//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial  (Read 76904 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #15 on: 15 February 2018, 01:03:36 PM »
1. Ucapan yang Diucapkan dengan Baik

(1) Memiliki Empat Faktor

Sang Bhagavā berkata demikian: “Para bhikkhu, ketika ucapan memiliki empat faktor, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk, dan ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela di antara para bijaksana. Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hanya mengucapkan apa yang diucapkan dengan baik, bukan apa yang diucapkan dengan buruk. Ia hanya mengucapkan Dhamma, bukan non-Dhamma. Ia hanya mengucapkan apa yang menyenangkan, bukan apa yang tidak menyenangkan. Ia hanya mengucapkan apa yang benar, bukan apa yang salah. Ketika suatu ucapan memiliki keempat faktor ini, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk, dan ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela di antara para bijaksana.”

(dari Sn III,3; lihat juga SN 8:5, CDB 284–85)

(2) Memiliki Lima Faktor

“Para bhikkhu, ketika ucapan memiliki lima faktor, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana. Apakah lima ini? Ucapan itu diucapkan pada waktu yang tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan pikiran cinta kasih. Ketika ucapan memiliki kelima faktor ini, ucapan itu diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tanpa cela dan tidak tercela oleh para bijaksana.”

(AN 5:198, NDB 816)

2. Mengadakan Diskusi

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab secara tegas dan ia tidak menjawab secara tegas; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab tanpa memberikan pembedaan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab tanpa mengajukan pertanyaan balasan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan dan ia tidak mengesampingkannya, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.[3]

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab secara tegas dan ia menjawab secara tegas; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab setelah memberikan pembedaan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab dengan mengajukan pertanyaan balasan; jika ia ditanyai suatu pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan dan ia mengesampingkannya, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia tidak bertahan dalam strateginya; jika ia tidak bertahan dalam pernyataan atas apa yang diketahui; jika ia tidak bertahan dalam prosedur, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.[4]

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia bertahan dalam strateginya; jika ia bertahan dalam pernyataan atas apa yang diketahui; jika ia bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia menjawab dengan cara menghindar, mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak menjawab dengan cara menghindar, tidak mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia membingungkan si penanya, menghancurkannya, mengejeknya, dan menangkapnya atas kesalahan kecil,[5] dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak membingungkan si penanya, tidak menghancurkannya, tidak mengejeknya, dan tidak menangkapnya atas kesalahan kecil, dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai apakah memiliki kondisi pendukung atau tidak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang tidak mendengar dengan seksama tidak memiliki kondisi pendukung; seorang yang mendengar dengan seksama memiliki kondisi pendukung. Seorang yang memiliki kondisi pendukung secara langsung mengetahui satu hal, sepenuhnya memahami satu hal, meninggalkan satu hal, dan merealisasi satu hal. Dengan secara langsung mengetahui satu hal, dengan sepenuhnya memahami satu hal, dengan meninggalkan satu hal, dan dengan merealisasi satu hal, ia mencapai kebebasan benar.[6]

“Ini, para bhikkhu, adalah tujuan pembicaraan, tujuan diskusi, tujuan dari kondisi pendukung, tujuan mendengarkan dengan seksama, yaitu, pembebasan pikiran melalui ketidakmelekatan.”

Mereka yang berbicara dengan niat bertengkar,
kokoh dalam pendapat mereka, menggembung dengan keangkuhan,
tidak mulia, setelah menyerang moralitas,
mencari celah untuk menyerang satu sama lain.

Mereka saling bersenang ketika lawan mereka
berbicara dengan buruk dan melakukan kesalahan,
mereka bergembira dalam kebingungan dan kekalahannya;
tetapi para mulia tidak terlibat dalam pembicaraan demikian.

Jika seorang bijaksana ingin berbicara,
setelah mengetahui waktu yang tepat,
tanpa pertengkaran atau keangkuhan,
seorang bijaksana seharusnya mengucapkan
ucapan yang dipraktekkan para mulia,
yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.

Tidak kasar atau bersifat menyerang,
dengan pikiran tidak bangga,
ia berbicara bebas dari iri hati
berdasarkan pada pengetahuan benar.
Ia seharusnya menyetujui apa yang diungkapkan dengan benar
tetapi ia tidak seharusnya menyerang apa yang disampaikan dengan buruk.

Ia tidak boleh berlatih dalam mencari kesalahan
juga tidak menangkap kesalahan orang lain;
ia tidak seharusnya membingungkan dan menghancurkan lawannya,
ataupun tidak mengucapkan kata-kata dusta.
Sesungguhnya, suatu diskusi di antara orang-orang baik
adalah demi pengetahuan dan keyakinan.

Demikianlah cara orang mulia mendiskusikan hal-hal;
ini adalah diskusi para mulia.
Setelah memahami hal ini, orang bijaksana
tidak seharusnya menggembung melainkan mendiskusikan hal-hal.

(AN 3:67, NDB 287–89)

3. Berkata dengan Cara yang Tepat

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

“Sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan bergembira di dalamnya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”

(AN 5:157, NDB 770–72)

4. Jangan Membuat Percekcokan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Sangha, lima bahaya diharapkan baginya. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai; (2) ia jatuh dari apa yang telah ia capai; (3) suatu berita tentang keburukannya beredar; (4) ia meninggal dunia dalam kebingungan; dan (5) dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Saṅgha, lima bahaya ini dapat diharapkan baginya.”

(AN 5:212, NDB 823)

5. Memberikan Pujian dan Celaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

(AN 5:236, NDB 832–33)

6. Memuji ketika Pujian Diperlukan

Kemudian pengembara Potaliya mendekati Sang Bhagavā, dan bertukar salam dengan beliau. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Potaliya, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Seseorang lainnya memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu. (3) Seseorang lainnya lagi tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (4) Dan seseorang lainnya lagi mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Ini adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia. Sekarang, Potaliya, yang manakah di antara keempat jenis orang ini yang tampak bagimu sebagai yang paling unggul dan paling luhur?”

“Di antara keempat ini, Guru Gotama, yang tampak bagiku sebagai yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Guru Gotama, adalah keseimbangan.”

“Di antara keempat ini, Potaliya, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Potaliya, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.”

(AN 4:100, NDB 480–82)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #16 on: 15 February 2018, 01:04:20 PM »

7. Mengetahui Apa yang Dikatakan dan Bagaimana Mengatakannya

[Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:] “Dikatakan: ‘Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’ Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata tersamar adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apapun. Ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan bermanfaat, ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apapun. Ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan bermanfaat, ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’”

(dari MN 139, MLDB 1083–84)

8. Menegur Orang Lain

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu demikian: “Teman-teman, seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama seharusnya menegakkan lima hal dalam dirinya. Apakah lima ini? (1) Ia seharusnya mempertimbangkan: ‘Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; (2) aku akan berbicara dengan jujur, bukan dengan berbohong; (3) aku akan berbicara secara halus, bukan secara kasar; (4) aku akan berbicara dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; (5) aku akan berbicara dengan pikiran cinta kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama seharusnya menegakkan kelima hal ini dalam dirinya....

“Teman-teman, seseorang yang ditegur seharusnya kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan tanpa kemarahan. Jika orang lain menegurku—apakah pada waktu yang tepat atau pun pada waktu yang tidak tepat; apakah tentang apa yang benar atau pun tentang apa yang tidak benar; apakah secara halus atau pun secara kasar; apakah dalam cara yang bermanfaat atau pun dalam cara yang berbahaya; apakah dengan pikiran cinta kasih atau pun selagi memendam kebencian — aku seharusnya tetap kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan tanpa kemarahan. Jika aku mengetahui: ‘Ada kualitas demikian padaku,’ aku memberitahunya: ‘Hal ini ada. Kualitas ini ada padaku.’ Jika aku mengetahui: ‘Tidak ada kualitas demikian padaku,’ aku memberitahunya: ‘Hal ini tidak ada. Kualitas ini tidak ada padaku.’”

(dari AN 5:167, NDB 780–82)

Catatan Kaki:

[1] Parato ghosa. Kondisi lainnya adalah pengamatan seksama (yoniso manasikāra). Lihat AN 2:126 (NDB 178).

[2] Pernyataan ini muncul dalam DN II 104–5 (LDB 246–47), SN V 261–62 (CDB 1724–25), AN IV 310–11 (NDB 1214–15), dan Ud 63–64.

[3] Ini adalah empat cara merumuskan pertanyaan; lihat AN 4:42. Komentar menjelaskan: “(1) Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan tegas (ekaṃsavyākaṇanīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah mata tidak kekal?’ yang seharusnya dijawab dengan tegas dengan ‘Ya, ia tidak kekal.’ (2) Pertanyaan yang seharusnya dijawab setelah memberikan pembedaan (vibhajjavyākaraṇīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah yang tidak kekal adalah mata?’ yang seharusnya dijawab dengan memberikan pembedaan: ‘Tidak hanya mata, tetapi telinga, hidung, dst., juga tidak kekal.’ (3) Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan pertanyaan balasan (paṭipucchāvyākaraṇīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah mata memiliki sifat yang sama dengan telinga?’ Seseorang seharusnya menjawab hal ini dengan bertanya, ‘Sehubungan dengan apa?’ Jika mereka menjawab. ‘Sehubungan dengan melihat,’ ia seharusnya menjawab tidak. Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan ketidakkekalan,’ seseorang seharusnya menjawab ya. (4) Pertanyaan yang seharusnya dikesampingkan (ṭhapanīya pañha) adalah, sebagai contoh, ‘Apakah tubuh sama dengan jiwa?’ Ini seharusnya dikesampingkan tanpa menjawabnya, dengan mengatakan, ‘Ini tidak dinyatakan oleh Sang Tathāgata.’”

[4] Makna dari ungkapan-ungkapan ini tidak jelas. Terjemahan saya bergantung pada penjelasan yang diberikan dalam komentar. Untuk rinciannya, lihat NDB catatan no. 465, pp. 1654ff.

[5] Yaitu, ia menangkap suatu kesalahan kecil pada pihak lawan sebagai dalih untuk mengkritiknya.

[6] Komentar menjelaskan: “Ia secara langsung mengetahui satu hal, jalan mulia. Ia sepenuhnya memahami satu hal, kebenaran penderitaan. Ia meninggalkan satu hal, semua kualitas tidak bermanfaat. Ia merealisasi satu hal, buah kearahantan atau lenyapnya [nibbāna]. Dengan pengetahuan ia mencapai kebebasan benar, pembebasan melalui buah kearahantan.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #17 on: 15 February 2018, 01:08:42 PM »
V. Persahabatan yang Baik

Pendahuluan

Komunitas yang kuat bergantung pada hubungan personal antara para anggotanya, dan hubungan yang paling mendasar antara orang-orang di luar hubungan keluarga adalah hubungan persahabatan. Dengan Bagian V, seraya kita bergerak dari pelatihan personal, fokus dari bab-bab sebelumnya, menuju pengembangan hubungan interpersonal, kita secara alami memulai dengan persahabatan. Sang Buddha menempatkan penekanan khusus pada pemilihan sahabat seseorang, yang beliau lihat memiliki pengaruh mendalam pada perkembangan individu seseorang dan juga pada penciptaan komunitas yang rukun dan lurus secara etis. Persahabatan yang baik adalah penting tidak hanya karena ia bermanfaat bagi kita ketika sedang kesulitan, memuaskan naluri sosial kita, dan memperbesar lingkup kepedulian kita dari diri sendiri kepada orang lain. Ia penting karena persahabatan baik menanamkan dalam diri kita perasaan diskresi, kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, dan memilih [tindakan] yang dimuliakan dibandingkan [tindakan] yang praktis. Oleh sebab itu Sang Buddha mengatakan bahwa semua kualitas baik lainnya terbentang dari persahabatan baik, dan Maṅgala Sutta yang terkenal, yang menyebutkan tiga puluh dua berkah, memulai dari “menghindari orang-orang bodoh dan bergaul dengan orang bijaksana.”[1]

Saya memulai Bagian V dengan dua sutta pendek – Teks V,1(1)-(2) – yang menyebutkan kualitas-kualitas seorang sahabat baik. Yang pertama adalah bersifat umum, sedangkan yang kedua lebih khusus pada kehidupan monastik. Teks V,2 melanjutkan dengan jejak yang sama, tetapi menganalisis kualitas-kualitas seorang sahabat baik dengan lebih terperinci, dengan membedakan empat jenis “sahabat yang baik hati” dan menyebutkan kualitas khusus masing-masing. Teks V,3 dikutip dari sebuah kotbah yang disampaikan kepada seorang umat awam bernama Byagghapajja, yang bertanya kepada Sang Buddha tentang hal-hal yang “membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami pada kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan mendatang.” Sang Buddha menjawab dengan menjelaskan empat sumber manfaat bagi seorang umat awam pada kehidupan sekarang: inisiatif personal, perlindungan harta seseorang, persahabatan baik, dan kehidupan yang seimbang. Beliau melanjutkan hal ini dengan empat sumber manfaat pada kehidupan-kehidupan mendatang: keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Para sahabat di mana umat awam tersebut dianjurkan agar bergaul dengannya adalah mereka yang mendorong seseorang dalam empat kualitas yang sama itu. Demikianlah di mana faktor pertama, kedua, dan keempat yang dimasukkan di bawah kesejahteraan sementara semuanya berhubungan dengan memastikan keamanan ekonomi seseorang, persahabatan baik dimaksudkan untuk membangun suatu komitmen pada nilai-nilai yang kondusif pada kesejahteraan spiritual. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa walaupun persahabatan baik didaftarkan di bawah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan saat ini, dalam penyelidikannya ia sebenarnya berperan sebagai perangsang pada pengembangan spiritual dan dengan demikian menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan kebaikan sementara pada kehidupan sekarang dengan kesejahteraan jangka panjang pada kehidupan-kehidupan mendatang.

Kehidupan monastik dalam Buddhisme Awal kadangkala dibayangkan sebagai suatu petualangan sunyi di mana sang aspiran selalu “berdiam sendiri, mengundurkan diri, tekun, gigih, dan penuh tekad.”[2] Terdapat sesungguhnya teks-teks yang menyampaikan ungkapan demikian. Sebagai contoh, dalam syair demi syair, Khaggavisāṇa Sutta dari Suttanipāta menganjurkan pencari yang bersungguh-sungguh untuk meninggalkan keramaian dan “berkelana sendiri bagaikan tanduk badak” (eko care khaggavisāṇakappo). Dipertimbangkan secara tersendiri, teks-teks ini dapat dibaca menyetujui suatu versi kehidupan monastik yang sangat individualistik di mana semua pertemanan harus dihindari. Namun sebenarnya yang sebaliknya adalah model yang lazim. Sang Buddha menciptakan sebuah komunitas dari para pria dan wanita yang mencurahkan diri pada praktek ajarannya sepenuh waktu, dan seperti yang beliau anjurkan kepada orang-orang biasa untuk bergaul dengan para sahabat baik, beliau juga mengajarkan para monastik untuk mencari teman-teman baik dan para pembimbing dalam kehidupan spiritual. Beliau mengatakan bahwa seperti halnya fajar adalah pendahulu terbitnya matahari, demikianlah persahabatan baik adalah pendahulu munculnya jalan mulia berunsur delapan, “satu hal yang paling membantu bagi munculnya jalan mulia berunsur delapan”; dan, beliau menambahkan, tidak ada faktor lain yang demikian kondusif bagi munculnya sang jalan seperti halnya persahabatan baik.[3]

Dalam bagian ini saya telah memasukkan dua sutta yang menyoroti peranan persahabatan baik dalam kehidupan monastik. Dalam Teks V,4(1), ketika Ānanda mendatangi Sang Buddha dan menyatakan bahwa persahabatan baik adalah “setengah dari kehidupan spiritual,” Sang Bhagavā pertama-tama membatasinya dan kemudian memperbaikinya dengan menyatakan bahwa persahabatan baik adalah “keseluruhan kehidupan spiritual.” Dan dalam Teks V,4(2) beliau menjelaskan empat cara di mana bergaul dengan sahabat-sahabat baik dapat membawa pada masaknya faktor-faktor yang matang pada kebebasan kepada bhikkhu Meghiya yang keras kepala. Vinaya menunjukkan bagaimana persahabatan baik menjangkau sampai hubungan antara seorang guru pembimbing dan muridnya serta antara seorang guru dan siswanya. Mahāvagga menggambarkan secara sangat terperinci bagaimana para guru dan siswa mendukung satu sama lain dan merawat satu sama lain dalam menjalankan kehidupan spiritual, tetapi dalam kompilasi ini saya telah membatasi pemilihan saya pada teks-teks dari kumpulan sutta-sutta.[4]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #18 on: 15 February 2018, 01:16:02 PM »
1. Kualitas-Kualitas Seorang Sahabat Sejati

(1) Tujuh Faktor

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki tujuh faktor. Apakah tujuh ini? (1) Ia memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Ia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Ia dengan sabar menahankan apa yang sulit ditahankan. (4) Ia mengungkapkan rahasianya kepadamu. (5) Ia menjaga rahasiamu. (6) Ia tidak meninggalkanmu ketika engkau berada dalam kesulitan. (7) Ia tidak dengan kasar merendahkanmu. Seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki ketujuh faktor ini.”

Seorang teman memberikan apa yang sulit diberikan,
dan ia melakukan apa yang sulit dilakukan.
Ia memaafkan engkau atas kata-katamu yang kasar
dan menahankan apa yang sulit ditahankan.

Ia memberitahukan rahasianya kepadamu,
namun ia menjaga rahasiamu.
Ia tidak meninggalkan engkau dalam kesulitan-kesulitan,
ataupun ia tidak dengan kasar merendahkanmu.

Seseorang di sini yang padanya
ketujuh kualitas ini ditemukan adalah seorang teman.
Seorang yang menginginkan teman
seharusnya mendatangi orang demikian.

(AN 7:36, NDB 1021–22)

(2) Tujuh Faktor Lainnya

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman bhikkhu yang memiliki tujuh kualitas; seseorang harus mendatanginya dan melayaninya bahkan jika ia mengusirmu. Apakah tujuh ini? (1) Ia menyenangkan dan disukai; (2) ia terhormat dan (3) dihargai; (4) ia adalah seorang pembabar; (5) ia dengan sabar menahankan apa yang diucapkan kepadanya; (6) ia memberikan khotbah yang mendalam; dan (7) ia tidak menganjurkan seseorang untuk melakukan apa yang salah.”

Ia disayangi, dihormati, dan dihargai,
seorang pembabar dan seorang yang menahankan ucapan;
ia memberikan khotbah yang mendalam dan tidak menganjurkan seseorang
untuk melakukan apa yang salah.

Orang ini di sini yang padanya
kualitas-kualitas ini ditemukan adalah seorang teman,
baik hati dan berbelas kasih.
Bahkan jika seseorang diusir olehnya,
ia yang menginginkan teman
seharusnya mendatangi orang seperti itu.

(AN 7:37, NDB 1022)

2. Empat Jenis Sahabat Baik

[Sang Buddha berkata kepada seorang pemuda bernama Sīgalaka:] “Anak muda, ada empat jenis teman yang baik hati: teman yang suka membantu, teman yang berbagi kebahagiaan dan penderitaan seseorang, teman yang menunjukkan apa yang baik, dan teman simpatik.

“Dalam empat hal seorang teman yang suka membantu dapat diketahui. Ia menjagamu ketika engkau lengah; ia menjaga hartamu ketika engkau lengah; ia adalah seorang pelindung ketika engkau ketakutan; dan ketika beberapa kebutuhan muncul, ia memberikan engkau dua kali dari jumlah yang diperlukan.

“Dalam empat hal seorang teman yang berbagi kebahagiaan dan penderitaan seseorang dapat diketahui. Ia mengungkapkan rahasianya kepadamu; ia menjaga rahasiamu; ia tidak meninggalkanmu ketika engkau dalam kesulitan; dan ia bahkan akan mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.

“Dalam empat hal seorang teman yang menunjukkan apa yang baik dapat diketahui. Ia mencegahmu melakukan kejahatan; ia menganjurkanmu melakukan kebaikan; ia memberitahukan apa yang belum pernah engkau dengar, dan ia menunjukkanmu jalan menuju alam surga.

“Dalam empat hal seorang teman simpatik dapat diketahui. Ia tidak bergembira di atas kemalanganmu; ia bergembira di atas keberuntunganmu; ia menghentikan mereka yang mencelamu; dan ia menghargai mereka yang memujimu.”

(dalam DN 31, LDB 465–66)

3. Persahabatan Baik dalam Kehidupan Berumah Tangga

“Apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka — apakah yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan moralitas yang matang — yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh apa pun mereka sempurna dalam keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan keyakinan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan perilaku bermoral; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kedermawanan; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kebijaksanaan. Ini disebut pertemanan yang baik.”

(dari AN 8:54, NDB 1194–95)

4. Persahabatan Baik dalam Kehidupan Monastik

(1) Kepada Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā, ia memberi hormat kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, ini adalah setengah dari kehidupan suci, yaitu, persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik.”

“Tidak demikian, Ānanda! Tidak demikian, Ānanda! Ini adalah keseluruhan kehidupan suci, yaitu, persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik. Ketika seorang bhikkhu memiliki sahabat yang baik, seorang teman yang baik, saudara yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan.

“Dan bagaimanakah, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang sahabat yang baik, teman yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan kehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Adalah dengan cara ini, Ānanda, bahwa seorang bhikkhu yang memiliki seorang sahabat yang baik, teman yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih jalan mulia berunsur delapan.

“Dengan metode berikut ini juga, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik: dengan mengandalkan aku sebagai seorang teman yang baik, Ānanda, maka makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran akan terbebas dari kelahiran; makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan akan terbebas dari penuaan; makhluk-makhluk yang tunduk pada kematian akan terbebas dari kematian; makhluk-makhluk yang tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan, akan terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan. Dengan metode ini juga, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah persahabatan yang baik, pertemanan yang baik, persaudaraan yang baik.”

(SN 45:2, CDB 1524–25)

(2) Ketika Seorang Bhikkhu Memiliki Sahabat Baik

“Meghiya, ketika kebebasan pikiran belum matang, lima hal mengarah pada kematangannya. Apakah lima ini? (1) Di sini, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal pertama yang mengarah pada kematangannya. (2) Kemudian, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha,[5] memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal kedua yang mengarah pada kematangannya. (3) Kemudian, seorang bhikkhu dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ketiga yang mengarah pada kematangannya. (4) Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal keempat yang mengarah pada kematangannya. (5) Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal kelima yang mengarah pada kematangannya.

“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bermoral, menjadi seorang yang berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha; bahwa ia akan dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran; bahwa ia akan membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan melatih kualitas-kualitas yang bermanfaat; bahwa ia akan menjadi bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

(dari AN 9:3, NDB 1249–50; lihat juga Ud 4.1)

Catatan Kaki:

[1] Sn 261: asevanā ca bālānaṃ paṇḍitānañ ca sevanā.

[2] Lihat, sebagai contoh, pengulangan dalam SN 22:35–36 dan SN 22:63–70.

[3] Untuk enam sutta berpasangan yang mengunggulkan peranan persahabatan baik dalam memfasilitasi pencapaian sang jalan, lihat SN 45:49 dan 45:56, SN 45:63 dan 45:70, serta SN 45:77 dan 45:80 (CDB pp. 1543–48).

[4] Tentang tugas bersama guru pembimbing dan muridnya, lihat khususnya Vin I 46–53 (BD 4:59–69).

[5] Aturan disiplin monastik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #19 on: 15 February 2018, 01:20:52 PM »
VI. Kebaikan Diri Sendiri dan Kebaikan Orang Lain

Pendahuluan

Dalam Bagian VI kita bergerak melampaui persahabatan yang berpasangan untuk melihat bagaimana kitab-kitab Buddhisme Awal memperlakukan hubungan antara individu dan mereka yang muncul dalam lingkup pengaruhnya. Karena Sang Buddha terutama mengajar para monastik, teks-teks memprioritaskan kepentingan monastik, tetapi bahkan ini memiliki implikasi yang lebih luas. Pemilihan pertama, Teks VI,1, menarik suatu perbedaan antara orang bodoh dan orang bijaksana, dengan menegaskan bahwa orang bodoh – yang dibedakan oleh perilaku salah secara jasmani, ucapan, dan pikiran – adalah sebab semua bencana dan kemalangan, sedangkan orang bijaksana – yang dibedakan oleh perilaku baik secara jasmani, ucapan, dan pikiran – tidak membawa bencana dan kemalangan. Teks VI,2 melanjutkan sepanjang jejak yang sama, tetapi membedakan antara orang jahat dan orang baik berdasarkan sekumpulan kriteria yang secara eksplisit menunjuk pada pengaruh mereka masing-masing terhadap orang lain. Kriteria itu terdiri atas kualitas-kualitas kepribadian (yang dapat dianggap bersifat personal), para guru dan teman-teman mereka, keputusan mereka, cara mereka menasehati orang lain, ucapan mereka, perbuatan mereka, pandangan mereka, dan sikap mereka dalam memberi.

Beberapa teks awal mengatakan tentang keserakahan, kebencian, dan delusi sebagai akar-akar perbuatan tidak bermanfaat, dan lawan mereka sebagai akar-akar perbuatan bermanfaat. Dalam Teks VI,3, dalam sebuah percakapan dengan seorang brahmana, Sang Buddha membuat hubungan ini lebih spesifik. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan delusi bertindak demi penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan kemudian beliau menyatakan bahwa motivasi demikian mendasari perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang salah. Lebih lanjut, seseorang yang pikirannya dikuasai oleh keadaan-keadaan mental tidak dapat bahkan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, apalagi bertindak dengan benar. Namun ketika keadaan-keadaan mental ini ditinggalkan, seseorang kemudian dapat membuat pembedaan moral yang diperlukan dan bertindak demi manfaat diri sendiri dan orang lain.

Teks VI,4(1) membedakan empat jenis orang berdasarkan apakah mereka berlatih (1) demi kesejahteraan mereka sendiri tetapi bukan kesejahteraan orang lain; (2) demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan kesejahteraan mereka sendiri; (3) bukan demi kesejahteraan keduanya; dan (4) demi kesejahteraan keduanya. Sang Buddha memuji seseorang yang berlatih demi kesejahteraan keduanya sebagai “yang terkemuka, terbaik, terunggul, tertinggi, dan termulia di antara keempat orang ini.” Mungkin tampak aneh bahwa beliau menempatkan orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan kesejahteraan orang lain di atas orang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri, yang tampaknya secara langsung bertentangan dengan beberapa penafsiran cita-cita bodhisattva. Namun ketika niatnya disoroti, kontradiksi yang tampak menghilang.

Alasan untuk penempatan ini muncul dari Teks VI,4(2) dan VI,4(3), yang menyebutkan tentang empat jenis orang sehubungan dengan pelenyapan nafsu, kebencian, dan delusi, dan menjalankan lima aturan latihan. Ternyata bahwa orang yang mengabaikan kesejahteraannya sendiri adalah ia yang tidak berusaha mengatasi nafsu, kebencian, dan delusi dan tidak menjalankan lima pelatihan moral. Karena seseorang yang demikian akan terus-menerus bertindak dalam cengkeraman kekotoran dan terlibat dalam perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat, walaupun berniat baik, perbuatannya akhirnya membawa bahaya terhadap orang lain juga.

Dua bagian berikutnya dalam bab ini, Teks VI,5 dan VI,6, menjelaskan dengan menunjuk pada bhikkhu dan umat awam, masing-masing, bagaimana seseorang memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Kedua bagian menghubungkan gagasan “memberi manfaat kepada orang lain” dengan mengajar dan membimbing orang lain dalam Dhamma. Akhirnya, dalam Teks VI,7, Sang Buddha menyatakan seseorang dengan kebijaksanaan besar adalah seseorang yang memikirkan “kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia.” Kotbah-kotbah seperti ini pastinya menunjukkan bahwa perspektif altruistik telah menyatu dalam Buddhisme Awal, dan bahwa Mahāyāna hanya memberikan lebih banyak penekanan pada sikap ini, mungkin sebagai reaksi pada kecenderungan kemunduran yang muncul di antara beberapa aliran yang berkembang dari ajaran-ajaran awal.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #20 on: 15 February 2018, 01:29:12 PM »
1. Orang Bodoh dan Bijaksana

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas seharusnya dikenali sebagai seorang bodoh. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Seorang yang memiliki ketiga kualitas ini seharusnya dikenali sebagai seorang bodoh. Seorang yang memiliki tiga kualitas seharusnya dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Seorang yang memiliki ketiga kualitas ini seharusnya dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Bahaya apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Bencana apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Kemalangan apa pun yang muncul semuanya muncul dari orang bodoh, bukan dari orang bijaksana. Seperti halnya api yang memercik dalam sebuah rumah yang terbuat dari tanaman rambat atau rerumputan akan membakar bahkan sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup; demikian pula, bahaya apa pun yang muncul … semuanya muncul karena orang bodoh, bukan karena orang bijaksana; orang bodoh membawa bahaya, orang bijaksana tidak membawa bahaya; orang bodoh membawa bencana, orang bijaksana tidak membawa bencana; orang bodoh membawa kemalangan, orang bijaksana tidak membawa kemalangan. Tidak ada bahaya dari orang bijaksana; tidak ada bencana dari orang bijaksana; tidak ada kemalangan dari orang bijaksana.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari tiga kualitas yang membuat seseorang dikenal sebagai seorang bodoh, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan tiga kualitas yang membuat seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian seharusnya berlatih.”

(AN 3:1–2, NDB 201–2)

2. Orang Jahat dan Orang Baik

“Para bhikkhu, seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk; ia bergaul seperti seorang jahat, ia berkehendak seperti seorang jahat, ia memberikan nasihat seperti seorang jahat, ia berbicara seperti seorang jahat, ia bertindak seperti seorang jahat, ia menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat, dan ia memberikan persembahan seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk? Di sini seorang jahat tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; ia tidak terpelajar, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang jahat memiliki kualitas-kualitas buruk.

“Dan bagaimanakah seorang jahat bergaul seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat berteman dengan para pertapa dan brahmana yang tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; yang tidak terpelajar, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang jahat bergaul seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat berkehendak seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat menghendaki penderitaannya sendiri, menghendaki penderitaan makhluk lain, atau menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang jahat berkehendak seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memberikan nasihat seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, demi penderitaan makhluk lain, atau demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang jahat memberikan nasihat seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat berbicara seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat mengucapkan kebohongan, ucapan yang memecah belah, kata-kata kasar, dan omong kosong. Itu adalah bagaimana seorang jahat berbicara seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat bertindak seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan melakukan perbuatan seksual yang salah. Itu adalah bagaimana seorang jahat bertindak seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para pertapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang jahat menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat memberikan persembahan seperti seorang jahat? Di sini seorang jahat memberikan persembahan secara ceroboh, memberikan bukan dengan tangannya sendiri, memberikan tanpa menunjukkan penghormatan, memberikan apa yang seharusnya dibuang, memberikan dengan pandangan bahwa tidak ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang jahat memberikan persembahan seperti seorang jahat.

“Seorang jahat itu — yang memiliki kualitas-kualitas buruk demikian, yang bergaul seperti seorang jahat, berbicara seperti seorang jahat, bertindak seperti seorang jahat, menganut pandangan-pandangan seperti seorang jahat, dan memberikan persembahan seperti seorang jahat demikian — ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang jahat. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang jahat? Adalah neraka atau alam binatang....

“Para bhikkhu, seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik; ia bergaul seperti seorang baik, ia berkehendak seperti seorang baik, ia memberikan nasihat seperti seorang baik, ia berbicara seperti seorang baik, ia bertindak seperti seorang baik, ia menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik, dan ia memberikan persembahan seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik? Di sini seorang baik memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; ia terpelajar, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang baik memiliki kualitas-kualitas baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik bergaul seperti seorang baik? Di sini seorang baik berteman dengan para pertapa dan brahmana yang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan perbuatan-salah; yang terpelajar, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang baik bergaul seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik berkehendak seperti seorang baik? Di sini seorang baik tidak menghendaki penderitaannya sendiri, tidak menghendaki penderitaan makhluk lain, dan tidak menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang baik berkehendak seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memberikan nasihat seperti seorang baik? Di sini seorang baik tidak memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, tidak demi penderitaan makhluk lain, dan tidak demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang baik memberikan nasihat seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik berbicara seperti seorang baik? Di sini seorang baik menghindari ucapan bohong, ucapan yang memecah belah, kata-kata kasar, dan omong kosong. Itu adalah bagaimana seorang baik berbicara seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik bertindak seperti seorang baik? Di sini seorang baik menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan seksual yang salah. Itu adalah bagaimana seorang baik bertindak seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik? Di sini seorang baik menganut pandangan seperti berikut: ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para pertapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang baik menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik.

“Dan bagaimanakah seorang baik memberikan persembahan seperti seorang baik? Di sini seorang baik memberikan persembahan secara saksama, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan dengan menunjukkan penghormatan, memberikan persembahan yang berharga, memberikan dengan pandangan bahwa ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang baik memberikan persembahan seperti seorang baik.

“Seorang baik itu — yang memiliki kualitas-kualitas baik demikian, yang bergaul seperti seorang baik, berbicara seperti seorang baik, bertindak seperti seorang baik, menganut pandangan-pandangan seperti seorang baik, dan memberikan persembahan seperti seorang baik demikian — ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang baik. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang baik? Kemuliaan di antara para dewa atau manusia.”

(dari MN 110, MLDB 892–95)

3. Akar-Akar Bahaya dan Manfaat bagi Diri Sendiri dan Orang Lain

Seorang brahmana pengembara tertentu mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat secara langsung, Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang dikuasai oleh keserakahan menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh keserakahan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang dikuasai oleh keserakahan tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika keserakahan ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Seseorang yang dikuasai oleh kebencian menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh kebencian melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang dikuasai oleh kebencian tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(3) “Seseorang yang dikuasai oleh delusi menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang dikuasai oleh delusi melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang dikuasai oleh delusi tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

(AN 3:54, NDB 250–51)

4. Empat Jenis Orang di Dunia

(1) Jenis Orang Terbaik

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

“Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain.

“Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini. Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini. Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini.

“Ini adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:95, NDB 476–77)

(2) Pelenyapan Nafsu, Kebencian, dan Delusi

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini yang terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka, tetapi tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, juga tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, dan ia mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:96, NDB 477–78)

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #21 on: 15 February 2018, 01:32:38 PM »
(3) Lima Aturan Pelatihan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri menghindari membunuh tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh. Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia sendiri menghindari hubungan seksual yang salah tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah. Ia sendiri menghindari berbohong tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari berbohong. Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang itu sendiri tidak menghindari membunuh tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri tidak menghindari membunuh dan tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan dan tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri ataupun bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang itu sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan dan mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

(AN 4:99, NDB 479–80)

5. Bhikkhu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain.”

(AN 5:20, NDB 639–40)

6. Umat Awam

Mahānāma orang Sakya bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; (2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral; (3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan; (4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu dan juga mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu; (5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati dan juga mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati; (6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar dan juga mendorong orang lain untuk mengingat ajaran; (7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat dan juga mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya; (8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma dan juga mendorong orang lain agar berlatih sesuai dengan Dhamma. Dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”

(dari AN 8:25, NDB 1155)

7. Orang dengan Kebijaksanaan Mulia

Seorang bhikkhu tertentu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dikatakan, Bhante, ‘seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia?”

“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Alih-alih, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan mulia.”

(dari AN 4:186, NDB 555)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #22 on: 15 February 2018, 01:42:52 PM »
VII. Komunitas Intensional

Pendahuluan

Komunitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yang dapat kita sebut komunitas alami dan intensional. Sebuah komunitas alami adalah komunitas yang muncul secara spontan dari ikatan alami antara orang-orang. Dalam pengalaman konkrit, komunitas alami telah diberikan bersama dalam dunia kehidupan di mana kita tertanam. Kita tidak membentuk komunitas alami tetapi menemukan diri kita tenggelam di dalamnya, bahkan sejak lahir, sepenuhnya seperti seekor ikan yang tenggelam dalam lautan. Kehidupan kita sepenuhnya terjalin dengan komunitas alami, di mana kita tidak dapat terpisahkan darinya; hanya suatu batas yang mengambang dan berpori memisahkan diri personal dan komunitas alami. Komunitas intensional, sebaliknya, dibentuk dengan sengaja. Komunitas intensional membawa orang-orang bersama di bawah spanduk dari tujuan atau cita-cita bersama. Mereka biasanya menetapkan persyaratan-persyaratan bagi keanggotaannya dan diatur oleh aturan dan regulasi. Mereka tunduk pada keretakan dan harus memastikan bahwa para anggotanya tetap setia pada tujuan kelompok dan berperilaku dengan cara yang mendukung keberhasilannya. Komunitas yang demikian biasanya juga menetapkan batas-batas pelanggaran yang mengharuskan pengusiran dari kedudukannya.

Prinsip-prinsip yang mengatur suatu komunitas intensional adalah perhatian khusus bagi Sang Buddha karena beliau adalah pendiri suatu tatanan monastik yang membawa bersama-sama para pria dan wanita di bawah komitmen bersama dalam ajaran ini. Para anggota tatanan itu datang dari wilayah geografis yang berbeda, telah lahir dalam kasta yang berbeda, memiliki gagasan dan sikap yang sangat berbeda, dan bahkan berbicara dalam dialek yang berbeda. Beliau juga merupakan pembimbing sekumpulan para pengikut awam yang lebih besar yang tersebar sepanjang daerah yang membentang kira-kira dari Delhi saat ini sampai Bengal Barat. Demikianlah bagi Sang Buddha, mempertahankan kekompakan komunitas beliau adalah suatu tugas penting, yang terus-menerus ditantang oleh ketegangan-ketegangan dalam kehidupan komunal. Beliau mengetahui bahwa untuk memastikan bahwa ajaran beliau bertahan utuh, diperlukan untuk menetapkan aturan-aturan yang akan menentukan standar perilaku dan mendefinisikan prosedur-prosedur untuk melakukan urusan komunal. Dalam menghadapi tekanan yang memecah belah dan bahkan pemberontakan, beliau harus mempertahankan kerukunan dan menyembuhkan konflik-konflik, yang meledak beberapa kali dalam perjalanan karir pengajaran beliau.

Bagian VII terdiri dari teks-teks yang berhubungan dengan pengembangan dan pemeliharaan komunitas intensional. Meskipun kebanyakan teks yang dipilih memberikan referensi tertentu pada tatanan monastik, tujuan di belakang prinsip-prinsip ini tidak perlu terikat pada cara hidup monastik. Prinsip-prinsip yang mereka nyatakan dapat diadopsi oleh komunitas-komunitas lainnya dan disesuaikan dengan tujuannya.

Bab ini mulai dengan serangkaian kotbah pendek, Teks VII,1(1)-(5), yang membedakan lima jenis komunitas yang berlawanan – dangkal dan dalam, terpecah dan rukun, dan seterusnya – dengan memuji jenis-jenis komunitas yang pantas di atas yang tidak pantas.[1] Teks VII,2(1)-(3) membahas kekuatan-kekuatan penarik yang menarik orang-orang bersama dalam komunitas. Faktor umum disebutkan dalam VII,2(1): orang-orang bertemu dan bersatu “berdasarkan unsur-unsur.” Karena watak (adhimutti) mereka, orang-orang bersatu dengan mereka yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Kekuatan-kekuatan penarik juga membagi komunitas yang dihasilkan menjadi dua jenis: penyatuan yang buruk, yang bagaikan kotoran menyatu dengan kotoran atau ludah dengan ludah. Teks VII,2(2) menambatkan bersama sejumlah kotbah yang merincikan “unsur-unsur” di mana orang-orang bersatu karenanya, dengan menyebutkan kualitas-kualitas buruk dan kualitas-kualitas baik yang membawa orang-orang bersama. Dalam kotbah lain yang tidak dimasukkan di sini (SN 14:15), Sang Buddha menunjukkan bagaimana para bhikkhu yang condong pada kebijaksanaan berkumpul di sekeliling Sāriputta; mereka yang condong pada kekuatan batin berkumpul di sekeliling Moggallāna; mereka yang tertarik dalam disiplin monastik berkumpul di sekeliling Upāli; mereka yang cenderung pada praktek keras berkumpul di sekeliling Mahākassapa; dan mereka yang memiliki keinginan jahat berkumpul di sekeliling Devadatta, sepupu Sang Buddha yang ambisius.

Suatu kumpulan prinsip untuk membangun komunitas yang sehat adalah empat saṅgahavatthu, sebuah istilah yang dapat diterjemahkan sebagai “empat cara merangkul orang lain” atau “empat cara daya tarik atau dukungan.” Ini awalnya ditetapkan sebagai metode di mana seseorang dapat membangun suatu jaringan persahabatan, tetapi mereka dapat juga digunakan untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang harmonis dalam suatu kelompok yang besar. Empat hal itu – yang digambarkan dalam Teks VII,2(3) – adalah memberi, ucapan yang penuh kasih sayang, perilaku yang bermurah hati, dan sikap tidak membeda-bedakan, yang terakhir ditafsirkan sebagai cara memperlakukan orang lain sama seperti diri sendiri. Kumpulan tertentu ini, anehnya, disebutkan hanya dalam sedikit kesempatan dalam kitab-kitab Buddhisme Awal. Mereka mendapatkan lebih banyak perhatian dalam sūtra-sūtra Mahāyāna dan ulasan-ulasannya, di mana keempat hal itu didaftarkan sebagai cara utama yang digunakan seorang bodhisattva untuk menarik orang lain dan mengubah mereka ke arah yang positif.

Ketika suatu komunitas intensional telah terbentuk, penting bagi keberhasilannya adalah masalah kepemimpinan. Selama masa kehidupan Sang Buddha sendiri, para pengikut beliau selalu melihat beliau sebagai standar otoritas dan dengan demikian kharisma personal beliau adalah cukup bagi para siswa untuk menerima instruksi-instruksi beliau sebagai pengikat. Tetapi sebelum wafatnya, Sang Buddha menolak untuk menunjuk seorang pengganti personal, alih-alih mendorong para siswanya menganggap Dhamma dan Vinaya sebagai guru dan standar otoritas mereka: “Mungkin, Ānanda, bahwa kalian berpikir: ‘Ajaran ini telah kehilangan gurunya. Kami tidak lagi memiliki seorang guru.’ Kalian tidak seharusnya berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan dan ditetapkan olehku akan menjadi guru kalian setelah aku tiada.”[2] Teks VII,3(1) menyatakan prinsip yang sama. Yang Mulia Ānanda ditanya oleh brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, bagaimana para bhikkhu tetap bersatu ketika guru mereka telah meninggal dunia. Ānanda menjawab bahwa walaupun Sang Buddha sudah tiada, mereka bukan tanpa pelindung, karena mereka masih memiliki Dhamma sebagai pelindung mereka.

Sebagai seorang pembuat aturan bagi komunitasnya, Sang Buddha menetapkan sekumpulan aturan terperinci bagi para bhikkhu dan bhikkhuni, yang secara seksama dijelaskan dan didefinisikan dalam Vinaya Piṭaka. Aturan-aturan pelatihan juga dimaksudkan untuk menyebarluaskan kerukunan dan harmoni, baik di antara komunitas monastik maupun di antara komunitas monastik dan umat awam. Ini dapat dilihat dalam Teks VII,3(2), yang menyebutkan sepuluh alasan Sang Buddha menetapkan suatu aturan pelatihan. Dua di antara sepuluh alasan itu menunjukkan bahwa aturan-aturan sebagian ditetapkan untuk menginspirasi keyakinan dalam diri para perumah tangga yang tanpa keyakinan dalam ajaran dan untuk memperkuat keyakinan para umat awam yang telah menerima Dhamma.

Vinaya Piṭaka tidak hanya mengandung penjelasan atas aturan-aturan monastik individual tetapi juga regulasi untuk melakukan tindakan komunal. Regulasi ini juga menyoroti perhatian Sang Buddha untuk menjaga kerukunan komunal. Agar suatu prosedur komunal menjadi sah bagi Sangha yang tinggal pada satu tempat tertentu, semua penghuninya (apakah tetap atau yang berkunjung) harus hadir atau, jika mereka tidak dapat ikut serta secara langsung (sebagai contoh, karena sakit), mereka harus memberikan persetujuan mereka agar prosedur itu berlangsung tanpa kehadirannya. Transaksi-transaksi dibagi menjadi empat kategori: mereka yang dapat disahkan hanya berdasarkan suatu pengumuman; mereka yang membutuhkan suatu usulan; mereka yang membutuhkan suatu usulan dan sebuah pernyataan; dan mereka yang membutuhkan suatu usulan dan tiga pernyataan. Tindakan-tindakan yang membutuhkan suatu prosedur yang lebih rumit dianggap lebih penting daripada mereka yang dapat dilewatkan dengan suatu prosedur yang lebih sederhana. Demikianlah suatu tindakan penahbisana, di mana seorang calon baru diterima dalam Sangha, dianggap suatu prosedur penting yang membutuhkan suatu usulan dan satu pernyataan. Selama prosedur itu, para anggota komunitas memberikan persetujuan mereka dengan tetap berdiam diri. Semua yang hadir diundang untuk menyuarakan keberatan apa pun selama proses itu, dan jika tidak ada keberatan, transaksi dinyatakan telah terjadi.[3]

Untuk memelihara kerukunan dalam komunitas monastik, Sang Buddha mengajarkan sekumpulan pedoman yang dikenal sebagai enam prinsip kerukunan (dhammā sāraṇīyā), yang dimasukkan di sini sebagai Teks VII,3(3). Prinsip-prinsip ini dipuji sebagai “yang membawa pada kasih sayang, penghormatan, kerukunan, harmoni, tanpa perselisihan, dan persatuan.” Mulanya dimaksudkan untuk tatanan monastik, dengan perubahan yang sesuai mereka dapat diadopsi oleh komunitas intensional lainnya. Mereka menekankan kebaikan yang bersifat timbal-balik, perilaku baik, dan berbagi perolehan bersama membuat mereka sebuah penangkal kuat bagi individualisme, dan sifat mementingkan diri sendiri yang dapat memecah belah komunitas dan menghancurkannya berkeping-keping. Dalam sebuah penafsiran yang diperluas, di mana teks itu mengatakan tentang berbagi bersama isi mangkuk dana makanan, ini dapat dipahami menyatakan pembagian bersama sumber-sumber daya dan pembagian kembali pendapatan untuk menghilangkan kesenjangan kesejahteraan yang menyolok. Di mana teks membicarakan tentang kerukunan pandangan, dalam masyarakat yang pluralistik ini dapat ditafsirkan sebagai saling menghormati dan toleransi di antara mereka yang menganut pandangan-pandangan yang beranekaragam. Sepuluh prinsip kerukunan tambahan, yang dengan sama digambarkan tetapi dengan fokus yang lebih bersifat monastik, diajarkan dalam Teks VII,3(4).

Seperti lazimnya di India selama masa beliau, Sang Buddha kadangkala didatangi oleh para pemimpin masyarakat sipil dan meminta nasehat tentang menyebarkan kekompakan dalam komunitas mereka sendiri. Sebagai jawaban beliau mengajarkan tujuh prinsip yang dirancang untuk memelihara kerukunan sosial. Locus classicus [suatu teks yang terkemuka atau paling otoritatif] untuk hal ini ditemukan dalam Teks VII,3(5), di mana beliau mengajarkan “tujuh kondisi untuk ketidakmunduran” kepada orang-orang Vajji, suatu konfederasi republik para bangsawan yang berpusat di sekeliling kota Vesālī yang maju. Tujuh kondisi itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa orang-orang Vajji dapat bertahan dalam tantangan-tantangan yang dilancarkan oleh kerajaan-kerajaan tetangga, terutama kerajaan Magadha, yang rajanya dengan gencar mengabsorpsi wilayah mereka ke dalam wilayah kekuasaannya. Pada kesempatan itu Sang Buddha memberikan pedoman yang mulanya dimaksudkan untuk masyarakat sipil dan kemudian, dengan perubahan yang sesuai, menetapkannya untuk tatanan monastik. Ini dilakukan dengan tujuh prinsip untuk ketidakmunduran dalam Teks VII,3(6), suatu versi yang sesuai dengan situasi para bhikkhu.

Teks berikutnya, VII,3(7), berhubungan dengan aspek khusus kehidupan komunal, kepedulian terhadap orang sakit. Di sini Sang Buddha menyebutkan lima kualitas yang diharapkan dari seorang perawat dan lima kualitas yang diharapkan dari seorang pasien. Walaupun beliau tampaknya mengatakan kepedulian terhadap orang sakit di sebuah vihara, di mana perawatan profesional umumnya tidak tersedia, kualitas-kualitas yang sama dapat berperan sebagai pedoman untuk merawat seorang pasien dalam kehidupan berumah tangga.

Seperti yang telah banyak diketahui, masyarakat India selama masa Sang Buddha dibedakan menjadi empat kasta atau tingkatan sosial, yang ditentukan berdasarkan kelahiran. Terdapat golongan khattiya (Sanskrit kshatriya), kasta bangsawan atau yang mengurus pemerintahan; brāhmaṇa, kasta pendeta; vessa (vaishya), para pedagang dan petani; dan sudda (śūdra), para pekerja kasar dan buruh lainnya. Di luar sistem kelas berunsur empat ini terdapat mereka yang tanpa status kasta, yang dikenal sebagai orang-orang buangan, orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan yang sangat rendah, seperti pengumpul sampah, pembersih kamar kecil, dan pekerja tempat kremasi. Dalam bab ini saya menyajikan sikap Sang Buddha terhadap kasta dalam tatanan monastik; dalam bab terakhir saya akan menghubungkan dengan pandangan Buddhis terhadap status kasta dalam masyarakat sekuler. Dalam tatanan monastik, Sang Buddha menganggap status kasta tidak relevan. Dalam Teks VII,4(1) beliau mengatakan bahwa, seperti halnya air dari sungai-sungai besar India, ketika sampai di samudera, melepaskan nama-nama sungai mereka dan hanya dikenal sebagai “air samudera,” demikian juga orang-orang dari semua keempat kasta yang bergabung dalam Sangha melepaskan status kasta mereka dan hanya dikenal sebagai para pengikut pertapa Sakya. Dalam Teks VII,4(2) beliau menyatakan bahwa orang-orang dari berbagai latar belakang kasta yang memasuki kehidupan tanpa rumah dapat mengembangkan suatu pikiran cinta kasih yang mulia dan, lebih lanjut lagi, dapat mencapai tujuan akhir, penghancuran semua kekotoran. Teks VII,4(3), yang disampaikan kepada Raja Pasenadi, menyatakan bahwa siapa pun yang meninggalkan lima rintangan batin dan mencapai lima kesempurnaan seorang arahant adalah ladang jasa yang tertinggi tanpa memperhatikan latar belakang kastanya.

Teks VII,5 memberikan suatu kisah luar biasa tentang sekelompok kecil bhikkhu yang tinggal bersama dalam persatuan yang sempurna, bercampur bagaikan susu dan air. Rahasia keberhasilan mereka, mereka katakan, adalah masing-masing mengesampingkan apa yang ia inginkan dan memperhatikan apa yang orang lain inginkan. Dengan cara yang demikian, walaupun mereka berbeda dalam tubuh, mereka adalah satu dalam pikiran.

Dalam masyarakat Buddhis, kerukunan penting tidak hanya di dalam komunitas umat awam dan tatanan monastik karena mereka melakukan urusan-urusan internal mereka secara terpisah, tetapi juga antara kedua komunitas dalam interaksi bersama mereka. Demikianlah bagian terakhir dari bab ini dicurahkan untuk kolaborasi antara komunitas umat awam dan monastik. Teks VII,6(1) menyatakan dengan tegas bahwa ajaran berkembang ketika dua cabang komunitas Buddhis mengetahui kewajiban khusus mereka satu sama lainnya dan saling mendukung dalam semangat penghargaan bersama. Tiga sutta berikutnya, Teks VII,6(2)-(4), menggambarkan hal ini dari kedua sudut pandang, dengan menunjukkan cara yang tepat bagi umat awam memperlakukan para monastik dan bagi para monastik memperlakukan umat awam. Harus diingat bahwa standar perilaku yang ditetapkan di sini mengandalkan kebudayaan India kuno di mana Buddhisme muncul darinya – suatu masa ketika umat awam jarang memiliki akses pada ajaran-ajaran yang lebih tinggi dan umumnya melakukan praktek-praktek kebajikan yang membawa pada kelahiran kembali di surga. Dalam dunia saat ini, ketika umat awam dapat mempelajari Dhamma dengan mendalam dan mengambil jangka waktu untuk praktek intensif, perubahan-perubahan dalam hubungan khusus ini akan secara alami mengikuti. Namun, jika kerukunan muncul di antara kedua komunitas, semangat penghormatan dan kebaikan yang membentuk hubungan ini harus tetap tidak berubah.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #23 on: 15 February 2018, 01:52:44 PM »
1. Jenis-Jenis Komunitas

(1) Dangkal dan Dalam

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas. Apakah dua ini? Komunitas dangkal dan komunitas dalam.

“Dan apakah komunitas dangkal? Komunitas di mana para bhikkhu gelisah, angkuh, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa arah, dengan perhatian yang kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan indera-indera yang kendur: ini disebut komunitas dangkal.

“Dan apakah komunitas dalam? Komunitas di mana para bhikkhu tidak gelisah, tidak angkuh, tidak tinggi hati, tidak banyak bicara, tidak berbicara tanpa arah, melainkan dengan perhatian yang kokoh, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan indera-indera yang terkendali: ini disebut komunitas dalam.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas dalam adalah yang terunggul.”

(AN 2:42, NDB 161)

(2) Terpecah dan Rukun

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas yang terpecah dan komunitas yang rukun.

“Dan apakah komunitas yang terpecah? Komunitas di mana para bhikkhu terbiasa berdebat dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam: ini disebut komunitas yang terpecah.

“Dan apakah komunitas yang rukun? Komunitas di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling menatap satu sama lain dengan tatapan kasih sayang: ini disebut komunitas yang rukun.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas yang rukun adalah yang terunggul.”

(AN 2:43, NDB 161)

(3) Rendah dan Unggul

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas orang-orang rendah dan komunitas orang-orang unggul.

“Dan apakah komunitas orang-orang rendah? Di sini, dalam komunitas jenis ini para bhikkhu senior hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kebiasaan-kebiasaan yang tercela, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Mereka pada generasi berikutnya mengikuti jejak mereka. Mereka juga hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kebiasaan-kebiasaan yang tercela, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut komunitas orang-orang rendah.

“Dan apakah komunitas orang-orang unggul? Di sini, dalam komunitas jenis ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan yang tercela dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Mereka pada generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, dan membuang kebiasaan-kebiasaan yang tercela dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini disebut komunitas orang-orang unggul.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas orang-orang unggul adalah yang terunggul.”

(AN 2:44, NDB 161–62)

(4) Tidak Mulia dan Mulia

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas orang-orang tidak mulia dan komunitas orang-orang mulia.

“Dan apakah komunitas orang-orang tidak mulia? Komunitas di mana para bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini disebut komunitas orang-orang tidak mulia.

“Dan apakah komunitas orang-orang mulia? Komunitas di mana para bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini disebut komunitas orang-orang mulia.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas orang-orang mulia adalah yang terunggul.”

(AN 2:45, NDB 162–63)

(5) Tidak Bajik dan Bajik

“Para bhikkhu, ada dua jenis komunitas ini. Apakah dua ini? Komunitas yang tidak bajik dan komunitas yang bajik.

“Dan apakah komunitas yang tidak bajik? Di sini, dalam kumpulan ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma diajukan dan tindakan disiplin yang sesuai Dhamma tidak diajukan; tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin diajukan dan tindakan disiplin yang sesuai disiplin tidak diajukan. Ini disebut komunitas yang tidak bajik. Adalah karena tidak bajik maka dalam komunitas ini tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma dijalankan … dan tindakan disiplin yang sesuai dengan disiplin tidak diajukan.

“Dan apakah komunitas yang bajik? Di sini, dalam komunitas ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan Dhamma tidak dijalankan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin dijalankan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak dijalankan. Tindakan disiplin yang sesuai Dhamma diajukan dan tindakan disiplin yang bertentangan Dhamma tidak diajukan; tindakan disiplin yang sesuai disiplin diajukan dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak diajukan. Ini, para bhikkhu, disebut komunitas yang bajik. Adalah karena bajik maka dalam komunitas ini tindakan disiplin yang sesuai Dhamma dijalankan … dan tindakan disiplin yang bertentangan dengan disiplin tidak diajukan.

“Ini adalah dua jenis komunitas itu. Di antara dua jenis komunitas ini, komunitas yang bajik adalah yang terunggul.”

(AN 2:49, NDB 165–66)

2. Pembentukan Komunitas

(1) Bagaimana Makhluk-Makhluk Berkumpul dan Bersatu

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian. Bagaikan kotoran berkumpul dan bersatu dengan kotoran, air seni dengan air seni, air ludah dengan air ludah, nanah dengan nanah, dan darah dengan darah, demikian pula, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian. Bagaikan susu berkumpul dan bersatu dengan susu, minyak dengan minyak, ghee dengan ghee, madu dengan madu, dan sirop gula dengan sirop gula, demikian pula, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.”

(SN 14:16, CDB 640)

(2) Yang Sama Menarik yang Sama

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang kurang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang kurang berkeyakinan, mereka yang tidak memiliki rasa malu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah, mereka yang tidak terpelajar dengan mereka yang tidak terpelajar, mereka yang malas dengan mereka yang malas, mereka yang berpikiran kacau dengan mereka yang berpikiran kacau, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian; dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkeyakinan, mereka yang memiliki rasa malu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah, mereka yang terpelajar dengan mereka yang terpelajar, mereka yang bersemangat dengan mereka yang bersemangat, mereka yang penuh perhatian dengan mereka yang penuh perhatian, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan saat ini di masa sekarang mereka juga demikian.

“Mereka yang membunuh makhluk-makhluk hidup berkumpul dan bersatu dengan mereka yang membunuh makhluk-makhluk hidup; mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan … yang melakukan perbuatan seksual yang salah … yang mengucapkan kebohongan … yang menikmati anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menikmati minuman memabukkan.

“Mereka yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; mereka yang menghindari mengambil apa yang tidak diberikan … menghindari perbuatan seksual yang salah … menghindari berbohong … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari minuman memabukkan.”

“Mereka yang berpandangan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan salah; mereka yang berkehendak salah … ucapan salah … perbuatan salah … penghidupan salah … usaha salah … perhatian salah … konsentrasi salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi salah.

“Mereka yang berpandangan benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan benar; mereka yang berkehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi benar.”

(SN 14:17, 14:25, 14:28; CDB 641, 644, 645)

(3) Empat Cara Merangkul Orang Lain

“Para bhikkhu, ada empat cara ini untuk merangkul orang lain. Apakah empat ini? Memberi, ucapan yang penuh kasih sayang, perilaku yang bermurah hati, dan sikap tidak membeda-bedakan. Ini adalah keempat cara untuk merangkul orang lain.”

Memberi, ucapan penuh kasih sayang,
perilaku bermurah hati, dan tidak membeda-bedakan
di bawah kondisi-kondisi duniawi yang beranekaragam,
sesuai dengan tiap-tiap kasus:
cara-cara merangkul orang lain ini
adalah bagaikan sumbu dari roda kereta yang berputar.

Jika tidak ada cara-cara merangkul orang lain seperti ini,
maka ibu atau ayah
tidak akan memperoleh penghargaan
dan penghormatan dari anak-anak mereka.

Tetapi ada cara-cara merangkul orang lain seperti ini,
maka orang-orang bijaksana menghormati mereka;
demikianlah mereka mencapai kemuliaan
dan sangat dipuji.

(AN 4:32, NDB 419–20)

3. Mempertahankan Komunitas

(1) Standar Otoritas

Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”[4]

“Tidak ada seorang bhikkhu pun, Brahmana, yang ditunjuk oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

“Tetapi, adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kita ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu pun, Brahmana, yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kita ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

“Tetapi jika engkau tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?”

“Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.”

“Engkau mengatakan, Guru Ānanda,bahwa kalian memiliki Dhamma sebagai perlindungan kalian. Bagaimanakah hal ini seharusnya dipahami?”

“Brahmana, Sang Bhagavā telah menetapkan aturan latihan bagi para bhikkhu dan beliau telah menetapkan Pātimokkha. Pada hari-hari uposatha[5] kami semua yang hidup dengan bergantung pada satu desa tertentu berkumpul bersama, dan ketika kami berkumpul kami memohon pada seseorang yang menguasai Pātimokkha untuk melafalkannya. Jika seorang bhikkhu mengingat suatu pelanggaran ketika Pātimokhha sedang dibacakan, maka kami menindaknya sesuai dengan Dhamma dengan cara yang telah diajarkan. Bukan para mulia yang mengatur kami; adalah Dhamma yang mengatur kami.”

(MN 108, MLDB 892–95)

(2) Alasan-Alasan bagi Aturan-Aturan Pelatihan

Yang Mulia Upāli mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, berdasarkan berapa banyak landasankah Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha?”
“Adalah, Upāli, berdasarkan sepuluh landasan Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha. Apakah sepuluh ini? (1) Demi kesejahteraan Saṅgha; (2) demi kenyamanan Saṅgha; (3) untuk menekan orang-orang yang membandel; (4) sehingga para bhikkhu yang berperilaku baik dapat berdiam dengan nyaman; (5) untuk mengendalikan noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan sekarang; (6) untuk menghalau noda-noda yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; (7) agar mereka yang tanpa keyakinan dapat memperoleh keyakinan; dan (8 ) untuk meningkatkan keyakinan dari mereka yang berkeyakinan; (9) demi kelanjutan Dhamma sejati; dan (10) untuk memajukan disiplin. Adalah berdasarkan sepuluh landasan ini Sang Tathāgata menetapkan aturan-aturan latihan bagi para siswanya dan melafalkan Pātimokkha.”

(AN 10:31, NDB 1387)

(3) Enam Prinsip Kerukunan

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui ucapan terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan atas pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …
“Ini, para bhikkhu, adalah enam prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan persatuan.”

(AN 6:12, NDB 866–67; lihat MN 48, MLDB 420–21)

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #24 on: 15 February 2018, 02:08:48 PM »
(4) Sepuluh Prinsip Kerukunan

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika mereka berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan, di mana beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, diskusi apakah yang sedang kalian lakukan barusan ketika kalian sedang duduk bersama di sini? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Bhante, setelah kami makan, ketika kembali dari perjalan menerima dana makanan, kami berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika kami berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk.”

“Para bhikkhu, tidaklah selayaknya bagi kalian, para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk berdebat dan bertengkar dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata menusuk.

“Ada, para bhikkhu, sepuluh prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan. Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Karena seorang bhikkhu bermoral … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna—ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Karena seorang bhikkhu telah banyak belajar … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik. Karena seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dikoreksi; ia sabar dan menerima ajaran dengan hormat. Karena seorang bhikkhu mudah dikoreksi … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu terampil dan rajin dalam melakukan berbagai tugas yang harus dilakukan demi teman-temannya para bhikkhu; ia memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar. Karena seorang bhikkhu terampil dan rajin … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu menyukai Dhamma dan menyenangkan dalam pernyataan-pernyataannya, penuh dengan kegembiraan luhur yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin. Karena seorang bhikkhu menyukai Dhamma … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Karena seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(8) “Kemudian, seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Karena seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu penuh perhatian, memiliki perhatian dan kewaspadaan tertinggi, seorang yang mengingat apa yang telah dilakukan dan diucapkan yang telah lama berlalu. Karena seorang bhikkhu penuh perhatian … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

(10) “Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Karena seorang bhikkhu bijaksana … ini adalah satu prinsip kerukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan persatuan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghormatan dan mengakibatkan kekompakan, tanpa perselisihan, kerukunan, dan persatuan.”

(AN 10:50, NDB 1399–1401)

(5) Tujuh Kondisi bagi Kerukunan Sosial

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Tempat Pemujaan Sārandada. Kemudian sejumlah orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepada mereka sebagai berikut: “Aku akan mengajarkan kepada kalian, para Licchavi, tentang tujuh prinsip ketidakmunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para Licchavi itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Dan apakah, para Licchavi, tujuh prinsip ketidakmunduran itu?

(1) “Para Licchavi, selama para Vajji sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para Vajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Vajji dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para Vajji tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti prinsip-prinsip kuno Vajji seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para sesepuh Vajji dan berpikir bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan altar-altar tradisi, baik yang berada di dalam [kota] maupun di luar kota, dan tidak mengabaikan pengorbanan baik seperti yang dipersembahkan kepada altar-altar itu di masa lalu, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para Vajji memberikan perlindungan baik, naungan baik, dan penjagaan baik kepada para Arahant, [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar para Arahant yang belum datang ke sini dapat datang ke negeri kami, dan bagaimanakah agar para Arahant itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’ maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para Licchavi, selama ketujuh prinsip ketidakmunduran ini berlanjut di antara para Vajji, dan para Vajji terlihat kokoh di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

(AN 7:21, NDB 1009–10)

(6) Tujuh Kondisi bagi Kerukunan Monastik

Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidakmunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidakmunduran itu?

(1) “Selama para bhikkhu sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para bhikkhu berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Saṅgha dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para bhikkhu tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti aturan-aturan latihan seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para bhikkhu yang adalah para sesepuh, yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pembimbing Saṅgha, dan berpikir bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para bhikkhu tidak dikuasai oleh ketagihan yang telah muncul yang mengarah pada penjelmaan baru, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para bhikkhu bertekad untuk menetap di tempat-tempat tinggal di dalam hutan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para bhikkhu masing-masing menegakkan perhatian sehingga teman-teman para bhikkhu yang berperilaku baik yang belum datang dapat datang, dan dengan demikian para bhikkhu yang berperilaku baik itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidakmunduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat kokoh di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

(AN 7:23, NDB 1013–14)

(7) Melayani Orang Sakit

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia mampu mempersiapkan obat. (2) Ia mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, sehingga ia tidak memberikan apa yang berbahaya dan memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien dengan pikiran cinta kasih, bukan demi mendapatkan imbalan materi. (4) Ia tidak merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dengan khotbah Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien.

“Dengan memiliki lima kualitas lainnya, seorang pasien adalah mudah dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang bermanfaat. (2) Ia melakukan secukupnya apa yang bermanfaat. (3) Ia meminum obatnya. (4) Ia secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia memberitahukan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia dapat dengan sabar menahan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien adalah mudah dirawat.”

(AN 5:123–24 digabungkan, NDB 741–42)

4. Kasta adalah Tidak Relevan

(1) Bergabung Bagaikan Sungai-Sungai  dalam Samudera

“Seperti halnya, ketika sungai-sungai besar – Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū dan Mahī – mencapai samudra raya, sungai-sungai itu meninggalkan nama dan sebutannya dan hanya disebut sebagai samudra raya, demikian pula, ketika anggota-anggota dari empat kasta — khattiya, brahmana, vessa, dan sudda[6] — meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mereka meninggalkan nama dan suku sebelumnya dan hanya disebut sebagai para pertapa yang mengikuti putra Sakya.”

(dari AN 8:19, NDB 1144; Ud 5.5)

(2) Semua Dapat Merealisasikan Tujuan Tertinggi

“Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan. Jika seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang dari arah timur atau dari arah barat atau dari arah utara atau dari arah selatan atau dari manapun kalian inginkan, setelah mendatangi kolam itu ia akan memuaskan dahaganya dan demam cuaca panasnya. Demikian pula, para bhikkhu, jika siapapun dari kasta khattiya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, atau dari kasta brahmana atau dari kasta vessa atau dari kasta sudda, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang pertapa, aku katakan.

“Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta khattiya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, atau dari kasta brahmana atau dari kasta vessa atau dari kasta sudda, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang pertapa karena hancurnya noda-noda itu.

(dari MN 40, MLDB 374–75)

(3) Kriteria Kelayakan Spiritual

[Sang Buddha bertanya kepada Raja Pasenadi:] “Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang tidak terlatih, tidak mahir, tidak cakap, tidak berpengalaman, cemas, ngeri, takut, cepat melarikan diri. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja tidak, Bhante.”

“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang tidak terlatih … cepat melarikan diri. Akankah engkau mempekerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?” – “Tentu saja tidak, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang terlatih, mahir, cakap, berpengalaman, berani, teguh, tegas, siap di tempatnya. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja, Bhante.”

“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang terlatih … siap di tempatnya. Akankah engkau mempekerjakan orang itu?” – “Tentu saja, Bhante.”

“Demikian pula, Baginda, ketika seseorang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tidak peduli dari suku apa, jika ia meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor, maka apa yang diberikan kepadanya akan menghasilkan buah besar. Lima faktor apakah yang telah ditinggalkan? Keinginan indria telah ditinggalkan; permusuhan telah ditinggalkan; kelambanan dan ketumpulan telah ditinggalkan; kegelisahan dan penyesalan telah ditinggalkan; keragu-raguan telah ditinggalkan. Apakah lima faktor yang ia miliki? Ia memiliki kelompok moralitas dari seseorang yang telah melampaui latihan, ia memiliki kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebebasan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Demikianlah apa yang diberikan kepada seorang yang telah meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor adalah menghasilkan buah besar.

“Bagaikan seorang raja yang bertekad untuk berperang
Akan mempekerjakan seorang pemuda yang terampil dengan busur,
Seorang yang memiliki kekuatan dan keberanian,
Tetapi bukan seorang pengecut sehubungan dengan kelahirannya —
Demikian pula walaupun ia berkelahiran rendah,
Seseorang seharusnya menghormati orang yang berperilaku mulia,
Seorang bijaksana yang padanya telah berkembang
Perilaku bermoral dari kesabaran dan kelembutan.”

(dari SN 3:24; CDB 190–91)


"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #25 on: 15 February 2018, 02:10:02 PM »
5. Teladan Kerukunan Monastik

Pada suatu kesempatan ketika Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Hutan Pohon Sāla Gosinga, Sang Bhagavā pergi mengunjungi mereka. Ketika mereka mendengar beliau telah tiba, ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luarNya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kakiNya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya cukup nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Kami dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, kami cukup nyaman, dan kami tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Bhante, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

“Bhante, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan perbuatan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan perbuatan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa aku tidak mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ Kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, tetapi kami satu dalam pikiran. Itu adalah bagaimana, Bhante, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Bagus, bagus! Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tentu saja, Bhante, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

“Bhante, sehubungan dengan hal itu, siapa pun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapa pun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apapun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia menyimpan tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seorang lainnya dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat kami terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

(dari MN 31, MLDB 301–2)

6. Para Monastik dan Umat Awam

(1) Saling Mendukung

“Para bhikkhu, para perumah tangga adalah sangat membantu bagi kalian. Mereka menyediakan kalian dengan kebutuhan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan pada waktu sakit. Dan kalian, para bhikkhu, adalah sangat membantu bagi para perumah tangga, karena kalian mengajarkan mereka Dhamma yang baik pada awalnya, pertengahannya, dan akhirnya, dengan makna dan ungkapan yang tepat, dan kalian menyatakan kehidupan spiritual dalam pemenuhan dan kemurnian sempurnanya. Demikianlah, para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalankan dengan saling mendukung demi tujuan menyeberangi banjir dan mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

(It §107)

(2) Seorang Tamu Keluarga-Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia memperlihatkan keakraban hanya terhadap yang dikenal; (2) ia memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia bergaul untuk tujuan menciptakan perpecahan; (4) ia berbisik di telinga; dan (5) ia mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas lainnya, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia tidak memperlihatkan keakraban hanya terhadap yang dikenal; (2) ia tidak memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia tidak bergaul untuk tujuan menciptakan perpecahan; (4) ia tidak berbisik di telinga; dan (5) ia tidak mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

(AN 5:111, NDB 736)

(3) Menunjukkan Belas Kasih kepada Umat Awam

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasih kepada para umat awam. Apakah lima ini? (1) Ia mendorong mereka sehubungan dengan perilaku bermoral. (2) Ia mengokohkan mereka dalam pemahaman Dhamma. (3) Ketika mereka sakit ia mendatangi mereka dan mengingatkan mereka untuk membangkitkan perhatian terhadap para arahant. (4) Ketika sekumpulan besar para bhikkhu tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri, ia mendatangi para umat awam dan memberitahu mereka: ‘Teman-teman, sekumpulan besar para bhikkhu telah tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri. Berbuatlah jasa. Ini adalah kesempatan untuk melakukan jasa.’ (5) Ia sendiri memakan makanan apa pun yang mereka berikan kepadanya, apakah kasar atau baik; ia tidak menghambur-hamburkan apa yang telah diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasih kepada para umat awam.”

(AN 5:235, NDB 832)

(4) Keluarga-Keluarga yang Layak Dikunjungi

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka. Apakah sembilan ini? (1) Mereka tidak bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka tidak memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka tidak mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Walaupun mereka memiliki banyak, namun mereka memberi sedikit. (6) Walaupun mereka memiliki benda-benda bagus, namun mereka memberikan benda-benda buruk. (7) Mereka memberi dengan tidak hormat, bukan dengan hormat. (8) Mereka tidak duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka tidak mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka. Apakah sembilan ini? (1) Mereka bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka tidak menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Jika mereka memiliki banyak, mereka memberi banyak. (6) Jika mereka memiliki benda-benda bagus, mereka memberikan benda-benda bagus. (7) Mereka memberi dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (8) Mereka duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka.”

(AN 9:17, NDB 1270–71)

Catata Kaki:

[1] Dalam bagian AN di mana kutipan-kutipan ini diambil, sepuluh pasang komunitas dijelaskan. Saya telah memilih lima ini sebagai yang paling berkaitan dengan tema buku ini.

[2] Lihat DN 16.6.1 (LDB 269–70).

[3] Untuk rinciannya, lihat Ṭhānissaro Bhikkhu, The Buddhist Monastic Code II, bab 12.

[4] Percakapan ini jelas terjadi setelah Sang Buddha meninggal dunia. Brahmana Vassakāra adalah perdana menteri Raja Ajātasattu dari Magadha. Mungkin ia bertanya kepada Ānanda tentang administrasi tatanan monastik karena ia menyadari kekerasan hebat yang terjadi dalam hak atas tahta. Ajātasattu telah memerintahkan ayahnya dieksekusi untuk mendapatkan kedudukan raja, dan ia pada gilirannya dibunuh oleh putranya sendiri.

[5] Uposatha, hari bulan purnama dan bulan baru, ketika para monastik berkumpul untuk melafalkan Pātimokkha, aturan monastik, dan umat awam sering mengambil pelatihan moralitas tambahan.

[6] Lebih dikenal dalam istilah Sanskrit kshatriya, brāhmaṇa, vaishya, dan śūdra.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #26 on: 15 February 2018, 02:16:17 PM »
VIII. Perselisihan

Pendahuluan

Karena komunitas-komunitas, apakah besar atau kecil, tersusun atas para manusia, mereka tak terhindarkan terkena ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh kelemahan manusia. Kecenderungan bawaan atas sikap membesarkan diri sendiri, keinginan terhadap keuntungan pribadi, sikap membenarkan diri sendiri, dan kemelekatan pada pendapat pribadi dapat membawa pada pembentukan faksi-faksi dan perselisihan dan bahkan memecah belah komunitas menjadi pecahan-pecahan kecil. Perselisihan demikian adalah pokok bahasan Bagian VIII, dan penyelesaian perselisihan menjadi pokok bahasan Bagian IX.

Kutipan-kutipan yang dimasukkan dalam Bagian VIII berhubungan dengan perselisihan di antara para monastik dan umat awam, yang mirip dalam beberapa hal tetapi berbeda dalam hal lain. Teks VIII,1 membawakan tema bab ini. Kita di sini melihat Sakka, raja para dewa, mendatangi Sang Buddha dan menanyakan beliau suatu pertanyaan sulit: “Ketika makhluk-makhluk semuanya ingin untuk hidup dalam kedamaian, mengapa mereka terus-menerus terlibat dalam konflik?” Jawaban Sang Buddha mengawali suatu percakapan yang mencari awal mula konflik sampai pada tingkatan yang semakin halus.

Dalam Teks VIII,2 bhikkhu senior Mahākaccāna menyatakan bahwa umat awam bertengkar satu sama lain karena kemelekatan mereka pada kesenangan indera sedangkan para pertapa bertengkar satu sama lain karena kemelekatan mereka pada pandangan-pandangan. Teks VIII,3-6 menggambarkan poin beliau: dua teks pertama dalam kelompok ini berhubungan dengan perselisihan di antara para perumah tangga dan dua yang terakhir dengan perselisihan di antara para pertapa. Meskipun tesis Mahākaccāna mungkin hanya benar sebagian, perjalanan sejarah sesungguhnya menunjukkan situasi yang lebih rumit. Telah terjadi perang antara bangsa-bangsa dan blok-blok regional terhadap ideologi-ideologi lawan – lihatlah Perang Dingin yang mengadu kapitalisme korporasi melawan komunisme, dan permusuhan yang terjadi saat ini antara Muslim Sunni dan Syiah. Pada pihak lain, demi tujuan kebutuhan materi mereka, pemberian tanah, dukungan dari para perumah tangga, serta nama baik dan kehormatan, para pertapa telah terlibat dalam konflik yang sengit satu sama lainnya dan bahkan telah mengajukan tuntutan hukum demi perolehan materi.

Karena Sang Buddha menempatkan Sangha – tatanan para bhikkhu dan bhikkhuni – pada inti komunitas spiritual, beliau menyadari bahwa umur panjang Dhamma bergantung pada kemampuan para siswanya yang telah ditahbiskan untuk mengendalikan konflik yang timbul dalam posisi mereka dan membangun kembali persatuan. Konflik benar-benar pecah, yang paling terkenal adalah pertengkaran yang memecah para bhikkhu dari Kosambī bersama dengan para pengikut awam mereka menjadi dua kelompok yang bermusuhan yang kebencian di antara mereka sedemikian kuat sehingga mereka menolak upaya Sang Buddha untuk menengahi, seperti yang terlihat dalam Teks VIII,7.[1]

Untuk mencegah perselisihan pecah dalam tatanan monastik, Sang Buddha mencurahkan beberapa kotbah pada permasalahan ini dan cara-cara menyelesaikannya ketika ia muncul. Dalam Teks VIII,8 beliau menunjukkan “enam akar perselisihan” (vivādamūla); karena lima faktor pertama muncul berpasangan, ketika mereka dihitung secara terpisah akar-akar perselisihan sebenarnya berjumlah sebelas. Mencegah perselisihan memerlukan para monastik melenyapkan akar-akar perselisihan yang dapat muncul di tengah-tengah mereka sebelum mereka memburuk menjadi perpecahan berskala besar.

Jika konflik-konflik menjadi lebih parah, mereka menyebabkan bahaya perpecahan yang lebih lanjut, perpecahan tatanan monastik ke dalam dua kelompok yang bermusuhan yang menolak untuk mengakui keabsahan tindakan pihak lainnya. Sang Buddha menganggap perpecahan dalam Sangha sebagai salah satu ancaman paling berat pada keberhasilan misi beliau. Oleh sebab itu saya menutup bagian ini dengan Teks VIII,9, yang menguntai bersama beberapa sutta pendek tentang kondisi-kondisi yang membawa pada perpecahan dalam Sangha dan akibat-akibatnya masing-masing bagi mereka yang menimbulkan perpecahan dan mereka yang mempersatukan suatu Sangha yang terpecah belah.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #27 on: 15 February 2018, 02:25:24 PM »
1. Mengapa Makhluk-Makhluk Hidup dalam Kebencian?

Sakka, raja para dewa, bertanya kepada Sang Bhagavā: “Makhluk-makhluk ingin hidup tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan; mereka ingin hidup dalam kedamaian. Namun mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh. Oleh belenggu-belenggu apakah mereka terikat, Tuan, sehingga mereka hidup dengan cara yang demikian?”

[Sang Bhagavā berkata:] “Raja para dewa, adalah belenggu kecemburuan dan kekikiran yang mengikat makhluk-makhluk sehingga, walaupun mereka berharap tanpa kebencian, pertengkaran, atau permusuhan, dan hidup dalam kedamaian, tetapi mereka hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh.”

Sakka, yang bergembira, menyatakan: “Demikianlah, Sang Bhagavā, demikianlah, Yang Berbahagia! Melalui jawaban Sang Bhagavā aku telah mengatasi keragu-raguanku dan bebas dari ketidakpastian.” Kemudian Sakka, setelah menyatakan penghargaannya, bertanya pertanyaan lain: “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan kecemburuan dan kekikiran, apakah awal mulanya, bagaimanakah mereka lahir, bagaimanakah mereka muncul? Ketika apakah yang ada sehingga mereka muncul, dan ketika apakah yang tidak ada sehingga mereka tidak muncul?”

“Kecemburuan dan kekikiran muncul dari rasa suka dan tidak suka; ini adalah awal mulanya, ini adalah bagaimana mereka lahir, bagaimana mereka muncul. Dengan ini ada, mereka muncul, ketika ini tidak ada, mereka tidak muncul.”

“Tetapi, tuan, apakah yang memunculkan rasa suka dan tidak suka ... ? – “Mereka muncul dari keinginan ... “ – “Dan apakah yang memunculkan keinginan ... ?” – “Ia muncul dari pemikiran. Ketika pikiran berpikir tentang sesuatu, keinginan muncul; ketika pikiran tidak berpikir apa-apa, keinginan tidak muncul.” – “Tetapi, Tuan, apakah yang memunculkan pemikiran ... ?”

“Pemikiran, raja para dewa, muncul dari persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang.[2] Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang ada, pemikiran muncul. Ketika persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang berkembang tidak ada, pemikiran tidak muncul.”

(dari DN 21, LDB 328–29)

2. Perselisihan di Antara Para Umat Awam, Perselisihan di Antara Para Pertapa

Seorang brahmana mendekati Yang Mulia Mahākaccāna dan bertanya kepadanya: “Mengapakah, Guru Kaccāna, para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria, belenggu pada nafsu pada kenikmatan indria, maka para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana berselisih dengan para brahmana, dan para perumah tangga berselisih dengan para perumah tangga.”

“Mengapakah, Guru Kaccāna, para pertapa berselisih dengan para pertapa?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan, belenggu pada pandangan-pandangan, maka para petapa berselisih dengan para petapa.”

“Kalau begitu adakah seseorang di dunia ini yang telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini?”

“Ada”

“Dan siapakah itu?”

“Di sebuah kota di sebelah timur yang disebut Sāvatthī, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sekarang sedang berdiam. Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, brahmana itu bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, menurunkan lututnya menyentuh tanah, dengan penuh hormat menghormat ke arah di mana Sang Bhagavā berada, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Sesungguhnya, Sang Bhagavā telah mengatasi kemelekatan terhadap nafsu pada kenikmatan indria ini dan kemelekatan terhadap nafsu pada pandangan-pandangan ini.”

(AN 2:37, NDB 157–58)

3. Konflik-Konflik Karena Kenikmatan Indria

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para bangsawan berselisih dengan para bangsawan, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah-tangga berselisih dengan perumah-tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

“Kemudian, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

(dari MN 13, MLDB 181–82)

4. Berakar pada Ketagihan

“Aku akan mengajarkan kepada kalian, para bhikkhu, sembilan hal yang berakar pada ketagihan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.” – “Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah sembilan hal yang berakar pada ketagihan? (1) Dengan bergantung pada ketagihan terdapat pencarian. (2) Dengan bergantung pada pencarian terdapat perolehan. (3) Dengan bergantung pada perolehan terdapat pertimbangan. (4) Dengan bergantung pada pertimbangan terdapat keinginan dan nafsu. (5) Dengan bergantung pada keinginan dan nafsu terdapat kemelekatan. (6) Dengan bergantung pada kemelekatan terdapat kepemilikan. (7) Dengan bergantung pada kepemilikan terdapat kekikiran. (8) Dengan bergantung pada kekikiran terdapat penjagaan. (9) Dengan penjagaan sebagai landasan muncullah pengambilan tongkat pemukul dan senjata, pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan, tuduhan, ucapan memecah-belah, dan ucapan bohong, dan banyak hal-hal buruk yang tidak bermanfaat lainnya. Ini adalah sembilan hal yang berakar pada ketagihan.”[3]

(AN 9:23, NDB 1280)

5. Orang-Orang Buta dan Gajah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu sejumlah para pertapa dan brahmana, para pengembara dari sekte lain, sedang berdiam di sekitar Sāvatthī. Mereka menganut berbagai pandangan, kepercayaan, dan pendapat, dan menyebarluaskan berbagai pandangan. Dan mereka suka bertengkar, berdebat, berselisih, melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan, dengan mengatakan, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu! Dhamma bukan seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”

Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk berkeliling mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, duduk pada satu sisi, dan menceritakan kepada beliau apa yang telah mereka lihat. Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, para pengembara dari sekte lain adalah buta dan tidak berpenglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang merupakan Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, dan dengan demikian mereka suka bertengkar dan berdebat demikian.

“Pada masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang raja di Sāvatthī yang memerintahkan pelayannya untuk mengumpulkan semua orang di kota yang buta sejak lahir. Ketika pelayan itu telah melakukan demikian, raja memerintahkan pelayan itu untuk menunjukkan seekor gajah kepada orang-orang buta itu. Kepada beberapa orang buta ia memberikan kepala gajah itu, kepada beberapa orang telinganya, kepada yang lain sebuah gading, belalai, badan, kaki, bagian belakang, ekor, atau jambul pada ujung ekornya. Dan kepada masing-masing orang ia berkata, ‘Ini adalah seekor gajah.’

“Ketika ia melaporkan kepada raja apa yang telah ia lakukan, raja pergi menemui orang-orang buta itu dan bertanya kepada mereka: ‘Seperti apakah seekor gajah itu?’

“Mereka yang telah ditunjukkan kepalanya menjawab, ‘Seekor gajah, Baginda, adalah seperti sebuah kendi air.’ Mereka yang telah ditunjukkan telinganya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tampi.’ Mereka yang telah ditunjukkan gadingnya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah mata bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan belalainya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah tiang bajak.’ Mereka yang telah ditunjukkan badannya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti gudang penyimpanan.’ Dan masing-masing yang lain dengan cara yang sama menggambarkan gajah sesuai dengan bagian yang telah ditunjukkan kepada mereka.

“Kemudian dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah bukan seperti itu! Seekor gajah bukan seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka berkelahi satu sama lain dengan kepalan tangan mereka. Dan raja menjadi gembira. Demikian juga, para bhikkhu, dengan para pengembara dari sekte lain yang buta dan tidak berpenglihatan, dan demikianlah mereka suka bertengkar, berdebat, dan berselisih, dengan melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan.”

(Ud 6.4)

6. Percekcokan di Antara Para Bhikkhu

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, aku merasa tidak nyaman untuk mengarahkan perhatianku ke sana, apalagi pergi ke sana. Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Apakah tiga hal yang telah ditinggalkan? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah ditinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, aku merasa nyaman untuk pergi ke sana, apalagi untuk mengarahkan perhatianku ke sana. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal lainnya.’

“Apakah tiga hal yang telah mereka tinggalkan? Pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman. Ini adalah tiga hal yang telah mereka tinggalkan. Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran pelepasan keduniawian, pikiran berbelas kasih, dan pikiran tanpa permusuhan. Ini adalah tiga hal yang telah mereka latih. Di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal ini dan telah melatih tiga hal lainnya.’”

(AN 3:124, NDB 354–55)

7. Pertengkaran di Kosambī

Pada suatu ketika para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada beliau, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Bhante, para bhikkhu di sini di Kosambi sedang bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi para bhikkhu itu demi belas kasih.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante, mohon Sang Bhagavā, Raja Dhamma, hidup dengan tenang menekuni kediaman yang nyaman di sini dan saat ini. Kamilah yang bertanggung-jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: “Cukup, para bhikkhu, jangan ada lagi pertengkaran, percekcokan, atau perselisihan.” Untuk ke tiga kalinya bhikkhu itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tunggu, Bhante … Kamilah yang bertanggung jawab atas pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan ini.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk menerima dana makanan. Ketika beliau telah menerima dana makanan di Kosambi dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau merapikan tempat peristirahatannya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, dan sambil berdiri mengucapkan syair-syair ini:

“Ketika banyak suara berteriak sekaligus
tidak ada yang menganggap dirinya sendiri sebagai seorang bodoh;
walaupun Sangha sedang terpecah
tidak ada yang merasa dirinya bersalah.

Mereka telah melupakan ucapan bijaksana,
mereka berbicara dengan hanya dikuasai oleh kata-kata.
Dengan mulut tidak terkekang, mereka berteriak sesukanya;
tidak ada yang mengetahui apa yang membuat mereka bertindak demikian.

‘Ia menghinaku, ia memukulku,
ia mengalahkanku, ia merampasku’ –
pada mereka yang memendam pikiran-pikiran seperti ini
kebencian tidak akan pernah lenyap.

Karena di dunia ini kebencian tidak akan pernah
dilenyapkan melalui tindakan kebencian lebih lanjut.
Kebencian dilenyapkan oleh tanpa kebencian:
Ini adalah hukum yang tetap dan abadi.

Mereka tidak mengetahui
bahwa di sini kita harus mengendalikan diri sendiri.
Tetapi mereka yang bijaksana yang menyadari ini
seketika mengakhiri segala permusuhan mereka.

Para penghancur tulang-belulang dan para pembunuh,
mereka yang mencuri ternak, kuda, dan harta kekayaan,
mereka yang menjarah seluruh negeri —
bahkan orang-orang ini dapat bertindak bersama
mengapa kalian tidak dapat melakukan demikian juga?

Jika seseorang dapat menemukan teman yang layak,
seorang teman yang bermoral dan setia,
maka dengan mengatasi segala ancaman bahaya
dan berjalan bersamanya dengan puas dan penuh perhatian.

Tetapi jika seseorang tidak menemukan teman yang layak,
tidak ada teman yang bermoral dan setia,
maka bagaikan seorang raja meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya
berjalanlah sendirian bagaikan gajah di hutan.

Lebih baik berjalan sendirian,
tidak berteman dengan orang-orang bodoh.
Berjalan sendirian dan tidak melakukan kejahatan,
santai bagaikan gajah di hutan.

(dari MN 128, MLDB 1008–10)

8. Akar-Akar Perselisihan

“Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan. Ketika seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan dan kurang ajar … (3) … bersikap iri dan kikir … (4) … licik dan munafik … (5) … seorang yang memiliki keinginan jahat dan pandangan salah … (6) … seorang yang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Ketika seorang bhikkhu melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidakbahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, kalian seharusnya berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam akar perselisihan itu.”

(AN 6:36, NDB 898–99; MN 104, MLDB 854–55)

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #28 on: 15 February 2018, 02:31:35 PM »
9. Perpecahan dalam Sangha

Yang Mulia Upāli mendekati Sang Bhagavā, memberikan penghormatan kepada beliau, duduk pada satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, dikatakan: ‘Perpecahan dalam Saṅgha, perpecahan dalam Saṅgha.’ Bagaimanakah, Bhante, terjadinya perpecahan dalam Saṅgha?”

“Di sini, Upāli, (1) para bhikkhu menjelaskan bukan-Dhamma sebagai Dhamma, (2) dan Dhamma sebagai bukan-Dhamma. (3) Mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai disiplin, dan (4) disiplin sebagai bukan-disiplin. (5) Mereka menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh beliau, dan (6) apa yang dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau. (7) Mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai dipraktikkan oleh beliau, dan (8) apa yang dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh beliau. (9) Mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai ditetapkan oleh Beliau, dan (10) apa yang ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak ditetapkan oleh Beliau. Atas sepuluh dasar ini mereka menarik diri dan berpisah. Mereka melakukan tindakan-tindakan resmi secara terpisah dan melafalkan Pātimokkha secara terpisah. Dengan cara inilah, Upāli, terjadi perpecahan dalam Saṅgha.”

“Bhante, dikatakan: ‘Kerukunan dalam Saṅgha, kerukunan dalam Saṅgha.’ Bagaimanakah terjadinya kerukunan dalam Saṅgha?”

“Di sini, Upāli, (1) para bhikkhu menjelaskan bukan-Dhamma sebagai bukan-Dhamma, dan (2) Dhamma sebagai Dhamma. (3) Mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin, dan (4) disiplin sebagai disiplin. (5) Mereka menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh beliau, dan (6) apa yang dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh beliau. (7) Mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh beliau, dan (8) apa yang dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai dipraktikkan oleh beliau. (9) Mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak ditetapkan oleh beliau, dan (10) apa yang ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai ditetapkan oleh beliau. Atas sepuluh dasar ini mereka tidak menarik diri dan tidak berpisah. Mereka tidak melakukan tindakan-tindakan resmi secara terpisah dan tidak melafalkan Pātimokkha secara terpisah. Dengan cara inilah, Upāli, terjadi kerukunan dalam Saṅgha.”

Pada kesempatan lain Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada beliau: “Bhante, ketika seseorang menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha yang rukun, apakah yang ia hasilkan?” – “Ia menghasilkan keburukan selama satu kappa.” – “Tetapi, Bhante, keburukan apakah itu yang berlangsung selama satu kappa?” – “Ia disiksa di neraka selama satu kappa.”

Seseorang yang menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha mengarah menuju kesengsaraan,
mengarah menuju neraka, menetap di sana selama satu kappa.
Bersenang dalam perpecahan, kokoh dalam bukan-Dhamma,
ia jatuh dari keamanan dari belenggu.
Setelah menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha yang rukun,
ia disiksa di neraka selama satu kappa.

Kemudian Yang Mulia Ānanda bertanya: “Bhante, ketika seseorang merukunkan Saṅgha yang terpecah, apakah yang ia hasilkan?” – “Ia menghasilkan jasa surgawi, Ānanda.” – “Tetapi, Bhante, apakah jasa surgawi itu” – “Ia bergembira di surga selama satu kappa, Ānanda.”

Menyenangkan adalah kerukunan dalam Saṅgha,
dan saling membantu dari mereka yang hidup dalam kerukunan.
Bergembira dalam kerukunan, kokoh dalam Dhamma,
ia tidak jatuh dari keamanan dari belenggu.
Setelah membawakan kerukunan kepada Saṅgha,
ia berbahagia di surga selama satu kappa.

(AN 10:37–40 digabungkan, NDB 1389–91)

Catatan Kaki:

[1] Peristiwa lengkap tentang pertengkaran di Kosambī dikisahkan dalam Vinaya Piṭaka pada Mahāvagga, bab X; lihat BD 4:483–513. Lihat juga MN 48 dalam hubungan ini.

[2] Papañcasaññāsaṅkhā. Istilah yang penuh makna ini, yang tidak terdefinisi dalam Nikāya-Nikāya, tampaknya menunjuk pada persepsi-persepsi dan gagasan-gagasan yang telah “terinfeksi” oleh prasangka-prasangka subjektif, “berkembang” oleh kecenderungan-kecenderungan pada ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan yang terdistorsi. Menurut komentar, ketagihan, kesombongan, dan pandangan-pandangan adalah tiga faktor yang bertanggung jawab atas pengembangan konseptual (papañca).

[3] Sembilan istilah yang berakar pada ketagihan, dengan penjelasan dari komentar dalam tanda kurung, adalah: (1) pariyesanā (mencari objek-objek seperti bentuk); (2) lābha (mendapatkan objek-objek seperti bentuk); (3) vinicchaya (memutuskan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan, bagus dan biasa, berapa banyak yang disimpan dan berapa banyak yang diberikan, berapa banyak yang digunakan dan berapa banyak yang dihemat, dst.); (4) chandarāga (masing-masing nafsu lemah dan nafsu kuat); (5) ajjhosāna (kepercayaan kuat pada “aku” dan “milikku”); (6) pariggaha (mengambil kepemilikan dengan cara ketagihan dan pandangan-pandangan); (7) macchariya (keengganan untuk berbagi dengan orang lain); (8) ārakkha (menjaga dengan berhati-hati); (9) daṇḍādāna, dst (mengambil senjata untuk melindungi dari orang lain).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kotbah Sang Buddha tentang Kerukunan Sosial
« Reply #29 on: 15 February 2018, 02:35:55 PM »
IX. Menyelesaikan Perselisihan

Pendahuluan

Sementara bab sebelumnya dicurahkan pada asal mula perselisihan, Bagian IX dicurahkan pada penyelesaian perselisihan. Jenis perselisihan yang paling mudah diselesaikan adalah antara dua orang yang berniat baik. Dalam kehidupan monastik perselisihan demikian sering berkembang di sekitar aturan-aturan disiplin. Demikianlah Teks IX,1 menunjukkan bahwa suatu perselisihan yang demikian dapat dihentikan sejak awalnya ketika kelompok yang bersalah mengakui pelanggarannya seperti demikian, dan penuduh menerima permintaan maafnya dan memaafkannya.

Setelah ini muncul sepasang sutta yang tampaknya telah diucapkan Sang Buddha pada masa tuanya, mungkin tepat pada akhir kehidupan beliau. Dalam Teks IX,2, beliau mengajarkan pedoman-pedoman untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atas penafsiran terhadap Dhamma. Penting di sini bahwa beliau menekankan makna ajaran di atas harfiahnya, yang beliau sebut “sepele”. Dalam kotbah yang sama beliau juga memberikan nasehat tentang menindak seorang pelanggar aturan. Beliau menegaskan bahwa, walaupun bhikkhu yang menegur mungkin menemukannya sulit untuk mengoreksi pelanggar itu, dan walaupun pelanggar itu mungkin terluka oleh teguran itu, sepanjang ia memiliki kesempatan apa pun untuk mengubah perilaku sang pelanggar dan membantunya “bangkit dari yang tidak bermanfaat dan berkembang dalam yang bermanfaat,” seseorang seharusnya memberitahukannya. Tetapi, Sang Buddha mengatakan, ketika tidak ada kesempatan mengubah perilaku sang pelanggar, dan berupaya untuk mengoreksinya hanya membuat situasi semakin buruk, “seseorang seharusnya tidak memandang rendah keseimbangan terhadap orang yang demikian.”

Teks IX,3, menurut pembukaannya, berawal mula tak lama setelah kematian Mahāvīra, pemimpin komunitas Jain, yang dikenal dalam Kanon Pāli sebagai Nātaputta. Setelah kematiannya para pengikutnya terpecah menjadi dua kubu yang saling menyerang dengan sengit. Kotbah itu di sini diucapkan oleh Sang Buddha untuk mencegah nasib yang sama menimpa komunitas beliau sendiri. Sang Buddha mendefinisikan ancaman utama terhadap keberhasilan ajaran beliau sebagai ketidaksepahaman atas tiga puluh tujuh faktor menuju pencerahan. Ketidaksepahaman tentang penghidupan dan aturan-aturan pelatihan, beliau mengatakan, adalah hal penting yang kedua. Dalam kotbah yang sama beliau menjelaskan bagaimana menyelesaikan perselisihan tentang Dhamma dan Vinaya. Dua metode pertama adalah menyelesaikan ketidaksepahaman di antara orang-orang yang berselisih dan membawakan ketidaksepahaman menuju komunitas yang lebih besar dan tunduk pada keputusan mayoritas. Metode terakhir, yang digunakan ketika metode lainnya gagal, adalah suatu prosedur yang disebut “menutupi dengan rumput.” Ini memungkinkan seorang bhikkhu yang mewakili dari masing-masing pihak yang berselisih untuk mengakui pelanggaran atas nama seluruh kelompok – dengan pengecualian yang dibuat untuk pelanggaran berat – tanpa menghiraukan rinciannya. Metode ini, yang membiarkan masa lalu menjadi masa lalu, menghindari perlunya untuk meninjau kembali keseluruhan latar belakang konflik, yang mungkin hanya menghidupkan kembali kebencian lama.

Teks IX,4(1) menekankan bahwa untuk mencegah masalah disiplin bergejolak dan menghasilkan perpecahan, para bhikkhu yang terlibat – baik orang yang melakukan pelanggaran maupun orang yang menegurnya – seharusnya merenungkan dalam diri mereka masing-masing, memadamkan permusuhan terhadap satu sama lain, dan mencapai perdamaian. Teks IX,4(2) menegaskan bahwa permasalahan disiplin seharusnya pertama-tama “diselesaikan secara internal,” dalam lingkaran pengikutnya sendiri, sehingga pertikaian tidak menyebar keluar dan melibatkan orang lain.

Sang Buddha sering menegaskan bahwa agar Sangha berkembang, para bhikkhu dan bhikkhuni harus terus-menerus memperbaiki, menasehati, dan mendorong satu sama lainnya. Sikap ideal, menurut Teks IX,5, ada tiga tahap: terbuka menerima koreksi dari orang lain; mau mengoreksi para pelanggar, bahkan seniornya sendiri, ketika diperlukan; dan siap untuk melakukan perbaikan atas pelanggarannya. Namun, menerima kritik dari orang lain dapat menyengat ego, yang menyulut perlawanan dan permusuhan. Untuk menyampaikan masalah ini, dalam Kotbah tentang Kesimpulan – yang dimasukkan di sini sebagai Teks IX,6 – Yang Mulia Moggallāna menyebutkan kualitas-kualitas yang membuat seorang bhikkhu bersifat melawan terhadap koreksi dan menjelaskan perlunya instrospeksi diri untuk melenyapkan kualitas-kualitas itu.

Konflik kadangkala pecah di antara para anggota komunitas umat awam dan tatanan monastik. Dalam beberapa hal Sang Buddha menyadari bahwa perilaku seorang umat awam mengundang ungkapan ketidaksetujuan dari Sangha; demikianlah beliau mengizinkan para bhikkhu untuk “membalikkan mangkuk makanan,” yaitu, menolak menerima persembahan dari seorang umat awam yang bersikap ofensif.[1] Kondisi-kondisi di mana suatu tindakan demikian diizinkan disebutkan dalam Teks IX,7(1). Juga diketahui bahwa para umat awam dapat membenarkan keluhan terhadap seorang bhikkhu yang tidak menjalankan standar disiplin yang diharapkan dari bhikkhu itu. Sebagai tanggapan, para umat awam diizinkan secara resmi menyatakan “kehilangan keyakinan” terhadap bhikkhu itu, kondisi-kondisi yang dijelaskan dalam Teks IX,7(2). Untuk memfasilitasi rekonsiliasi antara bhikkhu dan umat awam itu, Sangha dapat memutuskan bahwa seorang bhikkhu yang tidak patuh harus mendekati umat awam yang telah ia sakiti hatinya dan meminta maaf atas kelakukan buruknya, seperti yang ditunjukkan dalam Teks IX,7(3).

Empat aturan untuk para bhikkhu yang ditetapkan dalam Pātimokkha disebut Pārājika, “pelanggaran-pelanggaran [yang menyebabkan] pengusiran.” Ini adalah hubungan seks; pencurian (atas suatu barang di atas nilai batas tertentu); membunuh manusia; dan menyatakan pernyataan tidak benar atas pencapaian “keadaan adimanusiawi,” suatu kekuatan batin atau keadaan realisasi yang lebih tinggi. Seorang bhikkhu yang melanggar hal-hal ini tidak lagi dalam perkumpulan bersama para bhikkhu dan harus diusir dari Sangha.[2] Biasanya, para bhikkhu atau bhikkhuni yang jatuh dalam pelanggaran ini akan mengakui pelanggaran mereka dan dengan sukarela meninggalkan tatanan monastik. Tetapi terdapat kasus-kasus di mana sang pelanggar menyembunyikan pelanggarannya dan berusaha untuk bertindak sebagai seorang anggota monastik yang sah. Dalam kasus-kasus demikian Sang Buddha tidak segan-segan untuk memerintahkan para bhikkhu agar mengusir orang jahat itu.

Teks IX,8(1)-(2) berhubungan dengan suatu situasi yang demikian. Dalam teks pertama, Sang Buddha menetapkan prinsip-prinsip umum bahwa pembuat kesalahan yang menyatakan diri sebagai seorang bhikkhu biasa harus diusir. Ia bagaikan sekam di antara gandum. Teks kedua menggambarkan suatu kejadian di mana Sang Buddha menolak melafalkan Pātimokkha karena seorang jahat, “yang busuk di dalam, rusak, dan jahat,” sedang duduk di tengah-tengah perkumpulan. Moggallāna, yang menemukan si pembuat kesalahan dengan kekuatan batinnya, dengan paksaan mengusirnya dari aula dan mengunci pintu di belakangnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa