ikut nimplung yah...
ha ha ha..
berikut kisah:
Siha dan Makan Daging
Engkau akan bertemu dengan pertapa ke mana pun engkau pergi, tua, muda dan beberapa di antaranya wanita. Ada yang mengenakan jubah kuning, putih, ada yang telanjang. Kebanyakan hanya ingin berdiskusi tentang pertanyaan metafisika abstrak, tetapi ada juga yang bersungguh-sungguh mencari kehidupan Brahmana dan jalan menuju keabadian. Ada yang mengikuti seorang guru dan ada yang sendirian.
Mereka memperoleh makanan dan pakaian dengan meminta-minta, kadang-kadang mereka menemukan tempat berteduh, kadang tidak. Pada zaman itu juga ada aliran lain yaitu Kaum Nigantha yang diketuai oleh Nataputta. Doktrin utamanya adalah tidak membunuh dan tanpa kekerasan atau ahimsa, tetapi beberapa pengikutnya lebih cenderung kepada teori daripada pelaksanaannya. Seorang pengikutnya tidak makan karena mendapat makanan yang ada sekerat dagingnya, mereka harus hati-hati memilih rumah untuk meminta makanan. Di Vesali, Jenderal Siha adalah pengikut Nigantha yang setia, bagaimana bisa seorang jenderal pasukan 'mendamaikan' profesi membunuh yang memang kewajiban seorang prajurit dengan doktrin tanpa kekerasan, tidak melukai, atau ahimsa, aku tidak pernah mengerti.
Sang Buddha sedang berdiam di Kutagara-sala, Balai Beratap Runcing, yang terletak di pinggiran hutan yang membentang ke utara dari Vesali selama musim hujan setelah Sona menjadi anggota Sangha. Tempat ini tidak jauh dari desa dengan gubuk-gubuk bambu yang berlumpur dan ditutupi jerami, tetapi pohon palem, pohon pisang, dan pohon mangga tumbuh subur di sekitarnya, sementara para penduduk sangat akrab dengan gajah-gajah yang digunakan untuk menarik batang pohon dari hutan untuk dijadikan bangunan-bangunan besar seperti Kutagara-sala ini. Sejak persinggahan beliau yang agak lama di Vesali dulu, Sang Buddha menjadi terkenal di daerah tersebut dan ketika beliau kembali ke Vesali, para pengikut Nigantha yang masih muda menganggap beliau sebagai seorang pemimpin sebuah sekte yang merupakan saingan sekte mereka, yang dianggap lebih tua, sehingga mereka mencegah para anggota mereka untuk mengunjungi Guru baru tersebut.
Jenderal Siha yang rajin dan selalu bekerja keras ingin menjumpai Sang Buddha setelah mendapat berita tentang beliau. Dia mendengar ajaran Sang Buddha mengenai pelepasan diri dari ikatan duniawi, melepaskan diri dari segala aktifitas kehidupan ini. Bagi dia yang selalu mengutamakan kerja, tentu saja hal ini tidak mungkin. Baginya manusia lahir untuk bekerja. Suatu hari ketika bangsawan-bangsawan Licchavi berkumpul membicarakan Sang Buddha, mereka semuanya mengagungkan ajaran-Nya. Hal ini membuat ia semakin ingin tahu tentang orang suci yang dipanggil sebagai Buddha ini, yang senantiasa tinggal di pinggir kota, di antara gubuk-gubuk bambu dan kebun sayuran karena dia menyenangi ketenangan. Dia berpikir walaupun ajaran Sang Gautama bersifat heretikal, tidak ada salahnya untuk bertemu dan mendengarkan ajarannya. Kemudian ia menemui gurunya dan mengutarakan hasratnya untuk bertemu dengan Sang Gautama. "Bagaimana bisa kamu, yang percaya akan 'tindakan', pergi mengunjungi dan mendengarkan Sang Gautama, yang percaya akan 'tanpa tindakan'?" Pertanyaan gurunya membuat keinginannya lenyap seketika, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa adalah suatu kebodohan mengunjungi orang suci yang menganjarkan hal yang tak masuk akal.
Tetapi kemudian dia mendengar tentang sifat cinta kasih pertapa Gautama, ketenangan dan kebijaksanaannya. Dia menghadap gurunya untuk kedua kali dan kali ini pun dia dicegah dan keinginannya pun padam. Ketika ingin bertemu dengan Sang Buddha untuk ketiga kalinya, dia tidak lagi bertanya kepada gurunya. Dia mengendarai kereta kebesarannya dan dengan pembantunya menuju tempat Sang Buddha, kami sering melihatnya di jalanan Vesali, tetapi kami tidak pernah menyadari kekuatan dan kegagahannya. Dalam sifatnya yang blakblakan, dia mengemukakan sesuatu selalu langsung pada sasaran. "Saya telah mendengar teori 'tanpa tindakan' dan penerapannya dalam kehidupan para pengikut Anda. Saya yakin orang-orang tidak sembarangan berbicara mengenai Anda. Saya tidak menuduh Anda salah, saya hanya ingin langsung mengetahui darimu apakah berita itu memang benar." "Pada satu sisi saya mengajarkan 'tanpa tindakan'," jawab Sang Buddha tenang, "Dan pada sisi lain saya mengajarkan 'tindakan'." "Bagaimana Anda bisa mengajarkan keduanya?" tanya Siha. "Saya mengajarkan 'tanpa tindakan' dalam hal perbuatan, perkataan dan pikiran yang salah. Saya mengajarkan 'tindakan' dalam hal perbuatan benar, perkataan benar dan pikiran benar." Siha senang dengan jawaban itu, tetapi dia tidak segera puas. "Bagaimana dengan pembinasaan atau anihilasi? Orang-orang mengatakan Anda seorang annihilasionis." "Mereka benar," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Saya mengajarkan pembinasaan nafsu rendah, kebencian dan kemelekatan." Siha tertawa. Dia tidak akan mengunjungi Sang Buddha bila tidak ada perasaan ingin tahu, kemudian dia pun memohon agar diterima sebagai seorang pengikut. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Jenderal Siha. Jangan tinggalkan sekte Anda tanpa alasan kuat. Saya tidak bermaksud untuk menarik pengikut aliran lain, tetapi hanya untuk menunjukkan pada mereka cara membebaskan diri dari penderitaan. Introspeksi diri Anda dan ajaran saya sebelum Anda memutuskan untuk menjadi pengikut saya." "Saya sudah memikirkannya matang-matang." "Walaupun demikian, kembalilah, pertimbangkan sekali lagi. Penyelidikan sangat penting bagi orang penting seperti Anda." Siha kembali protes bahwa keputusannya sudah bulat. Tetapi Sang Bhagava berkata, "Tidak, pertimbangkanlah lagi. Dan saya harap apapun keputusanmu, kamu tidak akan berhenti membagikan makanan kepada Kaum Nigantha, karena makanan mereka tergantung pada kemurahan hatimu." Kata-kata ini menyadarkan Siha untuk memikirkannya kembali. "Tetapi apakah Sang Bhagava bersedia bersantap di rumah saya besok?" Dia bertanya. Sang Guru mengiyakan dan Siha meninggalkan beliau dengan sangat bersemangat. Dia bagaikan anak muda yang baru jatuh cinta dan dia memberitahukan kepada siapa saja tentang kunjungannya itu dan juga memberitahukan bahwa dia bukan lagi seorang Nigantha. Dia menyediakan makanan yang sama sekali berbeda dengan makanan yang disediakan untuk Nigantha. Dia memperhatikan bahwa anggota Sangha berbeda dengan Nigantha, sama sekali tidak menanyakan makanan apa yang diberikan di dalam mangkuk, tetapi menyatap semuanya walaupun mungkin ada daging di dalamnya, dan jamuan makan mewah yang ia sediakan untuk Sang Buddha mengandung daging. Beberapa kaum Nigantha mengetahui hal ini dan sewaktu kami sedang makan, seorang kurir masuk dan berbisik ke telinga Siha bahwa mereka akan mengelilingi jalan Vesali sambil berteriak, "Hari ini Jenderal Siha menyembelih hewan besar untuk dipersembahkan pada Sang Gautama dan Sang Gautama pun makan daging yang khusus disediakan untuknya. "Siha bangkit dengan marah. "Ini tidak benar," dia berteriak. "Sudah lama kaum Nigantha ingin menghina Sang Buddha tetapi mereka tidak dapat menyakitinya dan ini adalah fitnahan yang sia-sia."
bersambung...