[at] joemarselo
Terimakasih atas tanggapannya... Saya merasa Anda sangat bersahabat, postingan Anda tidak meresahkan kok. Saya juga menghargai pandangan dan jalan hidup Anda. Tapi saya ingin tahu bagaimana pendapat Anda mengenai postingan saya tentang beberapa contoh kejadian yang ada di dunia itu?
Saya tangkap, point-point pertanyaan Upasaka adalah:
Dari sepasang mata ini kita bisa melihat pemandangan memilukan. Ada orang yang terlahir cacat fisik (misalnya buta dan tuli), ada orang yang terlahir cacat mental, ada orang yang meninggal ketika masih bayi, ada orang yang meninggal ketika masih di dalam rahim; orang-orang seperti itu sama sekali tidak memiliki peluang untuk mengenal agama dengan baik. Dan bila mereka meninggal dunia, apakah adil bila mereka harus menempati surga atau neraka selamanya? Dalam analogi ini, sepertinya mustahil orang-orang seperti ini bisa masuk neraka; sebab mereka bahkan mungkin tidak bisa melakukan kejahatan. Demikian pula sepertinya mustahil bagi orang-orang seperti ini untuk masuk ke surga; sebab mereka juga bahkan tidak mungkin untuk melakukan perbuatan baik.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
maka, demikian jawaban dari saya
Mengenai bayi-bayi dan anak-anak yang meninggal, ada beberapa pengertian dalam Gereja ka****k;
1. Gereja tidak mengenal sarana lain selain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.“
2. Dalam konsep keselamatan, dosa asal diampuni lewat Sakramen Baptis, yaitu suatu cara biasa (ordinary means) yang diinstitusikan sendiri oleh Kristus. Dikatakan di Katekismus Gereja ka****k, nomor 1263 (KGK, 1263) “Oleh Pembaptisan diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa-siksa dosa. Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apa pun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi.”
3) Tidak hanya ada Baptisan secara explisit (dalam hal ini Baptisan air). Ada baptisan rindu dan baptisan darah mensyaratkan seseorang untuk menggunakan akal budi, karena mensyaratkan pengambilan keputusan. Namun bayi tidak mempunyai akal budi secara aktual, hanya berupa kapasitas yang belum direalisasikan. Oleh karena itu, maka bayi tidak mungkin mengalami baptisan darah maupun baptisan rindu.
*** Bahwa dosa asal juga diampuni lewat keinginan yang murni (Baptisan rindu) untuk menerima Baptisan (secara eksplisit atau implisit), atau oleh baptisan darah (mati untuk Kristus). KGK, 1258 mengatakan “Gereja sudah sejak dahulu yakin bahwa orang-orang yang mengalami kematian karena iman, tanpa sebelumnya menerima Pembaptisan, telah dibaptis untuk dan bersama Kristus oleh kematiannya. Pembaptisan darah ini demikian pula kerinduan akan Pembaptisan menghasilkan buah-buah Pembaptisan walaupun tidak merupakan Sakramen.”
4) Bayi-bayi tidak pernah berbuat dosa pribadi (personal), maka mereka tidak akan menderita, baik secara fisik maupun secara spiritual.
5) Sebuah kebahagiaan yang sesuai dengan kodrat manusia adalah sesuatu yang mungkin setelah kehidupan ini. Secara proposional, dengan kodrat manusia, maka manusia dapat menikmati kebahagiaan dalam permenungan Tuhan (in loving contemplation of God), melaui ciptaan-Nya. Tempat inilah yang disebut “Limbo“.
Lima hal di atas adalah alasan-alasan yang mendasari pengajaran tentang Limbo. Dokrin limbo ini melalui sejarah yang panjang, dari St. Gregory Nazianzus, St. Augustine, St. Thomas Aquinas. St. Thomas yang berpendapat bahwa Limbo adalah “natural happiness“ bagi para bayi yang meninggal namun belum sempat dibaptis. Dan posisi ini kemudian didiskusikan lagi mulai dari St. Robert Bellarmine.
Pada saat ini, Gereja belum mengeluarkan dokumen secara resmi tentang Limbo. Dan Katekismus Gereja ka****k mengatakan:
KGK, 1261″Anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan, hanya dapat dipercayakan Gereja kepada belas kasihan Allah, seperti yang ia lakukan dalam ritus penguburan mereka. Belas kasihan Allah yang besar yang menghendaki, agar semua orang diselamatkan (Bdk. 1 Tim 2:4.), cinta Yesus yang lemah lembut kepada anak-anak, yang mendorong-Nya untuk mengatakan: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku; jangan menghalang-halangi mereka” (Mrk 10:14), membenarkan kita untuk berharap bahwa untuk anak-anak yang mati tanpa Pembaptisan ada satu jalan keselamatan. Gereja meminta dengan sangat kepada orang-tua, agar tidak menghalang-halangi anak-anak, untuk datang kepada Kristus melalui anugerah Pembaptisan kudus.”
KGK, 1283 “Mengenai anak-anak yang mati tanpa dibaptis, liturgi Gereja menuntun kita, agar berharap kepada belas kasihan ilahi dan berdoa untuk keselamatan anak-anak ini.”
Dari beberapa dasar pro dan kontra tentang Limbo inilah, maka pada saat ini Gereja masih belum mengeluarkan secara terperinci doktrin tentang Limbo. Yang perlu kita pegang pada saat ini adalah belas kasih Allah kepada anak-anak yang tanpa dosa.
Mengenai orang yang cacat (fisik atau mental), dalam suatu kondisi tertentu yang tidak berkompeten untuk mencari kebenaran dan selama kegagalannya memperoleh kebenaran adalah dalam kondisi invincible ignorance;
ada arahan dari Gereja ka****k sbb.
Paus Pius XII:
Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17]. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama[18]. Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi [invincible ignorance], tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.“(Gaudium et Spes, 16)
Paus Pius XII mengatakan terhadap mereka yang tidak tergabung dalam Gereja ka****k oleh karena ketidaktahuan yang tidak dapat dihindari (invincible ignorance), namun yang selalu mencari kehendak Tuhan: Paus menyebutnya mereka ini sebagai “yang berhubungan dengan Tubuh Mistik Kristus dengan kerinduan dan keinginan tertentu yang tidak disadari” dan mereka ini bukannya tidak termasuk dalam keselamatan kekal, tetapi, “…mereka tetap kurang dapat memperoleh bermacam karunia surgawi dan bantuan-bantuan yang hanya dapat diberikan di dalam Gereja ka****k” (AAS, 1.c., p 243).
excerpted from
www.katolisitas.org