buah-buahan yang jatuh.

“Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka menjadi kehilangan kebebasan pikiran ;  dengan hilangnya kebebasan pikiran, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi itu; mereka memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, mereka menjadi mabuk; ketika mabuk, mereka menjadi lengah; ketika lengah, Māra melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan dan benda-benda materi duniawi itu. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. [157] Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke dua.

10. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke tiga memperhitungkan: ‘para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan dan benda-benda materi duniawi itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian mereka menganut pandangan-pandangan seperti ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’ dan ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’ dan ‘jiwa dan badan adalah sama’ dan ‘ jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.’  [158] Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke tiga.

11. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke empat memperhitungkan: ‘para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Dan para petapa dan brahmana jenis ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama dan juga kegagalan para petapa dan brahmana jenis ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana Māra dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan dan benda-benda materi duniawi itu.’ Dan mereka melakukannya. [159] Dan demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana itu berhasil terbebas dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke empat.

12. “Dan di manakah Māra dan pengikutnya tidak dapat mendatangi? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

13.  “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia berdiam dalam kenyamanan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

16. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [160] menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan terhadap dunia.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:58:29 PM by ryu »

 

anything