..."Aku" yang melepas lebih mudah disadari ketimbang "Aku" yang menggenggam, walaupun keduanya memang masih ada "Aku".
hehe ... hati-hati dengan logika. ... ... Dalam meditasi, Anda justru akan melihat sebaliknya: bahwa aku yang merasa melepas (merasa menjadi 'lebih baik', menjadi 'lebih bersih') justru akan menghadapi kelekatan yang jauh lebih halus daripada aku yang kasar, dan karena jauh lebih halus, maka jauh lebih sukar dilihat, jauh lebih sukar disadari. ... Ini pengalaman setiap pemeditasi vipassana ...
Salam,
hudoyo
Yup. Seperti pernah saya katakan di thread sebelum ini (Abhidhamma dan Vipassana) bahwa seorang guru meditasi yg baik, memiliki kemampuan untuk menekan satu 'tombol' saja dalam diri sang murid hingga dia meledak kemarahannya. Kala menyadari apa yang terjadi, biasanya si murid mulai bisa memebedakan secara jelas antara mana yg konsep dan mana yang realita.
Dengan kata lain, hendak saya katakan bahwa, emosi yang kuat (spt kemarahan) justru bisa memacu pada kesadaran (asal tahu cara 'menghadapinya', yaitu dengan : pasrah, pasif , ikhlas, berserah,etc).
Sebaliknya bila seseorang itu marah/ jengkel, kemudian dia berpikir,"Oh, ini akusala citta,...oh ini tidak baik...oh aku tidak boleh marah.....oh aku harus mengembangkan cinta kasih". Pada lanjutnya ia mulai merekayasa 'cinta kasih' tersebut dan kemudian menekan kemarahannya (padahal tidak hilang! Hanya tertutupi oleh rekayasa cinta kasih tsb). Kemudian pikirannya mulai mencari-cari cara bagaimana untuk menunjukkan 'cinta kasih' tersebut dalam kata-kata/ ucapan dan perbuatan. Karena sifatnya adalah artifisial, maka muncul ketegangan, pemaksaan, ketidak-naturalan. Orang yg sensitif (tidak harus selalu Buddhis) sering bisa merasakan perbuatan itu spt dibuat-buat. Ia bisa melihat kemarahan dibalik perbuatan luarnya yg di-indah-indahkan. Di psychology hal itu dikenal dengan gejala ego-defense yg disebut
sublimation. http://en.wikipedia.org/wiki/Sublimation_%28psychology%29(Ada baiknya juga anda googling tentang gejala psychology spt : transference, rationalization, projection, repression, scapegoating, dsb untuk mengenali liku-liku batin kita mengubah diri)
Bagi si pelaku sendiri, manakala ia berhasil memainkan sandiwara itu, maka muncul rasa puas. Berpikir, "oh aku sudah berhasil mengatasi kemarahanku. Aku seorang Buddhis yang baik. Aku menjalankan sila. Aku mengikuti petunjuk sang Buddha".............dst dst.
Nah, dari proses licinnya pikiran / ego ini beralih rupa, maka tentu hal ini menjadi penghambat bagi seorang pemeditasi tingkat advanced. Lebih baik adalah dengan 'memotret' kemarahan itu apa adanya. Disadari. Bila disadari maka kekuatannya bisa berkurang. Dan daya ilusifnya berhenti merekayasa pemikiran konseptual lainnya. ........dst dst.