//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN  (Read 7146 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« on: 28 August 2013, 11:38:46 PM »

[351] BUKU KELOMPOK SEMBILAN

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna

« Last Edit: 29 August 2013, 07:38:06 AM by Sumedho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #1 on: 28 August 2013, 11:39:28 PM »
LIMA PULUH PERTAMA

I. PENCERAHAN

1 (1) Pencerahan <1821>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: ‘Apakah, teman-teman, penyebab terdekat bagi pengembangan bantuan-bantuan menuju pencerahan?’ jika kalian ditanya demikian, bagaimanakah kalian akan menjawabnya?”

“Bhante, ajaran kami berakar pada Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

‘Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Apakah, teman-teman, penyebab terdekat bagi pengembangan bantuan-bantuan menuju pencerahan?’ maka kalian harus menjawabnya sebagai berikut:

(1) “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, [352] sahabat-sahabat yang baik. Ini adalah penyebab terdekat pertama bagi pengembangan bantuan-bantuan menuju pencerahan.

(2) “Kemudian teman-teman, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini adalah penyebab terdekat ke dua …

(3) “Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu dapat mendengar, sesuai kehendak, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang ketidak-terikanan [dengan orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ini adalah penyebab terdekat ke tiga …

(4) “Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini adalah penyebab terdekat ke empat …

(5) “Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah penyebab terdekat ke lima bagi pengembangan bantuan-bantuan menuju pencerahan.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bermoral, menjadi seorang yang dengan terkendali oleh Pātimokkha … akan berlatih di dalamnya.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mendengar, sesuai kehendak, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit … tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan kegigihan [353] untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Setelah mendasarkan dirinya atas kelima hal ini, bhikkhu itu harus mengembangkan empat hal [lainnya] lebih jauh lagi. (6) [Persepsi] ketidak-menarikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu. (7) Cinta-kasih harus dikembangkan untuk meninggalkan niat-buruk. (8 ) Perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk memotong pemikiran-pemikiran. (9) Persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk melenyapkan keangkuhan ‘aku.’<1822> Ketika ia mempersepsikan ketidak-kekalan, maka persepsi tanpa-diri menjadi stabil.<1823> Seorang yang mempersepsikan tanpa-diri melenyapkan keangkuhan ‘aku,’ [yang merupakan] nibbāna dalam kehidupan ini.”

2 (2) Pendukung <1824>

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Dikatakan, Bhante: ‘Dilengkapi dengan pendukung, dilengkapi dengan pendukung.’ Dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dilengkapi dengan pendukung?”<1825>

(1) “Jika, bhikkhu, dengan didukung oleh keyakinan, seorang bhikkhu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, maka apa yang tidak bermanfaat itu memang ditinggalkan olehnya. (2) Jika, dengan didukung oleh rasa malu bermoral … (3) … didukung oleh rasa takut bermoral … (4) … didukung oleh kegigihan … (5) … didukung oleh kebijaksanaan, seorang bhikkhu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, maka apa yang tidak bermanfaat itu memang ditinggalkan olehnya.<1826> [354] Seorang bhikkhu telah meninggalkan dan meninggalkan dengan baik apa yang tidak bermanfaat ketika ia telah meninggalkannya dengan melihatnya melalui kebijaksanaan mulia.<1827>

“Setelah mendasarkan dirinya atas kelima hal ini, bhikkhu itu harus mengandalkan empat hal.<1828> Apakah empat ini? Di sini, (6) setelah merefleksikan, seorang bhikkhu menggunakan beberapa hal; (7) setelah merefleksikan, ia dengan sabar menahankan beberapa hal; (8 ) setelah merefleksikan, ia menghindari beberapa hal; dan (9) setelah merefleksikan, ia menghalau beberapa hal.

“Dengan cara inilah, bhikkhu, bahwa seorang bhikkhu dilengkapi pendukung.”

3 (3) Meghiya <1829>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Cālikā di Gunung Cālika.<1830> Pada saat itu Yang Mulia Meghiya adalah pelayan Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, aku ingin memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan.”

“Silakan engkau pergi, Meghiya, jika engkau menginginkan.”

Kemudian pada pagi harinya, Yang Mulia Meghiya merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah berjalan menerima dana makanan, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan di Jantugāma di tepi Sungai Kimikāla. Ketika ia sedang berjalan dan berkeliling untuk berolah-raga di sepanjang tepi Sungai Kimikāla, Yang Mulia Meghiya melihat [355]  sebuah hutan mangga yang indah dan menyenangkan. Ia berpikir: “Hutan mangga ini sungguh indah dan menyenangkan, cocok untuk seorang anggota keluarga yang bertekad pada usaha. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berusaha.”

Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Pagi ini, Bhante, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan … [Semuanya seperti di atas, tetapi sebagai orang pertama.] … Aku berpikir: ‘Hutan mangga ini sungguh indah dan menyenangkan, cocok untuk seorang anggota keluarga yang bertekad pada usaha. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berusaha.’ Maka jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”

“Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sampai seorang bhikkhu lainnya datang.”<1831>

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Meghiya berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, bagi Sang Bhagavā tidak ada lagi yang harus dilakukan dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan.<1832> Tetapi, Bhante, aku memiliki sesuatu yang harus dilakukan dan [perlu] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”

“Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sampai seorang bhikkhu lainnya datang.” [356]

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Meghiya berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, bagi Sang Bhagavā tidak ada lagi yang harus dilakukan dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Tetapi, Bhante, aku memiliki sesuatu yang harus dilakukan dan [perlu] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”

“Karena engkau mengatakan tentang berusaha, Meghiya, apa lagi yang dapat Kukatakan kepadamu? “Silakan engkau pergi, Meghiya, jika engkau menginginkan.”

Kemudian Yang Mulia Meghiya bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi ke hutan mangga. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Meghiya sedang berdiam di hutan mangga, tiga jenis pikiran buruk yang tidak bermanfaat selalu mendatangi pikirannya: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ia berpikir: “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan! Aku telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun aku masih saja dikejar oleh ketiga pikiran tidak bermanfaat ini, pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai.”<1833>

Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, sewaktu aku sedang berdiam di hutan mangga, tiga jenis pikiran buruk yang tidak bermanfaat selalu mendatangi pikiranku: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Aku berpikir: “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan! Aku telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun [357] aku masih saja dikejar oleh ketiga pikiran tidak bermanfaat ini, pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai.’”

“Meghiya, ketika kebebasan pikiran belum matang, lima hal mengarah pada kematangannya.<1834> Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal pertama yang mengarah pada kematangannya.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kematangannya.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat mendengar, sesuai kehendak, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang ketidak-terikatan [dengan orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kematangannya.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kematangannya.

 (5) “Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kematangannya.

“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bermoral, menjadi seorang yang dengan terkendali oleh Pātimokkha … [358] … akan berlatih di dalamnya.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mendengar, sesuai kehendak, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit … tentang pengetahuan and penglihatan pada kebebasan.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Setelah mendasarkan dirinya atas kelima hal ini, bhikkhu itu harus mengembangkan empat hal [lainnya] lebih jauh lagi. (6) [Persepsi] ketidak-menarikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu. (7) Cinta-kasih harus dikembangkan untuk meninggalkan niat-buruk. (8 ) Perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk memotong pemikiran-pemikiran. (9) Persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk melenyapkan keangkuhan ‘aku.’ Ketika ia mempersepsikan ketidak-kekalan, maka persepsi tanpa-diri menjadi stabil. Seorang yang mempersepsikan tanpa-diri melenyapkan keangkuhan ‘aku,’ [yang merupakan] nibbāna dalam kehidupan ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #2 on: 28 August 2013, 11:40:30 PM »
4 (4) Nandaka <1835>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Nandaka sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di aula pertemuan. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau berdiri di luar pintu menunggu hingga khotbah itu berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa khotbah itu telah berakhir, Beliau berdehem [359] dan mengetuk gerendel pintu. Para bhikkhu membukakan pintu untuk Beliau. Sang Bhagavā memasuki aula pertemuan, duduk di tempat yang dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Engkau memberikan pembabaran Dhamma yang panjang kepada para bhikkhu. punggungKu sakit sewaktu berdiri di luar pintu menunggu khotbah itu selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Nandaka, dengan merasa malu, berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku tidak tahu bahwa Sang Bhagavā sedang berdiri di luar pintu. Jika aku tahu, aku tidak akan berbicara selama itu.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Yang Mulia Nandaka merasa malu, berkata kepadanya: “Bagus, bagus, Nandaka! Adalah selayaknya bagi kalian yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama demi membicarakan Dhamma. Ketika kalian berkumpul, Nandaka, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal: apakah membicarakan Dhamma atau mempertahankan keheningan mulia.

(1) “Nandaka, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu.<1836> Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan [360] dan juga menjadi bermoral?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(2) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak memperoleh ketenangan pikiran internal;<1837> dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(3) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan, bermoral, dan ia dapat memperoleh ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dari pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena;<1838> dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu. Seperti halnya seekor binatang berkaki empat dengan satu kakinya cacat atau timpang akan menjadi tidak lengkap sehubungan dengan bagian yang cacat itu, demikian pula, ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, dan memperoleh ketenangam pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dari pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan dan bermoral, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dari pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena?”

(4) “Tetapi ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan dan (ii) bermoral, dan (iii) ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan (iv) juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dari pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhu, “Baru saja, teman-teman, sebelum bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya, Sang Bhagavā mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna dalam empat hal: [361] ‘Nandaka, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral … [di sini Nandaka mengulangi keseluruhan khotbah Sang Buddha hingga:] … Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, dan ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dari pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.’

“Ada, teman-teman, lima manfaat ini yang dihasilkan dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma pada waktu yang tepat. Apakah lima ini?

(5) “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, dalam cara itu jugalah Sang Guru menjadi menyenangkan dan disukai olehnya, dihormati dan dihargai olehnya.<1839> Ini adalah manfaat pertama dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, dalam cara itu jugalah, sehubungan dengan Dhamma, ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma.<1840> Ini adalah manfaat ke dua dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan  [362] murni sempurna, dalam cara itu jugalah ia melihat dalam Dhamma itu suatu hal yang mendalam dan penuh makna setelah menebusnya melalui kebijaksanaan.<1841> Ini adalah manfaat ke tiga dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan  murni sempurna, dalam cara itu jugalah teman-temannya menjadi lebih menghargainya, [dengan berpikir]: ‘Tentu saja, yang mulia ini telah mencapai, atau akan mencapai.’ Ini adalah manfaat ke empat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan  murni sempurna, ketika mendengar Dhamma itu para bhikkhu itu yang masih berlatih, yang belum mencapai cita-cita mereka, yang berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Tetapi setelah mendengar Dhamma itu, para bhikkhu itu yang adalah para Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, sepenunya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, [363] akan hanya menekuni kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Ini adalah manfaat ke lima dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.”

Ini adalah kelima manfaat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat itu.”

5 (5) Kekuatan <1842>

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan kegigihan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan kebijaksanaan? Seseorang telah melihat dengan jelas dan dengan kebijaksanaan mengeksplorasi kualitas-kualitas itu yang tidak bermanfaat dan dikenali sebagai tidak bermanfaat; yang bermanfaat dan dikenali sebagai bermanfaat; yang tercela dan dikenali sebagai tercela; yang tanpa cela dan dikenali sebagai tanpa cela; yang gelap dan dikenali sebagai gelap; yang terang dan dikenali sebagai terang; yang tidak boleh dilatih dan dikenali sebagai tidak boleh dilatih; yang harus dilatih dan dikenali sebagai harus dilatih; yang tidak selayaknya para mulia dan dikenali sebagai tidak selayaknya para mulia; yang selayaknya para mulia dan dikenali sebagai selayaknya para mulia. Ini disebut kekuatan kebijaksanaan.

(2) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Seseorang membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan dikenali sebagai tidak bermanfaat; yang tercela dan dikenali sebagai tercela; yang gelap dan dikenali sebagai gelap; yang tidak boleh dilatih dan dikenali sebagai tidak boleh dilatih; yang tidak selayaknya para mulia dan dikenali sebagai tidak selayaknya para mulia. Ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang untuk hal ini, Ia membangkitkan keinginan untuk memperoleh kualitas-kualitas yang bermanfaat dan dikenali sebagai bermanfaat; yang tanpa cela dan dikenali sebagai tanpa cela; yang terang dan dikenali sebagai terang; yang harus dilatih dan dikenali sebagai harus dilatih; [364] yang selayaknya para mulia dan dikenali sebagai selayaknya para mulia. Ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang untuk hal ini. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(3) “Dan apakah kekuatan ketanpa-celaan? Di sini, seorang siswa mulia terlibat dalam perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. Ini disebut kekuatan ketanpa-celaan.

(4) “Dan apakah kekuatan mempertahankan hubungan baik? Ada empat cara ini untuk mempertahankan hubungan baik: memberi, ucapan kasih sayang, perbuatan baik, dan ketidak-memihakan. Di antara pemberian-pemberian, yang terbaik adalah pemberian Dhamma. Di antara jenis-jenis ucapan kasih sayang, yang terbaik adalah berulang-ulang mengajarkan Dhamma kepada seseorang yang tertarik dan mendengarkannya dengan menyimak. Di antara jenis-jenis perbuatan baik, yang terbaik adalah ketika seseorang mendorong, mengokohkan, dan menegakkan seorang yang tanpa keyakinan dalam kesempurnaan keyakinan, seorang yang tidak bermoral dalam kesempurnaan perilaku bermoral, seorang yang kikir dalam kesempurnaan kedermawanan, dan seorang yang tidak bijaksana dalam kesempurnaan kebijaksanaan. Di antara jenis-jenis ketidak-memihakan, yang terbaik adalah bahwa seorang pemasuk-arus setara dengan seorang pemasuk-arus, seorang yang-kembali-sekali setara dengan seorang yang-kembali-sekali, seorang yang-tidak-kembali setara dengan seorang yang-tidak-kembali, dan seorang Arahant setara dengan seorang Arahant.<1843> Ini disebut kekuatan mempertahankan hubungan baik.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat kekuatan itu. Ketika seorang siswa mulia memiliki keempat kekuatan ini, ia telah melampaui lima ketakutan. Apakah lima ini? (5) Takut pada [kehilangan] penghidupan, (6) takut pada kehinaan, dan (7) takut pada ketakutan dalam kumpulan-kumpulan, [365] (8 ) takut pada kematian, dan (9) takut pada alam tujuan yang buruk. Siswa mulia itu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku tidak takut sehubungan dengan penghidupanku. Mengapakah aku harus takut sehubungan dengan penghidupanku? Aku memiliki empat kekuatan: Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan kegigihan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Seorang yang tidak bijaksana mungkin takut sehubungan dengan penghidupannya; seorang yang malas mungkin takut sehubungan dengan penghidupannya; seorang yang terlibat dalam perbuatan tercela melalui jasmani, ucapan, dan pikiran mungkin takut sehubungan dengan penghidupannya; seorang yang tidak mempertahankan hubungan baik mungkin takut sehubungan dengan penghidupannya.

“Aku tidak takut pada keterhinaan … aku tidak takut pada ketakutan dalam kumpulan-kumpulan … aku tidak takut pada kematian … aku tidak takut pada alam tujuan yang buruk. Mengapakah aku harus takut sehubungan dengan pada alam tujuan yang buruk? Aku memiliki empat kekuatan: Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan kegigihan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Seorang yang tidak bijaksana mungkin takut pada alam tujuan yang buruk; seorang yang malas mungkin takut pada alam tujuan yang buruk; seorang yang terlibat dalam perbuatan tercela melalui jasmani, ucapan, dan pikiran mungkin takut pada alam tujuan yang buruk; seorang yang tidak mempertahankan hubungan baik mungkin takut pada alam tujuan yang buruk.’

“Ketika seorang siswa mulia memiliki keempat kekuatan ini, ia telah melampaui kelima ketakutan ini.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #3 on: 28 August 2013, 11:41:02 PM »
6 (6) Pergaulan

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, orang-orang harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: mereka yang harus didekati, dan mereka yang tidak boleh didekati.<1844> Jubah, juga, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan. Makanan … tempat tinggal, juga, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan. pedesaan dan pemukiman harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan [366] yang tidak boleh dikunjungi. Negara-negara dan wilayah-wilayah harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan yang tidak boleh dikunjungi.

(1) “Ketika dikatakan: ‘orang-orang harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: mereka yang harus didekati, dan mereka yang tidak boleh didekati.,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang seorang lain: ‘Ketika aku bergaul dengan orang ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang; dan benda-benda kebutuhan hidup yang seharusnya diperoleh oleh seorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit – diperoleh dengan kesulitan; dan tujuan kehidupan pertapaan yang karenanya aku pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan dalam diriku,’ dalam kasus demikian maka ia harus meninggalkan orang itu kapan pun pada malam atau siang hari,<1845> bahkan tanpa berpamitan padanya. Ia tidak boleh terus mengikutinya.<1846>

(2) “Jika seseorang mengetahui tantang seorang lain: ‘Ketika aku bergaul dengan orang ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang; tetapi benda-benda kebutuhan hidup yang seharusnya diperoleh oleh seorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit – diperoleh tanpa kesulitan; tetapi tetap saja, tujuan kehidupan pertapaan yang karenanya aku pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan dalam diriku,’ dalam kasus demikian, setelah merefleksikan, maka ia harus meninggalkan orang itu setelah berpamitan padanya.<1847> Ia tidak boleh terus mengikutinya.

(3) “Jika seseorang mengetahui tantang seorang lain: ‘Ketika aku bergaul dengan orang ini, maka kualitas-kualitas [367] tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah; tetapi benda-benda kebutuhan hidup yang seharusnya diperoleh oleh seorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit – diperoleh dengan kesulitan; dan lagi, tujuan kehidupan pertapaan yang karenanya aku pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mencapai pemenuhan melalui pengembangan dalam diriku,’ dalam kasus demikian, setelah merefleksikan, maka ia harus mengikuti orang itu. Ia tidak boleh meninggalkannya.

(4) “Jika seseorang mengetahui tantang seorang lain: ‘Ketika aku bergaul dengan orang ini, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah; dan benda-benda kebutuhan hidup yang seharusnya diperoleh oleh seorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit – diperoleh tanpa kesulitan; dan tujuan kehidupan pertapaan yang karenanya aku pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mencapai pemenuhan melalui pengembangan dalam diriku,’ dalam kasus demikian, maka ia harus mengikuti orang itu seumur hidupnya. Ia tidak boleh meninggalkannya bahkan jika ia diusir.

“Ketika dikatakan: ‘Orang-orang harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: mereka yang harus didekati, dan mereka yang tidak boleh didekati,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(5) “Ketika dikatakan: ‘Jubah, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang sehelai jubah: ‘Ketika aku menggunakan jubah ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang,’ maka ia tidak boleh menggunakan jubah demikian. Tetapi jika ia mengetahui tentang sehelai jubah: ‘Ketika aku menggunakan jubah ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah,’ maka ia harus menggunakan jubah demikian. [368] Ketika dikatakan: ‘Jubah, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(6) “Ketika dikatakan: ‘Makanan, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dimakan dan yang tidak boleh dimakan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang suatu makanan: ‘Ketika aku memakan makanan ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang,’ maka ia tidak boleh memakan makanan demikian. Tetapi jika ia mengetahui tentang suatu makanan: ‘Ketika aku memakan makanan ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah,’ maka ia harus memakan makanan demikian. Ketika dikatakan: ‘Makanan, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dimakan dan yang tidak boleh dimakan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(7) “Ketika dikatakan: ‘Tempat tinggal, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang suatu tempat tinggal: ‘Ketika aku menggunakan tempat tinggal ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang,’ maka ia tidak boleh menggunakan tempat tinggal demikian. Tetapi jika ia mengetahui tentang suatu tempat tinggal: ‘Ketika aku menggunakan tempat tinggal ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah,’ maka ia harus menggunakan tempat tinggal demikian. Ketika dikatakan: ‘Tempat tinggal, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus digunakan dan yang tidak boleh digunakan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(8 ) “Ketika dikatakan: ‘Pedesaan dan pemukiman, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan yang tidak boleh dikunjungi,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang suatu desa atau pemukiman: ‘Ketika aku mengunjungi pedesaan atau pemukiman ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang,’ maka ia tidak boleh mengunjungi pedesaan atau pemukiman demikian. Tetapi jika ia mengetahui tentang suatu desa atau pemukiman: ‘Ketika aku mengunjungi pedesaan [369] atau pemukiman ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah,’ maka ia harus mengunjungi pedesaan atau pemukiman demikian. Ketika dikatakan: ‘pedesaan atau pemukiman, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan yang tidak boleh dikunjungi,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(9) “Ketika dikatakan: ‘Negara-negara dan wilayah-wilayah, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan yang tidak boleh dikunjungi,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Jika seseorang mengetahui tentang suatu negara atau wilayah: ‘Ketika aku mengunjungi negara atau wilayah ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang,’ maka ia tidak boleh mengunjungi negara atau wilayah demikian. Tetapi jika ia mengetahui tentang suatu negara atau wilayah: ‘Ketika aku mengunjungi negara atau wilayah ini, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah,’ maka ia harus mengunjungi negara atau wilayah demikian. Ketika dikatakan: ‘Negara-negara dan wilayah-wilayah, teman-teman, harus dipahami sebagai terdiri dari dua jenis: yang harus dikunjungi dan yang tidak boleh dikunjungi,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.”

7 (7) Sutavā

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian pengembara Sutavā mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di sini di Rājagaha, Benteng Gunung.<1848> Pada waktu itu, di hadapan Sang Bhagavā, aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Sutavā, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan; yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan [370] beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak mampu melakukan pelanggaran dalam lima kasus. Ia tidak mampu dengan sengaja membunuh; ia tidak mampu mengambil melalui pencurian atas apa yang tidak diberikan; ia tidak mampu melakukan hubungan seksual; ia tidak mampu secara sengaja berbohong; ia tidak mampu menyimpan benda-benda untuk menikmati kenikmatan indria seperti yang ia lakukan di masa lalu ketika masih menjadi seorang awam.’ Bhante, apakah aku mendengar itu dengan benar dari Sang Bhagavā, menangkapnya dengan benar, menyimaknya dengan benar, mengingatnya dengan benar?”

“Benar, Sutavā, engkau mendengarnya dengan benar, menangkapnya dengan benar, menyimaknya dengan benar, mengingatnya dengan benar. Di masa lalu, Sutavā, dan juga sekarang Aku mengatakan demikian: ‘Seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak mampu melakukan pelanggaran dalam sembilan kasus. (1) Ia tidak mampu dengan sengaja membunuh; (2) ia tidak mampu mengambil melalui pencurian atas apa yang tidak diberikan; (3) ia tidak mampu melakukan hubungan seksual; (4) ia tidak mampu secara sengaja berbohong; (5) ia tidak mampu menyimpan benda-benda untuk menikmati kenikmatan indria seperti yang ia lakukan di masa lalu ketika masih menjadi seorang awam; (6) ia tidak mampu menolak Sang Buddha; (7) ia tidak mampu menolak Dhamma; (8 ) ia tidak mampu menolak Saṅgha; (9) ia tidak mampu menolak latihan.’<1849> [371] Di masa lalu, Sutavā, dan juga sekarang Aku mengatakan demikian: ‘Seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak mampu melakukan pelanggaran dalam kesembilan kasus ini.’”

8 (8 ) Sajjha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian pengembara Sajjha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di sini di Rājagaha … [seperti pada 9:7] … Bhante, apakah aku mendengar itu dengan benar dari Sang Bhagavā, menangkapnya dengan benar, menyimaknya dengan benar, mengingatnya dengan benar?” [372]

“Benar, Sajjha, engkau mendengarnya dengan benar, menangkapnya dengan benar, menyimaknya dengan benar, mengingatnya dengan benar. Di masa lalu, Sutavā, dan juga sekarang Aku mengatakan demikian: ‘seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak mampu melakukan pelanggaran dalam sembilan kasus. (1) Ia tidak mampu dengan sengaja membunuh; (2) ia tidak mampu mengambil melalui pencurian atas apa yang tidak diberikan; (3) ia tidak mampu melakukan hubungan seksual; (4) ia tidak mampu secara sengaja berbohong; (5) ia tidak mampu menyimpan benda-benda untuk menikmati kenikmatan indria seperti yang ia lakukan di masa lalu ketika masih menjadi seorang awam; (6) ia tidak mampu memasuki jalan salah karena keinginan; (7) ia tidak mampu memasuki jalan salah karena kebencian; (8 ) ia tidak mampu memasuki jalan salah karena delusi; (9) ia tidak mampu memasuki jalan salah karena ketakutan.’  Di masa lalu, Sutavā, dan juga sekarang Aku mengatakan demikian: ‘seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan … seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – tidak mampu melakukan pelanggaran dalam kesembilan kasus ini.’”

9 (9) Orang-Orang

“Para bhikkhu, ada sembilan jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah sembilan ini? Arahant, seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan; yang-tidak-kembali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; yang-kembali-sekali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; pemasuk-arus, seorang yang berlatih untuk mencapai buah memasuki-arus; kaum duniawi. Ini adalah kesembilan jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [373]

10 (10) Layak Menerima Pemberian

“Para bhikkhu, sembilan orang ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah sembilan ini? Arahant, seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan; yang-tidak-kembali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; yang-kembali-sekali, seorang yang berlatih untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; pemasuk-arus, seorang yang berlatih untuk mencapai buah memasuki-arus; anggota suku.<1850> Kesembilan orang ini adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #4 on: 28 August 2013, 11:41:23 PM »
II. AUMAN SINGA

11 (1) Auman Singa

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, aku telah menyelesaikan masa pengasingan musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”

“Silakan engkau pergi, Sāriputta, jika engkau menginginkan.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi. [374] Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”<1851>

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta atas namaKu, [katakan kepadanya]: ‘Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.’”<1852>

“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.

Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi kediaman demi kediaman, [sambil menyerukan]: ‘Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Sariputta, salah satu dari teman-temanmu para bhikkhu telah mengajukan keluhan terhadapmu, [dengan mengatakan]: ‘Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.’”

(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni di atas tanah – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun tanah ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian [375] pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti tanah, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. [376] Seperti halnya sebuah sikat yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun sikat itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sebuah sikat, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta terbuang, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor sapi jantan dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran sapi jantan yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(8 ) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci – akan [377] mundur, muak, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku mundur, muak, dan jijik oleh tubuh busuk ini.

(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.

“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian bhikkhu [penuduh] itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka Kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di maa depan.” [378]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping di sana.”

“Aku akan memaafkan yang mulia ini, Bhante, jika yang mulia ini mengatakan kepadaku: ‘Dan sudilah yang mulia memaafkan aku.’”<1853>

12 (2) Dengan Sisa Tertinggal

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ia berpikir: “Masih terlalu pagi untuk berjalan menerima dana makanan. Biarlah aku mampir ke taman para pengembara sekte lain.”<1854>

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi taman para pengembara sekte lain. Ia saling bertukar sapa dengan para pengembara itu, ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi. Pada saat itu para pengembara itu telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi di antara mereka: “Teman-teman, siapa pun yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal adalah tidak terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; ia tidak terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta dengan tidak menerima juga tidak menolak pernyataan dari para pengembara itu, melainkan bangkit dari duduknya dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta telah berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī, [379] setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Di sini ia mengulangi kata demi kata keseluruhan kejadiannya dan mengakhiri dengan:] “aku bangkit dari dudukku dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”

“Siapakah,<1855> Sāriputta, para pengembara sekte lain yang dungu dan tidak kompeten itu dan siapakah mereka yang mengetahui seorang dengan sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang dengan sisa yang tertinggal’ dan seorang yang tanpa sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang yang tanpa sisa yang tertinggal’?<1856>

“Sembilan orang ini, Sāriputta, yang meninggal dunia dengan sisa yang tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Apakah sembilan ini? [380]

(1) “Di sini, Sāriputta, seseorang memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi melatih kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya.<1857> Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara. Ini adalah orang pertama, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

(2) – (5) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi melatih kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai nibbāna pada saat mendarat … seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha … seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha … seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha. Ini adalah orang ke lima, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

(6) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan dengan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, orang ini adalah seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke alam ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke enam, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

(7) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai satu-benih yang, setelah terlahir kembali sekali lagi sebagai manusia, ia [381] akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke tujuh, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

(8 ) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai dari keluarga-ke-keluarga yang, setelah mengembara di antara keluarga-keluarga baik dua atau tiga kali, ia akan akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke delapan, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

(9) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai maksimum tujuh kali yang, setelah mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke sembilan, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.

“Siapakah, Sāriputta, para pengembara sekte lain yang dungu dan tidak kompeten itu dan siapakah mereka yang mengetahui seorang dengan sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang dengan sisa yang tertinggal’ dan seorang yang tanpa sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang yang tanpa sisa yang tertinggal’?

“Sembilan orang ini, Sāriputta, yang meninggal dunia dengan sisa yang tertinggal,  terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Sāriputta, aku belum condong untuk memberikan pembabaran Dhamma ini kepada para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Karena alasan apakah? Karena setelah mendengar pembabaran Dhamma ini, mereka mungkin akan menjadi lengah. [382] Akan tetapi, Aku menyampaikan pembabaran Dhamma ini dengan tujuan untuk menjawab pertanyaanmu.”<1858>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #5 on: 28 August 2013, 11:41:47 PM »
13 (3) Koṭṭhita

Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan ini menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan mendatang’?”<1859>

“Tentu saja tidak, teman.”

“Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan mendatang menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan ini’?”

“Tentu saja tidak, teman.”

“Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan’?”<1860>

“Tentu saja tidak, teman.”

“Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan’?”

“Tentu saja tidak, teman.”

“Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami ketika telah matang menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami ketika belum matang’?”<1861>

“Tentu saja tidak, teman.”

“Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami ketika belum matang menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami ketika telah matang’?”

“Tentu saja tidak, teman.”

“Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus banyak dialami menjadi kamma [yang akibatnya] harus sedikit dialami’?”

“Tentu saja tidak, teman.”

“Kalau begitu, [383] apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus sedikit dialami menjadi kamma [yang akibatnya] harus banyak dialami’?”

“Tentu saja tidak, teman.”

“Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami menjadi kamma [yang akibatnya] tidak perlu dialami’?”<1862>

“Tentu saja tidak, teman.”

“Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] tidak perlu dialami menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami’?”

“Tentu saja tidak, teman.”<1863>

“Teman Sāriputta, ketika engkau ditanya: ‘Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan ini menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan mendatang’? engkau menjawab: ‘Tentu saja tidak, teman.’ Dan ketika engkau ditanya: ‘Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan mendatang menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan ini’? engkau menjawab: ‘Tentu saja tidak, teman.’ … [384] … Ketika engkau ditanya: ‘Sekarang, teman Sāriputta, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] harus dialami menjadi kamma [yang akibatnya] tidak perlu dialami’? engkau menjawab: ‘Tentu saja tidak, teman.’ Dan ketika engkau ditanya: ‘Kalau begitu, apakah kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagavā dengan tujuan: ‘Semoga kamma [yang akibatnya] tidak perlu dialami menjadi kamma [yang akibatnya] harus dialami’? engkau menjawab: ‘Tentu saja tidak, teman.’ Kalau begitu apakah tujuan seseorang menjalani kehidupan spiritual di bawah Sang Bhagavā?”

“Seseorang menjalani kehidupan spiritual di bawah Sang Bhagavā, teman, adalah untuk tujuan mengetahui, melihat, mencapai, merealisasikan, dan menembus apa yang belum ia ketahui, lihat, capai, realisasikan, dan tembus.’

“Tetapi, teman, apakah itu yang belum diketahui, dilihat, dicapai, direaliasasikan, dan ditembus oleh seseorang?”

“‘Ini adalah penderitaan, teman, adalah apa yang belum diketahui, dilihat, dicapai, direaliasasikan, dan ditembus oleh seseorang, adalah untuk tujuan mengetahui, melihat, mencapai, merealisasikan, dan menembus ini maka ia menjalani kehidupan spiritual di bawah Sang Bhagavā. [385] ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ adalah apa yang belum diketahui, dilihat, dicapai, direaliasasikan, dan ditembus oleh seseorang, adalah untuk tujuan mengetahui, melihat, mencapai, merealisasikan, dan menembus ini maka ia menjalani kehidupan spiritual di bawah Sang Bhagavā.”

14 (4) Samiddhi

Yang Mulia Samidhi mendatangi Yang Mulia Sāriputta, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya:<1864>

(1) “Atas dasar apakah, Samiddhi, kehendak dan pemikiran<1865> muncul pada seseorang?”

“Atas dasar nama-dan-bentuk, Bhante.”<1866>

(2) Dimanakah kehendak dan pemikiran itu menjadi beraneka-ragam?”

“Sehubungan dengan elemen-elemen.”

(3) “Darimanakah kehendak dan pemikiran itu berasal-mula?”

“Kehendak dan pemikiran berasal-mula dari kontak.”

(4) “Pada apakah kehendak dan pemikiran bertemu?”

“Kehendak dan pemikiran bertemu pada perasaan.”<1867>

(5) “Oleh apakah kehendak dan pemikiran dipimpin?”

“Kehendak dan pemikiran dipimpin oleh konsentrasi.”

(6) “Apakah yang mengendalikan kekuasaan atas kehendak dan pemikiran?”

“Perhatian mengendalikan kekuasaan atas kehendak dan pemikiran.”

(7) “Apakah pengawas bagi kehendak dan pemikiran?”

“Kebijaksanaan adalah pengawas bagi kehendak dan pemikiran.”

(8 ) “Apakah inti dari kehendak dan pemikiran?”

“Kebebasan adalah intinya.”<1868>

(9) “Dalam apakah kehendak dan pemikiran itu memuncak?”

“Kehendak dan pemikiran memuncak dalam keabadian.”<1869>

“Ketika engkau ditanya: ‘Atas dasar apakah, Samiddhi, kehendak dan pemikiran muncul pada seseorang?’ engkau menjawab: ‘Atas dasar nama-dan-bentuk, Bhante.’ … [386] … Ketika engkau ditanya: ‘Dalam apakah kehendak dan pemikiran itu memuncak’ engkau menjawab: ‘Kehendak dan pemikiran memuncak dalam keabadian.’ Bagus, bagus, Samiddhi! Ketika engkau ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, engkau telah menjawab dengan baik, tetapi jangan menjadi sombong karena hal itu.”

15 (5) Bisul

“Para bhikkhu, misalkan ada sebuah bisul yang sudah menahun. Bisul itu memiliki sembilan lubang luka, sembilan lubang alami.<1870> Apa pun yang  mengalir keluar dari lubang-lubang itu adalah tidak murni, berbau busuk, dan menjijikkan. Apa pun yang menetes keluar dari lubang-lubang itu adalah tidak murni, berbau busuk, dan menjijikkan.

“‘Sebuah bisul,’ para bhikkhu, adalah sebutan bagi tubuh ini yang terdiri dari empat elemen besar, berasal-mula dari ibu dan ayah, dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, pada gosokan dan gesekan, pada kehancuran dan pembubaran. Tubuh ini memiliki sembilan lubang luka, sembilan lubang alami. Apa pun yang  mengalir keluar dari lubang-lubang itu adalah tidak murni, berbau busuk, dan menjijikkan. [387] Apa pun yang menetes keluar dari lubang-lubang itu adalah tidak murni, berbau busuk, dan menjijikkan.”

16 (6) Persepsi

“Para bhikkhu, sembilan persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.<1871> Apakah sembilan ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, dan persepsi kebosanan. Kesembilan persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.”

17 (7) Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka.<1872> Apakah sembilan ini? (1) Mereka tidak bangkit dengan cara yang menyenangkan.<1873> (2) Mereka tidak memberi hormat dengan cara yang menyenangkan.<1874> (3) Mereka tidak menawarkan tempat duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka menyembunyikan dari seseorang  apa yang mereka miliki. (5) Walaupun mereka memiliki banyak, namun mereka memberi sedikit. (6) Walaupun mereka memiliki benda-benda bagus, namun mereka memberikan benda-benda buruk. (7) Mereka memberi dengan tidak hormat, bukan dengan hormat. (8 ) Mereka tidak duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka tidak mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi tidak selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi tidak selayaknya duduk bersama mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki sembilan faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka. Apakah sembilan ini? (1) Mereka bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka menawarkan tempat duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka tidak menyembunyikan dari seseorang apa yang mereka miliki. (5) Jika mereka memiliki banyak, [388] mereka memberi banyak. (6) Jika mereka memiliki benda-benda bagus, mereka memberikan benda-benda bagus. (7) Mereka memberi dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (8 ) Mereka duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma. (9) Mereka mengecap rasa dari kata-kata seseorang. Dengan memiliki kesembilan faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi selayaknya dikunjungi, atau yang telah dikunjungi selayaknya duduk bersama mereka.”

18 (8 ) Cinta-kasih

“Para bhikkhu, Ketika dijalankan dengan lengkap dalam sembilan faktor, uposatha adalah berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar.<1875> Dan bagaimanakah uposatha dijalankan dengan lengkap dalam sembilan faktor, sehingga berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merefleksikan sebagai berikut: ‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan tulus, mereka berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk hidup. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan tulus, aku juga akan berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk hidup. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor pertama ini.

(2) “‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka hanya mengambil apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan berdiam dengan jujur tanpa pikiran untuk mencuri. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; aku hanya mengambil apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan berdiam dengan jujur tanpa pikiran untuk mencuri. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke dua ini. [389]

(3) “‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke tiga ini.

(4) “‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari berbohong; mereka mengucapkan kebenaran, setia pada kebenaran; mereka dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari berbohong; Aku akan mengucapkan kebenaran, setia pada kebenaran; aku akan dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke empat ini.

(5) “‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke lima ini.

(6) “‘Seumur hidupnya para Arahant makan sekali sehari, menghindari makan pada malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan makan sekali sehari, menghindari makan pada malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke enam ini.

(7) “‘Seumur hidupnya para Arahant menghindari tarian, nyanyian, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak layak, dan menghindari menghias dan mempercantik diri dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wewangian dan salep. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan menghindari tarian, nyanyian, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak layak, dan menghindari menghias dan mempercantik diriku dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wewangian dan salep. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke tujuh ini.

(8 ) “‘Seumur hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; mereka berbaring di tempat tidur yang rendah, [390] apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; aku akan berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ Uposatha memiliki faktor ke delapan ini.

(9) “Di sini, seorang siswa mulia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta-kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Uposatha memiliki faktor ke sembilan ini.

“Adalah dengan cara ini, para bhikkhu, maka uposatha dijalankan lengkap dalam sembilan faktor, sehingga berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #6 on: 28 August 2013, 11:42:11 PM »
19 (9) Dewata

“Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, sejumlah dewata dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujud kepadaKu, dan berdiri di satu sisi.

(1) “Kemudian para dewata itu berkata: ‘Di masa lalu, Bhante, ketika kami adalah manusia, para bhikkhu mendatangi rumah-rumah kami. Kami bangkit untuk mereka tetapi tidak memberi hormat kepada mereka. Karena tidak memenuhi tugas kami, dengan penuh penyesalan, kami terlahir kembali dalam kelompok [dewata] yang rendah.’ [391]

(2) “Beberapa dewata lainnya mendatangiKu dan berkata: ‘Di masa lalu, Bhante, ketika kami adalah manusia, para bhikkhu mendatangi rumah-rumah kami. Kami bangkit untuk mereka, memberi hormat kepada mereka, tetapi kami tidak menawarkan tempat duduk untuk mereka. Karena tidak memenuhi tugas kami, dengan penuh penyesalan, kami terlahir kembali dalam kelompok [dewata] yang rendah.’

(3) “Beberapa dewata lainnya mendatangiKu dan berkata: ‘Di masa lalu, Bhante, ketika kami adalah manusia, para bhikkhu mendatangi rumah-rumah kami. Kami bangkit untuk mereka, memberi hormat kepada mereka, dan menawarkan tempat duduk untuk mereka, tetapi kami tidak memberikan benda-benda kepada mereka sesuai kemampuan dan kapasitas kami … (4) … kami memberikan benda-benda kepada mereka sesuai kemampuan dan kapasitas kami, tetapi kami tidak duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma … (5) …  kami duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma, tetapi kami tidak menyimak … (6) … kami menyimak, tetapi setelah mendengarkannya, kami tidak mengingatnya … (7) … setelah mendengarkannya, kami mengingatnya tetapi kami tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat … (8 ) … kami memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat tetapi kami tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma. Karena tidak memenuhi tugas kami, dengan penuh penyesalan, kami terlahir kembali dalam kelompok [dewata] yang rendah.’

(9) “Beberapa dewata lainnya mendatangiKu dan berkata: ‘Di masa lalu, Bhante, ketika kami adalah manusia, para bhikkhu mendatangi rumah-rumah kami. (i) kami bangkit untuk mereka, (ii) memberi hormat kepada mereka, (iii) menawarkan tempat duduk untuk mereka, dan [392] (iv) memberikan benda-benda kepada mereka sesuai kemampuan dan kapasitas kami. (5) kami duduk mendekat untuk mendengarkan Dhamma dan (vi) menyimak; (vii) setelah mendengarkannya, kami mengingat Dhamma itu; (viii) kami memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat; dan (ix) kami memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma. Setelah memenuhi tugas kami, bebas dari penyesalan, kami terlahir kembali dalam kelompok [dewata] yang tinggi.’

“Ini adalah bawah pepohonan, para bhikkhu, ini adalah gubuk-gubuk kosong. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan lengah. Jangan sampai menyesal kelak, seperti para dewata yang sebelumnya.”

20 (10) Velāma

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya:

“Apakah dana diberikan dalam keluargamu, perumah tangga?”

“Dana diberikan dalam keluargaku, Bhante, tetapi terdiri dari nasi basi disertai dengan bubur.”<1876>

“Jika, perumah tangga, seseorang memberikan dana, yang kasar atau baik, dan ia memberikan dengan tidak hormat, memberikan tanpa pertimbangan, tidak memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan apa yang seharusnya dibuang, memberi tanpa pandangan atas konsekuensi masa depan,<1877> maka apa pun akibat dari pemberian itu yang ia hasilkan, pikirannya tidak condong ke arah kenikmatan makanan lezat, juga tidak ke arah kenikmatan pakaian bagus, juga tidak ke arah kenikmatan kendaraan-kendaraan bagus, juga tidak ke arah kenikmatan apa pun yang baik di antara objek-objek kenikmatan indria. Juga, anak-anaknya [393] dan istri-istrinya, dan budak-budaknya, pelayan-pelayannya, dan para pekerjanya, tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikirannya untuk memahami. Karena alasan apakah? Ini adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan dengan tidak hormat.

“Jika, perumah tangga, seseorang memberikan dana, yang kasar atau baik, dan ia memberikan dengan hormat, memberikan dengan pertimbangan, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan apa yang seharusnya tidak dibuang, memberi dengan pandangan atas konsekuensi masa depan, maka apa pun akibat dari pemberian itu yang ia hasilkan, pikirannya condong ke arah kenikmatan makanan lezat, ke arah kenikmatan pakaian bagus, ke arah kenikmatan kendaraan-kendaraan bagus, ke arah kenikmatan apa pun yang baik di antara objek-objek kenikmatan indria. Juga, anak-anaknya dan istri-istrinya, dan budak-budaknya, pelayan-pelayannya, dan para pekerjanya, ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami. Karena alasan apakah? Ini adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan dengan hormat.

“Di masa lampau, perumah tangga, terdapat seorang brahmana bernama Velāma. Ia memberikan persembahan dana besar sebagai berikut:<1878> (1) delapan puluh empat ribu mangkuk emas penuh berisi perak; (2) delapan puluh empat ribu mangkuk perak penuh berisi emas; (3) delapan puluh empat ribu mangkuk perunggu penuh berisi kepingan uang; (4) delapan puluh empat ribu gajah dengan perhiasan emas, panji emas, diselimuti dengan jaring benang emas; (5) delapan puluh empat ribu kereta dengan penutup dari kulit singa, kulit harimau, kulit macan tutul, dan selimut jingga, dengan perhiasan emas, panji emas, diselimuti dengan jaring benang emas; (6) delapan puluh empat ribu sapi susu dengan tambatan tali rami<1879> dan ember perunggu;<1880> (7) delapan puluh empat ribu gadis berhiaskan anting-anting permata; (8 ) delapan puluh empat ribu dipan [394] dengan permadani, selimut, dan penutup, dengan penutup bagus dari kulit rusa, dengan kanopi dan bantal guling merah di kedua sisinya; (9) delapan puluh empat ribu koṭi<1881> kain terbuat dari linen, sutra halus, wol halus, dan katun halus. Apalagi makanan dan minuman, kudapan, santapan dan penyegar, dan minuman bukan air<1882> yang tampak mengalir seperti sungai.

“Engkau mungkin berpikir, perumah tangga: ‘Ia adalah seorang lain, Brahmana Velāma itu yang pada saat itu memberikan persembahan dana besar itu.’ Tetapi engkau jangan melihatnya demikian. Aku sendiri adalah Brahmana Velāma itu yang pada saat itu memberikan persembahan dana besar.

“Sekarang, perumah tangga, pada persembahan dana besar itu tidak ada seorang pun yang layak menerima persembahan, tidak ada seorang pun yang memurnikan persembahan itu. Bahkan yang lebih berbuah daripada persembahan besar yang diberikan oleh Brahmana Velāma adalah memberi makan satu orang yang sempurna dalam pandangan. Bahkan yang lebih berbuah daripada persembahan besar yang diberikan oleh Brahmana Velāma dan memberi makan seratus orang yang sempurna dalam pandangan adalah memberi makan satu orang yang-kembali-sekali. Bahkan yang lebih berbuah daripada persembahan besar yang diberikan oleh Brahmana Velāma dan memberi makan seratus orang yang-kembali-sekali adalah memberi makan satu orang yang-tidak-kembali. Bahkan yang lebih berbuah daripada … memberi makan seratus orang yang-tidak-kembali adalah memberi makan satu orang Arahant. Bahkan yang lebih berbuah daripada … memberi makan seratus orang Arahant adalah memberi makan satu orang paccekabuddha. [395] Bahkan yang lebih berbuah daripada … memberi makan seratus orang paccekabuddha adalah memberi makan Sang Tathāgata, Sang Arahant, yang tercerahkan sempurna … adalah memberi makan Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha … adalah membangun tempat kediaman yang didedikasikan kepada Saṅgha dari empat penjuru … adalah memberi kepada seorang yang pikirannya penuh keyakinan berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha … adalah memberi kepada seorang yang pikirannya penuh keyakinan menjalankan kelima aturan latihan: menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Bahkan yang lebih berbuah … adalah mengembangkan pikiran cinta-kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menarik ambing susu sapi.

“Bahkan yang lebih berbuah lagi, perumah tangga, daripada persembahan besar yang diberikan oleh Brahmana Velāma, dan memberi makan satu orang yang sempurna dalam pandangan, dan memberi makan seratus orang yang sempurna dalam pandangan; dan memberi makan satu orang yang-kembali-sekali; dan memberi makan seratus orang yang-tidak-kembali; dan memberi makan satu orang yang-tidak-kembali; dan memberi makan seratus orang yang-tidak-kembali; dan memberi makan satu orang Arahant; dan memberi makan seratus orang Arahant; dan memberi makan satu orang paccekabuddha; dan memberi makan seratus orang paccekabuddha; dan memberi makan seratus orang paccekabuddha; dan memberi makan Sang Tathāgata, Sang Arahant, yang tercerahkan sempurna; dan memberi makan Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha; dan membangun tempat tinggal yang didedikasikan kepada Saṅgha dari empat penjuru; dan untuk seorang yang pikirannya penuh keyakinan berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha; dan untuk seorang yang pikirannya penuh keyakinan menjalankan kelima aturan latihan: menghindari pembunuhan … menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan; dan untuk seorang yang mengembangkan pikiran cinta-kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk menarik ambing susu sapi, [396] adalah mengembangkan persepsi ketidak-kekalan bahkan hanya selama waktu yang diperlukan untuk menjentikkan jari.”<1883>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #7 on: 28 August 2013, 11:43:19 PM »
III. ALAM KEDIAMAN MAKHLUK-MAKHLUK

21 (1) Aspek

“Para bhikkhu, dalam tiga aspek orang-orang Uttarakuru melampaui para deva Tāvatiṃsa dan orang-orang Jambudīpa.<1884> Apakah tiga ini? (1) Mereka tidak memiliki sifat mementingkan diri sendiri; (2) umur kehidupan mereka pasti; dan (3) kondisi kehidupan mereka luar biasa.<1885> Dalam ketiga aspek ini orang-orang Uttarakuru melampaui para deva Tāvatiṃsa dan orang-orang Jambudīpa.

“Dalam tiga aspek para deva Tāvatiṃsa melampaui orang-orang Uttarakuru dan orang-orang Jambudīpa. Apakah tiga ini? (4) Dalam umur kehidupan surgawi, (5) dalam kecantikan surgawi, dan (6) dalam kebahagiaan surgawi. Dalam ketiga aspek ini para deva Tāvatiṃsa melampaui orang-orang Uttarakuru dan orang-orang Jambudīpa.

“Dalam tiga aspek orang-orang Jambudīpa melampaui orang-orang Uttarakuru dan para deva Tāvatiṃsa. Apakah tiga ini? (7) Mereka adalah para pahlawan, (8 ) mereka penuh perhatian; dan (9) ada kehidupan spiritual di sini. Dalam ketiga aspek ini orang-orang Jambudīpa melampaui orang-orang Uttarakuru dan para deva Tāvatiṃsa.” [397]

22 (2) Anak Kuda Liar

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tiga jenis anak kuda liar dan tiga jenis orang yang seperti anak kuda liar; tiga jenis kuda yang baik dan tiga jenis orang yang seperti kuda yang baik; tiga jenis kuda yang baik berdarah murni dan tiga jenis orang baik yang berdarah murni.<1886> Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tiga jenis anak kuda liar itu? (1) Di sini, sejenis anak kuda liar memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki kecantikan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) jenis anak kuda liar lainnya memiliki kecepatan dan memiliki kecantikan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan jenis anak kuda liar lainnya lagi memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis anak kuda liar itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, tiga jenis orang yang seperti anak kuda liar? (1) Di sini, satu jenis orang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki kecantikan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) Jenis orang lainnya seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan dan memiliki kecantikan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan jenis orang lainnya lagi seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki kecantikan dan tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sabagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ [398] Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia bimbang dan tidak menjawab. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan kecantikannya. Dan ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsi yang benar. Dengan cara inilah seseorang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki kecantikan dan tidak memiliki proporsi yang benar.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan dan memiliki kecantikan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: : ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ] Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah kecantikannya. Tetapi ia tidak memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsi yang benar. Dengan cara inilah seseorang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan dan memiliki kecantikan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: : ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ] Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah kecantikannya. [399] Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsi yang benar. Dengan cara inilah seseorang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, tiga jenis kuda yang baik? (4)-(6) Di sini, sejenis kuda yang baik … [seperti pada anak kuda liar di atas] … memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis kuda yang baik itu.<1887>

(4)-(6) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang seperti kuda yang baik … memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu adalah seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah kecantikannya. Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsi yang benar. Dengan cara inilah seseorang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis orang yang seperti kuda yang baik itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, tiga jenis kuda yang baik yang berdarah murni? (7)-(9) Di sini, sejenis kuda yang baik berdarah murni … … [seperti pada anak kuda liar di atas] … memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. [400] Ini adalah ketiga jenis kuda yang baik berdarah murni itu.

(7)-(9) “dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang baik yang berdarah murni … memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan suatu pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah kecantikannya. Dan ia memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsi yang benar. Dengan cara inilah seorang yang baik yang berdarah murni memiliki kecepatan, kecantikan, dan proporsi yang benar. Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang baik yang berdarah murni itu.”

23 (3) Ketagihan

“Aku akan mengajarkan kepada kalian, para bhikkhu, sembilan hal yang berakar pada ketagihan.<1888> Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah sembilan hal yang berakar pada ketagihan? (1) Dengan bergantung pada ketagihan maka ada pencarian. (2) Dengan bergantung pada pencarian maka ada perolehan. (3) Dengan bergantung pada perolehan maka ada pertimbangan. (4) Dengan bergantung pada pertimbangan maka ada keinginan dan nafsu. (5) Dengan bergantung pada keinginan dan nafsu maka ada kemelekatan. (6) Dengan bergantung pada kemelekatan maka ada kepemilikan. (8 ) Dengan bergantung pada kepemilikan maka ada penjagaan. (9) Dengan penjagaan sebagai landasan maka dimulailah pengambilan tongkat pemukul [401] dan senjata, pertengkaran, pertikaian, dan perselisihan, penuduhan, ucapan memecah-belah, dan kebohongan, dan banyak hal-hal buruk yang tidak bermanfaat [lainnya]. Ini adalah sembilan hal yang berakar pada ketagihan.”<1889>

24 (4) Makhluk-Makhluk

“Para bhikkhu, ada sembilan alam makhluk-makhluk ini. Apakah sembilan ini?<1890>

(1) “Ada, para bhikkhu, makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi, seperti manusia, beberapa deva, dan beberapa makhluk di alam rendah. Ini adalah alam pertama makhluk-makhluk.

(2) “Ada makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani tetapi identik dalam persepsi, seperti para deva kumpulan Brahmā yang terlahir kembali melalui [jhāna] pertama. Ini adalah alam ke dua makhluk-makhluk.

(3) “Ada makhluk-makhluk yang identik dalam jasmani tetapi berbeda dalam persepsi, seperti para deva dengan cahaya gemerlap. Ini adalah alam ke tiga makhluk-makhluk.

(4) “Ada makhluk-makhluk yang identik dalam jasmani dan identik dalam persepsi, seperti para deva dengan keagungan gemilang. Ini adalah alam ke empat makhluk-makhluk.

(5) “Ada makhluk-makhluk yang tanpa-persepsi, tanpa pengalaman, seperti para deva yang tanpa-persepsi. Ini adalah alam ke lima makhluk-makhluk.

(6) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ menjadi bagian dari landasan ruang tanpa batas. Ini adalah alam ke enam makhluk-makhluk.

(7) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas, menjadi bagain dari landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah alam ke tujuh makhluk-makhluk.

(8 ) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ menjadi bagian dari landasan kekosongan. Ini adalah alam ke delapan makhluk-makhluk.

(9) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, menjadi bagian dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah alam ke sembilan makhluk-makhluk.

“Ini adalah kesembilan alam makhluk-makhluk itu.” [402]

25 (5) Kebijaksanaan

“Para bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan, maka ia mampu menyatakan: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.’

“Dan bagaimanakah pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan? (1) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa nafsu.’ (2) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa kebencian.’ (3) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa delusi.’ (4) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada ketergila-gilaan.’ (5) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada permusuhan.’ (6) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada kekacauan.’ (7) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-indria.’ (8 ) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-berbentuk (9) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-tanpa-bentuk.’

“Ketika, para bhikkhu, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui kebijaksanaan, maka ia mampu menyatakan: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.’”

26 (6) Pilar Batu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Candikāputta sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, taman suaka tupai. Di sana Yang Mulia Candikāputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Candikāputta berkata sebagai berikut: “Teman-teman, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan melalui pikiran<1891> maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: [403] “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Candikāputta: “Teman, Candikāputta, bukan begitu Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Melainkan, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: : ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran,<1892> maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Candikāputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan melalui pikiran maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: [403] “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Candikāputta: “Teman, Candikāputta, bukan begitu Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Melainkan, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: : ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran, maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalanni, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

“Dan bagaimanakah, teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran? [404] ? (1) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa nafsu.’ (2) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa kebencian.’ (3) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa delusi.’ (4) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada nafsu.’ (5) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada kebencian.’ (6) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada delusi.’ (7) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-indria.’ (8 ) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-berbentuk (9) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-tanpa-bentuk.’<1893>

“Ketika, teman, seorang bhikkhu terbebaskan dengan sempurna dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan penglihatan, bentuk-bentuk itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh.<1894> Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya. Bahkan jika suara-suara yang kuat yang dapat dikenali oleh telinga masuk dalam jangkauan pedengaran … Bahkan jika bau-bauan yang kuat yang dapat dikenali oleh hidung masuk dalam jangkauan penciuman … Bahkan jika rasa-rasa kecapan yang kuat yang dapat dikenali oleh lidah masuk dalam jangkauan pengecapan … Bahkan jika objek-objek sentuhan yang kuat yang dapat di kenali oleh badan masuk dalam jangkauan sentuhan badan … Bahkan jika  fenmena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.

“Misalkan, teman, terdapat sebuah pilar batu setinggi delapan meter.<1895> Empat meter tertanam di dalam tanah dan empat meter di atas tanah. Jika hujan badai yang kencang datang dari timur, hujan badai itu tidak akan mengguncangnya atau menggoyangnya, [405] mengayunnya, dan menggetarkannya;<1896> Jika hujan badai yang kencang datang dari barat … dari utara … dari selatan, hujan badai itu tidak akan mengguncangnya atau menggoyangnya, mengayunnya, dan menggetarkannya. Karena alasan apakah? Karena pilar batu itu tertanam dalam di dalam tanah dan tertanam dengan kokoh. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu terbebaskan dengan sempurna dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan penglihatan … Bahkan jika  fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #8 on: 28 August 2013, 11:43:44 PM »
27 (7) Permusuhan (1)

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ketika seorang siswa mulia telah melenyapkan lima bahaya dan permusuhan dan memiliki empat faktor memasuki-arus, maka ia dapat, jika ia menghendaki, menyatakan tentang dirinya: ‘Aku adalah seorang yang telah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; selesai dengan alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam tujuan, mengarah menuju pencerahan.’<1897> [406]

“Apakah lima bahaya dan permusuhan yang telah dilenyapkan itu? (1) Perumah tangga, seorang yang membunuh, dengan pembunuhan sebagai kondisi, menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang dan ia juga mengalami kesakitan pikiran dan kesedihan. Seorang yang menghindari pembunuhan tidak menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang dan juga ia tidak mengalami kesakitan pikiran dan kesedihan. Bagi seorang yang menghindari pembunuhan, bahaya dan permusuhan itu telah dilenyapkan.

(2) “Seorang yang mengambil apa yang tidak diberikan … (3) yang melakukan hubungan seksual yang salah … (4) yang berbohong … (5) yang meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dengan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan sebagai kondisi, menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang<1898> dan ia juga mengalami kesakitan pikiran dan kesedihan. Seorang yang menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tidak menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang dan juga ia tidak mengalami kesakitan pikiran dan kesedihan. Bagi seorang Seorang yang menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, bahaya dan permusuhan itu telah dilenyapkan.

“Ini adalah kelima bahaya dan permusuhan itu yang telah dilenyapkan.

“Dan apakah empat faktor memasuki-arus yang ia miliki? (6) Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ (7) Ia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ (8 ) ) Ia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, [407] mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ (9) Ia perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini adalah empat faktor memasuki-arus yang ia miliki.

“Perumah tangga, ketika seorang siswa mulia telah melenyapkan kelima bahaya dan permusuhan ini dan memiliki keempat faktor memasuki-arus ini, maka ia dapat, jika ia menghendaki, menyatakan tentang dirinya: ‘Aku adalah seorang yang telah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; selesai dengan alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam tujuan, mengarah menuju pencerahan.’

28 (8 ) Permusuhan (2)

[Identik dengan 9:27, tetapi dibabarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu.] [408]

29 (9) Kekesalan (1)

“Para bhikkhu, ada sembilan dasar bagi kekesalan ini. Apakah sembilan ini? (1) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (2) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (3) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (4) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (5) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (6) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (7) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (8 ) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (9) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. Ini, para bhikkhu, adalah kesembilan dasar bagi kekesalan itu.”

30 (10) Kekesalan (2)

“Para bhikkhu, ada sembilan cara ini untuk melenyapkan kekesalan. Apakah sembilan ini? (1) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’<1899>  seseorang melenyapkan kekesalan. (2) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (3) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (4) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (5) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. [409] (6) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (7) [Dengan berpikir:] ‘Ia telah bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (8 ) [Dengan berpikir:] ‘Ia sedang bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (9) [Dengan berpikir:] ‘Ia akan bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. Ini, para bhikkhu, adalah kesembilan cara itu untuk melenyapkan kekesalan.”

31 (11) Pelenyapan Bertahap

“Para bhikkhu, ada sembilan pelenyapan bertahap ini.<1900> Apakah sembilan ini? (1) Bagi seorang yang telah mencapai jhāna pertama, persepsi indriawi telah lenyap. (2) Bagi seorang yang telah mencapai jhāna ke dua, pemikiran dan pemeriksaan telah lenyap. (3) Bagi seorang yang telah mencapai jhāna ke tiga, sukacita telah lenyap. (4) Bagi seorang yang telah mencapai jhāna ke empat, nafas-masuk dan nafas-keluar telah lenyap. (5) Bagi seorang yang telah mencapai landasan ruang tanpa batas, persepsi bentuk telah lenyap.<1901> (6) Bagi seorang yang telah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, persepsi yang berhubungan dengan landasan ruang tanpa batas telah lenyap. (7) Bagi seorang yang telah mencapai landasan kekosongan, persepsi yang berhubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas telah lenyap. (8 ) Bagi seorang yang telah mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, persepsi yang berhubungan dengan landasan kekosongan telah lenyap. (9) Bagi seorang yang telah mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, persepsi dan perasaan telah lenyap. Ini, para bhikkhu, adalah sembilan pelenyapan bertahap.” [410]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #9 on: 28 August 2013, 11:44:07 PM »
IV. BAB BESAR

32 (1) Keberdiaman (1)

“Para bhikkhu, ada sembilan keberdiaman bertahap ini.<1902> Apakah sembilan ini? (1) Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. (2) Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. (3) Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ (4) Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

(5) Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. (6) Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. (7) Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. (8 ) Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. (9) Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Ini, para bhikkhu, adalah kesembilan keberdiaman bertahap itu.”

33 (2) Keberdiaman (2)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan tentang pencapaian sembilan keberdiaman bertahap ini.<1903> Dengarkan … Dan apakah, para bhikkhu, pencapaian sembilan keberdiaman bertahap itu?

(1) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana kenikmatan-kenikmatan indria lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan-kenikmatan indria: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan; [411] mereka telah menyeberang<1904> dan melampaui dalam aspek tersebut.’<1905> Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah kenikmatan-kenikmatan indria lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan-kenikmatan indria? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Itu adalah di mana kenikmatan-kenikmatan indria lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan-kenikmatan indria.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(2) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana pemikiran dan pemeriksaan lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri pemikiran dan pemeriksaan: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah pemikiran dan pemeriksaan lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri pemikiran dan pemeriksaan? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua  … Itu adalah di mana pemikiran dan pemeriksaan lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri pemikiran dan pemeriksaan.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(3) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana sukacita lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri sukacita: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah sukacita lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri sukacita? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan memudarnya sukacita …  ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Itu adalah di mana sukacita lenyap dan mereka adalah orang-orang [412] yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri sukacita.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(4) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan:<1906> ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Itu adalah di mana kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(5) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana persepsi bentuk-bentuk lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi bentuk-bentuk:<1907> ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah persepsi bentuk-bentuk lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi bentuk-bentuk? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Itu adalah di mana persepsi bentuk-bentuk lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi bentuk-bentuk.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka. [413]

(6) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana persepsi landasan ruang tanpa batas lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan ruang tanpa batas: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah persepsi landasan ruang tanpa batas lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan ruang tanpa batas? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Itu adalah di mana persepsi landasan ruang tanpa batas lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan ruang tanpa batas.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(7) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana persepsi landasan kesadaran tanpa batas lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kesadaran tanpa batas: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah persepsi landasan kesadaran tanpa batas lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kesadaran tanpa batas? Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Itu adalah di mana persepsi landasan kesadaran tanpa batas lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kesadaran tanpa batas.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(8 ) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana persepsi landasan kekosongan lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kekosongan: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah persepsi landasan kekosongan lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kekosongan? [414] Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Itu adalah di mana persepsi landasan kekosongan lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan kekosongan.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

(9) “aku katakan tentang [keadaan itu] di mana persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi lenyap dan tentang mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ‘Tentu saja, para mulia itu tidak lapar dan telah terpuaskan;  mereka telah menyeberang dan melampaui dalam aspek tersebut.’ Jika seseorang mengatakan: ‘Di manakah persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi lenyap? Dan siapakah mereka yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi?  Aku tidak mengetahui ini, aku tidak melihat ini,’ maka ia harus diberitahu: ‘Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Itu adalah di mana persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi lenyap dan mereka adalah orang-orang yang berdiam setelah sepenuhnya mengakhiri persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Tentu saja, para bhikkhu, seorang yang tidak licik atau munafik akan senang dan gembira dalam pernyataan ini, dengan mengatakan: ‘Bagus!’ Setelah melakukan itu, dengan bersujud memberi hormat, ia harus melayani mereka.

“Ini, para bhikkhu, adalah pencapaian sembilan keberdiaman bertahap.”

34 (3) Nibbāna

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, taman suaka tupai. Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Nibbāna ini, teman-teman, adalah kebahagiaan. Nibbāna ini, teman-teman, adalah kebahagiaan. “

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī<1908> berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: [415] “Tetapi, teman Sāriputta, kebahagiaan apakah yang ada di sana jika tidak ada yang dirasakan di sana?”

“Persis inilah, teman, kebahagiaan itu di sini, yaitu tidak ada apa pun yang dirasakan di sini.

“Ada, teman-teman, lima objek kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Segala kenikmatan atau kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima objek kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria.

(1) “Di sini, teman-teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula jika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Tetapi Sang Bhagavā telah menyebutkan kesengsaraan itu sebagai penderitaan. Dengan cara ini dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.<1909>

(2) “Kemudian, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan pemikiran [416] muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula jika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan pemikiran muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Tetapi Sang Bhagavā telah menyebutkan kesengsaraan itu sebagai penderitaan. Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(3) “Kemudian, dengan memudarnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan sukacita muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan ... Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(4) “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan<1910> muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan ... Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(5) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan bentuk-bentuk muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan ... [417] … Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(6) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan … Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(7) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kesadaran tanpa batas muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan … Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.

(8 ) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Jika, sewaktu bhikkhu itu sedang berdiam demikian, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kekosongan muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula jika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan kekosongan muncul padanya, maka ia merasakannya sebagai kesengsaraan. Tetapi Sang Bhagavā telah menyebutkan kesengsaraan itu sebagai penderitaan. Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan. [418]

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Dengan cara ini juga, dapat dipahami bagaimana nibbāna adalah kebahagiaan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #10 on: 28 August 2013, 11:44:30 PM »
35 (4) Sapi

“Misalkan, para bhikkhu, ada seekor sapi gunung yang dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.<1911> Ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Ia akan melangkahkan kaki depannya, dan selagi kaki depannya belum kokoh, ia mengangkat kaki belakangnya. Ia tidak akan bisa pergi ke wilayah di mana ia belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah ia makan sebelumnya, meminum air yang belum pernah ia minum sebelumnya; dan ia tidak akan bisa kembali dengan selamat ke wilayah di mana ia menetap ketika ia berpikir: : ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Karena alasan apakah? Karena sapi gunung  itu dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

“Demikian pula, seorang bhikkhu di sini adalah dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil, ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Ia tidak menekuni objek itu,<1912> tidak mengembangkan dan melatihnya, tidak berfokus padanya dengan baik.

“Ia berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua [419] …’ Tetapi ia tidak dapat masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Kemudian ia berpikir: dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna pertama …’ Tetapi ia tidak dapat masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang telah tergelincir dari keduanya.<1913> Terjatuh dari keduanya. Ia persis seperti sapi gunung yang dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

“Misalkan, para bhikkhu, ada seekor sapi gunung yang bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil dalam berjalan di pegunungan kasar. Ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Ketika ia melangkahkan kaki depannya, ia akan menjejakkannya dengan kokoh, kemudian ia mengangkat kaki belakangnya. Ia akan bisa pergi ke wilayah di mana ia belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah ia makan sebelumnya, meminum air yang belum pernah ia minum sebelumnya; dan ia akan kembali dengan selamat ke wilayah di mana ia menetap ketika ia berpikir: : ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Karena alasan apakah? Karena sapi gunung  itu bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

(1) “Demikian pula, seorang bhikkhu di sini bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama …  Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(2) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …’ Dengan tidak melukai<1914> jhāna ke dua, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(3) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan memudarnya sukacita [420] … aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …’ Dengan tidak melukai jhāna ke tiga, dengan memudarnya sukacita ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(4)  “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …’ Dengan tidak melukai jhāna ke empat, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(5) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] “ruang adalah tanpa batas,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.’ Dengan tidak melukai landasan ruang tanpa batas, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk … ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(6) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “kesadaran adalah tanpa batas,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.’ Dengan tidak melukai landasan kesadaran tanpa batas, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas … ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(7) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “tidak ada apa-apa,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.’ Dengan tidak melukai landasan kekosongan, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas … ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(8 ) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, aku akan masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Dengan tidak melukai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, [421] dan berfokus padanya dengan baik.

(9) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, aku akan masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.’ Dengan tidak melukai lenyapnya persepsi dan perasaan, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu masuk dan keluar dari tiap-tiap pencapaian meditatif ini, pikirannya menjadi lunak dan lentur. Dengan pikiran yang lunak dan lentur, konsentrasinya menjadi tanpa batas dan terkembang dengan baik. Dengan konsentrasi yang tanpa batas dan terkembang dengan baik, keadaan apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung dengan mengarahkan pikirannya untuk merealisasikannya, ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, aku menjadi banyak … [di sini dan di bawah lengkap seperti pada 6:2] … semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku memahami pikian makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai. [422]

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau … dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, setelah merealisasikannya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

36 (5) Jhāna

(1) “Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama. (2) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke dua. (3) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke tiga. (4) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke empat. (5) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas. (6) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas. (7) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kekosongan. (8 ) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. (9) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada lenyapnya persepsi dan perasaan.

(1) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, bisul, anak panah, kemalangan, kesengsaraan, makhluk asing, kehancuran, [423] kosong, dan tanpa-diri.<1915> Ia mengalihkan pikirannya dari fenomena-fenomena itu dan mengarahkannya pada elemen keabadian sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, diamnya segala aktivitas, terlepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’<1916> Jika ia kokoh pada hal ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma, karena bersenang dalam Dhamma,<1917> maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar,<1918> demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. [424]

“Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(2)-(4) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat …

[425] “Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna ke empat,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(5) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] “ruang adalah tanpa batas,” seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran<1919> sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, bisul, anak panah, kesengsaraan, kemalangan, makhluk asing, kehancuran, kosong, dan tanpa-diri. Ia mengalihkan pikirannya dari fenomena-fenomena itu dan mengarahkannya pada elemen keabadian sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, diamnya segala aktivitas, terlepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Jika ia kokoh pada hal ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma, karena bersenang dalam Dhamma, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar, demikian pula, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk … seorang bhikkhu masuk dan berdiam landasan ruang tanpa batas. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(6)-(7) “Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? [426] Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar, demikian pula, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas … seorang bhikkhu masuk dan berdiam landasan kekosongan. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

 “Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada landasan kekosongan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.<1920>

(8 )-(9) “Demikianlah, para bhikkhu, ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi. Tetapi kedua landasan ini – landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan lenyapnya persepsi dan perasaan – Aku katakan harus dijelaskan melalui para bhikkhu yang bermeditasi yang terampil dalam hal pencapaian-pencapaian dan terampil dalam hal keluar dari pencapaian-pencapaian itu setelah mereka mencapainya dan keluar dari sana.”<1921>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #11 on: 28 August 2013, 11:45:09 PM »
37 (6) Ānanda

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan:<1922> demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi keberhasilan metode, demi merealisasikan nibbāna.<1923> (1) Mata itu sendiri serta bentuk-bentuk itu sebenarnya akan ada, [427] namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu.<1924> (2) Telinga itu sendiri serta suara-suara sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (3) Hidung itu sendiri serta bau-bauan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (4) Lidah itu sendiri serta rasa-rasa kecapan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (5) Badan  itu sendiri serta objek-objek sentuhan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Apakah, teman Ānanda, ketika seseorang sebenarnya berpersepsi atau ketika seseorang tidak berpersepsi maka ia tidak mengalami landasan itu.”

“Adalah, teman, ketika seseorang sebenarnya berpersepsi maka ia tidak mengalami landasan itu, bukan ketika ia tidak berpersepsi.”

(6) “Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.

(7) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “kesadaran adalah tanpa batas,” seorang bhikkhu  masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.’ Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.

(8 ) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “tidak ada apa-apa,” seorang bhikkhu  masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.’ Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.<1925>

“suatu ketika, teman, aku sedang menetap di Sāketa di taman rusa Hutan Añjana. Kemudian Bhikkhunī Jaṭilagāhiya<1926> [428] mendatangiku, bersujud kepadaku, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhante Ānanda, konsentrasi itu yang tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang,<1927> dan yang tidak dikekang dan dilawan dengan menekan [kekotoran-kekotoran itu] secara paksa<1928> - dengan terbebaskan, maka konsentrasi itu menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, maka ia menjadi puas; dengan menjadi puas, maka ia tidak bergejolak.<1929> Bhante Ānanda, apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā tentang buah dari konsentrasi ini?<1930>

(9) “Ketika ia menanyakan ini kepadaku, aku menjawab: ‘Saudari, konsentrasi itu yang tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang, dan yang tidak dikekang dan dilawan dengan menekan [kekotoran-kekotoran itu] secara paksa - dengan terbebaskan, maka konsentrasi itu menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, maka ia menjadi puas; dengan menjadi puas, maka ia tidak bergejolak. Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya.’<1931> Ketika seseorang berpersepsi demikian juga, teman, maka ia tidak mengalami landasan itu.”

38 (7) Brahmana

Dua brahmana ahli kosmologi<1932> mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, Pūraṇa Kassapa mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai tidak  terbatas.’ [429] Tetapi Nigaṇṭha Nātaputta juga mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai terbatas.’<1933> Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?”

“Cukup, brahmana, biarkanlah: ‘Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” para brahmana itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Misalkan, brahmana, ada empat orang yang berdiri di empat penjuru memiliki gerakan<1934> dan kecepatan yang luar biasa dan langkah yang luar biasa. Kecepatan mereka bagaikan kecepatan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemahan dengan busur yang kuat – seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman<1935> - menembus bayanan pohon palem. Langkah mereka sedemikian sehingga dapat menjangkau dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian orang yang berdiri di arah timur berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia.<1936> [430] Kemudian orang yang berdiri di arah barat berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah utara berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah selatan berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia. Karena alasan apakah? Aku katakan, brahmana, bahwa dengan berlari<1937> seperti ini seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai ujung dunia. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai ujung dunia maka tidak akan dapat mengakhiri penderitaan.

“Lima objek kenikmatan indria ini, brahmana, disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Kelima objek kenikmatan indria ini disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia.

(1) “Di sini, brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ [431]

(2)-(4) “Kemudian, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(5) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(6)-(8 ) ‘Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ini disebut seorang bhikkhu yang, [432] setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia, seorang yang telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”

39 (8 ) Para Deva

“Para bhikkhu, di masa lampau sebuah peperangan terjadi antara para deva dan para asura. Dalam peperangan itu, para asura menang dan para deva kalah. Karena kalah, para deva melarikan diri ke utara, dikejar oleh para asura. Kemudian para deva berpikir: ‘Para asura masih mengejar kita. Mari kita melawan mereka dalam peperangan untuk ke dua kalinya.’ Untuk ke dua kalinya para deva berperang melawan para asura, dan untuk ke dua kalinya para asura menang dan para deva kalah. Karena kalah, para deva<1938> melarikan diri ke utara, dikejar oleh para asura. Kemudian para deva berpikir: ‘Para asura masih mengejar kita. Mari kita melawan mereka dalam peperangan untuk ke tiga kalinya.’ Untuk ke tiga kalinya para deva berperang melawan para asura, dan untuk ke tiga kalinya para asura menang dan para deva kalah. Karena kalah dan ketakutan, para deva memasuki kota mereka.

“Setelah para deva memasuki kota mereka, mereka berpikir: ‘Sekarang kami [433] aman dari bahaya dan para asura tidak dapat melakukan apa pun pada kami.’ Para asura juga berpikir: ‘Sekarang para deva aman dari bahaya dan kami tidak dapat melakukan apa pun pada mereka.’

“Di masa lampau, para bhikkhu, sebuah peperangan terjadi antara para deva dan para asura. Dalam peperangan itu, para deva menang dan para asura kalah. Karena kalah, para asura melarikan diri ke selatan, dikejar oleh para deva. Kemudian para asura berpikir: ‘Para deva masih mengejar kita. Mari kita melawan mereka dalam peperangan untuk ke dua kalinya.’ Untuk ke dua kalinya para asura berperang melawan para deva, dan untuk ke dua kalinya para deva menang dan para deva asura. Karena kalah, para asura melarikan diri ke selatan, dikejar oleh para deva. Kemudian para asura berpikir: ‘Para deva masih mengejar kita. Mari kita melawan mereka dalam peperangan untuk ke tiga kalinya.’ Untuk ke tiga kalinya para asura berperang melawan para deva, dan untuk ke tiga kalinya para deva menang dan para asura kalah. Karena kalah dan ketakutan, para asura memasuki kota mereka.

“Setelah para asura memasuki kota mereka, mereka berpikir: ‘Sekarang kami aman dari bahaya dan para deva tidak dapat melakukan apa pun pada kami.’ Para deva juga berpikir: ‘Sekarang para asura aman dari bahaya dan kami tidak dapat melakukan apa pun pada mereka.’
 
(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … pada saat itu bhikkhu itu berpikir: ‘Sekarang aku aman dari bahaya [434] dan Māra tidak dapat melakukan apa pun padaku.’ Māra Sang Jahat juga berpikir: ‘Sekarang bhikkhu itu aman dari bahaya dan aku tidak dapat melakukan apa pun padanya.’

(2)-(4) “Ketika, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … pada saat itu bhikkhu itu berpikir: ‘Sekarang aku aman dari bahaya [434] dan Māra tidak dapat melakukan apa pun padaku.’ Māra Sang Jahat juga berpikir: ‘Sekarang bhikkhu itu aman dari bahaya dan aku tidak dapat melakukan apa pun padanya.’

(5) “Ketika, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas, pada saat itu ia disebut seorang bhikkhu yang telah membutakan Māra,<1939> mencabut mata Māra tanpa jejak,<1940> dan melampaui penglihatan Sang Jahat.

(6)-(9) “Ketika, para bhikkhu, sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi … Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Seseorang masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan, pada saat itu ia disebut seorang bhikkhu yang telah membutakan Māra, mencabut mata Māra tanpa jejak, melampaui penglihatan Sang Jahat, dan menyeberangi kemelekatan pada dunia.” [435]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #12 on: 28 August 2013, 11:45:57 PM »
40 (9) Gajah Besar

“Para bhikkhu ketika seekor gajah besar penghuni hutan berjalan menuju tanah tempat makannya, dan gajah-gajah lainnya – gajah-gajah jantan, betina, yang muda,<1941> dan bayi-bayi gajah – mendahuluinya dan mematahkan pucuk-pucuk rerumputan, gajah besar itu menjadi muak, malu, dan jijik dengan hal ini. ketika seekor gajah besar penghuni hutan berjalan menuju tanah tempat makannya, dan gajah-gajah lainnya – gajah-gajah jantan, betina, yang muda, dan bayi-bayi gajah – memakan lengkungan ranting dan memelintir serumpun dahan, gajah besar itu menjadi muak, malu, dan jijik dengan hal ini. Ketika gajah besar penghuni hutan memasuki kolam dan dan gajah-gajah lainnya – gajah-gajah jantan, betina, yang muda, dan bayi-bayi gajah – mendahuluinya dan mengaduk air dengan belalai mereka, gajah besar itu menjadi muak, malu, dan jijik dengan hal ini. Ketika gajah besar penghuni hutan keluar dari kolam dan gajah-gajah betina menggosok tubuhnya, gajah besar penghuni itu menjadi muak, malu, dan jijik dengan hal ini.

“Pada saat itu gajah besar penghuni hutan itu berpikir: ‘Aku sekarang berdiam dengan dikelilingi oleh gajah-gajah lain: gajah-gajah jantan, betina, yang muda, dan bayi-bayi gajah. Aku makan rumput dengan pucuk patah; dan mereka memakan lengkungan ranting yang kutarik dan memelintir rumpun dahan. Aku meminum air keruh, dan ketika aku keluar dari kolam, gajah-gajah betina menggosok tubuhku. Biarlah aku berdiam sendirian, terasing dari kelompok itu.’

“Beberapa waktu kemudian ia berdiam sendirian, terasing dari kelompok itu. Ia memakan rumput tanpa pucuk yang patah; mereka tidak memakan lengkungan rantingnya dan tidak memelintir [436] rumpun dahan; ia meminum air jernih; dan ketika ia keluar dari kolam, gajah-gajah betina tidak menggosok tubuhnya. Pada saat itu gajah besar penghuni hutan itu berpikir: ‘Di masa lalu aku berdiam dengan dikelilingi oleh gajah-gajah lain … dan ketika aku keluar dari kolam, gajah-gajah betina menggosok tubuhku. Tetapi sekarang aku berdiam sendirian, terasing dari kelompok. memakan rumput tanpa pucuk yang patah; mereka tidak memakan lengkungan rantingku dan tidak memelintir rumpun dahan; aku meminum air jernih; dan ketika aku keluar dari kolam, gajah-gajah betina tidak menggosok tubuhku.’ Setelah mematahkan serumpun dahan dengan belalainya, setelah menggosok tubuhnya dengan dahan itu, ia dengan bahagia melegakan rasa gatalnya.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu berdiam dengan dikelilingi oleh para bhikkhu, bhikkhunī, umat-umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan murid-murid mereka, pada saat itu ia berpikir: ‘Aku sekarang berdiam dengan dikelilingi oleh para bhikkhu, bhikkhunī, umat-umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan murid-murid mereka. Biarlah aku berdiam sendirian, terasing dari kumpulan.’

“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, [437] bawah pohon, gunung, jurang, gua di pegunungan, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Di hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di pegunungan, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami, ia duduk bersila, menegakkan tubuh, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasih  demi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam dengan terbebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran yang damai di dalam; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan; setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tidak bingung sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

(1) “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran, hal-hal yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … dengan gembira ia melegakan rasa gatalnya.

(2)-(4) “Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … dengan gembira ia melegakan rasa gatalnya.

(5) “Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Dengan gembira ia melegakan rasa gatalnya.

(6)-(9) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi … Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, [438] seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Dengan gembira ia melegakan rasa gatalnya.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #13 on: 28 August 2013, 11:46:25 PM »
41 (10) Tapussa

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Malla di dekat pemukiman Malla bernama Uruvelakappa.<1942> Kemudian pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Uruvelakappa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan di Uruvelakappa, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Engkau tetaplah di sini, Ānanda, sementara Aku memasuki Hutan Besar untuk melewatkan hari.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Besar dan duduk melewatkan hari di bawah sebatang pohon.

Kemudian perumah tangga Tapussa mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante Ānanda, kami adalah umat-umat awam yang menikmati kenikmatan indria, menyukai kenikmatan indria, bersenang dalam kenikmatan indria, dan bergembira dalam kenikmatan indria. Pelepasan keduniawian tampak seperti jurang bagi kami. Aku telah mendengar bahwa dalam Dhamma dan disiplin ini terdapat para bhikkhu yang sangat muda, yang pikirannya meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya,<1943> melihatnya<1944> sebagai damai. Pelepasan keduniawian, Bhante, adalah garis pembatas antara banyak orang dan para bhikkhu dalam Dhamma dan disiplin ini.”<1945> [439]

“Ini, perumah tangga, adalah topik yang harus kita tanyakan kepada Sang Bhagavā. Ayo, mari kita menemui Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Kita harus mengingat penjelasan dari Sang Bhagavā.”

“Baik, Bhante.” Perumah tangga Tapussa menjawab.

Kemudian Yang Mulia Ānanda, bersama dengan perumah tangga Tapussa, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, perumah tangga Tapussa ini berkata: ‘Bhante Ānanda, kami adalah umat-umat awam yang menikmati kenikmatan indria … [dan] pelepasan keduniawian tampak seperti jurang bagi kami … [Tetapi] terdapat para bhikkhu yang sangat muda, yang pikirannya … terbebaskan di dalamnya, melihatnya sebagai damai. Pelepasan keduniawian, Bhante, adalah garis pembatas antara banyak orang dan para bhikkhu dalam Dhamma dan disiplin ini.”

“Demikianlah, Ānanda! Demikianlah, Ānanda!<1946>

(1) “Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih hanya seorang bodhisatta, masih belum tercerahkan, Aku juga berpikir: ‘Pelepasan keduniawian adalah baik, kesendirian adalah baik.’ Namun pikiranku tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam kenikmatan indria dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian dan belum [440] menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(2) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiaadan pemikiran dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam pemikiran dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran [441] dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam pemikiran¬pemikiran, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam pemikiran-pemikiran, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian,<1947> Ānanda, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua .... Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan pemikiran muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan pemikiran muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(3) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan memudarnya sukacita … biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiaadan sukacita dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenang, kokoh, [442] dan terbebaskan di dalamnya, walaupun aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam sukacita dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam sukacita, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam sukacita, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan memudarnya sukacita … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga .... Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan sukacita muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan sukacita muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(4) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan, [443] Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat .... Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan muncul padaKu<1948> dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(5) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] “ruang adalah tanpa batas,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam bentuk-bentuk dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, [444] walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam bentuk-bentuk,  Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam bentuk-bentuk, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan bentuk-bentuk muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan bentuk-bentuk muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #14 on: 28 August 2013, 11:46:34 PM »
(6) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “kesadaran adalah tanpa batas,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas,  [445] Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(7) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] “tidak ada apa-apa,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa [446] pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kesadaran tanpa batas muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(8 ) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan kekosongan dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan kekosongan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ [447] Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan kekosongan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kekosongan muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(9) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranku tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku melatih [pandangan terang] itu; [448] dan setelah memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenang, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi,’ Aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodaKu sepenuhnya dihancurkan.

“Selama, Ānanda, Aku belum mencapai dan keluar dari sembilan pencapaian keberdiaman bertahap ini dalam urutan maju dan urutan mundur, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah mencapai dan keluar dari pencapaian keberdiaman bertahap ini dalam urutan maju dan urutan mundur, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu. ‘Kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.’” [449]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #15 on: 28 August 2013, 11:47:01 PM »
V. KEMIRIPAN<1949>

42 (1) Kurungan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Udāyī mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Ini dikatakan, teman, oleh deva muda Pañcālacaṇḍa:

   “Sang bijaksana, sapi pemimpin yang terasing,
   Sang Buddha yang tercerahkan pada jhāna,
   Seorang dengan Kebijaksanaan Luas telah menemukan
   Bukaan di tengah-tengah kurungan.’<1950>

“Apakah, teman, yang telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā sebagai kurungan dan apakah pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan?”<1951>

“Sang Bhagavā, teman, telah membabarkan kelima objek kenikmatan indria ini sebagai kurungan. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Sang Bhagavā telah membabarkan kelima objek kenikmatan indria ini sebagai kurungan.

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara.<1952> Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? [450] pemikiran dan pemeriksaan apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(2) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Sukacita apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.
 
(3) “Kemudian, teman, dengan memudarnya sukacita … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana?  Kenikmatan apa pun [yang berhubungan dengan] keseimbangan yang belum lenyap adalah kurungan dalam hal ini.

(4) “Kemudian, teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … … Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi bentuk apa pun<1953> yang belum lenyap adalah kurungan dalam hal ini.
 
(5) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan ruang tanpa batas apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.
 
(6) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu [451] masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan kesadaran tanpa batas apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(7) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan kekosongan apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna sementara. Di sana juga, terdapat kurungan. Dan apakah kurungan di sana? Persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi apa pun yang belum lenyap di sana adalah kurungan dalam hal ini.

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan dalam makna bukan-sementara.”<1954>

43 (2) Saksi Tubuh

“Dikatakan, teman, ‘seorang saksi tubuh, seorang saksi tubuh.’<1955> Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang saksi tubuh?”

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai].<1956> Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara. [452]

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna bukan-sementara.”<1957>

44 (3) Kebijaksanaan

“Dikatakan, teman, ‘terbebaskan melalui kebijaksanaan, terbebaskan melalui kebijaksanaan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan?”<1958>

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara. [453]

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna bukan-sementara.”

45 (4) Kedua Aspek

“Dikatakan, teman, ‘terbebaskan dalam kedua aspek, terbebaskan dalam kedua aspek.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek?”

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(5)-(8 ) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna sementara.

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai], dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan, dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan dalam kedua aspek dalam makna bukan-sementara.”

46 (5) Terlihat Langsung (1)

“Dikatakan, teman, ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang Dhamma yang terlihat langsung dalam makna bukan-sementara.”

47 (6) Terlihat Langsung (5)

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna yang terlihat langsung, nibbāna yang terlihat langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna yang terlihat langsung dalam makna bukan-sementara.” [454]

48 (7) Nibbāna

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna, nibbāna.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

49 (8 ) Nibbāna Akhir

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna akhir, nibbāna akhir.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

50 (9) Aspek Tertentu

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna dalam aspek tertentu, nibbāna dalam aspek tertentu.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:47]

51 (10) Dalam Kehidupan Ini

“Dikatakan, teman, ‘nibbāna dalam kehidupan ini, nibbāna dalam kehidupan ini.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang nibbāna dalam kehidupan ini dalam makna bukan-sementara.” [455]



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #16 on: 28 August 2013, 11:48:17 PM »
LIMA PULUH KE DUA

I. KEAMANAN

52 (1) Keamanan (1)

“Dikatakan, teman, ‘keamanan, keamanan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang keamanan?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang keamanan dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang keamanan dalam makna bukan-sementara.”

53 (2) Keamanan (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai keamanan, seorang yang telah mencapai keamanan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang telah mencapai keamanan?”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

54 (3) Keabadian (1)

“Dikatakan, teman, ‘keabadian, keabadian.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

55 (4) Keabadian (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai keabadian, seorang yang telah mencapai keabadian.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

56 (5) Ketanpa-takutan (1)

“Dikatakan, teman, ‘ketanpa-takutan, ketanpa-takutan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

57 (6) Ketanpa-takutan (2)

“Dikatakan, teman, ‘seorang yang telah mencapai ketanpa-takutan, seorang yang telah mencapai ketanpa-takutan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

57 (7) Ketenangan (1)

“Dikatakan, teman, ‘ketenangan, ketenangan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

58 (7) Ketenangan (2)

“Dikatakan, teman, ‘ketenangan bertahap, ketenangan bertahap.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.] [456]

59 (9) Pelenyapan

“Dikatakan, teman, ‘pelenyapan, pelenyapan.’ …”

[Dijelaskan seperti pada 9:52.]

61 (10) Pelenyapan Bertahap


“Dikatakan, teman, ‘pelenyapan bertahap, pelenyapan bertahap.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang pelenyapan bertahap?”

(1)-(8 ) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang pelenyapan bertahap dalam makna sementara …

 (9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang pelenyapan bertahap dalam makna bukan-sementara.”

62 (11) Mungkin dan Tidak Mungkin

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan sembilan hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sembilan ini? Nafsu, kebencian, delusi, kemarahan, permusuhan, sikap merendahkan, iri-hati, dan kekikiran. Tanpa meninggalkan kesembilan hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan sembilan hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sembilan ini? Nafsu, kebencian, delusi, kemarahan, permusuhan, sikap merendahkan, sikap kurang ajaran, iri-hati, dan kekikiran. Setelah meninggalkan kesembilan hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.” [457]

II. PENEGAKAN PERHATIAN

63 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini.<1959> Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat penegakan perhatian harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan dalam latihan ini. Apakah empat ini? Di sini, (6) seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (7) Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … (8 ) … pikiran dalam pikiran … (9) fenomena-fenomena dalam fenomena-fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan dalam latihan ini.”

64 (2) Rintangan

“Para bhikkhu, ada lima rintangan ini. Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan ketumpulan [458] dan kantuk, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah kelima rintangan itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima rintangan ini.”

65 (3) Kenikmatan Indria

“Para bhikkhu, ada lima objek kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Ini adalah kelima objek kenikmatan indria itu… Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima rintangan ini.”

66 (4) Kelompok-Kelompok Unsur Kehidupan

“Para bhikkhu, ada lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini. Apakah lima ini? Kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur aktivitas-aktivitas berkehendak yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. [459] Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini.”

67 (5) Belenggu-Belenggu yang Lebih Rendah

“Para bhikkhu, ada lima belenggu yang lebih rendah ini. Apakah lima ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, keinginan indria, dan niat buruk. Ini adalah kelima belenggu yang lebih rendah itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini.”

68 (6) Alam Tujuan Kelahiran

“Para bhikkhu, ada lima alam tujuan kelahiran ini. Apakah lima ini? Neraka, alam binatang, alam hantu menderita, manusia, dan para deva. Ini adalah kelima alam tujuan kelahiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima alam tujuan kelahiran ini

69 (7) Kekikiran

“Para bhikku, ada lima jenis kekikiran ini. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Ini adalah kelima jenis kekikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis kekikiran ini.” [460]

70 (8 ) Belenggu-Belenggu yang Lebih Tinggi

“Para bhikkhu, ada lima belenggu yang lebih tinggi ini. Apakah lima ini? Nafsu pada bentuk, nafsu pada tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, dan ketidak-tahuan. Ini adalah kelima belenggu yang lebih tinggi itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis belenggu yang lebih tinggi ini.”

71 (9) Kemandulan Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima jenis kemandulan pikiran ini. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bimbang terhadap Sang Guru, ragu-ragu terhadap Beliau, tidak percaya pada Beliau dan tidak berkeyakinan pada Beliau. Ketika seorang bhikkhu bimbang terhadap Sang Guru, ragu-ragu terhadap Beliau, tidak percaya pada Beliau dan tidak berkeyakinan pada Beliau, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis pertama kemandulan pikiran.

(2)-(5) “Kemudian, seorang bhikkhu bimbang terhadap Dhamma … bimbang terhadap Saṅgha … bimbang terhadap latihan … menjadi jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, agresif terhadap mereka, bersikap buruk pada mereka. Ketika seorang bhikkhu menjadi jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, agresif terhadap mereka, bersikap buruk pada mereka, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke lima kemandulan pikiran.

“Ini adalah kelima jenis kemandulan pikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima jenis belenggu yang lebih tin kemandulan pikiran ini.” [461]

72 (10) Ikatan

“Para bhikkhu, ada lima ikatan pikiran ini. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke pertama ikatan pikiran.

(2)-(5) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada jasmani … Ia tidak tidak hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, kehausan, kegemaran, dan ketagihan pada bentuk … Setelah makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya penuh, ia menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur … Ia menjalani kehidupan spiritual dengan beraspirasi untuk [terlahir kembali dalam] kelompok para deva tertentu, [dengan berpikir]: ‘Dengan perilaku bermoral ini, pelaksanaan ini, pertapaan keras ini, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi deva atau salah satu [di antara para pengikut] para deva. Ketika ia menjalani kehidupan spiritual dengan beraspirasi untuk [terlahir kembali dalam] kelompok para deva tertentu … pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, kegigihan, dan berjuang. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan berjuang, ini adalah jenis ke lima ikatan pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima ikatan pikiran itu … Keempat penegakan perhatian ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima ikatan pikiran itu.” [462]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #17 on: 28 August 2013, 11:48:46 PM »
III. USAHA BENAR

73 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini. Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat usaha benar harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini. Apakah empat ini? Di sini, (6) seorang bhikkhu mengerahkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (7) Ia mengerahkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (8 ) Ia mengerahkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (9) Ia mengerahkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Keempat usaha benar ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini.”

74 (2) – 82 (10) Rintangan, dan seterusnya

[Paralel dengan 9:64 – 9:72, tetapi diformulasikan melalui empat usaha benar.] [463]

IV. LANDASAN-LANDASAN KEKUATAN BATIN

83 (1) Latihan

“Para bhikkhu, ada lima halangan dalam latihan ini. Apakah lima ini? (1) Membunuh, (2) mengambil apa yang tidak diberikan, (3) hubungan seksual yang salah, (4) berbohong, dan (5) [melibatkan diri dalam] meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini adalah kelima halangan dalam latihan itu. Empat landasan kekuatan batin harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini. Apakah empat ini? [464] Di sini, (6) seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (7) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas berusaha. (8 ) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas berusaha. (9) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Keempat landasan kekuatan batin ini harus dikembangkan untuk meninggalkan kelima halangan ini.”

84 (2) – 92 (10) Rintangan, dan seterusnya

[Paralel dengan 9:64 – 9:72, tetapi diformulasikan melalui empat landasan kekuatan batin.] [465]

V. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<1960>

93 (1)<
1961>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka sembilan hal harus dikembangkan. Apakah sembilan ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, dan persepsi kebosanan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.”

94 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka sembilan hal harus dikembangkan. Apakah sembilan ini? Jhāna pertama, jhāna ke dua, jhāna ke tiga, jhāna ke empat, landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.”

95 (3) – 112 (20) <1962>

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka kesembilan hal harus dikembangkan.”

113 (21) – 432 (340)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … [466] demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka kesembilan hal ini harus dikembangkan.” <1963>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā



Buku Kelompok Sembilan selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #18 on: 28 August 2013, 11:56:34 PM »
  Catatan Kaki

<1821 > Ini adalah sembilan gabungan, diperoleh dengan menggabungkan lima penyebab terdekat dan empat subjek meditasi.

1822 > Keangkuhan “aku” (asmimāna) lebih halus daripada pandangan eksistensi-diri (sakkāyadiṭṭhi). Keduanya dilenyapkan melalui persepsi bukan-diri, tetapi sementara pemasuk-arus melenyapkan pandangan eksistensi-diri, hanya Arahant yang melenyapkan keangkuhan “aku.” Mengenai hal ini baca SN 22:89, III 130,8-131,31. Tampaknya pandangan eksistensi-diri memiliki penyokong konseptual yang lebih kuat daripada keangkuhan “aku,” yang lebih erat berhubungan dengan kebutuhan eksistensial dan oleh karena itu hanya dilenyapkan pada Kearahattaan.
1823 > Mp: “Jika karakteristik ketidak-kekalan terlihat, maka karakteristik tanpa-diri juga terlihat. Di antara ketiga karakteristik, jika salah satunya terlihat, maka dua lainnya juga terlihat. Demikianlah dikatakan: ‘Ketika seseorang mempersepsikan ketidak-kekalan, maka persepsi tanpa-diri menjadi stabil.’” Mp-ṭ yang mengomentari 9:3 mengatakan: “Seorang yang mempersepsikan ketidak-kekalan (aniccasaññino): seseorang yang mempersepsikan ketidak-kekalan melalui perenungan ketidak-kekalan, yang terjadi sebagai berikut: ‘Semua fenomena terkondisi adalah tidak kekal’ karena fenomena-fenomena itu muncul dan lenyap; karena rapuh; karena fenomena-fenomena itu bersifat sementara; dan karena fenomena-fenomena itu meniadakan kekekalan. Persepsi tanpa-diri menjadi stabil (anattasaññā saṇṭhāti): persepsi tanpa-diri yang terdapat dalam perenungan tanpa-diri, yang terjadi sebagai berikut: ‘Semua fenomena adalah tanpa-diri’ karena tanpa inti; karena kita tidak dapat menguasainya; dan karena fenomena-fenomena itu adalah makhluk asing, hampa, kopong, dan kosong. Persepsi ini menjadi stabil, kokoh ditegakkan dalam pikiran.”

1824 > Ini adalah sembilan campuran lainnya, diperoleh dengan menggabungkan lima pendukung dan empat pengandalan.

1825 > Nissayasampanno. Ungkapan ini muncul pada 3:20, tetapi dengan nuansa berbeda. Mp mengemas nissayasampanno di sini sebagai patiṭṭhāsampanno, “memiliki landasan,” yang merujuk pada kondisi pendukung untuk mencapai Kearahattaan.

1826 > Ini adalah lima kekuatan dari mereka yang masih berlatih (sekhabalānī) pada 5:1-2.

1827 > Taṃ hi’ssa bhikkhuno akusalaṃ pahīnaṃ hoti suppahīnaṃ, yaṃsa ariyāya paññāya disvā pahīnaṃ. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sementara empat meninggalkan yang sebelumnya bersifat tentatif dan dapat berbalik, meninggalkan yang diakibatkan oleh kebijaksanaan adalah permanen dan tidak dapat berbalik.

1828 > Empat ini terdapat di antara enam metode meninggalkan āsava yang dijelaskan pada 6:58. baca juga MN 2 di mana empat hal ini termasuk di antara tujuh metode meninggalkan āsava.

1829 > Sembilan campuran lainnya lagi, diperoleh dengan menggabungkan lima hal yang mengarah pada kematangan pikiran dan empat subjek meditasi, dengan tambahan kerangka narasi. Sutta ini juga ditemukan sebagai Ud 4.1, 34-37, dengan tambahan “ucapan inspiratif.”

1830 > Mp mengatakan bahwa Cālika adalah nama sebuah kota dan didekatnya terdapat sebuah gunung yang juga bernama Cālika. Mereka membangun sebuah vihara besar di sana dan Sang Bhagavā menetap di vihara itu, dengan disokong oleh kota itu.

1831 > Bersama Ce dan Be membaca āgacchatti, bukan seperti Ee dissatu, “terlihat.”

1832 > Sebenarnya, apa yang terjadi “untuk ke dua kalinya” hanyalah permohonan izin, bukan pernyataan lengkap. Mp: “Tidak ada lagi yang harus dilakukan (natthi kuñci uttaraṃ karanīyaṃ): karena keempat fungsi telah dilakukan sehubungan dengan keempat kebenaran. Dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan (katassa vā paṭicayo): tidak ada pengulangan atas apa yang telah Beliau capai. Karena jalan yang telah dikembangkan tidak dikembangkan lagi, dan tidak ada pengulangan meninggalkan kekotoran-kekotoran yang telah ditinggalkan.”

1833 > Mp: “Dalam lima ratus kehidupan berturut-turut ia adalah seorang raja. Di sana ada sebuah batu datar di mana ia bisanya duduk. Ia datang disertai oleh tiga barisan gadis penari untuk berekreasi di taman. Sejak saat Meghiya duduk di sana, sepertinya seolah-olah ia bukan lagi seorang bhikkhu melainkan seorang raja yang duduk di atas dipan agung di bawah payung putih, dikelilingi oleh para gadis penari. Ketika ia menikmati keagungannya, pikiran indriawi muncul padanya. Kemudian, ia seolah-olah melihat dua pencuri ditangkap oleh para pengawalnya dan dibawa ke hadapannya. Dalam memerintahkan agar salah satunya dieksekusi, pikiran berniat buruk muncul padanya; dan dalam memerintahkan yang lainnya agar dipenjara, pikiran mencelakai muncul. Demikianlah ia diselimuti oleh  pikiran-pikiran tidak bermanfaat itu bagaikan sebatang pohon diselimuti oleh tanaman rambat, atau bagaikan pemakan-madu diselimuti oleh lebah madu.”

1834 > Mp: “Kebebasan pikiarn (cetovimutti): kebebasan pikiran dari kekotoran. Dalam tahap persiapan praktik, pikiran terbebaskan dari kekotoran melalui [kebebasan dalam] aspek tertentu (tadaṅgavasena) dan melalui penekanan (vikkhambhanavasena). Dalam tahap selanjutnya, pikiran terbebaskan melalui pelenyapan (samucchedavasena) dan melalui penenangan (paṭipassadhivasena). Ketika watak telah dibangkitkan dan matang, pandangan terang memunculkan sang jalan, dan ketika pandangan terang mencapai kematangan, kebebasan pikiran dikatakan telah matang. Tetapi jika tidak ada maka dikatakan belum matang.

1835 > Ini adalah sembilan campuran lainnya lagi, yang diperoleh dengan menggabungkan empat atribut yang dijelaskan oleh Sang Buddha dan lima manfaat dalam mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat.

1836 > Ini dimulai seperti pada 8:71 tetapi berlanjut secara berbeda.

1837 > Be menuliskan cetosamādhissa di seluruh sutta, bukan seperti Ce dan Ee cetosamathassa.

1838 > Adhipaññādhammavipassanā, dikemas sebagai “pengetahuan pandangan terang yang memahami fenomena-fenomena terkondisi” (sankhārapariggāhakavipassanāñāṇa).

1839 > Di sini saya bersama dengan Ee membaca: tathā tathā’ssa satihā piyo ca hoti manāpo ca garu ca bhāvanīyo ca. Ce dan Be menuliskan tathā tathā so satthu … garu ca bhāvanīyo ca, yang berarti bahwa bhikkhu itu menjadi dihormati dan dihargai oleh Sang Buddha.

1840 > Tathā tathā so tasmiṃ dhamme atthapaṭisamvedī ca hoti dhammapaṭisaṃvedī ca; seperti pada 5:26, III 21-23. baca p.1724, catatan 990. anehnya, walaupun tema paragraf ini adalah manfaat mendengarkan dan mendiskusikan Dhamma, tetapi manfaat ke dua, ke tiga, dan ke empat (dan mungkin yang pertama juga) diperoleh oleh bhikkhu yang mengajarkan Dhamma.

1841 > Tathā tathā tasmiṃ dhamme gambhīram atthapadaṃ paññāya ativijjha passati. Baca p.1761, catatan 1346.

1842 >  Ini adalah sembilan campuran lainnya lagi, yang diperoleh dengan menggabungkan empat kekuatan dengan melampaui lima ketakutan.

1843 > Penjelasan “ketidak-memihakan” yang diberikan di sini mungkin membingungkan. Samānattatā adalah kata majemuk dari “sama” (samāna) dan “diri sendiri” (attan). Ketika diaplikasikan pada perilaku, ini berarti memperlakukan orang lain seperti yang ia ingin orang lain memperlakukan dirinya, tanpa berat sebelah atau keberpihakan. Di sini kata ini digunakan untuk mengungkapkan kesetaraan antara mereka yang berada pada empat tingkat pencerahan, semuanya dan dirinya sendiri.

1844 > Walaupun teks menggunakan subjek tunggal, tetapi saya menggunakan jamak, yang terdengar lebih wajar dalam Bahasa Inggris. Teks menggunakan bentuk masa depan yang sama, sevitabbaṃ (dan bentuk negatifnya, asevitabbaṃ), sehubungan dengan masing-masing subjek, tetapi saya menerjemahkannya secara berbeda setepat mungkin untuk tiap-tiap kasus. Kata kerja sevati, dari mana bentukan kata kerja itu didasarkan, memiliki makna yang luas dan dapat mendukung semua terjemahan ini.

,1845 > Rattibhāgaṃ va divasabhāgaṃ vā. Mp: “Setelah mengetahui [hal ini] pada waktu malam hari, ia harus pergi pada malam itu juga. Tetapi jika pada malam hari terdapat bahaya serangan binatang buas, dan sebagainya, ia boleh menunggu hingga fajar. Setelah mengetahui [hal ini] pada waktu siang hari, ia harus pergi pada siang  itu juga. Tetapi jika pada siang hari terdapat bahaya, maka ia boleh menunggu hingga matahari terbenam.”

1846 > Saya lebih menyukai Ee, yang tidak mencantumkan sankhā pi, “setelah merefleksikan,” dalam alternatif pertama. Ce dan Be keduanya mencantumkan saṅkhā pi pada tiga bagian pertama. Akan tetapi, tampaknya refleksi itu hanya diperlukan jika ada perlawanan antara keuntungan dan kerugian, seperti pada alternatif ke dua dan ke tiga. Karena alternatif pertama menyatakan kerugian materi dan spiritual dari menetap, maka pilihan yang seharusnya segera terlihat dan tidak memerlukan refleksi. MN 17, I 104-8, yang paralel sebagian dengan sutta ini, memberikan suatu perbandingan atas tulisan ini. MN 17.3 (dalam tulisan Ce, Be, dan Ee; Ee pada I 105,8-10) mendukung ketiadaan saṅkhā pi dalam teks AN dari Ee.

1847 > Di sini saya bersama dengan Ee membaca āpucchā, bukan seperti Ce dan Be anāpucchā. MN 17.4 dalam Ce dan Be menuliskan āpucchā, sedangkan Ee tidak menuliskan keduanya (pada I 105,28-29). Adalah selayaknya bagi seorang bhikkhu untuk berpamitan pada orang yang padanya ia bergantung – penahbis atau gurunya – karena orang itu setidaknya telah berbaik hati memberikan benda-benda kebutuhannya. Lebih jauh lagi, di sini penghilangan kata rattibhāgaṃ vā divasabhāgaṃ vā ,” kapan pun pada malam atau siang hari,” menyiratkan adanya perbedaan dalam cara untuk pergi.

1848 > Giribbaja, sebuah sebutan untuk Rājagaha, karena pegunungan yang mengelilinginya.

1849 > Abhabbo khīṇāsavo bhikkhu sikkhaṃ paccakkhātuṃ. Ini berarti, bahwa ia tidak mampu meninggalkan latihan monastik dan kembali ke kehidupan awam. Saya mengikuti tulisan Ce. Be dan Ee menuliskan empat hal terakhir dari 9:8 di sini, dan 9:8 pada kedua edisi itu mencantumkan empat hal terakhir dari sutta sekarang ini. Karena itu dalam Ee, halaman [371] jatuh dalam 9:8 versi Ce, mengikuti “jalan salah karena ketakutan.”

1850 > Gotrabhū. Dalam terjemahan Vism, di mana kata ini digunakan dalam makna teknis, Ñāṇamoli menerjemahkannya “perubahan-silsilah” (baca Vism 672-75, Ppn 22.1-14). Mp menjelaskan orang ini – menurut skema penafsiran komentar – sebagai “seorang dengan pikiran pandangan terang yang kuat yang telah mencapai puncaknya, kondisi terdekat bagi jalan memasuki-arus.” Mp di sini merujuk pada momen-pikiran gotrabhū dalam proses kognitif (cittavīthi) sang jalan, peristiwa pikiran yang persis sebelum sotāpattimaggacitta, momen-pikiran jalan memasuki-arus. Karena skema ini relatif belakangan dan mengasumsikan teori Abhidhamma atas proses kognitif, maka kemungkinan besar tidak mengungkapkan makna sebenarnya dari gotrabhū. Dalam Nikāya-Nikāya, kata ini jarang muncul. Dalam sutta sekarang ini tampaknya hanya bermakna seorang bhikkhu atau bhikkhunī yang bermoral yang belum mencapai jalan memasuki-arus. Kita menemukan bentuk jamak dalam MN 142.8, III 255,6-7: “Tetapi di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota suku, dengan [jubah] kuning di leher mereka, orang-orang tidak bermoral, berkarakter buruk” (bhavissanti kho pan’ānanda, anāgatamaddhānaṃ gotrabhuno kāsāvakaṇṭhā dussīlā pāpadhammā). Dalam paragraf ini kata ini bermakna negatif, yang merujuk pada mereka yang hanya menunjukkan ciri-ciri monastik luar tanpa kualitas-kualitas dalam yang selayaknya.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #19 on: 28 August 2013, 11:57:33 PM »
1851 > Mp mengemas āsajja sebagai ghaṭṭetvā, yang menyiratkan kekerasan fisik, dan appaṭinissaja sebagai akkhamāpetvā, “tanpa meminta maaf.” Mp melanjutkan: “Mengapa ia kesal [terhadap Sāriputta]? Dikatakan bahwa setelah sesepuh itu bersujud kepada Sang Buddha, ujung jubahnya mengenai tubuh bhikkhu tersebut ketika ia sedang berjalan … Karena ini bhikkhu itu menjadi kesal, jadi ketika ia melihat sesepuh itu pergi bersama dengan banyak pengikut, karena iri ia berpikir untuk menghalangi perjalanannya, demikianlah ia mengatakan itu.”

1852 > Mp menjelaskan bahwa jika Sang Buddha mencoba untuk membebaskan Sāriputta dari tuduhan, maka bhikkhu itu akan berpikir bahwa Sang Guru memihak siswa utamaNya dan tidak memihak bhikkhu junior; dengan demikian ia akan memendam kebencian terhadap Sang Buddha juga. Dengan memanggil Sāriputta dan menanyainya tentang persoalan itu, Sang Buddha menyerahkan kepada Sāriputta untuk membebaskan dirinya sendiri.

1853 > Khamāmahaṃ bhante tassa āyasmato sace maṃ so āyasmā evaṃ āha “khamatu ca me so āyasmā” ti. Saya memahami kalimat ini bahwa Sāriputta hanya mengatakan bahwa ia akan memaafkan bhikkhu penuduh itu jika ia meminta maaf padanya. Akan tetapi Mp menjelaskan kalimat itu sebaliknya: “Sesepuh [Sāriputta], setelah memaafkan bhikkhu itu atas pelanggarannya, meminta maaf kepadanya di hadapan Sang Buddha.” Penjelasan ini, tampaknya telah mempengaruhi terjemahan dalam Gradual Sayings: “Bhagavā, aku memaafkan yang mulia ini, jika ia mengatakannya kepadaku,dan semoga ia juga memaafkan aku” (4:252). Juga tercermin dalam NDB 233: “Aku akan memaafkannya, Bhagavā, jika yang mulia ini meminta maaf kepadaku. Dan semoga ia juga memaafkan aku.” Akan tetapi, teks itu sendiri tidak mengatakan apa pun tentang Sāriputta meminta maaf pada penuduhnya, karena ia tidak melakukan apa pun yang memerlukan maaf. Sāriputta tidak mengucapkan kata-kata ini kepada bhikkhu itu; ia mengatakan bahwa bhikkhu itu harus mengucapkan kata-kata ini kepadanya untuk mendapatkan maaf. Dengan kata lain, sejauh ini bhikkhu itu telah meminta maaf pada Sang Buddha, tidak pada Sāriputta. Prinsipnya, Sāriputta hanya dapat memaafkan bhikkhu itu jika bhikkhu itu meminta maaf padanya. Kata ca, “dan,” yang muncul dalam kalimat ini diucapkan oleh bhikkhu itu, mungkin bermakna “selain Sang Buddha, semoga Sāriputta juga memaafkan aku.”

1854 > Seperti pada 7:42.

1855 > Bersama Ce dan Be saya membaca (dua kali) ke ca, bukan seperti Ee keci.

1856 > Perbedaan antara sā-upādisesaṃ dan anupādisesaṃ. Mp mengemas kata-kata ini berturut-turut sebagai “sa-upādānasesaṃ, “dengan sisa yang tertinggal,” dan upādānasesarahitaṃ, “hampa dari sisa kemelekatan.” Baca 7:56, yang juga membicarakan tentang mereka dengan sisa tertinggal dan mereka yang tanpa sisa yang tertinggal.

1857 > Di mana pun Ce dan Be membaca mattasokārī, “berlatih hingga tingkat sekedarnya,” Ee menuliskan na paripūrakārī, “tidak memenuhi.”

1858 > Dhammapariyāyo pañhādhippāyena bhāsito. Mp: “Beliau menunjukkan: ‘Ini dibabarkan karena pertanyaan yang engkau ajukan.’ Tetapi untuk melenyapkan keinginan dan nafsu, Beliau membabarkan sutta: ‘Para bhikkhu, seperti halnya sedikit kotoran tinja adalah berbau busuk, demikian pula Aku tidak memuji sedikit penjelmaan, bahkan hanya selama sejentikan jari’ (1:328 ). Bukan hanya alam tujuan kesembilan orang ini adalah pasti (gati nibaddhā), tetapi juga alam tujuan bagi keluarga-keluarga yang memiliki jasa pasti misalnya [mengambil] tiga perlindungan dan lima aturan, [memberi] satu kupon makanan, satu makanan dwi-mingguan, satu tempat kediaman masa pengasingan musim hujan, satu kolam, satu tempat kediaman. Keluarga-keluarga itu serupa dengan para pemasuk-arus.

1859 > Mp mengemas samparāyavedanīyaṃ sebagai “kamma yang masak dalam kehidupan berikutnya” (dutiye attabhāve vipaccanakakammaṃ).

1860 > Saya menerjemahkan dengan mengikuti Be dan Ee, yang membaca dukkhavedaniyaṃ. Ce menuliskan sukhavedaniyaṃ, diduga karena sulitnya melihat mengapa praktisi menginginkan kammanya dirasakan sebagai menyakitkan.

1861 > Mp mengemas paripakkavedanīyaṃ sebagai laddhavipākavāraṃ, “[kamma] yang memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.” Lawannya, aparipakkavedanīyaṃ, adalah aladdhavipākavāraṃ, “[kamma] yang tidak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.”

1862 > Mp-ṭ: “Kamma yang harus dialami adalah [kamma] yang belum matang tetapi mampu menghasilkan akibat jika ada berkumpulnya kondisi-kondisi lain. Kamma yang tidak dialami dikelompokkan sebagai ahosikamma, dan sebagainya, yang tidak mampu menjadi matang karena ketiadaan kondisi-kondisi” (vedanīyan ti paccayantarasamavāye vipākuppādanasamatthaṃ, na āraddhavipākam eva[/i]; avedanīyan ti paccayavekallena vipaccituṃ asamatthaṃ ahosikammādibhedaṃ[/i]). Konsep ahosikamma, kamma yang tidak memperoleh kesempatan untuk matang, diturunkan dari Paṭis II 78,2-10 (Be §234). Baca juga CMA 205.

1863 > Mahākoṭṭhita mengajukan sepuluh pertanyaan kepada Sariputta dan menerima sepuluh jawaban. Tampak aneh bahwa sutta ini dimasukkan ke dalam Kelompok Sembilan, namun tidak ada indikasi kerangka numerik lainnya selain pertanyaan yang diajukan dan dijawab.

1864 > Menurut Mp, Samiddhi adalah siwsa Sāriputta. Baca 8:83, di mana Sang Budddha bertanya dan menjawab serangkaian pertanyaan serupa.

1865 > Mp: “Kehendak dan pemikiran adalah pemikiran yang merupakan kehendak” (saṅkappavitakkā ti sankappabhūta vitakkā). Hal ini dikatakan karena kedua kata, sankappa dan vitakka, digunakan nyaris dapat dipertukarkan dalam teks.

1866 > Nāmarūparammaṇā. Mp mengemas: “Dengan nama dan bentuk sebagai kondisi (nāmarūpapaccayā). Dengan ini ia menunjukkan bahwa empat kelompok tanpa bentuk dan bentuk yang bergantung pada elemen utama adalah kondisi bagi pemikiran.”

1867 > Bagian sutta hingga titik ini mencakup segala pengalaman. §§5-7 merujuk pada faktor-faktor sang jalan; §8 pada buah, dan  §9 pada tujuan tertinggi.

1868 > Mp: “Ketika mereka telah mencapai buah kebebasan, mereka telah mencapai inti” (phalavimuttiṃ patvā sārappattā honti).

1869 > Amatogadhā. Mp menjelaskan hal ini dengan merujuk pada gagasan bahwa sang jalan dan buah menggunakan nibbāna sebagai objek: “Setelah memperoleh pijakan kaki dalam keabadian nibbāna dengan [menjadikannya sebagai] objek, mereka kokoh di sana” (ārammaṇavasena amataṃ nibbānaṃ ogāhitvā tattha patiṭṭhitā).

1870 > Abhedanamukhāni. Lit., “lubang-lubang tanpa terputus.” Mp: “Lubang-lubang itu adalah lubang-luka yang tidak dibuat oleh siapa pun melainkan berasal-mula hanya dari kamma.” Sembilan lubang ini adalah dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, lubang kencing, dan anus.

1871 > Sebuah paralel yang diperluas berdasarkan pada 7:48 dan yang lebih jauh berdasarkan pada 5:61.

1872 > Sebuah paralel yang diperluas dari 7:13.

1873 > Mp: “Mereka tidak bangkit dari duduk mereka dan menyambut untuk menyapa seseorang, sebagai satu cara untuk merendahkan diri mereka dan melatih pikiran.”

1874 > Mp: “Mereka tidak memberi hormat dengan lima titik” (yaitu, kepala, kaki, dan tangan di tanah).

1875 > Sebuah paralel yang diperluas dari 8:41, delapan aturan yang diperkuat dengan meditasi cinta-kasih.

1876 > Mp: “Sang Bhagavā tidak menanyakan ini sehubungan dengan dana yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu. Karena di rumah Anāthapiṇḍika makanan-makanan baik secara terus-menerus diberikan kepada para bhikkhu. Melainkan dana yang diberikan kepada banyak orang adalah kasar, yang tidak menyenangkan Anāthapiṇḍika. Maka Sang Buddha menanyakan dengan niat demikian.” Penjelasan Mp terkesan direkayasa, karena ungkapan yang digunakan oleh Sang Buddha dalam jawabannya menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah dana kepada mereka yang meninggalkan keduniawian. Adalah mungkin bahwa sutta ini dibabarkan pada masa ketika keuangan Anāthapiṇḍika dalam keadaan sulit. Kemungkinan lain, melihat karakter legenda, sutta ini mungkin sebagian adalah fiksi yang disusun untuk tujuan mendidik. Sebuah paralel China, MĀ 155, memiliki perbincangan yang pada dasarnya sama seprti Pāli terdapat pada T I 677a12-13. Dalam paralel China lainnya, EĀ 27.3, Anāthapiṇḍika mengatakan (pada T II 644b22): “Kelurgaku yang miskin selalu mempraktikkan memberi, tetapi makanannya kasar dan kami tidak selalu memberikan yang sama” (MANDARIN).

1877 > Ini adalah lima cara seorang yang tidak baik memberikan suatu pemberian, seperti disebutkan pada 5:147. persis di bawah teks akan menyebutkan lima cara orang baik memberikan pemberian, juga pada 5:147.

1878 > Diduga ini adalah sembilan jenis pemberian yang membenarkan dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sembilan. Tampaknya tidak ada skema sembilan lainnya yang menjelaskan penempatannya dalam nipāta ini.

1879 > Ce sandassanāni; Be sandhanāni; Ee santhanāni. Mp tidak memberikan kemasan dan PED tidak memberikan definisi yang berguna untuk tulisan-tulisan itu. Tetapi dalam PED sandāna didefinisikan sebagai “tali, tambatan, ikatan.”

1880 > Mp mengemas kaṃsūpadhāraṇāni sebagai rajatamayakhīrapaṭicchakāni, “wadah perak untuk susu.” Saya tidak memahami bahwa kaṃsa dapat berarti perak. DOP sv kaṃsa mengatakan bahwa kaṃsūpadhāraṇa dapat berarti “menghasilkan seember susu, atau dengan ember susu dari logam.” Mp menambahkan bahwa tanduk-tanduk dari sapi-sapi susu itu ditutupi dengan selongsong emas; orang-orang mengikatkan kalung bunga melati di leher mereka, mengikatkan perhiasan-perhiasan di keempat kaki mereka, menghamparkan kain rami yang bagus di atas punggung mereka, dan mengikatkan lonceng emas di leher mereka. Cara-cara menghias sapi demikian, walaupun tidak terlalu mahal, masih dipraktikkan di India masa kini.

1881 > Mp mengatakan bahwa secara konvensi satu koṭi adalah dua puluh pasang kain, tetapi di sini yang dimaksudkan adalah sepuluh pakaian.

1882 > Annassa pānassa khajjassa bhijjassa leyyassa peyyassa. Leyya, dari lihati, menjilat, dapat berarti sesuatu yang dijilat, mungkin benda-benda seperti madu, sirup, dan gula aren.

1883 > Mp: “Persepsi ketidak-kekalan adalah pandangan terang kuat yang telah mencapai puncaknya dan merupakan kondisi terdekat bagi sang jalan” (aniccasaññan ti maggassa anantarapaccayabhavena sikhāpattabalavavipassanaṃ[/i]).

1884 > Uttarakuru Benua di utara Jambudīpa, mungkin Asia Tengah.

1885 > Ce dan Ee visesabhuno. Be visesaguṇā mungkin adalah sebuah normalisasi. Mp tidak membantu. Mp-ṭ memberikan penjelasan tentang kondisi kehidupan di Uttarakuru. Terjemahan saya adalah dugaan yang berdasarkan pada asumsi bahwa penjelasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan visesabhuno.

1886 > Sutta ini menggabungkan tiga triad yang didefinisikan secara terpisah pada 3:140-42. karena itu sutta ini dapat dianggap sebagai sembilan campuran. Kita menemukan di sini perbedaan yang sama dalam tulisan pada kelomok kuda ke dua seperti yang telah kita temukan sebelumnya. Ce dan Ee tayo assasadassā, bukan seperti Be tayo assaparassā.

.1887 > Teks diringkas demikian dalam seluruh tiga edisi.

1888 > Ini terdapat, dengan penjelasan, dalam Mahānidāna Sutta, pada DN 15.9-18, II 58-61.

1889 > Sembilan hal yang berakar pada ketagihan, dengan penjelasan dari Mp dalam tanda kurung, adalah: (1) pariyesanā (pencarian objek-objek seperti bentuk-bentuk); (2) labha (mendapatkan objek-objek seperti bentuk-bentuk); (3) vinnicchaya (ketika seseorang telah memperoleh keuntungan, ia mempertimbangkan dengan memikirkan apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, indah atau biasa, berapa banyak yang akan ia simpan dan berapa banyak yang akan diberikan kepada orang lain, berapa banyak yang akan dibelanjakan dan berapa banyak yang ditabung); (4) chandarāga (nafsu lemah dan nafsu kuat, berturut-tururt, yang muncul terhadap objek yang dipikirkan dengan pikiran-pikiran tidak bermanfaat); (5) ajjhosāna (pendirian kuat dalam “aku dan milikku”); (6) pariggaha (mengambil kepemilikan melalui ketagihan dan pandangan); (7) macchariya (keengganan untuk berbagi dengan orang lain). (8 ) ārakkha (menjaga secara hati-hati dengan menutup pintu dan menyimpannya dalam peti); (9) dandadāna, dan seterusnya (mengambil tongkat pemukul, dan seterusnya, yang bertujuan untuk mengusir orang lain).

1890 > §§1-4 dan 6-8 termasuk di antara tujuh stasiun kesadaran pada 7:44.

1891 > Tiga edisi saling berbeda di sini. Saya mengikuti Ce bhikkhuno cetasā cīttaṃ pariitaṃ hoti. Ee menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti, Be bhikkhuno cetasā citaṃ hoti. Citaṃ muncul berkali-kali dalam Be, jelas merupakan kesengajaan. Mp (Ce): “Satu putaran proses pikiran dibangun, ditingkatkan, oleh putaran proses pikiran lainnya” (cittācārapariyāyena cittācārapariyāyo cito vaḍḍhito hoti). Mp (Be) menuliskan cittavāra – pada tempat cittācāra -.

1892 > Seluruh tiga edisi menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti. Tetapi perhatikan bahwa dalam Ee, pernyataan Sāriputta tentang cara mengajar Devadatta tidak berbeda dengan pernyataan Candikāputta di atas. Keduanya mengatakan suparicitaṃ hoti. Mengherankan bahwa sutta ini tampaknya menyetujui ajaran Devadatta. Biasanya kita akan mengharapkannya dicela karena mengajarkan versi Dhamma yang menyimpang. Mungkin kejadian ini terjadi sebelum Devadatta melakukan perpecahan.

1893 > §§4-6, dalam Pāli, asarāgadhammaṃ, asadosadhammaṃ, asamohadhammaṃ. Mp tidak mengemasnya, tetapi intinya tampaknya adalah bahwa bagi Arahant, nafsu, kebencian, dan delusi bahkan tidak mampu muncul kembali. §§7-9 menyinggung ketiga alam kehidupan.

1894 > Seperti pada 6:55, tetapi dengan perumpamaan berbeda.

1895 > Teks mengatakan silāyūpo soḷasakukkuko, sebuah pilar batu setinggi enam belas kukku. Menurut DOP, satu kukku adalah 45cm, sekitar setengah meter. Dengan demikian pilar itu kurang lebih delapan meter.

1896 > Jumlah kata-kata kerja berbeda antar edisi. Ce, yang saya ikuti, mencantumkan empat: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampakampeyya na sampavedheyya (tetapi Ce menyingkat dua arah pertengahan dan menghilangkan kata kerja terakhir sehubungan dengan pengulangan terakhir, jelas adalah kekeliruan editorial). Ee mencantumkan tiga: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampavedheyya. Be hanya menggunakan dua kata kerja: n’eva naṃ saṅkampeyya na sampacedheyyā, tetapi tiga dalam perumpamaan pada 6:55.

1897 > Juga terdapat pada 5:179.

1898 > Tentang bhayaṃ veraṃ pasavati, Mp mengatakan bahwa seseorang mendapatkan bahaya ketakutan pikiran (cittutrāsabhayaṃ; ini membantu memahami bhaya sebagai ketakutan subjektif daripada bahaya objektif, walaupun saya pikir yang dimaksudkan adalah bahaya objektif) dan permusuhan sebagai seseorang (puggalaveraṃ). Spk II 73,17-33, yang mengomentari SN 12:41, memberikan penjelasan lengkap: “Bahaya dan permusuhan adalah bermakna sama. Permusuhan ada dua, eksternal dan internal. Karena jika seseorang telah membunuh ayah orang lain, orang lain itu akan berpikir: ‘Mereka mengatakan bahwa ia membunuh ayahku, aku akan membunuhnya.’ Maka ia mengambil pisau tajam dan memburu si pembunuh. Kehendak yang muncul padanya disebut permusuhan eksternal [sehubungan dengan korban masa depan]. Tetapi yang lainnya mendengar, “Ia datang untuk membunuhku’ dan memutuskan: ‘Aku akan membunuhnya terlebih dulu.’ Ini disebut permusuhan internal [sehubungan dengan dirinya sendiri]. Keduanya berhubungan kehidupan sekarang. Ketika penjaga neraka melihat di pembunuh terlahir kembali di neraka, kehendak muncul padanya: ‘Aku akan mengambil palu besi menyala dan memukulnya’: ini adalah permusuhan eksternal yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Dan kehendak yang muncul pada si korban, ‘Ia datang untuk memukulku walaupun aku tidak bersalah; aku akan memukulnya terlebih dulu,’ adalah permusuhan internal yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Permusuhan eksternal adalah apa yang disebut sebagai ‘permusuhan sebagai seseorang’ dalam komentar [kuno].”

1899 > Taṃ kut’ettha labbhā. Terjemahan saya atas idiom ini tidak dimaksudkan secara literal. Intinya adalah bahwa seseorang tidak memiliki pilihan selain menyerah pada situasi itu. Mp: “Apakah yang dapat dilakukan sehubungan denagn orang itu sehingga tidak akan terjadi perilaku membahayakan demikian? Dengan cara bagaimanakah hal ini mungkin diperoleh?’ Setelah merefleksikan: ‘Seseorang membahayakan orang lain karena watak pikirannya,’ maka ia melenyapkan kekesalan.”

1900 > SN 36:11, IV 217,4-16, membicarakan tentang “pelenyapan aktivitas-aktivitas secara bertahap” (anupubbasaṅkhārānaṃ nirodha) dalam kata-kata yang sangat mirip dengan sutta sekarang ini, kecuali bahwa dikatakan, “bagi seseorang yang telah mencapai jhāna pertama, maka ucapan (vācā) telah lenyap.” Tidak jelas apakah sankhārā di sini dimaksudkan dalam makna aktif atau pasif, “aktivitas-aktivitas” atau “fenomena-fenomena terkondisi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #20 on: 28 August 2013, 11:58:34 PM »
1901 > Seluruh tiga edisi menuliskan kata kerja tunggal hoti, walaupun Ee mencatat beberapa naskah yang menuliskan bentuk jamak honti. Subjek rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai tunggal ataupun jamak.

1902 > Anupubbavihāra. Be hanya menyebutkan nama-namanya, yaitu, “jhāna pertama, jhāna ke dua,” dan seterusnya. Ce dan Ee mencantumkan formula lengkap.

1903 > Anupubbavihārasamāpattiyo, tidak jelas apakah, dalam kata majemuk ini, vihārasamāpattiyo harus diinterpretasikan sebagai sebuah dvanda (“keberdiaman dan pencapaian”) atau sebagai sebuah tappurisa” (“pencapaian keberdiaman”). Mp, dengan kemasannya anupaṭipāṭiya samāpajjitabbavihārā, “keberdiaman yang dicapai dalam urutan yang benar,” menyiratkan sebuah tappurisa.

1904 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca tiṇṇā, bukan seperti Ce nittaṇhā, “tanpa ketagihan,” yang tampaknya kurang memuaskan dalam konteks ini. Mp (Be): “Menyeberang: menyeberangi nafsu indria” (kāmato tiṇṇā).

1905 > Tadaṅgena. Mp: “Dalam aspek tersebut: sehubungan dengan faktor jhāna itu” (tena jhānaṅgena).

1906 > Upekkhāsukha. Mp tidak berkomentar, tetapi saya menganggap kata majemuk ini lebih sebagai sebuah tappurisa daripada sebuah dvanda “keseimbangan dan kenikmatan.” Dalam jhāna ke empat dan di atasnya upekkhā, keseimbangan, berlanjut tetapi tidak lagi disertai dengan sukha, perasaan menyenangkan.

1907 > Ce dan Ee mencantumkan kata kerja jamak nirujjhanti di sini, tetapi bentuk tunggal nirujjhati pada §§6-8. Be juga mencantumkan bentuk tunggal nirujjhati di sini. Sekali lagi, subjek rūpasaññā dapat dibaca baik sebagai bentuk tunggal atau pun jamak.

1908 > Mp mengidentifikasikannya sebagai sesepuh Lāḷudāyī.

1909 > Brahmāli mengomentari: “Karena nibbāna adalah ‘padamnya’ (penderitaan), maka pemadaman sebagian penderitaan adalah jenis nibbāna sebagian.”

1910 > Walaupun seluruh tiga edisi di sini membaca upe(k)khāsahagatā saññāmanasikārā, saya mengikuti naskah Burma dan Sinhala yang dirujuk dalam catatan dalam Ee, yang membaca upe(k)khāsukhasahagatā saññāmanasikārā. Ini lebih sesuai dengan penjelasan dalam 9:33  §4 dan 9:41 §4 daripada tulisan upek(k)hāsahagatā dalam seluruh tiga edisi cetak.

1911 > Dikutip pada Vism 153,17-154,8, Ppn 4.130, sebagai sebuah kesaksian bahwa seseorang pertama-tama harus menguasai jhāna yang baru saja ia capai sebelum mencoba memasuki jhāna yang lebih tinggi berikutnya.

1912 > Taṃ nimittaṃ. Mp: “Objek yang terdapat dalam jhāna pertama” (taM paṭhamajjhānasaṅkhataṃ nimittaṃ).

1913 > Ubhato bhaṭṭho. Bhaṭṭha adalah bentuk kata kerja lampau dari bhassati, menjatuhkan, terkulai, tergelincir.

1914 > Anabhihisamāno. Saya hanya memberikan terjemahan literal. Berdasarkan pada konteks yang maknanya saya pahami bahwa ia tidak memaksa dirinya untuk secara prematur mencapai pencapaian yang lebih tinggi melainkan menguasai yang sebelumnya sebelum berpindah ke yang berikutnya.

1915 > Mp: “Karakteristik ketidak-kekalan disebutkan dalam dua kata: tidak kekal dan kehancuran (anccato, palokato). Karakteristik tanpa-diri disebutkan dalam tiga kata: makhluk asing (parato), kosong (suññato), dan tanpa-diri (anattato). Karakteristik penderitaan disebutkan dalam enam kata lainnya: penderitaan (dukkhato), penyakit (rogato), bisul (gaṇḍato), anak panah (sallato), kemalangan (aghato), dan kesengsaraan (ābādhato).

1916 > Mp: “Ia mengarahkan pikiran pandangan terang (vipassanācitta) pada elemen keabadian yang tidak terkondisi melalui mendengar, melalui pujian, melalui pembelajaran, dan melalui konsep sebagai berikut: ‘Nibbāna adalah damai.’ Ia mengarahkan pikiran sang jalan (maggacitta) pada nibbāna hanya dengan membuatnya sebagai objek (ārammaṇakaraṇavase’eva), bukan dengan mengatakan, ‘Ini damai, ini luhur.’ Maksudnya adalah bahwa ia mengarahkan pikirannya ke sana, menembusnya dengan cara ini.”

1917 > Ten’eva dhammarāgena tāya dhammanandiyā. Mp: “Dengan keinginan dan kemelekatan pada Dhamma ketenangan dan pandangan terang. Demikian pula untuk “menyukai Dhamma.” Jika ia dapat sepenuhnya memadamkan keinginan dan kemelekatan pada ketenangan dan pandangan terang, maka ia mencapai Kearahattaan. Jika tidak, maka ia menjadi seorang yang-tidak-kembali.” Mp-ṭ: “Setelah meninggalkan keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang yang mengarah pada sang jalan yang lebih rendah, jika ia tidak mampu memadamkan keinginan akan [ketenangan dan pandangan terang] yang mengarah pada jalan tertinggi, maka ia kokoh dalam tingkat yang-tidak-kembali.”

1918 > Baca 4:181, 4:196.

1919 > Perhatikan bahwa rūpa, bentuk, dihilangkan dalam menjelaskan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Mp: “Dalam pencapaian tanpa bentuk di sana sama sekali tidak ada bentuk; sehubungan dengan hal ini, maka bentuk tidak termasuk.”

1920 > Mp: “Mengapakah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan? Karena kehalusannya. Empat kelompok unsur kehidupan tanpa bentuk dalam [pencapaian] itu begitu halus sehingga tidak mudah diamati [melalui pandangan terang]. Karena itu [persis di bawah] Sang Buddha mengatakan: ‘ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi.’ Ini maksudnya adalah: ‘Hingga sejauh di mana ada pencapaian yang disertai oleh pikiran (sacittakasamāpatti; citta di sini diduga berarti “kesadaran jelas dan jernih”), ada penembusan pada pengetahuan akhir ketika seseorang menyelidiki [melalui pandangan terang] fenomena-fenomena kasar itu, yaitu, ia mencapai Kearahattaan. Tetapi karena kehalusannya, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan sebagai pencapaian yang disertai dengan persepsi.”

1921 > Ada beberapa perbedaan antara tulisan-tulisan pada Ce, Ee, dan Be. Saya mengikuti Ce: jhāyih’ete bhikkhave bhikkhūhi samāpattikusalehi samāpattivuṭṭhānakusalehi samāpajjitvā vuṭṭhahitvā samakkhātabbānī ti vadāmi. Ee pada dasarnya sepakat dengan Ce tetapi menuliskan jhāyi h’ete, seolah-olah memiliki subjek nominatif yang diikuti dengan penegasan hi. Mp: “Dijelaskan berarti dinyatakan dengan benar, dijelaskan, ditinggikan, dipuji hanya sebagai ‘damai dan luhur’” (samakkhātabbānī ti sammā akkhātabbāni,[/i] “santāni paṇittānī” ti evaṃ kevalaṃ ācikkhitabbānī thometabbāni vaṇṇetabbānī).

1922 > Tentang makna “kurungan” (samādha), baca 9:42 di bawah.

1923 > Ini sama dengan pernyataan pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta yang terkenal, pada DN 22.1, II 290,8-11; MN 10.2, I 66,32-56,2. Juga muncul pada AN 3:74, 4:194, 6:26, dan 10:95.

1924 > Mp: “Mata itu sendiri … sebenarnya akan ada (tadeva nāma cakkhuṃ bhavissati): materi sensitif dari mata itu sendiri tidak rusak. Serta bentuk-bentuk itu (te rūpa): objek bentuk terlihat itu sendiri akan masuk dalam jangkauan. Namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu: Namun seseorang tidak mengetahui landasan bentuk terlihat itu.” Saya mungkin salah dalam mengasumsikan bahwa sembilan hal itu diperoleh dengan menjumlahkan lima jenis pengalaman indriawi dengan empat meditasi tanpa bentuk. Kemungkinan sembilan ini diperoleh dengan memasukkan empat jhāna (yang mungkin hilang dari teks) dengan empat meditasi tanpa bentuk, dan kemudian menambahkan, sebagai yang ke sembilan, keadaan konsentrasi khusus yang dirujuk pada akhir sutta.

1925 > Ce dan Be keduanya mencantumkan ti di sini, yang menunjukkan akhir dari sebuah kutipan, yang menyiratkan bahwa pembicara paragraf berikutnya adalah Udāyi. Tetapi jelas bahwa Ānanda sendiri yang masih berbicara. Dengan demikian, tampaknya, ti adalah kekeliruan dan harus dihapuskan dalam Ce dan Be. Ee tidak mencantumkan ti.

1926 > Demikian Ce dan Ee. Be menuliskan namanya sebagai Jaṭilavāsikā. Mp mengatakan bahwa ia adalah seorang penduduk kota Jaṭila (jaṭilanagaravāsinī). Para jaṭila adalah para petapa berambut kusut, tetapi patut dipertanyakan apakah mereka cukup banyak untuk membentuk sebuah kota.

1927 > Mp: “Tidak condong ke depan melalui nafsu, dan tidak condong ke belakang melalui kebencian” (rāgavasena na abhinato, dosavasena na apanato).

1928 > Baca 5:27. Di sini Mp mengomentari: “konentrasi itu kokoh, bukan karena seseorang telah secara paksa dan sekuat tenaga mengekang dan menekan kekotoran-kekotoran, melainkan karena konsentrasi itu muncul setelah kekotoran-kekotoran terpotong.”

1929 > Vimuttattā ṭhito, thitattā santusito, santusitattā no paritassati. Urutan ini juga terdapat pada SN III 45,13-14, 46,4-5, 54,1-2, 55,34-35, 58,23-24. Adalah dengan berdasarkan paragraf ini maka saya melihat perubahan dalam topik dari frasa terakhir dari teks AN, dari “itu” yang merujuk pada samādhi, menjadi “ia,” yang merujuk pada orang yang mencapainya. Sedangkan dalam paragraf AN, kata itu berbentuk tunggal laki-laki dan dengan demikian dapat diinterpretasikan baik merujuk pada samādhi maupun pada orang, paralel SN menuliskan: Vimuttattā ṭhitaṃ. Thitattā santusitaṃ. Santusitattā na paritassati. Aparitassaṃ paccattaññeva parinibbāyati. Khiṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ, kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti ti. Bentuk kata tunggal netral menunjukkan bahwa subjek dari kedua frasa pertama adalah cittaṃ, tetapi dengan santusitattā na paritassati, subjeknya tampaknya bergeser dari cittaṃ menjadi orang yang mencapai kebebasan. Kita dapat menyimpulkan melalui analogi bahwa dalam kalimat sekarang ini juga terjadi pergeseran yang sama, dalam hal ini dari samādhi menjadi orang yang mencapainya.

1930 > Ayaṃ, bhante Ānanda, samādhi kiṃphalo vutto bhagavatā. Pertanyaan ini ambigu. Dapat bermakna, “Tentang apakah Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini sebagai buahnya?” atau “Apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sebagai buah dari konsentrasi ini?” Mp menganggap yang pertama, tetapi ada argumen-argumen yang mendukung yang ke dua (baca catatan berikutnya).

1931 > Ayaṃ bhagini samādhi aññāphalo vutto bhagavatā. Kata majemuk aññāphalo dapat diinterpretasikan apakah sebagai sebuah tappurisa (“konsentrasi ini memiliki buah pengetahuan akhir”) atau sebagai sebuah bāhubbihi (‘konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya”). Dalam kasus pertama, samādhi diidentifikasikan sebagai buah; dalam kasus ke dua, dengan suatu pencapaian yang mendahului buah. Mp mengambil makna pertama, sebagai buah itu sendiri: “Bhikkhunī itu menanyakan tentang konsentrasi buah Kearahattaan (arahattaphalasamādhi). Pengetahuan akhir adalah Kearahattaan. Sang Bhagavā membicarakan konsentrasi buah Kearahataan ini. [maksudnya adalah:] Ketika seseorang mempersepsikan persepsi buah Kearahattaan, ia tidak mengalami landasan itu.” Akan tetapi, pertanyaan kimphalā yang muncul berulang-ulang pada SN V 118,22-120,19,, di mana itu berarti, “Apakah yang dimilikinya sebagai buahnya?” dan pada 5:25 kita menemukan pañcahi, bhikkhave, aṅgehi anuggahitā sammādiṭṭhi ca cetovimuttiphalā hoti … paññāvimuttiphalā ca hoti. Maknanya di sini bukanlah bahwa pandangan benar adalah buah kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan, melainkan bahwa pandangan benar memiliki kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya. Lebih jauh lagi, pada 3:101, samādhi dijelaskan persis dengan kata-kata yang sama dengan yang ditunjukkan sebagai kondisi pendukung bagi enam pengetahuan yang lebih tinggi, yang mana yang terakhirnya adalah “kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan.” Secara analogi, hal ini mengikuti bahwa samādhi ini bukanlah buah pengetahuan akhir, melainkan yang menghasilkan pengetahuan akhir.

Terdapat paralel China pada bagian akhir sutta ini, SĀ 557 pada T II 146a12-29. dalam versi ini, ketika bhikkhunī itu bertanya kepada Ānanda tentang konsentrasi pikiran tanpa karakteristik ((MANDARIN)), ia menjawab bahwa Sang Buddha mengatakan konsentrasi ini “adalah buah kebijaksanaan, imbalan kebijaksanaan” ((MANDARIN), yang memiliki ambiguitas yang sama seperti yang telah saya sebutkan pada catatan sebelumnya).1932 > Lokāyatikā brāhmaṇā. Baca SN 12:48, II 77. biasanya, lokāyatika digambarkan sebagai penganut materalisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator tentang dunia.
1933 > Terjemahan saya tidak mengikuti edisi mana pun dari ketiga edisi yang ada, yang semuanya meragukan. Dalam Be kedua guru mengaku mengetahui sebuah dunia yang tanpa batas dengan pengetahuan yang tanpa batas. Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena anantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta [guru Jain, Mahāvīra] menggunakan kata-kata yang persis sama. Karena hal ini secara langsung berlawanan dengan pernyataan (dalam semua edisi) bahwa keduanya membuat pengakuan yang saling berlawanan (ubhinnaṃ aññamaññaṃ vipaccanīkavādānaṃ), maka Be pasti keliru di sini. Kekeliruan ini pasti sudah terjadi sejak lama, karena beberapa naskah Burma dan Siam (yang dirujuk dalam catatan Ee) juga mencantumkan tulisan yang sama.

Dalam Ce dan Ee Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta berkata: ahaṃ antavantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi. Tulisan ini juga, tampaknya keliru. Pertama, tulisan ini mengatakan bahwa Nātaputta mengaku memiliki pengetahuan terbatas, walaupun diketahui bahwa ia mengaku maha-tahu atau memiliki pengetahuan tanpa batas. Ke dua, walaupun mengatakan bahwa kedua guru itu mengaku memiliki jangkauan pengetahuan yang berbeda, namun kesimpulan mereka atas dunia adalah sama. Kontradiksi sebenarnya hanya akan terjadi jika satu guru menyatakan bahwa dunia adalah tanpa batas dan  guru lainnya mengatakan terbatas. Saya berpendapat bahwa keduanya mengaku memiliki pengetahuan tanpa batas (anantena ñāṇena) tetapi berbeda sehubungan dengan jangkauan dunia. Karena kaum Jain  sesungguhnya menganut bahwa dunia adalah terbatas dan juga tanpa batas (baca di bawah), maka saya menganggap bahwa brahmana itu memahami bahwa Nātaputta menganut dalil bahwa dunia adalah terbatas, dan dengan demikian menganggap lawannya, Pūraṇa Kassapa, menganut dalil bahwa dunia adalah tanpa batas. Kita tidak memiliki sumber lain atas pemikiran Pūraṇa yang dengannya kita dapat memahami kosmologinya. Di tempat lain inti filosofi Pūrana dikatakan adalah doktrin tidak-berbuat (DN 2.17, I 52,21-53,4) atau tesis bahwa makhluk-makhluk menjadi kotor dan murni tanpa penyebab, atau bahwa tidak ada penyebab bagi pengetahuan dan penglihatan (SN 46:56, V 126,26-30). Pada 6:57 suatu sistem enam kelompok orang disebutkan berasal darinya.

Pandangan Mahāvīra atas dunia ini dijelaskan dalam “Berbagai topik yang dipersiapkan atas Sejarah Jain oleh Dr. K.C. Jain and his team” (http://www.jainworld.com/literature/jainhistory/chapter4.asp: “Adalah sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan [tentang dunia] ini maka Mahāvīra menyatakan: ‘Dari alternatif-alternatif ini, kalian tidak dapat sampai pada kebenaran; dari alternatif-alternatif ini, kalian pasti [tersesat]. Dunia ini abadi sejauh bagian lapisan bawah (dravya) dari “dunia”; tidak abadi sejauh keadaannya yang senantiasa berubah.’ Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, nasihat Mahāvīra kepada para siswanya adalah tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa duia adalah abadi juga tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa dunia adalah tidak abadi. Ia pasti mengatakan hal yang sama sehubungan dengan dalil-dalil seperti dunia eksis dan tidak eksis; dunia tidak berubah; dunia terus-menerus berubah; dunia memiliki awal; dunia tidak memiliki awal; dunia memiliki akhir; dunia tidak memiliki akhir; dan sebagainya.” (cetak miring oleh saya).1934 > Be tidak mencantumkan paramāya gatiyā, yang terdapat dalam Ce dan Ee.

1935 > Daḷhadhammā dhanuggaho aikkhito katahattho katūpāsano. Komentar Mp atas kata-kata ini agak berbeda dengan komentarnya pada 4:45 (baca p.1690, catatan 724 dan 725): seorang pemanah yang telah memegang sebuah busur kokoh: sebuah ‘busur kokoh’ (daḷhadhanu) disebut ‘berkekuatan dua ribu’ (dvisahassathānaṃ): sebuah busur yang dengannya seseorang dapat merentang anak panah dengan kepala yang terbuat dari suatu logam seperti perunggu atau timah, dan sebagainya, memasangkan lekukannya pada talinya, menggenggam pegangan busur dan menarik talinya sepanjang batang anak panah, dan menembakkan anak panah itu dari atas tanah. Terlatih (sikkhito): mereka telah mempelajari keterampilan itu dalam perguruan guru mereka selama sepuluh atau dua belas tahun. Terampil (katahattho): seorang yang sekedar telah mempelajari keterampilan ini masih belum terampil, mereka terampil ketika telah mencapai penguasaan atas keterampilan ini. Berpengalaman (katūpāsano): seorang yang telah memperlihatkan keterampilan ini di lapangan kerajaan, dan sebagainya.”

1936 > Seperti pada 4:45 (dan SN 2:26, I 61-62).

1937 > Teks menuliskan evarūpāya sandhāvanikāya di sini, sedangkan 4:45 menuliskan gamanena. Mp mengemas padasā dhāvanena, “berlari dengan kaki.”

1938 > Di sini Ce dan Ee menambahkan bhītā , “ketakutan,” tetapi tampaknya kata ini hanya untuk kasus ke tiga, ketika para deva melarikan diri ke kota mereka. Dalam Be ini hanya muncul sehubungan dengan kasus ke tiga.

1939 > Di sini seluruh tiga edisi menuliskan antamakāsi māraṃ. Diduga para editornya menganggap ini berarti, “yang telah mengakhiri Māra.” Tetapi ini jelas salah, karena dua alasan: pertama, secara tata bahasa, hal ini memerlukan bentuk genitif mārassa; dan ke dua, tidak benar bahwa seorang meditator dalam jhāna telah “mengakhiri Māra.” Di tempat lain kita menemukan andhamakāsi māraṃ (pada MN I 159,19, I 160,5,10, I 174,15-16, dan I 175,5), “ia telah membuat Māra menjadi buta” atau “membutakan Māra,” yang memiliki arti yang lebih tepat. Ps II 163,4-8, mengomentari MN I 159,19, menjelaskan: “Ia membutakan Māra: ia tidak menghancurkan mata Māra, melainkan ketika seorang bhikkhu telah mencapai jhāna sebagai landasan bagi pandangan terang, Māra tidak mampu melihat objek pikirannya. Karena itu dikatakan: ‘Ia membutakan Māra’” (andhamakāsi māran tin a mārassa akkhīni bhindi. Vipassanāpādakajjhānaṃ samāpannassa pana bhikkhuno imaṃ nāma ārammaṇaṃ nissāya cittaṃ vattatī ti māro passituṃ na sakkoti. Tena vuttaṃ “andhamakāsi māran” ti).

1940 > Apadaṃ vadhitvā māracakkhuṃ. Mp: “mencabut mata Māra tanpa jejak: menghancurkan [matanya] sepenuhnya, tanpa sisa [nippadaṃ niravasesaM vadhitvā).” Pada MN I 159,19-160,12 dan MN I 174,15-175,6 keseluruhan pernyataan ini merujuk pada seluruh sembilan pencapaian meditatif, termasuk empat jhāna. Dengan demikian tampaknya ada perbedaan antara silsilah tekstual atas sejauh mana pernyataan ini berlaku.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEMBILAN
« Reply #21 on: 28 August 2013, 11:59:11 PM »
1941 > Hatthikalabha. Mp mengemas sebagai “gajah jantan yang sangat besar” (mahantā mahantā nāgā). Akan tetapi ini memunculkan pertanyaan bagaimana gajah-gajah besar ini berbeda dengan subjek utama pada perumpamaan. Ud 41,20-21 menyebutkan jenis-jenis gajah berbeda, di antaranya hatthikalabhā (Ee hatthikaḷārā) yang Ud-a 250,12-13 menyebutnya anak gajah (hatthipotakā). Mereka dibedakan dengan hatthicchāpā, anak gajah muda yang masih dipelihara (khirūpagā daharahatthipotakā). Saya menerjemahkan sesuai penjelasan ini.

1942 > Bersama dengan Be dan Ee, saya membaca mallesu, bukan seperti Ce malatesu. SN 42:11 juga terjadi di Uruvelakappa, yang dikatakan sebagai sebuah pemukiman Malla (baca CDB 1348 ).

1943 > Mp mengemas vimuccati di sini sebagai “terbebaskan dari kualitas-kualitas yang berlawanan” (paccanīkadhammehi ca vimuccati). Karena seluruh tiga edisi, dengan dukungan Mp, menuliskan vimuccati, maka saya menerjemahkannya sesuai tulisan ini, tetapi saya pikir tulisan aslinya adalah adhimuccati, “bertekad pada” atau “berfokus pada.” Karena teks mengungkapkan sehubungan dengan pencapaian-pencapaian meditatif berturut-turut, dalam tiap-tiap kasus sang bodhisatta vimuccati/adhimuccati pada pencapaian sebelum ia benar-benar mencapainya. Dalam konteks demikian, “berfokus pada” lebih tepat daripada “terbebaskan dalam.”

1944 > Ce menuliskan bentuk jamak genitif passataṃ, sedangkan Be dan Ee menuliskan bentuk tunggal genitif passato. Mp (Be) menuliskan passato dalam lema dan bentuk jamak genitif dalam kemasan: Etaṃ santan ti passati ti etaṃ nekkhammaṃ santaṃ vigatadarathapariḷāhan ti evaṃ passantānaṃ bhikkhūnaṃ. Passato juga terdapat dalam edisi Sinhala yang lebih tua. Mungkin passato masuk ke dalam teks karena kekeliruan tranposisi dari penjelasan Sang Buddha di bawah, di mana bentuk tunggal lebih tepat.

1945 > Mp menginterpretasikan pelepasan keduniawian (nekkhamma) di sini sebagai “meninggalkan keduniawian” (pabbajjā) menuju kehidupan tanpa rumah. Tetapi teks itu sendiri tampaknya memperbolehkan pelepasan keduniawian sebagai suatu kualitas internal, yang secara implisit diidentifikasikan dengan pencapaian kokoh jhāna pertama.

1946 > Saya mengikuti bagian pengelompokan Ee, yang selaras dengan pengelompokan paragraf pada Be dan menunjukkan transisi dalam khotbah yang lebih baik daripada pengelompokan dalam Ce.

1947 > Saya mengikuti Ee dalam membaca aparena samayena di sini dan dalam tiap-tiap bagian yang bersesuaian. Ce dan Be menghilangkannya pada bagian-bagian berikutnya.

1948 > Di sini saya mengikuti naskah yang dirujuk dalam catatan Ee, yang membaca upekhāsukhasahagata (“disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan”). Ini lebih sesuai dengan penjelasan daripada tulisan upek(k)khāsahagatā yang terdapat pada seluruh tiga edisi cetak.

1949 > Dalam Ce dan Be Sāmaññavaggo. Ee menamainya Pañcalavagga.

1950 > Syair ini terdapat pada SN 2:7, I 48. Be dan Ee memuat kesalahan penulisan pada pāda a dalam AN, sambādhe gataṃ okāsaṃ, bukan seperti Ce sambādhe vata okāsaṃ. Teks SN 2:7 pada Be dan Ee menuliskan vata juga, dalam pāda b, Ce menuliskan avindi, Ee avida, dua bentuk aoris yang berarti “mengetahui.” Tetapi Be menuliskan avidvā, “tidak mengetahui, bodoh,” yang sulit dijelaskan. Dalam SN 2:7 Be juga menuliskan kata kerja itu sebagai avindi.

1951 > Baca 9:37.

1952 > Pariyāyena. Mp: “Untuk satu alasan (ekena kāraṇena). Karena jhāna pertama disebut pencapaian bukaan hanya sehubungan dengan ketiadaan kurungan nafsu indria, bukan dalam segala aspek.

1953 > Yadeva tattha rūpasaññā aniruddhā hoti. Kata kerja tunggal hoti menunjukkan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah “persepsi” dalam bentuk tunggal. Akan tetapi, dalam paragraf berikutnya, rūpasaññānaṃ dan paṭighasaññānaṃ adalah bentuk genitif jamak.

1954 > Nippariyāyena. Mp: “Bukan hanya karena satu alasan tunggal, tetapi karena telah meninggalkan segala kurungan, maka hancurnya noda-noda disebut pencapaian sebuah bukaan dalam segala cara.”

1955 > MN 70.17, I 478,4-8 memberikan definisi formal atas saksi tubuh (kāyasakkhī) sebagai seorang yang “menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan itu yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan dengan melihatnya melalui kebijaksanaan.” Akan tetapi, dalam sutta sekarang ini, kata “saksi tubuh” tidak sesuai dengan definisi formal tersebut melainkan dijelaskan berdasarkan pada permainan kata. Tegasnya, seorang yang mencapai hancurnya noda-noda sepenuhnya adalah bukan lagi seorang saksi tubuh, yang merupakan kelompok dari mereka yang masih berlatih.

1956 > Yathā yathā ca tadāyatanaṃ tathā tathā naṃ kāyena phusitvā viharati. Mp: “Melalui cara apa pun atau dalam jalan apa pun landasan itu yang terdapat dalam jhāna pertama, dengan cara yang sama itu, atau dalam jalan yang sama itu, ia berdiam setelah menyentuh pencapaian itu dengan tubuh batin yang ada secara berdampingan (sahahātanāmakāyena phusitvā).”

1957 > Seperti disiratkan dalam catatan sebelumnya, di sini kata “makna bukan-sementara” digunakan dalam makna yang bebas, “sementara”. Dalam makna tepat, bukan-sementara, siswa demikian bukanlah seorang saksi tubuh, karena seorang saksi tubuh yang sesungguhnya masih belum mencapai Kearahattaan.

1958 > Sekali lagi, tegasnya, menurut definisi formal pada MN 70.16, I 477,33-36, seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimuttā) adalah seorang Arahant yang tidak mencapai pembebasan tanpa bentuk atau lenyapnya persepsi dan perasaan. Demikian pula, agar sesuai dengan persyaratan formal bagi “terbebaskan dalam kedua aspek” (pada sutta berikutnya), seorang siswa bukan hanya harus merealisasikan Kearahattaan tetapi juga harus mencapai pembebasan tanpa bentuk, seperti disebutkan pada MN 70.15, I 477,26-28.

1959 > Sikkhādubbalyāni. Lit., “kelemahan-kelemahan [sehubungan dengan] latihan.” Apa yang dimaksudkan di sini bukanlah cacat dalam latihan itu sendiri, melainkan cacat dalam pelaksanaan latihan seseorang. Sutta-sutta 9:63-92 semuanya adalah sembilan campuran yang diperoleh dengan menggabungkan sepuluh kelompok lima¸berturut-turut dengan, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, dan empat landasan kekuatan batin.

1960 > Ee tidak menomori vagga ini. Ce menomorinya sebagai 5 dan Be menomorinya sebagai (10) 5, menggunakan skema penomoran berurutan dan penomoran vagga dalam kelompok lima puluh.

1961 > Ce tidak menomori sutta-sutta dalam rangkaian ini. Be menomorinya sebagai kelanjutan dari sutta-sutta dalam keseluruhan nipāta, dari 93 hingga 432. Ee menomorinya dari 93 hingga 100, dengan tidak menjelaskan mengapa berakhir pada 100. Saya mengikuti penomoran Be.

1962 > Ce menuliskan 3-18, tetapi ada delapan belas sutta dalam kelompok ini; sembilan persepsi dan sembilan pencapaian meditatif harus secara kolektif dipasangkan dengan sembilan kata dari “pemahaman penuh” hingga “terlepasnya.” Delapan belas yang dimulai dengan 3 karena itu harus ditambahkan pada dua sutta sebelumnya sehingga kelompok sutta sekarang ini berakhir pada 20.

1963 > Ce memberikan catatan: “Tujuh belas kata dari ‘nafsu’ hingga ‘kelengahan,’ masing-masing harus dipasangkan pada sepuluh kata yang dimulai dengan ‘demi pengetahuan langsung.’ Masing-masing dari ini harus dianggap sutta terpisah dengan sembilan persepsi dan sembilan pencapaian meditatif, yang dijelaskan sebagai ‘sembilan hal yang harus dikembangkan.’ Dengan demikian seluruhnya ada 340 sutta.”