« Reply #4 on: 23 March 2010, 02:52:54 PM »
WASPADAI MARA PENGGODA BAG. 4
(Transkrip Dhamma Class di Vihara Dhamma Sundara Solo)
Chapter: Tanya – Jawab Bag. 2
Tanya:
Tadi itu saya mendengarkan ceramah dari bhante, saya kira berguna sekali bagi kita.
Paling dominan tadi itu, Apa bhante? Dari panca indera yang kita punya. Karena di dalam hal lima Panca indera itu, kembalinya ke pikiran. Bagaimana tanggapan bhante mengenai hal ini? Mana yang dominan?
Jawab:
Ibu bapak dan saudara, saya pernah menjelaskan di forum ini panjang lebar. (Marilah Bermeditasi)
Mana yang paling dominan diantara kemampuan/potensi mental kita. Kita tidak berbicara jasmani, jasmani semua orang sudah mengerti tidak perlu lagi dijelaskan panjang lebar.
Kemampuan mengingat, kenangan yang lalu, yang pernah dilakukan, yang baik, yang manis. Kemampuan mengenali benda-benda ini termasuk menamai dan sebagainya. Meskipun kalau sudah menamai ini jam, ini sapu tangan..... itu pikiran sudah berjalan banyak. Itu adalah kemampuan dari mental juga.
Lalu kemampuan mental untuk bisa senang dan bisa juga tidak senang (bisa suka dan bisa tidak suka), dalam bahasa pali sukha atau dukkha - somanassa atau domanasa. Kalau rangsangan lewat panca indera lewat makan, melihat segala macam, diraba yang menyenangkan timbulah sukha kalau tidak menyenangkan dukkha. Tapi juga kenangan bisa merangsang mental kita. Ingat kenangan yang lampau yang menyenangkan-menyenangkan muncul perasaan senang atau ingat pengetahuan yang telah dipelajari, diingat kembali masih jelas dan masih mengerti timbul rasa senang. Itu senang yang muncul karena rasa rangsangan mental. Kami menamakan Somanassa (hanya untuk membedakan saja). Atau mengingat peristiwa yang menyedihkan atau hal-hal atau ingatan-ingatan yang tidak mengenakkan, rencana-rencana yang tidak mengenakkan timbul perasaan tidak senang karena mental disebut domanassa.
Kemudian ada kemampuan mental lagi untuk menciptakan macam-macam. Ingin berdiri, ingin duduk, ingin pulang dulu, ingin tidur cepat, ingin punya rumah, ingin kontrak dulu, ingin kredit, ingin mendaftar menjadi caleg, ingin kampanye kampanye habis-habisan, ingin merebut milik orang lain, ingin menolong, ingin berbuat jahat, merancang bagaimana supaya keinginannya bisa tercapai... Itu disebut pikiran. Tidak ada batasnya, segala macam ide kreasi, bisa dilaksanakan atau tidak bisa dilaksanakan... pikiran ini tidak ada batasnya. Yang disebut pikiran itu tidak ada batasnya.
Tetapi perasaan itu hanya senang dan tidak senang saja. Melihat sesuatu... aku senang. Itu perasaan. Kalau kita sudah mengatakan jam... jamnya bagus, bikinan mana ini? Itu sudah pikiran. Aku mau juga punya jam seperti ini. Itu sudah pikiran. Ah ini jam sudah kuno jaman dulu, kalau aku punya juga buat apa, begitu melihat gak senang saya. Tidak senangnya itu perasaan, tidak mau punya, diberi juga tidak mau, kalau aku pakai ini malu-maluin. Itu pikiran.
Sekarang mana yang dominan, mana yang lebih ganas,mana pengaruhnya yang lebih kuat di antara kemampuan mental mengingat, merasakan, pikiran-pikiran beserta rencana-rencananya yang semuanya itu datang dari kesadaran.
Menurut psikologi buddhist, yang sangat kuat pengaruhnya (provokator yang sangat tajam memprovokasi orang) adalah perasaan ibu bapak saudara. Bukan pikiran.
Loh... vedana bhante?
Iya... Dalam terminologis buddhist vedana.
Loh koq bisa?
Saya pernah menjelaskan di forum ini panjang lebar.
Kalau kita melihat dengan kesadaran... meng-amat-amati gerak-gerik kita sehari-hari, semua gerak-gerik kita, semua aktivitas kita, semua perilaku kita, rencana kita dan sebagainya yang dirancang oleh pikiran lalu dilaksanakan. Sebabnya dari mana? Sebabnya dari perasaan (cikal bakalnya dari perasaan).
Contoh yang sederhana, hampir dua jam saya berbicara dan duduk dengan sikap tegak, punggung ini pegal. Bhante senang kalau punggungnya pegal? Tidak senang saudara. Tidak senang karena pegal ini lalu memprovokasi pikiran saya. Jangan lama-lama... Jangan lama-lama... sepuluh menit saja lagi biar selesai. Kalau bisa nanti kalau mendengar pertanyaan menyandarlah sebentar duduknya. Begitu menyandar bagaimana? Enak....... Kalau menyandar begini saya teruskan bagaimana? Lama-lama tidak enak juga. Begitu tidak enak, dia akan memprovokasi pikiran saya. Tegak lagi... Tegak lagi... Timbulnya keinginan sudah bersandar jangan lama-lama tegak lagi, mengapa? Karena perasaan tidak enak. Perasaan tidak enak mendorong kita untuk mengalihkan posisi untuk tegak lagi. Enak-enak... jangan sandaran lagi. Enak... rasanya enak sakitnya hilang. Enak itu memprovokasi pikiran untuk melanjutkan.. melanjutkan... melanjutkan... Jadi kalau timbul perasaan enak (Sukha) pikiran akan mengolah.
Di dalam pandangan buddhist ini lain ya... ibu bapak dan saudara. Saya harus membereskan definisi ini supaya kita tidak kabur. Enak itu dalam pandangan agama Buddha/dalam psikologis buddhist hanya enak atau tidak enak (suka atau tidak suka). Kalau anda mengatakan roti ini koq rasanya asin, nah itu bukan perasaan. Di dalam agama Buddha, asin itu pengenalan, sudah termasuk Domainnya pikiran. Kalau ibu mencicipi roti..... Senang aku. Nah itu perasaan. Rasanya gurih ya...? Nah, itu bukan perasaan. Pokoknya yang bukan enak atau tidak enak... itu bukan perasaan. Itu sudah masuk ulahnya pikiran. Rasanya sebal aku sama dia, kalau lihat itu rasanya aku sebal, dongkol, dll. Rasa sebal, rasa dongkol, rasa sengit itu bukan perasaan. Itu pikiran. Kebencian ingin membalas. Saya melihat itu tidak senang. Nah tidak senang itu perasaan. Jadi perasaan itu bisanya senang tidak senang/suka dan tidak suka. Suka dan tidak suka itu sama saja sama senang dan tidak senang. Kan sederhana bhante...? Iya.. sangat sederhana. Karena perasaan itu hanya dapat menimbulkan senang dan tidak senang. Sebetulnya tiga yaitu senang, tidak senang, dan netral. Datangnya entah dari mata, dari seksual, dari makan, dari telinga, dari angan-angan, dll. Bisanya hanya senang dan tidak senang.
Tapi ini ganas.
Mengapa ganas?
Karena semua yang membuat pikiran bergerak adalah perasaan. Kalau tidak senang bagaimana pikiran bergerak? Bagaimana ya... menghilangkan yang tidak senang ini?
Hampir dua jam persis, tenggorokan saya kering, mulai panas. Senang bhante?
Tidak senang. Lalu pikiran merintah minum dulu-minum dulu.
Iya... tapi pertanyaan dan jawaban belum selesai, nanti kalau sudah selesai sambil moderator menutup saya akan minum.
Siapa yang menyuruh minum atau apa yang membuat pikiran saya timbul keinginan untuk minum?
Karena ada perasaan tidak senang yang disebabkan tenggorokan ini kering.
Kalau tenggorokan ini bagus, habis minum. Ada yang menawari ada yang membawa air. Bhante silahkan minum.
Tidak senang saya, loh saya kan baru minum banyak. Gak senang saya. Tidak senang itu membuat pikiran kemudian Jangan minum dulu.. Jangan minum dulu... Terima saja taruh saja di meja. Mengapa tidak segera dibuka dan diminum bhante? Ada rasa tidak senang, dan tidak senang itu memerintahkan pikiran jangan minum. Pada saat nanti pertanyaan ini berhenti, moderator berbicara, saya ambil minuman saya minum. Enak bhante? Enak... Teruskan... teruskan... teruskan... satu kali tegukan lagi... dua kali tegukan lagi. Pikiran memerintahkan terus... terus... terus..... Dari mana perintah pikiran itu? Darimana keinginan itu timbul? Dari setan? Tidak... Dari perasaan senang. Saya ingin minum air ini sampai habis. Perasaan senang memacu pikiran kita untuk lagi... lagi... lagi... Perasaan tidak senang memacu pikiran untuk tutupi.. tutupi.. jangan... jangan...
Mengapa kita belajar agama? Mengapa kita belajar kebathinan? Mengapa kita belajar meditasi? Mengapa kita menuntut ilmu? Mengapa... Mengapa... Mengapa...?
Karena saya ingin hidup senang. Kalau anda sudah betul-betul senang! Tidak perlu lagi meditasi, tidak perlu lagi belajar Dhamma, tidak perlu lagi mencari ilmu pengetahuan. Sudah senang nikmati yang sudah kamu miliki terus.. terus... terus... pikiran akan memerintahkan begitu. Tetapi karena mengalami hal-hal yang tidak senang, yang tidak bisa diatasi dengan makan, tidak bisa diatasi dengan minum, tidak diatasi dengan nonton VCD, dsb. Terus bagaimana caranya membuang tidak senang ini, ketegangan mental, dll? Lalu pikiran memerintahkan pikiran carilah Dhamma Class, Meditasi lah.. nanti tidak senang itu bisa hilang. Itu semua digerakkan oleh tidak senang (perasaan).
Kalau anda kemudian mengikuti Dhamma Class, mengikuti meditasi, timbul pikiran senang... perasaan senang... senang... pikiran juga memerintahkan nikmati terus... terus... terus... Itu kemelekatan! Loh tidak boleh bhante kesenangan itu dinikmati terus meskipun itu meditasi? TIDAK.... Karena itu sementara. Lalu bagaimana bhante menghadapi perasaan ini yang sangat ganas yang suka memprovokasi dan menghasut pikiran? Dilihat saja... Tidak usah dituruti... Tidak usah diatasi.
Tenggorokan kering, muncul perasaan tidak senang. Diapakan bhante? Dilihatin saja.... (disadari...).
Oh... gak senang... sampai di mana? Ya tentu suatu ketika saya minum karena betul-betul sudah membutuhkan untuk minum. Tetapi jangan diprovokasi dengan perasaan senang dan tidak senang yang mendadak muncul.
Sakit di punggung... Tidak senang bhante? Tidak senang. Diapakan bhante? Dilihat dulu... disadari dulu, sakit... tidak senang sekarang muncul. Hilang tidak senangnya. Saya mungkin bisa tahan duduk tanpa menyandar berjam-jam meskipun punggung sakit. Loh kenapa bhante? Karena tidak senangnya dibuang. Bagaimana membuatnya? Dilihat saja... disadari saja nanti dia turun... turun... hilang.
Bhante kalau tidak senang itu trus kita pindah posisi duduk dengan menyandar. Tidak senangnya kan hilang berubah menjadi senang bhante? Iya... Tetapi nanti sementara. Dan kita nanti diburu-buru terus begitu. Karena itu kalau tidak senang muncul bagaimana? Dijadikan latihan dulu, dijadikan latihan meditasi. Jangan terus terburu-buru seperti orang kebakaran jenggot, dicarikan penutup dicarikan cara untuk mengusir. Disadari dulu... Tidak senang muncul... Hilang. Tapi sakitnya koq datang lagi, disadari dulu... Hilang. Terus begitu, sampai kapan kita bisa bertahan. Kalau memang ini benar-benar kebutuhan fisik sakit sekali, baru kita memberikan reaksi untuk menyandar.
Itulah meditasi ibu bapak dan saudara... Kalau anda mengikuti uraian saya ini, anda bisa melatih meditasi menghadirkan kesadaran. Tidak perlu mantra, tidak perlu doa, tidak perlu memohon berkat, tidak perlu baptis, tidak perlu teori agama yang sulit-sulit bahasa pali atau paticca samuppada, anatta tanpa aku. TIDAK PERLU...... Hanya senang muncul sadari, tidak senang muncul disadari.
Pagi-pagi ada umat datang membawa makanan yang saya suka. Mengapa koq bisa suka banget? Karena saya sejak dulu makan makanan seperti ini. Begitu melihat.. senang muncul. Kalau saya punya latihan meditasi, kesadarannya harus dihadirkan! Oh... perasaan senang muncul... Nanti dia akan hilang... Kan bukan kejahatan bhante? Apalagi makanan itu diberikan untuk bhante? Senang saya... sikat... habis. Iya... tidak kejahatan, dalam hidup bermasyarakat. Tapi itu menambah kilesa, kotoran bathin bertambah menjadi tebal. Saya bisa menjadi lebih rakus lagi kalau melihat ini. Ya kalau diserahkan kepada saya. Nanti kalau makanan ini tidak diserahkan saya, makanan ini bisa saya curi nanti! Karena terlalu senangnya.... Bagaimana mengatasi ini, senang yang menjadi-jadi ini? Apa digempur... malu-malu... kesenangannya jangan dituruti, distop saja... Gak usah digempur! Bagaimana? Disadari saja... Oh senang muncul.... Nanti dia akan tenggelam.
Atau disediakan makanan yang saya tidak suka. Begitu melihat, tidak senang saya. Oh... tidak senang muncul (sadari). Apa tidak dibuang begini bhante? Ini umat jauh-jauh sudah membawa makanan ini, dia orang miskin, cobalah sedikit dimakan, jangan timbul perasaan tidak senang, tidak baik... dll. Itu mengatasi tidak senang dengan nasehat filosofis. Oh ya.. ya... tidak pantas kalau saya punya perasaan tidak senang. Apalagi ini saya tidak beli, umat datang dengan penuh rasa bakti, demi ini mungkin dia bangun jam empat pagi untuk masak masakan ini, kemudian saya makan dan tidak senangnya dibuang. Tetapi ditutupi dengan alasan-alasan, termasuk dengan alasan agama, alasan iman, keyakinan, segala macam. Malu kalau bhikkhu berbuat begitu.... Itu semua bukan meditatif. Alasan filosofis, alasan agamis. Cara meditasi sangat sederhana. Lihat makanan tidak senang... Tidak senangnya disadari... dia nanti akan turun.. turun... Pikiran kita bebas dari tidak senang dan bebas dari senang. Kalau senang bagaimana bhante? Senang juga disadari jangan dibiarkan...
Selesai ceramah dua jam lebih. Pulang ke Mendut, saya tidak mengucapkan apa-apa. Tetapi dalam pikiran muncul, meskipun saya tidak ingin. Oh malam ini saya sudah memberikan ceramah hal-hal yang sulit-sulit, tentang lima mara, tentang bedanya mengatasi cara dengan filosofis dengan agamis lain dengan cara vipassana dengan meditatif. Hidupku tidak sia-sia, aku sudah melakukan yang berguna. Aku-nya muncul! Itu kan tidak kejahatan, itu kan nyata. Bhante berbuat jahat apa? Merasa aku berbuat baik kan boleh? Iya dalam hidup bermasyarakat bukan kejahatan, tetapi dalam kebebasan mental itu penghalang. Aku malam ini sudah melakukan hal yang baik. Yang berguna, yang berguna bagi orang banyak. Aku muncul. Bagaimana bhante mengatasinya. Ya harus ingat anatta, anatta tidak ada aku, hanya lima khanda, aku tidak ada, inti tidak ada. Itu cara mengatasi aku dengan konsep. Timbul pikiran Aku dilawan dengan pikiran tanpa Aku. Tidak benar ini Aku, yang ada tanpa aku (anatta), Aku itu tidak ada, Aku itu hanya ilusi. Sekarang yang ada di pikirannya pikiran tanpa Aku. Konsep juga itu. Tapi kan Aku-nya tenggelam. Aku-nya tenggelam karena ditutupi, tetapi masih ada! Lalu bagaimana cara mengatasi dengan baik bhante? Cara mengatasi yang baik cara meditatif. Kalau nanti saya pulang di dalam mobil dan sebagainya sampai di Mendut, Aku saya muncul....saya sadari saja. Dibiarkan saja, tidak usah mengatakan tidak boleh loh punya aku, anatta loh.. tidak boleh punya Aku. Tidak usah, tidak usah digempur. Disadari saja, oh.. Aku muncul ini, nanti dia akan tenggelam. Kan nanti muncul lagi bhante? Ya pulang malam-malam tidak apa-apa kan, kan hidupmu sudah berguna memberikan ceramah dll, Aku muncul lagi. Ya disadari saja lagi nanti dia akan tenggelam. Hanya nyadari saja! Tidak usah ingat anatta, tidak usah ingat sunyata, tidak usah ingat ini dosa, tidak usah ingat aku tidak baik, tidak usah diusir, dan tidak usah marah. Aku sudah jadi bhikkhu sekian puluh tahun, Aku koq masih muncul terus... muncul terus... ini bagaimana? Tidak usah marah. Tidak usah kecewa. Disadari saja. Oh Aku muncul, dia akan tenggelam. Dia nanti muncul lagi, sadari lagi.. Apakah sulit? Kalau anda tidak bisa menyadari.. ya sulit, karena sati atau kesadaran anda tidak dilatih. Pakailah... pakailah... latihlah. Sehari sekali duduk diam, setengah jam atau satu jam. Maka awareness/keawasan/kesadaran itu akan menjadi tajam. Dan anda bisa menyadari apa saja. Terutama mental perasaan, pikiran, ingatan yang mengganggu. Tidak usah diusir, tidak usah dicarikan mantra, tidak usah marah pada diri sendiri. Sadari saja, nanti hilang.
Saya menutup dengan cerita.
Akhir tahun ada rombongan orang-orang yang senang kebathinan datang ke Mendut, banyak sekali. Ada beberapa yang tidak pernah bertemu dengan bhikkhu, dan mungkin pertama kali. Saya ceritakan ini, ada yang mengerti sekali. Jadi mengatasi pikiran penyesalan, merasa bersalah dan sebagainya hanya mengetahui saja. Tidak dianalisa, tidak dicari dari mana datangnya, mengapa koq timbul pikiran begini. Ini baik atau buruk? Tidak usah. Hanya diketahui saja. Terutama pikiran dan perasaan yang mengganggu. Gak usah diusir, gak usah perang, diketahui saja nanti dia akan tenggelam/padam. Contohnya begini: Kalau ibu malam-malam mau tidur mendengar suara kresek... kresek... di luar. Oh... maling sepertinya. Ibu gak usah berantam cari senjata pistol, batu, dll. Tidak usah. Bagaimana? Buka pintu saja... dia kaget dan akan lari. Persis seperti itu mental kita. Tidak usah malingnya ditangkap, dikejar, dan dipukulin. Tidak usah. Hanya itu. Kadang-kadang buka pintu, malingnya itu kaget, kitanya juga kaget, kita diam.. malingnya juga diam langsung lari dia. Saya menggunakan bahasa yang mudah, anda tidak usah mengusir, membawa senjata, anda cukup mengetahui/memergok (ngonangi) maling itu saja. Pintu dibuka dor.... maling, lari dia. Bahkan di dalam vipassana, label maling tidak usah diberikan. Buka pintu saja, dor... lari dia. Tidak usah bilang maling kamu... Tidak usah.
Kalau ada pikiran senang timbul, ada umat yang bawa makanan enak atau bawa sumbangan lah untuk vihara. Wah ini ibu A, kalau bawa sumbangan ini pasti besar. Saya belum lihat, belum tahu sudah muncul senang. Nah kalau saya mempunyai latihan meditasi, saya mempunyai latihan kesadaran. Rasa senang yang muncul itu harus di-dor… Apa tidak perlu diberikan merek bhante “Senang Muncul”? Jangan. Loh kenapa bhante tidak boleh dikatakan senang, karena nanti senangnya tambah tajam. Kadar senang itu dipertajam dalam meditasi. Oh perasaan kayak gini muncul. Memang untuk menjelaskan kepada anda, untuk wacana saya mengatakan tidak senang muncul diawasi, senang muncul diawasi, suka muncul diketahui, tidak suka muncul diketahui, senang muncul diketahui, tidak senang muncul diketahui. TAPI DALAM PRAKTEK JANGAN DIBERI MEREK.
Ada amplop di sini datang. Bhante saya berdana. Oh pikiran kayak gini/perasaan kayak gini muncul. Ada datang orang bawa makanan yang enak. Oh perasaan kayak gini muncul, dia akan tenggelam. Ada orang bawa makanan tidak enak. Oh perasaan kayak gini muncul.. muncul.. nanti dia tenggelam. Kita membebaskan pikiran kita dari senang dan tidak senang. Karena senang bisa menimbulkan keserakahan, tidak senang bisa menimbulkan kebencian. Ingin menyingkirkan, ingin membuang. Kalau senang ingin mendapatkan lagi.. lagi.. lagi (keserakahan).
Di dalam wacana disebutkan pikiran benci muncul diketahui, perasaan senang muncul diketahui, pikiran jahat muncul diketahui, perasaan tidak senang muncul diketahui, dalam praktek jangan diberi label/jangan diberi nama. Hanya diketahui saja. Maling kamu….. Tidak usah. Hanya Hah (disadari)…… lari dia.
Lah bhante kalau tahunya itu pikiran sudah mengembara kemana-mana…. Baru Eh… pikiran. Sama seperti kalau anda melamun. Lalu eling, pada saat anda eling melamunnya bagaimana? Langsung stop!
Itu sama dengan kesadarannya lemah, malingnya sudah masuk rumah, ngambil tv ngambil vcd ngambil dompet segala macam lemari sudah diobrak-abrik. Tidur nyenyak….. lalu bangun baru “Hah… dor…” baru malingnya pergi dengan membawa barang-barang. Itu kesadaran kita lemah. Jarang dihadirkan, jarang dilatih. Kalau kesadaran kita kuat dan tajam bagaimana? Baru bunyi kresek… kresek… kita sudah “Hah…(ngonangi/mengetahui/mergoki )” dia (maling) langsung lari. Kalau kesadaran kita lemah ya… pikiran sudah merancang yang jahat, yang buruk, mau mencuri, mau mengambil, mau ngakalin atau segala macam, macam-macam… baru “Hah… (eling)” langsung pikiran berhenti.
Kesadaran membebaskan, tidak perlu ritual, tidak perlu upacara, tidak perlu tetek bengek, tidak perlu baptis, tidak perlu menjadi umat Buddha. Tetapi hadirkan kesadaran, karena kesadaran itu membebaskan dan sangat berguna. Termasuk membebaskan dari perasaan senang dan perasaan tidak senang.
Terima Kasih (Habis)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=374464424826
ditulis oleh Locky Thitasilo (Officer BUC Jakarta)
Logged
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~