Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB
memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan
medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus
Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli
2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara
pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
[sunting] Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang
bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto,
Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan
menyebabkan naiknya harga BBM.
[sunting] Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa
Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah
Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini
adalah direktur The Wahid Institute.
[sunting] Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai
presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku
yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang
lain. Beberapa kali ia mengalami serangan strok. Diabetes dan gangguan ginjal
juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi
penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani
hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan
pada arteri.[65] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di
Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[66]
[sunting] Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang
cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. [67]
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan
Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[5]
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI
sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[68] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi
Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi,
dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat
keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan
juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The
Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana.
Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus
Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[69]
Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti
Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan
lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The
Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang
RUU APP dengan kebebasan pers.[69]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang
bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan
tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli
terhadap persoalan HAM.[70][71] Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor
yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela
kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia
dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[70]
Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan
sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[70]
[sunting] Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)
dari berbagai lebaga pendidikan:
* Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat,
Bangkok, Thailand (2000)[72]
* Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
(2000)[72]
* Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan
Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis
(2000)[72]
* Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000) [73]
* Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[72]
* Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[72]
* Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel
(2003)[74]
* Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea
Selatan (2003)[72]
* Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Gus Dur dan masayarakat Tionghoa.
Pada tahun 1999, KH Abdurrahman Wahid menghimbau hendaknya warga
keturunan Cina yang telah mengungsi ke luar negeri secepatnya kembali. William
Soeryadjaya sengaja diundang oleh KH Abdurrahman Wahid ke rumahnya untuk
mengajak warga keturunan Cina yang telah lari ke luar negeri akibat musibah 13
dan 14 Mei 1998 tersebut, sebab menurut ucapan KH Abdurrahman Wahid: "untuk
mengajak kembali saudara-saudara kita yang sudah keluar negeri, tidak bisa
sembarang orang, karena itu mestinya yang memanggil mereka kembali, ya, Oom
William ini."
Dengan memperkenalkan pandangan dan tindakan sosok warga turunan Cina di bawah
ini, kita akan mendapat gambaran tentang sikap penduduk asli terhadap warga Cina
timbal balik.
Di sebelah Timur Jalan Muhammadiyah berhadapan dengan perguruan Muhammadiyah,
dahulu berdiri sebuah rumah warga keturunan Cina bernama Ho Eng Djie. Dahulu
Jalan Muhammadiyah masih disebut Diponegoro Weg. Jadi Diponegoro Weg dahulu
tegak lurus dengan Jalan Diponegoro yang sekarang. Ho Eng Djie juga disebut
dengan nama Baba' Lompo, karena ia anak sulung, jadi waktu kecilnya lebih besar
dari adik-adiknya. Lompo berarti besar dalam bahasa Makassar. Saudaranya yang
bungsu bernama Ho Eng GoE, dipanggil Baba' Ca'di. Dalam bahasa Makassar ca'di
artinya kecil, karena anak bungsu ini yang terkecil waktu masih anak-anak.
Waktu saya masih remaja biasa pergi kerumah Ho Eng Djie bersama-sama sepupu saya
Ruku' Dg Mappata' (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu
veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu). Di rumah Ho Eng Djie
terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap
lembar bertuliskan Kelong/Syair Mangkasara' hasil gubahannya dalam aksara
Lontara'. Menurut sejarah aksara Lontara' ini dikarang oleh Sabannara' Daeng
Pammatte. Sabannara' artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini adalah
syahbandar Kerajaan Gowa dahulu.
Pada era tahun 2000. Gus dur membuat suatu Kep Pres dimana masyarakat tionghoa,
dibebaskan dari pelakuan Diskriminasi dan Juga memberikan ruang peluang bagi
masyarakat Tionghoa untuk menikmati kebebasan berbagai bidang, Beliau juga turut
berjasa menghilangkan SKBRI, dan juga persamaan kedudukan politik terhadap kaum
minoritas di Indonesia.
Gus dur juga berjasa menghapus Kalimat " CINA" dan " "PRIBUMI". Sebagai kalimat
penghinaan, dan tidak bisa dipakai, dan mengubah menjadi "tionghoa" dan " Non
Tionghoa". beliau sangat berjasa Merubah sistem diskriminasi yang selama ini
ditanam oleh orde baru. Beliau melakukan penghapusan kalimat ini karena dianggap
menjadi GAP besar hubungan tionghoa dengan non tionghoa.
Beliau menyatakan Bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sehingga
kata "pribumi" tidak dapat digunakan karena beralasan Bahwa tidak ada satu suku
apapun memiliki tanah asli Indonesia.
Beliau merupakan Bapak Prulalisme BAngsa.
Gus Dur dan perdana menteri li Peng
Ketua Kongres Rakyat Nasional RRC Li Peng, Kamis (12/9) pagi, bertemu KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Shangri-La Hotel, Surabaya, sebelum (sorenya)
bertolak menuju Philipina dari Bandara Juanda.
Dalam pertemuan itu, Gus Dur didampingi Dr AS Hikam dan Ketua DPW PKB Jatim
Choirul Anam, sedangkan Li Peng yang juga mantan PM RRC didampingi empat staf
ahli politik luar negerinya, antara lain Lu Chenming dan Kan Tjeie serta Dubes
RRC untuk Indonesia Lu Shumin.
Li Peng memuji berbagai kebijakan Gus Dur-terutama yang menyangkut perlakuan
terhadap WNI keturunan Tionghoa- semasa menjadi presiden. "Saya dengar yang
mulia telah memberikan perbaikan terus menerus atas perlakuan terhadap WNI yang
berlatar belakang Tionghoa,"ujar Li Peng mengawali pembicaraannya.
Gus Dur pun langsung menimpali bahwa dirinya juga berlatar belakang China. "Saya
sendiri keturunan China dari marga Tan Kiem Han,"ujar Gus Dur disambut senyum Li
Peng.
Maksud kedatangan Gus Dur pagi itu, memang agak penting. "Saya datang kemari
untuk bertemu dengan yang mulia, karena ada sesuatu.yang penting," kata Gus Dur.
Penting karena, menyakut politik satu China dua sistem.
"Beberapa waktu lalu, saya mendapat undangan dari presiden Taiwan Djen Swie Deng
untuk berkunjung ke negerinya. Nah, sebelum saya berangkat, saya ingin minta
pendapat yang mulia apakah perlu saya berkunjung ke sana atau tidak," papar Gus
Dur.
Mendengar permintaan Gus Dur tersebut, Li Peng langsung memberikan komentar
pendek, "Tidak perlu. Saya anjurkan kepada yang mulia untuk tidak berkunjung ke
Taiwan," kata Li Peng.
Sebab, menurut pandangan Tiongkok, presiden Taiwan masih saja bersikukuh
mengembangkan paradigma dua Cina. Padahal Tiongkok sudah bulat memberlakukan One
China Policy. Hanya ada satu Cina.
Gus Dur sendiri, setelah mendengar pendapat Li Peng, langsung sepakat. "Kami
memang berpegang pada sikap Tingkok. Jika Tiongkok tidak memperbolehkan, kami
juga tidak akan berkunjung ke sana (Taiwan)," jawab Gus Dur sembari menandaskan
bahwa ke depan kerjasama antara Indonesia, Cina dan India harus semakin
dipererat untuk pertumbuhan ekonomi dan perdagangan kawasan Asia.
Pertemuan kedua tokoh dunia itu, berlangsung sekitar 20 menit. Pertemuan dengan
pemberian kenang-kenang berupa seperangkat barang antik dari Li Peng kepada Gus
Dur.
Ajak Ulama ke China
Sementara itu, di tempat terpisah, Bos PT Maspion Alim Markus berencana mengajak
12 ulama Jawa Timur (Jatim) untuk berkunjung ke China, antara tanggal 13 hingga
23 September mendatang. Informasi ini diperoleh dari Ketua PWNU Jatim Drs KH Ali
Maschan Moesa MSi, Kamis (12/9) kemarin.
Tujuan utama ajakan Alim Markus ini untuk lebih mempererat jalinan persahabatan
antara ulama Jatim dengan ummat Islam yang ada di China. Karena itu rencananya
para ulama Jatim yang terdiri dari NU, Muhammadiyah dan MUI ini akan berdialog
dengan sejumlah umat Islam di China.
"Rencananya Alim Markus akan mengajak sekitar 12 ulama untuk berangkat ke sana
(China, red). Ulama sebanyak itu sembilan diantaranya berasal dari ulama NU,"
jelas Ketua organisasi yang segera melakukan Konferwil di PP Miftahul Ulum
Al-Yasini Pasuruan, Oktober mendatang.
Sejumlah ulama NU itu adalah KH Idris Marzuki pengasuh PP Lirboyo Kediri, Gus
Ubaid Abdullah Faqih dari Langitan Tuban, KH Masduqi Mahfudz, Rois Syuriah PWNU
Jatim, dan KH Mas Subadar dari Pasuruan. Selain itu, KH Miftahul Akhyar dari
Surabaya, KH Nuruddin A Rahman asal Bangkalan, KH Anam Mansur dan KH Aziz Mansur
(keduanya dari Lirboyo Kediri) dan KH Imam Buchori yang berasal dari Madura.
Menurut rencana, selain mengunjungi dan mengadakan dialog dengan umat Islam di
beberapa propinsi di China yang mayoritas Islam, mereka juga akan berkunjung ke
makam Saad bin Abi Waqos dan melihat sejumlah situs bersejarah peninggalan Islam
di sana.
"Tidak hanya ulama NU yang diajak. Ulama dari Muhammadiyah dan pengurus Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Jatim juga ada. Semuanya akan berdialog dengan umat Islam
di China," ujar Ali Maschan. (Sumber: dutamasyarakat.com)
Pada Tahun 2000. Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia masih
keturunan dari Tan Kim Han, seorang Tionghoa muslim yang membantu Raden Patah
untuk merebut kekuasaan dari Kerajaan Majapahit dan mendirikan Kerajaan Demak.
Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis,
Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang
diketemukan makamnya di Trowulan.
Gus dur dan Kongfucu.
Agama Khonghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik
di Indonesia. Agama Khonghucu lazim dikaburkan makna dan hakikatnya dengan
Konfusianisme sebagai filsafat.
Agama Khonghucu di zaman Orde Baru
Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas
berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak
pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk
salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis
(dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian
diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk
agama kr****n atau Buddha. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan
tradisional Tionghoa juga terpaksa merubah nama dan menaungkan diri menjadi
vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha.
Agama Khonghucu di zaman Orde Reformasi
Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mencari kembali
pengakuan atas identitas mereka. Untuk memenuhi syarat sebagai agama yang diakui
menurut hukum Indonesia, maka beberapa lokalisasi dilancarkan menimbulkan
perbedaan pengertian agama Khonghucu di Indonesia dengan Konfusianisme di luar
negeri.
Gus Dur memberikan wewenang bagi penganut Agama Kong Fu Cu dapat menjalankan
ibadahnya tanpa ada tekanan apapun.