//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)  (Read 5869 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« on: 27 September 2020, 06:03:58 PM »
Ini adalah terjemahan dari The Madhyama Āgama (Middle-Length Discourses) vol. II yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Analāyo dkk dari Taishō Tripitaka no. 26 (T 26). Volume II ini terdiri dari bagian 7-11 yang berisi kotbah 72-131. Berikut adalah terjemahan bagian ketujuh yang terdiri dari kotbah 72-86 (MĀ 72-86).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #1 on: 27 September 2020, 06:07:04 PM »
MADHYAMA ĀGAMA VOLUME II

Sebagai tindakan Dhammadāna, Bhikkhu Anālayo telah membebaskan
pembayaran atas terjemahan Madhyama Āgama
(Kotbah-Kotbah Menengah)
, Volume II-IV

Pendahuluan Volume II

Volume ini mewakili bagian kedua dari Madhyama Āgama (Kotbah-Kotbah Menengah) dalam BDK English Tripiṭaka (Seri Pertama). Volume I terjemahan ini muncul pada tahun 2013; sekarang, setelah tiga tahun karya yang lebih jauh, terjemahan tiga Volume sisanya telah diselesaikan.

Pendahuluan umum pada Volume I oleh Kepala Penyunting Marcus Bingenheimer (pp. xv–xxviii) menyediakan informasi latar belakang penting tentang topik-topik seperti genre kumpulan teks yang disebut as Āgama- Āgama and Nikāya- Nikāya; Madhyama-āgama secara khusus; perihal-perihal di mana Madhyama-āgama sampai diterjemahkan dari bahasa sumber India ke dalam bahasa Mandarin pada abad keempat Masehi, yang menghasilkan teks yang berjudul Zhong ahan jing (nomor 26 dalam edisi Taishō dari Tripiṭaka Mandarin); dan pada awal abad keduapuluh satu, tahap pertama proyek ini, yang akan menghasilkan sebuah terjemahan Inggris lengkap dari versi Mandarin.

Pendahuluan tambahan pada Volume II ini menjelaskan beberapa rincian tentang transisi dari tahap pertama menuju tahap kedua dan terakhir ini. Pendahuluan Volume III akan membahas padanan Pāli pada kotbah-kotbah Madhyama-āgama, dan pendahuluan Volume IV [akan membahas] bagian-bagian Madhyama-āgama.

Empat Volume, Dua Tim Penerjemah

Kumpulan yang disebut Madhyama-āgama terdiri atas dua ratus dua puluh dua kotbah yang dikelompokkan secara agak tidak teratur ke dalam delapan belas bagian. Tujuh puluh satu kotbah pertama dari kotbah-kotbah ini, yang membentuk bagian 1 sampai 6, diterjemahkan dalam Volume I (lihat Vol. I, Daftar Isi, pp. xi-xiii). Sisanya seratus lima puluh satu kotbah berada dalam Volume II (bagian 7-11), Volume III (bagian 11-14), dan Volume 15-18).

Pekerjaan penerjemahan dan penyuntingan untuk Volume I dilakukan oleh sebuah tim dari delapan orang (untuk rinciannya lihat Vol. I, Pendahuluan, p. xxv). Untuk Volume II sampai IV pekerjaan ini dilakukan oleh lima dari delapan orang penerjemah dan penyunting yang bekerja untuk volume pertama: Marcus Bingenheimer, William Chu, dan Shi Chunyin, bersama dengan Bhikkhu Anālayo dan Roderick S. Bucknell, yang berbagi peran sebagai penyunting keseluruhan. Salah satu tugas utama adalah untuk memeriksa dengan teliti semua draf terjemahan atas keakuratan, kekonsistenan istilah, dan gaya [bahasa] yang sesuai, serta untuk merevisinya di mana pun yang dianggap perlu.

Walaupun perhatian diambil untuk memastikan bahwa Volume II sampai IV secara umum mempertahankan kelanjutan istilah dan gaya [bahasa] dari Volume I, dua pengecualian telah dimasukkan. Ini layak untuk disebutkan di sini, tidak hanya untuk memberitahukan para pembaca, tetapi juga untuk menggambarkan jenis keputusan yang sulit yang sering harus diambil oleh para penerjemah teks Buddhis Mandarin.

Pengecualian pertama berhubungan dengan istilah Mandarin berpasangan jue and guan. Ini menunjuk pada dua faktor pertama dari absorpsi meditatif pertama (Pāli jhāna) dan berhubungan dengan istilah Pāli berpasangan vitakka and vicāra. Di Volume I jue and guan diterjemahkan sebagai “awal dan kelangsungan pikiran,” karena itu (atau sesuatu yang mirip) adalah bagaimana istilah Pāli yang berhubungan kadang kala diterjemahkan. Namun di Volume II sampai IV istilah jue and guan dalam konteks yang sama diterjemahkan sebagai “kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].” Kami meyakini frasa ini berhasil dalam menangkap makna kedua istilah itu ketika mereka digunakan di tempat lain dalam Madhyama-āgama Mandarin. Perubahan ini dibuat dengan pengakuan penuh bahwa terdapat suatu ketegangan antara tujuan kembar menghasilkan suatu terjemahan teks Mandarin yang tepat dan mempertimbangkan teks India yang mendasarinya.

Masalah muncul ketika seseorang menghasilkan suatu terjemahan Inggris dari sebuah terjemahan dari bahasa India aslinya (tentang masalah demikian lihat Roderick S. Bucknell, “Taking Account of the Indic Source-text,” dalam Konrad Meisig ed., Translating Buddhist Chinese, Problems and Prospects [Wiesbaden: Harrassowitz, 2010], pp. 45–52). Dalam mengenali tantangan-tantangan yang disajikan oleh suatu proses demikian, para penyunting telah mengikuti prinsip bahwa dalam kerangka kerja keseluruhan kerjasama, masing-masing mengambil perhatian khusus terhadap, dan tanggung jawab atas, salah satu dari dua dimensi proses penerjemahan. Dengan demikian, Roderick S. Bucknell telah memberikan perhatian khusus pada keakuratan terjemahan Inggris dalam mencerminkan teks-sumber Mandarin, sedangkan Bhikkhu Anālayo telah menekankan melihat bahasa India asli yang mendasarinya, dan juga menyediakan anotasi komparatif yang bersesuaian.  Diharapkan bahwa sebagai hasil dari kolaborasi, penerjemahan yang disajikan di sini memberikan keadilan bagi teks Mandarin seperti yang kita miliki sekarang dan bagi teks pendahulu India yang tidak ada lagi.

Pengecualian kedua pada prosedur penerjemahan diadopsi untuk Volume I berkaitan dengan rumusan familiar yang biasanya muncul pada akhir setiap kotbah. Dalam Volume I rumusan ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik,” dengan frasa “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa deskriptor lain, berdasarkan pendengar yang dirincikan. Namun dalam volume ini dan sisanya, frasa ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat” (lagi dengan “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa kata lain berdasarkan pendengarnya). Perbedaan dalam ungkapan ini mencerminkan ketidakpastian atas makna ungkapan Mandarin fengxing dalam konteks yang diberikan. Di Volume I fengxing dipahami sebagai bermakna “mengingat dengan baik”; di Volume II sampai IV, berdasarkan pembahasan yang disajikan oleh Bhikkhu Anālayo dalam Madhyama-āgama Studies (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2012), pp. 521–525, ini dipahami sebagai bermakna “menerima dengan hormat.”

Di antara beberapa perubahan lebih umum yang diperkenalkan dalam Volume II sampai IV yang patut dicatat berhubungan dengan kutipan kotbah-kotbah Pāli yang sepadan. Jika sebuah kotbah Madhyama-āgama memiliki padanan Pāli, maka dikutip dalam sebuah catatan akhir yang dilekatkan pada judul dari kotbah yang dikutip (untuk Volume II-IV kumpulan catatan kaki disusun oleh Bhikkhu Anālayo). Tiga buah informasi tentang kotbah yang sepadan diberikan: judul Pāli-nya; “tanda pengenal,” yang merincikan Nikāya dan nomor seri di dalamnya; serta volume dan halaman dalam edisi Pali Text Society (PTS). Yang kedua dari hal ini, tanda pengenal, adalah suatu hal baru yang tidak disediakan dalam Volume I. Ia menyampaikan informasi yang berguna – khususnya jika kotbah yang dikutip terletak dalam Saṃyutta-nikāya atau Aṅguttara-nikāya, karena dalam kasus-kasus demikian nomor seri berperan untuk mengidentifikasi  saṃyutta atau nipāta. Sebagai contoh, untuk Madhyama-āgama kotbah 73, “Tentang Para Dewa,” padanan Pāli-nya dikutip sebagai “AN 8.64,” yaitu, kotbah no. 64 dalam Aṅguttara Buku Delapan (Aṭṭhaka-nipāta). Penomoran semua kotbah Pāli mengikuti edisi PTS, suatu kebiasaan yang kadang kala tidak diikuti dalam terjemahan Inggris yang baru-baru ini diterbitkan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #2 on: 27 September 2020, 06:18:05 PM »
Bagian 7
Tentang Raja Usia Panjang

72. Kotbah tentang Riwayat Raja Usia Panjang
<1>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.
Pada waktu itu sejumlah bhikkhu dari Kosambī sedang bertengkar dan berselisih satu sama lain.<2> Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu dari Kosambī:

Para bhikkhu, janganlah bertengkar dan berselisih! Mengapakah demikian?
Jika seseorang [berusaha] menghentikan perselisihan dengan perselisihan,
Pada akhirnya ia tidak akan melihatnya berhenti.
Hanya dengan kesabaran, perselisihan dapat dihentikan.
Ini adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi.

Mengapakah demikian? Pada masa lampau yang jauh terdapat seorang raja Kosala bernama Usia Panjang, dan terdapat seorang raja Kāsi bernama Brahmadatta. Kedua raja ini selalu berselisih dan berperang satu sama lain. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala.

Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala juga mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Usia Panjang dari Kosala secara pribadi memimpin armada pasukannya keluar menuju perbatasan [antara kedua kerajaan]. Ia memerintahkan [armada pasukannya] berbaris dalam barisan perang dan bertempur, menghancurkan dan membinasakan [musuhnya].

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Brahmadatta – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan ia bahkan menangkap hidup-hidup Raja Brahmadatta dari Kāsi sendiri. Setelah menangkap Raja Brahmadatta, ia lalu membebaskannya, dengan berkata, “Engkau adalah seorang yang sedang menderita. Oleh sebab itu janganlah melakukan hal ini lagi!”

Kedua dan ketiga kalinya Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala. Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir, “Aku telah menaklukkan [Raja Brahmadatta].  Mengapakah aku perlu menaklukkannya lagi? Aku telah mengalahkannya. Mengapakah aku perlu mengalahkannya lebih jauh? Aku telah melukainya. Mengapakah aku perlu melukainya lagi? Bahkan dengan satu pukulan aku dapat mengalahkannya.”

Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang tetap tenang dan tidak lagi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan tidak secara pribadi [memimpin] mendekatnya [armada pasukannya]. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi dapat mendekati dan menghancurkan [musuhnya], dan ia menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Usia Panjang dari Kosala – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya.

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi mendekat dan menangkap seluruh armada pasukanku yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakiku.” Ia lebih lanjut berpikir, “Pertengkaran adalah sangat aneh! Pertengkaran adalah sangat jahat! Mengapakah demikian? Setelah menaklukkan, seseorang akan ditaklukkan lagi. Setelah mengalahkan, seseorang akan dikalahkan lagi. Setelah melukai, seseorang akan dilukai lagi. Biarlah aku sebaiknya pergi ke Benares, ditemani hanya oleh seorang istriku, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.” Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala berangkat menuju Benares, ditemani hanya oleh seorang istrinya, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.<3>

Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir lagi, “Biarkanlah aku sebaiknya pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang dari Kosala pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Usia Panjang. Guru Usia Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa pun yang harus dipelajari, aku sekarang telah memperolehnya. Biarlah aku pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong, serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Usia Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pelayan Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentang Guru Usia Panjang, [kalangan] menengah, ... [kalangan] dalam para pelayan dan brahmana penasihat (purohita) semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran. Ketika mendengar tentangnya, brahmana penasihat memanggilnya untuk datang dan berkunjung. Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di depannya dengan wajah ceria, ia memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, brahmana penasihat sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian brahmana penasihat berkata kepada Guru Usia Panjang, “Sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Guru Usia Panjang berkata, “Yang mulia, aku memiliki seorang istri, bagaimanakah dengannya?” Brahmana penasihat menjawab, “Guru, engkau dapat membawanya bersama untuk tinggal dalam rumahku bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] baginya [juga].” Kemudian Guru Usia Panjang membawa istrinya ke rumah brahmana penasihat untuk tinggal bergantung padanya, dan brahmana penasihat menyediakan [segala kebutuhan] bagi mereka.<4>

Belakangan istri Guru Usia Panjang, [yang sedang hamil,] mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, “Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.” Setelah memiliki pemikiran ini, istri Guru Usia Panjang berkata kepada suaminya. “Dalam pikiranku aku mengalami kesedihan dan kekhawatiran, dan aku memiliki pemikiran: ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’.”

Guru Usia Panjang berkata kepada istrinya, “Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian! Mengapakah? Kita telah dihancurkan oleh Raja Brahmadatta. Sayangku, untuk tujuan apakah engkau ingin melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus, [dan mengapakah engkau berpikir]: ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’?” Istrinya menjawab, “[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tak diragukan lagi.”

Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di hadapannya dengan wajah sedih, memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan. Ketika mendengarnya brahmana penasihat tidak bergembira.<5>

Atas hal ini brahmana bertanya, “Guru, sebelumnya engkau berdiri di hadapanku dan, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya aku sangat bergembira dan terhibur. Mengapakah engkau sekarang berdiri di hadapanku dengan wajah sedih dan memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan, sedemikian sehingga ketika mendengarnya aku tidak bergembira? Guru Usia Panjang, apakah tubuhmu tidak menderita penyakit? Apakah pikiranmu tidak bersedih dan khawatir?”

Guru Usia Panjang menjawab, “Yang mulia, tubuhku tidak menderita [penyakit], tetapi pikiranku sedang bersedih dan khawatir. Yang mulia, istriku mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.’

“Aku menjawab istriku, ‘Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian. Mengapakah? Mempertimbangkan situasi kita sekarang, sayangku, untuk tujuan apakah engkau pergi melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus; [mengapakah engkau berpikir:] ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang?’

“Istriku menjawab, ‘[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tidak diragukan lagi.’ Yang mulia, jika istriku tidak sepenuhnya sehat, aku tidak [dapat] bekerja dengan baik.”

Brahmana penasihat bertanya, “Guru, dapatkah aku mengunjungi istrimu?” [Guru Usia Panjang] menjawab, “Anda dapat mengunjunginya, yang terhormat.”

Kemudian brahmana penasihat, ditemani oleh Guru Usia Panjang, mendekati sang istri.

Pada waktu itu istri Guru Usia Panjang sedang mengandung seorang putra yang bajik. Brahmana penasihat, melihat bahwa istri Guru Usia Panjang sedang mengandung putra yang bajik, berlutut dengan lutut kanannya pada lantai, merentangkan tangannya dengan telapak tangannya disatukan terhadap istri Guru Usia Panjang, dan berkata tiga kali, “Seorang raja Kosala akan lahir, seorang raja Kosala akan lahir!” Ia memerintahkan para pelayannya, “Jangan biarkan seseorang pun mengetahui hal ini!”

Brahmana penasihat berkata, “Guru, janganlah bersedih atau khawatir. Aku dapat memastikan bahwa istri anda dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, dan kemudian ia akan dapat meminum air dari penajaman pedang.”

Kemudian brahmana penasihat pergi menemui Raja Brahmadatta dari Kāsi. Ketika tiba ia berkata, “Baginda seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Semoga Baginda memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan secara perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan [upacara] penajaman pedang dalam air. Semoga Baginda sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya. Baginda, melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kepala armada pasukan, “Petugas, engkau seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Petugas, segeralah memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan penajaman pedang dalam air. Aku sendiri akan pergi keluar untuk menyaksikannya. Melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian kepala armada pasukan, ketika menerima perintah ini dari raja, memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya melakukan penajaman pedang dalam air. [Raja] Brahmadatta sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya.

Sebagai akibatnya, istri Guru Usia Panjang dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urusan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, menunjukkan kekuatan armada pasukan itu. Ia juga dapat meminum air dari penajaman pedang. Setelah ia minum air dari penajaman pedang, kesedihan dan kekhawatiran lenyap dan ia segera melahirkan seorang putra yang bajik. Ketika ia diberi nama, ia disebut Pangeran Kehidupan Panjang. Ia dipercayakan kepada orang [lain] untuk membesarkannya secara diam-diam dan perlahan-lahan tumbuh dewasa.

Seperti raja ksatria yang dinobatkan yang memerintah di dunia setelah memperoleh wilayah yang luas, Pangeran Kehidupan Panjang [mempelajari] berbagai jenis keahlian, seperti menunggangi gajah dan menunggangi kuda, menjinakkan dan mengendalikannya, memacu, menembak untuk olahraga, bertinju, melempar jaring dan melempar pengait, mengendarai kereta perang, dan mengendarai kereta kuda. Ia menguasai semua keahlian yang bagus dengan cara ini dan memenangkan berbagai jenis kontes yang halus. Ia tiada taranya di dunia dalam keteguhan hati dan terkemuka dalam kecerdasannya. [Walaupun ia tetap] merahasiakan dan menyembunyikan diri dengan baik, namun tiada yang tidak ia kuasai sepenuhnya.<6>

Kemudian [Raja] Brahmadatta mendengar bahwa Raja Usia Panjang dari Kosala telah mengubah namanya, dengan menjadi seorang “guru”, dan sedang berdiam di kota Benares.<7> [Raja] Brahmadatta memerintahkan para petugasnya, “Para petugas, segera pergilah dan tangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, ikat tangannya di belakangnya, dudukkan ia di atas seekor keledai, dan pukullah sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai. Setelah mengumumkan perintah ini secara luas, bawalah ia melalui pintu gerbang selatan, dudukkan ia di bawah sebuah papan tanda, dan tanyailah ia dengan ketat.”

Setelah menerima perintah ini, para petugas dengan cepat pergi dan menangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, mengikat tangannya di belakangnya, mendudukkannya di atas seekor keledai dan, dengan memukul sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai, mereka mengumumkan perintah itu secara luas dan membawanya melalui gerbang selatan. Mendudukkannya di bawah sebuah papan tanda, mereka menanyainya dengan ketat.<8>

Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang mengikuti ayahnya, dengan berdiam di belakangnya atau pada sisi kiri atau kanannya. Ia berkata kepada ayahnya, “Baginda, janganlah takut! Baginda, janganlah takut! Aku di sini. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu.”

Raja Usia Panjang dari Kosala menjawab, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya berlatih cinta kasih.”

Orang-orang mendengar Raja Usia Panjang mengucapkan kata-kata ini dan bertanya kepada raja, “Apakah yang kamu katakan?”

Raja menjawab orang-orang itu, “Pangeran ini adalah cerdas; ia pasti akan memahami kata-kataku.”

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, perbuatlah jasa dengan melatih kedermawanan dan dedikasikan kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: ‘Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!’”

Kemudian para keluarga mulia di kota Benares, ketika dimohon oleh Pangeran Kehidupan Panjang, berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!”

Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar bahwa para keluarga mulia di Benares berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala, dengan mengatakan: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!” Ketika mendengar hal ini ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. [Ia berkata,] “Apakah ini tidak menyebabkan para keluarga mulia di kota Benares ini memberontak melawanku? Biarlah aku menyelesaikan masalah ini! Biarlah aku sekarang, pertama-tama, dengan segera mengakhiri masalah ini!”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan para pelayannya, “Segera pergilah dan bunuh Raja Usia Panjang dari Kosala! Potonglah ia menjadi tujuh bagian!” Setelah menerima perintah ini, para pelayan dengan segera pergi dan membunuh Raja Usia Panjang dari Kosala dan memotongnya menjadi tujuh bagian.

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, lihatlah ini! Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, para yang mulia. Dengan kain sutra baru bawalah bersama-sama [sisa-sisa tubuh] ayahku. Minyakilah tujuh bagian jenazah itu semuanya dengan wewangian. Kumpulkan kayu wangi, kremasikan beliau, dan letakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.

“Sampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta atas namaku: ‘Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini, “Apakah engkau tidak takut bahwa keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?”’”

Kemudian, didorong oleh Pangeran Kehidupan Panjang, para keluarga mulia di kota Benares membawa bersama-sama sisa-sisa tubuh [raja] dengan menggunakan kain sutra baru, membawa tujuh bagian jenazahnya dan meminyakinya semuanya dengan wewangian. Mereka mengumpulkan kayu wangi, mengkremasinya, dan meletakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.<9>

Kemudia mereka menyampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta: “Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini: ‘Apakah engkau tidak takut bahwa para keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?’”

Kemudian istri Raja Usia Panjang [yang berduka] berkata kepada Pangeran Kehidupan Panjang, “Engkau seharusnya mengetahui bahwa Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahmu, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, Pangeran. Biarlah kita meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Jika engkau tidak pergi, engkau akan bertemu malapetaka.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #3 on: 27 September 2020, 06:31:17 PM »
Kemudian istri Raja Usia Panjang dan Pangeran Kehidupan Panjang meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang berpikir, “Biarlah aku sebaiknya sekarang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Pangeran Kehidupan Panjang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Kehidupan Panjang.

Guru Kehidupan Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa yang harus dipelajari sekarang telah kugapai. Biarlah aku kembali ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pengikut Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentangnya, [kalangan] menengah para pengikut, ... [kalangan] dalam para pengikut, dan brahmana penasihat semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran; dan demikian juga Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang memanggilnya untuk datang dan berkunjung.<10>

Guru Kehidupan Panjang mendekati Raja Brahmadatta dari Kāsi dan, berdiri di hadapannya dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, Raja Brahmadatta dari Kāsi sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepadanya, “Guru, sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku; aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang tinggal bergantung pada Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang menyediakan [segala kebutuhan] baginya.

Belakangan [raja] mempercayai Guru Kehidupan Panjang dan, dengan cara menugaskannya suatu tanggung jawab, raja menyerahkannya pedang [yang menyimbolkan jabatan] pengawal.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kusirnya, “Persiapkanlah kereta, aku ingin pergi berburu.” Ketika menerima perintah ini, kusir langsung mempersiapkan kereta. Ketika ini telah siap, ia kembali dan berkata, “Kereta telah dipersiapkan dan siap melayani Baginda.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi, bersama dengan Guru Kehidupan Panjang, pergi keluar [dari Benares], dengan mengendarai kereta itu. Guru Kehidupan Panjang berpikir, “Raja Brahmadatta dari Kāsi ini adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Biarlah aku sekarang mengendarai kereta dengan cara sedemikian sehingga ia menjadi terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.” Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengarahkan kereta itu sehingga ia terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.

Pada saat ini Raja Brahmadatta dari Kāsi, setelah menjumpai bagian jalan yang berlumpur dan tertekan oleh angin panas, merasa menderita dan kehausan. Lelah dan berharap untuk berbaring, ia turun dari kereta dan, menggunakan lutut Guru Kehidupan Panjang sebagai bantal, ia beristirahat.

Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Raja Brahmadatt dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengeluarkan pisau tajamnya, memegangnya pada leher Raja Brahmadatta dari Kāsi, dan berkata, “Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’.” Mengingat hal ini, [Guru Kehidupan Panjang] menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi sedang bermimpi di mana ia melihat hal ini, “Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, sedang memegang sebilah pisau tajam pada leherku, berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu’.” Ketika melihat hal ini, ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Ia begitu terkejut sehingga ia terbangun. Terbangun, ia berkata kepada Guru Kehidupan Panjang, “Engkau harus mengetahui bahwa dalam mimpiku aku melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, memegang sebilah pisau tajam pada leherku dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu, sekarang aku akan membunuhmu’.”

Ketika mendengar hal ini, Guru Kehidupan Panjang berkata, “Baginda janganlah takut! Baginda janganlah takut! Mengapakah demikian? Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala itu, adalah diriku sendiri.<11> Baginda, aku berpikir demikian: ‘Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.’

“Baginda, aku mengeluarkan pisau tajamku, memegangnya pada leher anda, dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.’ Baginda, aku berpikir lagi, ‘Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia sedang didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih”.’ Mengingat hal ini, aku menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.”

Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, engkau berkata hal ini, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! – Aku memahami makna hal ini. [Tetapi,] Pangeran, engkau juga berkata, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ – apakah makna dari hal ini?”

Pangeran Kehidupan Panjang menjawab, “Baginda, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ bermakna seperti ini, [apa yang sedang kulakukan sekarang].”

Ketika mendengar hal ini, Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, sejak sekarang seluruh kerajaan kukuasai diberikan kepadamu, dan kerajaan awal ayahmu dikembalikan kepadamu. Mengapakah demikian? Apa yang telah engkau lakukan – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Ketika mendengar hal ini, Pangeran Kehidupan Panjang berkata, “Kerajaan awal Baginda milik Baginda. Kerajaan awal ayahku dapat dianggap telah dikembalikan [kepadaku].”<12>

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi kembali dengan kereta bersama dengan Pangeran Kehidupan Panjang. Ia memasuki kota Benares, duduk di aula utama, dan berkata kepada menterinya, “Para menteri, jika kalian melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, apakah yang akan kalian lakukan?”

Ketika mendengar hal ini, beberapa menteri berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong tangannya.” Yang lain berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong kakinya.” Yang lain lagi berkata, “Aku akan membunuhnya.”
Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepada para menterinya, “Para menteri, jika kalian ingin melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, inilah dia. Janganlah memunculkan kehendak jahat terhadap pangeran ini! Mengapakah demikian? Apa yang telah dilakukan pangeran ini – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan agar Pangeran Kehidupan Panjang dimandikan seperti layaknya seorang raja, diminyaki dengan wewangian raja, dipakaikan pakaian kerajaan, dan duduk di atas sebuah tahta emas. Kemudian ia menikahkan putrinya dengan pangeran dan mengizinkannya kembali ke kerajaannya sendiri.

Para bhikkhu, semua penguasa, para raja ksatria yang dinobatkan, adalah para pemimpin kerajaan-kerajaan besar. Dalam memerintah kerajaan mereka, mereka sendiri melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; mereka sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; mereka sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Para bhikkhu, kalian juga seharusnya seperti demikian. Setelah meninggalkan rumah demi keyakinan dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan, kalian seharusnya melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; diri kalian sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; diri kalian sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Terhadap hal ini, beberapa orang bhikkhu [di Kosambī] yang mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha menjawab, “Sang Bhagavā adalah guru Dhamma [tetapi] biarlah beliau sekarang, untuk sementara, berhenti [ikut campur]. Mereka [dari kelompok lain] sedang memberitahukan kami apa yang harus dilakukan. Apakah kami [juga] tidak memberitahukan mereka apa yang harus dilakukan?”<13>

Kemudian Sang Bhagavā tidak bergembira dengan perilaku para bhikkhu dari Kosambī, dengan sikap mereka, dengan pelatihan mereka, atau dengan praktik mereka. Beliau bangkit dari tempat duduk beliau dan mengucapkan syair-syair ini:

Dengan sedikit kata-kata yang terucap
Mereka membelah Sangha yang paling dihormati.
Ketika Sangha yang mulia terbelah,
Tiada seorang pun dapat menegur dan menghentikan mereka.

[Raja Kāsi] membunuh [raja Kosala] dengan memotong tubuhnya;
Merebut gajah, hewan ternak, kuda, dan harta bendanya;
Menghancurkan kerajaannya, memusnahkannya sepenuhnya.
[Namun,] seperti di masa lampau, ia mencapai perdamaian.

Tetapi kalian, karena ucapan celaan sepele,
Tidak dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika kalian tidak mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Bagaimanakah belenggu kebencian dapat dipadamkan?

Dengan banyak ucapan cacian, hardikan, dan celaan,
Seseorang [masih] dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika ia mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Belenggu kebencian pasti dapat dipadamkan.

Jika seseorang [berusaha] mengakhiri perselisihan dengan perselisihan,
Ia tidak akan melihatnya berakhir.
Hanya melalui kesabaran seseorang dapat mengakhiri perselisihan.
Prinsip ini seharusnya dihormati.

Marah terhadap seorang bijaksana dan manusia sejati,
Mengucapkan kata-kata yang tidak bertanggung jawab,
Mencaci maki seorang bijaksana mulia –
Seseorang yang melakukan hal ini direndahkan dan bodoh,
[Berpikir,] “Orang lain tidak memahami apa yang penting;
Hanya aku sendiri yang dapat mengetahuinya!”

[Namun,] jika seseorang dapat memahami apa yang penting,
Maka kemarahannya akan padam.
Jika seseorang menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan juga melatih apa yang bermanfaat,
Masing-masing dapat melepaskan pemikiran tetapnya
Seraya mereka bergembira dalam selalu membantu satu sama lain.

Jika seseorang tidak menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan melatih hanya apa yang bermanfaat,
Maka [daripada] seperti seorang raja yang memerintah kerajaannya dengan tegas,<14>
Jadilah bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.

Berlatih sendiri, dengan tidak melakukan kejahatan,
Bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.
Berlatih sendiri, dengan melakukan apa yang bermanfaat dan unggul,
Menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

[Jika seraya] berlatih, seseorang tidak menemukan seorang teman yang bajik,
Seseorang yang sama dengannya [dalam sikap],
Maka ia seharusnya berniat teguh untuk berdiam sendirian,
Dengan menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

Ketika Sang Bhagavā telah mengucapkan syair-syair ini, beliau meninggalkan [tempat itu], dengan mengadakan perjalanan melalui angkasa dengan kekuatan batin beliau, dan beliau tiba di desa Bālakaloṇakāra.<15> Pada saat itu Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, sedang berada di desa Bālakaloṇakāra. Siang dan malam ia tidak mengantuk; ia dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan.<16>

Yang Mulia [Bhagu], putra orang Sakya, melihat Sang Buddha datang dari kejauhan. Ketika melihat beliau, [Bhagu] mendekat untuk menyambut beliau. Ia membawakan jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha serta mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha dan air untuk mencuci kaki beliau. Sang Buddha, setelah mencuci kakinya, duduk pada tempat duduk [yang dipersiapkan] oleh Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya. Setelah duduk, beliau berkata, “Bhikkhu Bhagu, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya lagi, “Bhikkhu Bhagu, dengan cara bagaimanakah engkau dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu menjawab, “Sang Bhagavā, siang dan malam aku tidak mengantuk; aku dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan. Sang Bhagavā, dengan cara ini aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”<17>

Sang Bhagavā berpikir, “Anggota keluarga ini sedang berdiam dengan nyaman. Biarlah aku mengajarkannya Dharma.” Setelah berpikir demikian, beliau mengajarkan Dharma kepada Yang Mulia Bhagu, dengan mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah mengajarkannya Dharma dengan berbagai cara terampil, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Sang Buddha] bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan [tempat itu], menuju Hutan Rakkhitavana.<18> Memasuki Hutan Rakkhitavana, beliau pergi ke bawah sebatang pohon, membentangkan alas duduknya, dan duduk bersila.

Sang Bhagavā lebih lanjut berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari para bhikkhu Kosambī itu dengan perselisihan-perselisihan mereka yang sering terjadi, sikap saling bermusuhan, membenci, dan kemarahan mereka, pertengkaran mereka di antara mereka sendiri. Aku tidak bergembira dalam mengingat daerah itu, tempat di mana para bhikkhu Kosambī berdiam.”

Tepat pada saat itu terdapat seekor gajah besar, pemimpin kawanan gajah, yang telah meninggalkan kawanannya dan, dengan mengembara sendirian, datang ke Hutan Rakkhitavana. Memasuki Hutan Rakkhitavana, ia pergi menuju sebatang pohon sāla yang mengagumkan dan berdiri bersandar pada pohon sāla yang mengagumkan itu.

Kemudian gajah besar itu berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari kawanan gajah itu – para gajah betina, gajah jantan, anak gajah besar dan kecil. Kawanan gajah itu selalu berjalan di depanku, menginjak-injak rumput dan membuat air menjadi berlumpur. Pada waktu itu aku harus makan rumput yang terinjak-injak dan minum air berlumpur. Sekarang aku dapat makan rumput segar dan air jernih.”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pengetahuan atas pikiran makhluk lain, mengetahui pemikiran dari pikiran gajah itu. Beliau mengucapkan syair-syair itu:

Seekor gajah seperti para gajah [lainnya],
Dengan tubuh sempurna dan diberkahi dengan gading.
Pikiran seseorang juga seperti pikiran-pikiran [orang lain],
Jika ia bergembira dalam berdiam sendirian di hutan.

Kemudian Sang Bhagavā membawa jubah dan mangkuk beliau dan pergi dari Hutan Rakkhitavana menuju Hutan Pācīnavaṃsa. Pada waktu itu terdapat tiga orang anggota keluarga yang tinggal bersama di Hutan Pācīnavaṃsa: Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Para yang mulia itu sedang berlatih dengan cara ini.<19>

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali pertama kali dari mengumpulkan dana makanan akan mengatur tempat-tempat duduk, mengambil air, dan meletakkan perlengkapan untuk mencuci kaki: alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Jika ia dapat menghabiskan makanan yang telah ia terima, ia akan menghabiskannya, tetapi jika terdapat sisa makanan ia akan menaruhnya di dalam sebuah wadah dan menutupnya. Setelah menyelesaikan makannya, ia akan menyimpan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali terakhir dari mengumpulkan dana makanan akan memakan semua makanan itu jika ia dapat melakukannya, dan jika makanan itu tidak cukup, ia akan mengambil dari makanan yang sebelumnya tersisa dan memakannya sampai ia merasa cukup. Jika masih terdapat sisa makanan, ia akan mengosongkannya pada tanah kosong atau ke dalam air yang tidak mengandung makhluk hidup.

Ia akan mengambil perlengkapan makan dan, setelah mencucinya dengan bersih dan menyekanya, ia akan menaruhnya pada satu sisi. Ia akan mengumpulkan dan menggulung alas duduk dan menyimpan perlengkapan untuk mencuci kaki, mengumpulkan alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Setelah menyapu aula makan dan memercikinya [dengan air], sehingga lantai bersih dan bebas dari sampah, ia akan menyimpan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.<20>

Pada sore hari, jika yang pertama dari para yang mulia ini bangkit dari duduk bermeditasi melihat bahwa kendi air atau mangkuk mandi kosong dari air, ia akan membawanya dan pergi mengambil [air]. Jika ia bisa, ia akan membawanya kembali dan menempatkannya pada satu sisi.

Jika ia tidak bisa [membawa kendi air yang penuh], ia akan memberi isyarat dengan tangannya pada bhikkhu lain, dan keduanya akan membawanya bersama dan menempatkannya pada satu sisi, tanpa berbicara satu sama lain, tanpa bertanya apa pun satu sama lain. Sekali dalam lima hari para yang mulia ini akan berkumpul mendiskusikan Dhamma bersama-sama atau mempertahankan keheningan luhur.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #4 on: 27 September 2020, 06:36:14 PM »
Kemudian penjaga taman [Hutan Pācīnavaṃsa], yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menghentikan beliau, dengan berkata, “Pertapa, pertapa, janganlah memasuki taman ini. Mengapakah demikian? Dalam taman ini terdapat tiga orang anggota keluarga, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Jika mereka melihat anda, mereka mungkin menolak.”

Sang Bhagavā berkata, “Penjaga taman, jika mereka melihatku, mereka pasti akan mengizinkan. Mereka tidak akan menolak.”<21>

Kemudian Yang Mulia Anuruddha, yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menegur penjaga taman itu, dengan berkata, “Janganlah menolak Sang Bhagavā, penjaga taman! Janganlah menghentikan Sang Sugata! Mengapakah demikian? Ini adalah [guru] mulia kami yang datang; ini adalah Sang Sugata kami yang datang.”

Yang Mulia Anuruddha datang keluar untuk menyambut Sang Bhagavā. Ia membawa jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha. Yang Mulia Nandiya mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha, dan Yang Mulia Kimbila membawakan air untuk Sang Buddha.

Pada waktu itu Sang Buddha, setelah mencuci tangan dan kakinya, duduk pada tempat duduk yang dipersiapkan oleh yang mulia itu. Setelah duduk, beliau bertanya, “Anuruddha, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya, “Anuruddha, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

[Sang Buddha] bertanya kepada Yang Mulia Nandiya [pertanyaan yang sama dan mendapat] jawaban yang serupa. Kemudian [Sang Buddha] juga bertanya kepada Yang Mulia Kimbila, “Apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

[Sang Buddha] bertanya, “Kimbila, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

Sang Bhagavā memuji mereka:

Bagus, bagus, Anuruddha! Dengan cara ini engkau selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu. Apakah engkau [juga] mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, dengan cara ini selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu, kami mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan. Sang Bhagavā, aku mencapai cahaya [internal] dan kemudian penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, engkau belum menembus tanda itu, yaitu tanda mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk. Maka penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] segera lenyap kembali.

Sebelumnya, Anuruddha, ketika aku belum mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku juga mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku telah mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.”
[Aku berpikir demikian,] “Apa yang tidak ada di dunia ini,<22> dapatkah aku melihatnya dan mengetahuinya?” Keragu-raguan ini, kekotoran ini, muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran keragu-raguan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya perhatian muncul. Karena kekotoran kurangnya perhatian ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya perhatian juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul.<23> Karena kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelambanan dan ketumpulan muncul. Karena kekotoran kelambanan dan ketumpulan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelambanan dan ketumpulan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul. Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu kuat, sehingga lalat itu akan mati, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul.<24> Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran semangat berlebihan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu longgar, sehingga lalat itu akan terbang menjauh, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya semangat juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran ketakutan muncul. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang mengadakan perjalanan sepanjang suatu jalan didekati dari keempat arah oleh para pencuri jahat. Setelah melihat mereka [mendekat], orang itu ketakutan dan bergemetar, dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Dengan cara yang sama, Anuruddha, kekotoran ketakutan muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, dan kekotoran ketakutan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang awalnya telah mencari suatu harta karun tersembunyi menemukan empat harta karun tersembunyi.<25> Setelah melihat [harta karun itu] ia memunculkan kegirangan. Dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #5 on: 27 September 2020, 06:45:57 PM »
Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kegirangan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keangkuhan muncul.<26> Karena kekotoran keangkuhan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran keangkuhan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran persepsi keberagaman muncul. Karena kekotoran persepsi keberagaman ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, kekotoran keangkuhan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran persepsi keberagaman juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul.<27> Karena kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, kekotoran keangkuhan tidak seharusnya muncul, kekotoran persepsi keberagaman tidak seharusnya muncul, dan kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk.

Anuruddha, jika kekotoran keragu-raguan muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya; jika kekotoran kurangnya perhatian, ... kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi, ... kelambanan dan ketumpulan, ... semangat berlebihan, ... kurangnya semangat, ... ketakutan, ... kegirangan, ... keangkuhan, ... persepsi keberagaman, ... tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku akan melatih tiga [tingkatan] konsentrasi:<28> [aku akan] melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]; [aku akan] melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]; [aku akan] berlatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].”

Kemudian, Anuruddha, aku melatih tiga [tingkatan] konsentrasi ini: aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]; aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]; dan aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].

Jika aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].

Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini. Jika aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku menyadari tanda cahaya [internal] [tetapi] tidak menyadari tanda bentuk-bentuk, maka pada waktu itu aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh penglihatan bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh penglihatan bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku menyadari tanda bentuk-bentuk, maka aku tidak menyadari tanda cahaya [internal]. Pada waktu itu aku memperoleh [penglihatan] bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal].”<29>

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh [penglihatan] bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku memasuki konsentrasi terbatas, maka karena memperoleh konsentrasi terbatas, mata [internal] memiliki kemurnian terbatas. Karena mata [internal] memiliki kemurnian terbatas, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku memasuki konsentrasi tanpa batas, maka karena memperoleh konsentrasi tanpa batas, mata [internal] memiliki kemurnian tanpa batas. Karena mata [internal] memiliki kemurnian tanpa batas, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, jika kekotoran keragu-raguan muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya; jika kekotoran kurangnya perhatian, ... kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi, ... kelambanan dan ketumpulan, ... semangat berlebihan, ... kurangnya semangat, ... ketakutan, ... kegirangan, ... keangkuhan, ... persepsi keberagaman, ... tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya.

Ketika melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh.
Ketika melatih konsentrasi yang tersendiri, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang beranekaragam, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang terbatas, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang tanpa batas dan tak terukur, aku melatihnya secara penuh.<30>

Aku membangkitkan pengetahuan dan penglihatan yang sepenuhnya jernih dan murni, dan aku maju menuju konsentrasi yang berkembang. Dengan penuh semangat mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan, aku mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #6 on: 27 September 2020, 06:55:58 PM »
73. Kotbah tentang Para Dewa<31>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Hutan Beting di negeri Ceti.
Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Pada masa lampau, ketika aku belum mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan [secara internal] cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk<32> Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan kemudian melihat bentuk-bentuk. Namun, aku tidak bertemu para dewa tersebut, tidak bertukar salam dengan mereka, tidak berbicara dengan mereka, dan tidak mendapatkan tanggapan dari mereka.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; dan [aku berharap] bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk, serta kemudian aku bertemu para dewa itu, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka. Namun, aku tidak mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, atau [sifat] kelahiran mereka.<33>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; [aku berharap] bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, mendapatkan tanggapan mereka, dan mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; dan aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka. Namun, aku tidak mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri atau apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; serta mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; serta aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami. Namun, aku tidak mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; serta mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; serta aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir. Namun, aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini.<34>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; serta mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; serta aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini. Namun, aku tidak mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu.<35>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; serta mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; serta aku mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu. Namun, aku tidak mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu; mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; aku mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu; serta aku mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak.

Selama aku belum dengan sepenuhnya mengetahui delapan jalan ini, aku tidak dapat menyatakan dengan pasti telah mencapainya.

[Karena] aku juga tidak memahami telah mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku tidak dapat melampaui dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana; dan aku juga tidak dapat terbebaskan melalui berbagai pembebasan. Aku tidak terpisahkan dari semua penyimpangan dan tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ketika aku telah sepenuhnya mengetahui delapan jalan ini, maka aku dapat menyatakan dengan pasti telah mencapainya.
[Karena] aku juga memahami telah mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku melampaui dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana; dan aku juga terbebaskan melalui berbagai pembebasan. Aku terpisahkan dari semua penyimpangan dan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
« Last Edit: 27 September 2020, 06:57:59 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #7 on: 27 September 2020, 07:05:24 PM »
74. Kotbah tentang Delapan Pemikiran<36>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga.

Pada saat itu, Yang Mulia Anuruddha sedang berdiam di Hutan Beting di negeri Ceti. Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddha sedang duduk bermeditasi di suatu tempat yang sunyi, dengan merenung. Ia memiliki [tujuh] pemikiran ini dalam pikirannya:

Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.

Kemudian, dengan pengetahuan [luar biasa] atas pikiran orang lain Sang Bhagavā mengetahui pemikiran, perenungan, dan aktivitas pikiran Yang Mulia Anuruddha. Setelah mengetahui hal ini memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai, [semudah dan secepat] seperti seseorang yang kuat dapat membengkokkan dan meluruskan lengannya, dengan cara yang sama Sang Bhagavā lenyap dari Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga dan muncul di hadapan Yang Mulia Anuruddha di Hutan Beting di negeri Ceti.

Sang Bhagavā bangkit dari [keadaan] konsentrasi dan memuji Yang Mulia Anuruddha:

Bagus, bagus, Anuruddha bahwa, seraya duduk bermeditasi di suatu tempat sunyi, dengan merenung, engkau memiliki [tujuh] pemikiran ini: “Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.”

Anuruddha, engkau seharusnya menerima dari Sang Tathāgata pemikiran kedelapan seorang manusia agung. Setelah menerimanya, renungkanlah! “Sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi; bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.”

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini, engkau pasti akan dapat mencapai [empat jhāna]: “Terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat.”

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaanyang memiliki sebuah peti bagus yang dipenuhi berbagai jenis pakaian: kapan pun ia ingin memakainya pada pagi hari, ia mengambil dan mengenakannya; kapan pun ia ingin memakainya pada siang hari atau pada sore hari, ia mengambil dan mengenakannya, secara bebas menurut keinginannya.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam jubah kain usang yang engkau peroleh akan bagimu menjadi pakaian terbaik dan pikiranmu akan tanpa keinginan ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaan yang memiliki seorang kepala tukang masak yang baik [yang menyiapkan] berbagai jenis makanan dan hidangan yang murni, enak, dan lezat.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam dana makanan di mana engkau secara teratur mengumpulkannya akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua makanan dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaan yang memiliki sebuah rumah indah atau istana bertingkat.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, di bawah pohon di mana engkau berdiam akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua rumah dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri yang memiliki dipan dan tempat duduk indah, berlapiskan kain wol, dihiasi dengan brokat dan kain sutera bagus, dengan seprai bergaris-garis dan dilapisi dengan kapas, dan dengan bantal [terbuat dari] kulit antelop pada kedua ujungnya.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam tempat duduk dari rumput atau tempat duduk dari dedaunan akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua tempat duduk dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka, jika engkau mengembara seperti ini ke arah timur, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari dukacita oleh berbagai penderitaan. Jika engkau mengembara ke arah selatan, ... arah barat, ... arah utara, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari dukacita oleh berbagai penderitaan.<37>

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka aku tidak mengatakan bahwa engkau akan [semata-mata] mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, apalagi aku mengatakan bahwa engkau akan mengalami kemunduran; sebaliknya engkau akan, pada siang dan malam, berkembang dalam keadaan-keadaan bermanfaat dan tidak akan mengalami kemunduran.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka engkau pasti akan mencapai salah satu dari dua buah: engkau akan mencapai pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika terdapat sisa [kemelekatan], engkau akan mencapai yang tidak-kembali. Anuruddha, engkau seharusnya terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini dan engkau seharusnya mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan. Setelah itu, habiskanlah masa pengasingan musim hujan di Hutan Beting di negeri Ceti ini.

Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan Dharma kepada Yang Mulia Anuruddha, mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah dengan tak terhitung cara terampil mengajarkan Dharma kepada Anuruddha, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Sang Buddha] memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai ini, [semudah dan secepat seperti] seseorang yang kuat dapat membengkokkan dan meluruskan lengannya, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Beting di negeri Ceti dan muncul di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga.

Kemudian Yang Mulia Ānanda, yang memegang bulu pengusir lalat, melayani Sang Buddha. Kemudian Sang Bhagavā, setelah bangkit dari [keadaan] konsentrasi, melihat ke sekeliling dan berkata, “Ānanda, siapa pun bhikkhu yang berada di sekitar Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra, suruhlah mereka semua berkumpul di aula perkumpulan. Ketika mereka berkumpul di aula pertemuan, kembalilah dan beritahukan aku.”

Setelah menerima instruksi dari Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha] dan pergi mengumumkan perintah bahwa semua bhikkhu semuanya harus berkumpul di aula pertemuan. Ketika mereka telah berkumpul di aula pertemuan, ia kembali kepada Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki beliau, dan, dengan berdiri pada satu sisi, berkata, “Sang Bhagavā, semua bhikkhu di sekitar Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra semuanya sekarang berkumpul di aula pertemuan. Semoga Sang Bhagavā sendiri mengetahui waktu yang tepat.”

Kemudian Sang Bhagavā pergi ke aula perkumpulan, ditemani oleh Yang Mulia Ānanda. Beliau membentangkan alas duduknya di hadapan perkumpulan bhikkhu dan duduk. Setelah duduk, beliau berkata,<38> “Para bhikkhu, aku sekarang akan mengajarkan kalian delapan pemikiran seorang manusia agung. Dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik!”

Kemudian para bhikkhu mendengar untuk menerima ajaran itu.

Sang Buddha berkata:

Delapan pemikiran seorang manusia agung adalah sebagai berikut: “Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi. Sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi; bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.”

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu? Ini bermakna bahwa ketika seorang bhikkhu telah mencapai ketiadaan nafsu, ia sendiri mengetahui bahwa ia telah mencapai ketiadaan nafsu tetapi ia tidak membiarkan orang lain mengetahui, “Aku tanpa nafsu.” Ketika ia telah mencapai kepuasan, ... telah mencapai usaha, ... telah mencapai perhatian benar, ... telah mencapai konsentrasi benar, ... telah mencapai kebijaksanaan, ... dan telah mencapai ketiadaan proliferasi, ia sendiri mengetahui bahwa ia telah mencapai ketiadaan proliferasi dan nafsu tetapi ia tidak ingin membiarkan orang lain mengetahui, “Aku telah mencapai ketiadaan [proliferasi dan] nafsu.” Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan? Ini bermakna bahwa ketika seorang bhikkhu melatih kepuasan dengan menggunakan jubah [hanya] untuk menutupi kerangka fisiknya dan memakan [hanya secukupnya] makanan untuk memenuhi [kebutuhan] jasmani.<39> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu melatih keterasingan dengan menyempurnakan dua jenis keterasingan, keterasingan jasmani dan batin.<40> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu selalu berlatih dengan usaha untuk meninggalkan [keadaan-keadaan] jahat dan tidak bermanfaat serta mengembangkan keadaan-keadaan bermanfaat, dengan gigih membangkitkan pikirannya, secara terpusat dan mantap, tanpa meninggalkan tugas itu, demi kepentingan [mengembangkan] akar-akar yang bermanfaat. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan perasaan, ... keadaan pikiran, ... dan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal.<41> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu berdiam terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu berdiam dalam mengembangkan kebijaksanaan, dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dharma-dharma, mencapai pengetahuan seperti ini, kebijaksanaan mulia yang secara cemerlang menembus, pemahaman yang membedakan, demi pelenyapan dukkha sepenuhnya. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi, bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi? Ini bermakna bahwa pikiran seorang bhikkhu selalu memadamkan proliferasi dan menikmati berdiam dalam nirvana tanpa sisa.<42> Pikirannya selalu bergembira dalam kediaman ini, bergembira dalam kebebasan batin. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi, bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.

Para bhikkhu, bhikkhu Anuruddha telah terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini. Kemudian ia akan menghabiskan masa pengasingan musim hujan di Hutan Beting di negeri Ceti, setelah menerima ajaran ini dariku.

[Anuruddha] berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Setelah berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, [Anuruddha] menyempurnakan kehidupan suci tertinggi, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah karena keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan dan sepenuhnya mencapai puncak kehidupan suci. Dalam kehidupan ini juga, ia secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Kemudian Yang Mulia Anuruddha menjadi seorang arahant, pikirannya terbebaskan sepenuhnya, dan ia menjadi seorang sesepuh terkemuka. Pada waktu itu ia mengucapkan syair-syair ini:

Mengetahui dari jauh perenunganku,
Sang Guru Agung dunia,
Dengan tubuhnya tegak, pikirannya memasuki konsentrasi,
Melintasi angkasa, beliau tiba dengan segera.<43>

Beliau mengajarkanku tentang [tujuh] pemikiran dalam pikiranku
Dan kemudian menambahkan satu lagi:
Bahkan semua Buddha bergembira dalam ketiadaan proliferasi,
Jauh dari segala proliferasi.

Setelah mengetahui Dharma dari beliau,
Dengan gembira berkembang dalam Dharma sejati,
Aku mencapai konsentrasi dan kebijaksanaan yang menembus:
“Apa yang harus dilakukan dalam ajaran Buddha telah dilakukan.”<44>

Aku tidak bergembira dalam kematian
Dan aku tidak berharap untuk terlahir kembali.

Menurut waktu yang tepat,
Berkembang dalam perhatian benar dan pemahaman benar,
Di sebuah hutan bambu di Vesālī
Kehidupanku akan berakhir.

Di bawah pohon-pohon bambu di hutan itu
Aku akan mencapai nirvana akhir tanpa sisa.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #8 on: 27 September 2020, 07:17:02 PM »
75. Kotbah tentang Jalan Menuju Ketanpa-gangguan Murni<45>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kuru, di kota Kuru [bernama] Kammāssadhamma.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kenikmatan indria adalah tidak kekal, tidak nyata, palsu, bersifat palsu, yang sesungguhnya bersifat ilusi, menipu, dan delusif. Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang – semua ini adalah wilayah Māra;<46> mereka sesungguhnya umpan Māra, di mana karenanya tidak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan suatu rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan, “Sang Bhagavā telah mengajarkan bahwa kenikmatan indria adalah tidak kekal, tidak nyata, palsu, bersifat palsu, yang sesungguhnya bersifat ilusi, menipu, dan delusif.

“Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang – semua ini adalah wilayah Māra; mereka sesungguhnya umpan Māra, karena disebabkan mereka tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Ia merenungkan demikian, “Biarlah aku mencapai suatu keadaan pikiran yang berlimpah dan berdiam di dalamnya, dengan mengatasi keduniawian [dengan] mengendalikan pikiranku, lalu dengan cara ini tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, tidak akan muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Dengan cara latihan ini, dengan cara pelatihan ini, dengan mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu.

Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan pertama jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian, “Jika terdapat bentuk-bentuk materi, mereka semuanya [terbentuk] dari empat unsur dan apa yang diturunkan dari empat unsur.<47> Empat unsur adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan kedua jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia merenungkan demikian, “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”

Pada waktu itu ia pasti akan mencapai persepsi ketanpa-gangguan. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyuruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan ketiga jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia merenungkan demikian, “Persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, dan persepsi ketanpa-gangguan – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”<48>

Pada waktu itu ia akan mencapai persepsi kekosongan. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyuruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju <kekosongan> di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai <landasan kekosongan>.<49> Ini disebut penjelasan pertama jalan menuju kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan, “Dunia ini adalah kosong, kosong dari diri dan apa pun yang menjadi milik diri, kosong dari apa pun yang kekal, kosong dari kelangsungan yang berkesinambungan, kosong dari yang tidak berubah.”<50>

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju landasan kekosongan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan kekosongan. Ini disebut penjelasan kedua jalan menuju landasan kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian, “Aku bukan milik yang lain dan aku tidak memiliki kepemilikan sendiri.”<51>

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju landasan kekosongan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan kekosongan. Ini disebut penjelasan ketiga jalan menuju landasan kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian: “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi ketanpa-gangguan, dan persepsi landasan kekosongan – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”<52>

Pada waktu itu ia akan mencapai [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi. Ini disebut penjelasan jalan menuju landasan kekosongan murni.

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang mengipasi Sang Buddha. Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih demikian: “Tidak ada aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah lebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam,” dan ia mencapai keseimbangan [dengan berlatih dengan cara ini]. Sang Bhagavā, apakah seorang bhikkhu yang berlatih dengan cara ini pada akhirnya mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā menjawab, “Ānanda, hal ini tidak pasti. Terdapat beberapa yang mencapainya; terdapat beberapa yang tidak mencapainya.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, [melalui] berlatih dengan cara apakah seorang bhikkhu tidak mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih dengan cara ini: “Tidak [ada] aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah terlebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam,” dan ia mencapai keseimbangan [dengan berlatih dengan cara ini]. Ānanda, jika bhikkhu itu bergembira dalam keseimbangan itu, melekat pada keseimbangan itu, berkembang dalam keseimbangan itu, maka, Ānanda, dengan berlatih dengan cara ini bhikkhu itu pasti tidak akan mencapai nirvana akhir.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu memiliki kemelekatan demikian, maka [apakah] ia tidak akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, jika seorang bhikkhu memiliki kemelekatan demikian, ia pasti tidak akan mencapai nirvana akhir.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, pada apakah bhikkhu itu melekat?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dalam latihannya terdapat sisa [kemelekatan], yaitu, pada landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Di antara [keadaan-keadaan] kelangsungan, ini adalah yang terunggul, dan bhikkhu itu melekat padanya.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jadi [apakah] bhikkhu itu berlatih dengan sisa kemelekatan?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dengan cara ini bhikkhu itu sesungguhnya berlatih dengan sisa kemelekatan.”
Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, dengan berlatih dengan cara apakah seorang bhikkhu pasti akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih dengan cara ini: “Tidak [ada] aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, dan apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah terlebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam” dan ia [dengan demikian] mencapai keseimbangan. Ānanda, jika bhikkhu itu tidak bergembira dalam keseimbangan itu, tidak melekat pada keseimbangan itu, tidak berkembang dalam keseimbangan itu, maka, Ānanda, dengan berlatih dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai nirvana akhir.

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu tidak melekat pada apa pun, maka apakah ia pasti akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, jika seorang bhikkhu tidak melekat pada apa pun, ia pasti akan mencapai nirvana akhir”

Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā telah menjelaskan jalan menuju ketanpa-gangguan murni, beliau telah menjelaskan jalan menuju landasan ketiadaan murni, beliau telah menjelaskan jalan menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi, beliau telah menjelaskan nirvana tanpa sisa.<53> Sang Bhagavā, apakah pembebasan mulia?”

Sang Bhagavā menjawab:

Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan dengan cara ini: “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi ketanpa-gangguan, persepsi landasan kekosongan, dan persepsi [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan. Ini disebut kelangsungan orang itu sendiri (sakkāya). Jika terdapat kelangsungan orang itu sendiri, [maka] terdapat kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.”

Ānanda, jika terdapat realitas ini – padamnya sepenuhnya, lenyapnya tanpa sisa, tidak ada kelangsungan lebih jauh – maka tidak akan ada kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

Seorang [siswa] mulia merenungkan demikian: “Jika ini ada, ini pasti memiliki sifat pembebasan. Jika terdapat nirvana tanpa sisa, itu yang disebut keabadian.” Dengan perenungan demikian dan pandangan demikian ia pasti akan mencapai pembebasan pikiran dari noda-noda kenikmatan indria, pembebasan pikiran dari noda-noda kelangsungan dan dari noda-noda ketidaktahuan. Terbebaskan, ia mengetahui ia terbebaskan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, aku sekarang telah menjelaskan kepada kalian jalan menuju ketanpa-gangguan murni, aku telah menjelaskan jalan menuju landasan kekosongan murni, aku telah menjelaskan jalan menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi, aku telah menjelaskan nirvana tanpa sisa, dan aku telah menjelaskan pembebasan mulia.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang guru untuk para siswanya demi belas kasih agung, kebaikan, simpati, dan perhatian, dengan mencari manfaat dan kesejahteraan mereka, mencari keamanan dan kebahagian mereka, itu telah kulakukan sekarang.

Kalian juga seharusnya melakukan tugas kalian. Pergilah dan duduk bermeditasi dan merenung di suatu tempat yang terpencil, di dalam hutan, di bawah sebatang pohon dan tempat yang tenang. Janganlah lalai, lakukan usaha yang tekun, agar kalian tidak [menjadi] menyesal kelak. Inilah instruksiku, inilah pengajaranku!”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #9 on: 27 September 2020, 07:20:01 PM »
76. Kotbah di Ukkācelā<54>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Ukkācelā, di tepi sebuah kolam di dekat Sungai Gangga.

Pada waktu itu, pada sore hari seorang bhikkhu tertentu bangkit dari duduk bermeditasi, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia berkata:

Semoga Sang Bhagavā dengan baik mengajarkanku Dharma. Setelah mendengarkan Dharma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Melalui berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, semoga aku menyempurnakan kehidupan suci, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan dan mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci. Semoga aku, dalam kehidupan ini juga, secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Semoga aku mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Sang Bhagavā berkata:<55>

Bhikkhu, engkau seharusnya berlatih dengan cara sedemikian sehingga pikiran menjadi tenang, menyisakan ketanpa-gangguan di dalam, dengan mengembangkan faktor-faktor bermanfaat yang tak terukur. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik, sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.<56>

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dikembangkan dengan baik ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, ketika duduk, ketika berbaring, ketika pergi tidur, ketika bangun, dan ketika baik tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan,<57> dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.<58>

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah perasaan sebagai perasaan secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dikembangkan dengan baik ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan ketika baik tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan; dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dengan baik dikembangkan ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan baik ketika tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan, dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dengan baik dikembangkan ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan baik ketika tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan, dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, bhikkhu, engkau seharusnya berdiam meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, engkau seharusnya berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Dengan cara yang sama, engkau harus memenuhi pikiranmu dengan belas kasih, ... dengan kegembiraan empatik, ... dan dengan keseimbangan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan; engkau seharusnya berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Para bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, jika engkau mengembara ke arah timur, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari berbagai penderitaan dan dukacita. Jika engkau mengembara ke arah selatan, ... arah barat, ... [atau] arah utara engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari berbagai penderitaan dan dukacita.<59>

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, maka, aku tidak mengatakan bahwa engkau akan [hanya] mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, apalagi bahwa engkau akan mengalami kemunduran; sebaliknya [aku mengatakan] bahwa engkau akan, pada siang dan malam, berkembang dalam keadaan-keadaan bermanfaat ini tanpa kemunduran.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, maka engkau pasti akan mencapai salah satu dari dua buah: engkau akan mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, [jika] terdapat sisa [kemelekatan], engkau akan mencapai yang tidak-kembali.<60>

Kemudian bhikkhu itu, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, setelah menerimanya dengan baik dan mengingatnya dengan baik, bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi.

Mengingat instruksi dari Sang Buddha, ia berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Melalui berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, ia menyempurnakan kehidupan suci, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian dan mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci. Dalam kehidupan ini juga ia secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan serta berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Yang mulia itu, setelah memahami Dharma, menjadi seorang arahant.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #10 on: 27 September 2020, 07:28:49 PM »
77. Kotbah tentang Tiga Anggota Keluarga di Sāketa<61>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāketa, di Hutan Anjana.

Pada waktu itu di Sāketa terdapat tiga anggota keluarga, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini bersama-sama.

Pada waktu itu Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu:

Tiga anggota keluarga ini, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini, apakah tiga anggota keluarga ini bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Kemudian semua bhikkhu berdiam diri dan tidak menjawab.

Kedua dan ketiga kalinya Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu:

Tiga anggota keluarga ini, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini, apakah tiga anggota keluarga ini bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Kedua dan ketiga kalinya semua bhikkhu berdiam diri lagi dan tidak menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā sendiri bertanya kepada tiga anggota keluarga itu, dengan berkata kepada Yang Mulia Anuruddha:

Kalian tiga anggota keluarga baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini. Anuruddha, apakah kalian semua bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Demikianlah, Sang Bhagavā. Kami bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini.”

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, engkau dalam kemudaanmu, engkau adalah pemuda, dengan rambut hitam sepenuhnya dan jasmani yang sehat. Engkau [bisa saja] bergembira dalam rekreasi, bergembira dalam mandi dengan sering dan menghiasi tubuh, dikelilingi oleh para sana keluarga dan orang tua yang menyayangimu, yang dengan ratap tangis dan air mata tidak berharap engkau untuk pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan.

[Namun] engkau dapat mencukur rambut dan janggutmu, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan. Anuruddha, engkau tidak berlatih dalam sang jalan karena takut terhadap raja-raja, atau takut terhadap para perampok, atau takut terhadap hutang, atau ketakutan-ketakutan lainnya, maupun engkau berlatih dalam sang jalan karena engkau takut terhadap kemiskinan dan ketidakmampuan mencari nafkah. Bukankah ini alih-alih karena engkau bosan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita dan kesedihan dan berharap untuk melampaui kumpulan besar dukkha ini? Anuruddha, bukankah karena pemikiran demikian sehingga engkau pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan?

[Yang Mulia Anuruddha] menjawab, “Demikianlah.”

[Sang Buddha berkata,] “Anuruddha, jika seorang anggota keluarga pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan karena pemikiran demikian, apakah ia mengetahui jalan untuk mencapai tak terhitung keadaan bermanfaat?”

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini dan, setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, jika seseorang diliputi oleh nafsu dan dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, maka ia tidak mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi. Ketika pikirannya memunculkan ketamakan, permusuhan, serta kelambanan dan ketumpulan, pikiran memunculkan ketidakpuasan, jasmani menjadi lesu, dan ia makan berlebihan dan menjadi gundah.

Seorang bhikkhu demikian tidak dapat menahan rasa lapar dan haus, dingin dan panas, nyamuk, serangga pengganggu, lalat dan kutu, serta gangguan oleh angin atau matahari. Ia juga tidak dapat menahan [menerima] ucapan jahat atau dipukuli dengan tongkat. [Jika] jasmani mengalami semua jenis penyakit, sedemikian menyakitkan sehingga ia berharap untuk mengakhiri hidupnya, atau apa pun [hal lain] yang tidak diinginkan – semua itu tidak dapat ia tanggung.

Mengapakah demikian? Karena ia diliputi oleh keinginan indria dan dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia tidak dapat mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi.

Jika ia terasing dari keinginan indria dan tidak dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi. Kemudian pikiran tidak akan memunculkan ketamakan, permusuhan, serta kelambanan dan ketumpulan. Pikiran tidak akan memunculkan ketidakpuasan, jasmani tidak akan menjadi lesu, dan ia tidak akan makan berlebihan dan menjadi gundah.

Seorang bhikkhu demikian dapat menahan rasa lapar dan haus, dingin dan panas, nyamuk, serangga pengganggu, lalat dan kutu, serta gangguan oleh angin dan matahari. Ia juga dapat menahan [menerima] ucapan jahat atau dipukuli dengan tongkat. Ketika jasmani mengalami semua jenis penyakit, sedemikian menyakitkan sehingga ia berharap untuk mengakhiri hidupnya, atau apa pun [hal lain] yang tidak diinginkan – semua itu dapat ia tanggung.

Mengapakah demikian? Karena ia tidak diliputi oleh nafsu dan tidak dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi.

Sang Bhagavā bertanya, “Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgatha menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa, dan menolak beberapa?”<62>

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, bukan karena Sang Tathāgata belum melenyapkan noda-noda dan kekotoran yang adalah akar penjelmaan yang akan datang, yang mengakibatkan dukacita dan penderitaan, yang adalah sebab kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian; serta bukan karena beliau tidak memiliki pengetahuan [telah mencapai pembebasan] sehingga beliau menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa, dan menolak beberapa.

Anuruddha, hanya karena jasmani ini, enam landasan indria, dan daya hidup sehingga Sang Tathāgata menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa dan menolak beberapa. Anuruddha, ini adalah alasan mengapa Sang Tathāgata menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa dan menolak beberapa.<63>

Sang Bhagavā bertanya:

Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan, bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi?<64>

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.
Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, bukan karena Sang Tathāgata berharap untuk mencapai apa yang belum beliau capai, berharap untuk memperoleh apa yang belum beliau peroleh, berharap untuk merealisasikan apa yang belum beliau realisasikan sehingga beliau berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.

Anuruddha, untuk dua alasan Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi. Pertama adalah demi tujuan kediaman yang menyenangkan untuk diri beliau sendiri di sini dan saat ini. Kedua adalah karena beliau memiliki belas kasih terhadap generasi-generasi mendatang, dengan berpikir, “Mungkin generasi-generasi mendatang akan mengikuti teladan Sang Tathāgata dan berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.”

Anuruddha, untuk alasan-alasan ini Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.

Sang Bhagavā bertanya:

Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgata menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian”?

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, Sang Tathāgata tidak mengatakan hal ini untuk membuat orang-orang tertarik. Bukan untuk menipu orang-orang, atau demi harapan untuk membuat orang-orang senang, sehingga beliau menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian”

Anuruddha, Sang Tathāgata melakukan hal ini hanya agar para anggota keluarga pria dan wanita yang murni dan berkeyakinan, yang memiliki keyakinan besar dan ketaatan besar, dapat mengembangkan kegembiraan besar, sehingga ketika mendengar Dharma dan disiplin sejati ini mereka mungkin berharap untuk mengikuti teladan-teladan ini, cukup seperti itu. Adalah untuk alasan ini sehingga [Sang Tathāgata] menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir di tempat demikian.”

Seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia pada tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengar dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.” Setelah mendengar hal itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutnya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawanannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”
Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhuni Anu telah meninggal dunia dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.” Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhu Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah; bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhu Anu telah meninggal di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #11 on: 27 September 2020, 07:33:02 PM »
Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhuni Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan mendengar bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan mendengar bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa seorang umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam wanita itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam wanita itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, untuk alasan ini Sang Tathāgata menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa beberapa terlahir kembali di tempat demikian, dan beberapa [lainnya] terlahir kembali di tempat demikian.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #12 on: 27 September 2020, 07:44:46 PM »
78. Kotbah tentang Undangan Brahmā kepada Sang Buddha<65>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, tinggal di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu terdapat Brahmā tertentu yang berdiam di alam Brahmā yang memunculkan pandangan salah ini: “Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, dan agung.”

Kemudian Sang Bhagavā, yang dengan pengetahuannya atas pikiran orang lain mengetahui pemikiran dalam pikiran Brahmā itu, memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai ini, [semudah dan secepat] seperti seseorang yang kuat membengkokkan dan meluruskan lengannya, beliau lenyap dari Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika di Sāvatthī, dan muncul di alam Brahmā.

Pada waktu itu, ketika melihat Sang Bhagavā tiba, Brahmā itu mengundang Sang Bhagavā:

Selamat datang, Pertapa Agung! Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, agung.

Kemudian Sang Bhagavā berkata:

Brahmā, engkau memuji sebagai kekal apa yang tidak kekal; engkau memuji sebagai abadi apa yang tidak abadi; engkau memuji sebagai bertahan apa yang tidak bertahan; engkau memuji sebagai intisarinya apa yang bukan intisarinya; engkau memuji sebagai yang bersifat tanpa akhir apa yang bersifat [akan] berakhir. Engkau memuji sebagai pembebasan apa yang bukan pembebasan, [dengan menyatakan] bahwa tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, bahwa ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu.

Pada waktu itu, Māra, Si Jahat sedang berada di antara perkumpulan itu.<66> Kemudian Māra, Si Jahat, berkata kepada Sang Bhagavā:

Bhikkhu, janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini! Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, ini akan seperti seseorang membawakanmu sesuatu yang menguntungkan tetapi engkau menolaknya. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, engkau akan seperti seseorang yang jatuh dari puncak gunung dan menangkap ruang kosong dengan tangan dan kakinya tetapi tidak menemukan apa pun untuk berpegangan. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, engkau akan seperti seseorang yang jatuh dari puncak pohon dan menangkap ranting-ranting dan dedaunan dengan tangan dan kakinya tetapi tidak menemukan apa pun untuk berpegangan. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Mengapakah demikian? Ini adalah Brahmā dari para Brahmā, yang berbahagia, yang mampu melakukan keajaiban-keajaiban. Ia adalah yang paling dihormati, dapat membuat, dapat menciptakan. Ia adalah ayah [semua makhluk hidup]; apa pun makhluk hidup yang telah muncul atau akan muncul, semuanya muncul dari dirinya. Ia mengetahui semua yang dapat diketahui; ia melihat semua yang dapat dilihat.

Pertapa Agung, jika seorang pertapa atau brahmana jijik terhadap [unsur] tanah dan mencela tanah, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah. Hal yang sama untuk [unsur] air, … api, … [dan] angin, … untuk para makhluk halus … dewa … Pajāpati, … jika ia jijik terhadap Brahmā dan mencela Brahmā, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah.

[Sebaliknya,] jika seorang pertapa atau brahmana bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji tanah, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para Brahmā yang tertinggi dan paling dihormati.

Hal yang sama untuk [unsur] air, … api, … [dan] angin, … untuk para makhluk halus … dewa … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para Brahmā yang tertinggi dan paling dihormati. Pertapa Agung, apakah engkau tidak melihat perkumpulan besar pengiring Brahmā ini, yang duduk di sini pada posisi yang sama sepertiku?

Māra, Si Jahat itu, walaupun bukan seorang Brahmā atau salah seorang dari pengiring Brahmā, menyatakan dirinya sendiri, “Akulah seorang Brahmā.”

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berpikir demikian, “Māra, Si Jahat ini, walaupun ia bukan seorang Brahmā atau salah seorang dari pengiring Brahmā, menyatakan dirinya sendiri, ‘Akulah seorang Brahmā.’ Jika sesungguhnya terdapat seseorang yang disebut Māra, Si Jahat, maka ini hanyalah Māra, Si Jahat ini.”

Setelah memahami hal ini, Sang Bhagavā berkata:

Māra, Si Jahat, engkau bukanlah Brahmā ataupun engkau bukan salah seorang dari pengiring Brahmā, tetapi engkau menyatakan dirimu sendiri, “Akulah Brahmā.” Jika sesungguhnya terdapat seseorang yang disebut Māra, Si Jahat, maka engkau hanyalah Māra, Si Jahat.

Kemudian Māra, Si Jahat, berpikir, “Sang Bhagavā mengetahuiku; Sang Sugata melihatku.” Mengetahui hal ini, ia menjadi putus asa dan langsung menghilang tepat di sana.<67>

Kemudian Brahmā itu mengundang [lagi] Sang Bhagavā sampai tiga kali:

Selamat datang, Pertapa Agung. Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, agung.

Sang Bhagavā juga berkata sampai tiga kali:

Brahmā, engkau memuji sebagai kekal apa yang tidak kekal; engkau memuji sebagai abadi apa yang tidak abadi; engkau memuji sebagai bertahan apa yang tidak bertahan; engkau memuji sebagai intisarinya apa yang bukan intisarinya; engkau memuji sebagai yang bersifat tanpa akhir apa yang bersifat [akan] berakhir. Engkau memuji sebagai pembebasan apa yang bukan pembebasan, [dengan menyatakan] bahwa tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, bahwa ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu.

Kemudian Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, dahulu terdapat para pertapa dan brahmana dengan masa kehidupan sangat panjang yang tetap hidup selama waktu yang sangat panjang. Pertapa Agung, masa kehidupanmu sangat pendek, lebih singkat daripada lamanya satu kali duduk dalam keterasingan dari para pertapa dan brahmana itu.

Mengapakah demikian? Mereka mengetahui semua yang dapat diketahui, mereka melihat semua yang dapat dilihat. Jika sesungguhnya terdapat suatu pembebasan, maka tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, karena ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Dan jika sesungguhnya tidak ada pembebasan, maka tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, karena ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Pertapa Agung, engkau memahami apa yang merupakan pembebasan sebagai bukan pembebasan; engkau memahami apa yang bukan pembebasan sebagai pembebasan. Dengan cara ini engkau tidak akan mencapai pembebasan; [sebaliknya] ini akan menjadi delusi besar [bagimu].

Mengapakah demikian? Karena ini di luar batasmu.

Pertapa Agung, jika seorang pertapa atau brahmana bergembira dalam tanah dan memuji tanah, maka berada dalam kekuasaanku; ia pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā, memuji Brahmā, maka ia berada dalam kekuasaanku; ia pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku.

Pertapa Agung, jika engkau bergembira dalam tanah dan memuji tanah, maka engkau juga berada dalam kekuasaanku; engkau pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika engkau bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka engkau juga berada dalam kekuasaanku; engkau pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku.

Terhadap hal ini Sang Bhagavā berkata:

Demikianlah, Brahmā; apa yang dikatakan Brahmā adalah kebenaran. Jika seorang pertapa bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji tanah, maka ia berada dalam kekuasaanmu; ia pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka ia berada dalam kekuasaanmu; ia pasti mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu.

Brahmā, jika aku bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji unsur tanah, maka aku juga akan berada dalam kekuasaanmu; aku pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika aku bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka aku juga akan berada dalam kekuasaanmu; ia pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu.

Brahmā, sehubungan dengan delapan objek ini, [empat unsur dan empat kelompok makhluk surgawi,] jika aku mengikuti objek-objek ini, bergembira di dalamnya dan memuji mereka, maka ini akan menjadi jalan [apa yang engkau jelaskan].
[Namun,] Brahmā, aku mengetahui dari mana engkau datang dan ke mana engkau pergi, di mana engkau berdiam, di mana kehidupan berakhir, dan di mana engkau terlahir kembali. [Aku mengetahui bahwa] jika seseorang muncul sebagai seorang Brahmā, ia memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar.

Terhadap hal ini Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa agung, bagaimanakah engkau mengetahui apa yang kuketahui dan melihat apa yang kulihat? Bagaimanakah engkau sepenuhnya mengenali kekuasaanku, yang bagaikan matahari, yang dengan cemerlang menerangi semua arah dalam ribuan dunia ini? Apakah engkau [juga] telah memperoleh kekuasaan dalam ribuan dunia ini? Dalam mengetahui berbagai dunia di mana tidak ada siang dan malam itu, apakah engkau, Pertapa Agung, melewatinya? Apakah engkau sering melewatinya?

Sang Bhagavā menjawab:

Brahmā, kekuasaanmu bagaikan matahari, yang dengan cemerlang menerangi semua arah dalam ribuan dunia. Dalam ribuan dunia ini, aku [juga] telah mencapai kekuasaan dan aku juga mengetahui berbagai dunia di mana tidak terdapat siang dan malam itu. Brahmā, aku telah melewatinya. Aku sering melewatinya.

Brahmā, terdapat tiga kelompok para dewa [lebih lanjut]: para dewa bercahaya, pada dewa bercahaya murni, dan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas.<68> Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa ini, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiring mereka, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa ini dan para pengiring mereka, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu.

Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang engkau miliki, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak engkau miliki, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang engkau dan pengiringmu miliki, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak engkau dan pengiringmu miliki, aku memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, engkau tidak sama sepenuhnya denganku; engkau dengan cara apa pun tidak sama denganku. Alih-alih, aku lebih tinggi daripada dirimu; aku lebih agung daripada dirimu.

Kemudian, Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, bagaimanakah bahwa apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa itu, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiring mereka, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; dan apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiringnya, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu?

[Bagaimanakah bahwa] apa pun pengetahuan dan penglihatan yang kumiliki, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak kumiliki, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki olehku dan pengiringku, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; dan apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki olehku dan pengiringku, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu?

Pertapa Agung, apakah engkau tidak mengatakan hal ini karena nafsu? Dengan ditanyakan berulang-ulang engkau tidak akan mengetahui [bagaimana menjawabnya] dan menjadi lebih kebingungan. Mengapakah demikian? Karena aku menyadari tak terhitung dunia, aku memiliki tak terhitung pengetahuan, tak terhitung penglihatan, tak terhitung pembedaan, dan aku mengetahui masing-masing dan setiap hal dengan jelas. Tanah ini kuketahui sebagai tanah, ... air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā ini kuketahui sebagai Brahmā.”

Terhadap hal ini Sang Bhagavā berkata:

Brahmā, jika terdapat seorang pertapa atau brahmana yang sehubungan dengan [unsur] tanah memiliki persepsi tanah sebagai “tanah adalah aku”, “tanah adalah milikku”, “aku milik tanah”, maka, karena ia menganggap tanah sebagai diri, ia tidak [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, ... jika sehubungan dengan kemurnian ia memiliki persepsi kemurnian sebagai “kemurnian adalah aku”, “kemurnian adalah milikku”, “aku milik kemurnian”, maka, karena ia menganggap kemurnian sebagai diri, ia tidak [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.

Brahmā, jika terdapat seorang pertapa atau brahmana yang sehubungan dengan [unsur] tanah mengetahui tanah sebagai “tanah bukan aku”, “tanah bukan milikku”, “aku bukan milik tanah”, maka, karena ia tidak menganggap tanah sebagai diri, ia [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, ... sehubungan dengan kemurnian ia mengetahui kemurnian sebagai “kemurnian bukan aku”, “kemurnian bukan milikku”, “aku bukan milik kemurnian”, maka, karena ia tidak menganggap kemurnian sebagai diri, ia [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.

Brahmā, sehubungan dengan [unsur] tanah aku mengetahui tanah sebagai “tanah bukan aku”, “tanah bukan milikku”, “aku bukan milik tanah.” Karena aku tidak menganggap tanah sebagai diri, aku [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, .... Sehubungan dengan kemurnian aku mengetahui kemurnian sebagai “kemurnian bukan aku”, “kemurnian bukan milikku”, “aku bukan milik kemurnian.” Karena ia tidak menganggap kemurnian sebagai diri, aku [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.<69>

Kemudian Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, makhluk-makhluk hidup ini menginginkan penjelmaan, bergembira dalam penjelmaan, terbiasa dengan penjelmaan. [Namun] engkau telah mencabut landasan penjelmaan. Mengapakah demikian? [Karena] engkau disebut sebagai seorang Tathāgata, bebas dari kemelekatan, yang tercerahkan sepenuhnya.

Kemudian [Sang Buddha] mengucapkan bait ini:<70>

Melihat ketakutan dalam penjelmaan
Dan tidak melihat ketakutan dalam tanpa-penjelmaan,
Oleh sebab itu janganlah bergembira dalam penjelmaan!
Mengapakah penjelmaan tidak seharusnya ditinggalkan?

[Brahmā itu berkata,] “Pertapa Agung, aku sekarang ingin membuat diriku menghilang.”

Sang Bhagavā berkata, “Brahmā, jika engkau ingin membuat dirimu menghilang, maka lakukanlah seperti keinginanmu.”
Kemudian, ke mana pun Brahmā membuat dirinya menghilang, Sang Bhagavā segera mengetahui, “Brahmā, engkau berada di sana. Engkau berada di sini. Engkau berada di antaranya.”

Kemudian Brahmā itu melakukan semua yang ia mampu untuk mewujudkan kekuatan batinnya. Ia ingin membuat dirinya menghilang tetapi tidak dapat menghilang. Ia kembali, dengan tetap berada dalam alam Brahmā. Kemudian, Sang Bhagavā berkata, “Brahmā, sekarang aku juga ingin membuat diriku menghilang.”

Kemudian Brahmā berkata kepada Sang Bhagavā, “Pertapa Agung, jika engkau ingin membuat dirimu menghilang, lakukanlah seperti keinginanmu.”

Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang mewujudkan suatu kekuatan batin yang sesuai sedemikian sehingga aku memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh kekuasaan Brahmā selagi diriku sendiri tetap tidak terlihat, sehingga Brahmā dan pengiringnya hanya akan mendengar suaraku dan tidak melihat wujudku.”

Kemudian Sang Bhagavā mewujudkan suatu kekuatan batin yang sesuai sedemikian sehingga beliau memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh alam Brahmā selagi beliau sendiri tetap tidak terlihat, sehingga Brahmā dan pengiringnya hanya mendengar suara beliau dan tidak melihat wujud beliau.<71>

Kemudian Brahmā dan semua orang dalam pengiring Brahmā berpikir demikian, “Pertapa Gotama adalah yang paling mengagumkan, paling luar biasa. Ia memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar. Mengapakah demikian? Ia memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh alam Brahmā selagi ia sendiri tidak terlihat, sehingga aku dan pengiringku hanya mendengar suaranya dan tidak melihat wujudnya.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #13 on: 27 September 2020, 07:46:22 PM »
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian, “Aku telah [melakukan] keajaiban-keajaiban untuk Brahmā ini dan pengiringnya. Sekarang biarlah aku menarik kekuatan batinku.”

Kemudian Sang Bhagavā menarik kekuatan batin beliau dan kembali untuk tetap berada dalam alam Brahmā. Kemudian Raja Māra kembali bergabung dalam perkumpulan itu, sampai dengan tiga kali.<72> Pada waktu itu Raja Māra berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, engkau melihat dengan baik, engkau mengetahui dengan baik, engkau merealisasi dengan baik. Namun janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma!

Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan [untuk memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan dalam kehidupan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.

Pertapa Agung, pada masa lampau terdapat para pertapa dan brahmana yang menasihati para siswa, mengajar para siswa, dan mengajarkan Dharma kepada para siswa. Mereka bergembiran dan menjadi melekat untuk [memiliki] para siswa. Melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mereka terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian.

Karena alasan ini, Pertapa Agung, aku katakan padamu, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata:

Māra, Si Jahat, bukan karena engkau mencari manfaat, kesejahteraan, kebahagiaan, atau kenyamanan bagiku sehingga engkau berkata kepadaku, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Māra, Si Jahat, engkau berpikir demikian: “Pertapa Gotama ini akan mengajarkan Dharma kepada para siswa. Setelah mendengar Dharma, para siswa akan melepaskan diri dari wilayahku.” Māra, Si Jahat, adalah karena alasan ini sehingga engkau berkata kepadaku, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah menjadi melekat untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Māra, Si Jahat, seumpamanya terdapat para pertapa dan brahmana yang menasihati para siswa, mengajar para siswa, dan mengajarkan Dharma kepada para siswa, yang bergembira dalam dan melekat untuk [memiliki] para siswa, dan yang, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian.

Para pertapa dan brahmana tersebut mengaku sebagai pertapa tanpa menjadi pertapa, mereka mengaku sebagai brahmana tanpa menjadi brahmana, mereka mengaku sebagai arahant tanpa menjadi arahant, mereka mengaku sebagai yang tercerakan sempurna tanpa menjadi yang tercerahkan sempurna.

Māra, Si Jahat, aku mengaku sebagai seorang pertapa ketika sepenuhnya menjadi seorang pertapa, aku mengaku sebagai seorang brahmana ketika sepenuhnya menjadi seorang brahmana, aku mengaku sebagai seorang arahant ketika sepenuhnya menjadi seorang arahant, aku mengaku sebagai yang tercerahkan sempurna ketika sepenuhnya menjadi yang tercerahkan sempurna.

Māra, Si Jahat, sehubungan dengan apakah aku mengajarkan Dharma kepada para siswa atau tidak – engkau cukup menjauhlah dari hal itu! Aku sekarang mengetahui bagi diriku sendiri kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan Dharma kepada para siswa.<73>

Demikianlah undangan oleh Brahmā dan bantahan oleh Māra, Si Jahat, pada apa yang dikatakan Sang Bhagavā sebagai tanggapannya. Karena alasan ini kotbah ini disebut “Undangan Brahmā kepada Sang Buddha.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Brahmā dan pengiringnya bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #14 on: 27 September 2020, 07:57:43 PM »
79. Kotbah tentang Kelangsungan para Dewa yang Lebih Tinggi<74>

Demikianlah telah kudengar. Pada satu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, tinggal di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Kemudian, pengurus istana Isidatta menginstruksikan seorang utusan:<75>

Mendekati Sang Buddha, berikanlah penghormatan atas namaku pada kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan Sang Bhagavā apakah yang mulia sehat dan kuat jasmaninya, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya. Katakanlah hal ini: “Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Bhagavā apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya.”

Ketika engkau telah bertanya kepada Sang Buddha dengan cara ini, engkau harus mendekati Yang Mulia Anuruddha dan, setelah memberikan penghormatan atas namaku pada kakinya, tanyakan yang mulia itu apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Katakanlah hal ini: “Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha dan bertanya kepada yang mulia apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman, dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Pengurus istana Isidatta mengundang Yang Mulia Anuruddha, bersama-sama [dengan tiga orang lainnya,] empat orang seluruhnya, untuk makan besok.”

Jika ia menerima undangan itu, maka katakanlah juga hal ini: “Yang Mulia Anuruddha, Pengurus istana Isidatta sangat sibuk dengan banyak urusan, berbagai urusan untuk dipertimbangkan dan dikelola demi raja.<76> Semoga Yang Mulia Anuruddha [dan teman-temannya], empat orang seluruhnya, demi belas kasih datang ke rumah Pengurus istana Isidatta besok pagi-pagi sekali.”

Kemudian, setelah menerima intruksi dari Pengurus istana Isidatta, utusan itu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan, dengan mengundurkan diri pada satu sisi, berkata:

Sang Bhagavā, Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Bhagavā sehat dan kuat, nyaman, dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada utusan itu, “Semoga Pengurus istana Isidatta menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan! Semoga semua dewa, manusia, asura, gandhabba, yakkha, dan semua bentuk kehidupan lainnya menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan!”

Kemudian utusan itu, setelah menerima dengan baik dan mengingat dengan baik apa perkataan Sang Buddha yang ia dengar, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi. Ia mendekati Yang Mulia Anuruddha, memberikan penghormatan pada kakinya, mengundurkan diri, duduk pada satu sisi, dan berkata:

Yang Mulia Anuruddha, Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha dan bertanya kepada yang mulia apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Pengurus istana Isidatta mengundang Yang Mulia Anuruddha [bersama-sama dengan tiga orang lainnya], empat orang seluruhnya, untuk makan besok.

Pada waktu itu Yang Mulia Kaccāna Sejati sedang duduk bermeditasi tidak jauh dari Yang Mulia Anuruddha. Kemudian Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Yang Mulia Kaccāna:

Baru saja aku mengatakan bahwa kita akan pergi ke Sāvatthī besok pagi untuk mengumpulkan dana makanan, dan sekarang hal ini telah muncul. Pengurus istana Isidatta mengirim seorang utusan yang mengundang kita, empat orang semuanya, untuk makan besok.

Yang Mulia Kaccāna Sejati berkata:

Semoga Yang Mulia Anuruddha, demi kepentingan orang itu [Pengurus istana Isidatta], menerima undangan itu dengan tetap berdiam diri. Besok pagi kita akan meninggalkan Sītavana ini dan memasuki Sāvatthī [seakan-akan] untuk mengumpulkan dana makanan. Semoga Yang Mulia Anuruddha, demi kepentingan orang itu, menerima undangan itu dengan tetap berdiam diri.

Kemudian, ketika utusan itu memahami bahwa Yang Mulia Anuruddha telah menerima dengan tetap berdiam diri, ia juga mengajukan permintaan demikian:

Pengurus istana Isidatta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha, “Pengurus istana Isidatta sangat sibuk dengan banyak urusan, berbagai urusan untuk diurus dan dikelola demi raja. Semoga Yang Mulia Anuruddha [dan teman-temannya], empat orang seluruhnya, demi belas kasih datang ke rumah Pengurus istana Isidatta besok pagi-pagi sekali.”

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada utusan itu, “Engkau dapat kembali. Aku sendiri mengetahui waktu yang tepat.” Kemudian utusan itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan, mengelilingi [Yang Mulia Anuruddha] tiga kali, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, ketika fajar, Yang Mulia Anuruddha mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan [dengan teman-temannya], empat orang seluruhnya, mendekati rumah Pengurus istana Isidatta. Pada waktu itu, Pengurus istana Isidatta sedang berdiri di pintu masuk tengah [rumahnya], dikelilingi oleh para wanita [dari rumah tangganya], menanti Yang Mulia Anuruddha. Ia melihat Yang Mulia Anuruddha datang dari kejauhan. Ketika melihatnya, ia merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Yang Mulia Anuruddha dan dengan hormat berkata, “Selamat datang, Yang Mulia Anuruddha! Yang Mulia Anuruddha tidak kemari dalam waktu yang lama.” Kemudian, dengan hormat memapah Yang Mulia Anuruddha pada lengannya, Pengurus istana Isidatta membawanya ke dalam rumah dan mempersilakannya duduk pada tempat duduk bagus yang telah diatur untuknya.

Yang Mulia Anuruddha duduk pada tempat duduk itu. Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi. Setelah duduk ia berkata, “Yang Mulia Anuruddha, aku ingin menanyakan suatu pertanyaan. Semoga anda mengizinkan hal ini!”

Yang Mulia Anuruddha berkata, “Pengurus istana, tanyakanlah apa yang engkau inginkan. Setelah mendengarnya, aku akan mempertimbangkannya.”

Pengurus istana Isidatta berkata:

Yang Mulia Anuruddha, beberapa pertapa dan brahmana datang dan berkata kepadaku, “Pengurus istana, engkau seharusnya mengembangkan pembebasan pikiran yang luhur (mahaggata).” Dan, Yang Mulia Anuruddha, para pertapa dan brahmana lainnya datang dan berkata kepadaku, “Pengurus istana, engkau seharusnya mengembangkan pembebasan pikiran yang tak terukur (appamāṇa).”<77> Yang Mulia, [sehubungan dengan] “pembebasan pikiran yang luhur” dan “pembebasan pikiran yang tak terukur”, apakah dua pembebasan ini berbeda baik dalam ungkapan maupun maknanya? Atau apakah keduanya berbeda hanya dalam ungkapan namun memiliki makna yang sama?”

Yang Mulia Anuruddha berkata, “Pengurus istana, sehubungan dengan pertanyaan yang baru saja engkau tanyakan ini, pertama-tama engkau jawablah sendiri; setelah itu aku akan menjawabnya.”

Pengurus istana Isidatta berkata:

Yang Mulia Anuruddha, [sehubungan dengan] “pembebasan pikiran yang luhur” dan “pembebasan pikiran yang tak terukur”, [aku berpikir] bahwa dua pembebasan ini berbeda hanya dalam ungkapan dan memiliki makna yang sama.

Pengurus istana Isidatta dengan demikian tidak dapat menjawab pertanyaan itu [dengan benar]. Yang Mulia Anuruddha berkata:

Pengurus istana, dengarkanlah selagi aku menjelaskan padamu apakah “pembebasan pikiran yang luhur” dan apakah “pembebasan pikiran yang tak terukur”. Sehubungan dengan “pembebasan pikiran yang luhur”, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Berdiam dengan bergantung pada satu pohon ini, ia, melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah di bawah pohon itu] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. Pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu atau dua atau tiga pohon, [pertapa atau brahmana itu], melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah di bawah dua atau tiga pohon] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Seumpamanya bahwa berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi [seluruh] hutan, ia, melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah itu] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai sejauh samudera raya, [pertapa atau brahmana itu], melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah yang luas] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Ini adalah apa yang dimaksud dengan “pembebasan pikiran yang luhur”.

Pengurus istana, apakah “pembebasan pikiran yang tak terukur”? Seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Ia berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, meliputi satu arah, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Ia berdiam meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, tanpa belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, [pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Dengan cara yang sama ia berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasih, … dengan kegembiraan empatik, … dengan keseimbangan, meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhnya dengan keseimbangan, tanpa belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, [pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Ini adalah apa yang dimaksud dengan “pembebasan pikiran yang tak terukur”.

Pengurus istana, “pembebasan pikiran yang luhur” ini dan “pembebasan pikiran yang tak terukur” ini – apakah dua pembebasan ini berbeda baik dalam ungkapan maupun maknanya, atau apakah keduanya berbeda hanya dalam ungkapan namun memiliki makna yang sama?

Pengurus istana Isidatta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha, “Seperti [baru saja] aku telah mendengarnya sekarang dari yang mulia dan karenanya memahami maknanya, dua pembebasan ini berbeda dalam ungkapan dan juga dalam makna.”<78>

Yang Mulia Anuruddha berkata:

Pengurus istana, terdapat tiga kelompok dewa [ini]: para dewa bercahaya, para dewa bercahaya murni, dan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas.<79> Dari [ketiga] ini, para dewa bercahaya terlahir di satu alam [tertentu]. Mereka tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku”; alih-alih, ke mana pun para dewa bercahaya ini pergi, mereka bergembira di tempat itu.

Pengurus istana, seperti halnya seekor lalat pada sepotong daging yang tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku” dan alih-alih, ke mana pun lalat itu pergi dalam potongan daging itu, ia bergembira di tempat itu.<80> Dengan cara yang sama. Para dewa bercahaya tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku”; alih-alih, ke mana pun para dewa bercahay ini pergi, mereka bergembira di tempat itu. Ada kalanya ketika para bercahaya berkumpul di satu tempat. Maka, walaupun tubuh mereka adalah berbeda, cahaya mereka adalah sama.

Pengurus istana, seperti halnya ketika seseorang menyalakan banyak sekali pelita dan menempatkannya dalam satu ruangan; walaupun pelita-pelita itu adalah berbeda, cahayanya adalah sama. Dengan cara yang sama, ketika para dewa bercahaya berkumpul di satu tempat, maka, walaupun tubuh mereka berbeda, cahaya mereka adalah sama. Ada kalanya ketika para dewa bercahaya terpisah dari satu sama lainnya. Ketika mereka terpisah dari satu sama lainnya, tubuh mereka adalah berbeda dan cahaya mereka adalah juga berbeda.

Pengurus istana, seperti halnya ketika seseorang mengambil banyak sekali pelita dari satu ruangan dan menempatnya secara terpisah dalam banyak ruangan; pelita-pelita itu adalah berbeda dan cahayanya juga berbeda. Sama halnya ketika para dewa bercahaya terpisah dari satu sama lainnya; ketika mereka terpisah dari satu sama lainnya, tubuh mereka adalah berbeda dan cahaya mereka juga berbeda.

Kemudian Yang Mulia Kaccāna Sejati berkata, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan denga para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, apakah seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”<81>
Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Yang Mulia Kaccāna, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir dalam satu alam, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka.”
Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, apakah sebabnya, apakah alasannya seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingka kehalusan mereka?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Berdiam dengan bergantung pada satu pohon ini, ia mencapai persepsi [atas wilayah di bawah pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu pohon tetapi dua atau tiga pohon, ia mencapai persepsi [atas wilayah di bawah dua atau tiga pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Yang Mulia Kaccāna, dari dua pembebasan pikiran ini, manakah yang lebih tinggi, yang manakah yang lebih unggul, manakah yag lebih halus, manakah yang lebih baik?

Yang Mulia Kaccāna Sejati menjawab:

Yang Mulia Anuruddha, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu pohon tetapi dua atau tiga pohon, mencapai persepsi [atas wilayah di bawah dua atau tiga pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Anuruddha, dari dua pembebasan ini, pembebasan yang terakhir adalah lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, yang terbaik.

Yang Mulia Anuruddha bertanya lebih lanjut:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi satu hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai dengan samudera raya, ia mencapai persepsi [atas wilayah luas ini] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Kaccāna, dari dua pembebasan pikiran [terakhir] itu, manakah yang lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, lebih baik?

Yang Mulia Kaccāna Sejati menjawab:

Yang Mulia Anuruddha, seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi satu hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai sejauh samudera raya, seorang pertapa atau brahmana mencapai persepsi [atas wilayah luas ini] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Anuruddha, dari dua pembebasan [terakhir] itu, pembebasan terakhir adalah lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, lebih baik.

Yang Mulia Anuruddha berkata:

[Yang Mulia] Kaccāna, inilah sebabnya, inilah mengapa, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka. Mengapakah demikian? Ini disebabkan oleh keunggulan relatif pikiran mereka ketika mereka adalah manusia. Dalam pengembangan mereka terdapat tingkat kehalusan atau kekasaran. Karena tingkat kehalusan atau kekasaran dalam pengembangan mereka, para manusia memiliki tingkatan keungulan. Yang Mulia Kaccāna, Sang Bhagavā juga telah menjelaskan keunggulan relatif di antara para manusia dengan cara ini.<82>

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, apakah dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Yang Mulia Kaccāna, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka.”

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, apakah sebabnya, apakah alasannya bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa