"YM Saariputta berkata kepada para bhikkhu, 'Kepadaman itulah, para
sahabat, yang menyenangkan; kepadaman itulah, para sahabat, yang
menyenangkan.'
Ketika ini dikatakan, maka YM Udayi bertanya kepada YM Saariputta, 'Tetapi
apakah, Sahabat Saariputta, yang menyenangkan di sini, karena di sini
tidak ada perasaan lagi?'
'Justru itulah, para sahabat, yang menyenangkan di sini, bahwa di sini
tidak ada perasaan lagi.'"
(Anguttara Nikaya,IX.34)
Jadi, kedua Unsur Kepadaman itu tidak dinyatakan mengandung, atau terdiri
dari, semua atau salah satu dari kelima kelompok; keduanya diungkapkan
dalam pengertian 'tidak adanya' hal-hal yang tidak dikehendaki; keduanya
permanen dan menyenangkan. Maka 'nibbaana', atau kepadaman, bersifat
negatif seperti "minus tiga jeruk" bersifat negatif: tetapi seperti halnya
ada seonggok buah jeruk sebelum kita bisa berkata "minus tiga jeruk", maka
harus ada makhluk hidup yang penuh nafsu, kebencian dan ketidaktahuan,
sebelum kita bisa berkata 'nibbaana'. 'Nibbana' bukan 'ketiadaan': itu
suatu 'pengakhiran' dari proses eksistensi.
"Bhavanirodho nibbaanam, bhavanirodho nibbaananti."
"Kepadaman adalah pengakhiran keberadaan! Kepadaman adalah pengakhiran
keberadaan!"
(Anguttara Nikaya, X.6)
Lalu, apakah ini bukan pemusnahan? Memang begitu tampaknya bagi setiap
orang yang percaya bahwa ada sesuatu yang kekal abadi dan tak berubah,
suatu diri yang menetap, yang akan dihancurkan:
"'Bhante, mungkinkah ada kecemasan tentang ketiadaan secara batiniah?'
'Mungkin saja, bhikkhu,' kata Sang Bhagava. 'Bhikkhu, ada orang yang
berpegang pada pandangan ini, "Itulah dunia, itulah diri; bila aku pergi,
aku akan kekal, menetap, abadi, tidak berubah; dan seperti inilah aku akan
tetap ada, selamanya." Ia mendengarkan Sang Tathagata atau siswanya
mengajarkan Dhamma untuk mencabut sampai ke akarnya semua pandangan,
prasangka, obsesi, dorongan, dan kecenderungan, untuk menenangkan semua
faktor bentukan batin, untuk pelepasan semua landasan, untuk penghancuran
keinginan, untuk padamnya gairah, untuk pengakhiran, untuk kepadaman.
Terpikir olehnya, "Saya akan terputus! Saya akan musnah! Saya akan tidak
ada lagi!" Ia bersedih hati, murung, meratap, dan memukuli dadanya dan
menangis, ia jatuh ke dalam kebingungan. Demikianlah, bhikkhu, terdapat
kecemasan tentang ketiadaan secara batiniah.'"
(Majjhima Nikaya, 22)
Hanya apabila dunia dari kelima kelompok tidak lagi dipandang sebagai
'diri' yang kekal dan tidak berubah (dan kita akan melihat bahwa gagasan
tentang 'diri' hanyalah sekadar pandangan yang salah tentang kelima
kelompok itu), hanya di situ kepadaman keberadaan tidak lagi tampak
sebagai penghancuran 'diri'.
Khotbah kedua Sang Buddha kepada kelima bhikkhu pertama,
Anattalakkhana-sutta (Khandha Samyutta, 59), adalah salah satu Sutta
terkenal, dan tidak seorang pun pada dewasa ini mempermasalahkan bahwa
Sang Buddha secara tegas mengingkari adanya 'attaa', 'diri' atau 'roh',
yang bersemayam di dalam kelima kelompok. Tetapi kepercayaan terhadap
adanya 'diri' sangat kuat, dan sukar dilepaskan; dan banyak orang, dengan
dilarang mencari 'diri' di dalam kelima kelompok, berharap dapat
menemukannya di luar; dan kadang-kadang mereka berpikir bahwa 'nibbaana'
tentulah mengandung, atau merupakan, 'diri'.
Di dalam orang mengira bahwa 'nibbaana' adalah 'diri', terdapat dua
kesalahan. Yang pertama dapat dilihat dari teks ini:
"Para bhikkhu, bila ada petapa dan brahmana yang berpikir tentang 'diri'
dalam berbagai bentuk, mereka semua berpikir dalam kaitan dengan kelima
kelompok kelekatan atau salah satu darinya."
(Khandha Samyutta, 47)
Semua pikiran tentang 'diri'--entah si pemikir menyadarinya atau
tidak--selalu berkaitan dengan kelima kelompok kelekatan; dan berpikir
bahwa 'nibbaana' adalah 'diri' berarti berpikir bahwa 'nibbaana' terdiri
dari satu atau lebih dari kelima kelompok ini.
Kesalahan kedua adalah percaya bahwa sesungguhnya ada yang disebut 'diri'.
Teks berikut tidak meninggalkan keraguan lagi mengenai hal itu:
"'Jika, Aananda, ketika ditanya, "Apakah 'diri' ada?", saya menjawab
petapa-kelana Vacchagotta, "'Diri' ada"; apakah itu sesuai dengan
pengetahuan yang kumiliki, "Segala sesuatu 'bukan-diri'"?'
'Tidak, Bhante.'"
(Avyaakata Samyutta, 10)
Apa pun makna dari "sabbe dhammaa anattaa" (yang akan dibahas belakangan),
suatu jawaban pembenaran terhadap pertanyaan, "Apakah 'diri' ada?" tidak
akan sesuai dengan pengetahuan Sang Buddha.
Jadi jelas sekali bahwa orang tidak bisa berkata "nibbaana adalah 'diri'".
Tergantung apakah ada air atau tidak, sehelai kain mungkin basah atau
kering; tanpa ada kemungkinan ketiga: dan tampaknya alternatif ini berlaku
bagi semua benda. Segala sesuatu yang tidak basah tentu harus kering;
segala sesuatu yang tidak kering tentu harus basah. Demikian pula dapat
dipikirkan, segala sesuatu yang bukan 'attaa' haruslah 'anattaa', dan
segala sesuatu yang bukan 'anattaa' haruslah 'attaa'. Oleh karena kita
tidak bisa berkata, "nibbanaa adalah attaa", maka 'nibbaana' haruslah
'anattaa'. Tetapi seandainya dibuat lubang pada kain itu dengan
menggunting sepotong kecil bahan dari tengah kain itu: sekalipun kain itu
sendiri seharusnya kering atau basah, lubang itu sendiri bukanlah kering
atau basah. Sebuah lubang adalah sesuatu yang negatif, suatu ketiadaan
dari suatu substansi material--dalam hal ini serat-serat katun--dan kita
tidak dapat mengenakan kepadanya sifat-sifat, seperti kering atau basah,
yang sebenarnya hanya berlaku bagi substansi material yang aktual.
'Nibbaana', seperti sebuah lubang pada kain, adalah