//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Konflik Myanmar  (Read 6472 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Konflik Myanmar
« on: 08 May 2013, 12:21:08 PM »


VIVAnews - Kekerasan antara umat Muslim dan Buddha di Myanmar semakin menjadi. Beberapa lembaga HAM mengatakan bahwa ini adalah kekerasan sistematis yang dilakukan warga dan pemerintah terhadap etnis Muslim Rohingya.

Banyak timbul pertanyaan, mengapa umat Buddha yang menjunjung tinggi prinsip welas asih mendadak brutal di Rakhine, Myanmar. Hal ini ternyata tidak lepas dari peran seorang biksu yang dengan bangga menyebut dirinya sendiri "Bin Laden dari Burma."

Biksu bernama asli Wirathu ini memang dikenal radikal dan pembuat onar. Karena ulahnya itu, pada 2003 dia ditahan dan divonis penjara 25 tahun oleh pemerintahan junta militer Myanmar karena menghasut aksi kekerasan terhadap warga Muslim. Masalahnya, dia dibebaskan tahun lalu bersama ratusan tahanan politik lainnya sebagai salah satu bagian dari program reformasi demokrasi Myanmar.

The Guardian dalam sebuah artikelnya mengulas nama Wirathu mengemuka sejak 2001 lalu. Putus sekolah pada usia 14 tahun, dia lalu menjadi biksu di biara Mandalay. Wirathu dikenal kerap membuat DVD anti Islam dan provokasi-provokasi lainnya di media sosial.

Sejak bebas, pria 45 tahun ini menggagas "Gerakan 969", sebuah kampanye memboikot umat Islam yang memicu kekerasan di Rakhine. Kampanye ini menyerukan umat Buddha untuk tidak berbelanja di toko-toko orang Muslim, juga tidak menikahi, mempekerjakan dan menjual properti kepada mereka.

Nama "969" sendiri diambil Wirathu dari sembilan nama Buddha, enam langkah Buddha dan sembilan jalan kebiksuan. Pendukung kampanye ini menempelkan stiker bertuliskan "969" di toko-toko mereka, rumah, taksi dan bus, menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut Wirathu.

Kemudian terjadi pembantaian umat Muslim Rohingya di Rakhine. Sebanyak 43 orang--pria, wanita dan anak-anak--terbunuh saat itu. Puluhan ribu Muslim Rohingya terpaksa hengkang. Peristiwa terbaru, sebanyak 25 Muslim Rohingya dibantai di Meikhtila April lalu.
Human Right Watch dalam penyelidikannya menemukan adanya penyebaran leaflet anti Islam berstempel 969 di Meikhtila, sebelum bentrok pecah. Puluhan saksi juga menyatakan bahwa pemimpin massa adalah para biksu--yang seharusnya jadi ikon demokrasi di Myanmar.
Tudingan Wirathu
Wirathu mengaku punya alasan kuat mengapa dia menggelar kampanye itu. Seperti kelompok radikal lainnya--dari kalangan dan agama apapun--kebanyakan alasannya tidak bisa dibuktikan dan terdengar ngawur.

Salah satunya, menurut dia, Muslim Rohingya memaksakan agama mereka pada orang lain dengan ancaman pembunuhan dan perkosaan. Selain itu, dia mengatakan, cara Muslim menyembelih hewan tidak bisa diterima umat Buddha.

"Pembunuhan hewan oleh Muslim membuat orang familiar dengan darah. Hal ini akan mengancam perdamaian dunia jika memuncak ke tingkat tertentu," ujarnya.

Masih menurut dia, minoritas Muslim di Myanmar yang jumlahnya hanya lima persen didanai oleh kekuatan di Timur Tengah. "Muslim lokal sangat kejam karena ada kelompok ekstremis yang mengendalikan, membantu mereka dengan dana, dan pelatihan militer," dia menuding.
Pemahaman Wirutha ditentang oleh para pemuka Buddha di Myanmar, salah satunya datang biksu Abbot Arriya Wuttha Bewuntha dari biara Myawaddy Sayadaw Mandalay. Dia mengatakan bahwa apa yang disampaikan Wirathu mengarah pada kebencian, bukan ini yang diajarkan Buddha.

"Ini bukanlah yang diajarkan Buddha. Yang diajarkan Budha adalah kebencian itu tidak bagus, Karena Buddha melihat semua orang setara. Buddha tidak menilai orang berdasarkan agamanya," kata Bewuntha.

Hal yang sama dikatakan seorang penganut Zen Buddha dari Amerika Serikat, James Ure, dalam blognya www.thebuddhistblog.blogspot.com. Dia bahkan mengatakan bahwa dalam praktiknya, Wirathu bukan penganut Buddha.

"Mungkin dia mengenakan jubah biksu, tapi dia tidak menyebarkan pesan yang dibawa Buddha soal kasih sayang dan toleransi," kata Ure.
Pemerintah terlibat?
Kelompok HAM internasional menyayangkan aksi kelompok Buddha radikal ini. Selain itu, HRW mensinyalir pemerintah dan aparat keamanan Myanmar turut terlibat dalam pembantaian Muslim Rohingya di negeri ini.

Beberapa saksi mata mengatakan tentara dan polisi Myanmar turut menyiksa dan memperkosa wanita Rohingya. HRW mendesak pemerintah Myanmar bertindak mengatasi gelombang kebrutalan ini. 

"Kampanye 969 lebih dari aksi boikot. Kampanye ini telah memicu kekerasan yang tidak rasional," kata Jim Della-Giacoma, Direktur Asia Tenggara, International Crisis Group.
Pengamat mengatakan bahwa masyarakat internasional tidak boleh tebang pilih dan harus segera mengambil langkah untuk menghentikan aksi Wirathu. Pasalnya, dia semakin bebas menyuarakan kebencian dan hasutannya diamini oleh sejumlah biksu lain di Myanmar.
"Jika gerakan kebencian seperti '969' di Burma, katakanlah, terjadi di Eropa melawan orang Yahudi, pasti tidak ada pemerintah Eropa yang membiarkannya," kata aktivis Myanmar dari London School of Economics, Maung Zarni. "Lalu kenapa sekarang Uni Eropa tidak menanggapinya dengan serius? Padahal ini terjadi di negara penerima dana bantuan besar dari Eropa."(np)
   


Sumber: viva.co.id

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Konflik Myanmar
« Reply #1 on: 08 May 2013, 12:22:17 PM »
Mengapa seorang bhikkhu lebih baik jangan ikut dalam urusan politik, ada benar nya. Salah dalam berpandangan, salah dalam mengambil sikap dan keputusan, menimbulkan konflik yang lebih besar, sehingga terjadi keributan/perkelahian/pembantaian...

Seorang bhikkhu tidak layak menyebarkan kebencian, terlebih dilakukan dengan menggunakan jubah bhikkhu, akibat nya muncul pandangan buruk terhadap sosok bhikkhu dan umat buddha secara global. Ajaran buddha tidak mengajarkan kebencian, namun mengendalikan dan menggikis kebencian, menebarkan cinta kasih untuk semua mahluk, namun hal ini diabaikan oleh seorang bhikkhu dengan menebar kebencian dan memprovokasi massa untuk melakukan tindakan anarkis.

Semoga tidak ada bhikkhu2 yg demikian di masa akan datang...

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Konflik Myanmar
« Reply #2 on: 08 May 2013, 12:25:00 PM »
Dibalik Kasus Rohingnya di Myanmar

Mendengar kata Rohingnya, pasti terngiang beberapa kata-kata di otak kita seperti “muslim”, “minoritas”, “pembantaian”, betul? Tapi saya cukup tersentak ketika mendengar fakta dari teman kantor saya yang asli orang Myanmar, yang baru-baru ini bergabung satu tim dengan saya. Ternyata berita yang kita dengar, bisa jadi jauuuuh berbeda dengan cerita teman saya tadi. Siang sewaktu jam makan siang di negara perantauan ini, kami bertiga dari etnis yang berbeda jauh. Saya dari Indonesia dan Jawa tulen, kedua rekan saya satunya dari Mumbai, India dan satu lagi dari Myanmar. Kami terlibat pembicaraan serius tapi santai, mengenai hebatnya efek dari sebuah berita, tulisan, atau bahkan film, seperti yang kita dengar. Berita tentang adanya film pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dibuat di negeri Paman Sam saja, sudah memakan korban tewas. Hingga akhirnya obrolan khas kami dengan ditemani sajian khas India macam Nasi Briyani, tiba pada topik yang asyik, yaitu Rohingnya.

Myanmar, atau lebih dikenal dengan Burma ini memiliki populasi estimasi kurang lebih 66 juta penduduk di tahun 2010. 89% diantaranya memeluk agama Buddha, berikutnya 4% memeluk nasrani dan 4% berikutnya memeluk Islam. Rekan saya bercerita bahwa dia ini tidak terima ketika dibilang oleh media di luar sana bahwa semua orang Myanmar ini “sadistic killer”. Karena apa yang terjadi di terhadap muslim Rohingnya adalah ekses dari banyaknya pendatang dari luar Myanmar yang tinggal di area yang sekarang ditempati oleh Rohingnya. Dengan berapi-api dan sambil mengambil sesendok Nasi Briyani, ia bercerita tentang apa yang terjadi di Myanmar tidaklah seperti “Islam membenci Buddha”, dan sebaliknya “Buddha membenci Islam”. Yangoon, ibukota Myanmar sudah lama dihuni warga beragama Islam, dan bahkan sejak jaman masih kerajaan pun sudah ada. Masjid juga ada didirikan dimana-mana, di seluruh Myanmar, dan tak pernah ada masalah tersebut. Keharmonisan antara warga beragama Islam dan warga beragama Buddha sebagai mayoritas juga tak pernah terganggu.

Pokok permasalahan di Myanmar sebenarnya bukan perkara agama yang selama ini didengungkan oleh media baik luar negeri dan mungkin di Indonesia sendiri, sehingga tak pelak demonstrasi di berbagai kota di Indonesia terkait Rohingnya merebak. Ada aturan hukum yang dijunjung tinggi di Myanmar, dimana warga pendatang baru bisa menjadi warga Myanmar kalau sudah tinggal di Myanmar selama 3 generasi, yang berarti jika cucu orang tersebut sudah lahir, maka dengan beberapa proses dia dapat menjadi warga Myanmar. Fakta berikutnya yang diutarakan rekan saya tersebut adalah etnis Rohingnya adalah pendatang yang dapat “seenaknya” melintas batas masuk ke Myanmar tanpa “permisi” ke imigrasi, karena memang perbatasan di dekat Nepal dan Bangladesh ini tak berpagar, juga tak ada petugas imigrasi yang bertugas. Dan mereka sebagai pendatang datang dan tinggal di Myanmar bagian utara (tentunya yang berdekatan dengan Nepal dan Bangladesh ini), minta diakui sebagai warga negara Myanmar, padahal mereka baru tinggal di situ kurang dari 3 generasi.

Banyak diantara etnis Rohingnya ini yang tak mampu berbahasa Myanmar, atau bahkan membaca aksara Myanmar pun tak bisa. Pokok permasalahan timbul ketika mereka ingin berpisah dari Myanmar dan membentuk negara baru di kawasan tersebut, setelah permohonan kewarganegaraan mereka ditolak. Daerah yang diduduki etnis Rohingnya itu kabarnya juga merupakan tempat dengan sumber gas alam terbesar di Myanmar. Masalah ini yang saya tak pernah tahu. Kalaupun saya orang Myanmar, ya tentu juga merasa nggak terima, pendatang kok tiba-tiba minta “tanah” plus “atributnya” terus berniat pisah dari Myanmar. Dari sentimen-sentimen tersebut (yang juga umumnya terjadi di sekitar kita juga), akhirnya ada jarak antara warga asli Myanmar sendiri dengan etnis Rohingnya. Dan akhirnya bisul itu pecah ketika ada berita bahwa perempuan asli Myanmar yang diperkosa oleh 3 orang muslim. Pembalasan dilakukan oleh warga Myanmar (yang sekali lagi kebetulan mayoritas Buddha), dan 10 orang muslim tewas. Pembalasan dilakukan kembali oleh kubu Rohingnya setelah sholat Jum’at, dan akhirnya juga memakan korban, demikian terus hingga kasus tersebut membesar, hingga kasus bakar-bakaran yang memakan banyak korban jiwa.

Akhirnya rekan saya menutup pembicaraan dengan kata-kata bahwa meskipun begitu, warga Myanmar di Yangoon, baik muslim atau non-muslim masih akur sampai sekarang, tak pernah ada cekcok ataupun bentrok sama sekali. Apa yang orang-orang Myanmar lakukan terhadap Rohingnya juga dalam koridor “mempertahankan harkat dan martabat bangsa” yang sayangnya berujung kematian di kedua belah pihak.

Apa yang diceritakan teman saya ini, kemudian saya teringat ke kasus kerusuhan yang sekarang terjadi di Lampung, yang sebenarnya itu merupakan kasus lama, perpecahan antara pendatang dan warga asli. Warga asli Lampung di daerah yang berpendidikan menengah ke bawah dan warga pendatang dari Jawa tak pernah menjaga keharmonisannya, sehingga terjadi kerusuhan. Beruntung bahwa kasus tersebut bukan perlawanan antar agama karena umumnya semua muslim, sehingga dapat dengan mudah diidentifikasikan permasalahannya.

Apapun itu, mari dari dalam diri kita sendiri untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dan menyaring berita-berita yang terjadi sebelum kita berniat untuk demonstrasi dan seterusnya. Rekan saya yang dari India itu menimpali kalau di India sendiri sudah ada korban tewas 10 orang lebih hanya gara-gara berita tentang kasus Rohingnya menyebar ke kota-kota lain di India.

Sumber: politik.kompasiana.com

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Konflik Myanmar
« Reply #3 on: 08 May 2013, 04:13:42 PM »
Keterangan Pers Presiden SBY 4 Agustus 2012 ttg konflik etnis Rohingya : http://www.presidenri.go.id/index.php/pers/presiden/2012/08/04/645.html

Quote
Masih menurut dia, minoritas Muslim di Myanmar yang jumlahnya hanya lima persen didanai oleh kekuatan di Timur Tengah. "Muslim lokal sangat kejam karena ada kelompok ekstremis yang mengendalikan, membantu mereka dengan dana, dan pelatihan militer," dia menuding.

Wikileak : ada kontak dengan teroris : http://wikileaks.org/cable/2002/10/02RANGOON1310.html

Komisi Investigasi Konflik Myanmar (ini tidak pernah dibahas oleh media Indonesia):

http://www.elevenmyanmar.com/national/3296-rakhine-conflict-involves-outside-incitement-commission-reports

http://www.elevenmyanmar.com/national/3330-bengalis-fancy-a-muslim-state-rakhine-ethnic-community



GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Konflik Myanmar
« Reply #4 on: 01 June 2013, 07:16:54 AM »

Fakta berikutnya yang diutarakan rekan saya tersebut adalah etnis Rohingnya adalah pendatang yang dapat “seenaknya” melintas batas masuk ke Myanmar tanpa “permisi” ke imigrasi, karena memang perbatasan di dekat Nepal dan Bangladesh ini tak berpagar, juga tak ada petugas imigrasi yang bertugas. Dan mereka sebagai pendatang datang dan tinggal di Myanmar bagian utara (tentunya yang berdekatan dengan Nepal dan Bangladesh ini), minta diakui sebagai warga negara Myanmar, padahal mereka baru tinggal di situ kurang dari 3 generasi.

Banyak diantara etnis Rohingnya ini yang tak mampu berbahasa Myanmar, atau bahkan membaca aksara Myanmar pun tak bisa. Pokok permasalahan timbul ketika mereka ingin berpisah dari Myanmar dan membentuk negara baru di kawasan tersebut, setelah permohonan kewarganegaraan mereka ditolak. Daerah yang diduduki etnis Rohingnya itu kabarnya juga merupakan tempat dengan sumber gas alam terbesar di Myanmar. Masalah ini yang saya tak pernah tahu. Kalaupun saya orang Myanmar, ya tentu juga merasa nggak terima, pendatang kok tiba-tiba minta “tanah” plus “atributnya” terus berniat pisah dari Myanmar. Dari sentimen-sentimen tersebut (yang juga umumnya terjadi di sekitar kita juga), akhirnya ada jarak antara warga asli Myanmar sendiri dengan etnis Rohingnya. Dan akhirnya bisul itu pecah ketika ada berita bahwa perempuan asli Myanmar yang diperkosa oleh 3 orang muslim. Pembalasan dilakukan oleh warga Myanmar (yang sekali lagi kebetulan mayoritas Buddha), dan 10 orang muslim tewas. Pembalasan dilakukan kembali oleh kubu Rohingnya setelah sholat Jum’at, dan akhirnya juga memakan korban, demikian terus hingga kasus tersebut membesar, hingga kasus bakar-bakaran yang memakan banyak korban jiwa.

Ini yang kurang ditulis (atau malah disembunyikan) oleh media2 lokal di Indonesia.
--------------------------
1. Orang asing, masuk lewat perbatasan dan kemudian minta diakui sebagai warga negara Myanmar.
2. Ketika Myanmar tidak mau tunduk kepada kemauan mereka, malah melakukan aksi separatis di negara orang.
3. Sering melakukan perbuatan kriminal yang meresahkan warga asli Myanmar.  Mungkin mirip2 latar belakang kerusahan Sampit.
4. Baru minoritas di negara orang tapi lagaknya sudah seperti penguasa negara.
---------------------------
5. Faktor eksternal di Bangladesh (asal orang Rohingya) yang menindas, memperkosa, dan membantai penduduk Chittagong (asal Myanmar?) yang beragama Buddha.

Quote
Religious persecution in Chittagong Hill Tracts, Bangladesh
by CHT. P. Chakma, Secretary of World Jumma Buddhist's Council, HWHRF, January 11, 2008

Chittagong Hill Tracts, Bangladesh -- Military personnel here have ordered Jumma Buddhist villagers to stop renovation work on a Buddhist temple in Maischari under Khagrachari district in Chittagong Hill Tracts (Jumma Buddhists dominent region) of Bangladesh.

They have also briefly detained Aungjyo Karbari, the village head of Korngjyo Karbari Para and interrogated him about the temple work. About 50 Jumma men and women from Choudhury Para village were working when the army personnel came there.

Hundreds of Buddhist devotees from nearby villages such as Karallyachari, Jadugonala, Rangapanichara, Mubachari, Sabgujya, Manikchari, Bolipara, Bachchupara, Magistrate Para and Choudhury para have been working daily on the temple's renovation. The work consists mainly of leveling the ground, constructing a dining hall and living rooms for the Buddhist monks. The army said such activities cannot be carried out without prior permission of the Mahalchari Thana administration.

Army personnel from Kiang-ghat camp reappeared at the temple and briefly detained four Jumma Buddhist teenagers who had stayed in the temple last night to perform their share of the temple duties - mainly to prepare breakfast for the monks early in the morning.

One and a half months ago, the Bengali Muslim settlers from Maischari, Noonchari and Kiang-ghat cluster villages made attempts to capture these lands. The settlers have already taken away hundreds of acres of land belonging to the Jumma people in Maischari and its nearby areas with direct assistance from the army.

"We will not tolerate any Buddha house here; we want only Allah's house" says  Captain Shohel.


Quote
Buddhist temple attacked in Chittagong
Staff Correspondent,  bdnews24.com
Published: 2013-04-22 08:29:16.0 Updated: 2013-04-22 08:29:16.0

Unidentified miscreants set ablaze an idol in a Buddhist temple after looting money from its donation box in Boalkhali Upazila in Chittagong, police said.

Boalkhali Police Station OC Zahirul Huq Sabuz told bdnews24.com that fire damaged the idol at Sakyamuni Buddhist Temple at Jeisthapura village early on Monday.

Sabuz said everything else in the temple were intact. “It could be a theft case,” he said.

The attackers might have set fire to the statue to make it look like deliberate arson and divert attention from the theft,” he added.

A case has been filed by the Temple's General Secretary Deb Prasad Barua.
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Konflik Myanmar
« Reply #5 on: 01 June 2013, 07:45:34 AM »
Yang mengerikan :

Genocide in Chittagong Hill Tracts (CHT)


This monk was injured by the Bangladesh Army. The Bangladesh Army attacked his village and temple during the Matiranga, Panchari massacres on 30 April - 1 May 1986, they destroyed the temple, Buddha images and Buddhist texts. This monk like many others had to seek refuge in Tripura, India.



The destruction of Jumma peoples' religious and cultural life in the CHT have been a marked feature of the CHT conflict since the early 1970s. The Jumma peoples of the CHT are Buddhists, Hindus, Christians and Animists. These religious groupings reflect ethnic differences. The Chakma, Tangchanya and Marma are mainly Buddhists, the Tripuras Hindus and some smaller groups such as the Bawm and Pankhua are Christians. Mru and Khumi practise what is known as Animism. Religious tolerance has been a long tradition of the Jumma people. One way of understanding this tolerance is to see it in terms of an underlying element common throughout the CHT which consists of different manifestations of an underlying stratum of animistic traits which coexists with Buddhism, Hinduism and Christianity. 

The Jumma people consider themselves culturally very different from the Bangladeshis. Bangladesh has Islam as the state religion. The state education is oriented to 'mainstream' nationalism and in some cases, according to the pupils and teachers, has a strong Islamic influence. Bengali predominates over other languages and, apart from the few cases where the Jumma people have developed their own schools, the educational system in the CHT is designed to draw the Jumma people into the Islamic culture of Bangladesh.

The main Islamic missionary organization is Al Rabita, funded by Saudi Arabia and Kuwait, this non governmental organization has been working since 1980 to convert the Jumma people. It has a main office in Dhaka and offices in Rangamati, Langadu where it also has a hospital, Barkal, Alikadam of the CHT. At Alikadam, in 1990 the Al Rabita missionary center converted 17 Marma people to Islam.

Throughout the CHT the mosque construction continues to take place. Loudly amplified calls to prayer frequently punctuates the lives of the Jumma people. The Bangladeshi authorities argue that their religious tolerance can be seen in Buddhist, Hindu and Christian Welfare Trust. One Chakma fellow said that he went to the Central Audit Bureau to seek support from the Welfare Fund and was told: "Why don't you become a Muslim and we'll all be brothers". The most disturbing aspects of religious persecution in the CHT are the destruction of temples, prevention of worship, violence motivated by religious hatred and forcible conversion to Islam.

There have been numerous incidents of forcible conversion in the CHT. Chakma women who marry Bangladeshis whether by choice or abducted by force, have to convert to Islam. The Jumma prisoners who are detained in Chittagong, Rangamati or Khagrachari jails are placed in cells with a majority of Muslims whose task it is to try and convert the Jumma persons. The Jummas who are captured by the Bangladeshi security forces are very often given the options of torture or conversion to Islam as a way to escape the suffering.

In recent years the Jamat-i-Islami (Islamic fundamentalist political party) has been very active in the CHT. It builds mosques, actively promotes Islam and it was responsible for destroying Buddhist and Hindu temples in the CHT.

An account by one of the monks now in Tripura described in detail an incident in 1986 which took place in Panchari where a group of hill people were attacked because they were not Muslims.

    "Before this happened, one day 13 of us went to market. I was not a monk then. The Bangladesh Rifles (paramilitary force) and settlers caught us and out of 13, nine were killed and four of us escaped. The reason was that we were not Muslims; they wanted us to be Muslims to take Islam. It was in the market itself and some of the people were also caught up from around. Among the people whom they caught was my wife. They cut her with daos (machette) - some of the marks on her neck are still there. She is in Karbook (refugee camp in Tripura). This took place in the market itself on market day, Wednesday. The others ran away. They also tried to cut me with daos on the neck. Luckily my shirt collar was thick and I escaped from being killed. As they killed the others they shouted: 'Oh Chakmas, will you not become Muslims? If you refuse we will kill you now'."


A Buddhist monk from the temple at Kalanal described to the Amnesty International the persistent harassment of the Jumma villagers by the military personnel and the settlers:


    "For many months now soldiers have been regularly visiting us and slaughtering cows in our shrine.... They always said that if we did not agree to this (conversion to Islam) they will come one day and kill us.""On the morning of 1 May they carried out their threat by escorting a group of two to three hundred settlers, some of whom were dressed in the uniform of home guards, to our village and began their depredations by attacking Buddha Vihar (the temple). Most of us were, however, able to flee but soldiers pounced on Purnananda Bhikku (one of the monks) and after beating him with rifle butts handed him over to the Muslims who threw him into the shrine which was by now on fire. He died. Later when I met more people from my village they said that two young girls of the village had been raped mercilessly by troops and Muslims and then killed with bayonets."



Another woman described her experience that happened in March/April 1989 to the CHT Commission as following:

    "Some soldiers came to our house and woke us up and poured cold wate on our heads. I had two daughters. The soldiers tried to take my daughters, they were 9 and 11 years old. They hit me on the head with lathi (bamboo stick). My head was bleeding. My daughters were crying As my head was bleeding heavily, the soldiers gave me some medicine Then they asked me whether I would become a Muslim. I said: 'No, I'd rather die.' Then they said: Will you be able to stand naked before us and also 'If you give us your daughters, we will release you.' They beat me then and left."


Desecration is invariably accompanied by violent attacks against worshippers. The following case was told by a Marma monk describing an event in Pablakhali, Dighinala in 1985:


    "On that day first the settlers and the army surrounded the temple. I was caught and my hands were tied with rope as were my legs. Water was poured through my nostrils. I was kicked with boots and my leg was cut. People came into the temple and caught all the girls. They took the girls a little way from the temple. I heard the cries of the girls - maybe they were raped but I did not see it with my own eyes. After a few days I met one of the girls but as a monk I have some restrictions and could not ask her what had happened.

The army performed desecration in the temples. They go in with boots on and throw away food in the temple. Every day before 12 o'clock we offer food to Lord Buddha. The Muslims say: 'then why does not stone eat it'? The army uses guns to break plates. Once I was about to offer food to the Buddha and the Muslims entered and said 'let's see if stone can eat', then they said 'stone can't eat' and they took the plate from my hands and threw it on the floor. They bring animals into the temple and slaughter them: goats and cows. Buddhist people never kill animals so you cannot worship in the temple after that has happened. I have witnessed it. At Pablakhali in 1985, before the attack, about 35-50 army personnel entered the monastery with 100-150 settlers remaining outside. They cooked inside the temple and burnt wood on the dirt floor and brought wood in. They killed the animals outside the temple but within the boundary of the temple. They did this to crush Buddhism and establish Islam. There was no other reason for this."




The second incident took place in Mani Gram, Khagrachari in 1986 and was also described by a Marma monk:

    "I was in Mani Gram Buddhist temple. On 12 June, 1986 we tried to celebrate a function in the temple. All of a sudden some troops came and said: 'Hey, what are you doing?' We replied: 'We are going to wash our God'. The soldiers said: 'You cannot wash God because this is a Muslim state. You cannot worship the Lord Buddha, you have to abandon this religion and become Muslim.' We refused to do so. Then the soldiers caught us and tied our hands and started to pour water on our heads. I was the only monk there, the others were villagers numbering around 20. All of us were tied in pairs and the soldiers starting pouring water and when they were not satisfied by pouring water they started kicking us with their boots. The water was not just water, but it was mixed with green chilies. When we were tied up they stood with bayonets over us so we would not struggle. My skin started burning and most of us were injured as I was. I had cuts and sores on my legs. We were tied up in afternoon and they started to burn the house of the village which we could see. We were tied up from eight in the morning to four in the afternoon, a total of eight hours. The soldiers untied us.

At about 5 o'clock they set fire to the temple and we went into hiding in the jungles. The settlers were not with the soldiers when they tied us up, but were there when the village was burnt. There is a river called Chengi. After coming to the river we went hiding into the deep jungle. After four days trekking all through the jungle. I reached the border of Tripura (India) and Karbook camp. In that lot we were around 450 people. Before 12th June there was no other incident. The only reason for the attack was religion. If we became Muslim we could stay safe. I know one Marma who was my friend called Uchmang. He was threatened that if he did not become a Muslim he would be harmed with his relatives. He was forcibly converted. He came from a different village, Mahalchari in Khagrachari District."



A Marma monk in Tripura explained how the military authorities control religious ceremonies in the Chittagong Hill Tracts:

    "Religious functions need a permit from the authorities, for example, the Purnima full moon celebrations and several Purnima functions numbering about six in a year. We need permits for other functions too. Many people come to these functions. For a funeral ceremony no permit is necessary, but seven days later, the seventh day ritual after cremation needs permission from the authorities. When someone becomes a monk you need such a permit. To celebrate functions you have to collect money and so permission is needed. The permit is for both money collection and the ceremony. The army officers give the permit. It was always army officers who give it. There is no cost for the permit. I used to go for the permit and was never refused but it was a lot of trouble, waiting to meet the officer etc."


Chitmarang is the most sacred shrine of Buddhism in the CHT. Although it is in an area which is predominantly Marma, thousands of Chakmas traditionally traveled there annually to pay their respect to the ancient image of the Buddha in the old temple. For several years because of constant checks by the military, it has been impossible for Buddhists to reach Chitmarang temple. Chitmarang no longer functions in this capacity. The army have to give permission which is granted only to the lucky few or to those who can afford to bribe the army.

-----------------------------------

Mungkin orang Myanmar tidak ingin hal seperti ini terjadi juga di Rakkhine dan Myanmar beberapa puluh tahun mendatang, setelah orang Rohingya menjadi warga negara mayoritas.
« Last Edit: 01 June 2013, 07:49:19 AM by sanjiva »
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

 

anything