//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH  (Read 7406 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #15 on: 31 July 2013, 09:38:13 PM »
67 (3) Perumpamaan Benteng

“Para bhikkhu, ketika benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan tujuh perlengkapan sebuah benteng, dan dengan mudah mendapatkan, tanpa kesusahan atau kesulitan, empat jenis makanan, maka benteng itu disebut benteng perbatasan seorang raja yang tidak dapat diserang oleh lawan dan musuh eksternal.

“Apakah ketujuh jenis perlengkapan sebuah benteng yang dengan baik melengkapi itu?

(1) “Di sini, para bhikkhu, dalam benteng perbatasan raja itu, tiang-tiangnya memiliki landasan yang tertanam dalam dan kokoh, tidak bergerak, tidak goyah. Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan pertama ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(2) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja paritnya digali dalam dan lebar. Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke dua ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar. [107]

(3) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja jalan setapak untuk berpatrolinya tinggi dan lebar. Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke tiga ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(4) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak senjata tersimpan, baik peluru maupun senjata tangan.<1580> Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke empat ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(5) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak tentara berdiam, yaitu, prajurit gajah, prajurit kuda, pasukan kereta, pemanah, pembawa panji, petugas barak, pelayan makanan, para prajurit kasta-ugga, prajurit penyerang garis depan, prajurit sapi-besar, prajurit penyerang, prajurit pembawa-perisai, prajurit budak-rumah-tangga.<1581> Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke lima ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(6) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja penjaga gerbangnya bijaksana, kompeten, dan cerdas, seorang yang menghalau orang asing dan menerima orang-orang yang dikenal. Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke enam ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(7) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja tanggulnya tinggi dan lebar, dilapisi oleh lapisan plester. Benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan perlengkapan ke tujuh ini untuk melindungi para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar. [108]

“Benteng itu dengan baik dilengkapi dengan ketujuh jenis perlengkapan ini. Dan apakah empat jenis makanan yang didapatkan dengan mudah, tanpa kesusahan atau kesulitan?

(1) “Di sini, para bhikkhu, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak rumput, kayu api, dan air tersimpan untuk kesenangan, kenyamanan,<1582> dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(2) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak beras dan gandum tersimpan untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(3) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak bahan makanan – wijen, sayur-mayur, dan biji-bijian<1583> - tersimpan untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

(4) “Kemudian, dalam benteng perbatasan seorang raja banyak obat-obatan – ghee, mentega, minyak, madu, sirup, dan garam - tersimpan untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar.

“Ini adalah keempat makanan yang didapat dengan mudah, tanpa kesusahan atau kesulitan.

“Ketika, para bhikkhu, benteng perbatasan seorang raja dengan baik dilengkapi dengan ketujuh perlengkapan sebuah benteng ini, dan dengan mudah mendapatkan, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jenis makanan ini, maka benteng itu disebut benteng perbatasan seorang raja yang tidak dapat diserang oleh lawan dan musuh eksternal.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang siswa mulia memiliki tujuh kualitas baik, dan [109] ketika ia mendapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, maka ia disebut seorang siswa mulia yang tidak dapat diserang oleh Māra, yang tidak dapat diserang oleh Yang Jahat.

“Apakah ketujuh kualitas baik yang ia miliki?

(1) “Seperti halnya, para bhikkhu, tiang-tiang dalam benteng perbatasan seorang raja yang memiliki landasan yang tertanam dalam dan kokoh, tidak bergerak, tidak goyah, yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.” Dengan keyakinan sebagai tiangnya, siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik pertama ini.

(2) “Seperti halnya parit dalam benteng perbatasan seorang raja digali dalam dan lebar yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia memiliki rasa malu bermoral; ia malu terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Dengan rasa malu bermoral sebagai parit, siswa mulia itu siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke dua ini.

(3) “Seperti halnya jalan setapak untuk berpatroli dalam benteng perbatasan seorang raja tinggi dan lebar yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia memiliki rasa takut bermoral; ia takut terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Dengan rasa takut bermoral sebagai jalan setapak untuk berpatroli, siswa mulia itu siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan [110] apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke tiga ini.

(4) “Seperti halnya banyak senjata, baik peluru maupun senjata tangan, tersimpan dalam benteng perbatasan seorang raja yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah,  dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Dengan pembelajaran ini sebagai senjata, siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke empat ini.

(5) “Seperti halnya banyak jenis pasukan berdiam dalam benteng perbatasan seorang raja, seperti prajurit gajah … prajurit budak-rumah-tangga, yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, teguh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Dengan kegigihan sebagai para prajuritnya,  siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke lima ini.

(6) “Seperti halnya penjaga gerbang dalam benteng perbatasan seorang raja yang bijaksana, kompeten, dan cerdas, seorang yang menghalau orang asing dan menerima orang-orang yang dikenal, yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, [111] demikian pula seorang siswa mulia penuh perhatian, memiliki perhatian dan kewaspadaan tertinggi, seorang yang mengingat apa yang telah dilakukan dan dikatakan yang telah lama berlalu. Dengan perhatian sebagai penjaga gerbangnya, siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke enam ini.

(7) “Seperti halnya tanggul dalam benteng perbatasan seorang raja yang tinggi dan lebar, dilapisi dengan lapisan plester, yang bertujuan untuk melindungi para penghuninya dan menghalau pihak luar, demikian pula seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Dengan kebijaksanaan sebagai lapisan plester, siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat, meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tanpa cela, dan menjaga dirinya dalam kemurnian. Ia memiliki kualitas baik ke tujuh ini.

“Ia memiliki ketujuh kualitas baik ini.<1584>

“Dan apakah empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini? Yang ia dapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan?

(1) “Seperti halnya, para bhikkhu, banyak rumput, kayu api, dan air tersimpan dalam benteng perbatasan seorang raja untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar, demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan – untuk kesenangan, kenyamanan, dan penghiburan bagi dirinya sendiri, dan untuk memasuki nibbāna.

(2) “Seperti halnya [112] banyak beras dan gandum tersimpan dalam benteng perbatasan seorang raja untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar, demikian pula, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan - untuk kesenangan, kenyamanan, dan penghiburan bagi dirinya sendiri, dan untuk memasuki nibbāna.

(3) “Seperti halnya banyak bahan makanan - wijen, sayur-mayur, dan biji-bijian - tersimpan dalam benteng perbatasan seorang raja untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar, demikian pula Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ - untuk kesenangan, kenyamanan, dan penghiburan bagi dirinya sendiri, dan untuk memasuki nibbāna.

(4) “Seperti halnya banyak obat-obatan – ghee, mentega, minyak, madu, sirup, dan garam - tersimpan dalam benteng perbatasan seorang raja untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemudahan para penghuninya dan untuk menghalau pihak luar, demikian pula, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan - untuk kesenangan, kenyamanan, dan penghiburan bagi dirinya sendiri, dan untuk memasuki nibbāna.

“Ini adalah keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, yang ia dapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan. [113]

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memiliki ketujuh kualitas baik ini, dan ketika ia mendapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna ini yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, maka ia disebut seorang siswa mulia yang tidak dapat diserang oleh Māra, yang tidak dapat diserang oleh Yang Jahat.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #16 on: 31 July 2013, 09:38:25 PM »
68 (4) Seorang Yang Mengetahui Dhamma

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui makna, yang mengenali dirinya sendiri, yang mengetahui kecukupan, yang mengetahui waktu yang tepat, yang mengenali kumpulan, dan yang mengenali jenis-jenis orang yang mulia dan yang hina.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengetahui Dhamma? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Jika seorang bhikkhu tidak mengetahui Dhamma – khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengetahui Dhamma.’ Tetapi karena ia mengetahui Dhamma – khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – maka ia disebut ‘seorang yang mengetahui Dhamma.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengetahui makna? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui makna dari pernyataan ini dan itu sebagai berikut: ‘Ini adalah makna dari pernyataan ini; ini adalah makna dari pernyataan itu.’ Jika seorang bhikkhu tidak mengetahui makna dari pernyataan ini dan itu seperti demikian …  maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengetahui makna.’ Tetapi karena ia mengetahui makna dari pernyataan ini dan itu sebagai berikut: ‘Ini adalah makna dari pernyataan ini; [114] ini adalah makna dari pernyataan itu,’ maka ia disebut ‘seorang yang mengetahui makna.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma dan yang mengetahui makna.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengenali dirinya sendiri? Di sini, seorang bhikkhu mengenali dirinya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, kebijaksanaan, dan pemahaman sebesar itu.’ Jika seorang bhikkhu tidak mengenali dirinya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki keyakinan … pemahaman sebesar itu,’ maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengenali dirinya sendiri.’ Tetapi karena ia mengenali dirinya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki keyakinan … pemahaman sebesar itu,’ maka ia disebut ‘seorang yang mengenali dirinya sendiri.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma, seorang yang mengetahui makna, dan seorang yang mengenali dirinya sendiri.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengetahui kecukupan? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui kecukupan dalam menerima jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Jika seorang bhikkhu tidak mengetahui kecukupan dalam menerima jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit, maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengetahui kecukupan.’ Tetapi karena ia mengetahui kecukupan dalam menerima jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, maka ia disebut ‘seorang yang mengetahui kecukupan.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma, seorang yang mengetahui makna, seorang yang mengenali dirinya sendiri, dan seorang yang mengetahui kecukupan.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengetahui waktu yang tepat? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui waktu yang tepat sebagai berikut: ‘Ini adalah waktunya untuk belajar, ini adalah waktunya untuk bertanya, ini adalah waktunya untuk berusaha, ini adalah waktunya untuk mengasingkan diri.’ Jika seorang bhikkhu tidak mengetahui waktu yang tepat – ‘Ini adalah waktunya untuk belajar … ini adalah waktunya untuk mengasingkan diri’ – maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengetahui waktu yang tepat.’ Tetapi karena ia mengetahui waktu yang tepat - ‘Ini adalah waktunya untuk belajar … ini adalah waktunya untuk mengasingkan diri’ – maka ia disebut ‘seorang yang mengetahui waktu yang tepat.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma, seorang yang mengetahui makna, seorang yang mengenali dirinya sendiri, seorang yang mengetahui kecukupan, dan seorang yang mengetahui waktu yang tepat.

(6) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengenali kumpulan? Di sini, seorang bhikkhu mengenali kumpulan: ‘Ini adalah kumpulan para khattiya, ini adalah kumpulan para brahmana, ini adalah kumpulan para perumah tangga, ini adalah kumpulan para petapa. Di antara kumpulan-kumpulan ini, seseorang harus mendatangi [kumpulan ini] dengan cara demikian; [115] ia harus berhenti dengan cara demikian; ia harus bertindak dengan cara demikian; ia harus duduk dengan cara demikian; ia harus berbicara dengan cara demikian; ia harus berdiam diri dengan cara demikian.’ Jika seorang bhikkhu tidak mengenali kumpulan: ‘Ini adalah kumpulan para khattiya … para petapa. Di antara kumpulan-kumpulan ini, seseorang harus mendatangi [kumpulan ini] dengan cara demikian … ia harus berdiam diri dengan cara demikian’ – maka ia tidak dapat disebut ‘seorang yang mengenali kumpulan.’ Tetapi karena ia mengenali kumpulan - ‘Ini adalah kumpulan para khattiya … para petapa. Di antara kumpulan-kumpulan ini, seseorang harus mendatangi [kumpulan ini] dengan cara demikian … ia harus berdiam diri dengan cara demikian’ – maka ia disebut ‘seorang yang mengenali kumpulan.’ Demikianlah ia adalah seorang yang mengetahui Dhamma, seorang yang mengetahui makna, seorang yang mengenali dirinya sendiri, seorang yang mengetahui kecukupan, seorang yang mengetahui waktu yang tepat, dan seorang yang mengenali kumpulan.

(7) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang mengenali jenis-jenis orang yang mulia dan yang hina? Di sini, seorang bhikkhu memahami orang-orang secara berpasangan.<1585>

(i) “Dua orang: satu ingin menemui para mulia; yang lainnya tidak ingin menemui para mulia. Orang yang tidak ingin menemui para mulia dalam hal ini adalah tercela; orang yang ingin menemui para mulia dalam hal ini adalah terpuji.

(ii) “Dua orang ingin menemui para mulia: satu ingin mendengarkan Dhamma sejati; yang lainnya tidak ingin mendengarkan Dhamma sejati. Orang yang tidak ingin mendengarkan Dhamma sejati dalam hal ini adalah tercela; orang yang ingin mendengarkan Dhamma sejati dalam hal ini adalah terpuji.

(iii) “Dua orang ingin mendengarkan Dhamma sejati: satu mendengarkan Dhamma dengan menyimak; yang lainnya tidak mendengarkan Dhamma dengan menyimak. Orang yang tidak mendengarkan Dhamma dengan menyimak dalam hal ini adalah tercela; orang [116] yang mendengarkan Dhamma dengan menyimak dalam hal ini adalah terpuji.

(iv) “Dua orang mendengarkan Dhamma dengan menyimak: satu, setelah mendengar Dhamma, ia mengingatnya; yang lainnya, setelah mendengarkan Dhamma, ia tidak mengingatnya. Orang yang, setelah mendengarkan Dhamma, tidak mengingatnya dalam hal ini adalah tercela; orang yang, setelah mendengarkan Dhamma, dan mengingatnya dalam hal ini adalah terpuji.

(v) “Dua orang yang, setelah mendengarkan Dhamma, dan mengingatnya: satu memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah diingat; yang lainnya tidak memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah diingat. Orang yang tidak memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah diingat dalam hal ini adalah tercela; orang yang memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah diingat dalam hal ini adalah terpuji.

(vi) “Dua orang yang memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah diingat: satu telah memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma; yang lainnya tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma. Orang yang tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma dalam hal ini adalah tercela; orang yang telah memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma dalam hal ini adalah terpuji.

(vii) “Dua orang yang telah memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma: satu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain; yang lainnya berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain. Orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain dalam hal ini adalah tercela; orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain dalam hal ini adalah terpuji.

“Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu memahami orang-orang secara berpasangan. Adalah dengan cara ini seorang bhikkhu adalah seorang yang mengenali jenis-jenis orang yang mulia dan yang hina. [117]

“Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #17 on: 31 July 2013, 09:38:53 PM »
69 (5) Pāricchattaka

(1) “Para bhikkhu, ketika dedaunan pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah menguning,<1586> para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Dedaunan pohon koral pāricchattaka sekarang telah menguning. Sekarang tidak lama lagi dedaunan itu akan berguguran.’

(2) “Ketika dedaunan pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah berguguran, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘dedaunan pohon koral pāricchattaka telah berguguran. Sekarang tidak lama lagi awal kemunculan bunga akan terjadi.’<1587>

(3) “Ketika awal kemunculan bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah terjadi, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Awal kemunculan bunga pohon koral pāricchattaka telah terjadi. Sekarang tidak lama lagi tunas bunga akan tumbuh.’<1588>

(4) “Ketika tunas bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah tumbuh, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Tunas bunga pada pohon koral pāricchattaka telah tumbuh. Sekarang tidak lama lagi kuncupnya akan muncul.’<1589>

(5) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah muncul, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka telah muncul. Sekarang tidak lama lagi [118] kuncupnya akan membuka.’<1590>

(6) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah membuka, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka telah membuka. Sekarang tidak lama lagi bunganya akan mekar sempurna.’<1591>

(7) “Ketika bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah mekar sempurna, para deva Tāvatiṃsa bergembira, dan mereka menghabiskan empat bulan surgawi di bawah pohon koral pāricchattaka menikmati kelima objek kenikmatan indria. Ketika pohon koral pāricchattaka telah mekar sempurna, sinar memancar hingga sejauh lima puluh yojana sekeliling dan aromanya tertiup angin hingga sejauh seratus yojana. Ini adalah keagungan pohon koral pāricchattaka.

(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang siswa mulia berniat untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah menguning, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.<1592>

(2) “Ketika seorang siswa mulia telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah berguguran, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(3) “Ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … pada saat itu awal kemunculan bunganya telah terjadi, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(4) “Ketika, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … pada saat itu tunas bunganya telah tumbuh, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(5) “Ketika, [119] dengan memudarnya sukacita, seorang siswa mulia … seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … pada saat itu kuncup bunganya telah muncul, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(6) “Ketika, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … pada saat itu kuncup bunganya telah membuka, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(7) “Ketika, dengan hancurnya noda-noda, seorang siswa mulia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, pada saat itu ia telah mekar sempurna, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

“Pada saat itu, para bhikkhu, para deva yang berdiam di bumi bersorak: ‘Yang Mulia ini, murid dari Yang Mulia itu, telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dari desa atau pemukiman itu, dan sekarang, dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Setelah mendengar seruan para deva yang berdiam di bumi, para deva [yang dipimpin oleh] Empat Raja Deva bersorak … setelah mendengar seruan para deva [yang dipimpin oleh] Empat Raja Deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva yang bersenang dalam penciptaan … para deva yang menguasai ciptaan para deva lain … para deva kumpulan Brahmā bersorak: ‘Yang Mulia ini … telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Demikianlah [120] pada seketika itu, pada sekejap itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahma.<1593> Ini adalah keagungan spiritual dari seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan.

70 (6) Menghormati

Ketika Yang Mulia Sāriputta sedang sendirian dalam keterasingan, pemikiran berikut ini muncul dalam pikirannya: “Apakah yang seorang bhikkhu harus hormati, hargai, dan berdiam dengan bergantung sehingga ia dapat meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat?”

Kemudian ia berpikir: “(1) Seorang bhikkhu harus menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Sang Guru sehingga ia dapat meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat. (2) Ia harus menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma … (3) … Saṅgha … (4) … latihan … (5) … konsentrasi … (6) … ketekunan … (7) … keramahan sehingga ia dapat meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Kualitas-kualitas ini telah dimurnikan dan dibersihkan dalam diriku. Biarlah aku menemui Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau. Dengan demikian kualitas-kualitas ini akan menjadi murni dalam diriku dan akan lebih dikenal luas sebagai murni.<1594> Misalkan seseorang menemukan sebongkah emas, yang murni dan bersih. Ia akan berpikir: ‘Bongkahan emasku ini murni dan bersih. Biarlah aku pergi dan memperlihatkannya kepada pandai emas. Kemudian, ketika bongkahan emasku ini telah diperlihatkan kepada pandai emas, maka bongkahan emas itu akan menjadi murni dan menjadi lebih dikenal luas sebagai murni.’ Demikian pula kualitas-kualitas ini telah dimurnikan dan dibersihkan dalam diriku. Biarlah aku menemui Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau. Dengan demikian kualitas-kualitas ini akan menjadi murni dalam diriku dan akan lebih dikenal luas sebagai murni.”

Kemudian, [121] pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keterasingan dan mendatangi Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Di sini, Bhante, ketika aku sedang sendirian dalam keterasingan, pemikiran berikut ini muncul dalam pikiranku … [Di sini ia menceritakan keseluruhan pemikirannya seperti disebutkan di atas, hingga:] … Dengan demikian kualitas-kualitas ini akan menjadi murni dalam diriku [122] dan akan lebih dikenal luas sebagai murni.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Seorang bhikkhu harus menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Sang Guru sehingga ia dapat meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat. Ia harus menghormati, menghargai, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma … Saṅgha … latihan … konsentrasi … ketekunan … keramahan sehingga ia dapat meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku memahami secara terperinci sebagai berikut atas makna dari pernyataan yang Sang Bhagavā babarkan secara ringkas.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru dapat meghargai Dhamma. Seorang bhikkhu yang (1) tidak menghargai Sang Guru (2) juga tidak menghargai Dhamma.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru dan Dhamma dapat meghargai Saṅgha. Seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru dan Dhamma (3) juga tidak menghargai Saṅgha.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha dapat meghargai latihan. Seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha (4) juga tidak menghargai latihan.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan dapat meghargai konsentrasi. Seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan (5) juga tidak meghargai konsentrasi.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, dan konsentrasi dapat meghargai ketekunan. Seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, dan konsentrasi [123] (6) juga tidak menghargai ketekunan.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, konsentrasi, dan ketekunan dapat meghargai keramahan. Seorang bhikkhu yang tidak meghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan,  konsentrasi, dan ketekunan (7) juga tidak menghargai keramahan.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru dapat tidak menghargai Dhamma. Bhikkhu yang (1) menghargai Sang Guru (2) juga menghargai Dhamma.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru dan Dhamma dapat tidak menghargai Saṅgha. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru dan Dhamma (3) juga menghargai Saṅgha.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha dapat tidak menghargai latihan. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha (4) juga menghargai latihan.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan dapat tidak menghargai konsentrasi. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan (5) juga menghargai konsentrasi.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan dapat tidak menghargai konsentrasi. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, dan latihan (5) juga menghargai konsentrasi.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, [124] bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha,  latihan, dan konsentrasi dapat tidak menghargai ketekunan. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, dan konsentrasi (6) juga menghargai ketekunan.

“Adalah tidak mungkin, Bhante, bahwa seorang bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha,  latihan,  konsentrasi, dan ketekunan dapat tidak menghargai keramahan. Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, konsentrasi, dan ketekunan (7) juga menghargai keramahan.

“Dengan cara inilah, Bhante, aku memahami secara terperinci atas makna dari pernyataan yang Sang Bhagavā babarkan secara ringkas.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali bahwa engkau memahami secara terperinci atas makna dari pernyataan yang Kubabarkan secara ringkas secara demikian. Memang, Sāriputta, adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak menghargai Sang Guru dapat menghargai Dhamma … [di sini Sang Buddha mengulangi keseluruhan penjelasan yang disampaikan oleh Sāriputta.] [125] …  Bhikkhu yang menghargai Sang Guru, Dhamma, Saṅgha, latihan, konsentrasi, dan ketekunan juga menghargai keramahan.

“Dengan cara inilah, Sāriputta, makna dari pernyataan yang Kubabarkan secara ringkas harus dipahami secara terperinci.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #18 on: 31 July 2013, 09:39:21 PM »
71 (7) Pengembangan <1595>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya tidak terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memiliki pengembangan. Tidak memiliki pengembangan apakah? (1) empat penegakan perhatian, (2) empat usaha benar, (3) empat landasan kekuatan batin, (4) lima indria spiritual, (5) lima kekuatan, (6) tujuh faktor pencerahan, dan (7) jalan mulia berunsur delapan.

“Misalkan ada seekor ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang tidak ia tutupi, tidak dierami, dan tidak dipelihara dengan baik. [126] Walaupun ia berkehendak: ‘Semoga anak-anakku menusuk cangkang mereka dengan ujung cakar atau paruh mereka dan menetas dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu tidak mampu melakukannya. Karena alasan apakah? Karena ayam betina itu tidak menutupi, tidak mengerami, dan tidak memelihara telur-telurnya dengan baik.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu tidak bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya tidak terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memiliki pengembangan. Tidak memiliki pengembangan apakah? Empat penegakan perhatian … jalan mulia berunsur delapan.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia tidak berkehendak: [127] ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena pengembangannya. Pengembangan apakah? (1) empat penegakan perhatian, (2) empat usaha benar, (3) empat landasan kekuatan batin, (4) lima indria spiritual, (5) lima kekuatan, (6) tujuh faktor pencerahan, dan (7) jalan mulia berunsur delapan.

“Misalkan ada seekor ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang ditutupi, dierami, dan dipelihara dengan baik. Walaupun ia tidak berkehendak: ‘Semoga anak-anakku menusuk cangkang mereka dengan ujung cakar atau paruh mereka dan menetas dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu mampu melakukannya. Karena alasan apakah? Karena ayam betina itu telah menutupi, mengerami, dan memelihara telur-telurnya dengan baik.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia tidak berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena pengembangannya. Pengembangan apakah? Empat penegakan perhatian … jalan mulia berunsur delapan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang tukang kayu atau murid tukang kayu melihat cetakan jari tangannya pada gagang kapaknya, ia tidak mengetahui: ‘Aku telah membuat aus sebanyak ini pada gagang kapak hari ini,sebanyak ini kemarin, sebanyak ini pada hari sebelumnya’; melainkan ketika gagang kapak itu menjadi aus, ia mengetahui bahwa gagang kapaknya telah menjadi aus. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, walaupun ia tidak mengetahui: ‘Aku telah mengikis noda-noda sebanyak ini hari ini, sebanyak ini kemarin, sebanyak ini pada hari sebelumnya,’ namun ketika noda-nodanya terkikis, ia mengetahui bahwa noda-nodanya terkikis.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebuah kapal layar yang terikat dengan tali yang telah usang di dalam air selama enam bulan. Kapal itu akan ditarik ke darat selama musim dingin dan talinya akan diserang lebih jauh lagi oleh angin dan matahari. Dibasahi oleh hujan, tali itu akan menjadi lapuk dan membusuk. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka belenggu-belenggunya menjadi runtuh dan membusuk.” [128]

72 (8 ) Api

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat Sang Bhagavā melihat api besar membakar, menyala, dan berkobar. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat api besar yang membakar, menyala, dan berkobar itu?”

“Ya, Bhante.”

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya, atau merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya. Adalah sangat menyakitkan merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral yang berkarakter buruk – seorang yang tidak murni dan berperilaku mencurigakan, tindakan-tindakannya penuh kerahasiaan, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai seorang petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku selibat, busuk di dalam, jahat, rusak – adalah jauh lebih baik merangkul api besar itu yang membakar, menyala, dan berkobar, dan duduk atau berbaring di dekatnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu [129] ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … merangkul seorang gadis dengan tangan dan kaki yang lembut – apakah dari kasta khattiya, brahmana, atau perumah tangga – dan duduk atau berbaring di dekatnya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mengikat seseorang dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekeliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya, atau seorang yang menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mengikat seseorang dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya.

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat mengikat dengan tali yang terbuat dari ekor kuda di sekeliling kakinya dan mengencangkannya sehingga mengiris kulit luarnya, kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, dan tulangnya, hingga mengenai sumsumnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. [130] Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menerima penghormatan dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(3) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang menusuk seseorang di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak, atau seorang yang menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat menusuknya di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat menusuknya di dadanya dengan tombak tajam yang dilumuri minyak. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menerima salam hormat dari para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(4) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang membungkus seseorang dengan selembar besi panas – yang membakar, [131] menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya, atau seorang yang menggunakan jubah yang diberikan karena keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan jubah yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat membungkus seseorang dengan selembar besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat membungkus seseorang dengan selembar besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – di sekeliling tubuhnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan jubah yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(5) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang membuka paksa mulut seseorang dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – yang membakar bibir, mulut, lidah, tenggorokan, dan perutnya,<1596> [132] dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya, atau seorang yang memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat membuka paksa mulutnya dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas  … yang membakar bibir … dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat membuka paksa mulutnya dengan sebatang paku besi besar – yang membakar, menyala, dan berkobar – dan memasukkan bola tembaga panas  … yang membakar bibir … dan keluar dari bawah membawa serta isi perutnya. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … memakan dana makanan yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(6) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mencengkeram seseorang pada kepala atau bahunya [133] dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas – yang membakar, menyala, dan berkobar – atau seorang yang menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mencengkeramnya pada kepala atau bahunya dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas, yang membakar, menyala, dan berkobar.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral … adalah jauh lebih baik jika seorang kuat mencengkeramnya pada kepala atau bahunya dan memaksanya duduk atau berbaring di atas tempat tidur atau kursi yang terbuat dari besi panas, yang membakar, menyala, dan berkobar. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan tempat tidur atau kursi yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(7) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih baik, seorang kuat yang mencengkeram seseorang, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – dan sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan, atau seorang yang menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya?”

“Adalah jauh lebih baik, Bhante, bagi seseorang untuk menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau para perumah tangga kaya. Adalah sangat menyakitkan jika seorang kuat mencengkeramnya, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – dan sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan.”

“Aku beritahukan kepada kalian, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian bahwa bagi seorang tidak bermoral yang berkarakter buruk – seorang yang tidak murni dan berperilaku mencurigakan, tindakan-tindakannya penuh kerahasiaan, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai seorang petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku selibat, busuk di dalam, jahat, rusak – adalah jauh lebih baik seorang kuat mencengkeramnya, membalikkannya, dan melemparkannya ke dalam sebuah kuali tembaga panas - yang membakar, menyala, dan berkobar – sehingga sewaktu ia sedang direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terapung, kadang-kadang tenggelam, dan kadang-kadang terhanyutkan. Karena alasan apakah? Karena dengan melakukan itu ia akan mengalami kematian atau kesakitan mematikan, tetapi karena alasan itu ia tidak, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Tetapi ketika orang tidak bermoral itu … menggunakan tempat tinggal yang diberikan dengan keyakinan oleh para khattiya kaya, para brahmana kaya, atau perumah tangga kaya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya dalam waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Ketika kami menggunakan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, pelayanan-pelayanan ini yang diberikan [oleh orang lain] untuk kami akan berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka, dan pelepasan keduniawian kami tidak akan mandul, melainkan berbuah dan subur.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Dengan mempertimbangkan kebaikan kalian, para bhikkhu, cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan ketekunan; dengan mempertimbangkan kebaikan orang lain, [135] cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan ketekunan; dengan mempertimbangkan kebaikan keduanya, cukuplah itu untuk berusaha mencapai tujuan dengan ketekunan.”<1597>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Sekarang selagi pembabaran ini sedang disampaikan, enam puluh bhikkhu memuntahkan darah panas. Enam puluh bhikkhu menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, dengan mengatakan: “Adalah sulit dilakukan, Bhagavā, sangat sulit dilakukan.” Dan pikiran enam puluh bhikkhu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.<1598>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #19 on: 31 July 2013, 09:39:49 PM »
73 (9) Sunetta

(1) “Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria.<1599> Guru Sunetta memiliki ratusan siswa yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajarkan Dhamma seperti demikian, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Di masa lampau, para bhikkhu,  (2) terdapat seorang guru bernama Sunetta Mūgapakkha … (3) terdapat seorang guru bernama Aranemi … (4) terdapat seorang guru bernama Kuddāla … (5) terdapat seorang guru bernama Hatthipāla … (6) terdapat seorang guru bernama Jotipāla … (7) terdapat seorang guru bernama Araka, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Araka memiliki ratusan siswa yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia [136] sedang mengajarkan Dhamma seperti demikian, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Ketujuh guru ini yang adalah para pendiri sekte-sekte spiritual, orang-orang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria yang memiliki pengikut ratusan siswa. Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencela mereka dan komunitas para siswa mereka, tidakkah ia telah menghasilkan banyak keburukan?”

“Benar, Bhante.”

“Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencela mereka dan komunitas para siswa mereka, maka ia telah menghasilkan banyak keburukan. Tetapi jika, dengan pikiran kebencian, seseorang mencela dan memaki satu orang yang sempurna dalam pandangan, maka ia menghasilkan lebih banyak keburukan lagi. Karena alasan apakah? Aku katakan, para bhikhu, tidak ada luka dalam melawan para pihak luar seperti halnya melawan teman-teman [kalian] para bhikkhu.<1600> Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan membiarkan kebencian muncul dalam pikiran kami terhadap teman-teman kami para bhikkhu.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

74 (10) Araka

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Araka, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Sunetta memiliki ratusan siswa yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘Para brahmana, kehidupan manusia adalah singkat, terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. [137] Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(1) “‘Bagaikan setetes embun di ujung helai rumput akan dengan cepat lenyap ketika matahari terbit dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti setetes embun. Terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(2) “‘Bagaikan, ketika butiran besar hujan turun, gelembung airnya akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti gelembung air. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(3) “‘Bagaikan garis yang digoreskan di atas air dengan sebatang kayu akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti garis yang digoreskan di atas air dengan sebatang kayu. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(4) “‘Bagaikan sungai yang mengalir dari sebuah gunung, mengalir jauh, dengan arus yang cepat, membawa serta banyak puing-puing, tidak akan berhenti bahkan untuk sesaat, sekejap, sedetik, melainkan akan terus mendorong, berpusar, dan mengalir, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti sungai di gunung. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(5) “‘Bagaikan seorang kuat yang dapat membentuk segumpal ludah diujung lidahnya dan meludahkannya keluar tanpa kesulitan, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti segumpal ludah. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(6) “‘Bagaikan [138] sepotong daging yang dilemparkan ke dalam panci besi yang telah dipanaskan sepanjang hari akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti sepotong daging ini. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(7) “‘Bagaikan, ketika seekor sapi yang akan disembelih sedang dituntun menuju rumah penjagalan, kaki mana pun yang ia angkat, ia mendekati penjagalan, mendekati kematian, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti seekor sapi yang akan disembelih. Terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’

“Tetapi pada masa itu, para bhikkhu, umur kehidupan manusia adalah 60.000 tahun, dan gadis-gadis menikah pada usia lima ratus tahun. Pada masa itu, orang-orang hanya memiliki enam kesengsaraan: dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil. Walaupun orang-orang memiliki umur yang demikian panjang dan hidup begitu lama, dan walaupun kesengsaraan mereka begitu sedikit, akan tetapi tetap saja, Guru Araka memberikan ajaran demikian kepada para siswanya: : ‘Para brahmana, kehidupan manusia adalah singkat … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’

“Tetapi pada masa sekarang ini, seseorang dapat dengan benar mengatakan: ‘Kehidupan manusia adalah singkat, terbatas, dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’ Karena pada masa sekarang seorang yang berumur panjang hidup selama seratus tahun atau sedikit lebih dari itu. Dan ketika hidup selama seratus tahun, ia hanya hidup selama tiga ratus musim: seratus musim dingin, seratus musim panas, dan seratus musim hujan. Ketika hidup selama tiga ratus musim, ia hanya hidup selama seribu dua ratus bulan: empat ratus [139] bulan musim dingin, empat ratus bulan musim panas, dan empat ratus bulan musim hujan. Ketika hidup selama seribu dua ratus bulan, ia hanya hidup selama dua ribu empat ratus dwi-mingguan: delapan ratus dwi-mingguan musim dingin, delapan ratus dwi-mingguan musim panas, dan delapan ratus dwi-mingguan musim hujan.

“Dan ketika hidup selama dua ribu empat ratus dwi-mingguan, ia hanya hidup selama 36.000 malam: 12.000 malam musim dingin, 12.000 malam musim panas, dan 12.000 malam musim hujan.<1601> Dan ketika hidup selama 36.000 malam, ia hanya makan sebanyak 72.000 kali: 24.000 kali di musim dingin, 24.000 kali di musim panas, dan 24.000 kali di musim hujan. Dan ini termasuk meminum susu ibu dan [masa-masa ketika terdapat] halangan untuk makan. Berikut ini adalah rintangan-rintangan untuk makan: seorang yang marah<1602> tidak memakan makanannya, seorang yang kesakitan tidak memakan makanannya, seorang yang sakit tidak memakan makanannya, seorang yang sedang menjalani uposatha tidak memakan makanannya, dan ketika tidak memperoleh [makanan] ia tidak makan.

“Demikianlah, para bhikkhu, bagi manusia dengan umur kehidupan seratus tahun, Aku telah menghitung umur kehidupannya, batasan umur kehidupannya, jumlah musim, tahun, bulan, dan dwi-mingguan [dalam hidupnya]; jumlah malam, hari,<1603> dan makanan, dan rintangan untuk makan. Apa pun itu, para bhikkhu, yang harus dilakukan oleh seorang guru demi belas kasihan pada siswa-siswanya, demi kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untuk kalian. Ini adalah bawah pepohonan, ini adalah gubuk-gubuk kosong. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan lengah. Jangan menyebabkan penyesalan kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.” [140]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #20 on: 31 July 2013, 09:41:24 PM »
III. DISIPLIN

75 (1) Seorang Ahli dalam Disiplin (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin. Apakah tujuh ini?

“(1) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran. (2) Ia mengetahui apa yang bukan merupakan pelanggaran. (3) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran ringan. (4) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran berat. (5) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan latihan, ia berlatih didalamnya. (6) Ia adalah seorang yang mendapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (7) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin.”

76 (2) Seorang Ahli dalam Disiplin (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin. Apakah tujuh ini?

“(1) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran. (2) Ia mengetahui apa yang bukan merupakan pelanggaran. (3) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran ringan. (4) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran berat. (5) Kedua Pātimokkha telah disampaikan dengan baik kepadanya secara terperinci, dianalisis dengan baik, dikuasai dengan baik, dipastikan dengan baik dalam hal aturan-aturan dan penjelasan terperincinya.<1604> (6) Ia adalah [141] seorang yang yang mendapatkan sesuai kehendak … keempat jhāna … (7) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan … ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin.”

77 (3) Seorang Ahli dalam Disiplin (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin. Apakah tujuh ini?

“(1) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran. (2) Ia mengetahui apa yang bukan merupakan pelanggaran. (3) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran ringan. (4) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran berat. (5) Ia adalah seorang yang kokoh dalam disiplin, tidak goyah. (6) Ia adalah seorang yang yang mendapatkan sesuai kehendak … keempat jhāna … (7) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan … ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin.”

78 (4) Seorang Ahli dalam Disiplin (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin. Apakah tujuh ini?

“(1) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran. (2) Ia mengetahui apa yang bukan merupakan pelanggaran. (3) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran ringan. (4) Ia mengetahui apa yang merupakan pelanggaran berat. (5) Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2 §4] … ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya. (6) Dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia … [seperti pada 6:2 §5] …  ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. (7) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan … ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang ahli dalam disiplin.” [142]

79 (5) Seorang Ahli dalam Disiplin adalah Gilang-gemilang (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang. Apakah tujuh ini? … [Seperti pada 7:75.] … Dengan  memiliki ketujuh kualitas ini, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang.”<1605>

80 (6) Seorang Ahli dalam Disiplin adalah Gilang-gemilang (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang. Apakah tujuh ini? … [Seperti pada 7:76.] … Dengan  memiliki ketujuh kualitas ini, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang.”

81 (7) Seorang Ahli dalam Disiplin adalah Gilang-gemilang (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang. Apakah tujuh ini? … [Seperti pada 7:77.] … [143] Dengan  memiliki ketujuh kualitas ini, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang.”

82 (8 ) Seorang Ahli dalam Disiplin adalah Gilang-gemilang (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang. Apakah tujuh ini? … [Seperti pada 7:78.] … Dengan  memiliki ketujuh kualitas ini, seorang ahli dalam disiplin adalah gilang-gemilang.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #21 on: 31 July 2013, 09:41:47 PM »
83 (9) Ajaran

Yang Mulia Upāli mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan aku Dhamma secara ringkas, sehingga, setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, mengasingkan diri, dengan rajint, dengan tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Upāli, hal-hal itu yang engkau ketahui sebagai berikut: ‘Hal-hal itu tidak mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna,’ maka engkau harus secara pasti mengenalinya: ‘Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah disiplin; ini bukanlah ajaran Sang Guru.’ Tetapi hal-hal itu yang engkau ketahui sebagai berikut: ‘Hal-hal itu mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna,’ maka engkau harus secara pasti mengenalinya: ‘Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru.’” [144]

84 (10) Penyelesaian

“Para bhikkhu, ada tujuh prinsip ini untuk penyelesaian persoalan disiplin, untuk menyelesaikan dan menenangkan segala persoalan disiplin yang mungkin timbul. Apakah tujuh ini?

“(1) Penghapusan melalui kehadiran dapat diterapkan;<1606> (2) penghapusan menurut ingatan dapat diterapkan; (3) penghapusan karena kegilaan masa lalu dapat diterapkan; (4) pengakuan atas suatu pelanggaran dapat diterapkan; (5) pendapat mayoritas dapat diterapkan; (6) suatu tuduhan atas perbuatan menjengkelkan dapat diterapkan; dan (7) menutup dengan rumput dapat diterapkan.<1607>

“Ada, para bhikkhu,  ketujuh prinsip ini untuk penyelesaian persoalan disiplin, untuk menyelesaikan dan menenangkan segala persoalan disiplin yang mungkin timbul.”

IV. SEORANG PETAPA<1608>

85 (1) Seorang Bhikkhu

“Para bhikkhu, adalah dengan menghancurkan tujuh hal maka seseorang adalah seorang bhikkhu.<1609> Apakah tujuh ini? Pandangan eksistensi-pribadi telah hancur; keragu-raguan telah hancur; genggaman keliru pada ritual dan upacara telah hancur; nafsu telah hancur; kebencian telah hancur; delusi telah hancur; keangkuhan telah hancur. Adalah dengan menghancurkan ketujuh hal ini maka seseorang adalah seorang bhikkhu.”

86 (2) Seorang Petapa

“Para bhikkhu, adalah dengan menenangkan tujuh hal maka seseorang adalah seorang petapa …”<1610>

87 (3) Seorang Brahmana

“Para bhikkhu, adalah dengan menghalau [tujuh hal] maka seseorang adalah seorang brahmana …”

88 (4) Seorang Terpelajar

“Para bhikkhu, adalah dengan menghanyutkan [tujuh hal] maka seseorang adalah seorang terpelajar …”

89 (5) Tercuci

“Para bhikkhu, adalah karena pencucian [tujuh hal] maka seseorang adalah seorang yang tercuci …” [145]

90 (6) Seorang yang Mahir dalam Pengetahuan Veda

“Para bhikkhu, adalah karena seseorang memiliki pengetahuan [atas tujuh hal] maka ia adalah seorang yang mahir dalam pengetahuan Veda …”

91 (7) Seorang Yang Mulia

“Para bhikkhu, adalah dengan membinasakan-musuh [tujuh hal] maka seseorang adalah seorang yang mulia …”<1611>

92 (8 ) Seorang Arahant

“Para bhikkhu, adalah dengan berjauhan [dari tujuh hal] maka seseorang adalah seorang Arahant.<1612> Apakah tujuh ini? Pandangan eksistensi-pribadi telah menjauh; keragu-raguan telah menjauh; genggaman keliru pada ritual dan upacara telah menjauh; nafsu telah menjauh; kebencian telah menjauh; delusi telah menjauh; keangkuhan telah menjauh. Adalah dengan berjauhan [dari ketujuh hal ini] maka seseorang adalah seorang Arahant.

93 (9) Karakter (1)

“Para bhikkhu, ada tujuh ini yang tidak berkarakter baik. Apakah tujuh ini? Seorang yang tanpa keyakinan, seorang yang tanpa rasa malu bermoral, seorang yang tanpa rasa takut bermoral, seorang yang sedikit belajar, seorang yang malas, seorang yang berpikiran-kacau, dan seorang yang tidak bijaksana. ini adalah ketujuh itu yang tidak berkarakter baik.”

94 (10) Karakter (2)

“Para bhikkhu, ada tujuh ini yang berkarakter baik. Apakah tujuh ini? Seorang yang memiliki keyakinan, seorang yang memiliki rasa malu bermoral, seorang yang memiliki rasa takut bermoral, seorang yang terpelajar, seorang yang bersemangat, seorang yang penuh perhatian, dan seorang yang bijaksana. ini adalah ketujuh itu yang berkarakter baik.”

V. LAYAK MENERIMA PEMBERIAN

95 (1) Merenungkan Ketidak-kekalan dalam Mata <1613>

“Para bhikkhu, ada tujuh orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, [146] dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Baginya padamnya noda-noda dan berakhirnya kehidupan terjadi bersamaan. Ini adalah orang jenis ke dua yang layak menerima pemberian …

(3) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara. Ini adalah orang jenis ke tiga yang layak menerima pemberian …

(4) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat. Ini adalah orang jenis ke empat yang layak menerima pemberian …

(5) ““Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha. Ini adalah orang jenis ke lima yang layak menerima pemberian …

(6) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha. Ini adalah orang jenis ke enam yang layak menerima pemberian …

(7) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam mata, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha. Ini adalah orang jenis ke tujuh yang layak menerima pemberian …

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh jenis orang itu yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

96 (2) -102 (8 ) Merenungkan Penderitaan dalam Mata, dan seterusnya

“Para bhikkhu, ada tujuh orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang (96) berdiam dengan merenungkan penderitaan dalam mata … (97) … berdiam dengan merenungkan ketiadaan-diri dalam mata … (98 ) … berdiam dengan merenungkan hancurnya dalam mata … (99) … berdiam dengan merenungkan lenyapnya dalam mata … (100) … berdiam dengan merenungkan meluruhnya dalam mata … (101) … berdiam dengan merenungkan berhentinya dalam mata … (102) … berdiam dengan merenungkan pelepasan dalam mata …

103 (9) – 614 (520) Ketidakkekalan dalam Telinga, dan seterusnya

(103) – (190) “… Di sini seseorang berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam telinga … hidung … lidah … badan … pikiran … dalam bentuk-bentuk … suara-suara … bau-bauan … rasa-rasa kecapan … [147] objek-objek sentuhan … fenomena-fenomena pikiran.

(191) – (238 ) “… dalam kesadaran-mata … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran …

(239) – (286) “… dalam kontak-mata … kontak-telinga … kontak-hidung … kontak-lidah … kontak-badan … kontak-pikiran …

(287) – (334) “… dalam perasaan yang muncul dari kontak-mata … perasaan yang muncul dari kontak-telinga … perasaan yang muncul dari kontak-hidung … perasaan yang muncul dari kontak-lidah … perasaan yang muncul dari kontak-badan … perasaan yang muncul dari kontak-pikiran …

(335) – (382) “ … dalam persepsi bentuk-bentuk … persepsi suara-suara … persepsi bau-bauan … persepsi rasa-rasa kecapan … persepsi objek-objek sentuhan … persepsi fenomena-fenomena pikiran.

(383) – (430) “… dalam kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … kehendak sehubungan dengan suara-suara … kehendak sehubungan dengan bau-bauan … kehendak sehubungan dengan rasa-rasa kecapan … kehendak sehubungan dengan objek-objek sentuhan … kehendak sehubungan dengan fenomena-fenomena pikiran.

(431) – (478 ) “… dalam ketagihan pada bentuk-bentuk … ketagihan pada suara-suara … ketagihan pada bau-bauan … ketagihan pada rasa-rasa kecapan … ketagihan pada objek-objek sentuhan … ketagihan pada fenomena-fenomena pikiran.

(479) – (526) “… dalam pemikiran tentang bentuk-bentuk … pemikiran tentang suara-suara … pemikiran tentang bau-bauan … pemikiran tentang rasa-rasa kecapan … pemikiran tentang objek-objek sentuhan … pemikiran tentang fenomena-fenomena pikiran.

(527) – (574) “… dalam pemeriksaan pada bentuk-bentuk … pemeriksaan pada suara-suara … pemeriksaan pada bau-bauan … pemeriksaan pada rasa-rasa kecapan … pemeriksaan pada objek-objek sentuhan … pemeriksaan pada fenomena-fenomena pikiran.

(575) – (614) “… Di sini seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam kelompok bentuk … kelompok perasaan … kelompok persepsi … kelompok bentukankehendak … kelompok kesadaran …berdiam dengan merenungkan penderitaan … berdiam dengan merenungkan ketiadaan-diri … berdiam dengan merenungkan lenyapnya … berdiam dengan merenungkan meluruhnya … berdiam dengan merenungkan berhentinya … berdiam dengan merenungkan pelepasan …” [148]

VI. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<1614>

615 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tujuh hal harus dikembangkan. Apakah tujuh ini? Faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukcita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, faktor pencerahan keseimbangan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka ketujuh hal ini harus dikembangkan.”

616 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tujuh hal harus dikembangkan. Apakah tujuh ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri, persepsi ketidak-menarikan, persepsi bahaya, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan, persepsi lenyapnya. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka ketujuh hal ini harus dikembangkan.”

617 (3)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tujuh hal harus dikembangkan. Apakah tujuh ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka ketujuh hal ini harus dikembangkan.”

618 (4) – 644 (30)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka ketujuh hal harus dikembangkan.”

645 (31) - 1124 (510)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka ketujuh hal ini harus dikembangkan.” [149]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Tujuh selesai



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #22 on: 31 July 2013, 09:44:26 PM »
Catatan kaki

1455 > AnavaññattikāPada suatumo. Lit., “keinginan agar tidak dipandang rendah.” Mp: “Ia ingin dikenal” (abhiññātabhāvakāmo). Pikiran tentang reputasi seseorang (anavaññattipaṭisaṃyutto vitakko) adalah sejenis pikiran kacau yang harus diatasi untuk memperoleh konsentrasi; baca 3:101, I 254,23.

1456 > Saya mengikuti Ce, yang membaca sataṃ bhante sahassānaṃ. Be dan Ee menuliskan sataṃ bhante satasahassānaṃ, ”seratus [kali] seratus ribu.”

1457 > Satta saṃyojanāni. Skema umum sepuluh belenggu yang muncul di AN hanya di 10:13.

1458 > Anunayasaṃyojana. Sebuah daftar yang tidak lazim di antara belenggu-belenggu. Mp mengemasnya sebagai belenggu nafsu indriawi (kāmarāgasaṃyojaṇaṃ).

1459 > Iri-hati (issā) dan kekikiran (macchariya) terdaftar di antara sepuluh belenggu dalam metode Abhidhamma. Baca Dhs 197 (Be §1118 ), CMA 269.

1460 > Niranusayo tidak terdapat pada Be atau Ee. Ee mencatat berbagai tulisan dalam naskah. Tetapi baca SN IV 205, 17, di mana Be menuliskan niranusayo, bukannya seperti Ce dan Ee pahīnaragānusayo.

1461 > Ini disebutkan dari perspektif pemikiran monastik untuk mendatangi keluarga-keluarga untuk menerima dana makanan.

1462 > Mp: “Mereka tidak bengkit dari duduknya dalam cara yang sopan melainkan menunjukkan sikap tidak hormat.”

1463 > Tujuh ini dijelaskan secara terperinci pada MN 70.14-21, I 477-79. Secara singkat, seorang yang terbebaskan dalam kedua cara dan seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan adalah dua jenis Arahant, yang dibedakan melalui apakah mereka memiliki “kebebasan tanpa bentuk yang damai yang melampaui bentuk.” Saksi tubuh, seorang yang mencapai pandangan, dan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan, adalah tiga jenis yang masih berlatih, yang berkisar dari pemasuk-arus hingga seorang yang berada pada jalan Kearahattaan; tentang ini telah dibahas pada 3:21. pengikut Dhamma dan pengikut keyakinan adalah dua jenis yang telah memasuki jalan memasuki-arus tetapi masih belum merealisasikan buah; mereka dibedakan menurut apakah kebijaksanaan atau keyakinan yang menjadi kualitas dominan. Proses bagaimana mereka memasuki sang jalan dijelaskan pada SN 25:1, III 225.

1464 > Pāraṅgato thate tiṭṭhati brāhmaṇo. Di sini, “brahmana” digunakan sebagai sinonim untuk Arahant. Sehubungan dengan ini baca 4:54 §4 dan SN 35:228, IV 157, 19-20.

1465 > Pada Pp 13 (Be §16) orang ini disebut seorang samasīsī, lit. “seorang yang sama-kepala.” Mp menjelaskan bahwa ada empat jenis samasīsī. (1) Seorang yang sedang sakit dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia sembuh dari penyakitnya disebut seorang “sama-kepala penyakit” (rogasamasīsī). (2) Seorang yang didera oleh perasaan menyakitkan yang hebat dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia mengatasi kesakitan itu disebut seorang “sama-kepala perasaan” (vedanāsamasīsī). (3) Seseorang yang sedang berlatih pandangan terang dalam postur tertentu dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia mengubah posturnya disebut seorang “sama-kepala postur” (iriyāpathasamasīsī). (4) Dan seorang yang mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika hidupnya berakhir disebut seorang “sama-kepala kehidupan” (jīvitasamasīsī). Dalam sutta ini, yang dimaksudkan adalah “sama-kepala kehidupan.”

1466 > Antarāparinibbāyī. Lit. ,”seorang yang mencapai nibbāna dalam masa antara (atau selama perjalanan).” Pp 16 (Be §36 mendefinisikan orang ini sebagai seorang yang melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, dan kemudian, apakah segera setelah terlahir kembali atau (paling lambat) sebelum mencapai pertengahan kehidupannya, menghasilkan jalan untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih tinggi. Dengan cara serupa, Mp mendefinisikan jenis orang ini sebagai seorang yang terlahir kembali di salah satu alam murni (siddhāvāsesu) dan kemudian mencapai Kearahattaan apakah pada saat kelahiran kembali, atau segera setelahnya, atau sebelum mencapai pertengahan kehidupannya. Terlepas dari definsii-definisi resmi ini, saya percaya terdapat suatu bukti tekstual bahwa nama jenis ini seharusnya dipahami dalam makna literal bahwa ia mencapai hancurnya noda-noda pada masa antara atau selama perjalanan (antarā). Yaitu, antara kedua kehidupan, dan kemudian mencapai nibbāna akhir tanpa terlahir kembali sama sekali. Baca 4:131 dan p.1701, catatan 829, saya memberikan argumen lebih jauh untuk interpretasi ini di bawah dalam catatan 1536 pada p.1782.

1467 > Upahaccaparinibbāyi. Baik Pp 17 (Be §37) maupun Mp mendefinisikan jenis ini sebagai seorang yang melenyapkan kelima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan (di alam murni), dan kemudian mencapai Kearahattaan setelah melewati setengah umur kehidupannya atau, paling lambat pada saat kematian.  Sekali lagi, seperti pendapat saya sehubungan dengan 7:55, terdapat kesan pada Nikāya-Nikāya bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai hancurnya noda-noda hampir seketika setelah terlahir kembali di alam murni. Baca p.1782, catatan 1537.

1468 > Perbedaan antara (5) dan (6) mungkin ditentukan khususnya atas dasar banyaknya usaha yang harus mereka kerahkan untuk memenangkan tujuan. Pp 17 (Be §§38-39) hanya mengatakan bahwa seseorang menghasilkan sang jalan tanpa usaha dan yang lainnya sebagai hasil dari usaha. Bagaimana pun juga, tentang interpretasi komentar atas kedua jenis ini, bukan jenis yang terpisah dari yang-tidak-kembali, melainkan dua modus bagaimana kedua jenis pertama (antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī) mencapai nibbāna. Penjelasan demikian mengurangi jenis berbeda dari yang-tidak-kembali menjadi tiga. Hal ini mengesampingkan urutan dan ciri saling eksklusif dari kelima jenis, yang disiratkan melalui kelima pengelompokan dan secara tegas disiratkan dalam perumpamaan 7:55.

1469 > Baca p.1701, catatan 828.

1470 > Dengan menggunakan titik-titik penghilangan, Ee menggabungkan 7:18 dan 7:19 ke dalam 7:17; dan dengan demikian pada titik ini penomorannya menjadi berkurang dua dari penomoran saya. Penomoran saya mengikuti Ce dan Be yang menghitung penjelasan berdasarkan pada tanpa-diri dan nibbāna sebagai sutta-sutta berbeda.

1471 > Sementara perenungan ketidak-kekalan dan penderitaan diarahkan pada segala fenomena terkondisi (sabbasaṅkhāresu), perenungan tanpa-diri diarahkan pada segala fenomena tanpa syarat (sabbadhammesu).

1472 > Neddasavatthūni. PED menganggap niddasa sebagai kesalahan penulisan untuk niddesa dan menjelaskan kata majemuk itu berarti “objek kemuliaan, atau pujian.” SED sv nirdaśa mengartikan “berumur lebih dari sepuluh hari, terjadi lebih dari sepuluh hari yang lalu.” Akan tetapi, ungkapan itu sendiri tidak harus berhubungan dengan hari dan juga dapat dijelaskan dengan menganggap ni sebagai suatu awalan yang dengan demikian bermakna “tanpa sepuluh.” Mp menerima tulisan itu seperti yang tertulis dan memberikan penjelasan, yang saya terjemahkan persis di bawah. Ada kemungkinan bahwa makna asli dari ungkapan ini telah hilang dan dalam menginterpretasikannya kita tidak memiliki apa pun sebagai sumber kecuali dugaan. Tidak ada paralel China untuk sutta ini atau untuk 7:42-43 di bawah sebagai pembanding.

Berikut adalah penjelasan Mp: “Pertanyaan [‘Bagaimanakah seseorang adalah tanpa-sepuluh?’] dikatakan muncul dari kalangan kaum sektarian luar. Karena mereka menyebut seorang Nigaṇṭha [seorang petapa Jain] sebagai niddaso (“tanpa-sepuluh”) yang telah meninggal dunia pada saat ia berusia sepuluh tahun [dasavassakāle; atau: “pada saat ia telah memiliki sepuluh tahun senioritas” (sebagai seorang petapa)?]. Karena, dikatakan, ia tidak akan menjadi berusia sepuluh tahun lagi. Dan bukan hanya ia tidak akan menjadi berusia sepuluh tahun lagi, [ia juga tidak akan menjadi] berusia sembilan tahun atau bahkan berusia satu tahun.  Dengan cara ini, mereka menyebut seorang Nigaṇṭha yang meninggal dunia saat berusia dua puluh tahun, dan seterusnya, sebagai nibbīso (‘tanpa-dua puluh’), nittiṃso (‘tanpa-tiga puluh’), niccattāliso (‘tanpa-empat puluh’), nippaññaso (‘tanpa-lima puluh’). Ketika Ānanda sedang mengembara di desa, ia mendengar diskusi ini dan melaporkannya kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata: ‘Ini bukanlah sebutan bagi kaum sektarian, Ānanda, melainkan bagi penghancur-noda [Arahant] dalam ajaranKu.’ Karena jika si penghancur-noda mencapai nibbāna akhir pada saat ia berusia sepuluh tahun [atau: memiliki sepuluh tahun senioritas?], maka ia tidak akan menjadi sepuluh tahun lagi. Bukan hanya sepuluh tahun, ia juga tidak akan menjadi sembilan tahun … satu tahun. Bukan hanya satu tahun, ia juga tidak akan menjadi sebelas bulan … juga bahkan tidak satu momen. Mengapakah? Karena ia tidak akan pernah terlahir kembali. Metode yang sama untuk seorang yang ‘tanpa-dua puluh’ dan seterusnya. Demikianlah Sang Bhagavā memulai ajaran ini untuk menunjukkan sebab-sebab untuk menjadi seorang yang ‘tanpa-sepuluh.’”
1473 > Icchāvinaye tibbacchando hoti āyatiñca icchāvinaye avigatapemo. Di sini saya menerjemahkan icchā sebagai “keinginan sia-sia” dan chanda sebagai “keinginan.” Mp mengemas icchā sebagai taṇhā, ketagihan.

1474 > Ajaran ini dirujuk pada DN 16.1.5, II 75,23-31.

1475 > Saya menambahkan “kota” dengan berdasarkan pada kemasan Mp: “Terletak di dalam kota” (antonagare ṭhitāni).

1476 > Mp: “Ketika orang-orang mengabaikan persembahan yang baik, para dewata tidak melindungi mereka, dan bahkan jika mereka tidak memunculkan penderitaan baru, namun mereka meningkatkan penderitaan yang telah muncul, seperti batuk dan sakit kepala, dan sebagainya; dan pada masa perang, orang-orang tidak memiliki sekutu. Tetapi ketika orang-orang tidak mengabaikan persembahan, para dewata melindungi mereka dengan baik, dan bahkan jika mereka tidak memunculkan penderitaan baru, namun mereka melenyapkan penyakit-penyakit lama; dan pada masa perang, orang-orang memiliki sekutu.”

1477 > Bagian selanjutnya juga terdapat pada DN 16.1.1-5, II 72-76.

1478 > Teks 7:23-27 terdapat pada DN 16.1.6-10, II 76-80.

1479 > Mp: “Selama mereka tidak berhenti pada suatu pencapaian, seperti pada pencapaian pemurnian perilaku bermoral, jhāna, pandangan terang, memasuki-arus, dan seterusnya, sebelum mencapai Kearahattaan, maka hanya pertumbuhan yang menanti para bhikkhu.”

1480 > Semua persepsi ini dijelaskan pada 10:60, dengan tiga penambahan.

1481 > bersama dengan Ee membaca na iti paṭisañcikkhati. Ce dan Be menghilangkan na. Brahmāli menyarankan “ia seharusnya menyerahkan pekerjaan ini kepada para thera [sesepuh], yang diharapkan untuk mengurusnya.”

1482 > Ce attanā vayogaṃ āpajjati; Ee attanā vo yogaṃ āpajjati; Be attanā tesu yogaṃ āpajjati. Sekali lagi, saya mengikuti interpretasi Brahmāli: “karena ini adalah tugas para sesepuh, meka mereka akan memikul tanggung jawab tertinggi (dan celaan atau pujian) tidak peduli siapa yang melaksanakannya. Demikianlah ia seharusnya menyerahkannya kepada mereka.”

1483 > Tattha ca pubbakāraṃ karoti. Baca 5:175, 6:93. Mp: “Ia pertama-tama memberikan kepada mereka yang mengikuti kepercayaan lain dan setelah itu kepada para bhikkhu.”

1484 > Be, tetapi tidak pada Ce atau Ee, menuliskan berikut ini sebelum syair: “Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut.”

1485 > Ee menggabungkan sutta ini dan sutta berikutnya dan secara keliru menghitungnya sebagai tiga, 28-30. dengan demikian penomoran Ee, yang sebelumnya kurang dua dari penomoran saya, sekarang menjadi kurang satu.

1486 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:32.

1487 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:33.

1488 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:69, tanpa bagian pendahuluan.

1489 > Sebuah paralel yang diperluas dari 3:135.

1490 > Khīṇena nātimaññati. Saya menerjemahkan dengan anggapan bahwa khīṇena adalah kata keterangan yang bermakna “secara menyakitkan, secara kasar” (baca DOP sv khīṇa2). Akan tetapi, Mp menjelaskan kalimat ini dengan anggapan bahwa khīṇena berarti “pada [masa] kehilangan, ketika kekayaan sudah habis”: “Ketika kekayaannya habis, ia tidak merendahkan seseorang karena kehilangannya.  Ia tidak menganggap tinggi dirinya dan memandang rendah orang lain” (tassa bhoge khīṇe tena khayena taṃ nātimaññati, tasmiṃ omānaṃ attain ca atimānaṃ na karoti). Tentang interpretasi Mp, saya tidak melihat bagaimana faktor ini berbeda dengan yang sebelumnya.

1491 > Vattā. Mp hanya mengatakan “ia terampil dalam berbicara” (vacanakusalo). Karena memberikan khotbah mendalam adalah hal terpisah dalam daftar, di sini diduga maknanya adalah bahwa ia memberikan nasihat yang baik.

1492 > Tentang empat pengetahuan analitis (paṭisambhidā), baca 4:172.

1493 > Saya menerjemahkan teks ini persis apa adanya, tetapi tampaknya dalam perjalanan penyampaiannya sebuah frasa telah hilang yang menyiratkan kelambanan pikiran yang muncul pada kesempatan tertentu. Oleh karena itu Mp memberikan frasa yang hilang itu, uppanne cetaso līnatte, “ketika kelambanan pikiran telah muncul.”

1494 > Mp menghubungkan pengerutan internal dengan ketumpulan dan kantuk, dan pengalihan eksternal dengan ketertarikan pada kelima objek kenikmatan indria. Sehubungan dengan hal ini, baca SN 51:20, 279,28-280,4.

1495 > Pada 4:41 §3, ini disebut “pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih.” Mp: “Perasaan, dan seterusnya, adalah akar dari proliferasi pikiran (papañca). Karena perasaan adalah akar ketagihan, yang muncul berhubungan dengan kenikmatan. Persepsi adalah akar pandangan, yang muncul pada objek yang tidak jelas. Dan pikiran adalah akar keangkuhan, yang muncul melalui pikiran, ‘Aku.’”

1496 > Mp menjelaskan “gambaran” (nimitta) di sini sebagai penyebab (kāraṇa).

1497 > Ee menuliskan ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, tetapi Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukannya berbeda. Sekali lagi penomoran saya lebih dua daripada Ee.

1498 > Walaupun teks di sini menggunakan bentuk sekarang pajānāti, namun saya menafsirkannya sebagai bentuk sekarang historis, yang merujuk pada masa sebelum Sāriputta mencapai Kearahattaan. Sebagai seorang Arahant ia tidak mungkin lagi rentan pada kelambanan pikiran, pengerutan internal, atau pengalihan eksternal.

1499 > Enam dari keterampilan-keterampilan ini, kecuali yang pertama, disebutkan juga pada 6:24.

1500 > Sekali lagi, Ee menuliskan ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, tetapi Ce dan Be menganggapnya berbeda. Karena saya mengikuti Ce dan Be, maka sekarang penomoran saya lebih tiga daripada Ee.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #23 on: 31 July 2013, 09:45:55 PM »
1501 > Baca 7:20.

1502 > Viññaṇaṭṭhitiyo. Kata ini digunakan di sini dalam makna yang berbeda dari SN 22:54, III 54,26, di mana keempat viññāṇaṭṭhitiyo adalah empat kelompok unsur kehidupan yang berfungsi sebagai penyokong bagi viññāṇa. Dalam sutta sekarang ini kata ini adalah alam-alam kelahiran kembali. Mp menyebutnya “landasan-landasan bagi kesadaran kelahiran kembali” (paṭisandhiviññāṇassa ṭhānāni). Makna asli dari ketujuh ini, seperti dijelaskan di sini, mungkin telah hilang. Mp menjelaskannya berlawanan dengan latar belakang pembedaan Abhidhamma tentang jenis-jenis kesadaran kelahiran kembali, yang tentangnya baca CMA 179-80, 210-19.

1503 > Mp: “Manusia adalah berbeda dalam tubuh (nānattakāya) karena tidak ada dua orang yang memiliki tubuh yang persis sama. Mereka berbeda dalam persepsi (nānattasaññino) karena dalam beberapa kasus persepsi kelahiran kembali mereka (paṭisandhisaññā) memiliki tiga akar, dalam kasus lainnya dua akar, dan dalam kasus lainnya lagi tanpa akar. Para deva yang disebutkan di sini adalah para deve enam alam indria. Makhluk-makhluk di alam yang lebih rendah adalah para yakkha tertentu dan makhluk-makhluk halus di luar alam sengsara.”

1504 > Mp: “Ini adalah para deva kumpulan Brahmā, para menteri Brahmā, dan para maha brahmā. Tubuh mereka berbeda dalam cakupan menurut tingkatan mereka masing-masing, namun persepsi mereka adalah sama karena mereka semua memiliki persepsi yang berhubungan dengan jhāna pertama. Makhluk-makhluk di empat alam sengsara juga termasuk dalam kelompok ini. Tubuh mereka berbeda, namun mereka semua memiliki satu persepsi [kelahiran kembali] yaitu hasil tidak bermanfaat yang tanpa akar.”

1505 > Mp menganggap “para deva dengan cahaya gemerlap” (devā ābhassarā) mewakili seluruh tiga kelompok para deva yang berhubungan dengan jhāna ke dua: para deva dengan cahaya terbatas, para cahaya tidak terukur, dan cahaya gemerlap. Dalam masing-masing alam, tubuh mereka identik dalam hal bahwa mereka semua memiliki cakupan yang sama (ekavipphāro va), tetapi persepsi mereka berbeda dalam hal bahwa beberapa adalah tanpa pemikiran namun mempertahankan pemeriksanaan (avitakka-vicāramattā), sedangkan yang lainnya adalah tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksanaan (avitakka-avicārā).

1506 > Mp: “Para deva dengan keagungan gemilang (subhakiṇhā) adalah identik dalam tubuh, dan juga identik dalam persepsi karena mereka semua memiliki persepsi yang berhubungan dengan jhāna ke empat (dalam skema Abhidhamma atas lima jhāna). Para deva dengan buah besar (yang terlahir kembali melalui jhāna ke lima dari skema lima jhāna) jatuh ke dalam stasiun kesadaran ke empat. Makhluk-makhluk tanpa persepsi tidak memiliki kesadaran dan dengan demikian tidak termasuk.”

1507 > Para deva tanpa persepsi dan para deva dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi termasuk di antara sembilan alam makhluk (baca 9:24) tetapi tidak termasuk di antara stasiun-stasiun kesadaran.

1508 > Ariyo sammāsamādhi sa-upaniso itipi saparikkhāro itipi. “Pendukung” (upanisā) dan “perlengkapan” (parikkharā) adalah ketujuh faktor jalan lainnya. Baca juga MN 117, III 71,22.

1509 > Makna-makna dari ketujuh api ini akan dijelaskan pada sutta berikutnya.

1510 > Mp mengatakan bahwa thūṇa adalah tiang pengorbanan itu sendiri: yūpasaṅkhātaṃ thūṇaṃ.

1511 > Ce dan Be atohayaṃ (Ee ato’yam), brāhmaṇa, āhuto sambhūto. Mp mengemas: atohayan ti ato hi mātāpitito ayaṃ āhuto[/i] ti āgato. Tampaknya ada permainan kata di sini antara āhuta sebagai mewakili ābhūta, “berasal-mula,” dan sebagai bentuk pasif ājuhati, “dipersembahkan, dikorbankan.” Baca DOP sv āhuta1 dan āhuta2.

1512 > Appaṭikulyatā saṇṭhāti. Lit., “[jika] ketidak-jijikan menjadi kokoh.”

1513 > Natthi me pubbenāparaṃ viseso. Saya mendasarkan terjemahan pubbenāparaṃ visesa pada Mp: “Tidak ada perbedaan antara sebelumnya ketika aku belum mengembangkannya dan sesudahnya ketika aku telah mengembangkannya” (natthi mayhaṃ pubbena abhāvitakālena saddhiṃ aparaṃ bhāvitakāle viseso). Dalam konteks lain pubbenāparaṃ visesa berarti tingkat-tingkatan keluhuran berturut-turut yang dicapai melalui pengembangan pikiran, namun penjelasan ini tidak berlaku di sini.

1514 > Mp menghubungkan “pembentukan-aku” (ahaṅkāra) dengan pandangan, “pembentukan-milikku” (mamaṅkāra) dengan ketagihan, dan keangkuhan dengan sembilan keangkuhan (navavidhamāna): yaitu, menganggap diri sendiri lebih tinggi, setara, atau lebih rendah, masing-masing sehubungan dengan seseorang yang memang benar-benar lebih tinggi, setara atau lebih rendah. “Melampaui pembedaan” (vidhāsamatikkanta) berarti telah mengatasi tiga keangkuhan lebih tinggi, setara, atau lebih rendah.

1515 > Mp: “Dikatakan bahwa ia berpikir: ‘Dalam sistem para brahmana, seseorang menjalani kehidupan selibat selama empat puluh delapan tahun mempelajari Veda. Tetapi Petapa Gotama, hidup di rumah, menikmati tiga jenis gadis-gadis penari dalam tiga istana. Apakah sekarang yang akan Beliau katakan?’ Demikianlah ia bertanya dengan merujuk pada hal ini. Kemudian Sang Bhagavā, seolah-olah mengendalikan seekor ular hitam dengan mantra atau seolah-olah menginjak leher musuh dengan kakinya, mengaumkan auman singaNya. Beliau menunjukkan bahwa bahkan selama enam tahun berjuang, ketika Beliau masih memiliki kekotoran-kekotoran, tidak sekali pun pikiran muncul padanya sehubungan dengan kenikmatan kekuasaan atau gadis-gadis penari di istanaNya.”

1516 > saṃyogavisaṃyogaṃ dhammapariyāyaṃ. Gelar ini juga dapat diterjemahkan “hubungan dan keterputusan.”

1517 > Dalam Pali: itthikkuttaṃ, itthākappaṃ, itthividhaṃ, itthicchandaṃ, itthissaraṃ, itthālankāraṃ. Jelas bahwa tujuh kata ini, dan padanan maskulinnya (dengan purisa pada tempat itthi), yang menjelaskan dimasukkannya sutta ini dalam kelompok Tujuh. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada kemasan yang diberikan oleh Mp.

1518 > Ini adalah para Resi brahmana masa lampau yang dianggap sebagai penggubah hymne-hymne Veda. Mereka disebutkan dalam kapasitas ini pada 5:192, III 224,5-6 dan 229,28-230,1, dan pada DN I 238,21-23, dan MN II 169,29-31.

1519 > Ketiga edisi memiliki perbedaan kecil dalam tulisan. Saya mengikuti Ce cittālaṇkāraṃ cittaparikkhāranti. Baik Be maupun Ee tidak mencantumkan tanda kutipan ti. Mp: “Ini adalah sebuah hiasan, sebuah perlengkapan, dari pikiran yang berhubungan dengan ketenangan dan pandangan terang” (samathavipassanācittassa).

1520 > Pada 2:133 dan 4:177 §4 ia menjadi teladan bagi para umat awam perempuan dari Sang Buddha. Ia mungkin identik dengan Uttarā Nandamātā, yang dinyatakan pada 1:262 sebagai yang meditator terunggul di antara para umat awam perempuan.

1521 > Āthitheyya: pemberian tradisional yang diberikan kepada tamu sebagai bentuk keramahan.

1522 > Sebuah komentar diperlukan untuk ungkapan acchariyaṃ abbhutaṃ. Walaupun sering diterjemahkan sebagai “mengagumkan dan menakjubkan,” namun frasa ini tidak selalu dimaksudkan untuk mengungkapkan penghargaan, melainkan juga untuk menyiratkan keheranan dan keterpesonaan. Tentu saja, batasan antara kedua makna ini tidak jelas, seperti dapat dilihat dari kata Bahasa Inggris “wonderful” dan “marvelous,” yang sekarang memiliki makna penghargaan, yang bergeser dari kata yang berhubungan dengan keheranan.

1523 > Be dan Ee membaca sallapissasī ti. Ce sallapissatī ti, dalam bentuk orang ke tiga, mungkin kesalahan editorial.

1524 > Be dan Ee membaca vadhe vā vajjhamāne vā, Ce baddhe vā vajjhamāne vā. Terjemahan Sinhala dalam Ce mengulang inkonsistensi dari teks Pāli. Saya menyarankan bacaan, yang berlawanan dengan ketiga edisi, baddhe va bajjhamāne vā. Dengan demikian ketiga pasang frasa mewakili urutan tangkap, penjara, dan eksekusi.

1525 > Cittassa aññathattaṃ. Ungkapan ini muncul persis di bawah. Terjemahan saya dimaksudkan untuk cocok dalam kedua kasus. Dalam kasus sekarang ini seorang perempuan yang tidak terkembang secara spiritual biasanya akan menjadi kebingungan, dalam kasus di bawah ia akan menjadi ketakutan.

1526 > Yatra hi nāma cittuppādampi parisodhessasi. Lit., “bahwa engkau akan memurnikan bahkan munculnya pikiran.”

1527 > Yakkhayoniṃ. Mp: “Alam makhluk halus ini adalah dewata bumi (bhummadevatābhāvaṃ).” Yoni di sini digunakan dalam makna “alam,” dan dengan demikian ungkapan yakkhayoni tidak menyiratkan bahwa para yakkha terlahir dari rahim.

1528 > Ini menegaskan statusnya sebagai seorang yang-tidak-kembali, yang telah meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah tetapi belum meninggalkan lima belenggu yang lebih tinggi.

1529 > Hal-hal yang tidak dinyatakan (abyākatavatthūni) adalah sepuluh persoalan yang tidak dinyatakan oleh Sang Buddha: apakah dunia adalah kekal atau tidak kekal, apakah dunia adalah terbatas atau tidak terbatas, apakah prinsip-kehidupan sama dengan jasmani atau berbeda, dan empat alternatif sehubungan dengan status Sang Buddha setelah kematian.

1530 > Na chambati, na kampati, na vedhati, na santāsaṃ āpajjati abyākatavatthūsu. Ce juga menuliskan na calati, yang tidak terdapat pada Be atau Ee.

1531 > Mp mengemas purisagatiyo menjadi purisassa ñāṇagatiyo, “pergerakan seseorang atas pengetahuan.” Akan tetapi, sutta ini tampaknya secara prinsip membicarakan tentang alam tujuan kelahiran (gati) mereka setelah kematian. Paralel China, MĀ 6 (T I 427a13-c24), menerjemahkan judul dari versi Indianya (yang bersesuaian dengan satta purisagatiyo) sebagai (MANDARIN), yang bermakna “tujuh tempat di mana orang-orang baik terlahir kembali.”

1532 > No c’assa no ca me siyā, na bhavissati na me bhavissati. Formula samar-samar ini muncul dalam Nikāya dalam dua versi. Satu diduga berasal dari kaum nihilis; yang lain adalah adaptasi Sang Buddha atas kalimat yang berasal dari kaum nihilis itu. Versi nihilis tertulis: no c’ assaṃ no ca me siyā, na bhavissāmi na me bhavissati, “Aku tidak ada, dan tidak ada milikku. Aku tidak akan ada, dan tidak akan menjadi milikku.” Karena keduanya berbeda hanya pada kedua kata kerja – no c’assam vs no c’ assa, dan na bhavissāmi vs na bhavissati – berbagai versi kadang-kadang tertukar. Dari kemasan komentar, tampaknya bahwa ketertukaran itu telah terjadi sebelum masa komentar. Tulisan-tulisan juga berbeda antara edisi-edisi untuk teks yang sama. Umumnya saya lebih menyukai tulisan dari Ce.

Formula ini secara eksplisit diidentifikasikan sebagai pandangan nihilis (usshedadiṭṭhi) pada SN 22:81, III 99, 4-6. dalam AN, pada 10:29 §8, V 63,28 – 64, 2, dikatakan sebagai yang terunggul dari pandangan spekulatif pihak luar (etadaggaṃ bāhirakānaṃ diṭṭhigatānaṃ). Sang Buddha mengubah formula ini ke dalam suatu tema perenungan yang sesuai dengan ajaranNya dengan menggantikan kata kerja orang pertama dengan padanannya sebagai orang ke tiga. Perubahan ini menggeser penekanan dari pandangan diri yang implisit dalam versi nihilis (“Áku akan musnah”) menjadi sebuah perspektif tanpa merujuk diri yang sesuai dengan doktrin anattā. Dalam beberapa teks, misalnya pada SN 22:55, III 55-58, berlatih dengan dasar formula ini dikatakan memuncak dalam hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, yaitu, tingkat yang-tidak-kembali. Kadang-kadang, seperti dalam sutta sekarang ini, formula ini mencantumkan bagian lanjutan (baca di bawah), perenungan yang dikatakan mengarah pada keseimbangan. Praktik sesuai formula lengkap akan mengarah pada salah satu dari lima tingkat yang-tidak-kembali atau pada tingkat Kearahattaan.

Dalam Nikāya-Nikāya makna yang pasti dari formula ini tidak pernah dijelaskan secara eksplisit, yang menyiratkan bahwa ini mungkin berfungsi sebagai sebuah tuntunan terbuka untuk perenungan yang harus dilengkapi oleh meditator melalui intuisi pribadi. Komentar-komentar, termasuk Mp, menganggap partikel singkatan c’ mewakili ce, “jika,” dan menginterpretasikan kedua bagian dari formula itu sebagai pernyataan kondisional. Di sini saya menerjemahkan dari Mp (sesuai dengan interpretasi komentar): “Jika belum ada: Jika, di masa lalu, tidak ada kamma yang menghasilkan penjelmaan individu; maka tidak ada milikku: sekarang aku tidak akan memiliki penjelmaan individu. “Tidak akan ada: Sekarang tidak akan ada kamma yang menghasilkan penjelmaan individu di masa depan bagiku; tidak akan ada milikku: di masa depan tidak akan ada penjelmaan individu bagiku.”

Saya tidak sepakat dengan komentar atas makna c’, yang saya anggap mewakili ca = “dan.” Sintaksis dari frasa ini secara keseluruhan memerlukan ini. Paralel Skt sebenarnya mencantumkan ca (misalnya, Udānavarga 15:4, paralel dengan Ud 78,1-3, menuliskan: no ca syān no ca me syā[n]; dan MĀ 6 mencantumkan karakter (MANDARIN) (= “dan”) dalam tempat yang bersesuaian dalam formula itu. Saya menginterpretasikan maknanya, “tidak ada” yang pertama merujuk pada lima kelompok unsur kehidupan pribadi, yang ke dua merujuk pada dunia yang dipahami melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan itu. Bagi kaum duniawi pasangan dua kalimat ini secara keliru dipahami sebagai dualitas diri dan dunia; bagi siswa mulia ini hanyalah dualitas fenomena internal dan eksternal. Berdasarkan pada ini saya menginterpretasikan formula ini sebagai berikut: “Kelima kelompok unsur kehidupan dapat dihentikan, dan dunia yang disajikan oleh kelima kelompok unsur kehidupan itu dapat dihentikan. Aku akan berjuang hingga kelima kelompok unsur kehidupan itu akan terhenti, (dan dengan demikian) dunia yang disajikan oleh kelima kelompok unsur kehidupan itu akan terhenti.”

Bagian lanjutannya dalam Pāli tertulis: yadatthi yaṃ bhūtaṃ taṃ pajahāmī ti upekkhaṃ paṭilabhati. Mengikuti Mp, saya memahami “apa yang ada, apa yang telah ada” (yadatthi yaṃ bhūtaṃ) sebagai lima kelompok unsur kehidupan yang ada sekarang. Ini telah muncul melalui ketagihan dari kehidupan sebelumnya dan sedang ditinggalkan melalui ditinggalkannya penyebab bagi kemunculan kembali dalam kehidupan berikutnya, yaitu, ketagihan atau keinginan-dan-nafsu.

1533 > Atth’ uttariṃ padaṃ santaṃ sammappaññāya passati. Mp: “Ia melihat dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang,’Ada keadaan damai yang lebih tinggi lagi, nibbāna.’”

1534 > Adalah kelangsungan keberadaan ketiga kekotorn ini yang membedakan yang-tidak-kembali dengan Arahant, yang telah melenyapkannya.

1535 > Menurut posisi komentar Theravada yang umum, Mp menjelaskan antarāparinibbāyī sebagai seorang yang mencapai nibbāna – padamnya kekotoran sepenuhnya – mulai dari saat kelahiran kembali hingga usia pertengahan. Posisi ini tampaknya bertentangan dengan perumpamaan-perumpamaan yang mengikutinya.

1536 > Perumpamaan-perumpamaan ini mengilustrasikan ketiga jenis antarāparinibbāyī, “yang mencapai nibbāna pada masa antara.” Walaupun argumen-argumen yang didasarkan pada perumpamaan-perumpamaan tidak selalu bisa diandalkan, namun ketiga perumpamaan itu menyiratkan bahwa “yang mencapai nibbāna pada masa antara” mencapai nibbāna sebelum benar-benar terlahir kembali. Seperti halnya ketiga percikan yang padam setelah terbang dari mangkuk yang panas membara sebelum menyentuh tanah, maka (menurut interpretasi saya) ketiga jenis ini mencapai nibbāna akhir berturut-turut apakah segera setelah memasuki keadaan antara, atau selama dalam masa antara itu, atau segera setelah kelahiran kembali terjadi. Dalam kasus ini, mereka segera memasuki elemen nibbāna tanpa sisa (anupādisesanibbānadhātu).

1537 > Mp mengingterpretasikan orang ini sebagai seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan masa kehidupannya dan akhir kehidupannya. Akan tetapi, kata upahacca, “setelah dipukul,” dan perumpamaan percikan yang padam ketika menyentuh tanah, menyiratkan bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai nibbāna hampir segera setelah terlahir kembali.

1538 > Sementara interpretasi komentar standard Theravada menganggap kedua jenis berikutnya – seorang yang mencapai nibbāna tanpa usaha (asaṅkhāraparinibbāyī) dan seorang yang mencapai nibbāna dengan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) sebagai dua cara alternatif yang melaluinya antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī mencapai tujuannya, namun perumpamaan percikan api menyiratkan, secara tegas, bahwa kelima jenis (atau tujuh, jika menghitung ketiga sub-bagian pertama secara terpisah) adalah berbeda, yang membentuk serangkaian dari yang paling tajam hingga yang paling lambat. Dengan demikian jika, seperti dugaan Mp, upahaccaparinibbayī adalah seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan kehidupan dan akhir kehidupan, maka tidak ada tempat untuk kedua jenis lainnya, yaitu mereka yang mencapai nibbāna tanpa usaha dan mereka yang mencapai nibbāna dengan usaha.

1539 > Baca p. 1701, catatan 828.

1540 > Anupādisesā suvimuttā. Mp mengatakan bahwa ini merujuk pada lima ratus bhikkhunī pengikut Mahāpajāpati, yang telah terbebaskan tanpa sisa kemelekatan (upādānasesaṃ aṭṭhapetvā). Pembahasan selanjutnya dalam sutta menjelaskan bahwa anupādisesa di sini berarti bahwa mereka telah melenyapkan semua kekotoran tanpa sisa, bukan bahwa mereka telah mencapai elemen nibbāna tanpa sisa (anupādisesanibbānadhātu).




Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #24 on: 31 July 2013, 09:47:12 PM »
1541 > Dari ketujuh jenis yangdisebutkan pada §§1-7, dua yang pertama, karena Arahant, maka tidak ada sisa kekotoran; lima lainnya, karena masih berlatih, maka masih ada sisa kekotoran.

1542 > Dalam tujuh pengelompokan individu mulia yang biasa, individu ke tujuh adalah pengikut-keyakinan (saddhānusārī). Akan tetapi, di sini, tempat ke tujuh adalah animittavihārī, “seorang yang berdiam dalam ketiadaan gambaran.” Mp mengatakan bahwa Sang Buddha sesungguhnya menjelaskan pengikut keyakinan sebagai seorang yang berlatih pandangan terang kuat (balavavipassakavasena). Dijelaskan bahwa “segala gambaran” adalah semua gambaran kekekalan dan seterusnya, dan konsentrasi pikiran tanpa gambaran (animitta cetosamadhiṃ) sebagai konsentrasi pndangan terang kuat (balavavipassanāsamādhiṃ). Mungkin Mp sedang berusaha untuk merasionalkan perbedaan tekstual yang mungkin menjadi penunjuk perbedaan pemahaman atas individu ke tujuh.

1543 > Ini adalah sebuah paralel yang diperluas dari 5:34, diperluas dengan cara memasukkan sebagian dari isi 5:38.

1544 > Mp: “Mereka membangkitkan belas kasihan dengan pikiran: ‘Siapakah yang harus kami tolong hari ini? Pemberian siapakah yang harus kami terima atau kepada siapakah kami harus mengajarkan Dhamma?”

1545 > Ini adalah sebuah “kelompok tujuh campuran,”yang didapat dengan menggabungkan sebuah kelompok empat dan sebuah kelompok tiga yang keduanya tidak muncul dalam AN sebagai tema sutta yang berbeda. Akan tetapi, kelompok empat yang pertama mengulangi 5:100.

1546 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca tava sāvakā, bukan seperti Ce tathāgatasāvakā.

1547 > Sebuah paralel yang diperluas dari 5:201, 6:40.

1548 > Pacalāyamāno nisinno hoti. Persis di bawah, Mp mengemas pertanyaan Sang Buddha, “Pacalāyasī no?” menjadi “Niddāyasi nu” (“Apakah engkau jatuh tertidur?”. Mp: “Sewaktu bergantung pada desa untuk menerima dana makanan, Moggallāna telah berlatih meditasi di hutan. Selama tujuh hari ia telah dengan bersemangat berlatih meditasi berjalan dan usaha itu melelahkannya. Demikianlah ia mengantuk [di tempat duduknya] di ujung jalan setapak itu.”

1549 > Percakapan ini juga terdapat pada MN 37.2-3, I 251-52, tetapi dengan Sakka sebagai penanya. Mp menjelaskan kalimat ini sebagai berikut: “Tidak ada (lit., tidak semua) layak digenggam (sabbe dhammā nālaṃ abhinivesāya): di sini, ‘segala sesuatu’ (sabbe dhammā) adalah kelima kelompok unsur kehidupan, dua belas landasan indria, dan delapan belas elemen. Hal-hal ini adalah tidak leyak digenggam melalui ketagihan dan pandangan. Mengapa tidak? Karena hal-hal itu tidak ada dalam cara bagaimana hal-hal itu digenggam. Hal-hal itu digenggam sebagai kekal, menyenangkan, dan diri, tetapi hal-hal itu ternyata tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Oleh karena itu tidak layak digenggam. Seseorang secara langsung mengetahuinya melalui pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññāya abhijānāti) sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Seseorang sepenuhnya memahaminya dalam cara yang sama dengan pemahaman penyelidikan sepenuhnya (tīraṇapariññāya parijānāti).” “Segala sesuatu” dalam terjemahan saya dari Mp berhubungan dengan “tidak ada” dari sutta, karena frasa Pāli dari sutta ini adalah bentuk negatif dari “sabbe dhammā”(“tidak semua”). Tentang ketiga jenis pemahaman penuh (pariññā), baca Vism 606,18 – 607,23, Ppn 20.3-6.

1550 > Ee tidak menghitung ini sebagai sutta terpisah, walaupun mengapit keseluruhan sutta dalam tanda kurung. Syair uddāna dalam Ee tidak mencantumkan kata yang membantu ingatan untuk sutta ini, yang dapat menjelaskan kesalahan ini. Ce menggunakan mā puñña sebagai kata yang membantu ingatan; Be menuliskan mettā dan memberi judul “Metta sutta.”

1551 > Tentang pengembangan sistem dunia baru setelah periode penghancuran, baca DN 1.2.2-4, I 17,24-18,4.

1552 > Ce menuliskan dalam tanda kurung sattakkhattuṃ, “tujuh kali,” yang tidak terdapat pada Be atau Ee. Penambahan ini mungkin dimaksudkan untuk menyesuaikan prosa dengan syairnya.

1553 > Ini adalah penggambaran umum atas raja pemutar-roda. Tentang tujuh pusaka, baca MN 129.34-41, III 172-76.

1554 > Ee menuliskan Jambusaṇḍassa, Ce Jambudīpassa (mungkin proses menormalkan), Be Jambumaṇḍassa. Jambusaṇḍassa terdapat pada Sn 552 = Th 822. Saya menggunakan nama Jambudīpa yang lebih akrab, “Pulau Jambu,” sub-benua India yang besar.

1555 > Bersama Ce dan Ee saya membaca asāhasena dhammena, bukan seperti Be asāhasena kammena.

1556 > Ce pathavyo [Ee pathabyo] yena vuccati. Be tidak memuaskan: pathabyo me na vipajjati.

1557 > Bersama Ce dan Ee saya membaca homi di sini dan di baris pertama syair berikutnya. Be menuliskan hoti di kedua tempat.

1558 > Syair ini juga terdapat pada 4:21.

1559 > Vedhadaṇḍatajjitā. Mp: “Ketika suaminya mengambil tongkat pemukul dan mengancam akan membunuhnya, dengan berkata: ‘Aku akan membunuhmu’” (daṇḍakaṃ gahetvā vadhena tajjitā, “ghātessāmi nan” ti vuttā).

1560 > Terdapat paralel China, MĀ 129, pada T I 617b19-618b16.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #25 on: 31 July 2013, 09:48:36 PM »
1561 > Atho atthaṃ gahetvāna, anatthaṃ adhipajjati. Demikian seluruh tiga edisi, tetapi sebuah edisi Sri Lanka yang lebih tua menuliskan adhigacchati dan edisi Thailand paṭipajjati. Seluruh tiga itu dapat dibenarkan, tetapi dengan nuansa berbeda. Kalimat ini jelas mewakili bahaya ke dua dari kemarahan dalam bagian prosa. Mp mengatakan “Setelah memperoleh sesuatu yang menguntungkan, ia berpikir ‘Aku memperoleh apa yang berbahaya’” (vuddhiṃ gahetvā … anattho me gahito ti sallakkheti). Padanan China pada 618a12 menuliskan (MANDARIN), “ketika ia seharusnya memperoleh kekayaan besar, sebaliknya ia memperoleh apa yang berbahaya.”

1562 > Seluruh tiga edisi menuliskan vadhaṃ katvāna, “setelah membunuh,” yang saya ikuti, tetapi terdapat variasi, vaṇaṃ katvāna, “setelah melukai.” Mp tampaknya mendukung vadhaṃ dengan kemasannya, “ia melakukan tindakan pembunuhan” (pānātipātakammaṃ katvā). Versi China pada 628a15 hanya menuliskan (MANDARIN), “orang yang marah melakukan perbuatan jasmani atau ucapan.”

1563 > Syair ini memberikan beberapa kesulitan. Pāda a tertulis dummaṅkuyaṃ padasseti. Hardy, pada kata pengantar untuk AN Vol. V (pp. v-vi), menyebutkan bahwa “dummaṅku menyiratkan seorang yang sempoyongan dalam cara yang tidak menyenangkan, tercela, dan memalukan, karena ia tidak malu pada perilakunya, atau sejenisnya.” Mp mengemas kata ini sebagai dubbaṇṇamukhataṃ, “ekspresi wajah yang buruk,” yang mendekati versi china (MANDARIN). Kata kerja dalam pāda c, patāyati tidak jelas. Mp mengemasnya sebagai nibbattati, “dihasilkan,” yang tidak cukup tepat. PED menawarkan “menyebar keluar” (mungkin berasal dari *sphātayati; baca SED sv sphat), yang saya adopsi. Versi China (MANDARIN), “dari ini dihasilkan kecemburuan yang bermusuhan,” mungkin berdasarkan pada kata yang berbeda dari asal-usul India, mungkin spṛhayati (baca SED sv spṛh), yang mungkin muncul dari kesalahan atas sesuatu yang berhubungan dengan *sphātayati.

1564 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca yathātathaṃ, bukan seperti Ee yathākathaṃ.

1565 > Mp mengidentifikasikan “brahmana” di sini sebagai seorang Arahant (khiṇāsavabrahmaṇaṃ).

1566 > Hanti kuddho puthuttānaṃ. Saya menerjemahkan kemasan Mp puthuttānaṃ sebagai nānākāraṇehi attānaṃ.

1567 > Bhūnahaccāni kammāni. Komentar secara konsisten mengemas bhūnahata sebagai hatavuddhi, “seorang yang menghancurkan pertumbuhan.” SED, sv bhrūṇa, mengartikan bhṛūṇahati sebagai membunuh janin, dan bhṛūṇahatyā sebagai membunuh seorang brahmana terpelajar.

1568 > Bersama dengan Ce saya membaca ekam etaṃ akusalaṃ, bukan seperti Be yathā metaṃ akusalaṃ dan Ee ekam ekaṃ akusalaṃ. Saya menganggap “satu [kualitas] tidak bermanfaat ini” sebagai kemarahan.

1569 > Bersama dengan Ce saya membaca vītamohā, bukan seperti Be dan Ee vītalobhā, “tanpa keserakahan.”

1570 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca parinibbanti, bukan seperti Ee parinibbiṃsu. Sebuah variasi parinibbissatha menghasilkan sebuah ucapan orang ke dua jamak: “tanpa noda, kalian akan mencapai nibbāna.”

1571 > Sebuah paralel yang diperluas dari 5:24, 6:50.

1572 > Be dan Ee memulai dengan evaṃ me sutaṃ.

1573 > Yojana adalah jarak antara tujuh ampai sembilan mil.

1574 > Aññatra diṭṭhiapadehi. Mp: “Siapakah yang akan mempercayai ini, kecuali para siswa mulia, para pemasuk-arus yang telah melihat kebenaran?” Kebenaran,  atau keadaan (pāda), yang dilihat oleh pemasuk-arus adalah nibbāna, lenyapnya penderitaan.

1575 > Ko mantā saddhātā. Mp (Ce) mengemas: “Siapakah yang mampu mendiskusikan hal ini demi untuk membangkitkan keyakinan dalam hal ini, atau siapakah yang memiliki keyakinan dalam hal ini?” (ko tassa saddhāpanatthāya mantetuṃ samattho, ko vā tassa saddhātā). Saddhātā adalah bentuk tunggal nominatif dari kata benda pelaku saddhātar. Jadi mantā, yang adalah paralelnya, pasti merupakan bentuk kata benda pelaku dari mantar, “seorang pemikir.” Paralel China, MĀ 8, tidak ada yang bersesuaian dengan kata Pāli mantā. Saya menerjemahkan dari T I 429b7-11: “Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, Sineru, raja pegunungan, akan runtuh dan hancur. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang aku beritahukan kepada kalian, air di samudra raya akan mengering dan menguap. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang aku beritahukan kepada kalian, bumi ini akan terbakar seluruhnya dan hancur oleh api. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran?”

1576 > Ia juga disebutkan pada 6:54, III 371,16-27.

1577 > Dari sini dimulai enam alam surga indriawi, dari yang tertinggi hingga yang terendah.

1578 > Sang Buddha menghubungkan hal ini dengan dirinya sendiri dengan merujuk pada kehidupan lampaunya pada 7:62.

1579 > Seperti pada 4:1, termasuk syairnya.

1580 > Salākañceva jevanikañca. Mp: “Salāka adalah senjata yang dapat dilepaskan (nissaggiya), seperti anak panah dan tombak; jevanika adalah jenis-jenis senjata lainnya, seperti pedang bersisi tunggal. “SED sv śalyaka, berarti “anak panah, tombak.” PED mendefinisikan jevanika sebagai “sejenis senjata (peluru),” tetapi peluru, menurut Mp, adalah termasuk dalam salāka.

1581 > Terjemahan saya atas istilah-istilah ini, yang kadang-kadang tidak jelas dalam aslinya, sebagian berdasarkan pada penjelasan yang diberikan dalam Mp. Berikut ini adalah penjelasan yang saya ikuti untuk istilah-istilah yang tidak jelas itu: Celakā (“pembawa-panji”): mereka yang, dalam pertempuran, berjalan di depan sambil membawa panji kemenangan: Calakā (“petugas barak”): mereka yang mengatur barisan militer sebagai berikut: “Ini adalah tempat raja, ini adalah tempat perdana menteri,” dan seterusnya. Piṇḍadāyikā (“pelayan-makanan,” lit., “pemberi gumpalan”): para prajurit perkasa. Dikatakan bahwa mereka memasuki bala tentara musuh dan terbang memotong mereka seolah-olah menjadi gumpalan (piṇḍapiṇḍamiva); setelah bangun, mereka keluar; atau pengertian lain adalah mereka yang membawa makanan dan minuman kepada para prajurit di tengah-tengah pertempuran. [Saya menerjemahkan berdasarkan turunan ke dua ini, yang tampaknya lebih masuk akal.] Pakkhandhino (“prajurit penyerang garis depan”) adalah mereka yang bertanya: “Kepala atau senjata siapakah yang akan kita ambil?” dan diberitahu, “Kepalanya!” atau “Senjatanya!” mereka terjun (pakkhandanti) ke tengah-tengah pertempuran dan mengambilnya. Mahānāgā (“prajurit sapi-besar”) adalah para prajurit yang tidak akan berbalik bahkan ketika gajah-gajah, dan sebagainya menyerang langsung ke arah mereka. Sūra (“prajurit penyerang”) adalah sejenis prajurit, yang dapat melintasi samudra bahkan sambil membawa jaket pelindung atau membawa baju berlapis baja. Cammayodhino (“prajurit pembawa-perisai”) adalah mereka yang mengenakan baju pelindung dari kulit, atau mereka yang membawa perisai dari kulit sebagai pelindung terhadap anak panah. Dāsakaputta (“prajurit budak-rumah-tangga”): para prajurit budak-rumah-tangga yang penuh kasih sayang. Mp menjelaskan uggā rājaputtā sebagai “putra-putra kerajaan yang berpengalaman dalam peperangan yang telah meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi” (uggatuggatā saṅgāmāvacarā rājaputtā). Dengan demikin Mp telah menurunkan kata itu dari uggata, tetapi SED mengatakan bahwa ugra adalah “kasta campuran” (dari ayah Kshatriya dan ibu Ṥūdra).” Kata ini, menurut SED, berarti “kuat, keras, perkasa … kejam, ganas.”

1582 > Aparitassāya. Lit., “untuk ketidak-kacauan”

1583 > Tilamuggamāsāparaṇṇaṃ. Mp memecah sebagai berikut: tilamuggamāsā ca sesāparaṇṇañca. Mengikuti Mp, saya menganggap aparaṇṇa sebagai istilah umum yang mana tila, mugga, dan māsa adalah contohnya. Karena itu saya menerjemahkan aparaṇna hanya sebagai “bahan makanan.” Baca Sp IV 784,31-33: “Dengan aparaṇṇa yang dimaksudkan adalah sayur-mayur, biji-bijian, wijen, kacang-kacangan kulattha, labu pahit, labu, dan sebagainya” (muggamāsatilakulatthālābukumbhaṇḍādibhedañca aparaṇṇaṃ adhippetaṃ).

1584 > Saya mengoreksi dhammehi dalam Ce di sini menjadi saddhammehi (seperti dalam Be dan Ee). Terjemahan Sinhala mendukung hal ini dengan terjemahannya sapta saddharmayen.

1585 > Dvayena puggalā viditā honti. Di sini sebuah kelompok minor tujuh pasang bersarang dalam kelompk tujuh yang lebih besar, sehingga khotbah ini terdiri dari dua kelompok tujuh.

1586 > DPPN menjelaskan bahwa pāricchattaka adalah sebatang pohon yng tumbuh di taman Nandana di alam surga Tāvatiṃsa. Kelilingnya seratus liga dan di bawahnya terletak tempat duduk batu milik Sakka. Pāricchattaka dikatakan sebagai satu dari tujuh pohon yang bertahan sepanjang kappa. (Saya berterima kasih kepada Dr. Julie Plummer dari Departemen Biologi Tumbuhan, University of Western Australia, yang telah memberikan istilah-istilah botani yang tepat untuk berbagai tahapan perkembangan bunga yang dirujuk dalam sutta ini.)

1587 > Na cirass’eva dāni jālakajāto bhavissati. Mp: “Peristiwa ketika pohon menumbuhkan jejaring dedaunan dan bunga, yang muncul bersamaan.”

1588 > Na cirass’eva dāni khārakajāto bhavissati. Mp: “Peristiwa ketika pohon memiliki jejaring dedaunan dan bunga-bungaan yang terbagi dan tumbuh secara terpisah.”

1589 > Ce dan Be: kuḍumalakajāto; Be: kuṭumalakajāto. Mp: “kuncupnya mulai tumbuh.”

1590 > Ce dan Ee: kokāsakajāti; Be: korakajāto, Mp: “Pohon itu mendapatkan bunga yang belum mekar, dengan mulut yang masih tertutup dan perut yang besar.”

1591 > Ce: sabbapāliphullo; Be dan Ee: sabbaphāliphullo. Mp: “Pohon itu memiliki bunga-bunga yang telah mekar sempurna dalam segala hal.”

1592 > Perumpamaan ini tidak hanya membandingkan siswa mulia dengan pohon koral dalam tiap-tiap tahapan tetapi juga menggunakan nama-nama tahapan untuk menggambarkan perkembangan siswa mulia itu. Ia adalah “siswa mulia yang [berada pada tingkat ini dan itu] seperti pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.” Ee menghilangkan va setelah devānaṃ, walaupun mengakui bahwa ini adalah variasi tulisan.

1593 > Dengan cara serupa, seruan para dewata, yang naik menembus alam-alam surga, juga terjadi pada akhir khotbah pertama Sang Buddha. Baca SN 56:11, V 423,17-24,4.

1594 > Bersama dengan Be dan Ee, saya membaca parisuddhasaṇkhātatarā, bukan seperti Ce parisuddhasaṅkhatatarā. Mp mengemas “kualitas-kualitas itu akan menjadi semakin murni dan tanpa noda” (bhiyyasomattāya parisuddhā bhavissanti nimmalā), yang saya pikir tidak cukup menangkap makna -saṅkhātatarā. Kata itu dapat bermakna “dikenal sebagai, terlihat sebagai, dinyatakan sebagai,” dan ini adalah makna yang tampaknya relevan di sini.

1595 > Sutta ini adalah paralel-sebagian dari SN 22:101, III 152-55.

1596 > Bersama dengan Ee, saya membaca udaraṃ, bukan seperti Ce dan Be uraṃ, “dada.”

1597 > Baca SN 12:22, II 29,16-21.

1598 > Mp, dalam mengomentari 1:53, membahas paragraf ini secara lebih lengkap sebagai berikut: “para bhikkhu yang memuntahkan darah panas telah melakukan pelanggaran pārājika. Mereka yang kembali ke kehidupan awam telah di sana-sini melakukan pelanggaran-pelanggaran pada aturan-aturan latihan kecil dan minor. Dan mereka yang mencapai Kearahattaan telah memurnikan perilaku mereka. Khotbah Sang Guru berbuah untuk ketiga kelompok itu. [Pertanyaan:] Dapat diterima bahwa hal itu berbuah bagi mereka yang mencapai Kearahattaan, tetapi bagaimana hal itu berbuah bagi yang lainnya? [Jawab:] Karena jika mereka tidak mendengar khotbah ini, [kelompok pertama] akan menjadi lengah dan tidak mungkin meninggalkan kondisi mereka. Perilaku jahat mereka akan meningkat dan menarik mereka jatuh ke alam sengsara. Tetapi ketika mereka mendengar khotbah ini, mereka menjadi didorong oleh suatu keterdesakan. Setelah meninggalkan kondisi mereka, beberapa menjadi sāmaṇera, yang memenuhi sepuluh peraturan, menekuni perhatian waspada, dan menjadi pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, atau yang-tidak-kembali, sementara beberapa lainnya terlahir kembali di alam deva. Demikianlah hal itu berbuah bahkan untuk mereka yang telah melakukan pārājika. Jika yang lainnya tidak mendengar khotbah ini, seiring berlalunya waktu, mereka perlahan-lahan akan melakukan saṅghādisesa atau pārājika. Mereka akan dapat terlahir kembali di alam sengsara dan mengalami penderitaan hebat. Tetapi setelah mendengar khotbah ini, dengan berpikir bahwa mereka tidak dapat memenuhi praktik seumur hidup mereka, maka mereka meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan awam. Mereka menjadi kokoh dalam tiga perlindungan, menjalankan lima aturan, memenuhi tugas seorang umat awam, dan menjadi para pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, atau yang-tidak-kembali, sementara beberapa lainnya terlahir kembali di alam deva. Demikianlah khotbah ini berbuah untuk mereka juga.”

1599 > Seperti pada 6:54, akan tetapi urutan guru-guru masa lampau berakhir pada Jotipāla. Baca juga 7:66, di mana hanya Sunetta yang disebutkan.

1600 > Bersama Be dan Ee saya membaca yathā ‘maṃ sabrahmacārīsu, bukan seperti Ce yathā amhaṃ sabrahmacārisu. Ce menuliskan yathā ‘maṃ dalam paralelnya pada 6:54. baca juga pp.1762-63, catatan 1364-66.

1601 > Teks menggunakan kata ratti, “malam” sebagai perhitungan periode dua puluh empat jam, seperti yang biasa dalam literatur kanonis Buddhis.

1602 > Bersama dengan Ce dan Ee membaca kupito, tidak seperti Be kapimiddho, “tidur monyet.”

1603 > Saya mengikuti Ce dan Be, yang membaca rattipi saṅkhātā, divāpi saṅkhātā.

1604 > Sp IV 790, 12-20: “Secara terperinci berarti bersama dengan kedua Vibhaṅga. Disampaikan dengan baik berarti dibabarkan dengan baik. Untuk menunjukkan bagaimana hal-hal itu ‘disampaikan dengan baik,’ dikatakan, ‘dianalisis dengan baik, dan seterusnya. Dianalisis dengan baik berarti bahwa tiap-tiap kata dianalisis tanpa kebingungan atau cacat. Dikuasai dengan baik berarti menjadi terbiasa, dimunculkan dalam pelafalan. Dipastikan dengan baik dalam hal aturan-aturan berarti dengan tegas ditetapkan dalam hal aturan-aturan apakah berasal dari Khandaka atau Parivāra; dipastikan dengan baik dalam hal penjelasan terperincinya berarti dengan tegas ditetapkan, tanpa cacat, tanpa kesalahan dalam kata karena kelengkapan kata dan istilah.” (Tattha vitthārenā ti ubhatovibhaṅgena saddhiṃ. Svāgatānī ti suṭṭhu āgatāni. ni. Athā āgatāni pana svāgatāni honti, taṃ dassetuṃ “suvibhattānī” ti ādi vuttaṃ. Tattha suvibhattāni ti paguṇāni vācuggatāni.  Suvicchitāni suttaso ti khandhakaparivārato āharitabbasuttavasena suṭṭhu vinicchitāni. Anubyañjanaso ti akkharapadapāripūriyā ca suvinicchittāni akhaṇḍāni aviparītakkharāni.)

1605 > Saya mengikuti Be dalam membaca hanya vinayadharo daripada bhikkhuvinayadharo dalam 7:79-82. Ce menuliskan bhikkhu vinayadharo dalam 7:79 dan 7:80, pernyataan pembuka, dan hanya vinayadharo dalam 7:80, pernyataan penutup, dan dalam 7:81-82. Ee menuliskan bhikkhu vinayadharo dalam 7:79 ( = Eel xxv) dan hanya vinayadharo dalam 7:80-82 ( = Ee lxxvi-lxxviii).

1606 > Sammukhāvinaya. Dengan mempertimbangkan penjelasan terperinci pada Vin II 93,32-100,6, terjemahan dalam MLDB 855-56, “penghapusan melalui konfrontasi,” tidak memuaskan.

1607 > Untuk rincian atas prinsip-prinsip ini dan penerapannya, baca MN 104.13-20, II 247-50; Vin II 73-104; Thānissaro 2007a: 546-61.

1608 > Ee tidak menghitung ini sebagai vagga terpisah melainkan memperlakukannya sebagai awal dari rangkaian pengulangan.

1609 > Sebuah permainan kata terlibat di sini, tampak jelas dalam Pāli: bhinnattā bhikkhu hoti. Permainan kata juga menjelaskan penurunan kata dalam sutta berikutnya, misalnya, samitattā samaṇo hoti, dan bāhitattā brāhmaṇo hoti. Permainan kata ini adalah murni bertujuan “mendidik” dan tidak meyakinkan secara etmologis.

1610 > Masing-masing sutta dalam rangkaian ini disingkat dalam Pāli, tetapi jelas bahwa masing-masingnya harus diperluas melalui ketujuh faktor yang disebutkan dalam 4:85.

1611 > Bersama Ee saya membaca arīhatattā. Ce menuliskan arahattā, Be ārakattā (seperti yang tertulis dalam seluruh tiga edisi untuk sutta berikutnya).

1612 > Ārakattā arahā hoti.

1613 > Tidak ada edisi yang mencantumkan syair uddāna untuk vagga ini. Mulai dari sini Be tidak lagi memberikan judul pada sutta-sutta, seperti yang dilakukan Ee sebelumnya. Saya mendasarkan judul-judul dari Ce, yang tidak memiliki syair uddāna.

1614 > Baik Ce maupun Ee tidak menomori rangkaian ini. Be menomorinya dengan 11, melanjutkan skema penomoran berurutan yang digunakan dalam vagga-vagga. Saya menomorinya seolah-olah merupakan bab ke enam dalam kelompok lima puluh ini. Ce menomori sutta-sutta dalam rangkaian ini dari 1-510. Be menomori sutta-sutta sebagai kelanjutan dari sutta-sutta dalam keseluruhan nipāta, dari 623 hingga 1132. saya mengikuti penomoran sutta dari Be.