//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN  (Read 7145 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #15 on: 28 August 2013, 11:47:01 PM »
V. KEMIRIPAN<1949>

42 (1) Kurungan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Udāyī mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Ini dikatakan, teman, oleh deva muda Pañcālacaṇḍa:

   “Sang bijaksana, sapi pemimpin yang terasing,
   Sang Buddha yang tercerahkan pada jhāna,
   Seorang dengan Kebijaksanaan Luas telah menemukan
   Bukaan di tengah-tengah kurungan.’<1950>

“Apakah, teman, yang telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā sebagai kurungan dan apakah pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan?”<1951>

“Sang Bhagavā, teman, telah membabarkan kelima objek kenikmatan indria ini sebagai kurungan. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Sang Bhagavā telah membabarkan kelima objek kenikmatan indria ini sebagai kurungan.

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara.<1952> Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? [450] pemikiran dan pemeriksaan apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(2) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Sukacita apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.
 
(3) “Kemudian, teman, dengan memudarnya sukacita … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana?  Kenikmatan apa pun [yang berhubungan dengan] keseimbangan yang belum lenyap adalah kurungan dalam hal ini.

(4) “Kemudian, teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi bentuk apa pun<1953> yang belum lenyap adalah kurungan dalam hal ini.
 
(5) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan ruang tanpa batas apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.
 
(6) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu [451] masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan kesadaran tanpa batas apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(7) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan kekosongan apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna bukan-sementara.”<1954>

43 (2) Saksi Tubuh

“Dikatakan, teman, ‘seorang saksi tubuh, seorang saksi tubuh.’<1955> Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang saksi tubuh?”

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai].<1956> Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara. [452]

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna bukan-sementara.”<1957>

44 (3) Kebijaksanaan

“Dikatakan, teman, ‘terbebaskan melalui kebijaksanaan, terbebaskan melalui kebijaksanaan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan?”<1958>

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara. [453]

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna bukan-sementara.”

45 (4) Kedua Aspek

“Dikatakan, teman, ‘terbebaskan dalam kedua aspek, terbebaskan dalam kedua aspek.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek?”

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna bukan-sementara.”

46 (5) Terlihat Langsung (1)

“Dikatakan, teman, ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung dalam makna bukan-sementara.”

47 (6) Terlihat Langsung (5)

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna yang terlihat langsung, nibbāna yang terlihat langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung dalam makna bukan-sementara.” [454]

48 (7) Nibbāna

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna, nibbāna.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

49 (8 ) Nibbāna Akhir

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna akhir, nibbāna akhir.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

50 (9) Aspek Tertentu

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna dalam aspek tertentu, nibbāna dalam aspek tertentu.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

51 (10) Dalam Kehidupan Ini

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna dalam kehidupan ini, nibbāna dalam kehidupan ini.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini dalam makna bukan-sementara.” [455]



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #16 on: 28 August 2013, 11:48:17 PM »
LIMA PULUH KE DUA

I. KEAMANAN

52 (1) Keamanan (1)

“Dikatakan, teman, ‘keamanan, keamanan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang keamanan?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang keamanan dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang keamanan dalam makna bukan-sementara.”

53 (2) Keamanan (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai keamanan, seorang yang telah mencapai keamanan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang telah mencapai keamanan?”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

54 (3) Keabadian (1)

“Dikatakan, teman, ‘keabadian, keabadian.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

55 (4) Keabadian (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai keabadian, seorang yang telah mencapai keabadian.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

56 (5) Ketanpa-takutan (1)

“Dikatakan, teman, ‘ketanpa-takutan, ketanpa-takutan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

57 (6) Ketanpa-takutan (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai ketanpa-takutan, seorang yang telah mencapai ketanpa-takutan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

57 (7) Ketenangan (1)

“Dikatakan, teman, ‘ketenangan, ketenangan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

58 (7) Ketenangan (2)

“Dikatakan, teman, ‘ketenangan bertahap, ketenangan bertahap.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.] [456]

59 (9) Pelenyapan

“Dikatakan, teman, ‘pelenyapan, pelenyapan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

61 (10) Pelenyapan Bertahap


“Dikatakan, teman, ‘pelenyapan bertahap, pelenyapan bertahap.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang pelenyapan bertahap?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang pelenyapan bertahap dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang pelenyapan bertahap dalam makna bukan-sementara.”

62 (11) Mungkin dan Tidak Mungkin

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan sembilan hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sembilan ini? Nafsu, kebencian, delusi, kemarahan, permusuhan, sikap merendahkan, iri-hati, dan kekikiran. Tanpa meninggalkan kesembilan hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan sembilan hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sembilan ini? Nafsu, kebencian, delusi, kemarahan, permusuhan, sikap merendahkan, sikap kurang ajaran, iri-hati, dan kekikiran. Setelah meninggalkan kesembilan hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.” [457]

II. PENEGAKAN PERHATIAN

63 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini.<1959> Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat penegakan perhatian harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan dalam latihan ini. Apakah empat ini? Di sini, (6) seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (7) Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … (8 ) … pikiran dalam pikiran … (9) fenomena-fenomena dalam fenomena-fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan dalam latihan ini.”

64 (2) Rintangan

“Para bhikkhu, ada lima rintangan ini. Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan ketumpulan [458] dan kantuk, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah kelima rintangan itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima rintangan ini.”

65 (3) Kenikmatan Indria

“Para bhikkhu, ada lima objek kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Ini adalah kelima objek kenikmatan indria itu… Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima rintangan ini.”

66 (4) Kelompok-Kelompok Unsur Kehidupan

“Para bhikkhu, ada lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini. Apakah lima ini? Kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur aktivitas-aktivitas berkehendak yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. [459] Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini.”

67 (5) Belenggu-Belenggu yang Lebih Rendah

“Para bhikkhu, ada lima belenggu yang lebih rendah ini. Apakah lima ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, keinginan indria, dan niat buruk. Ini adalah kelima belenggu yang lebih rendah itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini.”

68 (6) Alam Tujuan Kelahiran

“Para bhikkhu, ada lima alam tujuan kelahiran ini. Apakah lima ini? Neraka, alam binatang, alam hantu menderita, manusia, dan para deva. Ini adalah kelima alam tujuan kelahiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima alam tujuan kelahiran ini

69 (7) Kekikiran

“Para bhikku, ada lima jenis kekikiran ini. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Ini adalah kelima jenis kekikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis kekikiran ini.” [460]

70 (8 ) Belenggu-Belenggu yang Lebih Tinggi

“Para bhikkhu, ada lima belenggu yang lebih tinggi ini. Apakah lima ini? Nafsu pada bentuk, nafsu pada tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, dan ketidak-tahuan. Ini adalah kelima belenggu yang lebih tinggi itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis belenggu yang lebih tinggi ini.”

71 (9) Kemandulan Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima jenis kemandulan pikiran ini. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bimbang terhadap Sang Guru, ragu-ragu terhadap Beliau, tidak percaya pada Beliau dan tidak berkeyakinan pada Beliau. Ketika seorang bhikkhu bimbang terhadap Sang Guru, ragu-ragu terhadap Beliau, tidak percaya pada Beliau dan tidak berkeyakinan pada Beliau, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis pertama kemandulan pikiran.

(2)-(5) “Kemudian, seorang bhikkhu bimbang terhadap Dhamma … bimbang terhadap Saṅgha … bimbang terhadap latihan … menjadi jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, agresif terhadap mereka, bersikap buruk pada mereka. Ketika seorang bhikkhu menjadi jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, agresif terhadap mereka, bersikap buruk pada mereka, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke lima kemandulan pikiran.

“Ini adalah kelima jenis kemandulan pikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis belenggu yang lebih tin kemandulan pikiran ini.” [461]

72 (10) Ikatan

“Para bhikkhu, ada lima ikatan pikiran ini. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke pertama ikatan pikiran.

(2)-(5) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada jasmani … Ia tidak tidak hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada bentuk … Setelah makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya penuh, ia menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur … Ia menjalani kehidupan spiritual dengan beraspirasi untuk [terlahir kembali dalam] kelompok para deva tertentu, [dengan berpikir]: ‘Dengan perilaku bermoral ini, pelaksanaan ini, pertapaan keras ini, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi deva atau salah satu [di antara para pengikut] para deva. Ketika ia menjalani kehidupan spiritual dengan beraspirasi untuk [terlahir kembali dalam] kelompok para deva tertentu … pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke lima ikatan pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima ikatan pikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima ikatan pikiran itu.” [462]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #17 on: 28 August 2013, 11:48:46 PM »
III. USAHA BENAR

73 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini. Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat usaha benar harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini. Apakah empat ini? Di sini, (6) seorang bhikkhu mengerahkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (7) Ia mengerahkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (8 ) Ia mengerahkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (9) Ia mengerahkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Keempat usaha benar ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini.”

74 (2) – 82 (10) Rintangan, dan seterusnya

[Paralel dengan 9:64 – 9:72, tetapi diformulasikan melalui empat usaha benar.] [463]

IV. LANDASAN-LANDASAN KEKUATAN BATIN

83 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini. Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat landasan kekuatan batin harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini. Apakah empat ini? [464] Di sini, (6) seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (7) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas berusaha. (8 ) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas berusaha. (9) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Keempat landasan kekuatan batin ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini.”

84 (2) – 92 (10) Rintangan, dan seterusnya

[Paralel dengan 9:64 – 9:72, tetapi diformulasikan melalui empat landasan kekuatan batin.] [465]

V. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<1960>

93 (1)<
1961>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka sembilan hal harus dikembangkan. Apakah sembilan ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, dan persepsi kebosanan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.”

94 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka sembilan hal harus dikembangkan. Apakah sembilan ini? Jhāna pertama, jhāna ke dua, jhāna ke tiga, jhāna ke empat, landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.”

95 (3) – 112 (20) <1962>

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka kesembilan hal harus dikembangkan.”

113 (21) – 432 (340)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … [466] demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.” <1963>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā



Buku Kelompok Sembilan selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #18 on: 28 August 2013, 11:56:34 PM »
  Catatan Kaki

<1821 > Ini adalah sembilan gabungan, diperoleh dengan menggabungkan lima penyebab terdekat dan empat subjek meditasi.

1822 > Keangkuhan “aku” (asmimāna) lebih halus daripada pandangan eksistensi-diri (sakkāyadiṭṭhi). Keduanya dilenyapkan melalui persepsi bukan-diri, tetapi sementara pemasuk-arus melenyapkan pandangan eksistensi-diri, hanya Arahant yang melenyapkan keangkuhan “aku.” Mengenai hal ini baca SN 22:89, III 130,8-131,31. Tampaknya pandangan eksistensi-diri memiliki penyokong konseptual yang lebih kuat daripada keangkuhan “aku,” yang lebih erat berhubungan dengan kebutuhan eksistensial dan oleh karena itu hanya dilenyapkan pada Kearahattaan.
1823 > Mp: “Jika karakteristik ketidak-kekalan terlihat, maka karakteristik tanpa-diri juga terlihat. Di antara ketiga karakteristik, jika salah satunya terlihat, maka dua lainnya juga terlihat. Demikianlah dikatakan: ‘Ketika seseorang mempersepsikan ketidak-kekalan, maka persepsi tanpa-diri menjadi stabil.’” Mp-ṭ yang mengomentari 9:3 mengatakan: “Seorang yang mempersepsikan ketidak-kekalan (aniccasaññino): seseorang yang mempersepsikan ketidak-kekalan melalui perenungan ketidak-kekalan, yang terjadi sebagai berikut: ‘Semua fenomena terkondisi adalah tidak kekal’ karena fenomena-fenomena itu muncul dan lenyap; karena rapuh; karena fenomena-fenomena itu bersifat sementara; dan karena fenomena-fenomena itu meniadakan kekekalan. Persepsi tanpa-diri menjadi stabil (anattasaññā saṇṭhāti): persepsi tanpa-diri yang terdapat dalam perenungan tanpa-diri, yang terjadi sebagai berikut: ‘Semua fenomena adalah tanpa-diri’ karena tanpa inti; karena kita tidak dapat menguasainya; dan karena fenomena-fenomena itu adalah makhluk asing, hampa, kopong, dan kosong. Persepsi ini menjadi stabil, kokoh ditegakkan dalam pikiran.”

1824 > Ini adalah sembilan campuran lainnya, diperoleh dengan menggabungkan lima pendukung dan empat pengandalan.

1825 > Nissayasampanno. Ungkapan ini muncul pada 3:20, tetapi dengan nuansa berbeda. Mp mengemas nissayasampanno di sini sebagai patiṭṭhāsampanno, “memiliki landasan,” yang merujuk pada kondisi pendukung untuk mencapai Kearahattaan.

1826 > Ini adalah lima kekuatan dari mereka yang masih berlatih (sekhabalānī) pada 5:1-2.

1827 > Taṃ hi’ssa bhikkhuno akusalaṃ pahīnaṃ hoti suppahīnaṃ, yaṃsa ariyāya paññāya disvā pahīnaṃ. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sementara empat meninggalkan yang sebelumnya bersifat tentatif dan dapat berbalik, meninggalkan yang diakibatkan oleh kebijaksanaan adalah permanen dan tidak dapat berbalik.

1828 > Empat ini terdapat di antara enam metode meninggalkan āsava yang dijelaskan pada 6:58. baca juga MN 2 di mana empat hal ini termasuk di antara tujuh metode meninggalkan āsava.

1829 > Sembilan campuran lainnya lagi, diperoleh dengan menggabungkan lima hal yang mengarah pada kematangan pikiran dan empat subjek meditasi, dengan tambahan kerangka narasi. Sutta ini juga ditemukan sebagai Ud 4.1, 34-37, dengan tambahan “ucapan inspiratif.”

1830 > Mp mengatakan bahwa Cālika adalah nama sebuah kota dan didekatnya terdapat sebuah gunung yang juga bernama Cālika. Mereka membangun sebuah vihara besar di sana dan Sang Bhagavā menetap di vihara itu, dengan disokong oleh kota itu.

1831 > Bersama Ce dan Be membaca āgacchatti, bukan seperti Ee dissatu, “terlihat.”

1832 > Sebenarnya, apa yang terjadi “untuk ke dua kalinya” hanyalah permohonan izin, bukan pernyataan lengkap. Mp: “Tidak ada lagi yang harus dilakukan (natthi kuñci uttaraṃ karanīyaṃ): karena keempat fungsi telah dilakukan sehubungan dengan keempat kebenaran. Dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan (katassa vā paṭicayo): tidak ada pengulangan atas apa yang telah Beliau capai. Karena jalan yang telah dikembangkan tidak dikembangkan lagi, dan tidak ada pengulangan meninggalkan kekotoran-kekotoran yang telah ditinggalkan.”

1833 > Mp: “Dalam lima ratus kehidupan berturut-turut ia adalah seorang raja. Di sana ada sebuah batu datar di mana ia bisanya duduk. Ia datang disertai oleh tiga barisan gadis penari untuk berekreasi di taman. Sejak saat Meghiya duduk di sana, sepertinya seolah-olah ia bukan lagi seorang bhikkhu melainkan seorang raja yang duduk di atas dipan agung di bawah payung putih, dikelilingi oleh para gadis penari. Ketika ia menikmati keagungannya, pikiran indriawi muncul padanya. Kemudian, ia seolah-olah melihat dua pencuri ditangkap oleh para pengawalnya dan dibawa ke hadapannya. Dalam memerintahkan agar salah satunya dieksekusi, pikiran berniat buruk muncul padanya; dan dalam memerintahkan yang lainnya agar dipenjara, pikiran mencelakai muncul. Demikianlah ia diselimuti oleh  pikiran-pikiran tidak bermanfaat itu bagaikan sebatang pohon diselimuti oleh tanaman rambat, atau bagaikan pemakan-madu diselimuti oleh lebah madu.”

1834 > Mp: “Kebebasan pikiarn (cetovimutti): kebebasan pikiran dari kekotoran. Dalam tahap persiapan praktik, pikiran terbebaskan dari kekotoran melalui [kebebasan dalam] aspek tertentu (tadaṅgavasena) dan melalui penekanan (vikkhambhanavasena). Dalam tahap selanjutnya, pikiran terbebaskan melalui pelenyapan (samucchedavasena) dan melalui penenangan (paṭipassadhivasena). Ketika watak telah dibangkitkan dan matang, pandangan terang memunculkan sang jalan, dan ketika pandangan terang mencapai kematangan, kebebasan pikiran dikatakan telah matang. Tetapi jika tidak ada maka dikatakan belum matang.

1835 > Ini adalah sembilan campuran lainnya lagi, yang diperoleh dengan menggabungkan empat atribut yang dijelaskan oleh Sang Buddha dan lima manfaat dalam mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat.

1836 > Ini dimulai seperti pada 8:71 tetapi berlanjut secara berbeda.

1837 > Be menuliskan cetosamādhissa di seluruh sutta, bukan seperti Ce dan Ee cetosamathassa.

1838 > Adhipaññādhammavipassanā, dikemas sebagai “pengetahuan pandangan terang yang memahami fenomena-fenomena terkondisi” (sankhārapariggāhakavipassanāñāṇa).

1839 > Di sini saya bersama dengan Ee membaca: tathā tathā’ssa satihā piyo ca hoti manāpo ca garu ca bhāvanīyo ca. Ce dan Be menuliskan tathā tathā so satthu … garu ca bhāvanīyo ca, yang berarti bahwa bhikkhu itu menjadi dihormati dan dihargai oleh Sang Buddha.

1840 > Tathā tathā so tasmiṃ dhamme atthapaṭisamvedī ca hoti dhammapaṭisaṃvedī ca; seperti pada 5:26, III 21-23. baca p.1724, catatan 990. anehnya, walaupun tema paragraf ini adalah manfaat mendengarkan dan mendiskusikan Dhamma, tetapi manfaat ke dua, ke tiga, dan ke empat (dan mungkin yang pertama juga) diperoleh oleh bhikkhu yang mengajarkan Dhamma.

1841 > Tathā tathā tasmiṃ dhamme gambhīram atthapadaṃ paññāya ativijjha passati. Baca p.1761, catatan 1346.

1842 >  Ini adalah sembilan campuran lainnya lagi, yang diperoleh dengan menggabungkan empat kekuatan dengan melampaui lima ketakutan.

1843 > Penjelasan “ketidak-memihakan” yang diberikan di sini mungkin membingungkan. Samānattatā adalah kata majemuk dari “sama” (samāna) dan “diri sendiri” (attan). Ketika diaplikasikan pada perilaku, ini berarti memperlakukan orang lain seperti yang ia ingin orang lain memperlakukan dirinya, tanpa berat sebelah atau keberpihakan. Di sini kata ini digunakan untuk mengungkapkan kesetaraan antara mereka yang berada pada empat tingkat pencerahan, semuanya dan dirinya sendiri.

1844 > Walaupun teks menggunakan subjek tunggal, tetapi saya menggunakan jamak, yang terdengar lebih wajar dalam Bahasa Inggris. Teks menggunakan bentuk masa depan yang sama, sevitabbaṃ (dan bentuk negatifnya, asevitabbaṃ), sehubungan dengan masing-masing subjek, tetapi saya menerjemahkannya secara berbeda setepat mungkin untuk tiap-tiap kasus. Kata kerja sevati, dari mana bentukan kata kerja itu didasarkan, memiliki makna yang luas dan dapat mendukung semua terjemahan ini.

,1845 > Rattibhāgaṃ va divasabhāgaṃ vā. Mp: “Setelah mengetahui [hal ini] pada waktu malam hari, ia harus pergi pada malam itu juga. Tetapi jika pada malam hari terdapat bahaya serangan binatang buas, dan sebagainya, ia boleh menunggu hingga fajar. Setelah mengetahui [hal ini] pada waktu siang hari, ia harus pergi pada siang  itu juga. Tetapi jika pada siang hari terdapat bahaya, maka ia boleh menunggu hingga matahari terbenam.”

1846 > Saya lebih menyukai Ee, yang tidak mencantumkan sankhā pi, “setelah merefleksikan,” dalam alternatif pertama. Ce dan Be keduanya mencantumkan saṅkhā pi pada tiga bagian pertama. Akan tetapi, tampaknya refleksi itu hanya diperlukan jika ada perlawanan antara keuntungan dan kerugian, seperti pada alternatif ke dua dan ke tiga. Karena alternatif pertama menyatakan kerugian materi dan spiritual dari menetap, maka pilihan yang seharusnya segera terlihat dan tidak memerlukan refleksi. MN 17, I 104-8, yang paralel sebagian dengan sutta ini, memberikan suatu perbandingan atas tulisan ini. MN 17.3 (dalam tulisan Ce, Be, dan Ee; Ee pada I 105,8-10) mendukung ketiadaan saṅkhā pi dalam teks AN dari Ee.

1847 > Di sini saya bersama dengan Ee membaca āpucchā, bukan seperti Ce dan Be anāpucchā. MN 17.4 dalam Ce dan Be menuliskan āpucchā, sedangkan Ee tidak menuliskan keduanya (pada I 105,28-29). Adalah selayaknya bagi seorang bhikkhu untuk berpamitan pada orang yang padanya ia bergantung – penahbis atau gurunya – karena orang itu setidaknya telah berbaik hati memberikan benda-benda kebutuhannya. Lebih jauh lagi, di sini penghilangan kata rattibhāgaṃ vā divasabhāgaṃ vā ,” kapan pun pada malam atau siang hari,” menyiratkan adanya perbedaan dalam cara untuk pergi.

1848 > Giribbaja, sebuah sebutan untuk Rājagaha, karena pegunungan yang mengelilinginya.

1849 > Abhabbo khīṇāsavo bhikkhu sikkhaṃ paccakkhātuṃ. Ini berarti, bahwa ia tidak mampu meninggalkan latihan monastik dan kembali ke kehidupan awam. Saya mengikuti tulisan Ce. Be dan Ee menuliskan empat hal terakhir dari 9:8 di sini, dan 9:8 pada kedua edisi itu mencantumkan empat hal terakhir dari sutta sekarang ini. Karena itu dalam Ee, halaman [371] jatuh dalam 9:8 versi Ce, mengikuti “jalan salah karena ketakutan.”

1850 > Gotrabhū. Dalam terjemahan Vism, di mana kata ini digunakan dalam makna teknis, Ñāṇamoli menerjemahkannya “perubahan-silsilah” (baca Vism 672-75, Ppn 22.1-14). Mp menjelaskan orang ini – menurut skema penafsiran komentar – sebagai “seorang dengan pikiran pandangan terang yang kuat yang telah mencapai puncaknya, kondisi terdekat bagi jalan memasuki-arus.” Mp di sini merujuk pada momen-pikiran gotrabhū dalam proses kognitif (cittavīthi) sang jalan, peristiwa pikiran yang persis sebelum sotāpattimaggacitta, momen-pikiran jalan memasuki-arus. Karena skema ini relatif belakangan dan mengasumsikan teori Abhidhamma atas proses kognitif, maka kemungkinan besar tidak mengungkapkan makna sebenarnya dari gotrabhū. Dalam Nikāya-Nikāya, kata ini jarang muncul. Dalam sutta sekarang ini tampaknya hanya bermakna seorang bhikkhu atau bhikkhunī yang bermoral yang belum mencapai jalan memasuki-arus. Kita menemukan bentuk jamak dalam MN 142.8, III 255,6-7: “Tetapi di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota suku, dengan [jubah] kuning di leher mereka, orang-orang tidak bermoral, berkarakter buruk” (bhavissanti kho pan’ānanda, anāgatamaddhānaṃ gotrabhuno kāsāvakaṇṭhā dussīlā pāpadhammā). Dalam paragraf ini kata ini bermakna negatif, yang merujuk pada mereka yang hanya menunjukkan ciri-ciri monastik luar tanpa kualitas-kualitas dalam yang selayaknya.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #19 on: 28 August 2013, 11:57:33 PM »
1851 > Mp mengemas āsajja sebagai ghaṭṭetvā, yang menyiratkan kekerasan fisik, dan appaṭinissaja sebagai akkhamāpetvā, “tanpa meminta maaf.” Mp melanjutkan: “Mengapa ia kesal [terhadap Sāriputta]? Dikatakan bahwa setelah sesepuh itu bersujud kepada Sang Buddha, ujung jubahnya mengenai tubuh bhikkhu tersebut ketika ia sedang berjalan … Karena ini bhikkhu itu menjadi kesal, jadi ketika ia melihat sesepuh itu pergi bersama dengan banyak pengikut, karena iri ia berpikir untuk menghalangi perjalanannya, demikianlah ia mengatakan itu.”

1852 > Mp menjelaskan bahwa jika Sang Buddha mencoba untuk membebaskan Sāriputta dari tuduhan, maka bhikkhu itu akan berpikir bahwa Sang Guru memihak siswa utamaNya dan tidak memihak bhikkhu junior; dengan demikian ia akan memendam kebencian terhadap Sang Buddha juga. Dengan memanggil Sāriputta dan menanyainya tentang persoalan itu, Sang Buddha menyerahkan kepada Sāriputta untuk membebaskan dirinya sendiri.

1853 > Khamāmahaṃ bhante tassa āyasmato sace maṃ so āyasmā evaṃ āha “khamatu ca me so āyasmā” ti. Saya memahami kalimat ini bahwa Sāriputta hanya mengatakan bahwa ia akan memaafkan bhikkhu penuduh itu jika ia meminta maaf padanya. Akan tetapi Mp menjelaskan kalimat itu sebaliknya: “Sesepuh [Sāriputta], setelah memaafkan bhikkhu itu atas pelanggarannya, meminta maaf kepadanya di hadapan Sang Buddha.” Penjelasan ini, tampaknya telah mempengaruhi terjemahan dalam Gradual Sayings: “Bhagavā, aku memaafkan yang mulia ini, jika ia mengatakannya kepadaku,dan semoga ia juga memaafkan aku” (4:252). Juga tercermin dalam NDB 233: “Aku akan memaafkannya, Bhagavā, jika yang mulia ini meminta maaf kepadaku. Dan semoga ia juga memaafkan aku.” Akan tetapi, teks itu sendiri tidak mengatakan apa pun tentang Sāriputta meminta maaf pada penuduhnya, karena ia tidak melakukan apa pun yang memerlukan maaf. Sāriputta tidak mengucapkan kata-kata ini kepada bhikkhu itu; ia mengatakan bahwa bhikkhu itu harus mengucapkan kata-kata ini kepadanya untuk mendapatkan maaf. Dengan kata lain, sejauh ini bhikkhu itu telah meminta maaf pada Sang Buddha, tidak pada Sāriputta. Prinsipnya, Sāriputta hanya dapat memaafkan bhikkhu itu jika bhikkhu itu meminta maaf padanya. Kata ca, “dan,” yang muncul dalam kalimat ini diucapkan oleh bhikkhu itu, mungkin bermakna “selain Sang Buddha, semoga Sāriputta juga memaafkan aku.”

1854 > Seperti pada 7:42.

1855 > Bersama Ce dan Be saya membaca (dua kali) ke ca, bukan seperti Ee keci.

1856 > Perbedaan antara sā-upādisesaṃ dan anupādisesaṃ. Mp mengemas kata-kata ini berturut-turut sebagai “sa-upādānasesaṃ, “dengan sisa yang tertinggal,” dan upādānasesarahitaṃ, “hampa dari sisa kemelekatan.” Baca 7:56, yang juga membicarakan tentang mereka dengan sisa tertinggal dan mereka yang tanpa sisa yang tertinggal.

1857 > Di mana pun Ce dan Be membaca mattasokārī, “berlatih hingga tingkat sekedarnya,” Ee menuliskan na paripūrakārī, “tidak memenuhi.”

1858 > Dhammapariyāyo pañhādhippāyena bhāsito. Mp: “Beliau menunjukkan: ‘Ini dibabarkan karena pertanyaan yang engkau ajukan.’ Tetapi untuk melenyapkan keinginan dan nafsu, Beliau membabarkan sutta: ‘Para bhikkhu, seperti halnya sedikit kotoran tinja adalah berbau busuk, demikian pula Aku tidak memuji sedikit penjelmaan, bahkan hanya selama sejentikan jari’ (1:328 ). Bukan hanya alam tujuan kesembilan orang ini adalah pasti (gati nibaddhā), tetapi juga alam tujuan bagi keluarga-keluarga yang memiliki jasa pasti misalnya [mengambil] tiga perlindungan dan lima aturan, [memberi] satu kupon makanan, satu makanan dwi-mingguan, satu tempat kediaman masa pengasingan musim hujan, satu kolam, satu tempat kediaman. Keluarga-keluarga itu serupa dengan para pemasuk-arus.

1859 > Mp mengemas samparāyavedanīyaṃ sebagai “kamma yang masak dalam kehidupan berikutnya” (dutiye attabhāve vipaccanakakammaṃ).

1860 > Saya menerjemahkan dengan mengikuti Be dan Ee, yang membaca dukkhavedaniyaṃ. Ce menuliskan sukhavedaniyaṃ, diduga karena sulitnya melihat mengapa praktisi menginginkan kammanya dirasakan sebagai menyakitkan.

1861 > Mp mengemas paripakkavedanīyaṃ sebagai laddhavipākavāraṃ, “[kamma] yang memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.” Lawannya, aparipakkavedanīyaṃ, adalah aladdhavipākavāraṃ, “[kamma] yang tidak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.”

1862 > Mp-ṭ: “Kamma yang harus dialami adalah [kamma] yang belum matang tetapi mampu menghasilkan akibat jika ada berkumpulnya kondisi-kondisi lain. Kamma yang tidak dialami dikelompokkan sebagai ahosikamma, dan sebagainya, yang tidak mampu menjadi matang karena ketiadaan kondisi-kondisi” (vedanīyan ti paccayantarasamavāye vipākuppādanasamatthaṃ, na āraddhavipākam eva[/i]; avedanīyan ti paccayavekallena vipaccituṃ asamatthaṃ ahosikammādibhedaṃ[/i]). Konsep ahosikamma, kamma yang tidak memperoleh kesempatan untuk matang, diturunkan dari Paṭis II 78,2-10 (Be §234). Baca juga CMA 205.

1863 > Mahākoṭṭhita mengajukan sepuluh pertanyaan kepada Sariputta dan menerima sepuluh jawaban. Tampak aneh bahwa sutta ini dimasukkan ke dalam Kelompok Sembilan, namun tidak ada indikasi kerangka numerik lainnya selain pertanyaan yang diajukan dan dijawab.

1864 > Menurut Mp, Samiddhi adalah siwsa Sāriputta. Baca 8:83, di mana Sang Budddha bertanya dan menjawab serangkaian pertanyaan serupa.

1865 > Mp: “Kehendak dan pemikiran adalah pemikiran yang merupakan kehendak” (saṅkappavitakkā ti sankappabhūta vitakkā). Hal ini dikatakan karena kedua kata, sankappa dan vitakka, digunakan nyaris dapat dipertukarkan dalam teks.

1866 > Nāmarūparammaṇā. Mp mengemas: “Dengan nama dan bentuk sebagai kondisi (nāmarūpapaccayā). Dengan ini ia menunjukkan bahwa empat kelompok tanpa bentuk dan bentuk yang bergantung pada elemen utama adalah kondisi bagi pemikiran.”

1867 > Bagian sutta hingga titik ini mencakup segala pengalaman. §§5-7 merujuk pada faktor-faktor sang jalan; §8 pada buah, dan  §9 pada tujuan tertinggi.

1868 > Mp: “Ketika mereka telah mencapai buah kebebasan, mereka telah mencapai inti” (phalavimuttiṃ patvā sārappattā honti).

1869 > Amatogadhā. Mp menjelaskan hal ini dengan merujuk pada gagasan bahwa sang jalan dan buah menggunakan nibbāna sebagai objek: “Setelah memperoleh pijakan kaki dalam keabadian nibbāna dengan [menjadikannya sebagai] objek, mereka kokoh di sana” (ārammaṇavasena amataṃ nibbānaṃ ogāhitvā tattha patiṭṭhitā).

1870 > Abhedanamukhāni. Lit., “lubang-lubang tanpa terputus.” Mp: “Lubang-lubang itu adalah lubang-luka yang tidak dibuat oleh siapa pun melainkan berasal-mula hanya dari kamma.” Sembilan lubang ini adalah dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, lubang kencing, dan anus.

1871 > Sebuah paralel yang diperluas berdasarkan pada 7:48 dan yang lebih jauh berdasarkan pada 5:61.

1872 > Sebuah paralel yang diperluas dari 7:13.

1873 > Mp: “Mereka tidak bangkit dari duduk mereka dan menyambut untuk menyapa seseorang, sebagai satu cara untuk merendahkan diri mereka dan melatih pikiran.”

1874 > Mp: “Mereka tidak memberi hormat dengan lima titik” (yaitu, kepala, kaki, dan tangan di tanah).

1875 > Sebuah paralel yang diperluas dari 8:41, delapan aturan yang diperkuat dengan meditasi cinta-kasih.

1876 > Mp: “Sang Bhagavā tidak menanyakan ini sehubungan dengan dana yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu. Karena di rumah Anāthapiṇḍika makanan-makanan baik secara terus-menerus diberikan kepada para bhikkhu. Melainkan dana yang diberikan kepada banyak orang adalah kasar, yang tidak menyenangkan Anāthapiṇḍika. Maka Sang Buddha menanyakan dengan niat demikian.” Penjelasan Mp terkesan direkayasa, karena ungkapan yang digunakan oleh Sang Buddha dalam jawabannya menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah dana kepada mereka yang meninggalkan keduniawian. Adalah mungkin bahwa sutta ini dibabarkan pada masa ketika keuangan Anāthapiṇḍika dalam keadaan sulit. Kemungkinan lain, melihat karakter legenda, sutta ini mungkin sebagian adalah fiksi yang disusun untuk tujuan mendidik. Sebuah paralel China, MĀ 155, memiliki perbincangan yang pada dasarnya sama seprti Pāli terdapat pada T I 677a12-13. Dalam paralel China lainnya, EĀ 27.3, Anāthapiṇḍika mengatakan (pada T II 644b22): “Kelurgaku yang miskin selalu mempraktikkan memberi, tetapi makanannya kasar dan kami tidak selalu memberikan yang sama” (MANDARIN).

1877 > Ini adalah lima cara seorang yang tidak baik memberikan suatu pemberian, seperti disebutkan pada 5:147. persis di bawah teks akan menyebutkan lima cara orang baik memberikan pemberian, juga pada 5:147.

1878 > Diduga ini adalah sembilan jenis pemberian yang membenarkan dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sembilan. Tampaknya tidak ada skema sembilan lainnya yang menjelaskan penempatannya dalam nipāta ini.

1879 > Ce sandassanāni; Be sandhanāni; Ee santhanāni. Mp tidak memberikan kemasan dan PED tidak memberikan definisi yang berguna untuk tulisan-tulisan itu. Tetapi dalam PED sandāna didefinisikan sebagai “tali, tambatan, ikatan.”

1880 > Mp mengemas kaṃsūpadhāraṇāni sebagai rajatamayakhīrapaṭicchakāni, “wadah perak untuk susu.” Saya tidak memahami bahwa kaṃsa dapat berarti perak. DOP sv kaṃsa mengatakan bahwa kaṃsūpadhāraṇa dapat berarti “menghasilkan seember susu, atau dengan ember susu dari logam.” Mp menambahkan bahwa tanduk-tanduk dari sapi-sapi susu itu ditutupi dengan selongsong emas; orang-orang mengikatkan kalung bunga melati di leher mereka, mengikatkan perhiasan-perhiasan di keempat kaki mereka, menghamparkan kain rami yang bagus di atas punggung mereka, dan mengikatkan lonceng emas di leher mereka. Cara-cara menghias sapi demikian, walaupun tidak terlalu mahal, masih dipraktikkan di India masa kini.

1881 > Mp mengatakan bahwa secara konvensi satu koṭi adalah dua puluh pasang kain, tetapi di sini yang dimaksudkan adalah sepuluh pakaian.

1882 > Annassa pānassa khajjassa bhijjassa leyyassa peyyassa. Leyya, dari lihati, menjilat, dapat berarti sesuatu yang dijilat, mungkin benda-benda seperti madu, sirup, dan gula aren.

1883 > Mp: “Persepsi ketidak-kekalan adalah pandangan terang kuat yang telah mencapai puncaknya dan merupakan kondisi terdekat bagi sang jalan” (aniccasaññan ti maggassa anantarapaccayabhavena sikhāpattabalavavipassanaṃ[/i]).

1884 > Uttarakuru Benua di utara Jambudīpa, mungkin Asia Tengah.

1885 > Ce dan Ee visesabhuno. Be visesaguṇā mungkin adalah sebuah normalisasi. Mp tidak membantu. Mp-ṭ memberikan penjelasan tentang kondisi kehidupan di Uttarakuru. Terjemahan saya adalah dugaan yang berdasarkan pada asumsi bahwa penjelasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan visesabhuno.

1886 > Sutta ini menggabungkan tiga triad yang didefinisikan secara terpisah pada 3:140-42. karena itu sutta ini dapat dianggap sebagai sembilan campuran. Kita menemukan di sini perbedaan yang sama dalam tulisan pada kelomok kuda ke dua seperti yang telah kita temukan sebelumnya. Ce dan Ee tayo assasadassā, bukan seperti Be tayo assaparassā.

.1887 > Teks diringkas demikian dalam seluruh tiga edisi.

1888 > Ini terdapat, dengan penjelasan, dalam Mahānidāna Sutta, pada DN 15.9-18, II 58-61.

1889 > Sembilan hal yang berakar pada ketagihan, dengan penjelasan dari Mp dalam tanda kurung, adalah: (1) pariyesanā (pencarian objek-objek seperti bentuk-bentuk); (2) labha (mendapatkan objek-objek seperti bentuk-bentuk); (3) vinnicchaya (ketika seseorang telah memperoleh keuntungan, ia mempertimbangkan dengan memikirkan apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, indah atau biasa, berapa banyak yang akan ia simpan dan berapa banyak yang akan diberikan kepada orang lain, berapa banyak yang akan dibelanjakan dan berapa banyak yang ditabung); (4) chandarāga (nafsu lemah dan nafsu kuat, berturut-tururt, yang muncul terhadap objek yang dipikirkan dengan pikiran-pikiran tidak bermanfaat); (5) ajjhosāna (pendirian kuat dalam “aku dan milikku”); (6) pariggaha (mengambil kepemilikan melalui ketagihan dan pandangan); (7) macchariya (keengganan untuk berbagi dengan orang lain). (8 ) ārakkha (menjaga secara hati-hati dengan menutup pintu dan menyimpannya dalam peti); (9) dandadāna, dan seterusnya (mengambil tongkat pemukul, dan seterusnya, yang bertujuan untuk mengusir orang lain).

1890 > §§1-4 dan 6-8 termasuk di antara tujuh stasiun kesadaran pada 7:44.

1891 > Tiga edisi saling berbeda di sini. Saya mengikuti Ce bhikkhuno cetasā cīttaṃ pariitaṃ hoti. Ee menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti, Be bhikkhuno cetasā citaṃ hoti. Citaṃ muncul berkali-kali dalam Be, jelas merupakan kesengajaan. Mp (Ce): “Satu putaran proses pikiran dibangun, ditingkatkan, oleh putaran proses pikiran lainnya” (cittācārapariyāyena cittācārapariyāyo cito vaḍḍhito hoti). Mp (Be) menuliskan cittavāra – pada tempat cittācāra -.

1892 > Seluruh tiga edisi menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti. Tetapi perhatikan bahwa dalam Ee, pernyataan Sāriputta tentang cara mengajar Devadatta tidak berbeda dengan pernyataan Candikāputta di atas. Keduanya mengatakan suparicitaṃ hoti. Mengherankan bahwa sutta ini tampaknya menyetujui ajaran Devadatta. Biasanya kita akan mengharapkannya dicela karena mengajarkan versi Dhamma yang menyimpang. Mungkin kejadian ini terjadi sebelum Devadatta melakukan perpecahan.

1893 > §§4-6, dalam Pāli, asarāgadhammaṃ, asadosadhammaṃ, asamohadhammaṃ. Mp tidak mengemasnya, tetapi intinya tampaknya adalah bahwa bagi Arahant, nafsu, kebencian, dan delusi bahkan tidak mampu muncul kembali. §§7-9 menyinggung ketiga alam kehidupan.

1894 > Seperti pada 6:55, tetapi dengan perumpamaan berbeda.

1895 > Teks mengatakan silāyūpo soḷasakukkuko, sebuah pilar batu setinggi enam belas kukku. Menurut DOP, satu kukku adalah 45cm, sekitar setengah meter. Dengan demikian pilar itu kurang lebih delapan meter.

1896 > Jumlah kata-kata kerja berbeda antar edisi. Ce, yang saya ikuti, mencantumkan empat: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampakampeyya na sampavedheyya (tetapi Ce menyingkat dua arah pertengahan dan menghilangkan kata kerja terakhir sehubungan dengan pengulangan terakhir, jelas adalah kekeliruan editorial). Ee mencantumkan tiga: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampavedheyya. Be hanya menggunakan dua kata kerja: n’eva naṃ saṅkampeyya na sampacedheyyā, tetapi tiga dalam perumpamaan pada 6:55.

1897 > Juga terdapat pada 5:179.

1898 > Tentang bhayaṃ veraṃ pasavati, Mp mengatakan bahwa seseorang mendapatkan bahaya ketakutan pikiran (cittutrāsabhayaṃ; ini membantu memahami bhaya sebagai ketakutan subjektif daripada bahaya objektif, walaupun saya pikir yang dimaksudkan adalah bahaya objektif) dan permusuhan sebagai seseorang (puggalaveraṃ). Spk II 73,17-33, yang mengomentari SN 12:41, memberikan penjelasan lengkap: “Bahaya dan permusuhan adalah bermakna sama. Permusuhan ada dua, eksternal dan internal. Karena jika seseorang telah membunuh ayah orang lain, orang lain itu akan berpikir: ‘Mereka mengatakan bahwa ia membunuh ayahku, aku akan membunuhnya.’ Maka ia mengambil pisau tajam dan memburu si pembunuh. Kehendak yang muncul padanya disebut permusuhan eksternal [sehubungan dengan korban masa depan]. Tetapi yang lainnya mendengar, “Ia datang untuk membunuhku’ dan memutuskan: ‘Aku akan membunuhnya terlebih dulu.’ Ini disebut permusuhan internal [sehubungan dengan dirinya sendiri]. Keduanya berhubungan kehidupan sekarang. Ketika penjaga neraka melihat di pembunuh terlahir kembali di neraka, kehendak muncul padanya: ‘Aku akan mengambil palu besi menyala dan memukulnya’: ini adalah permusuhan eksternal yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Dan kehendak yang muncul pada si korban, ‘Ia datang untuk memukulku walaupun aku tidak bersalah; aku akan memukulnya terlebih dulu,’ adalah permusuhan internal yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Permusuhan eksternal adalah apa yang disebut sebagai ‘permusuhan sebagai seseorang’ dalam komentar [kuno].”

1899 > Taṃ kut’ettha labbhā. Terjemahan saya atas idiom ini tidak dimaksudkan secara literal. Intinya adalah bahwa seseorang tidak memiliki pilihan selain menyerah pada situasi itu. Mp: “Apakah yang dapat dilakukan sehubungan denagn orang itu sehingga tidak akan terjadi perilaku membahayakan demikian? Dengan cara bagaimanakah hal ini mungkin diperoleh?’ Setelah merefleksikan: ‘Seseorang membahayakan orang lain karena watak pikirannya,’ maka ia melenyapkan kekesalan.”

1900 > SN 36:11, IV 217,4-16, membicarakan tentang “pelenyapan aktivitas-aktivitas secara bertahap” (anupubbasaṅkhārānaṃ nirodha) dalam kata-kata yang sangat mirip dengan sutta sekarang ini, kecuali bahwa dikatakan, “bagi seseorang yang telah mencapai jhāna pertama, maka ucapan (vācā) telah lenyap.” Tidak jelas apakah sankhārā di sini dimaksudkan dalam makna aktif atau pasif, “aktivitas-aktivitas” atau “fenomena-fenomena terkondisi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #20 on: 28 August 2013, 11:58:34 PM »
1901 > Seluruh tiga edisi menuliskan kata kerja tunggal hoti, walaupun Ee mencatat beberapa naskah yang menuliskan bentuk jamak honti. Subjek rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai tunggal ataupun jamak.

1902 > Anupubbavihāra. Be hanya menyebutkan nama-namanya, yaitu, “jhāna pertama, jhāna ke dua,” dan seterusnya. Ce dan Ee mencantumkan formula lengkap.

1903 > Anupubbavihārasamāpattiyo, tidak jelas apakah, dalam kata majemuk ini, vihārasamāpattiyo harus diinterpretasikan sebagai sebuah dvanda (“keberdiaman dan pencapaian”) atau sebagai sebuah tappurisa” (“pencapaian keberdiaman”). Mp, dengan kemasannya anupaṭipāṭiya samāpajjitabbavihārā, “keberdiaman yang dicapai dalam urutan yang benar,” menyiratkan sebuah tappurisa.

1904 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca tiṇṇā, bukan seperti Ce nittaṇhā, “tanpa ketagihan,” yang tampaknya kurang memuaskan dalam konteks ini. Mp (Be): “Menyeberang: menyeberangi nafsu indria” (kāmato tiṇṇā).

1905 > Tadaṅgena. Mp: “Dalam aspek tersebut: sehubungan dengan faktor jhāna itu” (tena jhānaṅgena).

1906 > Upekkhāsukha. Mp tidak berkomentar, tetapi saya menganggap kata majemuk ini lebih sebagai sebuah tappurisa daripada sebuah dvanda “keseimbangan dan kenikmatan.” Dalam jhāna ke empat dan di atasnya upekkhā, keseimbangan, berlanjut tetapi tidak lagi disertai dengan sukha, perasaan menyenangkan.

1907 > Ce dan Ee mencantumkan kata kerja jamak nirujjhanti di sini, tetapi bentuk tunggal nirujjhati pada §§6-8. Be juga mencantumkan bentuk tunggal nirujjhati di sini. Sekali lagi, subjek rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai bentuk tunggal atau pun jamak.

1908 > Mp mengidentifikasikannya sebagai sesepuh Lāḷudāyī.

1909 > Brahmāli mengomentari: “Karena nibbāna adalah ‘padamnya’ (penderitaan), maka pemadaman sebagian penderitaan adalah jenis nibbāna sebagian.”

1910 > Walaupun seluruh tiga edisi di sini membaca upe(k)khāsahagatā saññāmanasikārā, saya mengikuti naskah Burma dan Sinhala yang dirujuk dalam catatan dalam Ee, yang membaca upe(k)khāsukhasahagatā saññāmanasikārā. Ini lebih sesuai dengan penjelasan dalam 9:33  §4 dan 9:41 §4 daripada tulisan upek(k)hāsahagatā dalam seluruh tiga edisi cetak.

1911 > Dikutip pada Vism 153,17-154,8, Ppn 4.130, sebagai sebuah kesaksian bahwa seseorang pertama-tama harus menguasai jhāna yang baru saja ia capai sebelum mencoba memasuki jhāna yang lebih tinggi berikutnya.

1912 > Taṃ nimittaṃ. Mp: “Objek yang terdapat dalam jhāna pertama” (taM paṭhamajjhānasaṅkhataṃ nimittaṃ).

1913 > Ubhato bhaṭṭho. Bhaṭṭha adalah bentuk kata kerja lampau dari bhassati, menjatuhkan, terkulai, tergelincir.

1914 > Anabhihisamāno. Saya hanya memberikan terjemahan literal. Berdasarkan pada konteks yang maknanya saya pahami bahwa ia tidak memaksa dirinya untuk secara prematur mencapai pencapaian yang lebih tinggi melainkan menguasai yang sebelumnya sebelum berpindah ke yang berikutnya.

1915 > Mp: “Karakteristik ketidak-kekalan disebutkan dalam dua kata: tidak kekal dan kehancuran (anccato, palokato). Karakteristik tanpa-diri disebutkan dalam tiga kata: makhluk asing (parato), kosong (suññato), dan tanpa-diri (anattato). Karakteristik penderitaan disebutkan dalam enam kata lainnya: penderitaan (dukkhato), penyakit (rogato), bisul (gaṇḍato), anak panah (sallato), kemalangan (aghato), dan kesengsaraan (ābādhato).

1916 > Mp: “Ia mengarahkan pikiran pandangan terang (vipassanācitta) pada elemen keabadian yang tidak terkondisi melalui mendengar, melalui pujian, melalui pembelajaran, dan melalui konsep sebagai berikut: ‘Nibbāna adalah damai.’ Ia mengarahkan pikiran sang jalan (maggacitta) pada nibbāna hanya dengan membuatnya sebagai objek (ārammaṇakaraṇavase’eva), bukan dengan mengatakan, ‘Ini damai, ini luhur.’ Maksudnya adalah bahwa ia mengarahkan pikirannya ke sana, menembusnya dengan cara ini.”

1917 > Ten’eva dhammarāgena tāya dhammanandiyā. Mp: “Dengan keinginan dan kemelekatan pada Dhamma ketenangan dan pandangan terang. Demikian pula untuk “menyukai Dhamma.” Jika ia dapat sepenuhnya memadamkan keinginan dan kemelekatan pada ketenangan dan pandangan terang, maka ia mencapai Kearahattaan. Jika tidak, maka ia menjadi seorang yang-tidak-kembali.” Mp-ṭ: “Setelah meninggalkan keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang yang mengarah pada sang jalan yang lebih rendah, jika ia tidak mampu memadamkan keinginan akan [ketenangan dan pandangan terang] yang mengarah pada jalan tertinggi, maka ia kokoh dalam tingkat yang-tidak-kembali.”

1918 > Baca 4:181, 4:196.

1919 > Perhatikan bahwa rūpa, bentuk, dihilangkan dalam menjelaskan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Mp: “Dalam pencapaian tanpa bentuk di sana sama sekali tidak ada bentuk; sehubungan dengan hal ini, maka bentuk tidak termasuk.”

1920 > Mp: “Mengapakah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan? Karena kehalusannya. Empat kelompok unsur kehidupan tanpa bentuk dalam [pencapaian] itu begitu halus sehingga tidak mudah diamati [melalui pandangan terang]. Karena itu [persis di bawah] Sang Buddha mengatakan: ‘ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi.’ Ini maksudnya adalah: ‘Hingga sejauh di mana ada pencapaian yang disertai oleh pikiran (sacittakasamāpatti; citta di sini diduga berarti “kesadaran jelas dan jernih”), ada penembusan pada pengetahuan akhir ketika seseorang menyelidiki [melalui pandangan terang] fenomena-fenomena kasar itu, yaitu, ia mencapai Kearahattaan. Tetapi karena kehalusannya, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan sebagai pencapaian yang disertai dengan persepsi.”

1921 > Ada beberapa perbedaan antara tulisan-tulisan pada Ce, Ee, dan Be. Saya mengikuti Ce: jhāyih’ete bhikkhave bhikkhūhi samāpattikusalehi samāpattivuṭṭhānakusalehi samāpajjitvā vuṭṭhahitvā samakkhātabbānī ti vadāmi. Ee pada dasarnya sepakat dengan Ce tetapi menuliskan jhāyi h’ete, seolah-olah memiliki subjek nominatif yang diikuti dengan penegasan hi. Mp: “Dijelaskan berarti dinyatakan dengan benar, dijelaskan, ditinggikan, dipuji hanya sebagai ‘damai dan luhur’” (samakkhātabbānī ti sammā akkhātabbāni,[/i] “santāni paṇittānī” ti evaṃ kevalaṃ ācikkhitabbānī thometabbāni vaṇṇetabbānī).

1922 > Tentang makna “kurungan” (samādha), baca 9:42 di bawah.

1923 > Ini sama dengan pernyataan pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta yang terkenal, pada DN 22.1, II 290,8-11; MN 10.2, I 66,32-56,2. Juga muncul pada AN 3:74, 4:194, 6:26, dan 10:95.

1924 > Mp: “Mata itu sendiri … sebenarnya akan ada (tadeva nāma cakkhuṃ bhavissati): materi sensitif dari mata itu sendiri tidak rusak. Serta bentuk-bentuk itu (te rūpa): objek bentuk terlihat itu sendiri akan masuk dalam jangkauan. Namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu: Namun seseorang tidak mengetahui landasan bentuk terlihat itu.” Saya mungkin salah dalam mengasumsikan bahwa sembilan hal itu diperoleh dengan menjumlahkan lima jenis pengalaman indriawi dengan empat meditasi tanpa bentuk. Kemungkinan sembilan ini diperoleh dengan memasukkan empat jhāna (yang mungkin hilang dari teks) dengan empat meditasi tanpa bentuk, dan kemudian menambahkan, sebagai yang ke sembilan, keadaan konsentrasi khusus yang dirujuk pada akhir sutta.

1925 > Ce dan Be keduanya mencantumkan ti di sini, yang menunjukkan akhir dari sebuah kutipan, yang menyiratkan bahwa pembicara paragraf berikutnya adalah Udāyi. Tetapi jelas bahwa Ānanda sendiri yang masih berbicara. Dengan demikian, tampaknya, ti adalah kekeliruan dan harus dihapuskan dalam Ce dan Be. Ee tidak mencantumkan ti.

1926 > Demikian Ce dan Ee. Be menuliskan namanya sebagai Jaṭilavāsikā. Mp mengatakan bahwa ia adalah seorang penduduk kota Jaṭila (jaṭilanagaravāsinī). Para jaṭila adalah para petapa berambut kusut, tetapi patut dipertanyakan apakah mereka cukup banyak untuk membentuk sebuah kota.

1927 > Mp: “Tidak condong ke depan melalui nafsu, dan tidak condong ke belakang melalui kebencian” (rāgavasena na abhinato, dosavasena na apanato).

1928 > Baca 5:27. Di sini Mp mengomentari: “konentrasi itu kokoh, bukan karena seseorang telah secara paksa dan sekuat tenaga mengekang dan menekan kekotoran-kekotoran, melainkan karena konsentrasi itu muncul setelah kekotoran-kekotoran terpotong.”

1929 > Vimuttattā ṭhito, thitattā santusito, santusitattā no paritassati. Urutan ini juga terdapat pada SN III 45,13-14, 46,4-5, 54,1-2, 55,34-35, 58,23-24. Adalah dengan berdasarkan paragraf ini maka saya melihat perubahan dalam topik dari frasa terakhir dari teks AN, dari “itu” yang merujuk pada samādhi, menjadi “ia,” yang merujuk pada orang yang mencapainya. Sedangkan dalam paragraf AN, kata itu berbentuk tunggal laki-laki dan dengan demikian dapat diinterpretasikan baik merujuk pada samādhi maupun pada orang, paralel SN menuliskan: Vimuttattā ṭhitaṃ. Thitattā santusitaṃ. Santusitattā na paritassati. Aparitassaṃ paccattaññeva parinibbāyati. Khiṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ, kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti ti. Bentuk kata tunggal netral menunjukkan bahwa subjek dari kedua frasa pertama adalah cittaṃ, tetapi dengan santusitattā na paritassati, subjeknya tampaknya bergeser dari cittaṃ menjadi orang yang mencapai kebebasan. Kita dapat menyimpulkan melalui analogi bahwa dalam kalimat sekarang ini juga terjadi pergeseran yang sama, dalam hal ini dari samādhi menjadi orang yang mencapainya.

1930 > Ayaṃ, bhante Ānanda, samādhi kiṃphalo vutto bhagavatā. Pertanyaan ini ambigu. Dapat bermakna, “Tentang apakah Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini sebagai buahnya?” atau “Apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sebagai buah dari konsentrasi ini?” Mp menganggap yang pertama, tetapi ada argumen-argumen yang mendukung yang ke dua (baca catatan berikutnya).

1931 > Ayaṃ bhagini samādhi aññāphalo vutto bhagavatā. Kata majemuk aññāphalo dapat diinterpretasikan apakah sebagai sebuah tappurisa (“konsentrasi ini memiliki buah pengetahuan akhir”) atau sebagai sebuah bāhubbihi (‘konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya”). Dalam kasus pertama, samādhi diidentifikasikan sebagai buah; dalam kasus ke dua, dengan suatu pencapaian yang mendahului buah. Mp mengambil makna pertama, sebagai buah itu sendiri: “Bhikkhunī itu menanyakan tentang konsentrasi buah Kearahattaan (arahattaphalasamādhi). Pengetahuan akhir adalah Kearahattaan. Sang Bhagavā membicarakan konsentrasi buah Kearahataan ini. [maksudnya adalah:] Ketika seseorang mempersepsikan persepsi buah Kearahattaan, ia tidak mengalami landasan itu.” Akan tetapi, pertanyaan kimphalā yang muncul berulang-ulang pada SN V 118,22-120,19,, di mana itu berarti, “Apakah yang dimilikinya sebagai buahnya?” dan pada 5:25 kita menemukan pañcahi, bhikkhave, aṅgehi anuggahitā sammādiṭṭhi ca cetovimuttiphalā hoti … paññāvimuttiphalā ca hoti. Maknanya di sini bukanlah bahwa pandangan benar adalah buah kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan, melainkan bahwa pandangan benar memiliki kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya. Lebih jauh lagi, pada 3:101, samādhi dijelaskan persis dengan kata-kata yang sama dengan yang ditunjukkan sebagai kondisi pendukung bagi enam pengetahuan yang lebih tinggi, yang mana yang terakhirnya adalah “kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan.” Secara analogi, hal ini mengikuti bahwa samādhi ini bukanlah buah pengetahuan akhir, melainkan yang menghasilkan pengetahuan akhir.

Terdapat paralel China pada bagian akhir sutta ini, SĀ 557 pada T II 146a12-29. dalam versi ini, ketika bhikkhunī itu bertanya kepada Ānanda tentang konsentrasi pikiran tanpa karakteristik ((MANDARIN)), ia menjawab bahwa Sang Buddha mengatakan konsentrasi ini “adalah buah kebijaksanaan, imbalan kebijaksanaan” ((MANDARIN), yang memiliki ambiguitas yang sama seperti yang telah saya sebutkan pada catatan sebelumnya).1932 > Lokāyatikā brāhmaṇā. Baca SN 12:48, II 77. biasanya, lokāyatika digambarkan sebagai penganut materalisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator tentang dunia.
1933 > Terjemahan saya tidak mengikuti edisi mana pun dari ketiga edisi yang ada, yang semuanya meragukan. Dalam Be kedua guru mengaku mengetahui sebuah dunia yang tanpa batas dengan pengetahuan yang tanpa batas. Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena anantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta [guru Jain, Mahāvīra] menggunakan kata-kata yang persis sama. Karena hal ini secara langsung berlawanan dengan pernyataan (dalam semua edisi) bahwa keduanya membuat pengakuan yang saling berlawanan (ubhinnaṃ aññamaññaṃ vipaccanīkavādānaṃ), maka Be pasti keliru di sini. Kekeliruan ini pasti sudah terjadi sejak lama, karena beberapa naskah Burma dan Siam (yang dirujuk dalam catatan Ee) juga mencantumkan tulisan yang sama.

Dalam Ce dan Ee Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta berkata: ahaṃ antavantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi. Tulisan ini juga, tampaknya keliru. Pertama, tulisan ini mengatakan bahwa Nātaputta mengaku memiliki pengetahuan terbatas, walaupun diketahui bahwa ia mengaku maha-tahu atau memiliki pengetahuan tanpa batas. Ke dua, walaupun mengatakan bahwa kedua guru itu mengaku memiliki jangkauan pengetahuan yang berbeda, namun kesimpulan mereka atas dunia adalah sama. Kontradiksi sebenarnya hanya akan terjadi jika satu guru menyatakan bahwa dunia adalah tanpa batas dan  guru lainnya mengatakan terbatas. Saya berpendapat bahwa keduanya mengaku memiliki pengetahuan tanpa batas (anantena ñāṇena) tetapi berbeda sehubungan dengan jangkauan dunia. Karena kaum Jain  sesungguhnya menganut bahwa dunia adalah terbatas dan juga tanpa batas (baca di bawah), maka saya menganggap bahwa brahmana itu memahami bahwa Nātaputta menganut dalil bahwa dunia adalah terbatas, dan dengan demikian menganggap lawannya, Pūraṇa Kassapa, menganut dalil bahwa dunia adalah tanpa batas. Kita tidak memiliki sumber lain atas pemikiran Pūraṇa yang dengannya kita dapat memahami kosmologinya. Di tempat lain inti filosofi Pūrana dikatakan adalah doktrin tidak-berbuat (DN 2.17, I 52,21-53,4) atau tesis bahwa makhluk-makhluk menjadi kotor dan murni tanpa penyebab, atau bahwa tidak ada penyebab bagi pengetahuan dan penglihatan (SN 46:56, V 126,26-30). Pada 6:57 suatu sistem enam kelompok orang disebutkan berasal darinya.

Pandangan Mahāvīra atas dunia ini dijelaskan dalam “Berbagai topik yang dipersiapkan atas Sejarah Jain oleh Dr. K.C. Jain and his team” (http://www.jainworld.com/literature/jainhistory/chapter4.asp: “Adalah sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan [tentang dunia] ini maka Mahāvīra menyatakan: ‘Dari alternatif-alternatif ini, kalian tidak dapat sampai pada kebenaran; dari alternatif-alternatif ini, kalian pasti [tersesat]. Dunia ini abadi sejauh bagian lapisan bawah (dravya) dari “dunia”; tidak abadi sejauh keadaannya yang senantiasa berubah.’ Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, nasihat Mahāvīra kepada para siswanya adalah tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa duia adalah abadi juga tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa dunia adalah tidak abadi. Ia pasti mengatakan hal yang sama sehubungan dengan dalil-dalil seperti dunia eksis dan tidak eksis; dunia tidak berubah; dunia terus-menerus berubah; dunia memiliki awal; dunia tidak memiliki awal; dunia memiliki akhir; dunia tidak memiliki akhir; dan sebagainya.” (cetak miring oleh saya).1934 > Be tidak mencantumkan paramāya gatiyā, yang terdapat dalam Ce dan Ee.

1935 > Daḷhadhammā dhanuggaho aikkhito katahattho katūpāsano. Komentar Mp atas kata-kata ini agak berbeda dengan komentarnya pada 4:45 (baca p.1690, catatan 724 dan 725): seorang pemanah yang telah memegang sebuah busur kokoh: sebuah ‘busur kokoh’ (daḷhadhanu) disebut ‘berkekuatan dua ribu’ (dvisahassathānaṃ): sebuah busur yang dengannya seseorang dapat merentang anak panah dengan kepala yang terbuat dari suatu logam seperti perunggu atau timah, dan sebagainya, memasangkan lekukannya pada talinya, menggenggam pegangan busur dan menarik talinya sepanjang batang anak panah, dan menembakkan anak panah itu dari atas tanah. Terlatih (sikkhito): mereka telah mempelajari keterampilan itu dalam perguruan guru mereka selama sepuluh atau dua belas tahun. Terampil (katahattho): seorang yang sekedar telah mempelajari keterampilan ini masih belum terampil, mereka terampil ketika telah mencapai penguasaan atas keterampilan ini. Berpengalaman (katūpāsano): seorang yang telah memperlihatkan keterampilan ini di lapangan kerajaan, dan sebagainya.”

1936 > Seperti pada 4:45 (dan SN 2:26, I 61-62).

1937 > Teks menuliskan evarūpāya sandhāvanikāya di sini, sedangkan 4:45 menuliskan gamanena. Mp mengemas padasā dhāvanena, “berlari dengan kaki.”

1938 > Di sini Ce dan Ee menambahkan bhītā , “ketakutan,” tetapi tampaknya kata ini hanya untuk kasus ke tiga, ketika para deva melarikan diri ke kota mereka. Dalam Be ini hanya muncul sehubungan dengan kasus ke tiga.

1939 > Di sini seluruh tiga edisi menuliskan antamakāsi māraṃ. Diduga para editornya menganggap ini berarti, “yang telah mengakhiri Māra.” Tetapi ini jelas salah, karena dua alasan: pertama, secara tata bahasa, hal ini memerlukan bentuk genitif mārassa; dan ke dua, tidak benar bahwa seorang meditator dalam jhāna telah “mengakhiri Māra.” Di tempat lain kita menemukan andhamakāsi māraṃ (pada MN I 159,19, I 160,5,10, I 174,15-16, dan I 175,5), “ia telah membuat Māra menjadi buta” atau “membutakan Māra,” yang memiliki arti yang lebih tepat. Ps II 163,4-8, mengomentari MN I 159,19, menjelaskan: “Ia membutakan Māra: ia tidak menghancurkan mata Māra, melainkan ketika seorang bhikkhu telah mencapai jhāna sebagai landasan bagi pandangan terang, Māra tidak mampu melihat objek pikirannya. Karena itu dikatakan: ‘Ia membutakan Māra’” (andhamakāsi māran tin a mārassa akkhīni bhindi. Vipassanāpādakajjhānaṃ samāpannassa pana bhikkhuno imaṃ nāma ārammaṇaṃ nissāya cittaṃ vattatī ti māro passituṃ na sakkoti. Tena vuttaṃ “andhamakāsi māran” ti).

1940 > Apadaṃ vadhitvā māracakkhuṃ. Mp: “mencabut mata Māra tanpa jejak: menghancurkan [matanya] sepenuhnya, tanpa sisa [nippadaṃ niravasesaM vadhitvā).” Pada MN I 159,19-160,12 dan MN I 174,15-175,6 keseluruhan pernyataan ini merujuk pada seluruh sembilan pencapaian meditatif, termasuk empat jhāna. Dengan demikian tampaknya ada perbedaan antara silsilah tekstual atas sejauh mana pernyataan ini berlaku.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #21 on: 28 August 2013, 11:59:11 PM »
1941 > Hatthikalabha. Mp mengemas sebagai “gajah jantan yang sangat besar” (mahantā mahantā nāgā). Akan tetapi ini memunculkan pertanyaan bagaimana gajah-gajah besar ini berbeda dengan subjek utama pada perumpamaan. Ud 41,20-21 menyebutkan jenis-jenis gajah berbeda, di antaranya hatthikalabhā (Ee hatthikaḷārā) yang Ud-a 250,12-13 menyebutnya anak gajah (hatthipotakā). Mereka dibedakan dengan hatthicchāpā, anak gajah muda yang masih dipelihara (khirūpagā daharahatthipotakā). Saya menerjemahkan sesuai penjelasan ini.

1942 > Bersama dengan Be dan Ee, saya membaca mallesu, bukan seperti Ce malatesu. SN 42:11 juga terjadi di Uruvelakappa, yang dikatakan sebagai sebuah pemukiman Malla (baca CDB 1348 ).

1943 > Mp mengemas vimuccati di sini sebagai “terbebaskan dari kualitas-kualitas yang berlawanan” (paccanīkadhammehi ca vimuccati). Karena seluruh tiga edisi, dengan dukungan Mp, menuliskan vimuccati, maka saya menerjemahkannya sesuai tulisan ini, tetapi saya pikir tulisan aslinya adalah adhimuccati, “bertekad pada” atau “berfokus pada.” Karena teks mengungkapkan sehubungan dengan pencapaian-pencapaian meditatif berturut-turut, dalam tiap-tiap kasus sang bodhisatta vimuccati/adhimuccati pada pencapaian sebelum ia benar-benar mencapainya. Dalam konteks demikian, “berfokus pada” lebih tepat daripada “terbebaskan dalam.”

1944 > Ce menuliskan bentuk jamak genitif passataṃ, sedangkan Be dan Ee menuliskan bentuk tunggal genitif passato. Mp (Be) menuliskan passato dalam lema dan bentuk jamak genitif dalam kemasan: Etaṃ santan ti passati ti etaṃ nekkhammaṃ santaṃ vigatadarathapariḷāhan ti evaṃ passantānaṃ bhikkhūnaṃ. Passato juga terdapat dalam edisi Sinhala yang lebih tua. Mungkin passato masuk ke dalam teks karena kekeliruan tranposisi dari penjelasan Sang Buddha di bawah, di mana bentuk tunggal lebih tepat.

1945 > Mp menginterpretasikan pelepasan keduniawian (nekkhamma) di sini sebagai “meninggalkan keduniawian” (pabbajjā) menuju kehidupan tanpa rumah. Tetapi teks itu sendiri tampaknya memperbolehkan pelepasan keduniawian sebagai suatu kualitas internal, yang secara implisit diidentifikasikan dengan pencapaian kokoh jhāna pertama.

1946 > Saya mengikuti bagian pengelompokan Ee, yang selaras dengan pengelompokan paragraf pada Be dan menunjukkan transisi dalam khotbah yang lebih baik daripada pengelompokan dalam Ce.

1947 > Saya mengikuti Ee dalam membaca aparena samayena di sini dan dalam tiap-tiap bagian yang bersesuaian. Ce dan Be menghilangkannya pada bagian-bagian berikutnya.

1948 > Di sini saya mengikuti naskah yang dirujuk dalam catatan Ee, yang membaca upekhāsukhasahagata (“disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan”). Ini lebih sesuai dengan penjelasan daripada tulisan upek(k)khāsahagatā yang terdapat pada seluruh tiga edisi cetak.

1949 > Dalam Ce dan Be Sāmaññavaggo. Ee menamainya Pañcalavagga.

1950 > Syair ini terdapat pada SN 2:7, I 48. Be dan Ee memuat kesalahan penulisan pada pāda a dalam AN, sambādhe gataṃ okāsaṃ, bukan seperti Ce sambādhe vata okāsaṃ. Teks SN 2:7 pada Be dan Ee menuliskan vata juga, dalam pāda b, Ce menuliskan avindi, Ee avida, dua bentuk aoris yang berarti “mengetahui.” Tetapi Be menuliskan avidvā, “tidak mengetahui, bodoh,” yang sulit dijelaskan. Dalam SN 2:7 Be juga menuliskan kata kerja itu sebagai avindi.

1951 > Baca 9:37.

1952 > Pariyāyena. Mp: “Untuk satu alasan (ekena kāraṇena). Karena jhāna pertama disebut pencapaian bukaan hanya sehubungan dengan ketiadaan kurungan nafsu indria, bukan dalam segala aspek.

1953 > Yadeva tattha rūpasaññā aniruddhā hoti. Kata kerja tunggal hoti menunjukkan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah “persepsi” dalam bentuk tunggal. Akan tetapi, dalam paragraf berikutnya, rūpasaññānaṃ dan paṭighasaññānaṃ adalah bentuk genitif jamak.

1954 > Nippariyāyena. Mp: “Bukan hanya karena satu alasan tunggal, tetapi karena telah meninggalkan segala kurungan, maka hancurnya noda-noda disebut pencapaian sebuah bukaan dalam segala cara.”

1955 > MN 70.17, I 478,4-8 memberikan definisi formal atas saksi tubuh (kāyasakkhī) sebagai seorang yang “menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan itu yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan dengan melihatnya melalui kebijaksanaan.” Akan tetapi, dalam sutta sekarang ini, kata “saksi tubuh” tidak sesuai dengan definisi formal tersebut melainkan dijelaskan berdasarkan pada permainan kata. Tegasnya, seorang yang mencapai hancurnya noda-noda sepenuhnya adalah bukan lagi seorang saksi tubuh, yang merupakan kelompok dari mereka yang masih berlatih.

1956 > Yathā yathā ca tadāyatanaṃ tathā tathā naṃ kāyena phusitvā viharati. Mp: “Melalui cara apa pun atau dalam jalan apa pun landasan itu yang terdapat dalam jhāna pertama, dengan cara yang sama itu, atau dalam jalan yang sama itu, ia berdiam setelah menyentuh pencapaian itu dengan tubuh batin yang ada secara berdampingan (sahahātanāmakāyena phusitvā).”

1957 > Seperti disiratkan dalam catatan sebelumnya, di sini kata “makna bukan-sementara” digunakan dalam makna yang bebas, “sementara”. Dalam makna tepat, bukan-sementara, siswa demikian bukanlah seorang saksi tubuh, karena seorang saksi tubuh yang sesungguhnya masih belum mencapai Kearahattaan.

1958 > Sekali lagi, tegasnya, menurut definisi formal pada MN 70.16, I 477,33-36, seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimuttā) adalah seorang Arahant yang tidak mencapai pembebasan tanpa bentuk atau lenyapnya persepsi dan perasaan. Demikian pula, agar sesuai dengan persyaratan formal bagi “terbebaskan dalam kedua aspek” (pada sutta berikutnya), seorang siswa bukan hanya harus merealisasikan Kearahattaan tetapi juga harus mencapai pembebasan tanpa bentuk, seperti disebutkan pada MN 70.15, I 477,26-28.

1959 > Sikkhādubbalyāni. Lit., “kelemahan-kelemahan [sehubungan dengan] latihan.” Apa yang dimaksudkan di sini bukanlah cacat dalam latihan itu sendiri, melainkan cacat dalam pelaksanaan latihan seseorang. Sutta-sutta 9:63-92 semuanya adalah sembilan campuran yang diperoleh dengan menggabungkan sepuluh kelompok lima¸berturut-turut dengan, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, dan empat landasan kekuatan batin.

1960 > Ee tidak menomori vagga ini. Ce menomorinya sebagai 5 dan Be menomorinya sebagai (10) 5, menggunakan skema penomoran berurutan dan penomoran vagga dalam kelompok lima puluh.

1961 > Ce tidak menomori sutta-sutta dalam rangkaian ini. Be menomorinya sebagai kelanjutan dari sutta-sutta dalam keseluruhan nipāta, dari 93 hingga 432. Ee menomorinya dari 93 hingga 100, dengan tidak menjelaskan mengapa berakhir pada 100. Saya mengikuti penomoran Be.

1962 > Ce menuliskan 3-18, tetapi ada delapan belas sutta dalam kelompok ini; sembilan persepsi dan sembilan pencapaian meditatif harus secara kolektif dipasangkan dengan sembilan kata dari “pemahaman penuh” hingga “terlepasnya.” Delapan belas yang dimulai dengan 3 karena itu harus ditambahkan pada dua sutta sebelumnya sehingga kelompok sutta sekarang ini berakhir pada 20.

1963 > Ce memberikan catatan: “Tujuh belas kata dari ‘nafsu’ hingga ‘kelengahan,’ masing-masing harus dipasangkan pada sepuluh kata yang dimulai dengan ‘demi pengetahuan langsung.’ Masing-masing dari ini harus dianggap sutta terpisah dengan sembilan persepsi dan sembilan pencapaian meditatif, yang dijelaskan sebagai ‘sembilan hal yang harus dikembangkan.’ Dengan demikian seluruhnya ada 340 sutta.”

 

anything