Ini adalah tulisan saya di milis MUBI yang di forward ke milis spiritual pada tanggal 3 Mei 2004.
Apa yang menarik bagi saya untuk dikaji pada saat ini adalah perubahan /perkembangan pemikiran saya tentang Buddhism. Dulu saya termasuk orang yang radikal menentang segala sesuatu yang berbau "Tuhan" dari sudut pandang Theravada. Hal-hal itu yang membawa saya ke forum perdebatan antar umat beragama (a.l. di milis Debat-Alkitab). Saat ini saya menyikapinya secara lain.
Saya menyadari beberapa hal :
- Pada waktu itu saya bahkan tidak tahu apa makna tentang "Absolut" seperti yang saya tuliskan itu. Bahkan saya menafsirkan ajaran Buddha itu sekedar sebagai alat untuk mendebat tentang konsep Tuhan tanpa memahami arti tujuan akhir dari ajaran Buddha (ie.Nibbana).
- Pada waktu itu saya bahkan tidak bisa mencerna nasihat dari Bp.Hudoyo, dan saya anggap Bp.Hudoyo adalah seorang Buddhist yang kurang berinisiatif dan kurang setia untuk membela ajaran Buddha.
- Pada waktu itu saya tidak memahami apa yang dikatakan oleh Bp.Hudoyo :
Saran saya kepada para umat Buddha, janganlah terpancing untuk berpolemik
di bidang teologi, apalagi dengan menggunakan argumentasi yang bersifat
positivistik sebagaimana sering dilontarkan oleh penganut filsafat
positivisme-empirisisme. Kita akan tampak sangat naif di mata umum, kalau
berbuat seperti itu. Bukan saja kita yang tampak naif, tetapi juga Agama
Buddha, kitab-kitab suci Buddhis, bahkan Sang Buddha sendiri akan tampak
sangat naif, kalau kita menggunakan ayat-ayat kitab suci sebagai senjata
berpolemik dengan pihak non-Buddhis. Kita akan bersalah dalam hal ini.
Saya pikir Pak Hudoyo malah kurang paham tentang ajaran Sang Buddha karena masih membenarkan pandangan kr****n.
- Pada waktu itu saya merasa belajar ajaran Buddha, padahal yang sebenarnya terjadi adalah hanya memenuhi / menjejali otak saya dengan doktrin2 Buddhism, sedangkan dalam kenyataannya apa yang saya kembangkan hanyalah kebencian yang semakin meningkat terhadap ajaran agama lain (terutama kr****n).
Dalam kenyataannya, ajaran Buddha adalah jauh lebih mendalam daripada konsepsi spt apa yang bisa saya katakan di waktu tersebut. Kala kita memahami makna vipassana, maka semua hal tersebut memang tampak konyol dan kekanak-kanakan.
Demikianlah rekan2, apa yang bisa saya share pada hari ini. Mudah-mudahan apa yang saya alami ini dapat jadi sebuah pelajaran buat anda semuanya.
Salam,
Suchamda
From: "Daniel" <daniel_552 [at] m...>
>
> Buddha bicara tentang Tuhan
>
> Ketika Ananthapindika, seorang pemuda kaya menemui sang Buddha di
> hutan bambu di Rajagriha, Sang Buddha berkata kepadanya secara
jelas
> mengenai pandangan2nya tentang eksistensi Tuhan dan penyebab-nyata
> dibalik penciptaan segala sesuatu di dunia ini. Pandangan2 dari
> Buddha ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
>
> 1. Bila Tuhan adalah pencipta dari semua mahluk hidup, maka
> mereka semua harusnya takluk pada KuasaNya secara tenang. Mereka
> harusnya seperti sebuah bejana yang dibuat oleh tukang keramik,
> tanpa individualitas dalam dirinya sendiri. Bila demikian,
bagaimana
> mereka dapat mempraktekan semua nilai2 kebajikan?
>
> 2. Bila di dunia ini benar diciptakan oleh Tuhan (yg
dikatakan
> Maha-murni, red.), maka mereka seharusnya tidak akan merasa sedih,
> sengsara ataupun jahat, karena semua hal yang `murni' dan `tak-
> murni' berasal dari-Nya.
>
> 3. Bila bukan seperti hal demikian maka seharusnya ada sebab-
> sebab lain disamping Tuhan atau sebab-sebab yang ada dibalik
> kuasaNya, yang mana berarti menyatakan bahwa Ia tidaklah berada
> dalam diriNya sendiri (self-existent).
>
> 4. Adalah tidak meyakinkan bahwa sang Absoulut telah
> menciptakan kita, karena sesuatu yang Absolut tidak dapat menjadi
> suatu `sebab'. Semua hal disini muncul karena berbagai macam sebab-
> sebab. Maka dapatkah kita mengatakan bahwa Sang Absolut adalah
> penyebab dari segala sesuatu itu? Bila sang Absolut meliputi/
> merembesi segala sesuatu itu, maka sudah pasti bahwa Ia adalah
bukan
> penciptanya.
>
> 5. Apabila kita mempertimbangkan bahwa sang "Aku" (the-self)
> adalah sang pencipta, mengapa ia tidak menciptakan hal-hal yang
> menyenangkan saja? Mengapa dan bagaimana harusnya ia menciptakan
> begitu banyak kesedihan dan kemurungan bagi dirinya sendiri?
>
> 6. Adalah bukan Tuhan, bukanlah sang "Aku" ataupun bukanlah
> karena tanpa-suatu-sebab yang menjadikan kita ada. Adalah
perbuatan-
> perbuatan kita sendiri yang menciptakan sesuatu hasil yang baik
> ataupun buruk, sesuai dengan hokum sebab-akibat.
>
> 7. Oleh karena itu, kita seharusnya "menghindari kesesatan
> dengan menyembah-nyembah Tuhan ataupun meminta-minta padaNya. Kita
> harus menghentikan semua spekulasi/ reka-reka dan pembicaraan-
kosong
> tentang hal2 itu dan sebaiknya mempraktekan kebajikan agar
> menghasilkan buah kebajikan pula.
> Buddha tidak menganjurkan kita berspekulasi tentang suatu
keberadaan
> Iswara (Tuhan) kepada murid-muridnya. Ia menginginkan mereka untuk
> membatasi diri pada apa yang ada dalam ruang kesadarannya, yaitu
> dengan mengerti sebab-sebab munculnya penderitaan dan bekerja
untuk
> mengatasinya.
>
> Ia mengajarkan bahwa diri-pribadi adalah produk dari kebodohan dan
> ilusi yang mana bertanggung-jawab atas semua penderitaan dan
> kejahatan. Oleh karena itu, ia mendorong para muridnya untuk
> menyadari berbagai macam aspek dari personalitas kepribadian dan
> bekerja menuju Nirwana yang mana merupakan pemusnahan total dari
> kemelekatan pada sang Aku dan merupakan akhir dari proses dumadi
> (becoming) dan perubahan.
>
> Kita adalah hasil dari apa yang kita pikirkan: hal ini ditemukan
> pada dasar pikiran kita, ialah yang membentuk pikiran-pikiran
kita.
> Bila seseorang berkata atau bertindak dengan pikiran jahat,
> penderitaan akan mengikutinya. Bila seseorang berbuat atau berkata
> dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan
> bayangan yang selalu mengikutinya.
>
> "Ia mencelakaiku, ia memukulku, ia mengalahkan ku, ia merampok ku"—
> kepada siapa yang memiliki pikiran-pikiran itu, maka kebencian
akan
> tak pernah berakhir.
> Karena kebencian tak akan pernah berakhir karena kebencian:
> kebencian berakhir hanya karena kasih. Ini adalah hukum abadi." --
> Dhammapada
============================
HUDOYO:
(1) Argumentasi seperti ini menempatkan Tuhan berada dalam hubungan yang
bersifat DUALISTIK dan RELATIF dengan ciptaannya. Dengan demikian Tuhan
tidak lagi merupakan sesuatu yang TRANSENDENTAL atau yang MUTLAK. Ini
disebabkan karena pikiran manusialah yang tidak menyadari posisinya yang
tidak mampu memahami dan menggambarkan hal-hal transendental, sehingga
pikiran mudah sekali terjerumus ke dalam polemik pro dan kontra ketika
berbicara tentang Tuhan. Dalam kaitan agama kr****n, sejak zaman St Anselm
hal ini telah berlangsung, dan kita-kita di milis ini cuma mengulang-ulang
polemik tua yang tidak ada penyelesaiannya sampai kapan pun.
Umat kr****n sendiri, yang memahami ajaran agamanya dengan baik, tidak akan
terpengaruh dengan argumentasi seperti ini. Bagi umat kr****n, kepercayaan
kepada Tuhan atau Trinitas bukan didasarkan pada argumentasi logikal,
melainkan pada PENGALAMAN RELIGIUS pribadi. Mereka MENGALAMI kehadiran
SESUATU di sekitar mereka dalam kehidupan mereka, yang kemudian
dikonfirmasikannya secara intelektual sebagai "Tuhan" (Allah Bapa);
mereka--terutama orang-orang kr****n zaman awal--MENGALAMI kehadiran
SESUATU yang 'istimewa' ketika mereka berhubungan dengan Yesus, yang
kemudian secara intelektual diidentifikasikannya sebagai "Putra"; mereka
MENGALAMI kehadiran SESUATU dalam peristiwa-peristiwa khusus, seperti
peristiwa Pentakosta, yang kemudian dinamakannya "Roh Kudus". Maka lahirlah
Trinitas, yang kemudian disistematikkannya dalam suatu teologi yang khas.
Tapi tetap orang kr****n menyadari bahwa Trinitas itu pada dasarnya adalah
PENGALAMAN RELIGIUS, bukan dihasilkan dan bukan bersandar pada pemikiran
teologis, sehingga serangan-serangan logikal terhadap Trinitas tidak akan
dapat menggoyahkan iman mereka.
Di lain pihak, orang kr****n menyadari pula bahwa pada instansi terakhir,
Tuhan tidak dapat dinyatakan dengan rumusan-rumusan positif. Terdapat suatu
ketegangan abadi dalam pengalaman Kristiani akan keinginan untuk MEMAHAMI
Tuhan secara rasional-intelektual dan keinginan untuk MENGALAMI Tuhan
secara mistikal. Ini menghasilkan apa yang disebut "teologi negatif"
("jalan negatif", via negativa), yang menafikan segala deskripsi tentang
Tuhan, yang berkembang sejak zaman Bapa-Bapa Gereja awal. (Lihat uraian
singkat dari Encyclopaedia Britannica di bawah ini.)
Saran saya kepada para umat Buddha, janganlah terpancing untuk berpolemik
di bidang teologi, apalagi dengan menggunakan argumentasi yang bersifat
positivistik sebagaimana sering dilontarkan oleh penganut filsafat
positivisme-empirisisme. Kita akan tampak sangat naif di mata umum, kalau
berbuat seperti itu. Bukan saja kita yang tampak naif, tetapi juga Agama
Buddha, kitab-kitab suci Buddhis, bahkan Sang Buddha sendiri akan tampak
sangat naif, kalau kita menggunakan ayat-ayat kitab suci sebagai senjata
berpolemik dengan pihak non-Buddhis. Kita akan bersalah dalam hal ini.
Alih-alih, cobalah kita renungkan dalam hati masing-masing, motif apakah
sesungguhnya yang ada dalam diri kita dalam berbuat seperti itu?
(2) Kemudian, sekalipun dalam Tipitaka Pali--sebagaimana yang sampai kepada
kita sekarang ini--terdapat argumentasi-argumentasi teologis seperti itu,
saya pribadi MERAGUKAN apakah sutta-sutta--atau bagian-bagian dari
sutta-sutta--yang bersifat polemikal seperti itu benar-benar berasal dari
mulut Sang Buddha sendiri. Dengan menerapkan ajaran Buddha sendiri untuk
bersikap kritis terhadap ajaran semua guru dan kitab suci, saya meragukan
hal itu. Secara singkat saya katakan: menurut keyakinan saya pribadi,
seorang Guru Agung yang mengajarkan meditasi Vipassana untuk mencapai
Pembebasan tidak akan pernah sedikit pun melibatkan diri dalam polemik
seperti itu!
Salam,
Hudoyo
===========================
[huruf besar dari saya/hudoyo]
CHRISTIANITY
God the Father
On the basis of their RELIGIOUS EXPERIENCES, the mystics of Christianity of
all eras have concurred in the belief that one can make no assertions about
God, because God is beyond all concepts and images. Inasmuch as human
beings are gifted with reason, however, the religious experience of
transcendence demands historical clarification. Thus, in Christian theology
two tendencies stand in constant tension with each other. On the one hand,
there is the tendency to systematize the idea of God as far as possible. On
the other, there is the tendency to eliminate the accumulated collection of
current conceptions of God and to return to the understanding of the utter
transcendence of God. Theologians, by and large, have had to acknowledge
the limits of human reason and language to address the “character” of God,
who is beyond normal human experiencebut who impinges on it. But because of
the divine–human contact, it became necessary and possible for them to make
some assertions about the experience, the disclosure, and the character of God.
All great epochs of the history of Christianity are defined by new forms of
the experience of God and of Christ. Rudolf Otto, a 20th-century German
theologian, attempted to describe to some extent the basic ways of
experiencing the transcendence of the “holy.” He called these the
experience of the “numinous” (the spiritual dimension), the utterly
ineffable, the holy, and the overwhelming. The “holy” is manifested in a
double form: as the mysterium tremendum (“mystery that repels”), in which
the dreadful, fearful, and overwhelming aspect of the numinous appears, and
as the mysterium fascinosum (“mystery that attracts”), by which humans are
irresistibly drawn to the glory, beauty, adorable quality, and the
blessing, redeeming, and salvation-bringing power of transcendence. All of
these features are present in the Christian concepts of God as explicated
in the ever new experiences of the charismatic leaders.
[Encyclopaedia Britannica, 2004]