Begitupun halnya Nibbana. Dipandang bagaimanapun nibbana tidak ada. Mau berkelit macam apapun, nibbana tidak dapat dibuktikan..
Maka dengan ini, nibbana dapat dikatakan sebagai kepercayaan buta dari para pengikut ajaran Buddha yang mengatakan bahwa nibbana itu nyata.
Dan para penganut ( katanya ) agama Buddha di hampir semua tempat, termasuk kita, dan para umat2 yang rajin belajar dan datang ke vihara, rajin datang mengikuti retret meditasi, semuanya itu tentunya dapat pula disimpulkan menjadi nil prakteknya, mengapa? karena Buddha sendiri mengajarkan untuk menjalankan kehidupan suci agar terbebas dari samsara. Nyatanya, anda, maupun saya, dan para senior dsini lainnya masih menyenangi kehidupan samsara kan?
sdr ryu... kapan pertanyaan ini semua akan berakhir? apakah pemahaman baru timbul atau sekedar kesimpulan buta yang timbul?
LANJUT...
81. Perwujudan Nibbana
“Anda mengatakan, Nagasena, bahwa nibbana itu bukan masa lalu, bukan masa kini, dan bukan masa mendatang, bukan timbul dan bukan pula tidak-timbul, dan tidak dapat dihasilkan.15 Dalam hal itu, apakah orang yang mewujudkan nibbana berarti mewujudkan sesuatu yang telah dihasilkan, atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya dan baru kemudian mewujudkannya?”
“Bukan itu semua O baginda, tetapi nibbana itu benar-benar ada.”
“Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan ini dengan membuatnya semakin kabur. Jelaskanlah dan babarkanlah. Nibbana merupakan titik yang membuat banyak orang menjadi bingung dan tersesat di dalam keraguan. Patahkanlah anak panah ketidakpastian ini.”
“Unsur nibbana itu benar-benar ada, O baginda. Bila orang telah berlatih dengan benar dan sungguh-sungguh mengerti bentukan-bentukan menurut apa yang telah diajarkan oleh Sang Penakluk, maka dengan kebijaksanaannya dia mewujudkan nibbana.
“Dan bagaimanakah nibbana ditunjukkan? Dengan terbebasnya dari rasa tertekan dan bahaya, dengan kemurnian dan kesejukan. Seperti halnya seseorang, yang ketakutan dan ngeri karena telah terjatuh ke tangan musuh, akan merasa lega dan sangat berbahagia ketika dia dapat meloloskan diri ke tempat yang aman; atau seperti halnya seseorang yang terjatuh di lubang yang penuh kotoran akan merasa lega dan gembira setelah keluar dari lubang itu dan membersihkan diri; seperti halnya seorang yang terjebak api di hutan akan menjadi tenang dan merasakan kesejukan setelah dia mencapai daerah yang aman. Baginda seharusnya menganggap kecemasan yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Baginda seharusnya menganggap keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai kotoran. Baginda
seharusnya menganggap api berunsur tiga -lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kegelapan batin)- sebagai sesuatu yang panas dan menusuk.
“Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana? Dengan benar dia memahami sifat bentukan yang terus berputar dan di sana dia hanya melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian; dia tidak melihat sesuatu yang menyenangkan atau yang serasi di bagian mana pun juga. Karena melihat bahwa tidak ada yang dapat dilekati di sana, bagaikan berada di atas bola besi yang panas membara, pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan panas menjalar di seluruh tubuhnya; karena merasa putus asa dan tanpa perlindungan, dia menjadi muak dengan kehidupan yang berulang-ulang. Dan bagi orang yang melihat ngerinya rantai kehidupan yang terus berjalan, timbullah pemikiran: ‘Roda kehidupan ini berada di atas api dan menyala, penuh dengan penderitaan dan keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua ini, akhir itu akan penuh dengan kedamaian, dan hal itu luar biasa; berhentinya semua bentukan mental, lepasnya kemelekatan, musnahnya keserakahan, hancurnya nafsu keinginan, berhentinya penderitaan, nibbana!
“Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju keadaan di mana tidak ada lagi dumadi. Pada saat itulah dia menemukan kedamaian, kemudian dia bersyukur dan bersukacita pada pemikiran: ‘Sebuah perlindungan akhirnya ditemukan!’ Dia terus berusaha keras di dalam Sang Jalan untuk menghentikan segala bentukan, menemukan caranya, mengembangkannya, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk tujuan itulah dia membangkitkan kewaspadaan, semangat dan sukacitanya; dan dengan berulang-ulang memperhatikan pemikiran itu [muak pada bentukan-bentukan mental], setelah melampaui rantai kehidupan yang terus berjalan, dia dapat memutuskan lingkaran itu. Orang yang telah memutuskan rantai kehidupan yang terus berjalan ini dikatakan telah mewujudkan nibbana.”16
82. Di manakah Nibbana?
“Apakah ada tempat, Nagasena, di mana nibbana tersimpan?”
“Tidak, tidak ada, tetapi nibbana itu sungguh-sungguh ada. Seperti halnya tidak ada tempat di mana api disimpan tetapi api dapat dihasilkan dengan menggosokkan dua batang kayu kering.”
“Tetapi adakah tempat di mana orang bisa berdiri dan mewujudkan nibbana?”
“Ya, ada; moralitas adalah tempatnya;17 dengan berdiri di atas moralitas, dan dengan penalaran, di mana pun dia berada, bisa di Sychtia atau di Bactria, di China atau Tibet,18 di Kashmir atau Gandhara, di puncak gunung atau surga tertinggi, orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana.”
“Bagus sekali, Nagasena, Anda telah mengajarkan nibbana, telah menjelaskan tentang perwujudan nibbana, telah memuji kualitas moralitas, menunjukkan cara berlatih yang benar, menjunjung tinggi panji-panji Dhamma, memantapkan Dhamma sebagai prinsip utama. Tidak akan sia-sia atau tanpa buah usaha orang-orang yang mempunyai tujuan yang benar.”
2. Latihan Petapa
Raja melihat para bhikkhu di hutan, sendirian dan jauh dari orang lain, menjalankan latihan berat sesuai dengan sumpahnya. Raja juga melihat para perumah-tangga di rumah mereka yang memetik buah manis dari Jalan Mulia. Ketika mempertimbangkan kedua hal ini, raja merasakan keraguan yang mendalam. “Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran, maka bersumpah seperti itu tentunya sia-sia saja. Baiklah! Akan saya tanyakan pada guru yang terbaik, yang bijaksana dalam tiga kitab suci yang berisi ajaran Sang Buddha, yang terampil menyanggah argumentasi lawannya. Dia akan mampu menghalau keraguanku!”7
Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia Nagasena, apakah ada umat awam yang telah mencapai nibbana?”
“Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar8 yang telah mencapai nibbana.”
“Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?”
“O baginda, ada dua puluh delapan keluhuran sumpah yang dinilai tinggi oleh para Buddha. Menjaga sumpah adalah:
Suatu cara hidup murni,
Buahnya membahagiakan,
Tidak tercela,
Tidak membawa penderitaan bagi yang lain,
Memberikan rasa yakin,9
Tidak menekan,10
Pasti menyebabkan tumbuhnya sifat-sifat yang baik,
Mencegah kemunduran,
Tidak mengotori batin,
Merupakan perlindungan,
Memenuhi keinginan,
Menjinakkan semua makhluk,
Baik bagi disiplin diri,
Pantas bagi seorang petapa,
Dia mandiri,11
Dia bebas,12
Menghancurkan nafsu,
Menghancurkan kebencian,
Menghancurkan kebodohan batin,
Mengikis kesombongan,
Memutus pikiran yang mengembara dan membuat pikiran terpusat,
Mengatasi keraguan,
Menghalau kelambanan,
Melenyapkan ketidak-puasan,
Membuatnya punya toleransi,
Tak ada bandingnya,
Tak terukur, dan
Mengarah pada hancurnya semua penderitaan.
“Dan siapa pun yang melaksanakan sumpah-sumpah itu akan memperoleh delapan belas sifat yang baik,
Perilakunya murni,
Prakteknya terpenuhi,
Tindakan dan kata-katanya terjaga baik,
Buah-buah pikirnya murni,
Semangatnya bangkit,
Ketakutannya berkurang,
Pandangan tentang diri terhalau,
Kemarahan lenyap dan
Cinta kasih tumbuh,
Dia makan dengan memahami sifat makanan yang menjijikkan,
Dia dihormati oleh semua makhluk,
Dia makan secukupnya,
Dia penuh kewaspadaan,
Dia tak-berumah dan
Dapat berdiam di mana pun yang sesuai baginya,
Dia jijik terhadap kejahatan,
Dia bersuka cita di dalam kesendirian dan
Dia selalu penuh perhatian.
“Dan ada sepuluh macam orang yang pantas mengambil sumpah itu:
Orang yang penuh keyakinan,
Orang yang tahu malu,
Orang yang penuh keberanian,
Orang yang tidak munafik,
Orang yang mengandalkan diri sendiri,
Orang yang tegar,
Orang yang berniat untuk berlatih,
Orang yang bertekad kuat,
Orang yang selalu introspeksi,
Orang yang penuh kasih sayang.
“Dan semua orang awam yang mewujudkan nibbana ketika hidup di rumahnya bisa melakukan hal itu karena telah mempraktekkan sumpah ini di dalam kelahiran mereka sebelumnya. Tidak akan ada perwujudan tujuan tingkat Arahat di dalam kehidupan kali ini tanpa sumpah tersebut. Tingkat Arahat hanya dapat dicapai dengan usaha yang amat sangat keras. Jadi nilai menjaga sumpah tersebut sangat tinggi, dan kuat adanya.
“Dan siapa pun, O baginda, yang mempunyai niat jahat, mengambil sumpah ini dengan tujuan mencari keuntungan materi, akan mendapatkan hukuman ganda: di dunia ini dia akan dipandang rendah dan dicemooh, dan sesudah mati dia akan menderita di neraka.
“Tetapi siapa pun, O baginda, yang perilakunya sesuai dengan kehidupan kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang sedikit keinginannya dan berpuas hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh semangat, tidak memiliki akal bulus, dan telah meninggalkan keduniawian bukan karena ingin memperoleh keuntungan dan ketenaran melainkan karena memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang menginginkan kebebasan dari usia tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan ganda karena dia dicintai oleh dewa dan manusia, dan dengan cepat dia memperoleh empat buah, empat jenis kemampuan membedakan,13 visi berunsur-tiga,14 dan pengetahuan berunsur-enam yang lebih tinggi.15
“Dan apakah tiga belas sumpah tersebut?
Mengenakan jubah dari potongan-potongan kain,
Menggunakan hanya tiga jubah,
Hidup hanya dengan mengumpulkan dana makanan,
Mengumpulkan dana makanan dari satu rumah ke rumah lain tanpa pilih-pilih,
Makan sekali sehari,
Makan hanya dari mangkuk,
Menolak makanan yang ditawarkan sesudah itu,
Berdiam di hutan,
Berdiam di bawah pohon,
Berdiam di tempat terbuka,
Berdiam di kuburan,
Menggunakan tempat tidur mana pun yang diberikan, dan
Tidak berbaring untuk tidur.16
“Dan dengan menjalankan sumpah-sumpah inilah Upasena dapat mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang menyendiri,17 dan karena sumpah yang sama pula Sariputta memiliki keluhuran yang begitu tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang kedua yang hanya kalah oleh Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma.”18
“Bagus sekali Nagasena, seluruh Ajaran Sang Buddha, pencapaian adiduniawi dan semua hasil terbaik di dunia ini tercakup di dalam tiga belas latihan pertapa ini.