//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)  (Read 4812 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« on: 14 February 2016, 06:31:19 AM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 3 yang terdiri atas kotbah 21-31.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #1 on: 14 February 2016, 06:38:24 AM »
MADHYAMA ĀGAMA

Bagian 3 Sāriputta

21. Kotbah tentang Pikiran yang Mantap<95>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta telah berkumpul, [pada] satu malam, dengan sekumpulan para bhikkhu di aula pertemuan, dan sedang menjelaskan kepada mereka perbedaan antara belenggu-belenggu internal dan belenggu-belenggu eksternal:

Teman-teman yang mulia, sesungguhnya terdapat dua pengelompokan orang-orang yang dapat ditemukan di dunia. Apakah dua hal itu?

Terdapat para yang tidak-kembali yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal dan yang tidak akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini; dan, terdapat mereka yang belum menjadi yang tidak-kembali, yang memiliki belenggu-belenggu eksternal, dan yang akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini.

Apakah, teman-teman yang mulia, para yang tidak-kembali, yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal, dan yang tidak akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini? Seumpamanya terdapat seseorang yang menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan. Ia berlatih dengan cara ini secara berlebihan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan].

Dengan telah menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan, telah berlatih dengan cara ini secara berlebihan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan], ia lebih lanjut berlatih dalam kekecewaan sehubungan dengan keinginan indera, dalam kebosanan, dan dalam meninggalkan keinginan indera.

Dengan telah berlatih dalam dalam kekecewaan sehubungan dengan keinginan indera, dalam kebosanan, dan dalam meninggalkan keinginan indera, ia mencapai pembebasan pikiran yang damai.

Setelah mencapainya, ia bergembira di dalamnya dan menikmatinya terus-menerus, [tetapi] tidak mencapai pengetahuan akhir pada masa kehidupan itu. Dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran.

Ketika terlahir di sana, ia berpikir:

Sebelumnya, ketika aku adalah seorang manusia, aku menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan. Aku berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan aku dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan].

Dengan telah menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan, telah berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan], aku lebih lanjut berlatih dalam kekecewaan sehubungan dengan keinginan indera, dalam kebosanan, dan dalam meninggalkan keinginan indera, aku mencapai pembebasan pikiran yang damai. Setelah mencapainya, aku bergembira di dalamnya dan menikmatinya terus-menerus, [tetapi] tidak mencapai pengetahuan akhir pada masa kehidupan yang sama. Dengan hancurnya tubuh saat kemtian, aku melampaui para dewa yang makan dari makanan kasar dan terlahir kembali di sini di antara para dewa ciptaan-pikiran.

Teman-teman yang mulia, [seumpamanya] terdapat orang lain yang menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan. Ia berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan].

Dengan telah menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan, telah berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan], ia lebih lanjut berlatih dalam alam bentuk, dengan meninggalkan keinginan, meninggalkan aktivitas-aktivitas. Ia berlatih dalam melepas dan membuang keinginan indera.

Dengan telah berlatih di alam bentuk, dengan meninggalkan keinginan, meninggalkan aktivitas-aktivitas, telah berlatih dalam melepas dan membuang keinginan indera, ia mencapai pembebasan pikiran yang damai. Setelah mencapainya, ia bergembira di dalamnya dan menikmatinya terus-menerus, [tetapi] ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada masa kehidupan itu. Dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran.

Ketika terlahir kembali di sana, ia berpikir:

Sebelumnya, ketika aku adalah seorang manusia, aku menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan. Aku berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan]. Dengan telah menjalankan pelatihan dalam aturan latihan tanpa pelanggaran atau kompromi, tanpa cacat atau kerusakan, telah berlatih dengan cara ini secara berlebihan dan mengatasi kesulitan-kesulitan, dan dipuji oleh para yang patut [dihormati] karena berkembang dengan baik dan dengan baik diberkahi [dalam pelatihan], aku lebih lanjut berlatih di alam bentuk, dengan meninggalkan keinginan, meninggalkan aktivitas-aktivitas. Aku berlatih dalam melepas dan membuang keinginan indera.

Dengan telah berlatih di alam bentuk, dengan meninggalkan keinginan, meninggalkan aktivitas-aktivitas, telah berlatih dalam melepas dan membuang keinginan indera, aku mencapai pembebasan pikiran yang damai. Setelah mencapainya, aku bergembira di dalamnya dan menikmatinya terus-menerus, [tetapi] tidak mencapai pengetahuan akhir pada masa kehidupan yang sama. Dengan hancurnya tubuh saat kematian, aku melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di sini di antara para dewa ciptaan-pikiran.

Seseorang yang demikian, teman-teman yang mulia, disebut seorang yang tidak-kembali yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal dan yang tidak akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini.

Apakah, teman-teman yang mulia, yang dimaksud dengan mereka yang belum menjadi yang tidak-kembali, yang memiliki belenggu-belenggu eksternal, dan yang akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini? Seumpamanya seseorang menjalankan pelatihan dalam aturan latihan, menjaga [terhadap pelanggaran] aturan-aturan, dan dengan terampil mengendalikan tingkah lakunya sesuai dengan perilaku yang benar. Ia berlatih dalam aturan latihan dengan cara ini, dengan melihat bahaya besar dalam bahkan pelanggaran kecil dan takut terhadapnya. Seseorang yang demikian, teman-teman yang mulia, disebut ia yang belum menjadi yang tidak-kembali, yang memiliki belenggu-belenggu eksternal, dan yang akan terlahir kembali ke alam [manusia] ini.

Kemudian, banyak sekali dewa yang berpikiran mantap,<96> dengan bentuk yang gemilang dan mengagumkan, mengunjungi Sang Buddha tepat sebelum fajar. Setelah memberikan penghormatan mereka kepada Sang Buddha, mereka berdiri pada satu sisi dan berkata kepada beliau:

Sang Bhagavā, malam yang sudah berlalu ini Yang Mulia Sāriputta telah berkumpul dengan sekumpulan para bhikkhu di aula pertemuan. Ia telah menjelaskan kepada para bhikkhu itu perbedaan antara belenggu-belenggu internal dan belenggu-belenggu eksternal, dengan berkata kepada mereka: “Teman-teman yang mulia, sesungguhnya terdapat dua pengelompokan orang-orang yang ditemukan di dunia: mereka yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal dan mereka yang memiliki [juga] belenggu-belenggu eksternal.” Sang Bhagavā, perkumpulan itu bergembira [dengan penjelasannya]. Semoga Sang Bhagavā, demi belas kasih, pergi ke aula pertemuan!

Kemudian Sang Bhagavā menyetujui permintaan para dewa yang berpikiran mantap dengan tetap berdiam diri. Para dewa yang berpikiran mantap memahami bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, memberikan penghormatan pada kaki beliau, dan, setelah mengelilingi beliau tiga kali, menghilang dari tempat itu.

Tidak lama setelah para dewa yang berpikiran sama pergi, Sang Bhagavā tiba di hadapan perkumpulan para bhikkhu di aula pertemuan dan duduk pada tempat duduk yang disediakan.

Ketika duduk, Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Engkau paling mengagumkan! Mengapa? Malam yang telah berlalu ini engkau telah berkumpul dengan sekumpulan para bhikkhu di aula pertemuan, dan engkau telah menjelaskan kepada para bhikkhu perbedaan antara belenggu-belenggu internal dan belenggu-belenggu eksternal, [dengan berkata]: “Teman-teman yang mulia, sesungguhnya terdapat dua pengelompokan orang-orang yang ditemukan di dunia: mereka yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal dan mereka yang memiliki [juga] belenggu-belenggu eksternal.”

Sāriputta, banyak sekali para dewa yang berpikiran mantap mengunjungiku malam yang sudah berlalu tepat sebelum fajar. Setelah memberikan penghormatan, mereka berdiri pada satu sisi dan berkata kepadaku: “Sang Bhagavā, malam yang sudah berlalu ini Yang Mulia Sāriputta telah berkumpul dengan sekumpulan para bhikkhu di aula pertemuan. Ia telah menjelaskan kepada para bhikkhu perbedaan antara belenggu-belenggu internal dan belenggu-belenggu eksternal, [dengan berkata]: ‘Teman-teman yang mulia, sesungguhnya terdapat dua pengelompokan orang-orang yang ditemukan di dunia: mereka yang memiliki [hanya] belenggu-belenggu internal dan mereka yang memiliki [juga] belenggu-belenggu eksternal.’ Sang Bhagavā, kami bergembira [dengan penjelasaannya]. Semoga Sang Bhagavā, demi belas kasih, bergabung dengan kami di aula pertemuan!” Aku menyetujui permintaan para dewa yang berpikiran mantap dengan tetap berdiam diri. Para dewa yang berpikiran mantap memahami bahwa aku telah menyetujui dengan [tetap] berdiam diri, memberikan penghormatan pada kakiku dan, setelah mengelilingiku tiga kali, menghilang dari tempat itu.

Sāriputta, para dewa yang berpikiran mantap dapat berdiri bersama pada ujung sebuah jarum – sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau enam puluh dari mereka – tanpa menghalangi satu sama lain.

Sāriputta, tidak lama setelah terlahir di alam surga mereka para dewa yang berpikiran mantap mengembangkan pikiran yang baik, secara luas dan besar, dan dengan demikian memperoleh kemampuan untuk berdiri bersama pada ujung sebuah jarum – sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau enam puluh dari mereka – tanpa menghalangi satu sama lain.

Sāriputta, ketika masih berada di alam manusia [pada kehidupan sebelumnya] para dewa yang berpikiran mantap mengembangkan pikiran yang baik, secara luas dan besar, dan dengan demikian memperoleh kemampuan untuk berdiri bersama pada ujung sebuah jarum – sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau enam puluh dari mereka – tanpa menghalangi satu sama lain.

Oleh karena itu, Sāriputta, seseorang seharusnya mengembangkan ketenangan – ketenangan indera-indera, ketenangan pikiran, dan ketenangan dalam perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran – semuanya sesuai dengan [ajaran] Sang Bhagavā dan dengan teman-teman[nya] dalam kehidupan suci.

Sāriputta, para pengikut ajaran lain yang keliru [akan mengalami] kejatuhan dan kehilangan yang bertahan lama. Mengapa? Karena mereka tidak dapat mendengar ajaran yang mulia demikian.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #2 on: 14 February 2016, 06:46:13 AM »
22. Kotbah tentang Menyempurnakan Aturan Latihan<97>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Jika seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka adalah pasti mungkin bahwa ia dapat, pada kehidupan ini, memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada kehidupan ini, maka dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia akan melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran. Ketika ia telah terlahir kembali di sana, adalah pasti mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Pada waktu itu, Yang Mulia Udāyin juga hadir dalam perkumpulan itu. Yang Mulia Udāyin menanggapi:

Yang Mulia Sāriputta, jika seorang bhikkhu terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran, adalah pasti tidak mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Jika seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka adalah pasti mungkin bahwa ia dapat, pada kehidupan ini, memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada kehidupan ini, maka dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia akan melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran. Ketika ia terlahir kembali di sana, adalah pasti mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Dan kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Udāyin membantah:

Yang Mulia Sāriputta, jika seorang bhikkhu terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran, adalah pasti tidak mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Bhikkhu ini telah menentang apa yang aku katakan tiga kali sekarang, dan tidak satu orang bhikkhu pun [dalam perkumpulan ini] menghargai apa yang aku katakan. Mungkin aku seharusnya mendekati Sang Bhagavā.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan, ia duduk pada satu sisi. Tidak lama setelah Yang Mulia meninggalkan [perkumpulan yang telah diajarkan], Yang Mulia Udāyin dan para bhikkhu lainnya juga mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan, mereka duduk pada satu sisi.

Dalam situasi itu, Yang Mulia Sāriputta lagi berkata kepada para bhikkhu:

Jika seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka adalah pasti mungkin bahwa ia dapat, pada kehidupan ini, memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada kehidupan ini, maka dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia akan melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran. Ketika ia terlahir kembali di sana, adalah pasti mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

[Dan seperti sebelumnya,] Yang Mulia Udāyin membantah:

Yang Mulia Sāriputta, jika seorang bhikkhu terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran, adalah pasti tidak mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Jika seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka adalah pasti mungkin bahwa ia dapat, pada kehidupan ini, memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada kehidupan ini, maka dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia akan melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran. Ketika ia terlahir kembali di sana, adalah pasti mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Dan kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Udāyin membantah:

Yang Mulia Sāriputta, jika seorang bhikkhu terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran, adalah pasti tidak mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “[Bahkan] di hadapan Sang Bhagavā bhikkhu ini telah menentang apa yang aku katakan tiga kali sekarang, dan tidak seorang bhikkhu pun [dalam perkumpulan ini] menghargai apa yang aku katakan. Aku lebih baik tetap berdiam diri.”

Kemudian, Sang Bhagavā bertanya: “Udāyin, apakah engkau akan mengatakan bahwa para dewa ciptaan-pikiran memiliki bentuk?”

Yang Mulia Udāyin menjawab: “Ya, Sang Bhagavā.”

Sang Bhagavā secara langsung menegur Udāyin: “Engkau seorang yang bodoh, buta, tanpa penglihatan. Atas dasar apakah engkau berkomentar pada topik lanjutan dalam Dharma ini?”

Kemudian, Yang Mulia Udāyin, setelah secara langsung ditegur oleh Sang Bhagavā, menjadi sedih dan menderita. Ia menundukkan kepalanya dengan terdiam, tidak dapat menjawab, dan tampak tenggelam dalam pemikiran.

Setelah secara langsung menegur Yang Mulia Udāyin, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

Seorang bhikkhu senior yang sangat dihormati dan baik telah [dengan tidak pantas] ditentang. Untuk alasan apakah engkau menunjukkan ketidakhormatan dengan tidak menghalangi? Engkau juga seorang yang bodoh, buta, tanpa cinta-kasih, karena membalikkan badan terhadap seorang senior yang sangat dihormati dan baik.

Setelah secara langsung menegur Yang Mulia Udāyin dan Yang Mulia Ānanda, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Jika seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka adalah pasti mungkin bahwa ia dapat, pada kehidupan ini, memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir pada kehidupan ini, maka dengan hancurnya tubuh saat kematian, ia akan melampaui para dewa yang memakan makanan kasar dan terlahir kembali di antara para dewa ciptaan-pikiran. Ketika ia terlahir kembali di sana, adalah pasti mungkin bahwa ia dapat memasuki dan keluar dari konsentrasi lenyapnya persepsi dan perasaan.

Setelah mengatakan hal ini, Sang Buddha memasuki gubuk meditasinya untuk bermeditasi dalam keheningan. Pada waktu itu, Yang Mulia Baijing<98> sedang berada dalam perkumpulan itu. Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Baijing:

Aku telah ditegur atas sesuatu yang dilakukan orang lain. Yang Mulia Baijing, Sang Bhagavā pasti akan keluar dari gubuk meditasinya pada sore hari. Beliau akan duduk pada tempat duduk yang disediakan di hadapan perkumpulan para bhikkhu dan membahas hal ini! Aku sangat malu dan merasa malu di hadapan Sang Bhagavā dan teman-teman kita dalam kehidupan suci.

Kemudian, pada sore hari Sang Bhagavā keluar dari gubuk meditasinya. Beliau duduk pada tempat duduk yang disediakan di hadapan perkumpulan para bhikkhu. Beliau bertanya: “Baijing, karena memiliki berapa banyak kualitas seorang bhikkhu senior dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci?”

Yang Mulia Baijing menjawab:

Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci jika ia memiliki lima kualitas.

Apakah lima hal itu? Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior menjalankan pelatihan dalam aturan latihan, menjaga [terhadap pelanggaran] aturan-aturan, dan dengan terampil mengendalikan tingkah lakunya sesuai dengan perilaku yang benar. Ia berlatih aturan latihan dengan cara ini, dengan melihat bahaya bahkan dalam pelanggaran kecil dan takut terhadapnya. Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior yang secara moralitas terkendali dan sangat dihormati demikian dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.

Lagi, Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior mempelajari banyak hal dan banyak belajar, dengan menguasainya dan tidak melupakannya, mengumpulkan banyak pembelajaran dari apa yang disebut Dharma, yang baik pada awalnya, baik pada pertengahannya, dan baik pada akhirnya, yang memiliki makna dan ungkapan [yang benar], diberkahi dengan kemurnian, dan menyatakan kehidupan suci.

Dengan cara ini ia mempelajari banyak hal dan banyak belajar sehubungan dengan  semua ajaran, dengan membiasakan diri dengannya bahkan seribu kali, dalam batin mempertimbangkan dan merenungkannya dengan pengetahuan, penglihatan, dan penembusan mendalam. Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior yang terpelajar dan sangat dihormati demikian dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.

Lagi, Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi, keadaan yang membahagiakan pada masa kehidupan ini; ia mencapainya dengan mudah, tanpa kesulitan. Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior yang meditatif demikian dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.

Lagi, Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan, mencapai pemahaman sehubungan dengan muncul dan lenyapnya fenomena, mencapai pengetahuan mulia yang menembus dan pemahaman yang membedakan mengenai pelenyapan sejati penderitaan.

Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior yang bijaksana demikian dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.

Lagi, Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior telah menghancurkan semua noda, bebas dari semua belenggu, [telah mencapai] pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan, pada kehidupan itu juga, dengan diri sendiri mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah dengan diri sendiri mencapai realisasi. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Sang Bhagavā, seorang bhikkhu senior yang bebas dari noda demikian dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci. Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu senior sempurna dalam lima kualitas ini, ia dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.

Sang Bhagavā bertanya:

Baijing, jika seorang bhikkhu senior tidak memiliki lima kualitas, karena alasan [lain] apakah ia seharusnya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci?

Yang Mulia Baijing menjawab:

Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu senior tidak memiliki lima kualitas ini, tidak ada alasan lain di mana ia seharusnya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci. Hanya karena usianya yang lanjut, rambut yang beruban, gigi yang rontok, kesehatan yang memburuk, punggung yang bungkuk, langkah [kaki] yang goyah, tubuh yang kelebihan berat, napas yang pendek, bergantung pada tongkat untuk berjalan, daging yang menyusut, kulit yang mengendur, kulit keriput seperti berbintik-bintik, indera-indera yang merosot, dan kulit yang tidak enak dilihat, teman-temannya dalam kehidupan suci masih dapat menghargai dan menghormatinya.

Sang Bhagavā berkata:

Tentu saja demikian! Jika seorang bhikkhu senior tidak memiliki lima kualitas, tidak ada alasan lain di mana ia seharusnya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya dalam kehidupan suci. Hanya karena usianya yang lanjut, rambut yang beruban, gigi yang rontok, kesehatan yang memburuk, punggung yang bungkuk, langkah [kaki] yang goyah, tubuh yang kelebihan berat, napas yang pendek, bergantung pada tongkat untuk berjalan, daging yang menyusut, kulit yang mengendur, kulit keriput seperti berbintik-bintik, indera-indera yang merosot, dan kulit yang tidak enak dilihat, teman-temannya dalam kehidupan suci masih dapat menghargai dan menghormatinya.

Baijing, bhikkhu Sāriputta telah mencapai lima kualitas ini, sehingga kalian semua seharusnya menghargai dan menghormatinya.

Mengapa? Baijing, bhikkhu Sāriputta menjalankan pelatihan dalam aturan latihan, menjaga [terhadap pelanggaran] aturan-aturan, dan dengan terampil mengendalikan tingkah lakunya sesuai dengan perilaku yang benar. Ia berlatih dalam aturan latihan dengan cara ini, dengan melihat bahaya besar dalam bahkan pelanggaran kecil dan takut terhadapnya.

Lebih lanjut, Baijing, bhikkhu Sāriputta telah mempelajari banyak hal dan banyak belajar, menguasainya dan tidak melupakannya, mengumpulkan banyak pembelajaran dari apa yang disebut Dharma, yang baik pada awalnya, baik pada pertengahannya, dan baik pada akhirnya, yang memiliki makna dan ungkapan [yang benar], diberkahi dengan kemurnian, dan menyatakan kehidupan suci.

Dengan cara ini ia telah mempelajari banyak hal dan banyak belajar sehubungan dengan semua ajaran, dengan membiasakan diri dengannya bahkan seribu kali, dalam batin mempertimbangkan dan merenungkannya dengan pengetahuan, penglihatan, dan penembusan mendalam.

Lebih lanjut, Baijing, bhikkhu Sāriputta telah mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi, kediaman yang membahagiakan pada masa kehidupannya, ia mencapainya dengan mudah, tanpa kesulitan.

Lebih lanjut, Baijing, bhikkhu Sāriputta telah mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan, telah mencapai pemahaman sehubungan dengan muncul dan lenyapnya fenomena, telah mencapai pengetahuan mulia yang menembus dan pemahaman yang membedakan mengenai pelenyapan sejati penderitaan.

Lebih lanjut, Baijing, bhikkhu Sāriputta telah menghancurkan semua noda. Bebas dari semua belenggu, [ia telah mencapai] pembebasan pikiran dan pembebasan melalui kebijaksanaan, pada kehidupan ini juga, ia telah dengan diri sendiri mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah dengan diri sendiri mencapai realisasi. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Baijing, bhikkhu Sāriputta telah mencapai lima kualitas ini, sehingga kalian semua seharusnya menghargai dan menghormatinya.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Baijing dan para bhikkhu lainnya bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #3 on: 14 February 2016, 06:55:29 AM »
23. Kotbah tentang Kebijaksanaan<99>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu bhikkhu Kaḷārakhattiya mendengar bahwa bhikkhu Moliyaphagguna telah meninggalkan aturan-aturan latihan dan berhenti berlatih sang jalan, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah memberikan penghormatan pada kaki [Sāriputta], [Kaḷārakhattiya] duduk pada satu sisi. Setelah duduk, ia berkata: “Yang Mulia Sāriputta, ketahuilah bahwa bhikkhu Moliyaphagguna telah meninggalkan aturan-aturan latihan dan berhenti berlatih sang jalan.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Apakah bhikkhu Moliyaphagguna berbahagia dalam ajaran?”

Bhikkhu Kaḷārakhattiya bertanya sebagai balasannya: “Apakah Yang Mulia Sāriputta berbahagia dalam ajaran?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Kaḷārakhattiya, aku tidak memiliki keragu-raguan tentang ajaran.”

Bhikkhu Kaḷārakhattiya lebih lanjut bertanya: “Yang Mulia Sāriputta, bagaimanakah sehubungan dengan hal-hal yang akan datang?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab: Kaḷārakhattiya, aku juga tanpa kebingungan sehubungan dengan hal-hal yang akan datang.”

Ketika mendengar hal ini, Kaḷārakhattiya bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan, ia duduk pada satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha:

Sang Bhagavā, Yang Mulia Sāriputta baru saja menyatakan bahwa ia telah mencapai pengetahuan [akhir], bahwa ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Ketika mendengar hal ini, Sang Bhagavā berkata kepada salah seorang bhikkhu: “Pergilah menemui Sāriputta dan katakan kepadanya, ‘Sang Bhagavā memanggilmu’.”

Setelah demikian disuruh, bhikkhu itu bangkit dari tempat duduknya, menyalami Sang Buddha, pergi menemui Yang Mulia Sāriputta, dan berkata: “Sang Bhagavā memanggil Yang Mulia Sāriputta.”

Mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Buddha, dan setelah memberikan penghormatan, duduk pada satu sisi.

Sang Bhagavā bertanya:

Sāriputta, apakah benar bahwa engkau menyatakan telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain”?

Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Sang Bhagavā, aku memang menyatakan makna itu, tetapi tidak dalam kata-kata tersebut, tidak dalam ungkapan tersebut.”

Sang Bhagavā berkata: “Sāriputta, seorang anggota keluarga menyatakan hal-hal dengan caranya sendiri. Jika ia telah mencapai pengetahuan akhir, maka biarkanlah ia menyatakan pengetahuan akhir.”

Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Sang Bhagavā, seperti yang telah kukatakan, aku memang menyatakan makna itu, tetapi tidak dalam kata-kata itu, tidak dalam ungkapan tersebut.”

Sang Bhagavā bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu: “Yang Mulia Sāriputta, dengan mengetahui apakah dan melihat apakah, engkau menyatakan telah mencapai pengetahuan, menyatakan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain’?” – Sāriputta, ketika mendengar hal ini, bagaimanakah engkau akan menjawab?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-temanku dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku, “Yang Mulia Sāriputta, dengan mengetahui apakah dan melihat apakah, engkau menyatakan telah mencapai pengetahuan, menyatakan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain’?” Sang Bhagavā, ketika mendengar hal ini, aku akan menjawab dengan cara berikut: “Teman-teman yang mulia, kelahiran memiliki suatu sebab. Sebab untuk kelahiran ini telah diakhiri. Mengetahui bahwa sebab untuk kelahiran telah diakhiri, aku menyatakan telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain’.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu, “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk kelahiran? Dari manakah kelahiran muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku: “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk kelahiran? Dari manakah kelahiran muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar pertanyaan ini, Sang Bhagavā, aku akan menjawab dengan cara ini: “Teman-teman yang mulia, kelahiran disebabkan oleh proses kelangsungan, dikondisikan oleh proses kelangsungan, ia muncul dari proses kelangsungan, memiliki proses kelangsungan sebagai landasannya.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu, “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk proses kelangsungan? Dari manakah ia muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku: “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk proses kelangsungan? Dari manakah ia muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar pertanyaan ini, Sang Bhagavā, aku akan menjawab dengan cara ini: “Teman-teman yang mulia, proses kelangsungan disebabkan oleh kemelekatan, dikondisikan oleh kemelekatan, ia muncul dari kemelekatan, memiliki kemelekatan sebagai landasannya.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu, “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk kemelekatan? Dari manakah kemelekatan muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku: “Yang Mulia Sāriputta, apakah sebab dan kondisi untuk kemelekatan? Dari manakah ia muncul? Apakah landasannya?” – ketika mendengar pertanyaan ini, Sang Bhagavā, aku akan menjawab dengan cara ini: “Teman-teman yang mulia, kemelekatan disebabkan oleh ketagihan, dikondisikan oleh ketagihan, ia muncul dari ketagihan, memiliki ketagihan sebagai landasannya.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu, “Yang Mulia Sāriputta, dan bagaimanakah dengan ketagihan?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku: “Yang Mulia Sāriputta, dan bagaimanakah dengan ketagihan?” – ketika mendengar pertanyaan ini, Sang Bhagavā, aku akan menjawab dengan cara ini: “Teman-teman yang mulia, terdapat tiga jenis perasaan – perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan, dan perasaan bukan-menyenangkan-juga-bukan-tidak-menyenangkan. Menyenangi dalam, menginginkan, dan menggenggam pada perasaan-perasaan ini adalah apa yang disebut ketagihan.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu, “Yang Mulia Sāriputta, dengan mengetahui apakah dan dengan melihat apakah tidak ada kesenangan dalam tiga jenis perasaan ini, tidak ada keinginan terhadapnya atau genggaman padanya?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku, “Yang Mulia Sāriputta, dengan mengetahui apakah dan dengan melihat apakah tidak ada kesenangan dalam tiga jenis perasaan ini, tidak ada keinginan terhadapnya atau genggaman padanya?” – ketika mendengar pertanyaan ini, Sang Bhagavā, aku akan menjawab dengan cara ini: “Teman-teman yang mulia, tiga jenis perasaan ini adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat meluruh. Apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan. Dengan melihat ketidakpuasan ini, tidak ada lagi kesenangan dalam tiga perasaan ini, tidak ada keinginan terhadapnya atau genggaman padanya.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata:

Sāriputta, seseorang dapat juga memberikan ringkasan pendek dari apa yang engkau baru saja katakan. Dan apakah, Sāriputta, ringkasan pendek dari apa yang engkau baru saja katakan? Ini adalah: “Apa pun yang dirasakan dan dilakukan [sesuai dengan itu] semuanya tidak memuaskan” – Sāriputta, ini adalah ringkasan pendek dari apa yang baru saja engkau katakan.

Sang Bhagavā [lebih lanjut] bertanya:

Sāriputta, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu: “Yang Mulia Sāriputta, bagaimanakah bahwa dengan berbalik [dari genggaman pada perasaan] engkau telah mencapai pengetahuan akhir, menyatakan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain’?” – ketika mendengar hal ini, bagaimana engkau menjawab?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku, “Yang Mulia Sāriputta, bagaimanakah bahwa dengan berbalik [dari genggaman pada perasaan] engkau telah mencapai pengetahuan akhir, menyatakan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain’?” – Sang Bhagavā, ketika mendengar pertanyaan ini, aku akan menjawab dengan cara berikut: “Teman-teman yang mulia, melalui secara internal berbaliknya diriku [dari genggaman pada perasaan], semua ketagihan menjadi berakhir, tidak ada ketakutan, tidak ada rasa takut, tidak ada keragu-raguan, tidak ada kebingungan. Aku hidup terlindungi dengan cara ini. Melalui penghidupanku yang terlindungi dengan cara ini, noda-noda tidak bermanfaat tidak muncul.” Sang Bhagavā, jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadaku hal ini, aku akan menjawab dengan cara ini.

Sang Bhagavā mengatakan pujian:

Bagus sekali! Bagus sekali, Sāriputta! Jika teman-teman dalam kehidupan suci datang dan bertanya kepadamu hal ini, engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa? Karena jika engkau berkata dengan cara ini, mereka akan mengetahui apa yang engkau maksud.

Sang Bhagavā berkata:

Sāriputta, seseorang dapat juga memberikan ringkasan pendek dari apa yang engkau baru saja katakan: “Apa pun belenggu yang telah dikatakan oleh Sang Pertapa (yaitu, Sang Buddha), belenggu-belenggu itu tidak ada dalam diriku. Aku hidup terlindungi dengan cara ini. Melalui penghidupanku yang terlindungi dengan cara ini, noda-noda tidak bermanfaat tidak muncul” – Sāriputta, ini adalah ringkasan pendek dari apa yang engkau baru saja katakan.

Setelah mengatakan hal ini, Sang Bhagavā bangkit dari tempat duduknya dan kembali ke gubuknya untuk duduk bermeditasi. Segera setelah Sang Bhagavā kembali ke gubuknya, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu [dalam perkumpulan itu]:

Teman-teman yang mulia, sebelumnya aku tidak memikirkan [hal ini]; demikianlah, ketika Sang Bhagavā tiba-tiba menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, aku berpikir: “Aku takut aku tidak akan dapat menjawab.” [Tetapi,] teman-teman yang mulia, jawaban pertamaku disetujui dan dipuji oleh Sang Bhagavā, dan aku kemudian berpikir: “Jika Sang Bhagavā bertanya kepadaku tentang hal ini selama satu hari satu malam, dengan mengajukan pertanyaannya dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, aku dapat menjawab Sang Bhagavā dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu]. Jika Sang Bhagavā menanyaiku tentang hal ini selama dua, tiga, empat, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam, dengan mengajukan pertanyaannya dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, aku dapat menjawab Sang Bhagavā dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu].”

Ketika mendengar Yang Mulia Sāriputta berkata dengan cara ini, bhikkhu Kaḷārakhattiya bangkit dari tempat duduknya dan segera mendekati Sang Buddha. Ia berkata kepada Sang Bhagavā:

Segera setelah Sang Bhagavā kembali ke gubuknya, Yang Mulia Sāriputta membuat suatu pernyataan yang berbobot, mengaumkan auman siang, dengan berkata: “Teman-teman yang mulia, sebelumnya aku tidak memikirkan [hal ini]; demikianlah, ketika Sang Bhagavā tiba-tiba menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, aku berpikir: “Aku takut aku tidak akan dapat menjawab.” [Tetapi,] teman-teman yang mulia, jawaban pertamaku disetujui dan dipuji oleh Sang Bhagavā, dan aku kemudian berpikir: ‘Jika Sang Bhagavā bertanya kepadaku tentang hal ini selama satu hari satu malam, dengan mengajukan pertanyaannya dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, aku dapat menjawab Sang Bhagavā dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu] selama satu hari satu malam. Teman-teman yang mulia, jika Sang Bhagavā menanyaiku tentang hal ini selama dua, tiga, empat, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam, dengan mengajukan pertanyaannya dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, aku dapat menjawab Sang Bhagavā dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu]’.”

Sang Bhagavā berkata:

Tentu saja demikian, Kaḷārakhattiya! Jika aku menanyai bhikkhu Sāriputta tentang hal ini selama satu hari satu malam, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, ia akan dapat menjawab dengan kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu]. Kaḷārakhattiya, jika aku menanyai bhikkhu Sāriputta tentang hal ini selama dua, tiga, empat, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda, ia akan dapat menjawab dengan kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda [sesuai dengan itu]. Mengapa? Karena, Kaḷārakhattiya, bhikkhu Sāriputta telah secara mendalam memahami alam pemikiran.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu lainnya bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #4 on: 14 February 2016, 07:30:19 AM »
24. Kotbah tentang “Auman Singa” Sāriputta<100>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā ditemani oleh sekumpulan besar para bhikkhu, yang sedang menjalankan pengasingan musim hujan di Sāvatthī. Yang Mulia Sāriputta juga sedang menjalankan pengasingan musim hujan di Sāvatthī. Pada akhir tiga bulan pengasingan musim hujan di Sāvatthī, Yang Mulia Sāriputta, setelah menambal jubahnya, membawa jubah dan mangkuknya dan mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha], ia duduk pada satu sisi dan berkata kepada beliau: “Sang Bhagavā, aku telah menyelesaikan pengasingan musim hujan di Sāvatthī, dan sekarang aku ingin mengadakan perjalanan di antara orang-orang.”

Sang Bhagavā menjawab:

Sāriputta, pergilah sesuai dengan keinginanmu, sehingga engkau dapat membebaskan mereka yang belum memenangkan pembebasan, membebaskan mereka yang belum mencapai kebebasan, dan [membawakan menuju] nirvana akhir mereka yang belum mencapai nirvana akhir. Sāriputta, pergilah sesuai dengan keinginanmu.

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, menerima dan mengingatnya dengan baik, bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilingnya tiga kali, dan kembali ke tempat kediamannya. Setelah menyimpan seperai dan tempat duduknya, ia mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang.

Tak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang teman dalam kehidupan suci tertentu [menyatakan tanpa bukti], di hadapan Sang Buddha, suatu pelanggaran aturan latihan, suatu pelanggaran Dharma, dengan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia Sāriputta merendahkanku hari ini, tepat sebelum ia berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang.”

Mendengar hal ini, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Pergilah menemui Sāriputta dan katakan kepadanya: “Sang Bhagavā memanggilmu. Tak lama setelah engkau berangkat, seorang teman dalam kehidupan suci tertentu [menyatakan tanpa bukti] di hadapanku, suatu pelanggaran aturan latihan, suatu pelanggaran Dharma, dengan berkata: ‘Sang Bhagavā, Yang Mulia Sāriputta merendahkanku hari ini, tepat sebelum ia berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang’.”

Setelah menerima perintah ini, bhikkhu itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, dan pergi.

Pada waktu itu, Yang Mulia Ānanda sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, mengipasi beliau. Tak lama setelah bhikkhu itu pergi, Yang Mulia Ānanda pergi, dengan kunci-kunci di tangannya, menuju tempat kediaman semua [bhikkhu]. Ia memberitahukan kepada semua bhikkhu yang ia temui:

Akan baik, teman-teman yang mulia, jika kalian datang ke aula pertemuan segera. Yang Mulia Sāriputta akan segera mengaumkan auman singa di hadapan Sang Buddha. Adalah mungkin bahwa Yang Mulia Sāriputta akan membuat pernyataan yang mendalam tentang apa yang paling damai dan mulia. Jika ia membuat pernyataan demikian, kalian, teman-teman yang mulia, dan aku, setelah mendengarnya, kemudian seharusnya mengulangi dan mengingatnya dengan baik.

Kemudian, ketika mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Ānanda, semua bhikkhu pergi ke aula pertemuan. Pada waktu itu, bhikkhu [yang dikirimkan Sang Buddha] itu mendekati Yang Mulia Sāriputta dan berkata:

Sang Bhagavā memanggilmu. Tak lama setelah engkau pergi, seorang teman dalam kehidupan suci tertentu [menyatakan tanpa bukti], di hadapan Sang Buddha, suatu pelanggaran aturan latihan, suatu pelanggaran Dharma, dengan berkata: “Sang Bhagavā, Yang Mulia Sāriputta merendahkanku hari ini, tepat sebelum ia berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang.”

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari tempat duduknya dan kembali ke [tempat] di mana Sang Buddha berada. Setelah memberikan penghormatan pada kaki beliau, Sāriputta duduk pada satu sisi.

Sang Buddha berkata:

Sāriputta, tak lama setelah engkau pergi, seorang teman dalam kehidupan suci tertentu [menyatakan tanpa bukti], di hadapanku, suatu pelanggaran aturan latihan, suatu pelanggaran Dharma, dengan berkata: “Sang Bhagavā, Yang Mulia Sāriputta merendahkanku hari ini tepat sebelum ia berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang.” Sāriputta, apakah engkau benar-benar merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum engkau berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh, mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya seekor sapi jantan yang tidak bertanduk yang sabar dan jinak, yang sepenuhnya dijinakkan, tidak menyebabkan bahaya ke mana pun ia pergi, apakah dari desa ke desa atau dari jalan ke jalan. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini, memiliki pikiran bagaikan seekor sapi jantan yang tidak bertanduk. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh, mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya putra seorang buangan yang kedua tangannya telah dipotong, yang sepenuhnya direndahkan, tidak menyebabkan bahaya ke mana pun ia pergi, apakah dari desa ke desa atau dari kota ke kota. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini; pikiranku bagaikan putra seorang buangan yang kedua tangannya telah dipotong. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya bumi menerima apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini; pikiranku bagaikan bumi. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya air membersihkan apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini; pikiranku bagaikan air itu. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya api membakar apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini; pikiranku bagaikan api itu. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya angin yang meniup apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Aku, Sang Bhagavā, adalah seperti ini; pikiranku bagaikan angin. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya sebuah sapu menyapu apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Sang Bhagavā, aku adalah seperti ini; pikiranku bagaikan sebuah sapu. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya sehelai kain lap pembersih membersihkan apa yang murni dan apa yang tidak murni, kotoran, air seni, ingus, dan ludah, tanpa karena alasan ini membencinya atau menyukainya, tanpa merasa malu, memalukan, atau terhina. Sang Bhagavā, aku adalah seperti ini; pikiranku bagaikan sehelai kain lap pembersih. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tak terbatas, mulia, tak terukur dan berkembang dengan baik.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya, ketika sebuah kendi dengan banyak retakan telah diisi sampai ke pinggir dengan minyak pelumas dan ditempatkan di [bawah terik] matahari, minyak pelumas itu bocor dan mengalir dengan perlahan ke mana-mana. Jika seseorang dengan penglihatan [yang baik] datang dan berdiri di dalamnya, ia melihat kendi minyak pelumas ini dengan banyak retakan, yang telah diisi sampai ke pinggir dan ditempatkan di [bawah terik] matahari; dan ia melihat minyak pelumas itu bocor dan mengalir dengan perlahan ke mana-mana. Sang Bhagavā, aku juga adalah seperti ini. Aku terus-menerus merenungkan ketidakmurnian tubuh ini dengan sembilan lubang yang bocor dan mengalir dengan perlahan ke mana-mana.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Sang Bhagavā, seperti halnya seorang pemuda yang bahagia dapat mandi dan memberi wewangian pada dirinya sendiri, mengenakan pakaian putih, bersih, dan menghiasi dirinya dengan permata; dan setelah mencukur janggutnya dan mengatur rambutnya, menempatkan bunga-bunga pada kepalanya. Seumpamanya tiga jenis mayat kemudian dikalungkan di sekeliling lehernya – seekor ular mati, seekor anjing mati, dan seorang manusia mati, yang menghitam, membengkak, berbau busuk, membusuk, dan mengeluarkan cairan yang busuk. Pemuda itu akan merasa malu dan memalukan dan dipenuhi dengan kejijikan sama sekali. Sang Bhagavā, aku adalah seperti ini. Karena aku terus-menerus merenungkan bagian yang busuk dan tidak murni dari tubuh ini, pikiranku malu dan merasa malu dan dipenuhi dengan kejijikan sama sekali.

Sang Bhagavā, seseorang yang tidak memiliki perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh mungkin merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang. Namun, aku, Sang Bhagavā, dengan baik dilengkapi dengan perhatian terhadap tubuh sehubungan dengan tubuh. Bagaimana mungkin aku merendahkan seorang teman dalam kehidupan suci tepat sebelum berangkat untuk mengadakan perjalanan di antara orang-orang?

Kemudian, bhikkhu [yang telah menuduh Sāriputta] itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan berkata kepada beliau:

Aku menyesali pelanggaranku, Sang Bhagavā; aku mengaku salah, Sang Sugata, [dengan bertindak] seperti orang bodoh, seperti orang dungu, seperti [orang yang] kebingungan, seperti [orang yang] tidak bermanfaat. Mengapa demikian? Karena aku bersalah menuduh bhikkhu Sāriputta, temanku dalam kehidupan suci yang murni. Sang Bhagavā, aku sekarang menyesal, dengan berharap bahwa ini akan diterima. Setelah melihat [pelanggaranku] dan mengakuinya, aku tidak akan mengulanginya.

Sang Bhagavā berkata:

Demikianlah, bhikkhu. Engkau sesungguhnya telah [bertindak] seperti orang bodoh, seperti orang dungu, seperti [orang yang] kebingungan, seperti [orang yang] tidak bermanfaat. Mengapa demikian? Karena engkau bersalah menuduh bhikkhu Sāriputta, temanmu dalam kehidupan suci yang murni. Tetapi engkau dapat menyesali pelanggaranmu, dan, setelah melihat dan mengakuinya, engkau tidak akan mengulanginya. Mereka yang dapat menyesali pelanggarannya, setelah melihatnya dan mengakuinya, dan tidak akan mengulanginya, menjadi, dengan cara ini, berkembang dalam ajaran dan disiplin mulia, dan tidak akan mundur.

Kemudian Sang Buddha berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Terimalah ungkapan penyesalan orang bodoh itu secepatnya, agar kepala bhikkhu ini tidak pecah menjadi tujuh bagian tepat di hadapanmu.”

Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih, menerima ungkapan penyesalan bhikkhu itu.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu [lainnya], bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #5 on: 14 February 2016, 07:32:49 AM »
25. Kotbah dengan Perumpamaan [yang Berhubungan dengan] Air<101>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman yang mulia, aku akan menjelaskan kepada kalian lima cara untuk mengatasi kemarahan.<102> Dengarkanlah dengan seksama, dan perhatikanlah dengan baik.”

Para bhikkhu itu mendengarkan untuk menerima ajaran.

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Apakah lima cara itu? Teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seseorang yang perbuatan jasmaninya tidak murni, tetapi perbuatan ucapannya murni. Seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri [dari kemarahan itu].

Lagi, teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seseorang yang perbuatan ucapannya tidak murni, tetapi perbuatan jasmaninya murni. Seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri darinya.

Lagi, teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seseorang yang perbuatan jasmani dan perbuatan ucapannya tidak murni, tetapi perbuatan pikirannya murni untuk sebagian kecil. Seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri darinya.

Lagi, teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya tidak murni. Seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri darinya.

Lagi, teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya murni. Seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri darinya.

Teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmaninya tidak murni, tetapi perbuatan ucapannya murni, bagaimanakah seharusnya seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan membebaskan dirinya sendiri [dari kemarahan itu]?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya terdapat seorang bhikkhu penghuni-hutan, seorang pemakai jubah dari kain bekas, yang melihat sepotong kain yang dibuang pada sebuah lubang kotoran, ternoda oleh kotoran, air seni, ingus, ludah, dan kekotoran lainnya; dan ketika melihatnya, ia memegangnya dengan tangan kirinya, dan membentangkannya dengan tangan kanannya; dan di mana pun ia melihat bagian yang tidak ternoda oleh kotoran, air seni, ingus, ludah, atau kekotoran lainnya, dan yang tidak berlubang, ia merobeknya dan menggunakannya [untuk membuat jubah dari kain bekas]. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika seseorang yang perbuatan jasmaninya tidak murni, tetapi perbuatan ucapannya murni, seseorang tidak seharusnya memperhatikan perbuatan jasmaninya yang tidak murni, tetapi memperhatikan perbuatan ucapannya yang murni. Ini adalah bagaimana seorang bijaksana yang, ketika melihat [seseorang yang demikian], memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri dari [kemarahan itu].

Teman-teman yang mulia, jika seseorang yang perbuatan ucapannya tidak murni, tetapi perbuatan jasmaninya murni, bagaimanakah seharusnya seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan membebaskan dirinya sendiri darinya?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa, tidak jauh dari sebuah desa, terdapat sebuah kolam yang dalam [yang permukaannya] ditutupi oleh tanaman-tanaman air; dan seumpamanya bahwa seseorang datang ke sana, yang diserang oleh panas yang luar biasa, kelaparan, kehausan, dan kelelahan, yang disebabkan oleh angin panas. Ketika tiba di kolam itu, ia melepaskan pakaiannya, meletakkannya di tepi kolam, dan masuk ke dalam kolam, dengan mendorong ke samping tanaman-tanaman air dengan kedua tangannya. Ia menikmati mandi yang menyenangkan, dan membebaskan dirinya sendiri dari serangan oleh panas, kelaparan, kehausan, dan kelelahan. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan ucapannya tidak murni, tetapi perbuatan jasmaninya murni, seseorang tidak seharusnya memperhatikan perbuatan ucapannya yang tidak murni, tetapi seharusnya memperhatikan perbuatan jasmaninya yang murni. Ini adalah bagaimana seorang bijaksana yang, ketika melihat [seseorang yang demikian], memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri dari [kemarahan itu].

Teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani dan ucapannya tidak murni, tetapi pikirannya murni untuk sebagian kecil, bagaimanakah seharusnya seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan membebaskan dirinya sendiri darinya?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa, pada sebuah persimpangan jalan, terdapat genangan air dalam bagian yang rendah yang dibuat oleh kuku seekor sapi jantan; dan seumpamanya bahwa seseorang datang ke sana, yang diserang oleh panas yang luar biasa, kelaparan, kehausan, dan kelelahan, yang disebabkan oleh angin panas. Ia berpikir dalam dirinya sendiri: “Jejak kuku kaki sapi jantan pada persimpangan jalan ini mengandung sedikit air. Jika aku mengambilnya dengan tanganku atau dengan daun, air itu akan menjadi keruh, dan aku tidak akan dapat membebaskan diriku sendiri dari serangan oleh panas, kelaparan, kehausan, dan kelelahan. Biarkanlah aku berlutut, dengan tangan dan lutut di atas tanah, dan menghisap air itu secara langsung dengan mulutku.” Ia kemudian berlutut, dengan tangan dan lututnya di atas tanah, dan menghisap air itu secara langsung dengan mulutnya, dan dengan demikian dapat membebaskan dirinya sendiri dari serangan oleh panas, kelaparan, kehausan, dan kelelahan.

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani dan ucapannya tidak murni, tetapi pikirannya murni untuk sebagian kecil, seseorang tidak seharusnya memperhatikan perbuatan jasmani dan ucapannya yang tidak murni, tetapi seharusnya memperhatikan hanya pikirannya, yang murni untuk sebagian kecil. Teman-teman yang mulia, ini adalah bagaimana seorang bijaksana yang, ketika melihat [seseorang yang demikian], memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri dari [kemarahan itu].

Teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya tidak murni, bagaimanakah seharusnya seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan membebaskan dirinya sendiri darinya? Teman-teman yang mulia, seumpamanya seseorang sedang berada dalam perjalanan panjang dan, setelah jatuh sakit di jalan, sangat menderita dan kelelahan. Ia sendirian, tanpa teman; desa di belakangnya jauh dan desa di depan belum tercapai. Seumpamanya [juga] bahwa orang kedua datang ke sana dan, berdiri pada satu sisi, melihat orang pertama, yang sedang berada dalam perjalanan panjang dan, setelah jatuh sakit di jalan, sangat menderita dan kelelahan – sendirian, tanpa teman, desa di belakangnya jauh dan desa di depan belum tercapai. Dan seumpamanya bahwa ia menolong [pengembara yang sakit itu] untuk melewati hutan belantara dan mencapai desa [berikutnya], dan di sana memberikannya obat yang baik dan bagus, menyediakan makanan, merawatnya dengan baik. Dengan kata lain, orang kedua sangat berbelas kasih terhadap orang sakit itu, memiliki pikiran yang penuh cinta-kasih.

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya tidak murni, maka seorang bijaksana, ketika melihatnya, berpikir: “Perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran orang ini semuanya tidak murni; [tetapi] janganlah ia, ketika hancurnya tubuh saat kematian, pergi menuju alam kehidupan yang buruk dan terlahir kembali di neraka, sebagai akibat perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya yang tidak murni. Jika orang [yang tidak murni] ini bertemu dengan seorang sahabat baik, [ia dapat] meninggalkan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tidak murni, dan mengembangkan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni.” Dalam hal itu, melalui mengembangkan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, orang [yang memperbaiki diri] ini akan, ketika hancurnya tubuh saat kematian, pergi menuju alam kehidupan yang baik, terlahir kembali di alam surga. Dengan kata lain, orang [bijaksana] ini sangat berbelas kasih terhadap orang [yang tidak murni] itu, memiliki pikiran yang penuh cinta-kasih. Ini adalah bagaimana seorang bijaksana yang, ketika melihat [seseorang yang demikian], memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri dari [kemarahan itu]. Teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya murni, bagaimanakah seharusnya seorang bijaksana yang, ketika melihatnya, memunculkan kemarahan membebaskan dirinya sendiri darinya?

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa, tak jauh dari sebuah desa, terdapat sebuah kolam, yang penuh sampai pinggirnya dengan air yang jernih, indah, tepinya ditutupi dengan rumput hijau, dan dikelilingi dengan pepohonan yang berbunga; dan seumpamanya bahwa seseorang datang ke sana, yang diserang oleh panas yang luar biasa, kelaparan, kehausan, dan kelelahan, yang disebabkan oleh angin panas. Ketika tiba di kolam itu, ia melepaskan pakaiannya, meletakkannya di tepi kolam, dan masuk ke dalam air. Ia menikmati mandi yang menyenangkan, dan membebaskan dirinya sendiri dari serangan oleh panas, kelaparan, kehausan, dan kelelahan.

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika terdapat seseorang yang perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya semuanya murni, maka seseorang seharusnya memperhatikan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya yang murni. Ini adalah bagaimana seorang bijaksana yang, ketika melihat [seseorang yang demikian], memunculkan kemarahan seharusnya membebaskan dirinya sendiri dari [kemarahan itu]. Dengan ini, teman-teman yang mulia, aku telah menjelaskan lima cara mengatasi kemarahan.

Ini adalah apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta. Setelah mendengarkannya, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #6 on: 14 February 2016, 07:35:37 AM »
26. Kotbah kepada Gulissāni<103>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.

Pada waktu itu, bhikkhu Gulissāni juga berdiam di Rājagaha. Berdiam di sebuah tempat kediaman hutan,<104> Gulissāni [mengucapkan] candaan dengan dangkal dan menyombongkan dirinya sendiri. Dengan berperilaku dengan cara yang menggelisahkan dan menghasut, ia tidak memiliki perhatian, dan pikirannya bagaikan seekor monyet. Karena beberapa urusan kecil, bhikkhu Gulissāni pergi ke Rājagaha.

Pada waktu itu, pada tengah hari setelah memakan makanan mereka, Yang Mulia Sāriputta dan sekumpulan para bhikkhu berkumpul di aula pertemuan karena beberapa urusan kecil. Setelah mengatur apa yang harus ia lakukan di Rājagaha, bhikkhu Gulissāni juga pergi menuju aula pertemuan.

Melihat Gulissāni mendekat dari jauh, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada [perkumpulan] para bhikkhu sehubungan dengan Gulissāni:

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjadi penuh hormat dan selalu mengalah. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering tidak hormat dan tidak mau mengalah, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apa ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering tidak hormat dan tidak mau mengalah.” Ketika ia datang untuk tinggal di antara komunitas para bhikkhu, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjadi penuh hormat dan suka mengalah.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menghindari diri dari membuat candaan yang dangkal dan berperilaku dengan cara yang menggelisahkan dan menghasut. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering membuat candaan yang dangkal dan berperilaku dengan cara yang menggelisahkan dan menghasut, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering membuat candaan yang dangkal dan berperilaku dengan cara yang menggelisahkan dan menghasutkan.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menghindari diri dari membuat candaan yang dangkal dan berperilaku dengan cara yang menggelisahkan dan menghasut.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menghindari diri dari pembicaraan yang menyimpang. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering terlibat dalam pembicaraan yang menyimpang, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering terlibat dalam pembicaraan yang menyimpang.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menghindari diri dari pembicaraan yang menyimpang.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih tidak menyombongkan dirinya sendiri dan tidak suka mengobrol. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering menyombongkan dirinya sendiri dan suka mengobrol, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering menyombongkan dirinya sendiri dan suka mengobrol.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih tidak menyombongkan dirinya dan tidak suka mengobrol.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjaga indera-indera. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering dengan indera-indera yang tidak terjaga, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering dengan indera-indera yang tidak terjaga.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjaga indera-indera.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih tidak berlebihan dalam makan. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, rakus dalam makan dan tidak mengetahui kecukupan [dalam makan], ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, rakus dalam makan dan tidak mengetahui kecukupan [dalam makan].” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih tidak berlebihan dalam makan.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjadi bersemangat dan bebas dari kemalasan. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering kendur dan malas, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering kendur dan malas.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih menjadi bersemangat dan bebas dari kemalasan.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam perhatian dan kewaspadaan penuh. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering tidak memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering tidak memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam perhatian dan kewaspadaan penuh.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam mengetahui waktu [yang tepat] dan terampil sehubungan dengan waktu, [sebagai contoh,] tidak pergi ke desa untuk mengumpulkan makanan terlalu pagi ataupun kembali terlalu larut. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, pergi ke desa untuk mengumpulkan makanan terlalu pagi atau kembali terlalu larut, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, sering pergi ke desa terlalu pagi atau kembali terlalu larut.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam mengetahui waktu [yang tepat] dan terampil sehubungan dengan waktu.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam mengetahui tempat duduk [yang pantas] dan terampil dalam memilih tempat duduk, tidak mengambil tempat duduk seorang bhikkhu senior, atau menegur para bhikkhu junior [karena mengambil tempat duduk yang ia inginkan]. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, mengambil tempat duduk seorang bhikkhu senior atau menegur para bhikkhu junior [karena mengambil tempat duduk yang ia inginkan], ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, mengambil tempat duduk seorang bhikkhu senior atau menegur para bhikkhu junior [karena mengambil tempat duduk yang ia inginkan].” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam mengetahui tempat duduk [yang pantas] dan terampil dalam memilih tempat duduk.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih lanjut. Mengapa? Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, mungkin bertemu orang-orang yang datang dengan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih lanjut. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih lanjut, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih lanjut.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih lanjut.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas pembebasan-pembebasan yang damai, pencapaian konsentrasi tanpa-bentuk yang melampaui bentuk. Mengapa? Teman-teman, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, mungkin bertemu orang-orang yang datang dengan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan pembebasan-pembebasan yang damai, pencapaian konsentrasi tanpa-bentuk yang melampaui bentuk. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] pembebasan-pembebasan yang damai, pencapaian konsentrasi tanpa-bentuk yang melampaui bentuk, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] pembebasan-pembebasan yang damai, pencapaian konsentrasi tanpa-bentuk yang melampaui bentuk.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas pembebasan-pembebasan yang damai, pencapaian konsentrasi tanpa-bentuk yang melampaui bentuk.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda. Mengapa? Teman-teman, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, mungkin bertemu orang-orang yang datang dengan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda. Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu penghuni-hutan, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman para bhikkhu lainnya: “Sehubungan dengan yang mulia penghuni-hutan ini, demi tujuan apakah ia berlatih tinggal di hutan? Mengapa [kami mengatakan] hal ini? Yang mulia penghuni-hutan ini, walaupun berlatih tinggal di hutan, tidak dapat menjawab [pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan] pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda.” Ketika ia datang untuk berdiam di tengah-tengah komunitas monastik, ia akan mendatangkan penolakan dan kecaman [demikian] dari para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam menjelaskan dan membahas pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda.

Pada waktu itu, Yang Mulia Mahā Moggallāna juga hadir dalam perkumpulan itu. Yang Mahā Moggallāna berkata:

Yang Mulia Sāriputta, apakah hanya para bhikkhu penghuni-hutan seharusnya, ketika berlatih tinggal di hutan, berlatih dalam hal-hal ini, dan bukan para bhikkhu [yang] tinggal di antara orang-orang?

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Yang Mulia Mahā Moggallāna, para bhikkhu penghuni-hutan, ketika berlatih tinggal di hutan, seharusnya berlatih dalam hal-hal ini. Apalagi para bhikkhu yang tinggal di antara orang-orang!

Dengan cara ini, kedua orang yang mulia itu bertukar gagasan dan memuji perkataan satu sama lainnya. Setelah mendengarkan apa yang dikatakan, [para bhikkhu dalam perkumpulan itu] bangkit dari tempat duduk mereka dan pergi.

Jadilah penuh hormat, menghindari diri dari candaan yang dangkal,
Janganlah terlibat dalam pembicaraan yang menyimpang dan menyombongkan diri,
Jagalah indera-indera, tidak berlebihan dalam makan,
Bersemangat dan memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh,
Mengetahui waktu dan [mengetahui] tempat duduk yang pantas,
Membahas aturan disiplin dan ajaran-ajaran yang lebih tinggi,
Menjelaskan pembebasan-pembebasan yang damai,
Dan pengetahuan lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #7 on: 14 February 2016, 07:47:12 AM »
27. Kotbah kepada Dhānañjāni<105>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai, di mana beliau sedang menjalankan pengasingan musim hujan bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu. Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta sedang berada di Sāvatthī, juga menjalankan pengasingan musim hujan.

Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu yang, setelah menyelesaikan tiga bulan pengasingan musim hujan pada Rājagaha, dan setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, dan meninggalkan Rājagaha menuju Sāvatthī, untuk berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Bhikkhu itu mendekati Yang Mulia Sāriputta dan, setelah memberikan penghormatan pada kakinya, duduk pada satu sisi.

Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Dari manakah engkau datang, teman yang mulia? Di manakah engkau menjalankan pengasingan musim hujan?”

Bhikkhu itu menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, aku datang dari Rājagaha, aku menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan Sang Bhagavā, yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah beliau sehat dan kuat? Apakah beliau nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah beliau berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan beliau seperti biasanya?

Bhikkhu itu menjawab:

Ya, Yang Mulia Sāriputta. Sang Bhagavā, yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, sehat dan kuat, beliau nyaman dan bebas dari penyakit, beliau berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya.

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?

[Bhikkhu itu] menjawab:

Ya, Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan para pengikut awam pria dan wanita yang tinggal di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?

[Bhikkhu itu] menjawab:

Ya, Yang Mulia Sāriputta. Para pengikut awam pria dan wanita yang tinggal di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan berbagai pertapa non-Buddhis dan para brahmana yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?

[Bhikkhu itu] menjawab:

Ya, Yang Mulia Sāriputta. Berbagai pertapa non-Buddhis dan para brahmana yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Teman yang mulia, terdapat di Rājagaha seorang brahmana bernama Dhānañjāni. Ia adalah seorang temanku sebelum aku meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu. Apakah engkau mengenalnya?”

[Bhikkhu itu] menjawab: “Aku mengenalnya.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan brahmana Dhānañjāni dari Rājagaha ini, apakah ia sehat dan kuat? Apakah ia nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah ia berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya? Apakah ia sering menemui Sang Buddha dan apakah ia bergembira dalam mendengarkan Dharma?

[Bhikkhu itu] menjawab:

Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni dari Rājagaha sehat dan kuat, ia nyaman dan bebas dari penyakit, ia berdiam dengan tenang, dan kekuatannya seperti biasanya. [Namun,] ia tidak berkeinginan menemui Sang Buddha dan ia tidak bergembira dalam mendengarkan Dharma.

Mengapa demikian? Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni tidak berusaha dan telah melanggar aturan moralitas. Dengan bergantung pada hubungannya dengan raja, ia menipu para brahmana dan perumah tangga; dan bergantung pada hubungannya dengan para brahmana dan perumah tangga, ia menipu raja.

Mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta, setelah menyelesaikan tiga bulan pengasingan musim hujan di Sāvatthī dan setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan meninggalkan Sāvatthī menuju Rājagaha, di mana ia berdiam di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.

Kemudian pada pagi hari, setelah menghabiskan malam di sana, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan pergi ke Rājagaha untuk mengumpulkan makanan, dengan pergi dari pintu ke pintu. Setelah mengumpulkan makanan, ia pergi ke rumah brahmana Dhānañjāni. Pada waktu itu, brahmana Dhānañjāni keluar dari rumahnya, dan sedang berada di sisi sumber mata air, dengan kasar menghukum beberapa penduduk setempat.

Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, brahmana Dhānañjāni bangkit dari tempat duduknya, memperlihatkan bahu [kanan]nya, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Yang Mulia Sāriputta, dan menyatakan kegembiraannya: “Selamat datang, Sāriputta! Sudah lama sekali sejak engkau datang ke sini, Sāriputta.” Kemudian, dengan penuh hormat membawa Yang Mulia Sāriputta dengan lengannya, brahmana Dhānañjāni membawanya ke dalam rumahnya. Ia mempersiapkan tempat duduk yang bagus dan mengundang Yang Mulia Sāriputta untuk duduk. Yang Mulia Sāriputta kemudian duduk pada tempat duduk itu. Ketika brahmana Dhānañjāni melihat bahwa Yang Mulia Sāriputta duduk, ia membawakannya sebuah mangkuk emas<106> untuk mencuci [tangannya] dan mengundangnya untuk makan.

Yang Mulia Sāriputta berkata: “Cukup, cukup, Dhānañjāni, tenangkan pikiranmu.”

Kedua dan ketiga kalinya brahmana Dhānañjāni mengulangi undangannya, dan kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Sāriputta menolak, dengan berkata: “Cukup, cukup, Dhānañjāni, tenangkan pikiranmu.”

Kemudian brahmana Dhānañjāni bertanya: “Sāriputta, mengapa masuk ke dalam rumah seperti ini dan kemudian menolak untuk makan?”

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Dhānañjāni, [aku mendengar bahwa] engkau tidak berusaha dan telah melanggar aturan-aturan moralitas. Bergantung pada hubunganmu dengan raja, engkau menipu para brahmana dan perumah tangga, dan bergantung pada hubunganmu dengan para brahmana dan perumah tangga, engkau menipu raja.

Brahmana Dhānañjāni menjawab:

Sāriputta, engkau mengetahui bahwa, sebagai seorang perumah tangga sekarang, aku harus mengurus urusan rumah tangga. Aku harus menjaga kenyamanan dan kesejahteraanku sendiri, menyokong orang tuaku, menjaga istri dan anak-anakku, menyediakan [makanan] untuk pelayan laki-laki dan perempuanku,<107> membayar pajak kepada raja, mengadakan upacara untuk para dewa, membuat persembahan kepada para leluhur yang telah meninggal, dan memberi kepada para pertapa dan brahmana – agar dapat hidup panjang dan kemudian terlahir kembali di surga dan memperoleh buah karma yang menyenangkan. Sāriputta, semua urusan ini tidak dapat diabaikan,<108> yang diperintahkan dalam aturan [kebiasaan].

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Dhānañjāni, biarkanlah aku menanyakanmu suatu pertanyaan. Jawablah sebaik yang engkau bisa. Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan orang tuanya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan hanya demi kepentingan orang tuaku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?

[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:

Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan istri dan anak-anaknya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan istri dan anak-anakku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”

[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:

Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan para pelayannya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan pelayan laki-laki dan perempuanku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”

[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:

Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan raja, para dewa, para leluhur yang telah meninggal, dan para pertapa dan brahmana. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan raja, para dewa, para leluhur yang telah meninggal, dan para pertapa dan brahmana.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”

[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”

[Sāriputta berkata:]

Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati, menghargai, dan menyokong orang tuanya, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati, menghargai, dan menyokong orang tuanya, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat – ia dipikirkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tuanya, yang berkata: “Semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kedamaian dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dipikirkan dengan penuh kasih sayang demikian oleh orang tuanya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.

Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga istri dan anak-anaknya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga istri dan anak-anaknya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat – maka ia dihormati dan dihargai oleh istri dan anak-anaknya, yang berkata: “Tuanku, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [aku mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, aku memiliki kesejahteraan dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dihormati dan dihargai demikian oleh istri dan anak-anaknya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.

Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga para pelayan laki-laki dan perempuannya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh belas kasih menyediakan [makanan] untuk para pelayan laki-laki dan perempuannya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat – maka ia dihormati dan dihargai oleh para pelayannya, yang berkata: “Tuan, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kesejahteraan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dihormati dan dihargai demikian oleh para pelayannya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.

Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati dan menyokong para pertapa dan brahmana, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati dan menyokong para pertapa dan brahmana, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat – maka ia dipikirkan dengan penuh kasih sayang oleh para pertapa dan brahmana, yang berkata: “Pendana, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kesejahteraan dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dipikirkan dengan penuh kasih sayang demikian oleh para pertapa dan brahmana, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.

Kemudian, brahmana Dhānañjāni bangkit dari tempat duduknya, memperlihatkan bahu kanannya, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Yang Mulia Sāriputta, dan berkata:

Sāriputta, aku memiliki seorang istri bernama Cantik, yang sangat aku sayangi. Karena telah terperdaya olehnya, aku menjadi lalai dan melakukan banyak perbuatan jahat. Sāriputta, sejak hari ini, aku akan melepaskan diriku dari istriku Cantik dan [alih-alih] mengambil perlindungan kepadamu, Yang Mulia Sāriputta.

Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Dhānañjāni, jangan mengambil perlindungan kepadaku. Engkau seharusnya mengambil perlindungan kepada Sang Buddha, di mana aku sendiri mengambil perlindungan kepadanya.”

Brahmana Dhānañjāni menyatakan:

Yang Mulia Sāriputta, sejak hari ini, aku mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Yang Mulia Sāriputta menerimaku sebagai seorang pengikut awam Sang Buddha, setelah mengambil perlindungan seumur hidup, sampai mati.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mengajarkan Dharma kepada brahmana Dhānañjāni. Dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, Sāriputta menggunakan tak terhitung cara terampil untuk mengajarkan Dharma. Setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakan [Dhānañjāni], [Sāriputta] bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Rājagaha. Setelah tinggal beberapa hari, [Sāriputta] mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan meninggalkan Rājagaha menuju Pegunungan Selatan. Ia berdiam di sebuah hutan kayu keras (simsapa), [yang terletak] di sebelah utara sebuah desa di Pegunungan Selatan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #8 on: 14 February 2016, 07:47:44 AM »
Pada waktu itu, seorang bhikkhu tertentu yang sedang berdiam di Rājagaha, setelah berdiam di sana selama beberapa hari, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan [juga] meninggalkan Rājagaha menuju Pegunungan Selatan. Ia [juga] berdiam di hutan kayu keras (simsapa), [yang terletak] di sebelah utara sebuah desa di Pegunungan Selatan.

Kemudian bhikkhu itu mendekati Yang Mulia Sāriputta dan, setelah memberikan penghormatan pada kakinya, duduk pada satu sisi.

Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Teman yang mulia, dari manakah engkau datang? Di manakah engkau berdiam?”

Bhikkhu itu menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, aku datang dari Rājagaha. Aku berdiam di Rājagaha.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Teman yang mulia, di Rājagaha terdapat seorang brahmana bernama Dhānañjāni, seorang temanku sebelum aku meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu. Apakah engkau mengenalnya?”

Bhikkhu itu menjawab: “Aku mengenalnya.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:

Teman yang mulia, sehubungan dengan brahmana Dhānañjāni yang tinggal di Rājagaha, apakah ia sehat dan kuat? Apakah ia nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah ia berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya? Apakah ia sering menemui Sang Buddha dan apakah ia bergembira dalam mendengarkan Dharma?

Bhikkhu itu menjawab:

Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni berkeinginan sering menemui Sang Buddha dan ia berkeinginan untuk mendengarkan Dharma. Namun, ia tidak sehat dan kekuatannya berkurang. Mengapa demikian?

Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni saat ini sedang menderita sakit. Ia sakit parah dan dalam kondisi yang kritis dan oleh sebab itu dapat meninggal [segera].

Setelah mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, dan meninggalkan Pegunungan Selatan menuju Rājagaha, [di mana] ia berdiam di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.

Setelah melewati malam di sana, saat fajar Yang Mulia Sāriputta, dengan mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, pergi menuju rumah brahmana Dhānañjāni. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekati dari kejauhan, brahmana Dhānañjāni berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya. Melihat brahmana Dhānañjāni berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, Yang Mulia Sāriputta menghentikannya, dengan berkata: “Tetaplah berbaring, Dhānañjāni! Jangan bangun! Terdapat tempat tidur lain di sini. Aku akan duduk di sana.”

Kemudian, setelah duduk pada tempat tidur lain itu, Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Dhānañjāni, bagaimanakah penyakitmu sekarang? Seberapa banyak engkau makan dan minum? Apakah penyakitmu berkurang, tidak meningkat?”

Dhānañjāni menjawab:

Penyakitku semakin parah. Aku tidak dapat makan atau minum. Penyakitku meningkat, tidak berkurang.

Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit kepala yang sangat parah seakan-akan seseorang yang kuat memotong kepalaku dengan sebuah pisau, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit kepala yang sangat parah seakan-akan seseorang yang kuat terus-menerus mengencangkan seutas tali di sekeliling kepalaku, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit perut yang sangat parah seakan-akan seorang tukang jagal memotong untuk membukanya, seperti perut seekor sapi hidup, dengan sebuah pisau yang tajam, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, seluruh tubuhku sedemikian sakitnya seakan-akan dua orang yang kuat mencengkeram seseorang yang lemah dan memanggangnya di atas api, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Demikianlah rasa sakit yang kualami; dan rasa sakit itu meningkat, bukan berkurang.

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Dhānañjāni, biarkanlah aku menanyakanmu suatu pertanyaan. Jawablah sebaik yang engkau bisa. Apakah yang engkau pikirkan, brahmana Dhānañjāni? Manakah yang lebih baik, neraka atau [alam] binatang?

Dhānañjāni menjawab: “[Alam] binatang adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] binatang atau [alam] hantu kelaparan?”

Dhānañjāni menjawab: “[Alam] hantu kelaparan adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] hantu kelaparan atau [alam] manusia?”

Dhānañjāni menjawab: “[Alam] manusia adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] manusia atau surga empat raja [dewa]?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga empat raja [dewa] adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga empat raja [dewa] atau surga tiga-puluh-tiga [dewa]?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga tiga-puluh-tiga [dewa] adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga tiga-puluh-tiga [dewa] atau surga Yama?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga Yama adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga Yama atau surga Tusita?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga Tusita adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga Tusita atau [surga] para dewa yang menikmati dalam penciptaan?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga para dewa yang menikmati dalam penciptaan adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga para dewa yang menikmati dalam penciptaan atau [surga] para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain?”

Dhānañjāni menjawab: “Surga para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain adalah lebih baik.”

[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain atau alam Brahmā?”

Dhānañjāni menjawab: “Alam Brahmā adalah yang tertinggi! Alam Brahmā adalah yang tertinggi!”

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Dhānañjāni, Sang Bhagavā, yang diberkahi pengetahuan dan penglihatan, Sang Tathāgata, yang tanpa kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mengajarkan empat kediaman luhur. Dengan melatihnya terus-menerus, seorang pengikut awam laki-laki atau perempuan dapat memotong keinginan indera, meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera, dan, dengan hancurnya tubuh saat kematian, akan terlahir kembali di alam Brahmā. Apakah empat hal itu?

Dhānañjāni, di sini seorang siswa mulia yang terpelajar dengan pikirannya dipenuhi dengan cinta-kasih, berdiam [dengan batin] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana-mana. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Dengan cara yang sama, ia memenuhi pikirannya dengan belas kasih, dengan kegembiraan empatik, dengan keseimbangan, dan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Ini, Dhānañjāni, adalah ajaran tentang empat kediaman luhur yang telah diajarkan Sang Bhagavā, yang diberkahi dengan pengetahuan dan penglihatan, Sang Tathāgata, yang tanpa kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Dengan melatih [empat kediaman luhur ini] terus-menerus, seorang pengikut awam laki-laki atau perempuan dapat melenyapkan keinginan indera dan meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera dan, dengan hancurnya tubuh saat kematian, akan terlahir kembali di alam Brahmā.

Setelah mengajarkan Dhānañjāni ajaran-ajaran yang berhubungan dengan alam Brahmā, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari tempat duduknya dan pergi.

Setelah Yang Mulia Sāriputta meninggalkan Rājagaha dan sebelum ia tiba di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai, ketika ia masih berada di antara [dua tempat ini], brahmana Dhānañjāni, yang telah berlatih empat kediaman luhur dan meninggalkan keinginan indera dan meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera, dengan hancurnya tubuh saat kematian, terlahir kembali di alam Brahmā.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā sedang mengajar, dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu [dalam perkumpulan itu]:

Bhikkhu Sāriputta diberkahi dengan kebijaksanaan yang cemerlang, kebijaksanaan yang cepat, kebijaksanaan yang lincah, kebijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang mendalam, kebijaksanaan yang membawa pembebasan, kebijaksanaan yang menembus, kebijaksanaan yang mengesankan. Bhikkhu Sāriputta telah mencapai kebijaksanaan sejati. Bhikkhu Sāriputta ini baru saja mengajarkan brahmana Dhānañjāni suatu ajaran tentang alam Brahmā. Jika ia mengajarkannya lebih lanjut, [Dhānañjāni] akan dengan cepat merealisasi Dharma sesuai dengan Dharma.

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Buddha dan, setelah memberikan penghormatan pada kaki beliau, duduk pada satu sisi.

Sang Bhagavā berkata:

Sāriputta, mengapa engkau tidak mengajarkan brahmana Dhānañjāni ajaran tentang melampaui alam Brahmā? Jika engkau telah mengajarkannya lebih lanjut, ia akan dengan cepat merealisasi Dharma sesuai dengan Dharma.

Yang Mulia Sāriputta menjawab:

Sang Bhagavā, para brahmana itu sejak waktu yang lama telah melekat pada alam Brahmā, mereka menyenangi alam Brahmā, [menganggap] alam Brahmā sebagai yang tertinggi, menjunjung tinggi alam Brahmā, [menganggap] alam Brahmā sebagai yang [benar-benar] nyata, dan menganggap alam Brahmā sebagai ada untuk mereka. Karena alasan ini, Sang Bhagavā, aku bertindak sesuai dengan keinginan [Dhānañjāni].

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan perkumpulan tak terhitung ratusan ribu orang bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #9 on: 14 February 2016, 08:04:08 AM »
28. Kotbah tentang Mengajar [Anāthapiṇḍika] yang Sakit<109>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika berkata kepada seorang utusan tertentu:

Pergilah menemui Sang Buddha dan, atas namaku, berikan penghormatan pada kaki beliau. Tanyakan tentang kesejahteraannya, dengan bertanya: “Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” Kemudian katakan kepada beliau: “Perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Sang Bhagavā. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda [dengan perkataan]: ‘Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?’”

Setelah engkau telah, atas namaku, menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada Sang Buddha, pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta. Berikan penghormatan pada kaki beliau atas namaku, dan tanyakan tentang kesejahteraan beliau dengan bertanya: “Yang Mulia, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” Kemudian katakan kepada beliau: “Perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Sāriputta. Ia menanyakan tentang kesejahteraan yang mulia [dengan perkataan]: ‘Apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?’” [Kemudian juga katakan kepada beliau:] “Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah dan berada dalam kondisi yang kritis. Perumah tangga Anāthapiṇḍika sangat berkeinginan untuk menemui Yang Mulia Sāriputta. Tetapi dalam kondisi fisiknya yang memburuk, ia terlalu lemah untuk datang dan mengunjungi Yang Mulia Sāriputta. Akan baik jika Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih, mengunjungi perumah tangga Anāthapiṇḍika di rumahnya.”

Kemudian, setelah menerima perintah perumah tangga Anāthapiṇḍika, utusan itu mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan pada kaki beliau, ia duduk pada satu sisi dan berkata:

Sang Bhagavā, perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki anda. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda: “Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada utusan itu:

Semoga perumah tangga Anāthapiṇḍika menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan. Semoga semua dewa, manusia, asura, pemusik surgawi, setan, dan semua bentuk kehidupan lainnya menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan!

Utusan itu mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, dan mengingatnya dengan baik. Kemudian, setelah memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan mengelilingi beliau tiga kali, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, ia duduk pada satu sisi dan berkata:

Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Sāriputta. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda: “Yang Mulia, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” [Juga] “Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah dan berada dalam kondisi yang kritis. Perumah tangga Anāthapiṇḍika sangat berkeinginan untuk menemui Yang Mulia Sāriputta. Tetapi dalam kondisi fisiknya yang buruk, ia terlalu lemah untuk mengunjungi Yang Mulia Sāriputta. Akan baik jika Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih, mengunjungi perumah tangga Anāthapiṇḍika di rumahnya.”

Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan tetap berdiam diri. Kemudian, memahami bahwa Yang Mulia Sāriputta telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, utusan itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki [Sāriputta], mengelilinginya tiga kali, dan pergi.

Ketika malam berakhir, saat fajar, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan mendekati rumah perumah tangga Anāthapiṇḍika. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekati dari kejauhan, perumah tangga Anāthapiṇḍika berusaha untuk membangkitkan dirinya sendiri dari tempat tidurnya.

Melihat perumah tangga Anāthapiṇḍika berusaha untuk membangkitkan dirinya sendiri dari tempat tidurnya, Yang Mulia Sāriputta menghentikan beliau, dengan berkata: “Tetaplah berbaring, perumah tangga! Jangan bangun! Terdapat tempat tidur lainnya di sini. Aku akan duduk di sana.”

Kemudian, setelah duduk pada tempat tidur lainnya, Yang Mulia Sāriputta: “Bagaimanakah penyakitmu sekarang, perumah tangga? Berapa banyak engkau makan dan minum? Apakah rasa sakitmu berkurang, tidak meningkat?”

Perumah tangga itu menjawab: “Penyakitku semakin kritis. Aku tidak dapat makan atau minum. Rasa sakitku meningkat, tidak berkurang.”

Yang Mulia Sāriputta berkata:

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak memiliki keyakinan, dengan hancurnya tubuh pada saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, memiliki keyakinan saat ini; alih-alih, engkau berkeyakinan besar. Dan dengan [mengingat] keyakinan besar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] keyakinan besar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak memiliki moralitas, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, memiliki moralitas; alih-alih, engkau kuat dalam moralitas. Dan dengan [mengingat] moralitas kuat[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] moralitas kuat[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak banyak mempelajari [tentang Dharma], dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, bukan seseorang yang tidak banyak mempelajari [tentang Dharma]; alih-alih, engkau terpelajar [sehubungan dengan Dharma]. Dan dengan [mengingat] pembelajaran[mu] yang besar [dalam Dharma], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pembelajaran[mu] yang besar, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang kikir dan serakah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak kikir dan serakah; alih-alih, engkau seorang pendana yang dermawan. Dan dengan [mengingat] kedermawanan[mu] sebagai seorang pendana, perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kedermawanan[mu] sebagai seorang pendana, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki kebijaksanaan yang cacat, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki kebijaksanaan yang cacat; alih-alih, engkau diberkahi dengan kebijaksanaan yang bermanfaat. Dan dengan [mengingat] kebijaksanaan[mu] yang bermanfaat, perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kebijaksanaan[mu] yang bermanfaat, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pandangan salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pandangan salah; alih-alih, engkau memiliki pandangan benar. Dan dengan [mengingat] pandangan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pandangan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki kehendak salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki kehendak salah; alih-alih, engkau memiliki kehendak benar. Dan dengan [mengingat] kehendak benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kehendak benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pemahaman salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pemahaman salah; alih-alih, engkau memiliki pemahaman benar. Dan dengan [mengingat] pemahaman benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pemahaman benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki [jenis] pembebasan yang salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki [jenis] pembebasan yang salah; alih-alih, engkau memiliki [tingkat pertama dari] [jenis] pembebasan yang benar. Dan dengan [mengingat] pembebasan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pembebasan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.

Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pengamatan salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pengamatan salah; alih-alih, engkau memiliki pengamatan benar. Dan dengan [mengingat] pengamatan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pengamatan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #10 on: 14 February 2016, 08:05:46 AM »
Kemudian, penyakit perumah tangga itu lenyap dan kondisinya kembali menjadi normal. Ia membangkitkan dirinya sendiri ke posisi duduk di tempat tidur, dan memuji Yang Mulia Sāriputta:

Bagus sekali! Bagus sekali! Pengajaran Dharma anda kepada orang sakit adalah mengagumkan, sangat khusus! Yang Mulia Sāriputta, ketika mendengar pengajaran Dharma anda untuk orang sakit, rasa sakitku telah padam dan kebahagiaan muncul. Yang Mulia Sāriputta, penyakitku sekarang telah lenyap dan kondisiku kembali menjadi normal.

Yang Mulia Sāriputta, suatu ketika, pada masa lampau, ketika berada di Rājagaha untuk beberapa urusan atau lainnya, aku berdiam di rumah seorang perumah tangga di sana. Pada waktu itu perumah tangga itu sedang mempersiapkan makanan untuk Sang Buddha dan komunitas para bhikkhu pada hari berikutnya. Ketika malam telah jauh berlalu dan fajar mendekat, perumah tangga itu memanggil anak-anak, cucu-cucu, para pelayan, dan para pembantunya, dengan berkata: “Bangunlah! Cepat! Kita semua harus mempersiapkan makanan.” Masing-masing menerima perintahnya dan bersama-sama mereka mengatur dapur dan mulai mempersiapkan semua jenis makanan dan minuman yang bergizi dan lezat. Perumah tangga itu secara pribadi mengatur sebuah tempat duduk yang ditinggikan [untuk Sang Buddha], dengan menghiasinya dengan tak terhitung hiasan.

Yang Mulia Sāriputta, ketika melihat hal ini, aku berpikir: “Apakah perumah tangga itu sedang mempersiapkan suatu pernikahan? Apakah ini merupakan  resepsi untuk seorang menantu perempuan baru? Atau apakah raja telah diundang? Atau beberapa orang menteri senior? Atau apakah ini untuk upacara besar persembahan makanan?”

Yang Mulia Sāriputta, setelah berpikir dengan cara ini, aku bertanya kepada perumah tangga itu, “Apakah engkau sedang mempersiapkan suatu pernikahan? Apakah ini merupakan resepsi untuk seorang menantu perempuan baru? Atau apakah raja telah diundang? Atau beberapa orang menteri senior? Atau apakah ini untuk upacara besar persembahan makanan?”

Perumah tangga itu menjawab: “Kami tidak sedang mempersiapkan suatu pernikahan. Ini bukan resepsi untuk seorang menantu perempuan baru. Bukan raja yang diundang, ataupun beberapa orang menteri senior. Tetapi ini benar untuk upacara  besar persembahan makanan. Kami sedang mempersiapkan makanan untuk Sang Buddha dan komunitas para bhikkhu besok hari.”

Yang Mulia Sāriputta, sampai saat itu aku belum pernah mendengar kata “Buddha.” Ketika aku mendengarnya, rambut tubuhku berdiri tegak. Maka aku bertanya: “Perumah tangga, engkau mengatakan tentang ‘Sang Buddha’. Siapakah ia sehingga disebut ‘Sang Buddha’?”

Kemudian perumah tangga itu menjawab: “Tidakkah engkau pernah mendengar? Terdapat seorang putra dari suku Sakya yang telah meninggalkan ikatan keluarga Sakya-nya. Beliau mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang yang tanpa-rumah, untuk berlatih sang jalan. Beliau mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi; oleh sebab itu beliau disebut ‘Buddha’ [Yang Tercerahkan].”

Aku bertanya kepadanya lebih lanjut: “Engkau juga menyebutkan ‘komunitas’ [Sangha]. Apakah komunitas ini?”

Perumah tangga itu menjawab lagi: “Para anggota berbagai keluarga dan suku telah [juga] mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang yang tanpa-rumah, untuk berlatih dalam jalan Sang Buddha. [Para bhikkhu] ini merupakan komunitas [Sangha] beliau. Adalah Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau yang telah kami undang.

Yang Mulia Sāriputta, aku bertanya lagi kepada perumah tangga itu: “Di manakah Sang Bhagavā sedang berdiam sekarang? Aku ingin pergi dan mengunjungi beliau.”

Perumah tangga itu menjawab: “Sang Bhagavā sekarang sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. Engkau dapat pergi ke sana jika engkau menginginkannya.”

Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Hari akan segera subuh. Biarlah aku dengan cepat pergi dan menemui Sang Buddha.” Yang Mulia Sāriputta, keinginanku untuk pergi dan menemui Sang Buddha sedemikian mendesak, walaupun masih malam aku tiba-tiba memiliki persepsi kecemerlangan siang hari. Maka aku berangkat dari rumah perumah tangga itu dan pergi ke gerbang kota. Pada waktu itu, gerbang kota dijaga oleh dua orang penjaga. Salah seorang penjaga berdiri menjaga selama setengah malam hari pertama, dengan mengizinkan orang-orang masuk tanpa halangan. Yang lainnya menjaga selama setengah malam hari kedua, dengan mengizinkan orang-orang keluar tanpa halangan.”

Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Malam belum berakhir. Mengapa? [Karena] gerbang kota [masih] dijaga oleh [salah satu dari] dua orang penjaga. Salah seorang penjaga berdiri menjaga selama setengah malam hari pertama, dengan mengizinkan orang-orang masuk tanpa halangan. Yang lainnya menjaga selama setengah malam hari kedua, dengan mengizinkan orang-orang keluar tanpa halangan.”

Yang Mulia Sāriputta, tidak lama setelah aku telah melewati gerbang kota, [persepsi] kecemerlangan [siang hari] tiba-tiba lenyap dan semuanya menjadi gelap lagi. Yang Mulia Sāriputta, pada waktu itu aku menjadi takut dan rambut tubuhku berdiri tegak. [Aku berpikir]: “Semoga tidak ada manusia atau makhluk tidak tampak yang menggangguku!”

Pada waktu itu, suatu makhluk dewa di gerbang kota memancarkan cahaya mengagumkan yang menjangkau dari Rājagaha sampai Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. [Makhluk dewa itu] datang dan berkata kepadaku:

Janganlah takut, perumah tangga! Janganlah takut, perumah tangga! Mengapa jangan [takut]? Pada kehidupan lampau aku adalah seorang temanmu, bernama Bejana Madu.<110> Kita sangat menyayangi dan dekat satu sama lain pada masa muda kita.

Perumah tangga, pada masa lampau aku telah mengunjungi Yang Mulia Mahā Moggallāna. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, aku duduk pada satu sisi. Yang Mulia Mahā Moggallāna memberikanku suatu ajaran. Beliau menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, dan dengan tak terhitung cara terampil menjelaskan Dharma kepadaku. Setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, beliau mengizinkanku mengambil tiga perlindungan dan lima aturan moralitas. Perumah tangga, karena telah mengambil tiga perlindungan dan lima aturan moralitas, dengan hancurnya tubuh saat kematian aku terlahir kembali di surga empat raja besar, dan sekarang berdiam di pintu kota ini. Pergilah secepatnya, perumah tangga! Pergilah secepatnya, perumah tangga! Adalah lebih baik untuk pergi daripada berdiam di sini.

Untuk mendorongku maju, makhluk dewa itu mengucapkan syair-syair berikut:

Perolehan seratus ekor kuda, menteri, dan wanita,
Dan seratus kereta yang dipenuhi dengan permata
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.

Bahkan seratus ekor gajah putih yang mengagumkan,
Dengan pelana emas dan perak,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.

Seratus orang wanita cantik,
Tubuh mereka dihiasi dengan permata dan bunga,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.

Harta karun wanita berharga yang tertinggi,
Yang dicintai oleh raja pemutar-roda,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.

Setelah mengucapkan syair-syair ini, makhluk dewa itu mendorongku lebih lanjut, dengan berkata: “Pergilah dengan cepat, perumah tangga! Pergilah dengan cepat, perumah tangga! Adalah lebih baik untuk pergi daripada berdiam di sini.”

Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Sang Buddha adalah layak dihormati, Dharma dan komunitas para bhikkhu adalah layak dihormati. Mengapa? Bahkan suatu makhluk dewa berharap aku untuk pergi dan mengunjungi mereka.”

Yang Mulia Sāriputta, dibantu oleh cahaya [makhluk dewa itu], aku tiba di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. Pada waktu itu, malam sedang berlalu, menuju fajar, Sang Bhagavā telah bangkit dari gubuk meditasinya dan sedang berlatih meditasi jalan di udara terbuka, menunggu diriku. Yang Mulia Sāriputta, dari kejauhan aku melihat penampilan Sang Buddha yang mulia, dengan sempurna bercahaya bagaikan rembulan yang cemerlang di antara bintang-bintang, mempesona bagaikan sebuah gunung emas, yang diberkahi dengan ciri-ciri [Orang Besar], menakjubkan dan mengagumkan. Indera-inderanya tenang dan tanpa halangan, dengan terampil dijinakkan dan terkendali, pikirannya tenang dan damai.

Melihat Sang Buddha, aku sangat gembira dan mendekati beliau. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, aku mengikuti Sang Buddha dalam meditasi jalan. Sesuai dengan kebiasaan para perumah tangga, aku menyalami beliau dengan syair ini:

Apakah Sang Bhagavā tidur dengan damai,
setelah tertidur dengan cepat?

[Beliau menjawab:]

Bagaikan seorang “brahmana” [sejati], aku telah mencapai pembebasan,
Tidak ternoda oleh keinginan-keinginan,
Setelah memadamkan semua hasrat,
Aku mencapai kedamaian,
Dengan semua demam pikiran yang dilenyapkan,
[Oleh karenanya] aku telah tidur dengan baik dan berbahagia.

Kemudian, Sang Bhagavā, setelah mencapai akhir dari jalur untuk berjalan, duduk bersila pada alas duduk yang disediakan. Yang Mulia Sāriputta, aku memberikan penghormatan [lagi] pada kaki beliau, dan duduk pada satu sisi. [Kemudian] Sang Bhagavā mengajarkanku Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, dengan menggunakan tak terhitung cara terampil untuk menjelaskannya. Beliau menasehati, menginspirasi, dan menggembirakanku ketika beliau memberikan ajaran semua Buddha.

Pertama, ia mengajarkan Dharma yang indah yang memuliakan mereka yang mendengarkannya, dengan mengatakan tentang kedermawanan, tentang moralitas, tentang cara untuk terlahir kembali di alam surga, tentang meninggalkan keinginan sebagai yang berbahaya, dan tentang lingkaran kelahiran kembali sebagai yang menjijikkan. Beliau memuji ketanpakeinginan sebagai faktor jalan mulia, dan sebagai kemurnian. Setelah menguraikan ajaran-ajaran ini kepadaku, Sang Bhagavā mengetahui bahwa pikiranku bergembira, bahwa ia telah menjadi senang, lunak, maju, terkonsentrasi, bebas dari keragu-raguan, bebas dari rintangan, memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menerima Dharma sejati – yaitu, prinsip-prinsip utama ajaran semua Buddha.

Sang Bhagavā mengajarkanku tentang penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan [menuju lenyapnya]. Ketika aku duduk di sana, Yang Mulia Sāriputta, aku melihat empat kebenaran mulia: penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan. Seperti halnya sehelai kain putih dengan mudah menyerap bahan celup, demikian juga aku [menyerap ajaran itu]. Ketika aku duduk di sana, aku melihat empat kebenaran mulia: penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan.

Yang Mulia Sāriputta, [dengan cara ini] aku melihat Dharma, mencapai Dharma, tercerahkan dalam Dharma sejati. Keragu-raguan telah dilenyapkan; kebingungan [sehubungan dengan Dharma] telah terlampaui. Aku tidak akan menghormati [guru] lain, tidak pernah mengikuti yang lain. Aku tanpa ketidakpastian, dengan berkembang dalam realisasi buah [pemasuk-arus]. Sehubungan dengan ajaran-ajaran Sang Bhagavā aku mencapai pembebasan dari kebimbangan.
Kemudian aku bangkit dari tempat dudukku, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, [dan berkata]:

Sang Bhagavā, oleh karenanya aku mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Sang Bhagavā menerimaku sebagai seorang pengikut awam. Sejak hari ini aku mengambil perlindungan seumur hidupku, sampai aku meninggal.

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku menyatukan telapak tanganku dan berkata: “Sang Bhagavā, izinkan aku untuk mengundang anda dan perkumpulan para bhikkhu untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di Sāvatthī.”

Kemudian Sang Buddha bertanya kepadaku: “Siapakah namamu? Bagaimana orang-orang Sāvatthī memanggilmu?”
Aku menjawab: “Namaku adalah Sudatta; tetapi karena aku secara teratur membantu dan memberi orang-orang yang membutuhkan dan anak yatim, orang-orang Sāvatthī memanggilku Anāthapiṇḍika [Pemberi Orang-Orang yang Membutuhkan dan Anak Yatim].”

Kemudian, Sang Bhagavā bertanya kepadaku lebih lanjut: “Apakah terdapat tempat kediaman [untuk para bhikkhu] di Sāvatthī?”

Aku menjawab: “Tidak ada [pada saat ini] tempat kediaman [untuk para bhikkhu] di Sāvatthī.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata: “Ketahuilah, perumah tangga, bahwa jika terdapat tempat kediaman [untuk mereka], para bhikkhu akan dapat berkunjung dan tinggal di [Sāvatthī].”

Aku kemudian menanggapi: “Tentu saja, Sang Bhagavā. Aku akan membangun tempat kediaman, sehingga para bhikkhu dapat berkunjung dan tinggal di Sāvatthī. Semoga Sang Bhagavā menunjuk seseorang untuk membantuku!” Dan Sang Bhagavā menunjuk dan mengirimkan [anda], Yang Mulia Sāriputta, untuk membantuku.

Kemudian, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha dan mengingatnya, aku bangkit dari tempat dudukku, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, dan, setelah mengelilingi beliau tiga kali, pergi. Setelah menyelesaikan apa yang harus kulakukan di Rājagaha. Aku berangkat ke Sāvatthī, bersama dengan Yang Mulia Sāriputta. Tanpa memasuki [kota] Sāvatthī atau kembali ke rumahku, kita melanjutkan langsung [untuk memeriksa] tanah-tanah di luar kota, [dengan mencari] suatu lokasi yang memiliki jalan masuk yang baik; yang tidak ramai pada siang hari dan damai pada malam hari; yang tanpa nyamuk, serangga pengganggu, lalat, dan kutu; dan yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas; [di mana] seseorang dapat membangun tempat kediaman untuk Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.

Yang Mulia Sāriputta, pada waktu itu kita melihat Hutan Pangeran Jeta adalah satu-satunya [lokasi] yang memiliki jalan masuk yang baik; yang tidak ramai pada siang hari dan damai pada malam hari; yang tanpa nyamuk, serangga pengganggu, lalat, dan kutu; dan yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Setelah melihat hal ini, aku berpikir: “Ini satu-satunya tempat di mana kediaman untuk Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau dapat dibangun.”

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku memasuki Sāvatthī. Masih tanpa kembali ke rumah, aku pertama-tama mendekati Pangeran Jeta, dengan berkata: “Pangeran, apakah engkau akan menjual kepadaku hutan ini?” Pangeran menjawab: “Ketahuilah hal ini, tetua!<111> Aku tidak akan menjual hutan itu.” Kedua dan ketiga kalinya aku mengulangi permintaanku: “Pangeran, apakah engkau akan menjual kepadaku hutan ini?” Dan kedua dan ketiga kalinya pangeran menjawab: “Aku tidak akan menjual hutan itu, tidak bahkan jika engkau membayarku berjuta-juta [keping emas, yang cukup] untuk menutupi seluruh permukaan [hutan].”

Aku menjawab: “Pangeran, engkau baru saja menetapkan harga! Aku akan pergi dan membawakan emasnya.” Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, pangeran dan aku berdebat apakah ia sudah menetapkan harga atau belum, dan akhirnya kami mendekati hakim kepala di Sāvatthī untuk menyelesaikan masalah itu. Hakim kepala di Sāvatthī berkata kepada Pangeran Jeta: “Pangeran, engkau telah menetapkan harga. Sekarang terimalah emasnya!”

Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku kembali ke rumahku di Sāvatthī untuk mengambil uang. Gajah-gajah, kuda-kuda, dan kereta-kereta digunakan untuk mengangkutnya. Kemudian berjuta-juta keping emas dikeluarkan [dan digunakan] untuk menutupi tanah [hutan itu]. Tetapi sebagian kecil tanah itu tidak tertutupi.

Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Dari harta karunku manakah, yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, seharusnya kuambil, sehingga bagian yang tersisa dapat ditutupi?”

Kemudian Pangeran Jeta berkata kepadaku: “Tetua, jika engkau menyesal, engkau dapat mengambil kembali pembayarannya dan aku akan tetap memiliki hutan itu.”

Aku berkata kepada pangeran: “Aku tentu saja tidak menyesal. Aku hanya berpikir: Dari harta karunku manakah, yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, seharusnya kuambil sehingga bagian yang tersisa dapat ditutupi?”

Kemudian Pangeran Jeta berpikir: “Sang Buddha pasti layak dihormati, dan Dharma dan komunitas para bhikkhu pasti juga layak dihormati. Mengapa? [Karena mereka] telah menggerakkan tetua ini untuk membuat persembahan sedemikian besar, untuk menghabiskan kekayaannya dengan cara demikian. Aku sekarang akan alih-alih membangun sebuah pagar dengan gerbang pada [bagian yang tersisa dari] tanah ini dan mempersembahkannya kepada Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.”

Kemudian Pangeran Jeta berkata kepadaku: “Cukup, tetua! Jangan membawakan emas lagi untuk menutup bagian tanah [yang tersisa] ini. Aku akan membangun sebuah pagar dengan gerbang di sini dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.”

Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih aku memberikan bagian tanah ini kepada Pangeran Jeta. Yang Mulia Sāriputta, pada musim panas itu juga, aku membangun [dalam hutan itu] enam belas tempat kediaman yang luas dan enam puluh gudang penyimpanan. Yang Mulia Sāriputta membantuku selama waktu itu.

[Sehubungan dengan saat ini,] ceramah Dharma yang Yang Mulia Sāriputta berikan kepada orang sakit ini adalah menakjubkan, sangat khusus. Setelah mendengar ceramah Dharma yang diberikan untuk orang sakit ini, aku sembuh dari sakit parah itu, dan berbahagia. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang telah sembuh dari penyakitku, dan menemukan kedamaian dan kenyamanan. Yang Mulia Sāriputta, terimalah makanan [dariku]!

Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan tetap berdiam diri. Perumah tangga [Anāthapiṇḍika], setelah memahami bahwa Yang Mulia Sāriputta telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, bangkit dari tempat duduknya, secara pribadi [membawakan] air untuk membersihkan [tangannya], dan mempersembahkan berbagai jenis hidangan yang baik, lezat, banyak, dan mudah dicerna. Setelah makan, ia membawakan lagi tempat air, dan kemudian duduk di tempat duduk kecil pada satu sisi untuk mendengarkan Dharma. Ketika Anāthapiṇḍika duduk, Yang Mulia Sāriputta menguraikan Dharma kepadanya, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, dengan menggunakan tak terhitung cara terampil untuk menjelaskan Dharma. Setelah menasehati, menginspirasi, dan menggembirakan [Anāthapiṇḍika], [Sāriputta] bangkit dari tempat duduk dan pergi.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā sedang mengajar, dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu [dalam perkumpulan itu]:

Bhikkhu Sāriputta diberkahi dengan kebijaksanaan yang cemerlang, kebijaksanaan yang cepat, kebijaksanaan yang lincah, kebijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang mendalam, kebijaksanaan yang membawa pembebasan, kebijaksanaan yang menembus, kebijaksanaan yang mengesankan. Bhikkhu Sāriputta telah mencapai kebijaksanaan sejati. Mengapa [aku mengatakan hal ini]? Sehubungan dengan empat faktor pemasuk-arus yang diajarkan secara singkat olehku, bhikkhu Sāriputta telah menguraikannya dengan sepuluh penjelasan yang berbeda untuk perumah tangga Anāthapiṇḍika.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #11 on: 14 February 2016, 08:31:00 AM »
29. Kotbah oleh Mahā Koṭṭhita<112>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. Pada waktu itu, setelah siang hari, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduk bermeditasi dan mendekati Yang Mulia Mahā Koṭṭhita. Setelah bertukar salam ramah-tamah, ia duduk pada satu sisi.

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Koṭṭhita: “Aku ingin bertanya kepadamu beberapa pertanyaan. Apakah engkau dapat mendengarkannya?”

Yang Mulia Mahā Koṭṭhita menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, tanyakanlah apa pun yang engkau inginkan. Setelah mendengar [pertanyaanmu], aku akan [dengan berhati-hati] mempertimbangkannya.”

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya:

Teman Mahā Koṭṭhita yang mulia, apakah terdapat suatu kondisi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Yang Mulia Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui yang tidak bermanfaat dan mengetahui akar-akar yang tidak bermanfaat. Apakah pengetahuan tentang yang tidak bermanfaat? Adalah hal ini: perbuatan jasmani yang jahat adalah tidak bermanfaat, perbuatan ucapan yang jahat dan perbuatan pikiran yang jahat adalah tidak bermanfaat. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang yang tidak bermanfaat. Apakah pengetahuan tentang akar-akar yang tidak bermanfaat? Adalah hal ini: keserakahan adalah akar yang tidak bermanfaat, kebencian dan kebodohan adalah akar yang tidak bermanfaat. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang akar-akar yang tidak bermanfaat. Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui yang tidak bermanfaat dan akar-akar yang tidak bermanfaat, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui yang bermanfaat dan mengetahui akar-akar yang bermanfaat.

Apakah pengetahuan tentang yang bermanfaat? Adalah hal ini: perbuatan jasmani yang baik adalah bermanfaat, perbuatan ucapan yang baik dan perbuatan pikiran yang baik adalah bermanfaat. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang yang bermanfaat.

Apakah pengetahuan tentang akar-akar yang bermanfaat? Adalah hal ini: ketiadaan nafsu adalah akar yang bermanfaat, ketiadaan kebencian dan ketiadaan kebodohan adalah akar yang bermanfaat.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui yang bermanfaat dan akar-akar yang bermanfaat, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui makanan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya makanan, mengetahui lenyapnya makanan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya makanan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang makanan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat empat [jenis] makanan: makanan [jenis] pertama adalah makanan fisik, kasar atau halus; makanan [jenis] kedua adalah kontak; makanan [jenis] ketiga adalah kehendak; dan makanan [jenis] keempat adalah kesadaran. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang makanan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya makanan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan bergantung pada ketagihan, makanan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya makanan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya makanan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya ketagihan, makanan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya makanan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya makanan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya makanan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui makanan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya makanan, mengetahui lenyapnya makanan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya makanan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui noda-noda sebagaimana adanya, mengetahui munculnya noda-noda, mengetahui lenyapnya noda-noda, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang noda-noda sebagaimana adanya? Dikatakan terdapat tiga [jenis] noda: noda keinginan indera, noda proses kelangsungan, dan noda ketidaktahuan. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang noda-noda sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya noda-noda sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan bergantung pada ketidaktahuan, noda-noda muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya noda-noda sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya ketidaktahuan, noda-noda juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui noda-noda sebagaimana adanya, mengetahui munculnya noda-noda, mengetahui lenyapnya noda-noda, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui penderitaan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya penderitaan, mengetahui lenyapnya penderitaan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang penderitaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, bertemu dengan apa yang tidak disukai adalah penderitaan, berpisah dari apa yang dicintai adalah penderitaan, tidak dapat memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan, secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang penderitaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya penderitaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada usia tua dan kematian, penderitaan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya penderitaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya usia tua dan kematian, penderitaan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui penderitaan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya penderitaan, mengetahui lenyapnya penderitaan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui usia tua dan kematian sebagaimana adanya, mengetahui munculnya usia tua dan kematian, mengetahui lenyapnya usia tua dan kematian, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang usia tua sebagaimana adanya? Adalah hal ini: usia tua menyebabkan rambut beruban, gigi rontok, kesehatan memburuk, tubuh membungkuk, langkah yang goyah, tubuh kelebihan berat, napas pendek, bergantung pada tongkat untuk berjalan, daging menyusut, kulit mengendur, kulit keriput seperti berbintik-bintik, indera-indera merosot, dan kulit tidak enak dilihat. Ini disebut sebagai usia tua.

Apakah pengetahuan tentang kematian? Adalah hal ini: semua makhluk hidup, dalam berbagai bentuk, tunduk pada akhir kehidupan, ketidakkekalan, kematian, pelapukan, kelenyapan dan kehancuran kehidupan, berhentinya daya hidup mereka. Ini disebut sebagai kematian. Ini adalah penjelasan kematian dan ini, bersama dengan penjelasan kematian yang kuberikan sebelumnya, adalah apa yang dimaksud dengan usia tua dan kematian. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang usia tua dan kematian sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada kelahiran, usia tua dan kematian muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya kelahiran, usia tua dan kematian juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui usia tua dan kematian sebagaimana adanya, mengetahui munculnya usia tua dan kematian, mengetahui lenyapnya usia tua dan kematian, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya usia tua dan kematian sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui kelahiran sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kelahiran, mengetahui lenyapnya kelahiran, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang kelahiran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: semua makhluk hidup, dalam berbagai bentuk, mengalami kelahiran ketika mereka terlahir kembali, ketika mereka muncul, ketika mereka terbentuk, ketika lima kelompok unsur kehidupan muncul, dan ketika indera kehidupan berkembang. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang kelahiran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya kelahiran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada proses kelangsungan, kelahiran muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya kelahiran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya proses kelangsungan, kelahiran juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui kelahiran sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kelahiran, mengetahui lenyapnya kelahiran, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kelahiran sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #12 on: 14 February 2016, 08:32:27 AM »
Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui proses kelangsungan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya proses kelangsungan, mengetahui lenyapnya proses kelangsungan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang proses kelangsungan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat tiga jenis proses kelangsungan: proses kelangsungan di [alam] indera, proses kelangsungan di [alam] bentuk, dan proses kelangsungan di [alam] tanpa bentuk. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang proses kelangsungan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya proses kelangsungan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada kemelekatan, proses kelangsungan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya proses kelangsungan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya kemelekatan, proses kelangsungan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui proses kelangsungan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya proses kelangsungan, mengetahui lenyapnya proses kelangsungan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya proses kelangsungan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui kemelekatan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kemelekatan, mengetahui lenyapnya kemelekatan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang kemelekatan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat empat jenis kemelekatan: kemelekatan pada keinginan indera, kemelekatan pada aturan, kemelekatan pada pandangan, dan kemelekatan pada suatu diri. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang kemelekatan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya kemelekatan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada ketagihan, kemelekatan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya kemelekatan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya ketagihan, kemelekatan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui kemelekatan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kemelekatan, mengetahui lenyapnya kemelekatan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kemelekatan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui ketagihan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya ketagihan, mengetahui lenyapnya ketagihan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang ketagihan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat tiga jenis ketagihan: ketagihan [sehubungan dengan] [alam] indera, ketagihan [sehubungan dengan] [alam] bentuk, dan ketagihan [sehubungan dengan] [alam] tanpa bentuk. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang ketagihan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya ketagihan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada perasaan, ketagihan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya ketagihan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya perasaan, ketagihan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui ketagihan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya ketagihan, mengetahui lenyapnya ketagihan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya ketagihan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui perasaan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya perasaan, mengetahui lenyapnya perasaan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya perasaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang perasaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan, dan perasaaan bukan-menyenangkan-juga-bukan-tidak-menyenangkan. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang perasaan sebagaimana adanya.

Apakah  pengetahuan tentang munculnya perasaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada kontak, perasaan muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya perasaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya perasaan sebagaimana adanya? Adahal hal ini: dengan lenyapnya kontak, perasaan juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya perasaan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya perasaan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya perasaan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui perasaan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya perasaan, mengetahui lenyapnya perasaan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya perasaan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui kontak sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kontak, mengetahui lenyapnya kontak, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kontak sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang kontak sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat tiga jenis kontak: kontak menyenangkan, kontak tidak menyenangkan, dan kontak bukan-menyenangkan-juga-bukan-tidak-menyenangkan. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang kontak sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya kontak sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada enam landasan indera, kontak muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya kontak sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya kontak sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya enam landasan indera, kontak juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya kontak sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] kontak sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] kontak sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui kontak sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kontak, mengetahui lenyapnya kontak, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kontak sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #13 on: 14 February 2016, 08:34:01 AM »
Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui enam landasan indera sebagaimana adanya, mengetahui munculnya enam landasan indera, mengetahui lenyapnya enam landasan indera, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya enam landasan indera.

Apakah pengetahuan tentang enam landasan indera sebagaimana adanya? Adalah hal ini: [terdapat] landasan indera mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan landasan indera pikiran. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang enam landasan indera sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya enam landasan indera sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada nama-dan-bentuk, enam landasan indera muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya enam landasan indera sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya enam landasan indera sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, enam landasan indera juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya enam landasan indera sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya enam landasan indera sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya enam landasan indera sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui enam landasan indera sebagaimana adanya, mengetahui munculnya enam landasan indera, mengetahui lenyapnya enam landasan indera, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya enam landasan indera sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui nama-dan-bentuk sebagaimana adanya, mengetahui munculnya nama-dan-bentuk, mengetahui lenyapnya nama-dan-bentuk, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang nama? Adalah hal ini: nama terdiri dari empat kelompok batin [di antara lima kelompok unsur kehidupan].

Apakah pengetahuan tentang bentuk? Adalah hal ini: bentuk terdiri dari empat unsur besar dan apa yang diturunkan dari empat unsur besar. Ini adalah penjelasan tentang bentuk, dan ini bersama dengan penjelasan tentang nama yang kuberikan sebelumnya, adalah [apa yang dimaksud dengan] nama-dan-bentuk. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang nama-dan-bentuk sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada kesadaran, nama-dan-bentuk muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya kesadaran, nama-dan-bentuk juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui nama-dan-bentuk sebagaimana adanya, mengetahui munculnya nama-dan-bentuk, mengetahui lenyapnya nama-dan-bentuk, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya nama-dan-bentuk sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui kesadaran sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kesadaran, mengetahui lenyapnya kesadaran, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang kesadaran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat enam jenis kesadaran: kesadaran mata, [kesadaran] telinga, [kesadaran] hidung, [kesadaran] lidah, [kesadaran] tubuh, dan kesadaran pikiran. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang kesadaran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya kesadaran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada bentukan, kesadaran muncul. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya kesadaran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya bentukan, kesadaran juga lenyap. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang munculnya kesadaran sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini sebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui kesadaran sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kesadaran, mengetahui lenyapnya kesadaran, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut:

Teman Mahā Koṭṭhita, apakah terdapat kondisi lainnya lagi di mana seorang bhikkhu yang menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati?

[Mahā Koṭṭhita] menjawab:

Ada, Yang Mulia Sāriputta. Adalah hal ini: seorang bhikkhu mengetahui bentukan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya bentukan, mengetahui lenyapnya bentukan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya bentukan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang bentukan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: terdapat tiga jenis bentukan: bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang bentukan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang munculnya bentukan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: bergantung pada ketidaktahuan, bentukan muncul. Ini disebut pengetahuan tentang munculnya bentukan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang lenyapnya bentukan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan juga lenyap. Ini disebut pengetahuan tentang lenyapnya bentukan sebagaimana adanya.

Apakah pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya bentukan sebagaimana adanya? Adalah hal ini: jalan mulia berunsur delapan, dari pandangan benar sampai konsentrasi benar – delapan [faktor]. Ini disebut sebagai pengetahuan tentang jalan [menuju] lenyapnya bentukan sebagaimana adanya.

Yang Mulia Sāriputta, jika terdapat seorang bhikkhu yang, dengan cara ini, mengetahui bentukan sebagaimana adanya, mengetahui munculnya bentukan, mengetahui lenyapnya bentukan, dan mengetahui jalan [menuju] lenyapnya bentukan sebagaimana adanya, maka ia dikatakan sebagai seorang bhikkhu yang telah menyempurnakan pandangan, memperoleh pandangan benar, dan, setelah mencapai [keyakinan] murni yang kokoh dalam Dharma, tiba pada Dharma sejati.

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!” Setelah melakukan demikian, Yang Mulia Sāriputta bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Yang Mulia Sāriputta kemudian bertanya lebih lanjut: “Teman Mahā Koṭṭhita, ketika seorang bhikkhu telah menyebabkan ketidaktahuan lenyap dan pengetahuan muncul, apakah hal lebih lanjut yang perlu ia lakukan?”

Yang Mulia Mahā Koṭṭhita menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, ketika seorang bhikkhu telah menyebabkan ketidaktahuan lenyap dan pengetahuan muncul, tidak ada hal lebih lanjut yang perlu ia lakukan.”

Ketika mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta memuji: “Bagus sekali! Bagus sekali, teman Mahā Koṭṭhita!”

Setelah membahas makna [Dharma] dengan cara ini, dua orang yang mulia itu bergembira dan [akan] mengingat [tanya-jawab ini] dengan baik; mereka bangkit dari tempat duduknya dan pergi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 (bagian 3)
« Reply #14 on: 14 February 2016, 08:42:43 AM »
30. Kotbah dengan Perumpamaan Jejak Kaki Gajah<113>

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, apa pun tak terhitung keadaan bermanfaat semuanya dapat dimasukkan di bawah empat kebenaran mulia; mereka semua termasuk dalam empat kebenaran mulia; empat kebenaran mulia dinyatakan sebagai yang terkemuka di antara semua ajaran. Mengapa? Karena mereka mencakup semua keadaan bermanfaat.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya jejak kaki gajah adalah yang terkemuka di antara jejak kaki semua binatang, karena ia adalah yang terbesar, terluas. Demikian juga, teman-teman yang mulia, tak terhitung keadaan bermanfaat semuanya dimasukkan di bawah empat kebenaran mulia; mereka semua termasuk dalam empat kebenaran mulia; empat kebenaran mulia dinyatakan sebagai yang terkemuka di antara semua ajaran.

Apakah empat hal itu? Mereka adalah: kebenaran mulia tentang penderitaan, [kebenaran mulia tentang] munculnya penderitaan, [kebenaran mulia tentang] lenyapnya penderitaan, dan kebenaran mulia tentang jalan [menuju] lenyapnya penderitaan. Apakah, teman-teman yang mulia, kebenaran mulia tentang penderitaan? Adalah hal ini: kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, bertemu dengan apa yang tidak disukai adalah penderitaan, berpisah dengan apa yang dicintai adalah penderitaan, tidak dapat memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan adalah penderitaan.

Apakah, teman-teman yang mulia, lima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, [yang adalah] penderitaan? Mereka adalah kelompok bentuk yang dipengaruhi oleh kemelekatan; [kelompok] perasaan [yang dipengaruhi kemelekatan]; [kelompok] persepsi [yang dipengaruhi oleh kemelekatan]; [kelompok] bentukan [yang dipengaruhi oleh kemelekatan]; dan [kelompok] kesadaran [yang dipengaruhi oleh kemelekatan].

Apakah, teman-teman yang mulia, kelompok bentuk yang dipengaruhi oleh kemelekatan? Ini adalah apa pun yang bersifat fisik, empat unsur besar dan apa pun yang diturunkan dari empat unsur besar.

Apakah, teman-teman yang mulia, empat unsur besar? Mereka adalah unsur tanah, [unsur] air, [unsur] api, dan [unsur] udara. Apakah, teman-teman yang mulia, unsur tanah? Terdapat, teman-teman yang mulia, dua jenis unsur tanah: terdapat unsur tanah internal dan unsur tanah eksternal.

Apakah, teman-teman yang mulia, unsur tanah internal? Apa pun yang secara internal, yang berada di dalam tubuh, yang padat dan keras, apa pun yang secara internal dilekati. Dan apakah itu? Ini adalah: rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit kasar dan halus, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, limpa, usus, perut, kotoran, atau apa pun yang ada dalam tubuh ini, yang ditemukan di dalamnya, yang padat, keras, dan secara internal dilekati. Teman-teman yang mulia, ini disebut unsur tanah internal.

Teman-teman yang mulia, sehubungan unsur tanah eksternal – bagaimana pun besarnya, bagaimana pun murninya, bagaimana pun tidak tercelanya – [tetapi], teman-teman yang mulia, pada waktunya terdapat suatu banjir, dan kemudian unsur tanah eksternal lenyap.

Teman-teman yang mulia, unsur tanah eksternal ini – bagaimana pun besarnya, bagaimana pun murninya, bagaimana pun tidak tercelanya – adalah tidak kekal sifatnya, bersifat akan lenyap, bersifat melapuk, berubah. Apalagi tubuh berumur pendek yang dilekati dengan ketagihan ini! [Tetapi] orang duniawi yang terdelusi, tidak terpelajar berpikir: “Ini adalah aku”, “ini adalah milikku”, “aku milik ini”. [Sebaliknya,] seorang siswa mulia yang terpelajar tidak berpikir: “Ini adalah aku”, “ini adalah milikku”, “aku milik ini”. Bagaimana mungkin ia memiliki pemikiran demikian? Jika orang-orang mengutuknya, memukulnya, dan menjadi marah terhadapnya, ia berpikir: “Kesakitan yang kualami ini lahir dari sebab dan kondisi; ia bukan tanpa sebab dan kondisi. Apakah kondisinya? Ia bergantung pada kontak [yang dialami sebagai] menyakitkan.”

Ia merenungkan kontak ini sebagai tidak kekal; dan ia merenungkan perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran sebagai tidak kekal. Melalui [perenungan terhadap] unsur-unsur, pikirannya tetap tenang, terpusat, terkonsentrasi, dan tidak terganggu. Jika, pada kesempatan lain, orang lain datang dan memanggilnya dengan ungkapan yang ramah dan kata-kata yang lembut, ia berpikir:

Kenikmatan yang kurasakan ini lahir dari sebab dan kondisi, ini bukan tanpa sebab dan kondisi. Apakah kondisinya? Ia bergantung pada kontak [yang dialami sebagai] menyenangkan.

Ia merenungkan kontak ini sebagai tidak kekal, dan ia merenungkan perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran sebagai tidak kekal. Melalui [perenungan terhadap] unsur-unsur, pikirannya tetap tenang, terpusat, terkonsentrasi, dan tidak terganggu. Jika, pada kesempatan lain, beberapa orang, muda, berusia pertengahan, atau tua, datang dan menundukkannya dengan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan – mungkin memukulinya, melemparinya batu, atau melukainya dengan pisau atau gada – maka ia berpikir:

Tubuh yang kulekati ini berasal dari bahan materi yang kasar, diturunkan dari empat unsur, lahir dari ayah dan ibu, dipelihara oleh makanan dan minuman, selalu membutuhkan untuk dipakaikan [pakaian], perlu duduk atau berbaring, dipijat dan dimandikan, dan menahan hal-hal terburuk. [Tubuh ini] tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan pelapukan. Karena tubuh ini aku rentan dipukuli, dilempari batu, dan dilukai dengan pisau atau gada.

[Dengan berpikir] demikian, [siswa mulia itu] mengerahkan usaha sendiri dengan bersemangat tanpa kemalasan, dengan tubuh tegak dan perhatian penuh, tanpa lupa dan tanpa delusi, pikirannya menjadi terpusat dan terkonsentrasi. Ia berpikir:

Aku tidak akan lalai. Aku akan mengerahkan usaha sendiri dengan bersemangat tanpa kemalasan, dengan tubuh tegak dan perhatian penuh, tanpa lupa dan tanpa delusi, pikiranku menjadi terpusat dan terkonsentrasi. Tubuh yang kulekati ini, biarpun ia dipukul, dilempari batu, dan dilukai dengan pisau dan gada, tetapi aku akan bersemangat berlatih dalam ajaran Sang Bhagavā.

Teman-teman yang mulia, Sang Bhagavā telah memberikan ajaran ini: Seumpamanya bahwa para penjahat datang dan memotong-motong tubuh kalian dengan sebuah gergaji tajam. Jika, ketika para penjahat itu memotong-motong tubuh kalian dengan sebuah gergaji tajam, kalian memiliki perubahan dalam keadaan pikiran kalian, atau bahkan mengucapkan kata-kata yang jahat, maka kalian gagal dan mundur [dalam latihan kalian].

Kalian seharusnya berpikir demikian:

Jika seorang penjahat datang dan memotong-motong tubuhku dengan sebuah gergaji, tidak akan ada, karena hal itu, perubahan apa pun dalam pikiranku, dan aku bahkan tidak akan mengucapkan kata-kata yang jahat. Aku akan membangkitkan belas kasih terhadap orang yang memotong-motong tubuhku.

Demi kepentingannya aku akan memenuhi pikiranku dengan cinta-kasih dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah [dengan cinta-kasih], seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku akan berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Teman-teman yang mulia, jika bhikkhu itu tidak, melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik, berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat, maka, teman-teman yang mulia, bhikkhu itu seharusnya merasa malu, [dengan berpikir:]

Sehubungan dengan manfaat, aku adalah tanpa manfaat; sehubungan dengan kualitas baik, aku adalah tanpa kualitas baik; karena aku tidak berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seorang istri yang baru menikah merasa malu ketika ia melihat mertua atau suaminya, mengetahui bahwa bhikkhu ini adalah seperti ini; ia seharusnya merasa malu, [dengan berpikir:]

Sehubungan dengan manfaat, aku adalah tanpa manfaat; sehubungan dengan kualitas baik, aku adalah tanpa kualitas baik; karena aku tidak berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik.

Tetapi jika, sebagai akibat merasa malu, ia [kemudian dapat] berdiam dengan keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat, [dengan berpikir]: “Ini adalah menakjubkan dan damai, yaitu, pelepasan proses kelangsungan, ditinggalkannya ketagihan, kebosanan, dan lenyapnya sepenuhnya tanpa sisa,” kemudian, teman-teman yang mulia, bhikkhu ini disebut telah berlatih sepenuhnya dan sebanyaknya.

Apakah, teman-teman yang mulia, unsur air? Teman-teman yang mulia, terdapat dua jenis unsur air: terdapat unsur air internal dan unsur air eksternal.

Apakah, teman-teman yang mulia, unsur air internal? Apa pun yang secara internal, berada di dalam tubuh, bersifat cair, melembabkan, dan secara internal dilekati; yaitu, otak, batang otak, air mata, keringat, ingus, dahak, nanah, darah, lemak, sumsum, ludah, empedu, atau apa pun yang ada secara internal, berada di dalam tubuh, yang bersifat cair, melembangkan, dan secara internal dilekati – ini, teman-teman yang mulia, disebut unsur air internal.

Teman-teman yang mulia, sehubungan dengan unsur air eksternal – bagaimana pun besarnya, bagaimana pun murninya, bagaimana pun tidak tercelanya – [tetapi], teman-teman yang mulia, pada waktunya terdapat suatu kebakaran besar, dan kemudian unsur air eksternal lenyap.

Teman-teman yang mulia, unsur air eksternal ini – bagaimana pun besarnya, bagaimana pun murninya, bagaimana pun tidak tercelanya – adalah tidak kekal sifatnya, bersifat akan lenyap, bersifat melapuk, berubah. Apalagi tubuh berumur pendek yang dilekati dengan ketagihan ini!

[Tetapi] orang duniawi yang terdelusi, tidak terpelajar berpikir: “Ini adalah aku”, “ini adalah milikku”, “aku milik ini.” [Sebaliknya,] seorang siswa mulia yang terpelajar tidak berpikir: “Ini adalah aku”, “ini adalah milikku”, “aku milik ini.” Bagaimana mungkin ia memiliki pemikiran demikian? Jika orang-orang mengutuknya, memukulnya, dan menjadi marah terhadapnya, ia berpikir:

Kesakitan yang kualami ini lahir dari sebab dan kondisi; ia bukan tanpa sebab dan kondisi. Apakah kondisinya? Ia bergantung pada kontak [yang dialami sebagai] menyakitkan.

Ia merenungkan kontak ini sebagai tidak kekal; dan ia merenungkan perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran sebagai tidak kekal. Melalui [perenungan terhadap] unsur-unsur, pikirannya tetap tenang, terpusat, terkonsentrasi, dan tidak terganggu. Jika, pada kesempatan lain, orang lain datang dan memanggilnya dengan ungkapan yang ramah dan kata-kata yang lembut, ia berpikir:

Kenikmatan yang kualami ini lahir dari sebab dan kondisi, ia bukan tanpa sebab dan kondisi. Apakah kondisinya? Ia bergantung pada kontak [yang dialami sebagai] menyenangkan.

Ia merenungkan kontak ini sebagai tidak kekal, dan ia merenungkan perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran sebagai tidak kekal. Melalui [perenungan terhadap] unsur-unsur, pikirannya tetap tenang, terpusat, terkonsentrasi, dan tidak terganggu.

Jika, pada kesempatan lain, beberapa orang, muda, berusia pertengahan, atau tua, datang dan menundukkannya dengan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan – mungkin memukulinya, melemparinya batu, atau melukainya dengan pisau atau gada – maka ia berpikir:

Tubuh yang kulekati ini berasal dari bahan materi yang kasar, diturunkan dari empat unsur, lahir dari ayah dan ibu, dipelihara oleh makanan dan minuman, selalu membutuhkan untuk dipakaikan [pakaian], perlu duduk atau berbaring, dipijat dan dimandikan, dan menahan hal-hal terburuk. [Tubuh ini] tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan pelapukan. Karena tubuh ini aku rentan dipukuli, dilempari batu, dan dilukai dengan pisau atau gada.

[Dengan berpikir] demikian, [siswa mulia itu] mengerahkan usaha sendiri dengan bersemangat tanpa kemalasan, dengan tubuh tegak dan perhatian penuh, tanpa lupa dan tanpa delusi, pikirannya menjadi terpusat dan terkonsentrasi. Ia berpikir:

Aku tidak akan lalai. Aku akan mengerahkan usaha sendiri dengan bersemangat tanpa kemalasan, dengan tubuh tegak dan perhatian penuh, tanpa lupa dan tanpa delusi, pikiranku menjadi terpusat dan terkonsentrasi. Tubuh yang kulekati ini, biarpun ia dipukul, dilempari batu, dan dilukai dengan pisau dan gada, tetapi aku akan bersemangat berlatih dalam ajaran Sang Bhagavā.

Teman-teman yang mulia, Sang Bhagavā telah memberikan ajaran ini:

Seumpamanya bahwa para penjahat datang dan memotong-motong tubuh kalian dengan sebuah gergaji tajam. Jika, ketika para penjahat itu memotong-motong tubuh kalian dengan sebuah gergaji tajam, kalian memiliki perubahan dalam keadaan pikiran kalian, atau bahkan mengucapkan kata-kata yang jahat, maka kalian gagal dan mundur [dalam latihan kalian].

Kalian seharusnya berpikir demikian:

Jika seorang penjahat datang dan memotong-motong tubuhku dengan sebuah gergaji, tidak akan ada, karena hal itu, perubahan apa pun dalam pikiranku, dan aku bahkan tidak akan mengucapkan kata-kata yang jahat. Aku akan membangkitkan belas kasih terhadap orang yang memotong-motong tubuhku.

Demi kepentingannya aku akan memenuhi pikiranku dengan cinta-kasih dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah [dengan cinta-kasih], seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, aku akan berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Teman-teman yang mulia, jika bhikkhu itu tidak, melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik, berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat, maka, teman-teman yang mulia, bhikkhu itu seharusnya merasa malu, [dengan berpikir:]

Sehubungan dengan manfaat, aku adalah tanpa manfaat; sehubungan dengan kualitas baik, aku adalah tanpa kualitas baik; karena aku tidak berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seorang istri yang baru menikah merasa malu ketika ia melihat mertua atau suaminya, ketahuilah bahwa bhikkhu ini adalah seperti ini; ia seharusnya merasa malu, [dengan berpikir:]

Sehubungan dengan manfaat, aku adalah tanpa manfaat; sehubungan dengan kualitas baik, aku adalah tanpa kualitas baik; karena aku tidak berdiam dalam keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat melalui [merenungkan] Buddha, Dharma, dan komunitas monastik.

Tetapi jika, sebagai akibat merasa malu, ia [kemudian dapat] berdiam dengan keseimbangan yang bersesuaian dengan apa yang bermanfaat, [dengan berpikir]: “Ini adalah menakjubkan dan damai, yaitu, pelepasan proses kelangsungan, ditinggalkannya ketagihan, kebosanan, dan lenyapnya sepenuhnya tanpa sisa,” kemudian, teman-teman yang mulia, bhikkhu ini disebut telah berlatih sepenuhnya dan sebanyaknya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa