Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Madhyama Agama vol. II (Bagian 11)

(1/4) > >>

seniya:
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 11 yang terdiri dari kotbah 117-131, yang merupakan bagian terakhir dari vol. II ini.

seniya:
Bagian 11
Bab Panjang [Pertama]

117. Kotbah tentang [Pengasuhan] Menyenangkan<354>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Pada masa lampau, [sebelum] aku meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih sang jalan. Aku [hidup] dalam keleluasaan, kenyamanan, dan kebahagiaan, dengan dibesarkan dalam suatu cara yang [sangat] menyenangkan. Ketika aku [masih] tinggal dalam rumah ayahku, Suddhodana, ia membangun berbagai istana untukku: istana musim semi, istana musim panas, dan istana musim dingin.

Untuk menyediakan bagi hiburanku, ia memerintahkan berbagai jenis kolam bunga dibangun tak jauh dari istana-istanaku: kolam bunga untuk seroja biru, untuk seroja merah muda, untuk seroja merah, dan untuk seroja putih. Dalam kolam-kolam ini ia memerintahkan berbagai bunga air ditanam: seroja biru, seroja merah muda, seroja merah, dan seroja putih. Ia memerintahkan agar kolam-kolam itu diberi air dan bunga-bunga; dan ia memerintahkan agar kolam-kolam itu dijaga, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menjangkaunya.

Untuk menyediakan bagi hiburanku, ia memerintahkan berbagai jenis bunga yang tumbuh di darat ditanam pada tepi kolam-kolam itu: melati berbunga besar, melati Arab, champak, lili harum, bunga beraroma madu, bunga mawar, dan teratai.<355>

Untuk menyediakan bagi hiburanku, ia menugaskan empat orang untuk memandikanku. Setelah memandikanku, mereka akan mengoleskan pasta kayu cendana merah pada tubuhku. Setelah mengoleskan pasta kayu cendana pada tubuhku, mereka memakaikan padaku pakaian sut, sama sekali baru dari atas sampai bawah, luar dan dalamnya. Siang dan malam mereka terus-menerus memegang payung penahan matahari di atasku, sang Putera Mahkota, sehingga aku tidak lembab oleh embun pada malam hari atau terbakar oleh matahari selama siang hari.

Sedangkan di rumah tangga lain yang biasa biji-bijian kasar, gandum, sup kacang, dan ginseng adalah makanan utama, dalam rumah tangga ayahku, Suddhodana, bahkan para pelayan yang paling rendah memiliki nasi dan hidangan mewah sebagai makanan utama mereka.

Selanjutnya, makanan terus-menerus dipersiapkan untukku dari burung dan binatang buruan, burung dan binatang yang paling cantik – burung pegar atau ayam hutan, dan rusa atau kijang – burung dan binatang buruan demikian, burung dan binatang yang paling cantik.

Aku ingat bagaimana, telah lama berlalu, ketika aku [masih] tinggal dalam rumah ayahku, Suddhodana, aku akan pergi ke istana utama untuk menghabiskan empat bulan musim panas. Di sana tidak ada laki-laki lain di sana, hanya para wanita untuk penghiburanku. Ketika berada di sana, aku tidak memiliki [pemikiran untuk] kembali. Ketika aku ingin mengunjungi taman-taman, tiga puluh orang anggota pasukan berkuda yang terbaik dipilih untuk memberikan pengawalan seremonial, baik di depan dan belakang aku, untuk menungguku dan memanduku – tidak mengatakan [para pelayan]-ku yang lain. Demikianlah kehormatan dan kekuasaanku. Demikianlah sangat menyenangkannya [pengasuhanku].

Aku juga ingat bagaimana, telah lama berlalu, aku melihat para petani yang beristirahat di sawah mereka, aku pergi ke bawah sebatang pohon jambu dan duduk bersila. Terasing dari kenikmatan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang [disertai] kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], dengan sukacita dan kebagiaan yang lahir dari keterasingan.<356>

Aku berpikir, “Orang-orang duniawi yang bodoh dan tidak terpelajar itu sendiri tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit. Ketika melihat orang lain jatuh sakit, mereka merasa jijik dan merendahkan mereka sebagai yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan, tidak mengamati [kondisi] mereka sendiri.”

Selanjutnya, aku berpikir, “Aku sendiri tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit. Jika ketika melihat orang lain jatuh sakit aku merasa jijik dan merendahkan mereka sebagai yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan, maka itu akan tidak pantas bagiku, karena aku juga tunduk pada [kondisi] ini.” Ketika aku telah mengamati dengan cara ini, keangkuhan yang disebabkan oleh tidak berpenyakit secara alamiah lenyap.

Selanjutnya, aku berpikir, “Orang-orang duniawi yang bodoh dan tidak terpelajar itu sendiri tunduk pada usia tua, tidak terbebas dari usia tua. Ketika melihat orang lain menjadi tua, mereka merasa jijik dan merendahkan mereka sebagai yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan, tidak mengamati [kondisi] mereka sendiri.”

Selanjutnya, aku berpikir, “Aku sendiri tunduk pada usia tua, tidak terbebaskan dari usia tua.  Jika ketika melihat orang lain menjadi tua aku merasa jijik dan merendahkan mereka sebagai yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan, itu akan tidak pantas bagiku, karena aku juga tunduk pada [kondisi] ini.” Ketika aku telah merenung dengan cara ini, keangkuhan yang disebabkan oleh usia [muda] secara alamiah lenyap.<357>

Orang-orang duniawi yang bodoh dan tidak terpelajar adalah angkuh, sombong, dan menjadi lalai karena tidak berpenyakit. Karena keinginan indria ketidaktahuan mereka tumbuh dan mereka tidak menjalankan kehidupan suci. Orang-orang duniawi yang bodoh dan tidak terpelajar adalah angkuh, sombong, dan menjadi lalai karena masih [muda]. Karena keinginan indria ketidaktahuan mereka tumbuh dan mereka tidak menjalankan kehidupan suci.

Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair-syair ini:

Tunduk pada penyakit, tunduk pada usia tua, dan tunduk pada kematian.
[Walaupun] diri mereka sendiri sama halnya tunduk [pada hal-hal ini],
Orang-orang duniawi memandang [kondisi-kondisi ini] dengan kejijikan.
Jika aku merasa jijik [pada kondisi-kondisi ini],
[Walaupun] belum melampauinya,
Itu akan tidak pantas bagiku,
Karena aku juga tunduk pada hal ini.

Ia yang berlatih seperti ini
Merealisasi Dharma yang [membawa pada] kebebasan dari kelahiran kembali
Sehubungan dengan keangkuhan karena tidak berpenyakit,
Muda, dan berusia panjang.
Melenyapkan semua keangkuhan [demikian],
Seseorang melihat kedamaian dari kebosanan.

Dengan tercerahkan dengan cara ini,
Seseorang tidak gelisah sehubungan dengan kenikmatan indria.
Mencapai persepsi bahwa tidak ada hal [dalam kenikmatan indria],
Ia menjalankan kehidupan suci yang murni.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

seniya:
118. Kotbah tentang Gajah<358>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Taman Timur, di Aula Ibu Migāra.

Pada waktu itu, pada malam hari, Sang Bhagavā bangkit dari duduk dalam keterasingan, turun dari aula itu, dan berkata, “Udāyin, marilah kita pergi bersama-sama menuju Sungai Timur untuk mandi.”<359>

Yang Mulia Udāyin menjawab, “Baik.”

Kemudian Sang Bhagavā pergi ke Sungai Timur bersama dengan Yang Mulia Udāyin. Beliau melepaskan jubahnya, meninggalkannya di tepi sungai, dan masuk ke dalam air untuk mandi. Setelah mandi, beliau keluar, mengusap tubuhnya [sampai kering], dan mengenakan jubahnya.

Pada waktu itu Raja Pasenadi memiliki seekor gajah (nāga) bernama Sati.<360> Ia menyeberangi Sungai Timur dengan disertai berbagai jenis musik yang menghibur. Ketika melihatnya, banyak orang berkata, “Ini adalah nāga di antara para nāga, seekor nāga kerajaan yang agung. Apakah namanya?”

Yang Mulia Udāyin merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā, gajah ini memiliki tubuh yang besar, dan banyak orang, ketika melihatnya, berkata, “Ini adalah nāga di antara para nāga, seekor nāga kerajaan yang agung. Apakah namanya?”

Sang Bhagavā berkata:

Demikianlah, Udāyin. Demikianlah, Udāyin. Gajah ini memiliki tubuh yang besar, dan banyak orang, ketika melihatnya, berkata, “Ini adalah nāga di antara para nāga, seekor nāga kerajaan yang agung. Apakah namanya?”

Udāyin, jika seekor kuda, unta, sapi, keledai, ular, manusia, atau sebatang pohon telah tumbuh sehingga memiliki bentuk tubuh yang besar, maka Udāyin, banyak orang, ketika melihatnya, berkata, “Ini adalah nāga di antara para nāga, seekor nāga kerajaan yang agung. Apakah namanya?”

Udāyin, di dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana, dari manusia sampai para dewa, tentang siapa pun yang tidak melukai [orang lain] melalui [perbuatan] jasmani, ucapan, atau pikiran aku mengatakan, “Ia adalah seekor nāga.”<361> Udāyin, di dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana, dari manusia sampai para dewa, Sang Tathāgata tidak melukai [orang lain] melalui [perbuatan] jasmani, ucapan, atau pikiran. Karena alasan ini aku disebut seekor nāga.

Kemudian Yang Mulia Udāyin merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā! Semoga Sang Bhagavā meningkatkan kekuatan inspiratifku! Semoga Sang Sugata meningkatkan kekuatan inspiratifku! Izinkanlahaku, di hadapan Sang Buddha, untuk melantunkan pujian terhadap Sang Bhagavā dengan syair-syair yang berhubungan dengan karakteristik seekor nāga!

Sang Bhagavā berkata, “Lakukanlah seperti yang engkau inginkan.”

Kemudian, Yang Mulia Udāyin, di hadapan Sang Buddha, memuji Sang Bhagavā dengan syair-syair yang berhubungan dengan karakteristik seekor nāga:

Yang Tercerahkan Sempurna, terlahir di antara manusia,
Menjinakkan dirinya sendiri, mencapai konsentrasi benar.
Menjalankan jalan mulia,
Ia menenangkan pikirannya dan dapat mencapai kebahagiaan oleh dirinya sendiri.

Dihormati oleh orang-orang
Karena melampaui semua hal,
Ia juga dihormati oleh para dewa
[Sebagai] seseorang yang telah menjadi Arahant, tanpa kemelekatan.

Ia telah melampaui semua belenggu,
Dari dalam hutan [belenggu], ia telah meninggalkan hutan itu [dengan mencapai nirvana].<362>
Setelah membuang kenikmatan indria, ia bergembira dalam kebosanan,
Bagaikan emas sejati yang diambil dari bijihnya.

Terkemuka sebagai Yang Tercerahkan Sempurna,
Bagaikan matahari yang naik di angkasa,
[Ia adalah] yang tertinggi di antara semua nāga,
Bagaikan puncak tertinggi di antara banyak gunung.

Dipuji sebagai seekor nāga agung,
Ia tidak melukai di mana pun.
Nāga di antara para nāga,
Sesungguhnya [ia] adalah seekor nāga yang tiada bandingnya.

Kelembutan dan tanpa melukai –
Dua hal ini adalah kaki [belakang] sang nāga.
Pertapaan dan selibat
Adalah latihan sang nāga.

Sang nāga agung memiliki keyakinan sebagai belalainya,
Dua jenis kebaikan sebagai gadingnya;
Perhatian sebagai lehernya, dan kebijaksanaan sebagai kepalanya,
Untuk merenungkan dan menganalisis ajaran;

Menerima dan mengingat ajaran-ajaran adalah perutnya,
Bergembira dalam keterasingan adalah dua kaki depannya.<363>
Menenangkan dengan baik napas masuk dan keluar,
Pikiran[nya] mencapai konsentrasi sempurna.

Sang nāga tetap terkonsentrasi ketika berjalan dan berdiri;
Ketika duduk ia terkonsentrasi dan juga ketika berbaring.
Sang nāga terkonsentrasi setiap saat.
Ini adalah keadaan tetap sang nāga.

Ia menerima makanan dari sebuah rumah tangga yang tanpa kecacatan.
Ia tidak menerimanya dari rumah tangga dengan kecacatan.
[Jika] ia menerima makanan yang rusak atau tidak murni,
Ia membuangnya, seperti seekor singa.

Makanan yang dipersembahkan kepadanya
Ia terima demi belas kasih terhadap orang lain.
Sang nāga, dalam memakan persembahan penuh keyakinan dari orang lain,
Mempertahankan kehidupannya tanpa kemelekatan.

Ia telah memotong semua belenggu, besar dan kecil,
Mencapai pembebasan dari semua ikatan.
Ke mana pun ia berjalan,
Pikirannya tidak terikat oleh kemelekatan apa pun.

Seperti halnya seroja putih
Lahir di dalam air dan tumbuh dipelihara oleh air,
[Tetapi] air berlumpur tidak dapat melekat
Pada keharuman tajam dan bentuk menyenangkannya –

Dengan cara yang sama, Yang Tercerahkan tertinggi
Lahir ke dunia dan aktif di dunia,
[Tetapi] tidak terkotori oleh kenikmatan indria,
Seperti halnya bunga [seroja] di mana air [berlumpur] tidak melekat padanya.

Seperti halnya api yang menyala-nyala
Akan berhenti membakar jika tidak diberikan bahan bakar.
Tanpa bahan bakar api tidak berlanjut;
Api yang demikian dikatakan telah padam.

Orang-orang bijaksana menyampaikan perumpamaan ini,
Berharap maknanya dapat dipahami.
Ini adalah apa yang telah diketahui sang nāga,
Dan apakah yang diajarkan oleh nāga di antara para nāga.

Bebas dari keinginan seksual dan kebencian,
Setelah membuang ketidaktahuan dan mencapai [keadaan] tanpa noda,
[Ketika] sang nāga meninggalkan jasmaninya,
Sang nāga dikatakan telah padam.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Udāyin bergembira dan menerimanya dengan hormat.

seniya:
119. Kotbah tentang Landasan untuk Berbicara<364>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Di sini terdapat [hanya] tiga landasan untuk berbicara,<365> bukan empat dan bukan lima. Jika seorang bhikkhu telah melihat [sesuatu], maka berdasarkan hal itu ia dapat berbicara, dengan mengatakan, “Aku melihatnya.” [Jika ia telah] mendengar ... mengenali ... mengetahui [sesuatu, maka berdasarkan hal itu] seorang bhikkhu dapat berbicara, dengan mengatakan, “Ini adalah apa yang kuketahui.”

Apakah tiga [landasan untuk berbicara]? Berdasarkan masa lampau seorang bhikkhu dapat berbicara, dengan mengatakan, “Seperti ini ia pada masa lampau.” Berdasarkan masa depan seorang bhikkhu dapat berbicara, dengan mengatakan, “Seperti ini ia pada masa depan.” Berdasarkan masa sekarang seorang bhikkhu dapat berbicara, dengan mengatakan, “Seperti ini ia sekarang.” Ini adalah tiga landasan untuk berbicara, bukan empat dan bukan lima.

Jika seorang bhikkhu telah melihat [sesuatu], maka berdasarkan hal itu ia dapat berbicara, dengan mengatakan, “Ia melihatnya.” [Jika ia telah] mendengar ... mengenali ... mengetahui [sesuatu, maka berdasarkan hal itu] seorang bhikkhu dapat berbicara, dengan mengatakan, “Ini adalah apa yang kuketahui.” Karena apa yang ia katakan adalah bermanfaat, ia memperoleh manfaat. Karena ia tidak mengatakan apa yang tidak bermanfaat, ia memperoleh manfaat.

Seorang siswa mulia mendengarkan dengan seksama dengan kedua telinga pada Dharma. Setelah mendengarkan dengan seksama dengan kedua telinga pada Dharma, ia meninggalkan satu faktor, berlatih satu faktor, dan merealisasi satu faktor. Setelah meninggalkan satu faktor, berlatih satu faktor, dan merealisasi satu faktor, ia mencapai konsentrasi benar.

Seorang siswa mulia, setelah mencapai konsentrasi pikiran yang benar, kemudian meninggalkan semua nafsu indria, kebencian, dan ketidaktahuan. Dengan cara ini seorang siswa mulia mencapai pembebasan pikiran. Setelah mencapai pembebasan, ia mengetahui bahwa ia terbebaskan. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada kelangsungan lagi.”<366>

Berdasarkan apa yang dikatakan seseorang, terdapat empat landasan di mana seseorang seharusnya mengamatinya, [dengan berpikir,] “Apakah yang mulia ini layak untuk terlibat dalam diskusi atau tidak layak untuk terlibat dalam diskusi?” Jika yang mulia ini tidak menanggapi secara tegas pada suatu argumen definitif, tidak menanggapi secara analitis pada suatu argumen analitis, tidak menanggapi secara konklusif pada suatu argumen konklusif, dan tidak menanggapi dengan penutupan pada suatu argumen akhir, maka dengan cara-cara ini yang mulia ini tidak layak untuk terlibat dalam diskusi, tidak layak untuk terlihat dalam perdebatan.

[Namun] jika yang mulia ia menanggapi secara tegas pada suatu argumen definitif, menanggapi secara analitis pada suatu argumen analitis, menanggapi secara konklusif pada suatu argumen konklusif, dan menanggapi dengan penutupan pada suatu argumen akhir, maka dengan cara-cara ini yang mulia ia layak untuk terlibat dalam diskusi, layak untuk terlibat dalam perdebatan.<367>

Selanjutnya, berdasarkan apa yang telah seseorang katakan, terdapat empat landasan lebih lanjut di mana seseorang dapat mengamatinya, [dengan berpikir,] “Apakah yang mulia ini layak untuk terlibat dalam diskusi atau tidak layak untuk terlibat dalam diskusi?” Jika yang mulia ini tidak konsisten tentang sudut pandang dan lawannya, tidak konsisten tentang apa yang diketahui, tidak konsisten tentang apa yang telah dijelaskan melalui perumpamaan-perumpamaan, dan tidak konsisten tentang prosedur, maka dengan cara-cara ini yang mulia ini tidak layak untuk terlibat dalam diskusi, tidak layak untuk terlibat dalam perdebatan.

[Namun] jika yang mulia ini konsisten tentang sudut pandang dan lawannya, konsisten tentang apa yang diketahui, konsisten tentang apa yang telah dijelaskan melalui perumpamaan-perumpamaan, dan konsisten tentang prosedur, maka dengan cara-cara ini yang mulia ini layak untuk terlibat dalam diskusi, layak untuk terlibat dalam perdebatan.<368>

Bergantung pada apa yang diucapkan, ia mengendalikan aktivitas ucapannya pada waktu [yang tepat]. Ia membuang pandangan-pandangan yang terbentuk sebelumnya, membuang keadaan pikiran yang marah, membuang keinginan indria, membuat kebencian, membuang delusi, membuang keangkuhan, membuang sikap diam yang keras kepala, membuang ketamakan dan keirihatian. Ia tidak mengejar kemenangan, tidak mengungguli orang lain, dan tidak mencengkeram kesalahannya. Ia hanya berbicara tentang apa yang penuh makna, tentang Dharma. Setelah berbicara tentang apa yang penuh makna, tentang Dharma, dan setelah mengajarkannya dan mengajarkannya lagi, ia sendiri bergembira dan menyebabkan orang lain bergembira. Pembicaraan tentang apa yang penuh makna demikian, pembicaraan tentang pokok-pokok bahasan demikian [ini] adalah pembicaraan mulia tentang apa yang penuh makna, pembicaraan mulia tentang hal-hal [ini]. Ini membawa sepanjang jalan pada penghancuran total noda-noda.

Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair-syair ini:

Jika ketika beragumen dalam sebuah diskusi,
Pikiran yang kebingungan menyimpan kerinduan dan keangkuhan,
Maka ini tidak mulia; ia menghancurkan kebaikan,
Dengan masing-masing mencari keuntungan atas yang lain.

Hanya mencari untuk menemukan kesalahan pada orang lain,
Berharap untuk mengalahkannya;
Berusaha lebih keras untuk kemenangan atas satu sama lain –
Para mulia tidak berbicara seperti ini.

Jika ia ingin menjadi kompeten dalam diskusi,
Seorang bijaksana seharusnya mengetahui pemilihan waktu [yang tepat].
Dengan Dharma dan dengan makna,
Ini adalah bagaimana para mulia berdiskusi.

Orang bijaksana berkata seperti ini:
Tanpa perselisihan, tanpa keangkuhan,
Tanpa perasaan kebencian,
Tanpa belenggu, tanpa noda-noda.

Selalu bersepaham dan tidak kebingungan,
Mereka berbicara dengan pengetahuan benar.
Mereka menerima apa yang dikatakan dengan baik,
Dan mereka sendiri tidak pernah berbicara kejahatan.

Dalam diskusi mereka tidak pernah menegur,
Dan tidak terpengaruh oleh teguran orang lain.
Mereka mengetahui sudut pandang dan dasar untuk ucapan mereka,
Ini adalah [cara] mereka berdiskusi.

Demikianlah ucapan para mulia,
Para bijaksana yang sepenuhnya telah memperoleh maknanya.
Untuk kebahagiaan dalam masa sekarang,
Dan untuk kedamaian pada kehidupan berikutnya,
Kalian seharusnya mengetahui bahwa seseorang yang terpelajar
Berbicara tanpa bias dan kedangkalan.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

seniya:
120. Kotbah tentang Ajaran Ketidakkekalan<369>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Bentuk adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri. Perasaan juga adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri. Persepsi juga adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri. Bentukan kehendak juga adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri. Kesadaran juga adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri. Yaitu: Bentik adalah tidak kekal ... perasaan ... persepsi ... bentukan kehendak ... kesadaran adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal, itu adalah dukkha; apa yang adalah dukkha, itu adalah bukan-diri.

Seorang siswa mulia yang terpelajar, merenungkan dengan cara ini, mengembangkan tiga puluh tujuh faktor menuju pencerahan dengan kewaspadaan penuh dan perhatian benar yang tidak terhalangi.<370> Mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidaktahuan. Terbebaskan, ia mengetahui bahwa ia terbebaskan, dan ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri bagiku, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan ada kelangsungan lagi.”

Di antara makhluk-makhluk hidup apa pun yang ada – termasuk sembilan kediaman makhluk hidup, sampai dengan tingkatan melampaui landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, [yang disebut] “puncak penjelmaan” – di antara [semua] ini, ini adalah yang terkemuka, ini adalah yang termulia, ini adalah kemenangan, ini adalah yang terbesar, ini adalah yang paling mengagumkan, ini adalah yang paling unggul, yaitu: seorang Arahant di dunia. Mengapakah demikian? Karena seorang Arahant di dunia telah mencapai kedamaian dan kebahagiaan [sejati].

Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair-syair ini:

Bebas dari kemelekatan adalah kebahagiaan tertinggi.
[Seorang Arahant] telah meninggalkan keinginan indria, dan tanpa ketagihan terhadap penjelmaan.
Ia telah selamanya membuang keangkuhan-“aku”,
Setelah merobek jala ketidaktahuan.

Ia telah mencapai ketanpa-gangguan,
Pikirannya adalah tanpa kekotoran.
Ia tidak terkotori oleh kemelekatan pada dunia,
Setelah menjalankan kehidupan suci dan mencapai pembebasan dari noda-noda.

Ia memahami dan mengetahui lima kelompok unsur kehidupan,
Bidang pengetahuannya adalah tujuh keadaan bermanfaat.<371>
Seorang pahlawan agung, ia berdiam di suatu tempat
Yang bebas dari semua ketakutan.

Setelah mencapai tujuh harta pencerahan,
Dan berlatih dalam pelatihan berunsur tiga,
Ia dikenal dengan baik sebagai seorang teman mulia,
Putra sejati dan tertinggi Sang Buddha.

Ia telah mencapai jalan berunsur sepuluh,
Seekor nāga agung dengan pikiran yang sangat terkonsentrasi.
Tertinggi di dunia ini,
Ia tanpa ketagihan terhadap penjelmaan.

Tidak terganggu oleh banyak urusan,
Terbebaskan dari kelangsungan yang akan datang,
Setelah memotong kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.
Apa yang harus dilakukan telah dilakukan: ia telah melenyapkan noda-noda.

Ia telah memunculkan pengetahuan seseorang yang melampaui latihan
Setelah membuat jasmani ini yang terakhir baginya.
Dilengkapi dengan kehidupan suci tertinggi,
Pikirannya tidak bergantung pada orang lain.

Di atas, di bawah, dan di semua arah,
Tidak di mana pun ia menemukan kesenangan.
Ia dapat mengaumkan auman singa,
Yang tercerahkan tertinggi di dunia.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version