Gagasan tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra)
Dari perspektif kosmologi Buddhis, ruang, seperti juga waktu, adalah tidak terbatas. Ruang yang tidak terbatas dipenuhi oleh tak terhingga alam semesta, sistem dunia, yang membentang ke 10 penjuru arah (4 arah mata angin, 4 arah di antaranya, arah atas dan bawah). Dalam ketidakterhinggaan ini beberapa alam semesta dikenal sebagai Tanah Buddha. Secara umum, istilah ini menunjuk pada sebuah wilayah, sebuah jagad raya, di mana seorang Buddha mengupayakan pengaruh spiritual-Nya.
Konsep Tanah Buddha, walaupun dianggap penting dalam pemikiran Mahayana, bukan khas Mahayana saja. Mahavastu, yang merupakan teks Lokottaravada, menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali alam semesta atau sistem dunia yang tidak ada Buddha, karena para Buddha adalah sangat langka [kemunculannya], lebih jauh lagi, Mahavastu mencatat, tidak mungkin terdapat dua orang Buddha pada Tanah Buddha yang sama, karena ini mengimplikasikan bahwa seorang Buddha tidak dapat menjalankan tugas-Nya. Dan walaupun para Buddha sangat langka, tetapi pada keseluruhan alam semesta yang tidak terbatas terdapat tak terhingga Buddha dan tak terhingga Bodhisattva tingkat sepuluh yang akan menjadi Buddha. Ini membawa tak terhingga makhluk untuk mencapai pembebasan, tetapi tidak akan ada kemungkinan bahwa pada akhirnya semua akan terbebaskan dan tidak ada yang tersisa. Karena dengan tak terhingga makhluk, bahkan jika tak terhingga Buddha masing-masing membebaskan tak terhingga makhluk lainnya, akan masih terdapat tak terhingga makhluk yang tersisa (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).
Manusia tinggal di dunia yang disebut Saha, yang dikatakan berada di selatan, di mana Buddha masa sekarang adalah Sakyamuni.[15] Gagasan Tanah Buddha mungkin muncul dari anggapan tentang pengetahuan Sakyamuni pada satu pihak, jangkauan perhatian-Nya, dan kemampuan dan pengaruh Beliau pada yang lain – medan aktivitas-Nya.[16]. Pengetahuan Sang Buddha (dan dari pandangan Mahayana, welas asih Beliau) sering dipandang tidak terbatas dalam Mahayana, walaupun kemampuan spiritual Beliau secara langsung menjangkau sebuah wilayah yang sangat luas namun terbatas, Tanah Buddha-Nya dalam pengertian pokok, wilayah pada pusat di mana Sang Buddha muncul.
Fungsi utama seorang Buddha adalah untuk mengajar para makhluk dalam Tanah Buddha-Nya. Namun Tanah Buddha dalam pengertian pokok ini bukan hanya sebuah tempat di mana Buddha kebetulan muncul. Alih-alih, selama karir-Nya sebagai seorang Bodhisattva sang calon Buddha dikatakan ‘memurnikan’ Tanah Buddha-Nya, dan Tanah Buddha dalam beberapa pengertian adalah hasil dari mahakaruna-Nya (Fujita 1996a: 34-5). Dengan kata lain, kemunculan Tanah Buddha bergantung pada karir mengagumkan Buddha tersebut sebagai Bodhisattva. Perbuatan tak terbatas Buddha dalam kebijaksanaan dan cinta kasih telah menghasilkan Tanah Buddha sebagai wilayah di mana ia dapat “mematangkan” para makhluk. Para makhluk sendiri juga berkontribusi, karena ini adalah tempat di mana mereka terlahir melalui perbuatan mereka, sebagai makhluk yang secara potensial dapat dimatangkan. Lebih lanjut lagi, seorang Bodhisattva dapat dengan sendirinya dilahirkan dalam Tanah Buddha dari seorang Buddha, di hadapan Buddha tersebut, atau berjalan ke sana melalui meditasi. Tanah Buddha secara lebih tepat adalah tempat di mana kondisi-kondisi sangat menguntungkan untuk kemajuan spiritual Bodhisattva. Dengan demikian Tanah Buddha merupakan tempat di mana Bodhisattva dapat menjumpai seorang Buddha dan menjalankan karirnya, dan juga tujuan perjuangan seorang Bodhisattva, Tanah Buddha-Nya sendiri yang dimurnikan untuk para makhluk melalui usahanya sendiri (Rowell 1935: 385 ff., 406 ff.). Dan dari tempat-Nya dalam dunia-Nya sebuah teks memberitahukan kita bahwa tiga kali sehari dan tiga kali semalam, Buddha mengamati Tanah Buddha-Nya untuk melihat siapakah yang dapat secara moral dan spiritual ditolong (Lamotte 1962: 396–7).
Jadi Bodhisattva memurnikan Tanah Buddha-Nya dan dunia di mana Buddha mengupayakan aktivitas-Nya merupakan hasil pemurnian perbuatan-Nya sebagai Bodhisattva. Ini menimbulkan sebuah masalah. Disetujui dalam semua kasus bahwa dunia Saha milik Sakyamuni bukan tempat yang murni.[17] Dunia ini sesungguhnya Tanah Buddha yang tidak murni sepenuhnya. Beberapa teks Mahayana mengatakan tiga jenis Tanah Buddha: murni, tidak murni, dan campuran. Sebagai contoh, dalam Tanah Buddha yang tidak murni terdapat non-Buddhis, makhluk-makhluk yang sangat menderita, perbedaan keturunan [suku bangsa] dll, makhluk-makhluk tidak bermoral, alam-alam rendah seperti neraka, perilaku yang buruk, dan Wahana Kecil (tradisi Buddhis awal), dsb. Para Bodhisattva yang berperilaku baik, dan kemunculan sejati seorang Buddha, adalah jarang.[18] Kenyataannya dunia Sakyamuni ini sangat suram bagi pengikut Mahayana yang taat. Tanah Buddha yang murni, pada sisi lain, seperti Sukhavati milik Amitayus, digambarkan seperti ini:
“dihiasi dengan indah, tidak ada kekotoran atau kejahatan, tidak ada kerikil atau bebatuan, tidak ada semak berduri, tidak ada kotoran atau ketidakmurnian lainnya. Tanahnya datar dan rata, tanpa dataran tinggi atau rendah, tidak ada lembah atau celah. Terdapat permata vairerya [‘beryl’ menurut Paul Harrison] pada tanahnya, dan pepohonan permata yang berbaris. Dengan pita yang terbuat dari emas jalannya dibatasi. Di mana-mana selalu bersih dan murni, dengan bunga-bunga permata tertaburan.” (Sutra Teratai, dalam Hurvitz 1976: 120)
Tanah Buddha yang murni demikian – di Asia Timur disebut ‘Tanah Murni’ – memiliki seorang Buddha yang hidup selama waktu yang sangat lama (mungkin untuk selamanya), yang tidak meninggalkan para pengikutnya, seperti Sakyamuni yang kelihatannya hanya melakukannya selama 40 tahun atau lebih. Terdapat banyak Bodhisattva di dunia tersebut, dan Mara yang jahat, dan para pengikutnya tidak dapat melakukan ulahnya. Jelasnya Tanah Murni demikian adalah tempat yang mengagumkan untuk mengembangkan jalan menuju pencerahan, sedangkan dunia Saha kita, khususnya sejak wafatnya Sang Guru, tidak lagi sangat baik. Karena terdapat tak terhingga Tanah Buddha dan oleh sebabnya juga ada tak terhingga Tanah Murni pada saat ini di seluruh penjuru 10 arah mata angin, pastinya tugas segera yang dikesampingkan adalah untuk mengunjungi Tanah-Tanah Murni ini jika semuanya memungkinkan dan akhirnya terlahir di sana.
Agama Buddha awal telah mengajarkan bahwa kebajikan membawa pada kelahiran di surga setelah kematian, tetapi semua surga adalah samsara, tidak kekal dan diliputi dengan kekecewaan dan penderitaan. Sebuah Tanah Murni secara tegas bukan, dalam istilah Buddhis, sebuah surga (svarga).[19] Alih-alih, seseorang seharusnya menjalankan meditasi yang benar (yaitu Buddhanusmrti) dan dengan terampil mengarahkan buah perbuatan baik, jasa kebajikan, untuk terlahir bukan di surga tetapi pada Tanah Murni yang dipilih. Sementara tentunya tidak mudah untuk dapat sampai di Tanah Murni, berada dalam Tanah Murni karena dengan kehadiran seorang Buddha dan ajaran-Nya seseorang dapat dengan relatif mudah untuk mencapai Nirvana, atau mengembangkan jalan menuju Kebuddhaan, seperti yang kita ketahui dari kisah orang-orang yang dapat melakukan demikian di India pada zaman Sakyamuni. Sesungguhnya, mencapai Nirvana di Tanah Murni lebih mudah daripada hal yang sama di India pada masa Sakyamuni, karena Tanah Murni lebih kondusif untuk menjalankan Dharma dibandingkan dengan India yang tidak murni saat itu dan sekarang. Dengan demikian, tidak seperti surga, dari Tanah Murni tidak terdapat kebutuhan untuk mengatasi kelahiran di samsara yang tidak terkendali.
Ini sangat logis dan sangat konsisten dengan perkembangan pemikiran Buddhis. Dunia saat ini setelah wafatnya seorang Buddha adalah tempat yang sulit dimana seseorang mencapai pencerahan. Namun demikian, pada tidak terhingga alam semesta masih terdapat para Buddha, bahkan mungkin Sakyamuni sendiri. Adalah memungkinkan untuk melihat Mereka dalam meditasi, dan mendengar ajaran Mereka yang mengagumkan. Dengan demikian tidak ada yang mencegah seseorang untuk terlahir di hadapan para Buddha tersebut. Akibatnya, pencarian Nirvana, atau mungkin Kebuddhaan yang sempurna, membutuhkan dalam kebanyakan kasus tujuan untuk segera terlahir di Tanah Murni di hadapan seorang Buddha. Dalam memastikan seseorang akan terlahir di sebuah Tanah Murni setelah kematian, praktisi saat ini dan di sini menjadi seorang ‘yang tidak kembali lagi’ (anagamin), seseorang yang tidak akan terlahir kembali ke dunia ini, tetapi akan mencapai pencerahan segera, mungkin dalam kehidupan berikutnya.[20] Ini sesungguhnya adalah tahap yang lebih maju dalam praktek Buddhis, lebih maju daripada kebanyakan orang yang secara normal mengharapkan untuk mencapai hal tersebut di bawah kondisi-kondisi saat ini di dunia ini karena saat ini Buddha sudah wafat.
Tetapi di mana ini menyisakan tempat untuk Sakyamuni yang malang? Tanah Buddha Beliau tidak murni, oleh sebabnya Sakyamuni dan aktivitas pemurnian-Nya sebagai seorang Bodhisattva jelas sekali tidak efektif. Mengutip dari pernyataan Sariputra dalam Vimalakirtinirdesa Sutra:
“Jika Tanah Buddha murni hanya karena tingkat pikiran dari para Bodhisattva yang murni, maka ketika Buddha Sakyamuni menjalankan karir Bodhisattva, pikiran-Nya pasti tidak murni. Kalau tidak, bagaimana mungkin Tanah Buddha ini sangat tidak murni?”
Lebih jauh lagi, Sakyamuni sekarang sudah wafat, sementara masih banyak makhluk di sini di dunia ini yang harus diselamatkan. Oleh sebab itu, mahakaruna Beliau pasti tidak sempurna.
Terdapat sejumlah cara di mana seseorang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa semua Buddha kenyataannya identik. Sakyamuni telah muncul untuk menolong para makhluk pada waktu dan tempat tertentu. Walaupun Beliau telah wafat, masih ada banyak Buddha lainnya, dan juga Tanah Murni di luar sana. Para Buddha ini sedang melanjutkan menolong para makhluk di dunia Saha ini. Seseorang dapat menggabungkan jawaban ini dengan konsep tubuh Buddha [Trikaya], Sakyamuni merupakan Tubuh Perubahan [Nirmalakaya], sebuah perwujudan dari Buddha lain, yang berdiam di Tanah Buddha yang murni, masih aktif dalam semua cara demi kepentingan semua makhluk di dunia ini. Dengan kata lain, Tanah Buddha yang tidak murni bukan Tanah Buddha yang utama, tetapi merupakan upaya kausalya seorang Buddha yang tentunya, sebagai seorang Buddha, sesungguhnya memiliki Tanah Buddha yang murni. Kemungkinan Buddha di luar dunia ini tak lain adalah Sakyamuni sendiri (seperti dalam Sutra Teratai).
Strategi lain adalah melihat Tanah Buddha sebagai jangkauan aktivitas seorang Buddha, tetapi tidak mesti dimurnikan melalui aktivitas-Nya yang sebelumnya. Karena Beliau berbelas kasih, seorang Buddha membuat Tanah Buddha-Nya sebagai tempat yang paling sesuai untuk para makhluk tertentu yang akan ditolong. Strategi ini dipakai dalam Karunapundarika Sutra, sebuah sutra yang bertujuan memulihkan Sakyamuni kembali ke keunggulan dalam menghadapi kultus Tanah Murni yang dipusatkan pada Amitayus dan Aksobhya. Para Buddha lainnya mengajar para makhluk yang dapat sampai di Tanah Buddha mereka. Namun yang teragung di antara para Bodhisattva, Bodhisattva yang sejati, berikrar untuk muncul sebagai seorang Buddha di dunia yang tidak murni, Tanah Buddha yang bernoda, semata-mata karena mahakaruna-Nya (Yamada 1968: I, 78). Kenyataan bahwa Sakyamuni muncul di dunia Saha, tempat yang tidak menguntungkan, menunjukkan mahakaruna Beliau yang luar biasa.
Namun pemecahan atas dilema Sariputra [di atas] yang paling umum dan paling penting dalam Buddhisme di Asia Timur diberikan oleh Vimalakirtinirdesa itu sendiri. Tanah Buddha yang tidak murni ini sesungguhnya Tanah Murni. Ia hanya kelihatannya tidak murni karena pikiran para makhluk yang berdiam di dalamnya. Jika terdapat gunung di dunia ini, dan semuanya rata di Tanah Murni, itu karena terdapat gunung dalam pikiran. Sakyamuni bukan Buddha yang tidak sempurna. Bagi Beliau semuanya adalah murni. Ketidakmurnian yang kita lihat adalah hasil kesadaran yang tidak murni, dan juga belas kasih Buddha dalam membuat sebuah dunia yang di dalamnya para makhluk yang tidak murni dapat berkembang (Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Dengan demikian jalan sejati untuk mencapai Tanah Murni adalah dengan memurnikan pikiran kita. Dengan kata lain, kita telah berada dalam Tanah Murni jika kita mengetahuinya. Apa pun dunianya, jika ia dihuni oleh orang-orang dengan pikiran murni yang tercerahkan maka itulah Tanah Murni. Ini sangat mirip dengan konsep sifat Kebuddhaan/Tathagatagarbha bahwa kita sudah menjadi Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna jika kita menyadari kenyataannya, dan ini bukan hanya langkah [mencapai pencerahan] singkat dari gagasan Chan (Zen) bahwa Tanah Murni sesungguhnya hanya pikiran yang tenang, jernih, cerah, dan murni. Oleh sebab itu, Tanah Murni sesungguhnya bukan ‘kediaman surgawi’ namun di-demitologi-kan sebagai pencerahan itu sendiri.[21]
Catatan:
15. Untuk perkenalan yang baik pada kosmologi Buddhis awal, lihat Gethin 1998: Ch. 5. Untuk beberapa diagram, lihat juga Gómez 1996: 257–60.
16. Lihat Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. Untuk studi yang lebih baru, lihat Fujita 1996a. Paul Harisson telah menarik perhatian saya pada anjuran yang masuk akal dalam Davidson 2002: 132-3 bahwa ksetra ‘tanah’ [secara harfiah ‘ladang’ dalam bahasa Pali ‘kheta’ (seperti dalam Sanghanussati ‘punnakkhetam’)] mungkin berhubungan dengan gagasan politis sebuah ‘domain’ kerajaan. Jika demikian, maka Buddhaksetra akan lebih baik diterjemahkan sebagai ‘Domain Buddha’.
17. Kemurnian, secara kebetulan, merupakan gagasan kultural yang penting di India, yang meliputi masyarakat India (brahmanis) dan yang paling pokok, sebagai contoh, pembedaan kasta. Semakin murni seseorang semakin tinggi status religiusnya. Turunannya, semakin murni lingkungan mereka semakin lebih mereka mempertahankan status religiusnya.
18. Samdhinirmocana Sutra, dalam Lamotte 1962: 397. Tetapi dicatat bahwa model awal Tanah Murni Aksobhya Abhirati juga ditemukan dalam praktisi non-Mahayana. Sesungguhnya, dalam banyak hal model awal Abhirati tidak selalu cocok dengan pandangan Mahayana yang telah berkembang tentang Tanah Murni.
19. Lihat Ducor 2004: 380–1. Tentang kesamaan dan perbedaan antara Sukhavati dengan surga, dalam pandangan pemahaman orang Jepang terhadap Tanah Murni Amitabha sebagai ‘dunia dari dimensi lain’, kenyataannya adalah pencerahan itu sendiri, lihat Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita 1996b: 26.
20. Tentang ‘buah dan jalannya’ ini dalam Buddhisme awal, lihat Gethin 1998: 194.
21. Mungkin saya juga harus menyebutkan di sini model lain dari Tanah Murni yang berkaitan dengan hal ini ditemukan dalam, misalnya, tradisi Nichiren, dan populer di antara para aktivis sosial Buddhis modern. Seperti yang kita lihat pada akhir bab pada Sutra Teratai, terdapat pernyataan bahwa pada beberapa lama di masa yang akan datang, ketika cukup banyak orang menjalankan Dharma sejati (atau saat, melalui aksi yang diinspirasi umat Buddhis, situasi politik dan sosial membaik), pada waktu itu dunia ini akan menjadi Tanah Murni. Tanah Murni di sini bukan pikiran murni seperti yang demikian, atau dunia yang dilihat oleh pikiran yang murni. Alih-alih, ia adalah masyarakat yang tertata dengan baik yang dihasilkan dari aktivitas mereka yang berpikiran murni (yaitu umat Buddhis yang berpikiran benar). Pandangan Tanah Murni ini juga berhubungan dengan milenarianisme Buddhis (lihat Overmyer 1976: 157).