//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM  (Read 9204 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« on: 19 May 2013, 07:01:13 PM »
[1] BUKU KELOMPOK ENAM

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #1 on: 19 May 2013, 07:02:26 PM »
[279] BUKU KELOMPOK ENAM

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


LIMA PULUH PERTAMA

[/I]I. LAYAK MENERIMA PEMBERIAN

1 (1) Layak Menerima Pemberian (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? (1) Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih.<1251> (2) Setelah mendengar suatu suara dengan telinga, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (3) Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (4) Setelah mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (5) Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. (5) Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak bergembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu puas mendengar pernyataan Sang Bhagavā. [280]

2 (2) Layak Menerima Pemberian (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini?<1252>

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(2) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

(3) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.

(4) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh [281] kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(5) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(6) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

3 (3) Indria

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [282] Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

4 (4) Kekuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Kekuatan keyakinan, Kekuatan kegigihan, Kekuatan perhatian, Kekuatan konsentrasi, Kekuatan kebijaksanaan; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

5 (5) Berdarah Murni (1)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kecantikan. Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.<1253>

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? [283] Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

6 (6) Berdarah Murni (2)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kekuatan. Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

7 (7) Berdarah Murni (3)

Para bhikkhu, dengan memiliki enam faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah enam ini? Di sini, seekor kuda yang baik yang berdarah murni milik seorang raja dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan memiliki kecepatan. [284] Dengan memiliki keenam faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan, dan dengan sabar menahankan fenomena-fenomena pikiran. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

8 (8 ) Hal-Hal yang Tidak Terlampaui

“Para bhikkhu, ada enam hal yang tidak terlampaui ini. Apakah enam ini? Penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, latihan yang tidak terlampaui, pelayanan yang tidak terlampaui, dan pengingatan yang tidak terlampaui. Ini adalah keenam hal yang tidak terlampaui itu.”<1254>

9 (9) Subjek Pengingatan

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini. Apakah enam ini? pengingatan pada Sang Buddha, pengingatan pada Dhamma, pengingatan pada Saṅgha, pengingatan pada perilaku bermoral, pengingatan pada kedermawanan, dan pengingatan pada dewata. Ini adalah keenam subjek pengingatan itu.”<1255>


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #2 on: 19 May 2013, 07:02:55 PM »

10 (10) Mahānāma

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, bagaimanakah seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam?”<1256>

“Mahānāma, seorang siswa mulia [285] yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini:<1257>

(1) “Di sini, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Sang Tathāgata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang,<1258> yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma,<1259> ia mengembangkan pengingatan pada Sang Buddha.

(2) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Dhamma. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. [286] Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Dhamma.

(3) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Saṅgha. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Saṅgha.

(4) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada perilaku bermoral. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenimatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. [287] Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada perilaku bermoral.

(5) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada kedermawanan. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.  Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada kedermawanan.

(6) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini.<1260> Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika [288] seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada para dewata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.  Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada para dewata.

“Mahānāma, seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #3 on: 19 May 2013, 07:03:23 PM »
II. KERUKUNAN

11 (1) Kerukunan (1)

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini.<1261> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip perukunan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui ucapan terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan. [289]

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan<1262> segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan pada pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip perukunan.

“Ini, para bhikkhu adalah keenam prinsip kerukunan itu.”

12 (2) Kerukunan (2)

“Para bhikkhu, ada enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui jasmani terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan cinta kasih melalui pikiran terhadap teman-temannya para bhikkhu baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berbagi tanpa merasa enggan segala perolehan yang baik yang diperoleh dengan baik, termasuk bahkan isi mangkuknya sendiri, dan menggunakan benda-benda itu secara bersama [290] dengan teman-temannya para bhikkhu yang bermoral. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki perilaku bermoral yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki pandangan yang sama dengan teman-temannya para bhikkhu, pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan, seseorang yang bertindak berdasarkan pada pandangan itu, menuju kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini juga adalah satu prinsip perukunan yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan …

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam prinsip kerukunan itu yang menciptakan kasih sayang dan penghargaan dan mengarah pada kebersamaan, tanpa-perselisihan, kerukunan, dan kesatuan.”

13 (3) Jalan Membebaskan Diri

“Para bhikkhu, ada enam elemen jalan membebaskan diri ini.<1263> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun niat buruk masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun [291] niat buruk masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari niat buruk, yaitu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih.’

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari pikiran mencelakai, yaitu, kebebasan pikiran melalui belas kasihan.’

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikiranku.’<1264> Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari ketidak-puasan, yaitu, kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik.’

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun nafsu masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, [292] namun nafsu masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari nafsu, yaitu, kebebasan pikiran melalui keseimbangan.’<1265>

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran,<1266> menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun kesadaranku masih mengikuti gambaran-gambaran.’<1267> Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, [292] namun kesadarannya masih mengikuti gambaran-gambaran. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari gambaran-gambaran, yaitu, kebebasan pikiran tanpa gambaran.’

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah meninggalkan [gagasan] “Aku,” dan aku tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik secara salah menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa ketika [gagasan] “aku” telah ditinggalkan, dan seseorang tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari anak panah keragu-raguan dan kebingungan, yaitu, tercabutnya keangkuhan “aku.”’<1268>

“ini, para bhikkhu, adalah keenam elemen jalan membebaskan diri itu.”

14 (4) Kematian yang Baik

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu [293] menjawab. Yang Mulia Sārputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya<1269> sedemikian sehingga ia tidak mendapatkan kematian yang baik.<1270> Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia tidak mendapatkan kematian yang baik?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bersenang-senang dalam pekerjaan, bergembira dalam pekerjaan, menikmati kesenangan dalam pekerjaan;<1271> (2) ia bersenang-senang dalam berbicara, bergembira dalam berbicara, menikmati kesenangan dalam berbicara; (3) ia bersenang-senang dalam tidur, bergembira dalam tidur, menikmati kesenangan dalam tidur; (4) ia bersenang-senang dalam perkumpulan, bergembira dalam perkumpulan, menikmati kesenangan dalam perkumpulan; (5) ia bersenang-senang dalam ikatan, bergembira dalam ikatan, menikmati kesenangan dalam ikatan; (6) ia bersenang-senang dalam proliferasi, bergembira dalam proliferasi, menikmati kesenangan dalam proliferasi.<1272> Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian maka ia tidak mendapatkan kematian yang baik. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam eksistensi diri,<1273> yang belum meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia mendapatkan kematian yang baik. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia mendapatkan kematian yang baik?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bergembira dalam pekerjaan, tidak menikmati kesenangan dalam pekerjaan; (2) ia tidak bersenang-senang dalam berbicara, tidak bergembira dalam berbicara, tidak menikmati kesenangan dalam berbicara; (3) ia tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bergembira dalam tidur, tidak menikmati kesenangan dalam tidur; (4) ia tidak bersenang-senang dalam perkumpulan, tidak bergembira dalam perkumpulan, tidak menikmati kesenangan dalam perkumpulan; (5) ia tidak bersenang-senang dalam ikatan, tidak bergembira dalam ikatan, tidak menikmati kesenangan dalam ikatan; (6) ia tidak bersenang-senang dalam proliferasi, tidak bergembira dalam proliferasi, tidak menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu [294] melewatkan waktunya sedemikian maka ia mendapatkan kematian yang baik. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam nibbāna, yang telah meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”

   Makhluk-makhluk<1274> yang menikmati proliferasi,
   Yang bersenang-senang pada proliferasi,
   Telah gagal mencapai nibbāna,
   Keamanan tertinggi dari keterikatan.

   Tetapi seseorang yang telah meninggalkan proliferasi,
   Yang bersenang-senang dalam tanpa-proliferasi,
   Telah mencapai nibbāna,
   Keamanan tertinggi dari keterikatan.

15 (5) Menyesal

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu …

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia dengan menyesal. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia dengan menyesal?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bersenang-senang dalam pekerjaan, bergembira dalam pekerjaan, menikmati kesenangan dalam pekerjaan … [seperti pada 6:14] … (6) ia bersenang-senang dalam proliferasi, bergembira dalam proliferasi, menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya dengan cara demikian maka ia meninggal dunia dengan menyesal. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam eksistensi diri, yang belum meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

“Teman-teman, seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia tanpa menyesal. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu melewatkan waktunya sedemikian sehingga ia meninggal dunia tanpa menyesal?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bergembira dalam pekerjaan, tidak menikmati kesenangan dalam pekerjaan … [295] … (6) ia tidak bersenang-senang dalam proliferasi, tidak bergembira dalam proliferasi, tidak menikmati kesenangan dalam proliferasi. Ketika seorang bhikkhu melewatkan waktunya dengan cara demikian maka ia meninggal dunia tanpa menyesal. Ini disebut seorang bhikkhu yang bersenang-senang dalam nibbāna, yang telah meninggalkan eksistensi diri untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”

[Syairnya identik dengan syair pada 6:14]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #4 on: 19 May 2013, 07:04:42 PM »
16 (6) Nakula

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragiar, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Pada saat itu perumah tangga Nakulapitā sedang sakit, menderita, sakit parah. Kemudian sang istri Nakulamātā berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan,<1275> perumah tangga. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.<1276>

(1) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā tidak akan mampu menyokong anak-anak kami dan memelihara rumah tangga.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku mahir dalam memintal kapas dan merajut wol. Setelah engkau pergi, aku akan mampu menyokong anak-anak [296] dan memelihara rumah tangga. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(2) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā akan menikah lagi.’<1277> Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Engkau tahu, perumah tangga, dan aku juga tahu, bahwa selama enam belas tahun terakhir ini kita telah menjalani kehidupan selibat umat awam.<1278> Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(3) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Setelah aku pergi, Nakulamātā tidak ingin lagi pergi bertemu dengan Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Setelah engkau pergi, perumah tangga, aku bahkan akan lebih giat lagi pergi menemui Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(4) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā tidak memenuhi perilaku bermoral.’<1279> Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang memenuhi perilaku bermoral. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. [297] Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(5) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā tidak memperoleh ketenangan pikiran internal.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang memperoleh ketenangan pikiran internal. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.

(6) “Mungkin, perumah tangga, engkau berpikir sebagai berikut: ‘Nakulamātā belum mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini; ia belum menyeberangi keragu-raguan, belum melenyapkan kebingungan, belum mencapai kepercayaan-diri, dan belum menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru.’ Tetapi engkau jangan melihat persoalan itu dengan cara demikian. Aku adalah salah satu siswi awam Sang Bhagavā yang berjubah putih yang telah mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini; aku telah menyeberangi keragu-raguan, telah melenyapkan kebingungan, telah mencapai kepercayaan-diri, dan telah menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru. Jika siapa pun memiliki keragu-raguan atau kebimbangan sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Mereka dapat pergi dan bertanya kepada Beliau. Oleh karena itu, perumah tangga, jangan meninggal dunia dengan penuh kecemasan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan adalah menyakitkan. Meninggal dunia dengan penuh kecemasan telah dicela oleh Sang Bhagavā.”

Kemudian, sewaktu perumah tangga Nakulapitā [298] sedang dinasihati demikian oleh sang istri Nakulamātā, penyakitnya seketika mereda. Nakulapitā sembuh dari penyakit itu, dan demikianlah penyakitnya ditinggalkan.

Kemudian, tidak lama setelah ia sembuh, perumah tangga Nakulapitā, dengan bertumpu pada sebatang tongkat, mendatangi Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Sungguh suatu keberuntungan bagimu, perumah tangga, bahwa istrimu Nakulamātā berbelas kasihan padamu, menginginkan kebaikanmu, dan menasihati dan mengajarimu. Nakulamātā adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang memenuhi perilaku bermoral. Ia adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang memperoleh ketenangan pikiran internal. Ia adalah salah satu siswa awamKu yang berjubah putih yang telah mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin ini, yang telah menyeberangi keragu-raguan, telah melenyapkan kebingungan, telah mencapai kepercayaan-diri, dan telah menjadi tidak tergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru. Sungguh suatu keberuntungan bagimu, perumah tangga, bahwa istrimu Nakulamātā berbelas kasihan padamu, menginginkan kebaikanmu, dan menasihati dan mengajarimu.”

17 (7) Bermanfaat

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Savatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu malam hari, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Pada malam itu, Yang Mulia Sāriputta juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana [299] ia bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna … Yang Mulia Mahākassapa … Yang Mulia Mahākaccāyana … Yang Mulia Mahākoṭṭhita … Yang Mulia Mahācunda … Yang Mulia Mahākappina … Yang Mulia Anuruddha … Yang mulia Revata … Yang Mulia Ānanda juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi.

Kemudian, setelah melewatkan sebagian besar malam itu dengan duduk, Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Segera setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga, bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing. Tetapi para bhikkhu itu yang baru ditahbiskan, yang belum lama meninggalkan keduniawian dan baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Dengan mata-dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat para bhikkhu itu tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Kemudian Beliau mendatangi aula pertemuan, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, di manakah Sāriputta? Di manakah Mahāmoggallāna? Di manakah Mahākassapa? Di manakah Mahākaccāyana? Di manakah Mahākoṭṭhita? Di manakah Mahācunda? Di manakah Mahākappina? Di manakah Anuruddha? Di manakah Revata? Di manakah Ānanda? Ke mana para bhikkhu senior itu pergi?”

“Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing.”

“Para bhikkhu, ketika para bhikkhu senior itu pergi, megapa kalian para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidur dan mendengkur hingga matahari terbit?

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang raja khattiya yang sah, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya [300] jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”<1280>

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang petugas kerajaan … (3) … seorang putra tersayang … (4) … seorang jenderal … (5) … seorang kepala desa … (6) … seorang pemimpin serikat kerja, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Misalkan ada seorang petapa atau brahmana yang menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur; seorang yang tidak menjaga pintu-pintu indria, yang makan berlebihan, dan tidak menekuni keawasan; yang tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat; yang tidak berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari. Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang yang demikian, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau [301] mendengar hal demikian.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; kami akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat, dan akan berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari.’<1281> Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

18 (8 ) Pedagang Ikan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat tertentu Sang Bhagavā melihat seorang pedagang ikan sedang membunuh ikan dan menjualnya. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat pedagang ikan itu yang sedang membunuh ikan dan menjualnya?”

“Ya, Bhante.”

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang pedagang ikan, yang membunuh ikan-ikan [302] dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada ikan yang ditangkap ketika ikan-ikan itu dibawa ke tempat pemotongan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang penjagal sapi, yang membunuh sapi-sapi dan menjualnya … [303] (3) … seorang penjagal domba … (4) … seorang penjagal babi … (5) seorang penyembelih unggas … (6) … seorang penjagal rusa, yang membunuh rusa-rusa dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada rusa yang ditangkap ketika rusa-rusa itu dibawa ke tempat penjagalan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

“Para bhikkhu, seseorang yang melihat dengan kejam pada binatang-binatang yang ditangkap ketika binatang-binatang itu dibawa ke tempat penjagalan tidak akan bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan. Apalagi yang dapat dikatakan tentang seorang yang melihat dengan kejam pada seorang manusia terhukum yang dibawa menuju tempat pembantaian? Ini akan mengarah menuju bencana dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #5 on: 19 May 2013, 07:04:50 PM »
19 (9) Perhatian pada Kematian (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [304] “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.<1282> Tetapi apakah kalian, para bhikkhu, mengembangkan perhatian pada kematian?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.<1283> Dan aku berhasil sejauh itu!’<1284> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(2) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’<1285> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(3) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan<1286> sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(4) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. [305] Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(5) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”
   
(6) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, (1) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (2) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (3) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (4) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.  Dan aku berhasil sejauh itu!’: [306] mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan lengah. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan lambat demi hancurnya noda-noda.

“Tetapi (5) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ ; dan (6) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan waspada. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.
   
20 (10) Perhatian pada Kematian (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya. Dan bagaimanakah hal ini demikian?

“Di sini, para bhikkhu, ketika siang hari berlalu dan malam menjelang,<1287> seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. (1) Seekor ular mungkin menggigitku, atau seekor kalajengking atau seekor lipan mungkin menyengatku; itu akan menjadi rintangan bagiku. (2) Aku mungkin tersandung dan jatuh, atau (3) makananku mungkin tidak cocok bagiku, atau (4) empeduku [307] mungkin menjadi terganggu, atau (5) dahakku mungkin menjadi terganggu, atau (6) angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Tetapi ketika malam hari berlalu dan pagi menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. Seekor ular mungkin menggigitku …  atau angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: [308] ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Adalah, para bhikkhu, ketika perhatian pada kematian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka akan berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.” [309]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #6 on: 19 May 2013, 07:05:12 PM »
III. HAL-HAL YANG TIDAK TERLAMPAUI

21 (1) Sāmaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Sakya di Sāmagāmaka di dekat kolam teratai. Kemudian, pada larut malam, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh kolam teratai, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada tiga kualitas ini yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Bersenang-senang dalam bekerja, (2) bersenang-senang dalam berbicara, dan (3) bersenang-senang dalam tidur. Ini adalah ketiga kualitas itu yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir: “Sang Guru setuju denganku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, pada larut malam, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh kolam teratai, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tiga kualitas ini yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? Bersenang-senang dalam bekerja, bersenang-senang dalam berbicara, dan bersenang-senang dalam tidur. Ini adalah ketiga kualitas itu yang mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu. Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Setelah mengatakan ini, dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

“Para bhikkhu, adalah kemalangan dan kehilangan bagi kalian yang bahkan para dewata mengetahui sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1288>

“Aku akan mengajarkan, para bhikkhu, tiga kualitas lainnya yang mengarah pada kemunduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [310] “Dan apakah, para bhikkhu, ketiga kualitas [lainnya] yang mengarah pada kemunduran? (4) bersenang-senang dalam perkumpulan, (5) sulit dikoreksi, dan (6) pertemanan yang buruk. Itu adalah ketiga kualitas [lainnya] yang mengarah pada kemunduran.

“Para bhikkhu, mereka semua di masa lalu yang telah mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa depan yang akan mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat akan menjadi mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa sekarang yang sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi mundur karena keenam kualitas ini.”

22 (2) Ketidak-munduran

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang enam kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab.

 “Dan apakah, para bhikkhu, enam kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran? Tidak bersenang-senang dalam bekerja, tidak bersenang-senang dalam berbicara, dan tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam perkumpulan, mudah dikoreksi, dan pertemanan yang baik. Ini adalah keenam kualitas itu yang mengarah pada ketidak-munduran.

“Para bhikkhu, mereka semua di masa lalu yang tidak mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa depan yang tidak akan mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat akan menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini. mereka semua di masa sekarang yang tidak sedang mengalami kemunduran dalam kualitas-kualitas bermanfaat menjadi tidak mundur karena keenam kualitas ini.”

23 (3) Bahaya

(1) “Para bhikkhu, ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (2) ‘Penderitaan’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (3) ‘Penyakit’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (4) ‘Bisul’ [311] adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (5) ‘Ikatan’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. (6) ‘Rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria? Seseorang bergairah karena nafsu indria, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebaskan dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘bahaya’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.

“Dan mengapakah ‘penderitaan’ … ‘penyakit’ … ‘bisul’ … ‘ikatan’ … ‘rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria? Seseorang bergairah karena nafsu indria, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebaskan dari rawa yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan dari rawa yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘rawa’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria.”

   Bahaya, penderitaan, dan penyakit,
   Bisul, ikatan, dan rawa:
   Hal-hal ini menggambarkan kenikmatan indria
   Yang padanya kaum duniawi terikat.

   Setelah melihat bahaya dalam kemelekatan
   Sebagai asal-mula kelahiran dan kematian,
   Dengan terbebaskan melalui ketidak-melekatan
   Dalam padamnya kelahiran dan kematian,
   Mereka yang berbahagia itu telah mencapai keamanan;
   Mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.
   Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya,
   Mereka telah melampaui segala penderitaan.<1289>

24 (4) Himalaya

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dapat membelah Himalaya, raja pegunungan,<1290> apalagi ketidak-tahuan yang busuk! Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu (1) terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) terampil dalam durasi konsentrasi; (3) terampil dalam keluar dari konsentrasi; (4) terampil dalam kenyamanan untuk konsentrasi; (5) terampil dalam wilayah konsentrasi; (6) terampil dalam tekad sehubungan dengan konsentrasi.<1291> [312] Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dapat membelah Himalaya, raja pegunungan, apalagi ketidak-tahuan yang busuk!”

25 (5) Pengingatan

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini.<1292> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan,<1293> beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.
 
(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, …  beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika [313] seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva [314] pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini. Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan juga, beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah enam subjek pengingatan.”

26 (6) Kaccāna

Yang Mulia Mahākaccāna berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab.

Yang Mulia Mahākaccāna berkata sebagai berikut:

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, enam subjek pengingatan.<1294> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, teman-teman, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, [315] atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Siswa mulia ini berdiam dengan pikiran yang sepenuhnya bagaikan angkasa: luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.<1295>
 
(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, …  beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … [316] … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran … bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva … [317] … Keyakinan demikian juga ada padaku … perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ teman-teman, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan juga, beberapa makhluk di sini menjadi murni dengan cara demikian.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan bukaan di tengah-tengah kurungan bagi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna, yaitu, enam subjek pengingatan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #7 on: 19 May 2013, 07:06:16 PM »
27 (7) Kesempatan (1)

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, berapa banyakkah kesempatan  yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat?”<1296>

“Ada, bhikkhu, enam kesempatan yang layak ini untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi, [318] dan aku tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul itu. Sudilah mengajariku Dhamma untuk meninggalkan nafsu indriawi.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan nafsu indriawi. Ini adalah kesempatan pertama yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(2) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh niat buruk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh niat buruk …’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan niat buruk. Ini adalah kesempatan ke dua yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(3) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari ketumpulan dan kantuk yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk …’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan ketumpulan dan kantuk. Ini adalah kesempatan ke tiga yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(4) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan …’ [319] … Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan kegelisahan dan penyesalan. Ini adalah kesempatan ke empat yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(5) “Kemudian, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, pikiranku dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan dan aku tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul itu. Sudilah mengajariku Dhamma untuk meninggalkan keragu-raguan.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma untuk meninggalkan keragu-raguan. Ini adalah kesempatan ke lima yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

(6) “kemudian, ketika seorang bhikkhu tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda,<1297> maka pada saat itu ia harus mendatangi seorang bhikkhu terhormat dan berkata kepadanya: ‘Teman, aku tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda. Sudilah mengajariku Dhamma demi hancurnya noda-noda.’ Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma demi hancurnya noda-noda. Ini adalah kesempatan ke enam yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.

“Ini, bhikkhu, adalah keenam kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.” [320]

28 (8 ) Kesempatan (2)

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu senior sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa di Isipatana. Kemudian, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, para bhikkhu senior itu berkumpul dan sedang duduk bersama di pendopo ketika perbincangan ini muncul di antara mereka: “Kapankah, teman-teman, kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat?”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior itu: “Teman-teman, setelah ia makan, ketika seorang bhikkhu terhormat telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, telah mencuci kakinya, dan sedang duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika ia telah selesai berbicara, bhikkhu lainnya berkata kepadanya: “Teman, itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. setelah ia makan, ketika seorang bhikkhu terhormat telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, telah mencuci kakunya, dan sedang duduk bersila,  menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya, kelelahannya karena berjalan [untuk menerima dana makanan] dan karena makan belum mereda. Oleh karenanya itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya, tetapi di malam hari, ketika seorang bhikkhu terhormat telah keluar dari keterasingan dan sedang duduk bersila di bawah keteduhan tempat kediamannya, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika ia telah selesai berbicara, bhikkhu lainnya berkata kepadanya: “Teman, itu bukanlah kesempatan yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. [321] Di malam hari, ketika seorang bhikkhu terhormat telah keluar dari keterasingan dan sedang duduk bersila di bawah keteduhan tempat kediamannya, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya, objek konsentrasi yang ia perhatikan selama siang hari masih ada padanya.<1298> Tetapi ketika seorang bhikkhu terhormat telah bangun ketika malam hampir berakhir dan sedang duduk bersila, menegakkan tubuh, setelah menegakkan perhatian di depannya: itu adalah kesempatan yang layak untuk pergi menemuinya.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahākaccāna berkata kepada para bhikkhu senior itu: “Teman-teman, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari hal ini:

“’Ada, bhikkhu, enam kesempatan yang layak ini untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat. Apakah enam ini? (1) “Di sini, bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi … [seperti pada 6:27] [322] … (2) … dikuasai dan ditindas oleh niat buruk … (3) … dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk … (4) … dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan … (5) … dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan … (6) … ketika seorang bhikkhu tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengandalkan dan memperhatikan objek apa untuk segera mencapai hancurnya noda-noda … Kemudian bhikkhu terhormat itu mengajarinya Dhamma demi hancurnya noda-noda. Ini adalah kesempatan ke enam yang layak untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.’

“Teman-teman, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari hal ini:: ‘Ini, bhikkhu, adalah keenam kesempatan yang layak itu untuk pergi menemui seorang bhikkhu terhormat.’”

29 (9) Udāyī

Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berdiam diri. Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Sang Guru sedang berbicara denganmu, teman Udāyī.”

“Aku mendengarNya, teman Ānanda. [323]

“Di sini, Bhante seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2] … Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya. Ini, Bhante, adalah sebuah subjek pengingatan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku tahu, Ānanda, bahwa manusia kosong Udāyī ini tidak menekuni pikiran yang lebih tinggi.<1299> ada berapakah subjek pengingatan itu, Ānanda?”

“Ada, Bhante, lima subjek pengingatan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Bhante, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju kediaman yang berbahagia dalam kehidupan ini.<1300>

(2) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya; ia berfokus pada persepsi siang sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang, demikian pula malam; seperti halnya malam, demikian pula siang.’ Demikianlah, dengan pikiran yang terbuka dan tidak tertutup, ia mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan cahaya.<1301> Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju pengetahuan dan penglihatan.

(3) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ke atas dari telapak kaki, ke bawah dari ujung rambut, terbungkus oleh kulit, penuh dengan kotoran: ‘Ada dalam tubuh ini rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, lambung, kotoran, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju ditinggalkannya nafsu indriawi.

(4) “Kemudian, Bhante, misalkan seorang bhikkhu melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua, [324] atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan membusuk. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’<1302> Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, sedang dilahap oleh burung-burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis makhluk hidup. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulang-belulang dengan daging dan darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang yang berserakan di segala penjuru: di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, dan ada tengkorak. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulang-belulang yang memutih, berwarna kulit kerang … tulang-belulang yang menumpuk, lebih dari setahun … tulang-belulang yang melapuk, remuk menjadi debu. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: [325] ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju tercabutnya keangkuhan ‘aku.’

(5) “Kemudian, Bhante, Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju penembusan banyak elemen.<1303>

“Ini, Bhante, adalah kelima subjek pengingatan itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Oleh karena itu, Ānanda, ingatlah subjek pengingatan ke enam ini juga.

(6) “Di sini, dengan senantiasa penuh perhatian seorang bhikkhu berjalan pergi, dengan senantiasa penuh perhatian ia berjalan kembali, dengan senantiasa penuh perhatian ia berdiri, dengan senantiasa penuh perhatian ia duduk, dengan senantiasa penuh perhatian ia berbaring tidur, dengan senantiasa penuh perhatian ia melakukan pekerjaan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju perhatian dan pemahaman jernih.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #8 on: 19 May 2013, 07:06:24 PM »

30 (10) Hal-Hal yang Tidak Terlampaui

“Para bhikkhu, ada enam hal yang tidak terlampaui ini. Apakah enam ini? (1) Penglihatan yang tidak terlampaui, (2) pendengaran yang tidak terlampui, (3) perolehan yang tidak terlampaui, (4) latihan yang tidak terlampaui, (5) pelayanan yang tidak terlampaui, dan (6) pengingatan yang tidak terlampaui.<1304>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, penglihatan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang pergi melihat permata-gajah, permata-kuda, permata-perhiasan, atau melihat berbagai jenis pemandangan; atau mereka pergi melihat seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada penglihatan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi penglihatan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; penglihatan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan [326] nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi melihat Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: penglihatan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut penglihatan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui.

(2) “Dan bagaimanakah pendengaran yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang pergi mendengar suara tambur, suara kecapi, suara nyanyian, atau mendengar berbagai jenis suara; atau mereka pergi mendengar Dhamma dari seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada pendengaran demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi pendengaran ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; pendengaran ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi mendengar Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pendengaran yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pendengaran yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui dan pendengaran yang tidak terlampaui.

(3) “Dan bagaimanakah perolehan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang memperolah seorang putra, seorang istri, atau kekayaan; atau mereka memperoleh berbagai jenis [327] barang; atau mereka memperoleh keyakinan pada seorang demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi perolehan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; perolehan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, pergi mendengar Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pendengaran yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pendengaran yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui dan perolehan yang tidak terlampaui.

(4) “Dan bagaimanakah latihan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang berlatih dalam keterampilan menunggang gajah, dalam keterampilan menunggang kuda, dalam keterampilan mengendarai kereta, dalam keterampilan memanah, dalam keterampilan berpedang; atau mereka berlatih dalam berbagai bidang keterampilan; atau mereka berlatih di bawah seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada latihan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi latihan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; latihan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata: latihan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan [328] nibbāna. Ini disebut latihan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, dan latihan yang tidak terlampaui.

(5) “Dan bagaimanakah pelayanan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang melayani seorang khattiya, seorang brahmana, seorang perumah tangga; atau mereka melayani berbagai orang lainnya; atau mereka mereka melayani seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada jenis pelayanan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi jenis pelayanan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; jenis pelayanan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, melayani Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pelayanan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pelayanan yang tidak terlampaui. Demikianlah penglihatan yang tidak terlampaui, pendengaran yang tidak terlampaui, perolehan yang tidak terlampaui, latihan yang tidak terlampaui, dan pelayanan yang tidak terlampaui.

(6) “Dan bagaimanakah pengingatan yang tidak terlampaui itu? Di sini, seseorang mengingat perolehan seorang putra, seorang istri, atau kekayaan; atau mereka mengingat berbagai jenis perolehan; atau mereka mengingat seorang petapa atau brahmana berpandangan salah, berpraktik salah. Ada jenis pengingatan demikian; Aku tidak menyangkal hal ini. Tetapi jenis pengingatan ini adalah rendah, biasa, duniawi, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; jenis pengingatan ini tidak mengarah pada kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan nibbāna. Akan tetapi, ketika seseorang [329] kokoh dalam keyakinan, kokoh dalam bakti, mantap, penuh kepercayaan, mengingat Sang Tathāgata atau seorang siswa Sang Tathāgata: pengingatan yang tidak terlampaui ini adalah demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Ini disebut pengingatan yang tidak terlampaui.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam hal yang tidak terlampaui itu.”

   Setelah memperoleh penglihatan terbaik,
   Dan pendengaran yang tidak terlampaui,
   Setelah mendapatkan perolehan yang tidak terlampaui,
   Bersenang dalam latihan yang tidak terlampaui,
   Dengan penuh perhatian dalam pelayanan,
   Mereka mengembangkan pengingatan
   Yang berhubungan dengan keterasingan,
   Yang aman, mengarah menuju keabadian.

   Dengan bergembira dalam kewaspadaan,
   Berhati-hati, terkendali oleh moralitas,
   Pada waktunya mereka akan merealisasikan
   Di mana penderitaan itu lenyap.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #9 on: 19 May 2013, 07:06:48 PM »
IV. PARA DEWATA

31 (1) Yang Masih Berlatih

“Para bhikkhu, enam kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih. Apakah enam ini? [330] Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam berbicara, bersenang-senang dalam tidur, bersenang-senang dalam pergaulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Keenam kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih. Apakah enam ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam berbicara, tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam pergaulan, menjaga pintu-pintu indria, dan makan secukupnya. Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang adalah seorang yang masih berlatih.

32 (2) Ketidak-munduran (1)

Ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada latihan, penghormatan pada kewaspadaan, dan penghormatan pada keramahan.<1305> Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu, Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir,”Sang Guru setuju denganku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada latihan, penghormatan pada kewaspadaan, dan penghormatan pada keramahan. [331] Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Kemudian dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

   Penuh penghormatan kepada Sang Guru,
   Penuh penghormatan kepada Dhamma,
   Sangat menghormati Saṅgha,
   Penuh penghormatan pada kewaspadaan,
   Menghargai keramahan: bhikkhu ini
   Tidak dapat jatuh, melainkan mendekat pada nibbāna.

33 (3) Ketidak-munduran (2)

“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada enam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan pada Sang Guru, penghormatan pada Dhamma, penghormatan pada Saṅgha, penghormatan pada laihan, penghormatan pada rasa malu bermoral, dan penghormatan pada rasa takut bermoral. Keenam kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Kemudian dewata itu memberi hormat kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

   Penuh penghormatan kepada Sang Guru,
   Penuh penghormatan kepada Dhamma,
   Sangat menghormati Saṅgha,
   Memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral:
   Seorang yang sopan dan bersikap hormat
   Tidak dapat jatuh, melainkan mendekat pada nibbāna

34 (4) Moggallāna

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang sendirian dalam keterasingan, suatu pemikiran berikut ini muncul padanya: “Para deva manakah yang mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan’?” [332]

Pada saat itu, seorang bhikkhu bernama Tissa baru saja meninggal dunia dan telah terlahir kembali di suatu alam brahmā tertentu. Di sana juga mereka mengenalnya sebagai “Brahmā Tissa, yang kuat dan perkasa.” Kemudian, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā itu. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Mahāmoggallāna, Brahmā Tissa berkata kepadanya:

“Mari, Moggallāna yang terhormat! Selamat datang, Moggallāna yang terhormat! Telah lama sejak engkau berkesempatan datang ke sini. Silakan duduk, Moggallāna yang terhormat. Tempat duduk ini telah disediakan.” Yang Mulia Mahāmoggallāna duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmā Tissa bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Para deva manakah, Tissa,  yang mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan’?”

(1) “Para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

“Apakah semua deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

“Tidak semua, Moggallāna yang terhormat. Mereka yang tidak memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, tidak memiliki pengetahuan [333] demikian. Tetapi mereka yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’”

(2) “Apakah hanya para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva yang memiliki pengetahuan demikian, atau apakah para deva Tāvatiṃsa … (3) … para deva Yāma … (4) … para deva Tusita … (5) … para deva yang bersenang dalam penciptaan … (6) … para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain juga memilikinya?”

“Para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain juga memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

“Apakah semua yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

“Tidak semua, Moggallāna yang terhormat. Mereka yang tidak memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang tidak memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, tidak memiliki pengetahuan demikian. Tetapi mereka yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan yang memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, mengetahui: ‘Aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’”

Kemudian, dengan merasa senang dan gembira mendengar pernyataan Brahmā Tissa, bagaikan [334] seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari alam brahmā dan muncul kembali di Hutan Jeta.

35 (5) Berhubungan dengan Pengetahuan Sejati

“Para bhikkhu, enam hal ini berhubungan dengan pengetahuan sejati. Apakah enam ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan, dan persepsi lenyapnya.<1306> Keenam hal ini berhubungan dengan pengetahuan sejati.”

36 (6) Perselisihan

“Para bhikkhu, ada enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan. Ketika seorang bhikkhu marah dan bersikap bermusuhan, maka ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidak-bahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. [335] Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan dan kurang ajar … (3) … bersikap iri dan kikir … (4) … licik dan munafik … (5) … seorang yang memiliki keinginan jahat dan pandangan salah … (6) … seorang yang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Ketika seorang melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka ia berdiam tanpa hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Saṅgha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu demikian menciptakan perselisihan dalam Saṅgha yang mengarah pada bahaya bagi banyak orang, pada ketidak-bahagiaan banyak orang, pada kehancuran, bahaya, dan penderitaan para deva dan manusia. Jika, para bhikkhu, kalian melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang jahat ini. Dan jika kalian tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam diri kalian atau orang lain, maka kalian harus berlatih agar akar perselisihan yang jahat ini tidak muncul di masa depan. Dengan cara inilah akar perselisihan yang jahat itu ditinggalkan dan tidak muncul di masa depan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam akar perselisihan itu.” [336]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #10 on: 19 May 2013, 07:07:25 PM »
37 (7) Memberi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu umat awam perempuan bernama Veḷukaṇṭakī Nandamātā telah mempersiapkan suatu persembahan yang memiliki enam faktor untuk Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna. Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā sedang mempersiapkan persembahan ini dan Beliau kemudian berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā sedang mempersiapkan persembahan yang memiliki enam faktor untuk Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna. Dan bagaimanakah suatu persembahan memiliki enam faktor? Di sini, si penyumbang memiliki tiga faktor dan si penerima memiliki tiga faktor.

“Apakah tiga faktor dari si pemberi? (1) Si pemberi bergembira sebelum memberi; (2) ia memiliki pikiran yang tenang, dan penuh kepercayaan dalam tindakan memberi; dan (3) ia bersukacita setelah memberi. Ini adalah ketiga faktor dari si pemberi.

“Apakah tiga faktor dari si penerima? Di sini, (4) si penerima hampa dari nafsu atau berlatih untuk melenyapkan nafsu; (5) Mereka hampa dari kebencian atau berlatih untuk melenyapkan kebencian; (6) Mereka hampa dari delusi atau berlatih untuk melenyapkan delusi. Ini adalah ketiga faktor dari si penerima.

“Demikianlah si pemberi memiliki tiga faktor, dan si penerima memiliki tiga faktor. Dengan cara inilah persembahan itu memiliki enam faktor. Tidaklah mudah untuk mengukur jasa dari suatu persembahan demikian sebagai berikut: ‘Ini adalah arus jasa, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah kepada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang’; melainkan, ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur. Seperti halnya tidaklah mudah untuk mengukur air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada berapa galon air,’ atau ‘ Ada berapa ratus galon air,’ atau ‘Ada berapa ribu galon air,’ atau ‘Ada berapa ratus ribu galon air,’ melainkan ini hanya dianggap kumpulan air yang banyak, tidak terhitung, tidak terukur; demikian pula, adalah tidak mudah untuk mengukur jasa dari suatu persembahan demikian  … melainkan,  ini hanya dianggap sebagai kumpulan jasa yang besar, tidak terhitung, tidak terukur.”

   Sebelum memberi seseorang bergembira;
   Sewaktu memberi ia mengokohkan pikirannya dalam kepercayaan;
   Setelah memberi ia bersukacita:
   Ini adalah keberhasilan dalam tindakan memberi.

   Ketika mereka yang hampa dari nafsu dan kebencian,
   Hampa dari delusi, tanpa noda,
   Terkendali, menjalani kehidupan spiritual,
   Maka lahan persembahan menjadi lengkap.

   Setelah membersihkan dirinya sendiri<1307>
   Dan memberi dengan tangannya sendiri,
   Tindakan derma menjadi sangat berbuah
   Bagi dirinya sendiri dan sehubungan dengan orang lain.

   Setelah melakukan perbuatan derma demikian
   Dengan pikiran yang bebas dari kekikiran,
   Orang bijaksana, kaya dalam keyakinan,
   Terlahir kembali di alam bahagia, tanpa kesusahan.

38 (8 ) Inisiatif Sendiri

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut dalil dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain.’”<1308>

“Brahmana, aku belum pernah melihat atau mendengar siapa pun yang menganut dalil dan pandangan demikian. Karena bagaimanakah [338] seseorang yang datang sendiri dan pergi sendiri dapat berkata: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain’?

(1) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen dorongan?”<1309>

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen dorongan, apakah makhluk-makhluk terlihat memulai aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat memulai aktivitas karena adanya elemen dorongan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(2) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen kegigihan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen kegigihan, apakah makhluk-makhluk terlihat gigih dalam aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat gigih dalam aktivitas karena adanya elemen kegigihan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(3) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen pengerahan usaha?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen pengerahan usaha, apakah makhluk-makhluk terlihat mengerahkan usaha dalam aktivitas?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat mengerahkan usaha dalam aktivitas karena adanya elemen pengerahan usaha, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(4) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen tenaga?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen tenaga, apakah makhluk-makhluk terlihat memiliki tenaga?”<1310>

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat memiliki tenaga karena adanya elemen tenaga, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(5) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen keberlangsungan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen keberlangsungan, apakah makhluk-makhluk terlihat melangsungkan [suatu perbuatan]?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat melangsungkan [suatu perbuatan]karena adanya elemen keberlangsungan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

(6) “Bagaimana menurutmu, brahmana? Adakah elemen kekuatan?”

“Ada, tuan.”

“Ketika ada elemen kekuatan, apakah makhluk-makhluk terlihat bertindak dengan kakuatan?”

“Benar, tuan.”

“Ketika makhluk-makhluk terlihat bertindak dengan kakuatan karena adanya elemen kekuatan, maka ini adalah insiatif sendiri makhluk-makhluk; ini adalah inisiatif makhluk lain.

“Brahmana, aku belum pernah melihat atau mendengar siapa pun yang menganut dalil dan pandangan [seperti dalil dan pandanganmu]. Karena bagaimaakah seseorang yang datang sendiri dan pergi sendiri dapat berkata: ‘Tidak ada inisiatif sendiri; tidak ada inisiatif makhluk lain’?

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

39 (9) Asal-mula

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (1) Keserakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (2) kebencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (3) delusi adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

“Bukanlah ketidak-serakahan yang berasal-mula dari keserakahan; melainkan, adalah keserakahan yang berasal-mula dari keserakahan. Bukanlah ketidak-bencian yang berasal-mula dari kebencian; melainkan, adalah kebencian yang berasal-mula dari kebencian. Bukanlah ketanpa-delusian yang berasal-mula dari delusi; melainkan, adalah delusi yang berasal-mula dari delusi.

“Bukanlah [339] [alam] para deva dan manusia – atau alam tujuan yang baik lainnya – yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari keserakahan, kebencian, dan delusi; melainkan, adalah neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita – serta alam tujuan yang buruk lainnya – yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

“Ada, para bhikkhu,  tiga penyebab [lainnya] ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (4) Ketidak-serakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (5) ketidak-bencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; (6) ketanpa-delusian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

“Bukanlah keserakahan yang berasal-mula dari ketidak-serakahan; melainkan, adalah ketidak-serakahan yang berasal-mula dari ketidak-serakahan. Bukanlah kebencian yang berasal-mula dari ketidak-bencian; melainkan, adalah ketidak-bencian yang berasal-mula dari ketidak-bencian. Bukanlah delusi yang berasal-mula dari ketanpa-delusian; melainkan, adalah ketanpa-delusian yang berasal-mula dari ketanpa-delusian.

“Bukanlah  neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita – serta alam tujuan yang buruk lainnya –yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketanpa-delusian; melainkan, adalah [alam] para deva dan manusia – atau alam tujuan yang baik lainnya –yang terlihat karena kamma yang dihasilkan dari ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketanpa-delusian. Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

40 (10) Kimbila <1311>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kimbilā di hutan nicula. Kemudian Yang Mulia Kimbila mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata: [340]

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap kewaspadaan. (6) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.”

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap kewaspadaan. (6) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.”

41 (11)  Balok Kayu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan menuruni Gunung Puncak Nasar bersama dengan sejumlah para bhikkhu. Di suatu tempat tertentu ia melihat sepotong balok kayu yang besar di hutan dan berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian melihat, teman-teman, balok kayu yang besar itu?”

“Ya, teman.”

(1) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu seagai tanah. Apakah [341] landasan untuk ini? Karena elemen tanah terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai tanah.

(2) – (4) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu seagai air … sebagai api … sebagai udara. Apakah landasan untuk ini? Karena elemen udara terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai udara.

(5) – (6) “Jika ia menghendaki, teman-teman, seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai indah … sebagai tidak menarik. Karena alasan apakah? Karena elemen keindahan … elemen ketidak-menarikan terdapat dalam balok kayu itu. Dengan berdasarkan atas ini seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai kemahiran pikiran dapat berfokus pada balok kayu itu sebagai tidak menarik.”

42 (12) Nāgita <1312>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Icchānaṅgala. Di sana Sang Bhagavā menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Para brahmana perumah tangga di Icchānaṅgala mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchānaṅgala dan sekarang menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pemimpin terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah dengan pengetahuan langsungNya sendiri merealisasikan dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para deva dan manusianya, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Ia mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui Arahant demikian.”

Kemudian, ketika malam telah berlalu, para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala membawa banyak makanan berbagai jenis dan mendatangi hutan belantara Icchānaṅgala. Mereka berdiri di luar pintu masuk membuat kegaduhan dan keributan. Pada saat itu Yang Mulia Nāgita adalah pelayan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nāgita: [342] “Siapakah yang membuat kegaduhan dan keributan demikian, Nāgita? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Bhante, mereka adalah para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala yang membawa makanan berlimpah berbagai jenis. Mereka berdiri di luar pintu masuk, [ingin mempersembahkannya] kepada Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan ini, kebahagiaan kedamaian ini, kebahagiaan pencerahan ini yang kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.”

“Sudilah Sang Bhagavā menerimanya sekarang, Bhante, sudilah Yang Berbahagia menerimanya. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk menerima. Ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Seperti halnya, ketika tetesan besar air hujan turun, airnya akan mengalir turun di sepanjang lereng, demikian pula, ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Karena alasan apakah? Karena perilaku bermoral dan kebijaksanaan dari Sang Bhagavā.”
 
“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini …  boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.

(1) “Di sini, Nāgita, Aku melihat seorang bhikkhu berdiam di pinggiran sebuah desa [343] duduk dalam keadaan konsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang seorang pelayan vihara atau seorang samaṇera atau atau sesama penganut-religius akan menyebabkan yang mulia itu jatuh dari konsentrasi itu.’<1313> Karena alasan ini, Aku tidak bergembira dengan kediaman bhikhu ini di pinggiran sebuah desa.

(2) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk dan mengantuk di dalam hutan. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan menghalau kantuk dan kelelahan ini dan hanya memperhatikan persepsi hutan, [suatu keadaan] kemanunggalan.’<1314> Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(3) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk di dalam hutan dengan pikiran tidak terkonsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan mengkonsentrasikan pikirannya yang tidak terkonsentrasi atau menjaga pikirannya yang terkonsentrasi.’ Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(4) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang sedang duduk di dalam hutan dalam keadaan konsentrasi. Kemudian Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan membebaskan pikirannya yang belum terbebaskan atau menjaga pikirannya yang telah terbebaskan.’ Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(5) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu berdiam di pinggiran sebuah desa yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Karena menginginkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, ia mengabaikan keterasingan; ia mengabaikan tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. [344] Setelah memasuki desa, pemukiman, dan kota besar, ia menetap di sana. Karena alasan ini, Aku tidak bergembira dengan kediaman bhikhu ini di pinggiran sebuah desa .

(6) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni-hutan yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Setelah menghalau perolehan, kehormatan, dan pujian itu, ia tidak mengabaikan keterasingan; ia tidak mengabaikan tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Karena alasan ini, Aku bergembira dengan kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

“Ketika, Nāgita, Aku sedang berjalan di sepanjang jalan raya dan tidak melihat siapa pun di depanKu atau di belakangKu, bahkan jika itu hanya untuk buang air besar atau buang air kecil, maka pada saat itu Aku merasa nyaman.”<1315>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #11 on: 19 May 2013, 07:07:51 PM »
V. DHAMMIKA

43 (1) Nāga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, para pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah melakukan perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke istana Migāramātā di Taman Timur [345] untuk melewatkan hari.”

”Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke Istana Migāramātā di Taman Timur.

Kemudian pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke gerbang timur untuk mandi.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke gerabng timur untuk mandi. Setelah mandi di gerbang timur dan keluar dari sana, Beliau berdiri dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan badan. Pada saat itu, Gajah besar<1316> milik Raja Pasenadi Kosala bernama “Seta” sedang mendekat melalui gerbang timur diiringi oleh musik dan instrumental dan tabuhan gendering. Orang-orang melihatnya dan berkata: “Gajah besar milik raja berpenampilan cantik! Gajah besar milik raja berpenampikan indah! Gajah besar milik raja berpenampilan anggun! Gajah besar milik raja sangat besar! Ia adalah seekor nāga, benar-benar seekor nāga.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, apakah hanya ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ atau apakah orang-orang juga mengatakan hal ini ketika mereka melihat benda-benda [lain] yang memiliki tubuh yang sangat besar?”

“(1) Udāyī, ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (2) Ketika orang-orang melihat seekor kuda yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (3) Ketika orang-orang melihat seekor sapi jantan yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (4) Ketika orang-orang melihat seekor ular yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (5) Ketika orang-orang melihat sebatang pohon [346] yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (6) ketika orang-orang melihat sesosok manusia yang memiliki batang yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga bagi siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.”<1317>

‘Betapa menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā:  ‘Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga bagi siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.’ Aku bergembira, Bhante, mendengar pernyataan yang baik dari Sang Bhagavā melalui syair-syair ini:<1318>

   “Seorang manusia yang tercerahkan sempurna,
   Jinak dan terkonsentrasi,
   Menapaki jalan brahmā,
   Ia bersenang dalam kedamaian pikiran.

   “Aku telah mendengar dari Sang Arahant
   Yang bahkan para deva menghormatiNya,
   Kepada orang yang sama umat manusia menghormat,
   Seorang yang telah melampaui segalanya.

   “Beliau telah melampaui segala belenggu
   Dan keluar dari belantara menuju ruang terbuka;<1319>
   Bersenang dalam pelepasan kenikmatan indria,
   Beliau bagaikan emas murni yang bebas dari bijih besi.

   “Beliau adalah nāga yang mengalahkan segalanya,
   Bagaikan Himalaya di tengah-tengah pegunungan lainnya.
   Di antara segala sesuatu yang bernama nāga,
Beliau, yang tidak terlampaui, adalah seorang yang sungguh benar dinamai demikian.<1320>

   “Aku akan memuji sang nāga untuk kalian:
   Sesungguhnya, Beliau tidak melakukan kejahatan.
   Lembut dan tidak berbahaya
   Adalah kedua kaki sang nāga.

   “pertapaan keras dan hidup selibat
   Adalah kedua kaki lainnya dari sang nāga.<1321>
   Keyakinan adalah belalai besar sang nāga,
   Dan keseimbangan adalah taring gadingnya.

   “Perhatian adalah lehernya, kepalanya adalah kebijaksanaan,
   Penyelidikan, dan refleksi atas fenomena-fenomena.<1322>
   Dhamma adalah panas seimbang dalam perutnya,
   Dan keterasingan adalah ekornya.<1323>

   “Meditator ini, bersenang dalam penghiburan,<1324>
   Terkonsentrasi baik dalam pikiran.
   Ketika berjalan, sang nāga terkonsentrasi;
   Ketika berdiri, sang nāga terkonsentrasi.

   “Ketika berbaring, sang nāga terkonsentrasi;
   Ketika duduk juga, sang nāga terkonsentrasi. [347]
   Di mana-mana, sang nāga terkendali:
   Ini adalah kesempurnaan sang nāga.

   “Beliau memakan makanan tanpa cela,
   Tetapi tidak memakan apa yang tercela.
   Ketika Beliau memperoleh makanan dan jubah,
   Beliau menghindari menyimpannya.

   “Setelah memotong semua belenggu dan ikatan,
   Apakah yang kasar maupun yang halus,
   Ke arah mana pun Beliau pergi,
   Beliau pergi tanpa cemas.

   “Bunga teratai
   Tumbuh dan besar dalam air,
   Namun tidak terkotori oleh air
   Melainkan tetap harum dan indah.

   “Demikian pula Sang Buddha, terlahir dengan baik di dunia,
   Berdiam di dunia,<1325>
   Namun tidak terkotori oleh dunia
   Bagaikan teratai [yang tidak terkotori] oleh air.

   “Api besar menyala berkobar
   Menjadi tenang ketika kehabisan bahan bakar,
   Dan ketika semua bara telah berhenti menyala,
   Maka dikatakan sebagai padam.<1326>

   “Perumpamaan ini, yang menyampaikan makna,
   Diajarkan oleh Sang Bijaksana.
   Para nāga agung akan mengenali nāga
   Yang diajari oleh sang nāga.<1327>

   “Hampa dari nafsu, hampa dari kebencian,
   Hampa dari delusi, tanpa noda,
   Sang nāga, meninggalkan jasmaniNya,
   Tanpa noda, padam sepenuhnya
   Dan mencapai nibbāna akhir.”<1328>

44 (2) Migasālā

Pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā, di mana ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya. Kemudian umat awam perempuan Migasālā mendekati Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan yang persis sama di masa depan mereka? [348] Ayahku Purāṇa menjalani kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali<1329> dan telah terlahir kembali dalam kelompok [para deva] Tusita.’ Pamanku<1330> dari pihak ayah tidak menjalani kehidupan selibat melainkan menjalani kehidupan menikah yang menyenangkan. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali dalam kelompok [para deva] Tusita.’ Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan yang peris sama di masa depan mereka?

“Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.”<1331>

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah menerima dana makanan di rumah Migasālā, ia bangkit dari duduknya dan pergi. Setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, di pagi hari, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā … [349] [seluruhnya seperti di atas, hingga] … Ketika ia menanyakan hal ini kepadaku, aku menjawab: ‘“Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.’”

[Sang Bhagavā berkata:] “Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan?<1332> Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?<1333>

“Ada, Ānanda, enam jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah enam ini?

(1) “Di sini, Ānanda, ada seseorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira. Tetapi ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara.<1334> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(2) “Kemudian, Ānanda, ada seseorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian<1335> sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang lembut, seorang teman yang menyenangkan, yang dengannya teman-temannya para bhikkhu menetap dengan gembira, yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, [350] melampaui dan menggungguli yang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya.<1336> Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini kecuali Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(3) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu kondisi-kondisi keserakahan<1337> muncul padanya. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(4) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu kondisi-kondisi keserakahan muncul padanya. Tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.<1338>

(5) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan.<1339> Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan tidak menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(6) “Kemudian, Ānanda, terdapat kemarahan dan keangkuhan pada diri seseorang, dan dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan. Tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, [351] ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang padanya terdapat kemarahan dan keangkuhan, dan yang dari waktu ke waktu ia terlibat dalam perbincangan, tetapi ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [dalam ajaran-ajaran], dan menembus [ajaran-ajaran] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara, melampaui dan menggungguli yang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini kecuali Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

“Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?

“Ini adalah keenam jenis orang yang terdapat di dunia.

“Ānanda, jika Isidatta memiliki perilaku bermoral yang sama dengan yang dimiliki oleh Purāṇa, maka Purāṇa bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan Isidatta. Dan jika Purāṇa memiliki kebijaksanaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Isidatta, maka Isidatta bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan Purāṇa.<1340> demikianlah, Ānanda, kedua orang ini masing-masing kurang dalam satu aspek.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #12 on: 19 May 2013, 07:08:25 PM »
45 (3) Hutang

(1) “Para bhikkhu, bukankah kemiskinan adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Jika seorang yang miskin, [352] melarat, dan papa berhutang, bukankah hutangnya juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berhutang berjanji untuk membayar bunga, bukankah bunganya juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(4) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang telah berjanji untuk membayar bunga tidak mampu membayarnya ketika jatuh tempo, maka mereka menegurnya. Bukankah menjadi ditegur ini juga adalah adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(5) “Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang ditegur tidak membayar, maka mereka menggugatnya. Bukankah gugatan juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

(6) Jika seorang yang miskin, melarat, dan papa yang digugat tidak membayar, maka mereka memenjarakannya. Bukankah penjara juga adalah penderitaan di dunia bagi seorang yang menikmati kenikmatan indria?”

“Benar, Bhante.”

“Demikianlah, para bhikkhu, bagi seseorang yang menikmati kenikmatan indria, maka kemiskinan adalah penderitaan di dunia; berhutang adalah penderitaan di dunia; kewajiban membayar bunga adalah penderitaan di dunia; ditegur adalah penderitaan di dunia; gugatan adalah penderitaan di dunia; dan penjara adalah penderitaan di dunia.

(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seseorang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, ketika ia tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka dalam disiplin Yang Mulia ini ia disebut seorang yang miskin, melarat, dan papa.

(2) “Karena tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, tidak memiliki rasa takut bermoral, tidak memiliki kegigihan, tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka orang yang miskin, melarat, dan papa itu melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, aku katakan, adalah ia berhutang.

(3) “Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui jasmaninya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; [353] ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’

“Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui ucapannya … Untuk menyembunyikan perbuatan buruk melalui pikirannya, ia memelihara keinginan jahat. Ia berharap: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia berkehendak [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia mengucapkan pernyataan [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku’; ia melakukan usaha secara jasmani [dengan tujuan]: ‘Semoga tidak ada orang yang mengenaliku.’

(4) “Para bhikkhu yang berperilaku baik berkata sebagai berikut tentangnya: ‘Yang mulia ini bertindak seperti ini, berperilaku seperti ini.’ Ini, Aku katakan, adalah ia ditegur.

(5) “Ketika ia pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke tempat tinggal yang kosong, pikiran-pikiran yang tidak bermanfaat yang disertai dengan penyesalan menyerangnya. Ini, Aku katakan, adalah ia digugat.

(6) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, orang yang miskin, melarat, dan papa itu yang melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dibelenggu di dalam penjara neraka atau penjara alam binatang. Aku tidak melihat, para bhikkhu, penjara lainnya yang begitu mengerikan dan ganas, [dan] begitu merintangi dalam mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, seperti halnya penjara neraka atau penjara alam binatang.”

   Kemiskinan disebut penderitaan di dunia;
   Demikian pula dengan berhutang.
   Seorang miskin yang berhutang
   Mengalami kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.

   Kemudian mereka menggugatnya
   Dan ia juga mengalami dipenjara
   Penjara ini sesungguhnya adalah penderitaan
   Bagi seseorang yang merindukan perolehan dan kenikmatan indria.

   Demikian pula dalam disiplin Yang Mulia ini,
   Seseorang yang tidak berkeyakinan, [354]
   Yang tanpa rasa malu dan kurang ajar,
   Menimbun kumpulan kamma buruk.

   Setelah melakukan perbuatan buruk
   Melalui jasmani, ucapan, dan pikiran,
   Ia membentuk keinginan:
   “Semoga tidak ada orang yang mengetahui tentang aku.”

   Ia berputar dengan jasmaninya,
   [berputar] melalui ucapan atau pikiran;
   Ia menumpuk perbuatan jahatnya,
   Dalam satu atau lain cara, berulang-ulang.

   Pelaku kejahatan yang dungu ini, yang mengetahui
   Perbuatan buruknya sendiri, adalah seorang miskin
   Yang jatuh dalam hutang,
   Mengalami kesusahan sewaktu ia bersenang-senang.

   Kemudian pikirannya menggugatnya;
   Kondisi pikiran yang menyakitkan yang muncul dari penyesalan
   [mengikutinya ke mana pun ia pergi]
   Apakah ke desa atau hutan.

   Pelaku kejahatan yang dungu ini,
   Yang mengetahui perbuatan buruknya sendiri,
   Pergi ke alam [binatang] tertentu
   Atau bahkan terbelenggu di neraka.

   Ini sesungguhnya adalah penderitaan dari belenggu<1341>
   Yang mana orang bijaksana terbebaskan darinya,
Yang memberikan [pemberian] dengan kekayaan yang diperoleh dengan benar,
   Yang mengokohkan pikirannya dalam keyakinan.

   Perumah tangga yang memiliki keyakinan
   Telah melakukan lemparan beruntung dalam kedua kasus:
   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
   Demikianlah bagi para penghuni rumah
   Jasa ini meningkat melalui kedermawanan.<1342>

   Demikian pula, dalam disiplin Yang Mulia,
   Seorang yang memiliki keyakinan kokoh,
   Yang memiliki rasa malu, rasa takut,
   Bijaksana, dan terkendali oleh perilaku bermoral,
   Dikatakan hidup berbahagia
   Dalam disiplin Yang Mulia.

   Setelah memperoleh kebahagiaan spiritual,
   Kemudian ia bertekad pada keseimbangan.
   Setelah meninggalkan kelima rintangan,
   Selalu membangkitkan kegigihan,
   Ia masuk ke dalam jhāna-jhāna,
   Menyatu, waspada, dan penuh perhatian.

   Setelah mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya,
   Melalui ketidak-melekatan sepenuhnya
   Pikirannya dengan benar terbebaskan
   Dengan hancurnya semua belenggu.

   Dengan hancurnya belenggu-belenggu penjelmaan,
   Bagi seorang yang stabil, yang terbebaskan dengan benar,
   Maka pengetahuan muncul:
   “Kebebasanku tak tergoyahkan.”

   Ini adalah pengetahuan tertinggi;
   Ini adalah kebahagiaan yang tak terlampaui.
   Tanpa dukacita, bebas dari debu, dan aman,
   Ini adalah kebebasan tertinggi dari hutang. [355]

46 (4) Cunda

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahācunda sedang menetap di tengah-tengah penduduk Ceti di Sahajāti. Di sana Beliau berkata kepada para bhikkhu:

“Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahācunda berkata sebagai berikut:

(1) “Di sini, teman-teman, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma<1343> meremehkan para bhikkhu lain yang adalah para meditator, dengan mengatakan: ‘Mereka bermeditasi dan merenung, [mengaku]: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!”<1344> mengapakah mereka bermeditasi? Dalam cara seperti apakah mereka bermeditasi? Bagaimanakah mereka bermeditasi?’ Dalam hal ini, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(2) “Tetapi para bhikkhu yang bermeditasi itu juga meremehkan para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma, dengan mengatakan: ‘Mereka gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur, [mengaku]: “Kami adalah ahli Dhamma, kami adalah ahli Dhamma!” mengapakah mereka menjadi ahli Dhamma? Dalam cara seperti apakah mereka menjadi ahli Dhamma? Bagaimanakah mereka menjadi ahli Dhamma?’ Dalam hal ini, para meditator tidak senang, dan ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(3) “Teman-teman, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma memuji hanya para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma, bukan mereka yang adalah para meditator. Dalam hal ini, para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma [356] tidak senang, dan dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(4). “Tetapi para bhikkhu yang adalah para meditator memuji hanya dan para bhikkhu yang adalah para meditator, bukan mereka yang adalah ahli-ahli Dhamma. Dalam hal ini, dan para bhikkhu yang adalah para meditator tidak senang, dan mereka yang adalah ahli-ahli Dhamma tidak senang, dan mereka tidak berlatih demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

(5) “Oleh karena itu, teman-teman, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami yang adalah ahli-ahli Dhamma akan memuji para bhikkhu yang adalah para meditator.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Karena alasan apakah? Karena, teman-teman, orang-orang ini adalah menakjubkan dan jarang terdapat di dunia ini yang berdiam setelah menyentuh elemen keabadian dengan jasmani.<1345>

(5) “Oleh karena itu, teman-teman, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami yang adalah para meditator akan memuji para bhikkhu yang adalah ahli-ahli Dhamma.’ Demikianlah kalian harus berlatih. Karena alasan apakah? Karena, teman-teman, orang-orang ini adalah menakjubkan dan jarang terdapat di dunia ini yang melihat persoalan yang mendalam dan tajam setelah menembusnya dengan kebijaksanaan.”<1346>

47 (5) Terlihat Langsung (1)

Pengembara Moliyasīvaka mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.<1347> Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dalam cara bagaimanakah, Bhante, Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana’?”<1348> [357]

“Baiklah, Sīvaka, Aku akan bertanya kepadamu sebagai jawaban atas hal ini. Jawablah seperti yang engkau anggap benar. Bagaimana menurutmu, Sīvaka? (1) Ketika ada keserakahan dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada keserakahan dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keserakahan dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada keserakahan dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, Sīvaka, ketika ada keserakahan dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada keserakahan dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keserakahan dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada keserakahan dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

“Bagaimana menurutmu, Sīvaka? (2) Ketika ada kebencian dalam dirimu … (3) … delusi, dalam dirimu … (4) … suatu keadaan yang berhubungan dengan keserakahan dalam dirimu<1349> … (5) … suatu keadaan yang berhubungan dengan kebencian dalam dirimu … (6) … suatu keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, Sīvaka, ketika ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dan ketika tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada keadaan yang berhubungan dengan delusi dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #13 on: 19 May 2013, 07:10:34 PM »
48 (6) Terlihat Langsung (2)

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Dhamma yang terlihat langsung, Dhamma yang terlihat langsung.’ Dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, [358] Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana’?”

“Baiklah, brahmana, Aku akan bertanya kepadamu sebagai jawaban atas hal ini. Jawablah seperti yang engkau anggap benar. Bagaimana menurutmu, brahmana? (1) Ketika ada nafsu dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada nafsu dalam diriku,’ dan ketika tidak ada nafsu dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Tidak ada nafsu dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, brahmana, ketika ada nafsu dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada nafsu dalam diriku,’ dan ketika tidak ada nafsu dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada nafsu dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

“Bagaimana menurutmu, brahmana? (2) Ketika ada kebencian dalam dirimu … (3) … delusi dalam dirimu … (4) … suatu pelanggaran melalui jasmani dalam dirimu<1350> … (5) … suatu pelanggaran melalui ucapan dalam dirimu … (6) … suatu pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, apakah engkau mengetahui: ‘Ada suatu pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dan ketika tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku’?”

“Ya, Bhante.”

“Karena, brahmana, ketika ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dan ketika tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam dirimu, engkau mengetahui: ‘Tidak ada pelanggaran melalui pikiran dalam diriku,’ dengan cara inilah Dhamma itu terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

49 (7) Khema

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Khema dan Yang Mulia Sumana sedang menetap di Sāvatthī [359] di Hutan Orang Buta. Kemudian mereka mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Khema berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ketika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia tidak berpikir: (1) ‘Ada seseorang yang lebih baik dariku,’ atau (2) ‘Ada seseorang yang setara denganku,’ atau (3) ‘Ada seseorang yang lebih rendah dariku.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khema. Sang Guru menyetujui. Kemudian Yang Mulia Khema, dengan berpikir, ‘Sang Guru setuju denganku,’ bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, persis setelah Yang Mulia Khema pergi, Yang Mulia Sumana berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, ketika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia tidak berpikir: (4) ‘Tidak ada orang yang lebih baik dariku,’ atau (5) ‘Tidak ada orang yang setara denganku,’ atau (6) ‘Tidak ada orang yang lebih rendah dariku.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sumana. Sang Guru menyetujui. Kemudian Yang Mulia Sumana, dengan berpikir, ‘Sang Guru setuju denganku,’ bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.<1351>

Kemudian, segera setelah kedua bhikkhu itu pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, dengan cara inilah anggota-anggota keluarga menyatakan pengetahuan akhir. Mereka menyatakan maknanya tetapi tidak membawa diri mereka ke dalam gambaran itu.<1352> Tetapi ada beberapa orang dungu di sini, tampaknya, menyatakan pengetahuan akhir sebagai sebuah lelucon. Mereka akan menemui kesusahan kelak.”

Mereka [tidak memposisikan diri mereka] sebagai lebih tinggi atau lebih rendah,
   Juga mereka tidak memposisikan diri mereka sebagai setara.<1353>
   Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani;
   Mereka berlanjut, terbebas dari belenggu-belenggu. [360]

50 (8 ) Organ-Organ Indria <1354>

“Para bhikkhu, (1) Ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak memiliki pengendalian organ-organ indria, maka (2) perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka (3) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, maka (4) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (5) kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada seorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak tidak memiliki pengendalian organ-organ indria, maka perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) Ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang mengerahkan pengendalian atas organ-organ indria, maka (2) perilaku bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, maka (3) konsentrasi benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka (4) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (5) kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan dan kebosanan, pada seorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang mengerahkan pengendalian atas organ-organ indria, maka perilaku bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.” [361]

51 (9) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Teman Sāriputta, bagaimanakah agar seorang bhikkhu dapat mendengar ajaran yang belum pernah ia dengar sebelumnya, agar tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar, agar mengingat ajaran-ajaran yang telah akrab baginya,<1355> dan memahami apa yang belum ia pahami?”

“Yang Mulia Ānanda terpelajar. Sudilah engkau menjelaskan persoalan ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Sāriputta, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman Sāriputta, (1) seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. (2) Ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (3) Ia menyuruh orang lain agar mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang telah mereka dengar dan pelajari. (4) Ia melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (5) Ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (6) Ia memasuki musim hujan dalam suatu kediaman di mana menetap para bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris pusaka, ahli dalam Dhamma, ahli dalam disiplin, ahli dalam kerangka. Dari waktu ke waktu ia mendatangi mereka dan bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Para mulia itu kemudian menungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghalau kebingungannya atas berbagai hal yang membingungkan. Adalah dengan cara ini, [362] teman Sāriputta, maka seorang bhikkhu dapat mendengar ajaran yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar,  mengingat ajaran-ajaran yang telah akrab baginya, dan memahami apa yang belum ia pahami.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman, beatpa baiknya hal ini dinyatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Dan kami menganggap Yang Mulia Ānanda sebagai seorang yang memiliki keenam kualitas ini: (1) Karena Yang Mulia Ānanda telah mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. (2) Ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (3) Ia menyuruh orang lain agar mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang telah mereka dengar dan pelajari [darinya]. (4) Ia melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (5) Ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. (6) Ia memasuki musim hujan dalam suatu kediaman di mana menetap para bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris pusaka, ahli dalam Dhamma, ahli dalam disiplin, ahli dalam kerangka. Dari waktu ke waktu ia mendatangi mereka dan bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Para mulia itu kemudian menungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang tidak jelas, dan menghalau kebingungannya atas berbagai hal yang membingungkan.”

52 (10) Khattiya

Brahmana Jāṇussonī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: [363]

(1) “Guru Gotama, apakah tujuan kaum khattiya? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?<1356>

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum khattiya; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah kekuatan; mereka menggemari teritori; dan tujuan akhir mereka adalah kekuasaan.”

(2) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum brahmana? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum brahmana; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah hymne-hymne Veda; mereka menggemari pengorbanan; dan tujuan akhir mereka adalah alam brahmā.”

(3) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum perumah tangga? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kekayaan, brahmana, adalah tujuan kaum perumah tangga; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah keterampilan mereka; mereka menggemari pekerjaan; dan tujuan akhir mereka adalah menyelesaikan pekerjaan mereka.”

(4) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum perempuan? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Laki-laki, brahmana, adalah tujuan kaum perempuan; pencarian mereka adalah perhiasan; penyokong mereka adalah anak-anak mereka; mereka menggemari keadaan tanpa saingan; dan tujuan akhir mereka adalah kekuasaan.”

(5) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum pencuri? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Perampasan, brahmana, adalah tujuan kaum pencuri; pencarian mereka adalah hutan belantara; penyokong mereka adalah muslihat mereka;<1357> mereka menggemari tempat-tempat gelap; dan tujuan akhir mereka adalah agar tetap tidak terlihat.”

(6) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tujuan kaum petapa? Apakah pencarian mereka? Apakah penyokong mereka? Apakah yang mereka gemari? Apakah tujuan akhir mereka?

“Kesabaran dan kelembutan, brahmana, adalah tujuan kaum petapa; pencarian mereka adalah kebijaksanaan; penyokong mereka adalah perilaku bermoral; mereka menggemari kekosongan;<1358> dan tujuan akhir mereka adalah nibbāna.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama mengetahui tujuan, pencarian, penyokong, kegemaran, dan pengetahuan akhir dari para khattiya, para brahmana, para perumah tangga, para perempuan, para pencuri, [364] dan para petapa.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #14 on: 19 May 2013, 07:11:04 PM »
53 (11) Kewaspadaan

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, adakah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang?”

“Ada hal demikian, brahmana.”

“Apakah itu?”

“Yaitu kewaspadaan.”

(1) “Seperti halnya, brahmana, jejak kaki semua binatang yang berjalan dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan jejak kaki gajah dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya dalam hal ukuran, demikian pula kewaspadaan yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

(2) “Seperti halnya kasau-kasau sebuah rumah beratap lancip condong ke arah puncak atap, miring ke arah puncak atap, bertemu di puncak atap, dan puncak atap dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, demikian pula [365] kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(3) “Seperti halnya seorang pemotong buluh, setelah memotong serumpun buluh, meṃegang bagian atasnya, mengguncang bagian bawahnya, mengguncang kedua ujungnya, dan memukulnya, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(4) “Seperti halnya, ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga yang melekat pada tangkau rumpun itu akan mengikuti, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(5) “Seperti halnya semua pangeran rendah adalah bawahan dari seorang raja pemutar-roda; dan raja pemutar-roda dinyatakan sebagai yang terunggul di antara mereka, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

(6) “Seperti halnya cahaya semua bintang tidak sebanding dengan seper-enam-belas bagian dari cahaya rembulan, dan cahaya rembulan dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, demikian pula kewaspadaan adalah satu hal yang … dapat mencapai kedua jenis kebaikan …

“Ini, brahmana, adalah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat mencapai kedua jenis kebaikan, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [366]

54 (12) Dhammika

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu Yang Mulia Dhammika adalah bhikkhu tuan rumah di daerah asalnya, dalam seluruh tujuh vihara di daerah asalnya.<1359> Di sana Yang Mulia Dhammika menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam yang adalah penduduk asli di daerah itu berpikir: “Kami melayani Saṅgha para bhikkhu dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perbekalan bagi yang sakit, tetapi para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mengapa demikian?”

Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Dhammika ini menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mari kita mengusir Yang Mulia Dhammika.”

Kemudian para umat awam itu mendatangi Yang Mulia Dhammika dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah vihara ini. Engkau telah menetap di sini cukup lama.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika pergi dari vihara itu menuju vihara lainnya, di mana sekali lagi ia menghina para bhikkhu tamu, mencerca mereka, membahayakan mereka, menyerang mereka, dan menghardik mereka, dan kemudian para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap [367] melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam itu berpikir … [seluruhnya seperti di atas] … dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah vihara ini. Engkau telah menetap di sini cukup lama.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika pergi dari vihara itu menuju vihara lainnya, di mana sekali lagi ia menghina para bhikkhu tamu … Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara.

Kemudian para umat awam yang adalah penduduk asli di daerah itu berpikir: “Kami melayani Saṅgha para bhikkhu dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perbekalan bagi yang sakit, tetapi para bhikkhu tamu itu pergi. Mereka tidak menetap melainkan meninggalkan vihara. Mengapa demikian?”

Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Dhammika ini menghina para bhikkhu tamu …  Mereka tidak menetap [368] melainkan meninggalkan vihara. Mari kita mengusir Yang Mulia Dhammika dari seluruh tujuh vihara di daerah ini.”

Kemudian para umat awam itu mendatangi Yang Mulia Dhammika dan berkata kepadanya: “Bhante, tinggalkanlah seluruh tujuh vihara di daerah ini.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika berpikir: “Aku diusir oleh para umat awam dari seluruh tujuh vihara di sini. Kemana aku harus pergi?”

Kemudian ia berpikir: “Biarlah aku mendatangi Sang Bhagavā.”

Kemudian Yang Mulia Dhammika membawa mangkuk dan jubahnya dan pergi ke Rājagaha. Secara bertahap ia sampai di Rājagaha, dan kemudian pergi ke Gunung Puncak Nasar, di mana ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang, Brahmana Dhammika?”<1360>

“Bhante, para umat awam di daerah asalku mengusirku dari seluruh tujuh vihara di sana.”

“Cukup, Brahmana Dhammika! Sekarang setelah engkau mendatangiKu, mengapa mencemaskan bahwa engkau telah diusir dari tempat-tempat itu? Di masa lalu, Brahmana Dhammika, para pedagang yang melakukan perjalanan melalui laut berlayar di laut dalam sebuah kapal, membawa serta seekor burung pelacak daratan. Ketika kapal masih belum melihat daratan mereka melepaskan burung itu. Burung itu terbang ke timur, ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, dan ke arah-arah di antaranya. Jika burung itu melihat daratan di mana pun, maka ia akan terbang mendatangi daratan itu. Tetapi jika ia tidak melihat daratan, maka ia kembali ke kapal. Dengan cara yang sama, ketika engkau telah diusir dari tempat-tempat itu, Engkau mendatangiKu.” [369]

“Di masa lampau, Brahmana Dhammika, Raja Koravya memiliki sebatang pohon banyan besar bernama ‘Tertanam Kokoh,’ yang memiliki lima dahan, memberikan keteduhan yang menyejukkan, dan memberikan kesenangan. Kanopinya menjulur hingga dua belas yojana; jaringan akarnya hingga lima yojana. Buahnya sebesar panci memasak dan semanis madu murni. Raja dan selir-selirnya menggunakan satu bagian pohon itu, bala tentara menggunakan bagian lainnya, para penduduk pemukiman dan desa menggunakan bagian lainnya lagi, para petapa dan brahmana menggunakan bagian lainnya lagi, dan binatang-binatang liar dan burung-burung menggunakan bagian lainnya lagi. Tidak ada yang menjaga buah-buahan pohon itu, namun tidak ada yang mengambil buah milik yang lainnya.

“Kemudian, Brahmana Dhammika, seseorang memakan buah-buahan pohon itu sebanyak yang ia inginkan, mematahkan satu dahan, dan pergi. Dewa yang menghuni pohon itu berpikir: ‘Sungguh menakjubkan dan mengagumkan betapa jahatnya orang ini! Ia memakan buah-buahan pohon itu sebanyak yang ia inginkan, mematahkan satu dahan, dan pergi! Aku akan memastikan bahwa di masa depan pohon banyan besar ini tidak lagi berbuah.’ Maka di masa depan pohon banyan besar itu tidak lagi berbuah. Setelah itu [370] Raja Koravya mendatangi Sakka penguasa para deva dan berkata kepadanya: ‘Dengarkanlah, Tuan yang terhormat, engkau harus tahu bahwa pohon banyan besar itu tidak lagi berbuah.’

“Kemudian Sakka penguasa para deva mengerahkan kekuatan batin sedemikian sehingga hujan badai yang kencang datang dan berpusar<1361> dan mencabut pohon banyan besar itu.

“Kemudian, Brahmana Dhammika, dewa yang menghuni pohon itu berdiri di satu sisi, sedih dan sengsara, menangis dengan wajah basah oleh air mata. Sakka mendatangi dewa itu dan berkata: ‘Mengapakah, dewa, engkau berdiri di satu sisi, sedih dan sengsara, menangis dengan wajah basah oleh air mata?’ – ‘Tuan, karena hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalku.’ – ‘Tetapi, dewa, apakah engkau menuruti tugas sebatang pohon ketika hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalmu?’ – ‘Tetapi, bagaimanakah, Tuan, sebatang pohon menuruti tugas sebatang pohon?’ – ‘Di sini, dewa, mereka yang memerlukan akar mengambil akarnya; mereka yang memerlukan kulit kayu mengambil kulit kayunya; mereka yang memerlukan dedaunan mengambil dedaunannya; mereka yang memerlukan bunga mengambil bunganya; dan mereka yang memerlukan buah mengambil buahnya. Namun karena hal ini sang dewa tidak menjadi tidak senang atau tidak puas. Itu adalah bagaimana sebatang pohon menuruti tugas pohon.’ – ‘Tuan, aku tidak menuruti tugas sebatang pohon ketika hujan badai kencang datang dan berpusar dan mencabut tempat tinggalku.’ – ‘Jika, dewa, engkau mau menuruti tugas sebatang pohon, maka tempat tinggalmu akan kembali seperti semula.’ – ‘Tuan, aku mau menuruti [371] tugas sebatang pohon. Semoga tempat tinggalku kembali seperti semula.’

“Kemudian, Brahmana Dhammika, Sakka penguasa para deva mengerahkan kekuatan batin sedemikian sehingga hujan badai yang kencang datang dan menegakkan kembali pohon banyan besar itu dan akar-akarnya ditutupi dengan kulit kayu. Demikian pula, Brahmana Dhammika, apakah engkau menuruti tugas seorang petapa ketika para umat awam di daerah sana mengusirmu dari seluruh tujuh vihara?”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, seorang petapa menuruti tugas seorang petapa?”

“Di sini, Brahmana Dhammika, seorang petapa tidak menghina orang yang menghinanya, tidak menghardik orang yang menghardiknya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Itu adalah bagaimana seorang petapa menuruti tugas seorang petapa.”

“Bhante, aku tidak menuruti tugas seorang petapa ketika para umat awam mengusirku dari seluruh tujuh vihara itu.”

(1) “Di masa lampau, Brahmana Dhammika, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri sebuah sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria. Guru Sunetta memiliki ratusan siswa. Ia mengajarkan Dhamma kepada para siswanya demi perkumpulan dengan alam brahmā.<1362> Ketika ia sedang mengajarkan Dhamma itu, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

(2) “Di masa lampau, terdapat seorang guru bernama Mūgapakkha … (3) … seorang guru bernaam Aranemi … (4) … seorang guru bernama Kuddālaka … (5) … seorang guru bernama Hatthipāla … (6) … [372] seorang guru bernama Jotipāla, pendiri sebuah sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria … Ketika ia sedang mengajarkan Dhamma itu, mereka yang tidak berkeyakinan padanya, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi mereka yang berkeyakinan padanya terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.

“Bagaimana menurutmu, Brahmana Dhammika? Keenam guru ini yang adalah para pendiri sekte-sekte spiritual, orang-orang yang tanpa nafsu pada kenikmatan indria yang memiliki pengikut ratusan siswa. Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencerca mereka dan komunitas para siswa mereka, bukankah orang itu menghasilkan banyak keburukan?”

“Benar, Bhante.”

“Jika, dengan pikiran kebencian, seseorang menghina dan mencerca mereka dan komunitas para siswa mereka, maka orang itu menghasilkan banyak keburukan. Tetapi jika, dengan pikiran kebencian, seseorang mencerca dan menghina satu orang yang sempurna dalam pandangan,<1363> maka ia menghasilkan lebih banyak keburukan lagi. Karena alasan apakah? Aku katakan, Brahmana Dhammika tidak ada luka<1364> melawan pihak luar<1365> seperti jika melawan teman-teman[mu] para bhikkhu. Oleh karena itu, Brahmana Dhammika, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan membiarkan kebencian muncul dalam pikiran kami terhadp teman-teman kami para bhikkhu.’<1366> Demikianlah, Brahmana Dhammika, engkau harus berlatih.” [373]

   Sunetta, Mūgapakkha,
   Brahmana Aranemi,
   Kuddālaka, dan Hatthipāla,
   Pemuda brahmana, adalah guru-guru.

   Dan Jotipāla [yang dikenal sebagai] Govinda
   Brahmana kerajaan dari tujuh [raja]:
   Mereka ini adalah orang-orang yang tidak berbahaya di masa lampau,
   Enam guru yang memiliki kemasyhuran.

   Murni, terbebaskan melalui belas kasihan,
   Orang-orang ini telah melampaui belenggu indriawi.
   Setelah menghapuskan nafsu indria,
   Mereka terlahir kembali di alam brahmā.

   Para siswa mereka juga
   Yang berjumlah ratusan
   Murni, terbebaskan melalui belas kasihan,
   Orang-orang yang telah melampaui belenggu indriawi.
   Setelah menghapuskan nafsu indria,
   Mereka terlahir kembali di alam brahmā.

   Orang itu yang, dengan pikiran kebencian,
   Mencerca para petapa luar ini yang hampa dari nafsu
   [yang pikirannya] terkonsentrasi,
   Menghasilkan keburukan berlimpah.

   Tetapi orang yang, dengan pikiran kebencian
   Mencerca seorang siswa Sang Buddha,
   Seorang bhikkhu yang sempurna dalam pandangan,
   Menghasilkan lebih banyak keburukan lagi.

   Seseorang tidak boleh menyerang seorang suci
   Seorang yang telah meninggalkan sudut-sudut pandangan.
   Orang ini disebut orang ke tujuh
   Dari Saṅgha para mulia,
   Seorang yang tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan indria,
   Yang kelima indrianya lemah:
   Keyakinan, perhatian, kegigihan,
   Ketenangan, dan pandangan terang.

   Jika seseorang menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Maka ia membahayakan dirinya sendiri;
   Kemudian, setelah membahayakan dirinya sendiri,
   Selanjutnya ia membahayakan orang lain.

   Ketika seseorang melindungi dirinya sendiri,
   Maka orang lain juga terlindungi.
   Oleh karena itu seseorang harus melindungi dirinya sendiri;
   Orang bijaksana selalu tidak terluka. [374]

 

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #15 on: 19 May 2013, 07:11:54 PM »
LIMA PULUH KE DUA

[/I]I. BAB BESAR

55 (1) Soṇa

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu Yang Mulia Soṇa sedang menetap di Rājagaha di Hutan Sejuk.<1367>

Kemudian, ketika Yang Mulia Soṇa sedang sendirian dalam keterasingan, pemikiran berikut ini muncul padanya: “Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.”

Kemudian, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui pemikiran Yang Mulia Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Gunung Puncak Nasar dan muncul di Hutan Sejuk di hadapan Yang Mulia Soṇa. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Yang Mulia Soṇa bersujud kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut: [375]

“Soṇa, ketika engkau sedang sendirian dalam keterasingam tidakkah pemikiran berikut ini muncul padamu: ‘Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.’?”

“Benar, Bhante.”

“Katakan padaKu, Soṇa, di masa lalu, ketika engkau menetap di rumah, bukankah engkau terampil dalam bermain kecapi?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Soṇa? ketika senarnya terlalu kencang, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Tidak, Bhante.”

“Ketika senarnya terlalu kendur, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Tidak, Bhante.”

“Tetapi, Soṇa, ketika senarnya tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, melainkan diatur pada nada yang seimbang, apakah apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Benar, Bhante.”

“Demikian pula, Soṇa, jika kegigihan dibangkitkan terlalu kuat maka ini mengarah pada kegelisahan, dan jika kegigihan terlalu kendur maka ini mengarah pada kemalasan. Oleh karena itu, Soṇa, bertekadlah pada kegigihan yang seimbang, capailah kesetaraan indria-indria spiritual, dan peganglah objek di sana.”<1368>

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Soṇa menjawab.

Ketika Sang Bhagavā telah selesai menasihati Yang Mulai Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Sejuk dan muncul kembali di Gunung Puncak Nasar. [376]

Kemudian, beberapa lama kemudian, Yang Mulia Soṇa bertekad pada kegigihan yang seimbang, mencapai kesetaraan indria-indria spiritual, dan memegang objek di sana. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Soṇa merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Soṇa menjadi salah satu di antara para Arahant.

Setelah mencapai Kearahattaan, Yang Mulia Soṇa berpikir: “Aku akan menemui Sang Bhagavā dan menyatakan pengetahuan akhir di hadapanNya.” Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, ketika seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan bebarn, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia bersungguh-sungguh pada enam hal: pada pelepasan keduniawian, pada keterasingan, pada ketanpa-kesusahan, pada hancurnya ketagihan, pada hancurnya kemelekatan, dan pada ketidak-bingungan.<1369>

(1) “Adalah mungkin, Bhante, bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian hanya karena keyakinan?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan.<1370> Ia bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi. [377]

(2) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada keterasingan karena mengharapkan perolehan, penghormatan, dan pujian?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada keterasingan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(3) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada ketanpa-kesusahan karena ia telah jatuh pada genggaman keliru pada perilaku dan pelaksanaan sebagai intinya?’<1371> Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada ketanpa-kesusahan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(4) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya noda-noda karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.<1372>

(5) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya kemelekatan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(6) “…. Ia bersungguh-sungguh pada ketidak-bingungan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

“Bhante, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata, bentuk-bentuk itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.<1373> [378] Bahkan jika suara-suara yang kuat yang dapat dikenali oleh telinga masuk dalam jangkauan telinga … Bahkan jika bau-bauan yang kuat yang dapat dikenali oleh hidung masuk dalam jangkauan hidung … Bahkan jika rasa-rasa kecapan yang kuat yang dapat dikenali oleh lidah masuk dalam jangkauan lidah… Bahkan jika objek-objek sentuhan yang kuat yang dapat dikenali oleh badan masuk dalam jangkauan badan … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.

“Misalkan, Bhante, terdapat sebuah gunung batu, tanpa jurang atau celah, batu yang padat. Jika hujan badai kencang datang dari timur, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar; jika hujan badai kencang datang dari barat … dari utara … dari selatan, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.”

   Jika seseorang bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian
   Dan terasing dalam pikiran;
   Jika ia bersungguh-sungguh pada ketidak-susahan
   Dan hancurnya kemelekatan;
   Jika ia bersungguh-sungguh pada hancurnya ketagihan
   Dan ketidak-bingungan pikiran:
   Ketika ia melihat munculnya landasan-landasan indria,
   Maka pikirannya sepenuhnya terbebaskan.

   Bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang damai,
   Seorang yang sepenuhnya terbebaskan,
   Tidak ada lagi yang harus dilakukan lebih jauh,
   Tidak [ada yang perlu] ditingkatkan pada apa yang telah dilakukan. [379]

   Bagaikan sebuah gunung batu yang padat,
   Tidak tergerak oleh angin,
   Demikian pula tidak ada bentuk-bentuk, suara-suara,
   Bau-bauan, dan objek-objek sentuhan,
   Menggerakkan pikiran seorang yang stabil.
   Pikirannya kokoh dan terbebaskan,
   Dan ia mengamati lenyapnya.

56 (2) Phagguṇa

Pada suatu ketika Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadaNya, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Sudilah Sang Bhagavā mengunjunginya demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi Yang Mulia Phagguṇa. Dari kejauhan Yang Mulia Phagguṇa melihat kedatangan Sang Bhagavā dan bergerak di atas tempat tidurnya. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Cukup, Phagguṇa, jangan bergerak di atas tempat tidurmu. Sudah ada tempat-tempat duduk ini yang telah dipersiapkan. Aku akan duduk di sini.”

Sang Bhagavā duduk dan berkata kepada Yang Mulia Phagguṇa: “Aku harap engkau dapat bertahan, Phagguṇa. Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakit yang engkau rasakan mereda dan bukan bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, yang terlihat.”

“Bhante, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.<1374> Bagaikan seorang kuat mengasah kepalaku dengan ujung pedang tajam, demikian pula, angin kencang [380] membelah kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang kuat mengencangkan sabuk kulit yang kuat di sekeliling kepalaku menjadi ikat kepala, demikian pula ada sakit kepala hebat di dalam kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang tukang jagal daging yang terampil atau muridnya membelah perut [seekor sapi] dengan sebilah pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan dua orang kuat menangkap seorang lemah pada kedua lengannya dan membakar dan memanggangnya di atas sebuah lubang bara api, demikian pula, ada kebakaran hebat di dalam tubuhku. Aku tidak dapat bertahan, Bhante, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.”

Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan Yang Mulia Phagguṇa dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari duduknya dan pergi. Tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenteram.

Kemudian Yang Mulia Ānanda [381] mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenteram.”

“Mengapakah, Ānanda, indria-indria Bhikkhu Phagguṇa bisa tidak tenteram? Walaupun pikirannya sebelumnya masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, namun ketika ia mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah.<1375>

“Ada, Ānanda, enam manfaat ini dalam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.<1376> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat pertama mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(2) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke dua mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(3) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima [382] belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau  siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke tiga mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(4) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan.<1377> Pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke empat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(5) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke lima mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(6) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima  belenggu yang lebih rendah [383] tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau  siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke enam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

“Ini, Ānanda, adalah keenam manfaat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #16 on: 19 May 2013, 07:12:32 PM »
57 (3) Enam Kelompok

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, Pūraṇa Kassapa menggambarkan enam kelompok:<1378> kelompok hitam, kelompok biru, kelompok merah, kelompok kuning, kelompok putih, dan kelompok putih yang tertinggi.

“Ia menggambarkan kelompok hitam sebagai para penjagal domba, babi, unggas, dan rusa; para pemburu dan nelayan; para pencuri, algojo, dan sipir penjara; atau mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kejam lainnya.

“Ia menggambarkan kelompok biru sebagai para bhikkhu yang hidup dari duri-duri<1379> atau yang lainnya yang menganut doktrin kamma, doktrin efektivitas perbuatan-perbuatan.

“Ia menggambarkan kelompok merah sebagai para Nigaṇṭha [384] yang mengenakan satu jubah.

“Ia menggambarkan kelompok kuning sebagai para umat awam dari para petapa telanjang.

“Ia menggambarkan kelompok putih sebagai para Ājīvaka laki-laki dan perempuan.

“Ia menggambarkan kelompok putih yang tertinggi sebagai Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, dan Makkhali Gosāla.

“Pūraṇa Kassapa, Bhante, telah menggambarkan keenam kelompok ini.”

“Tetapi, Ānanda, apakah seluruh dunia memberi kuasa kepada Pūraṇa Kassapa untuk menggambarkan keenam kelompok ini?”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

“Misalkan, Ānanda, ada seorang miskin, melarat, dan papa. Mereka memaksakan sepotong [daging] kepadanya tanpa kehendaknya, dengan berkata: ‘Teman, engkau harus memakan sepotong daging ini dan membayarnya.’ Dengan cara yang sama, tanpa persetujuan para petapa dan brahmana, Pūraṇa Kassapa telah menggambarkan enam kelompok ini dengan cara yang dungu, tidak kompeten, tidal ahli, dan tidak terampil. Tetapi Aku, Ānanda, menggambarkan enam kelompok [berbeda]. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, Ānanda, enam kelompok ini? (1) Di sini, seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam. (2) Seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih. (3) Seseorang dari kelompok hitam menghasilkan nibbāna,<1380> yang tidak hitam juga tidak putih. (4) Kemudian, seseorang [385] dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam. (5) Seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan putih. (6) Dan seseorang dari kelompok putih menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

(1) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – keluarga caṇḍāla, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga - yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan hidup dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, tidak menyenangkan dilihat, cebol, dan banyak penyakit – buta, pincang, timpang, atau lumpuh.<1381> Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam.

(2) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah … Ia tidak memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih.

(3) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah … [386] … Ia tidak memperoleh makanan … dan penerangan. Setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia mengenakan jubah kuning dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia meninggalkan kelima rintangan, kekotoran pikiran, hal-hal yang melemahkan kebijaksanaan; dan kemudian, dengan pikiran yang ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, ia dengan benar mengembangkan ketujuh faktor pencerahan dan menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

(4) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia – keluarga khattiya yang makmur, keluarga brahmana yang makmur, atau keluarga perumah tangga yang makmur – seorang yang kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, dengan pusaka dan kepemilikan berlimpah, dengan kekayaan dan panen berlimpah; dan ia rupawan, menarik, anggun, memiliki kecantikan sempurna. Ia memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam.

(5) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia … Ia memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih.

(6) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih? [387] Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia … Ia memperoleh makanan … dan penerangan. Setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia mengenakan jubah kuning dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia meninggalkan kelima rintangan, kekotoran pikiran, hal-hal yang melemahkan kebijaksanaan; dan kemudian,  dengan pikiran yang ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, ia dengan benar mengembangkan ketujuh faktor pencerahan dan menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

“Ini, Ānanda, adalah keenam kelompok itu.”

58 (4) Noda-Noda

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, melalui pengendalian seorang bhikkhu telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melalui pengendalian; melalui penggunaan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan; melalui kesabaran dalam menahankan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan;  melalui penghindaran ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran; melalui penghalauan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan; dan melalui pengembangan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan.<1382>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pegendalian yang telah ditinggalkan melalui pengendalian? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu berdiam dengan terkendali pada indria mata. Noda-noda [388] itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seorang yang tidak terkendali pada indria mata tidak muncul pada seorang yang terkendali pada indria mata. Setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu berdiam dengan terkendali pada indria telinga … indria hidung … indria lidah … indria badan … indria pikiran. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seorang yang tidak terkendali pada indria pikiran tidak muncul pada seorang yang terkendali pada indria pikiran. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang berdiam dengan tidak terkendali [pada hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang berdiam dengan terkendali.<1383> Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengendalian yang telah ditinggalkan melalui pengendalian.

(2) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan yang telah ditinggalkan melalui penggunaan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu menggunakan jubah hanya untuk mengusir dingin; untuk mengusir panas; untuk mengusir kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; dan hanya untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kemabukan juga bukan untuk keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya untuk menyokong dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan spiritual, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan menghentikan perasaan lama dan tidak membangkitkan perasaan baru, dan aku akan sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu menggunakan tempat tinggal hanya untuk mengusir dingin; untuk mengusir panas; untuk mengusir kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; dan hanya untuk perlindungan dari cuaca ganas dan untuk menikmati keterasingan. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit hanya untuk mengusir perasaan-perasaan menyakitkan yang telah muncul dan untuk memelihara kesehatan. [389] Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menggunakan [benda-benda ini]  tidak muncul pada seseorang yang menggunakannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan yang telah ditinggalkan melalui penggunaan.

(3) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan yang telah ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas, lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari yang membakar, dan ular-ular; ucapan yang kasar dan menghina; ia menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. ] Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak dengan sabar menahankan [hal-hal ini]  tidak muncul pada seseorang yang dengan sabar menahankannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan yang telah ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan.

(4) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran yang telah ditinggalkan melalui penghindaran? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, dan anjing liar; ia menghindari ular, tunggul, rumpun berduri, lubang, tebing curam, tempat sampah, dan lubang kakus. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menghindari duduk di tempat-tempat duduk yang tidak selayaknya, dan menghindari mengembara di tempat menerima dana makanan yang tidak layak, dan menghindari bergaul dengan teman-teman jahat, agar teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana tidak mencurigainya telah melakukan perbuatan jahat. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menghindari [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang menghindarinya. [390] Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran yang telah ditinggalkan melalui penghindaran.

(5) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan yang telah ditinggalkan melalui penghalauan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu tidak membiarkan pikiran indriawi yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia tidak membiarkan pikiran berniat buruk yang telah muncul … pikiran mencelakai yang telah muncul … kondisi-kondisi tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menghalau [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang menghalaunya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan yang telah ditinggalkan melalui penghalauan.

(6) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan yang telah ditinggalkan melalui pengembangan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pembebasan. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pembebasan. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak mengembangkan [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan yang telah ditinggalkan melalui pengembangan.

“Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.” [391]

59 (5) Dārukammika

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Kemudian perumah tangga Dārukammika<1384> mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Apakah keluargamu memberikan pemberian-pemberian, perumah tangga?”

“Keluargaku memberikan pemberian-pemberian, Bhante. Dan pemberian-pemberian itu diberikan kepada para bhikkhu yang adalah para Arahant atau yang berada pada jalan menuju Kearahattaan, mereka yang adalah para penghuni hutan, para pengumpul dana makanan, dan pemakai jubah potongan kain.”<1385>

“Karena, perumah tangga, engkau adalah seorang umat awam yang menikmati kenikmatan-kenikmatan indria, tinggal di rumah yang penuh dengan anak-anak, menggunakan kayu cendana dari Kāsi, mengenakan kalung bunga, wangi-wangian, dan salep, dan menerima emas dan perak, adalah sulit bagimu untuk mengetahui: ‘Mereka ini adalah para Arahant atau yang berada pada jalan menuju Kearahattaan.’

(1) “Jika, perumah tangga, seorang bhikkhu adalah seorang penghuni hutan gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang adalah seorang penghuni hutan tidak gelisah, tidak tinggi hati, tidak banyak bicara dan tidak berbicara tanpa tujuan, melainkan memiliki perhatian yang ditegakkan, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(2) “Jika seorang bhikkhu yang menetap di pinggiran sebuah desa gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang menetap di pinggiran sebuah desa tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(3) “Jika seorang bhikkhu yang adalah seorang pengumpul dana makanan gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang adalah seorang pengumpul dana makanan tidak gelisah …  [392] … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(4) “Jika seorang bhikkhu yang menerima undangan-undangan makan gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang menerima undangan-undangan makan tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(5) “Jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah potongan kain gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah potongan kain tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(6) “Jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah yang diberikan oleh para perumah tangga gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah yang diberikan oleh para perumah tangga tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

“Marilah, perumah tangga, berikanlah pemberian kepada Saṅgha. Ketika engkau memberikan pemberian kepada Saṅgha, maka pikiranmu akan menjadi yakin. Ketika pikiranmu yakin, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, engkau akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

“Bhante, mulai hari ini dan seterusnya aku akan memberikan pemberian kepada Saṅgha.”<1386>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #17 on: 19 May 2013, 07:13:12 PM »
60 (6) Hatthi

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma.<1387> Selagi mereka sedang berdiskusi, Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka.<1388> Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Citta hatthisāriputta:

“Ketika para bhikkhu senior sedang terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma, jangan berulang-ulang [393] menyela pembicaraan mereka tetapi tunggulah hingga diskusi itu selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu teman-teman Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Jangan meremehkan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta.  Yang Mulia Citta Hatthisāriputta bijaksana dan mampu melibatkan diri dengan para bhikkhu senior dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma.”

[Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata:] “Adalah sulit, teman-teman, bagi mereka yang tidak mengetahui pikiran orang lain untuk mengetahui hal ini.

(1) “Di sini, teman-teman, seseorang tampak sangat lembut, rendah hati, dan tenang selama ia berada di dekat Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru. Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa dari para guru sektarian. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan seekor sapi pemakan hasil panen diikat dengan tali atau dikurung dalam kandang. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang sapi pemakan hasil panen ini tidak akan pernah lagi memasuki daerah hasil panen.’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa sapi pemakan hasil panen ini memutuskan tali itu atau mendobrak kandang dan memasuki daerah hasil panen itu.”

“Demikian pula, seseorang [394] di sini sangat lembut … Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(2) “Kemudian, teman-teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan pada sebuah persimpangan jalan turun hujan, dengan tetes-tetesan air yang besar, akan membuat debu menjadi lenyap dan memunculkan Lumpur. Dapakah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang debu tidak akan pernah muncul kembali di persimpangan jalan ini’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin orang-orang akan melewati persimpangan jalan ini, atau sapi-sapi dan kambing-kambing<1389> akan melewatinya, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban dan kemudian debu akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. [395]

(3) “Kemudian, teman-teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam besar. hujan yang turun dengan tetes-tetesan air yang besar, akan menyebabkan berbagai jenis kerang-kerangan,<1390> batu-batu dan kerikil, menjadi lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil tidak akan pernah muncul kembali di kolam ini’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa orang-orang akan minum dari kolam itu, atau sapi-sapi dan kambing-kambing akan minum dari sana, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban. Kemudian berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil, akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(4) “Kemudian, teman-teman, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan makanan yang tersisa dari malam sebelumnya [396] tidak akan menarik bagi seseorang yang telah selesai memakan makanan lezat. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang makanan tidak akan pernah menarik lagi bagi orang itu’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena makanan tambahan tidak akan menarik bagi orang itu selama intisari gizi masih ada dalam tubuhnya, tetapi ketika intisari gizi lenyap, maka adalah mungkin bahwa makanan itu akan menarik lagi baginya.”

“Demikian pula, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(5) “Kemudian, teman-teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan di sebuah lembah gunung terdapat sebuah danau yang terlindung dari angin dan hampa dari ombak. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang ombak-ombak tidak akan pernah muncul kembali di danau ini’?”

“Tentu tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa hujan badai yang kencang datang dari timur, [397] barat, utara, atau selatan dan menggerakkan ombak di danau itu.”

“Demikian pula, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(6) “Kemudian, teman-teman, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran.<1391> [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan seorang raja atau menteri kerajaan telah berjalan di sepanjang jalan raya bersama dengan empat barisan bala tentaranya dan mendirikan kemah untuk bermalam di sebuah hutan belantara. Karena suara gajah, kuda, kereta, genderang, kulit kerang, dan tambur, maka suara jangkrik akan lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang suara jangkrik tidak akan pernah muncul kembali di hutan belantara ini’?” [398]

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin raja atau menteri kerajaan itu akan meninggalkan hutan belantara itu, dan kemudian suara jangkrik akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Dengan berpikir, ‘aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Kemudian teman-temannya para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan berkata kepadanya: “Apakah Yang Mulia Mahākoṭṭhita dengan pikirannya sendiri melingkupi pikiran Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah’? atau apakah para dewata memberitahukan hal ini kepadanya?”

“Teman-teman, aku dengan pikiranku melingkupi pikiran Yang Mulia Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah’? dan juga para dewata memberitahukan hal ini kepadaku.”

Kemudian para bhikkhu teman-teman dari Citta Hatthisāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [399] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

“Tidak lama lagi, para bhikkhu, Citta Hatthisāriputta akan berpikir untuk meninggalkan keduniawian.”<1392>

Tidak lama setelah itu, Citta Hatthisāriputta mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Citta Hatthisāriputta merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<1393> Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menjadi salah satu di antara para Arahant.

61 (7) Tengah

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasi di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun ketika pembicaraan ini terjadi: “Dikatakan, teman-teman, oleh Sang Bhagavā dalam Pārāyana, dalam “Pertanyaan-pertanyaan Metteyya’:<1394>

   “Setelah memahami kedua ujung,
   Seorang bijaksana tidak melekat di tengah.<1395>
   Aku menyebutnya seorang besar:
   Ia di sini telah melampaui perempuan penjahit.

“Apakah, teman-teman, ujung pertama? Apakah ujung ke dua? Apakah di tengah? Dan apakah perempuan penjahit?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior: “Kontak, teman-teman, adalah satu ujung; munculnya kontak adalah ujung [400] ke dua; lenyapnya kontak adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu.<1396> Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”<1397>

(2) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Masa lalu, teman-teman, adalah satu ujung; masa depan adalah ujung ke dua; masa sekarang adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(3) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Perasaan menyenangkan, teman-teman, adalah satu ujung; perasaan menyakitkan adalah ujung ke dua; perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(4) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Nama, teman-teman, adalah satu ujung; bentuk adalah ujung ke dua; kesadaran adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1398> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(5) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Enam landasan indria internal, teman-teman, adalah satu ujung; enam landasan indria eksternal adalah ujung ke dua; kesadaran adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1399> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu [401] secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(6) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Eksistensi diri, teman-teman, adalah satu ujung; asal mula eksistensi diri adalah ujung ke dua; lenyapnya eksistensi diri adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1400> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior: “Teman-teman, kita masing-masing telah menjelaskan menurut inspirasi kita. Ayo, marilah kita menemui Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.”

“Baik, teman,” para bhikkhu senior itu menjawab. Kemudian para bhikkhu senior mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan keseluruhan pembicaraan yang telah terjadi, [dan bertanya:] “Bhante, yang manakah di antara kami yang telah mengatakan dengan baik?”

[Sang Bhagavā berkata:] “Dalam suatu cara, para bhikkhu, kelian semua telah mengatakan dengan baik, tetapi dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku beritahukan kepada kalian tentang apa yang Kumaksudkan dalam Pārāyana, dalam “Pertanyaan-pertanyaan Metteyya’:

   “’Setelah memahami kedua ujung,
   Seorang bijaksana tidak melekat di tengah.
   Aku menyebutnya seorang besar:
   Ia di sini telah melampaui perempuan penjahit.’”

“Baik, Bhante.” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Kontak, para bhikkhu, adalah satu [402] ujung; munculnya kontak adalah ujung ke dua; lenyapnya kontak adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”<1401>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #18 on: 19 May 2013, 07:17:42 PM »
62 (8 ) Pengetahuan <1402>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman Kosala bernama Daṇḍakappaka. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan raya dan duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan para bhikkhu memasuki Daṇḍakappaka untuk mencari rumah penginapan.

Kemudian Yang Mulia Ānanda bersama dengan sejumlah para bhikkhu pergi ke Sungai Aciravatī untuk mandi. Setelah selesai mandi dan keluar, ia berdiri dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan tubuhnya. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Teman Ānanda, apakah setelah mempertimbangkan secara seksama maka Sang Bhagavā menyatakan tentang Devadatta: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus,’ atau apakah Beliau mengatakan ini secara kiasan?”

“Persis seperti itulah, Sang Bhagavā menyatakannya.”<1403>

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan [melaporkan apa yang telah terjadi, diakhiri dengan]: [403] “Ketika hal ini dikatakan, Bhante, aku berkata kepada bhikkhu itu: ‘Persis seperti itulah, Sang Bhagavā menyatakannya.’

[Sang Bhagavā berkata:] “Ānanda, bhikkhu itu pasti baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, atau seorang bhikkhu senior yang dungu dan tidak kompeten. Karena ketika hal ini dinyatakan olehKu dengan jelas, bagaimana mungkin ia melihat makna ganda di dalamnya?<1404>  Aku tidak melihat bahkan seorang pun, Ānanda, yang tentangnya Aku membuat pernyataan setelah mempertimbangkan secara seksama seperti halnya Devadatta. Jika Aku melihat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut kualitas terang dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan tentangnya: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus.’ Adalah, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut<1405> dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan hal ini tentangnya.

“Misalkan terdapat sebuah lubang kakus yang lebih dalam daripada tinggi seorang manusia yang penuh kotoran tinja hingga ke permukaannya, dan seorang manusia ditenggelamkan di dalamnya hingga kepalanya tenggelam. Kemudian seseorang yang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan keamanannya, ingin menariknya keluar dari lubang kakus itu. Ia mengelilingi seluruh sisi lubang kakus itu tetapi tidak melihat bahkan sebagian kecil dari ujung sehelai rambut orang itu yang tidak berlumuran kotoran tinja [404] yang mana ia dapat mencengkeram dan menariknya keluar. Demikian pula, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan hal ini tentangnya: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus.’

“Jika, Ānanda, engkau mau mendengarkan tentang pengetahuan-pengetahuan Sang Tathāgata atas indria-indria seseorang, maka Aku akan menganalisanya.”<1406>

“Sekaranglah waktunya untuk hal ini, Sang Bhagavā! Sekaranglah waktunya untuk hal ini, Yang Berbahagia! Sang Bhagavā harus menganalisa pengetahuan-pengetahuanNya atas indria-indria seseorang. Setelah mendengarkan hal ini dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Baiklah, Ānanda, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar bermanfaatnya itu<1407> maka hal-hal bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan benih yang utuh, tidak busuk, dan tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, tersimpan dengan baik, ditanam di tanah yang telah dipersiapkan dengan baik di lahan yang subur. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … [405] … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar bermanfaatnya itu maka hal-hal bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(2) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar tidak bermanfaatnya itu maka hal-hal tidak bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, benih yang utuh, tidak busuk, dan tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, tersimpan dengan baik, diletakkan di atas batu karang yang besar. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini tidak akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar tidak bermanfaatnya itu maka hal-hal tidak bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini [406] akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(3) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang hitam. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Bagaikan, Ānanda, benih yang pecah, busuk, dan rusak oleh angin dan panas matahari, ditanam di tanah yang telah dipersiapkan dengan baik di lahan yang subur. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini tidak akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut kualitas terang. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang hitam. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: [407] “Mungkinkah, Bhante, untuk menggambarkan ketiga orang lainnya sebagai lawan dari ketiga orang itu?”

“Mungkin Saja, Ānanda,” Sang Bhagavā berkata:

(4) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang terbakar, menyala, dan berkobar diletakkan di atas batu karang yang besar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini tidak akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Atau bagaikan, Ānanda, menjelang tengah malam, waktunya untuk makan.<1408> Tidakkah engkau mengetahui: ‘Terang telah lenyap dan kegelapan telah muncul’?

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, [408] Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(5) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang terbakar, menyala, dan berkobar diletakkan di atas tumpukan rerumputan kering atau kayu bakar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Atau bagaikan, Ānanda, ketika malam memudar dan matahari terbit. Tidakkah engkau mengetahui: ‘Kegelapan akan lenyap dan terang akan muncul’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, [409] yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(6) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tanpa cela yang terang. Ia akan mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang sejuk dan padam diletakkan di atas tumpukan rerumputan kering atau kayu bakar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini tidak akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tanpa cela yang terang. Ia akan mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

“Ānanda, di antara ketiga orang yang pertama, seorang tidak akan mengalami kemunduran, seorang akan mengalami kemunduran, dan seorang mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka. Di antara ketiga orang yang berikutnya, seorang tidak akan mengalami kemunduran, seorang akan mengalami kemunduran, dan seorang pasti mencapai nibbāna.” [410]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #19 on: 19 May 2013, 07:18:50 PM »
63 (9) Menembus

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan Dhamma yang menembus .<1409> dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, penjelasan Dhamma yang menembus itu?

(1) “Kenikmatan indria harus dipahami; sumber dan asal-mula kenikmatan indria harus dipahami; keberagaman kenikmatan indria harus dipahami; akibat dari kenikmatan indria harus dipahami; lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami.

(2) “Perasaan harus dipahami; sumber dan asal-mula perasaan harus dipahami; keberagaman perasaan harus dipahami; akibat dari perasaan harus dipahami; lenyapnya perasaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami.

(3) “Persepsi-harus dipahami; sumber dan asal-mula persepsi-harus dipahami; keberagaman persepsi-harus dipahami; akibat dari persepsi-harus dipahami; lenyapnya persepsi harus dipahami; jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami.

(4) “Noda-noda harus dipahami; sumber dan asal-mula noda-noda harus dipahami; keberagaman noda-noda harus dipahami; akibat dari noda-noda harus dipahami; lenyapnya noda-noda harus dipahami; jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami.

(5) “Kamma harus dipahami; sumber dan asal-mula kamma harus dipahami; keberagaman kamma harus dipahami; akibat dari kamma harus dipahami; lenyapnya kamma harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami.<1410>

(6) “Penderitaan harus dipahami; sumber dan asal-mula penderitaan harus dipahami; keberagaman penderitaan harus dipahami; akibat dari penderitaan harus dipahami; lenyapnya penderitaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami.

(1) “Ketika dikatakan: ‘Kenikmatan indria harus dipahami; sumber dan asal-mula kenikmatan indria harus dipahami; keberagaman kekmatan indria harus dipahami; akibat [411] dari kenikmatan indria harus dipahami; lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, lima objek kenikmatan indria ini: bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa-rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Akan tetapi, hal-hal ini bukanlah kenikmatan indria; dalam disiplin Yang Mulia, hal-hal ini disebut objek-objek kenikmatan indria.’ Kenikmatan indria seseorang adalah kehendak bernafsu.<1411>

   “Hal-hal itu bukanlah kenikmatan indria, hal-hal indah di dunia  ini:
   Kenikmatan indria seseorang adalah kehendak bernafsu;
   Hal-hal indah itu tetap hanya sebagaimana adanya hal-hal itu di dunia,
   Tetapi para bijaksana melenyapkan keinginan terhadapnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, sumber dan asal-mula kenikmatan indria? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.<1412>

“Dan apakah keberagaman kenikmatan indria? Keinginan indria pada bentuk-bentuk adalah satu hal, keinginan indria pada suara-suara adalah hal lainnya, keinginan indria pada bau-bauan adalah hal lainnya lagi, keinginan indria pada rasa-rasa kecapan adalah hal lainnya lagi, keinginan indria pada objek-objek sentuhan dalah hal lainnya lagi. Ini disebut keberagaman kenikmatan indria.

“Dan apakah akibat dari kenikmatan indria? Seseorang menghasilkan suatu penjelmaan individu yang bersesuaian dengan [kenikmatan indria] apa pun yang ia inginkan dan yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan.<1413> Ini disebut akibat dari kenikmatan indria.

“Dan apakah lenyapnya kenikmatan indria? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kenikmatan indria.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan [412] benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kenikmatan indria, sumber dan asal-mula kenikmatan indria, keberagaman kenikmatan indria, akibat dari kenikmatan indria, lenyapnya kenikmatan indria, dan jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kenikmatan indria.”<1414>

 “Ketika dikatakan: ‘Kenikmatan indria harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(2) “Ketika dikatakan: ‘Perasaan harus dipahami … jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, tiga perasaan ini: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula perasaan? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman perasaan? Ada perasaan menyenangkan keduniawian,<1415> ada perasaan menyenangkan spiritual; ada perasaan menyakitkan kedunaiwian, ada perasaan menyenangkan spiritual; ada perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan keduniawian, ada perasaan bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan spiritual. Ini disebut keberagaman perasaan.

“Dan apakah akibat dari perasaan? Seseorang menghasilkan suatu penjelmaan individu yang bersesuaian dengan [perasaan] apa pun yang ia alami dan yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan. Ini disebut akibat dari perasaan.

“Dan apakah lenyapnya perasaan? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula perasaan.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya perasaan, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami perasaan, sumber dan asal-mula perasaan, [413] keberagaman perasaan, akibat dari perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya perasaan.”

 “Ketika dikatakan: ‘Perasaan harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(3) “Ketika dikatakan: ‘Persepsi harus dipahami … jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, enam persepsi ini: persepsi bentuk-bentuk, persepsi suara-suara, persepsi bau-bauan, persepsi rasa-rasa kecapan, persepsi objek-objek sentuhan, persepsi fenomena-fenomena pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula persepsi? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman persepsi? Persepsi bentuk-bentuk adalah satu hal, persepsi suara-suara adalah hal lainnya, persepsi bau-bauan adalah hal lainnya lagi, persepsi rasa-rasa kecapan adalah hal lainnya lagi, persepsi objek-objek sentuhan adalah hal lainnya lagi, persepsi fenomena-fenomena pikiran adalah hal lainnya lagi. Ini disebut keberagaman persepsi.

“Dan apakah akibat dari persepsi? Aku katakan bahwa persepsi berakibat dalam pengungkapan.<1416> Dalam cara bagaimana pun seseorang mempersepsikan sesuatu, dengan cara itulah ia menungkapkan dirinya, [dengan mengatakan: ‘Aku memiliki persepsi begini dan bengitu.’ Ini disebut akibat dari persepsi.

“Dan apakah lenyapnya persepsi? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula persepsi.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya persepsi, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami persepsi, sumber dan asal-mula persepsi, [414] keberagaman persepsi, akibat dari persepsi, lenyapnya persepsi, dan jalan menuju lenyapnya persepsi, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya persepsi.”

 “Ketika dikatakan: ‘Persepsi harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(4) “Ketika dikatakan: ‘Noda-noda harus dipahami … jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, tiga noda ini: noda indriawi, noda penjelmaan, dan noda ketidak-tahuan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula noda-noda? Ketidak-tahuan adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman noda-noda? Ada noda-noda yan mengarah menuju neraka; ada noda-noda yang mengarah menuju alam binatang; ada noda-noda yang mengarah menuju alam hantu menderita; ada noda-noda yang mengarah menuju alam manusia; ada noda-noda yang mengarah menuju alam deva. Ini disebut keberagaman noda-noda.

“Dan apakah akibat dari noda-noda? Seseorang yang tenggelam dalam ketidak-tahuan menghasilkan penjelmaan individu yang bersesuaian, yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan. Ini disebut akibat dari noda-noda.
 
“Dan apakah lenyapnya noda-noda? Dengan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula noda-noda.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami noda-noda, sumber dan asal-mula noda-noda, keberagaman noda-noda, akibat dari noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya noda-noda.” [415]

 “Ketika dikatakan: ‘Noda-noda harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(5) “Ketika dikatakan: ‘Kamma harus dipahami … jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Adalah kehendak, para bhikkhu, yang Kusebut kamma.<1417> Karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula kamma? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman kamma? Ada kamma yang harus dialami di neraka; ada kamma yang harus dialami di alam binatang; ada kamma yang harus dialami di alam hantu menderita; ada kamma yang harus dialami di alam manusia; ada kamma yang harus dialami di alam deva.<1418> Ini disebut keberagaman kamma.

“Dan apakah akibat dari kamma? Akibat kamma, Aku katakan, ada tiga: [yang dialami] dalam kehidupan ini, atau dalam kelahiran kembali [berikutnya], atau dalam beberapa kelahiran setelahnya. Ini disebut akibat dari kamma.<1419>
 
“Dan apakah lenyapnya kamma? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kamma.<1420>

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kamma, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kamma, sumber dan asal-mula kamma, keberagaman kamma, akibat dari kamma, lenyapnya kamma, dan jalan menuju lenyapnya kamma, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kamma.”

 “Ketika dikatakan: ‘Kamma harus dipahami …  [416] jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(6) “Ketika dikatakan: ‘Penderitaan harus dipahami; sumber dan asal-mula penderitaan harus dipahami; keberagaman penderitaan harus dipahami; akibat dari penderitaan harus dipahami; lenyapnya penderitaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula penderitaan? Ketagihan adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman penderitaan? Ada penderitaan berat; ada penderitaan ringan; ada penderitaan yang memudar secara lambat; ada penderitaan yang memudar secara cepat. Ini disebut keberagaman penderitaan.

“Dan apakah akibat dari penderitaan? Di sini, seseorang dikalahkan oleh penderitaan, dengan pikiran dikuasai oleh penderitaan, berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi bingung. Atau dengan dikalahkan oleh penderitaan, dengan pikiran dikuasai oleh penderitaan, ia pergi mencari di luar, dengan berkata: ‘Siapakah yang mengetahui satu atau dua kata untuk mengakhiri penderitaan ini?’<1421> Penderitaan, Aku katakan, berakibat pada kebingungan atau pada pencarian. Ini disebut akibat dari penderitaan.
 
“Dan apakah lenyapnya penderitaan? Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula penderitaan.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penderitaan, [417] sumber dan asal-mula penderitaan, keberagaman penderitaan, akibat dari penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya penderitaan.”

 “Ketika dikatakan: ‘Penderitaan harus dipahami … jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah penjelasan Dhamma yang menembus itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #20 on: 19 May 2013, 07:19:13 PM »
64 (10) Auman Singa

“Para bhikkhu, ada enam kekuatan Sang Tathāgata ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.<1422> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin.<1423> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin, ini adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.

(2) “Kemudian, Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab.<1424> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat dan pelaksanaan kamma … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(3) “Kemudian, Tathāgata [418] memahami sebagaimana adanya kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif.<1425> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(4) “Kemudian, Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampauNya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2 §4] … Demikianlah Beliau mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek dan ciri-cirinya. Karena Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampauNya … dengan aspek dan ciri-cirinya, ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(5) “Kemudian, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Tathāgata melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … [seperti pada 6:2 §5] … dan Beliau memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka, ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(6) “Kemudian, dengan hancurnya noda-noda, Sang Tathāgata telah merealisasikan untuk diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Beliau berdiam di dalamnya. Karena Sang Tathāgata telah merealisasikan untuk diriNya sendiri … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma. [419]

“Ini adalah ada enam kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.

(1) “Jika, para bhikkhu, orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas apa yang mungkin sebagai mungkin dan apa yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(2) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(3) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(4) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas ingatan pada kehidupan masa lampau, maka [420] maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.<1426>

(5) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(6) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(1) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas apa yang mungkin sebagai mungkin dan apa yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(2) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(3) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(4) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas ingatan pada kehidupan masa lampau adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(5) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(6)  “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

“Demikianlah, para bhikkhu, konsentrasi adalah sang jalan; tanpa konsentrasi adalah jalan yang salah.” [421]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #21 on: 19 May 2013, 07:19:39 PM »
II. YANG-TIDAK-KEMBALI

65 (1) Yang-Tidak-Kembali

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali. Apakah enam ini? Ketiadaan keyakinan, ketiadaan rasa malu bermoral, moralitas yang sembrono, kemalasan, kacauan pikiran, dan ketiadaan kebijaksanaan. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali. Apakah enam ini? Ketiadaan keyakinan … ketiadaan kebijaksanaan. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali.”

66 (2) Arahant

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Ketumpulan, kantuk, kegelisahan, penyesalan, ketiadaan keyakinan, dan kelengahan. Tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. [422]

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Ketumpulan … kelengahan. Setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.”

67 (3) Teman

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang buruk, rekan-rekan yang buruk, dan sahabat-sahabat yang buruk, ketika ia mengikuti, mendatangi, dan melayani teman-teman yang buruk dan mengikuti teladan mereka, (1) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas perilaku yang selayaknya. Tanpa memenuhi tugas perilaku yang selayaknya, (2) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih. Tanpa memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih, (3) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi perilaku bermoral. Tanpa memenuhi perilaku bermoral, (4) adalah tidak mungkin bahwa ia akan meninggalkan nafsu indria, (5) nafsu pada bentuk, atau (6) nafsu pada tanpa bentuk.<1427>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, rekan-rekan yang baik, dan sahabat-sahabat yang baik, ketika ia mengikuti, mendatangi, dan melayani teman-teman yang baik dan mengikuti teladan mereka, (1) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas perilaku yang selayaknya. Setelah memenuhi tugas perilaku yang selayaknya, (2) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih. Setelah memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih, (3) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi perilaku bermoral. Setelah memenuhi perilaku bermoral, (4) adalah mungkin bahwa ia akan meninggalkan nafsu indria, (5) nafsu pada bentuk, dan (6) nafsu pada tanpa bentuk.”

68 (4) Bersenang dalam Kumpulan
 
“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang dalam kumpulan, yang merasa senang dengan kumpulan, yang menekuni kesenangan dalam kumpulam; yang bersenang dalam kelompok, yang meraas senang dengan kelompok, yang menekuni kesenangan dalam kelompok, akan menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian [423] akan memperoleh objek pikiran.<1428> (3) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memperoleh objek pikiran akan memenuhi pandangan benar. (4) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memenuhi pandangan benar akan memenuhi konsentrasi benar. (5) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memenuhi konsentrasi benar akan meninggalkan belenggu-belenggu. (6) Tanpa meninggalkan belenggu-belenggu, adalah tidak mungkin seseorang akan merealisasikan nibbāna.

 
“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak bersenang dalam kumpulan, yang tidak merasa senang dengan kumpulan, yang tidak menekuni kesenangan dalam kumpulam; yang tidak bersenang dalam kelompok, yang  tidak merasa senang dengan kelompok, yang tidak menekuni kesenangan dalam kelompok, akan menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian akan memperoleh objek pikiran. (3) Adalah mungkin bahwa seorang yang memperoleh objek pikiran akan memenuhi pandangan benar. (4) Adalah mungkin bahwa seorang yang memenuhi pandangan benar akan memenuhi konsentrasi benar. (5) Adalah mungkin bahwa seorang yang memenuhi konsentrasi benar akan meninggalkan belenggu-belenggu. (6) Setelah meninggalkan belenggu-belenggu, adalah mungkin seseorang akan merealisasikan nibbāna.”

69 (5) Dewata

Kemudian, pada larut malam, sesosok dewa tertentu dengan keindahan mempeseona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, enam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, mudah dikoreksi, dan pertemanan yang baik. Keenam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir, “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana. [424]

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, pada larut malam, sesosok dewa tertentu dengan keindahan mempeseona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujud kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhante, enam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan kepada Sang Guru … dan pertemanan yang baik. Ini adalah keenam itu yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Setelah mengatakan ini, dewata itu bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan oleh Sang Bhagavā secara singkat sebagai berikut. Di sini, Bhante, (1) seorang bhikkhu menghormati Sang Guru dan memuji penghormatan kepada Sang Guru; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak menghormati Sang Guru agar mengembangkan penghormatan kepada Sang Guru dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan jujur, ia memuji para bhikkhu itu yang menghormati Sang Guru. (2) Ia menghormati Dhamma … (3) … menghormati Saṅgha … (4) … menghormati latihan … (5) … mudah dikoreksi … (6) … memiliki teman-teman yang baik dan memuji pertemanan yang baik; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak memiliki teman-teman yang baik agar memulai pertemanan yang baik dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan jujur, ia memuji para bhikkhu itu yang memiliki teman-teman yang baik. Adalah dengan cara demikian, Bhante, Aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan oleh Sang Bhagavā secara singkat.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan olehKu secara singkat.”

“Di sini, Sāriputta, seorang bhikkhu menghormati Sang Guru [425] … [seperti di atas, secara lengkap] … ia memuji para bhikkhu itu yang memiliki teman-teman yang baik. Adalah dengan cara demikian makna dari pernyataan yang disampaikan olehKu secara singkat harus dipahami secara terperinci.”

70 (6) Konsentrasi

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu, yang tanpa konsentrasi yang damai, luhur, yang diperoleh melalui ketenangan, dan mencapai keterpusatan dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak … [seluruh kalimat yang diringkas di sini sama seperti pada 6:2] … ; ia dapat mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. (2) Adalah tidak mungkin bahwa dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia dapat mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat. (3) Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikirannya sendiri; bahwa ia dapat memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. (4) Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat mengingat banyak kehidupan lampau … [426] dengan aspek-aspek dan rinciannya. (5) Adalah tidak mungkin bahwa dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, ia dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan dapat memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. (6) Adalah tidak mungkin bahwa dengan hancurnya noda-noda, ia dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu, dengan konsentrasi yang damai, luhur, yang diperoleh melalui ketenangan, dan mencapai keterpusatan dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … (2) dapat mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat … (3) dapat memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikirannya sendiri … (4) dapat mengingat banyak kehidupan lampau  dengan aspek-aspek dan rinciannya … (5) dapat, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan dapat memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka … (6) dengan hancurnya noda-noda, ia dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.”

71 (7) Mampu Merealisasikan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan tingkat tertentu,<1429> [walaupun] ada landasan yang sesuai. Apakah enam ini? [427] (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kemerosotan,’ dan: (2) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kestabilan,’ dan: (3) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan keluhuran,’ dan: (4) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan penembusan.’ (5) Ia tidak berlatih dengan seksama, dan (6) ia tidak melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan tingkat tertentu, [walaupun] ada landasan yang sesuai.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu merealisasikan tingkat tertentu, jika ada landasan yang sesuai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kemerosotan,’ dan: (2) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kestabilan,’ dan: (3) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan keluhuran,’ dan: (4) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan penembusan.’ (5) Ia berlatih dengan seksama, dan (6) ia melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu merealisasikan tingkat tertentu, jika ada landasan yang sesuai.”

72 (8 ) Kekuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) ia tidak terampil dalam durasi konsentrasi; (3) ia tidak terampil dalam keluar dari konsentrasi; (4) ia tidak berlatih dengan seksama; (5) ia tidak berlatih dengan gigih; dan (6) ia tidak melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi. Apakah enam ini? [428] (1) Di sini, seorang bhikkhu terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) ia terampil dalam durasi konsentrasi; ; (3) ia terampil dalam keluar dari konsentrasi;  (4) ia berlatih dengan seksama; (5) ia berlatih dengan gigih; dan (6) ia melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi.

73 (9) Jhāna Pertama (1)

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, keragu-raguan; dan ia tidak dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan benar, sebagaimana adanya, bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Keinginan indria … ia telah dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan benar, sebagaimana adanya, bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.”

74 (10) Jhāna Pertama (2)

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, pikiran mencelakai, persepsi indriawi, persepsi berniat buruk, persepsi mencelakai. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Pikiran indriawi …  persepsi mencelakai. [429] Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #22 on: 19 May 2013, 07:20:00 PM »
III. KEARAHATTAAN

75 (1) Dalam Penderitaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam hal, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang buruk menantinya. Apakah enam ini? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, pikiran mencelakai, persepsi indriawi, persepsi berniat buruk, dan persepsi mencelakai. Dengan memiliki keenam hal ini, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang buruk menantinya.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam hal, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang baik menantinya. Apakah enam ini? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, pikiran tidak mencelakai, persepsi meninggalkan keduniawian, persepsi berniat baik, dan persepsi tidak mencelakai. Dengan memiliki keenam hal ini, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang baik menantinya.” [430]

76 (2) Kearahattaan

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan, sikap rendah diri, kesombongan, menilai diri sendiri terlalu tinggi, sifat keras kepala, merendahkan diri sendiri. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.<1430>

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan … menghina diri sendiri. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.”

77 (3) Unggul

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah enam ini? Kekacauan pikiran, ketiadaan pemahaman jernih, tidak menjaga pintu-pintu indria, makan berlebihan, bermuka-dua, dan menyanjung. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah enam ini? Kekacauan pikiran … menyanjung. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.” [431]

78 (4) Kebahagiaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu berkelimpahan kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan ini, dan ia telah meletakkan landasan bagi hancurnya noda-noda. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu bersenang dalam Dhamma, bersenang dalam pengembangan [pikiran], bersenang dalam meninggalkan, bersenang dalam kesunyian, bersenang dalam tanpa-kesusahan, dan bersenang dalam tanpa-proliferasi. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu berkelimpahan kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan ini, dan ia telah meletakkan landasan bagi hancurnya noda-noda.”

79 (5) Pencapaian

“Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai atau memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak terampil dalam keuntungan, (2) tidak terampil dalam kerugian, (3) tidak terampil dalam cara-cara; (4) ia tidak membangkitkan keinginan untuk mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang belum dicapai; (5) ia tidak menjaga kualitas-kualitas bermanfaat yang telah dicapai; (6) ia tidak memenuhi tugas-tugasnya melalui usaha yang gigih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai atau memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai.

Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai dan memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu terampil dalam keuntungan, (2) terampil dalam kerugian, (3) terampil dalam cara-cara; (4) ia membangkitkan keinginan untuk mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang belum dicapai; (5) ia menjaga kualitas-kualitas bermanfaat yang telah dicapai; (6) ia memenuhi tugas-tugasnya melalui usaha yang gigih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai dan memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai.”

80 (6) Kejayaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan mencapai kejayaan dan kebesaran dalam kualitas-kualitas [bermanfaat]. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu berkelimpahan cahaya,<1431> berkelimpahan usaha, berkelimpahan inspirasi; ia tidak menjadi puas; ia tidak mengabaikan tugasnya sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; dan ia mengerahkan dirinya lebih jauh lagi. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan mencapai kejayaan dan kebesaran dalam kualitas-kualitas [bermanfaat].”

81 (7) Neraka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, memiliki keinginan jahat, dan menganut pandangan salah. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong; memiliki sedikit keinginan, dan menganut pandangan benar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.” [433]

82 (8 ) Neraka (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong; ia serakah dan kurang ajar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.


“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong; ia tidak serakah dan tidak kurang ajar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

83 (9) Tingkat Terunggul

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, memiliki moralitas sembrono, malas, tidak bijaksana dan mencemaskan jasmani dan kehidupannya. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul. Apakah enam ini? [434] Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, bersemangat dan bijaksana; dan ia tidak mencemaskan jasmani dan kehidupannya. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul.”

84 (10) Malam

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki enam kualitas, apakah malam atau siang hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. Apakah enam ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat, merasa susah, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; ia (2) tidak memiliki keyakinan, (3) tidak bermoral, (4) malas, (5) berpikiran kacau, dan (6) tidak bijakasna. Ketika seorang bhikkhu memiliki keenam kualitas ini, apakah malam atau siang hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki enam kualitas, apakah malam atau siang hari, hanya pertumbuhan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. Apakah enam ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan kuat, tidak merasa susah, dan puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; ia (2) memiliki keyakinan, (3) bermoral, (4) bersemangat, (5) penuh perhatian, dan (6) bijakasna. Ketika seorang bhikkhu memiliki keenam kualitas ini, apakah malam atau siang hari, hanya pertumbuhan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. [435]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #23 on: 19 May 2013, 07:20:36 PM »
IV. KESEJUKAN

85 (1) Kesejukan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak menekan pikirannya pada saat seharusnya ditekan; (2) ia tidak mengerahkan pikirannya pada saat seharusnya dikerahkan; (3) ia tidak mendorong pikirannya pada saat seharusnya didorong; (4) ia tidak melihat pikirannya dengan keseimbangan pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan. (5) Ia berwatak hina dan (6) ia bersenang dalam eksistensi diri. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.<1432>

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu menekan pikirannya pada saat seharusnya ditekan; (2) ia mengerahkan pikirannya pada saat seharusnya dikerahkan; (3) ia mendorong pikirannya pada saat seharusnya didorong; (4) ia melihat pikirannya dengan keseimbangan pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan. (5) Ia berwatak mulia dan (6) ia bersenang dalam nibbāna. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.”

86 (2) Halangan

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1433> Apakah enam ini? [436] Ia dihalangi oleh kamma; ia dihalangi oleh kekotoran; ia dihalangi oleh akibat [kamma]; ia tidak berkeyakinan; ia tidak berkeinginan; dan ia tidak bijaksana.<1434> Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, selagi mendengarkan<1435> Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ia tidak dihalangi oleh kamma; ia tidak dihalangi oleh kekotoran; ia tidak dihalangi oleh akibat [kamma]; ia memiliki keyakinan; ia memiliki keinginan; dan ia bijaksana. Dengan memiliki keenam kualitas ini, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

87 (3) Pembunuh

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? (1) Ia membunuh ibunya; (2) ia membunuh ayahnya; (3) ia membunuh seorang Arahant; (4) dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; (5) ia memecah-belah Saṅgha; (6) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? [437] (1) Ia tidak pernah membunuh ibunya; (2) juga tidak pernah membunuh ayahnya; (3) juga tidak pernah membunuh seorang Arahant; (4) ia tidak pernah, dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; (5) ia tidak pernah memecah-belah Saṅgha; (6) ia bijaksana, cerdas, cerdik. Dengan memiliki keenam kualitas ini, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

88 (4) Seorang yang Ingin Mendengar

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, (1) ia tidak ingin mendengarnya; (2) ia tidak menyimaknya; (3) ia tidak mengarahkan pikirannya untuk memahami; (4) ia menangkap maknanya secara keliru; (5) ia membuang maknanya;<1436> dan (6) ia mengadopsi pendirian yang tidak selaras [dengan ajaran].<1437> Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, (1) ia ingin mendengarnya; (2) ia menyimaknya; (3) ia mengarahkan pikirannya untuk memahami; (4) ia menangkap maknanya; (5) ia membuang apa yang bukan maknanya; dan (6) ia mengadopsi pendirian yang selaras [dengan ajaran]. Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.” [438]

89 (5) Tanpa Meninggalkan

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.<1438> Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri … delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.”


90 (6) Ditinggalkan

“Para bhikkhu, seorang yang sempurna dalam pandangan telah meninggalkan enam hal ini. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Seorang yang sempurna dalam pandangan telah meninggalkan enam hal ini.”

91 (7) Tidak Mampu

“Para bhikkhu, seorang yang sempurna dalam pandangan tidak mampu memunculkan enam hal ini. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Seorang yang sempurna dalam pandangan tidak mampu memunculkan enam hal ini.”

92 (8 ) Kasus (1)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Sang Guru; (2) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Dhamma; (3) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Saṅgha; (4) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap latihan; (5) tidak mampu mengandalkan apa pun yang seharusnya tidak diandalkan;<1439> (6) tidak mampu menjalani penjelmaan yang ke delapan.<1440> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.”

93 (9) Kasus (2)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai kekal; (2) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai menyenangkan; (3) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai diri; (4) tidak mampu melakukan tindakan berat yang menghasilkan akibat segera;<1441> (5) tidak mampu menganut [kepercayaan] bahwa kesucian diperoleh melalui tindakan-tindakan takhyul dan gaib; (6) tidak mampu mencari orang yang layak menerima persembahan di luar dari sini.<1442> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.”

94 (10) Kasus (3)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu membunuh ibunya; (2) tidak mampu membunuh ayahnya; (3) tidak mampu membunuh seorang Arahant; (4) tidak mampu melukai Sang Tathāgata hingga berdarah dengan pikiran kebencian; (5) tidak mampu memecah-belah Saṅgha; (6) tidak mampu mengakui guru lainnya.<1443> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.” [440]

95 (11) Kasus (4)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri; (2) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh orang lain; (3) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat baik oleh diri sendiri atau pun oleh orang lain; (4) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri tetapi terjadi secara kebetulan; (5) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh orang lain tetapi terjadi secara kebetulan; (6) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat baik oleh diri sendiri atau pun oleh orang lain tetapi terjadi secara kebetulan. Karena alasan apakah? Karena orang yang sempurna dalam pandangan telah dengan jelas melihat sebab-akibat dan fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat. Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.” [441]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #24 on: 19 May 2013, 07:29:55 PM »
V. MANFAAT

96 (1) Manifestasi

“Para bhikkhu, manifestasi enam hal adalah jarang di dunia. Apakah enam ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia ini. (2) Seorang yang dapat mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata adalah jarang di dunia ini. (3) Kelahiran kembali di alam para mulia adalah jarang di dunia ini. (4) Memiliki organ-organ indria [yang tak terhalang] adalah jarang di dunia ini. (5) Menjadi cerdas dan cerdik adalah jarang di dunia ini. (6) Keinginan pada Dhamma yang bermanfaat adalah jarang di dunia ini. Manifestasi keenam hal ini adalah jarang di dunia ini.”

97 (2) Manfaat

“Para bhikkhu, ada enam manfaat dalam merealisasikan buah memasuki-arus. Apakah enam ini? (1) Seseorang kokoh dalam Dhamma sejati; (2) ia tidak mampu mengalami kemunduran; (3) penderitaannya dibatasi; (4) ia memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain; (5) ia telah dengan jelas melihat sebab-akibat; (6) ia telah dengan jelas melihat fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat. Ini adalah keenam manfaat dalam merealisasikan buah memasuki-arus.”

98 (3) Tidak Kekal

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai kekal akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran.<1444> (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan. [442]

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai tidak kekal akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seseorang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

99 (4) Penderitaan

“Sungguh, para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai menyenangkan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai penderitaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

100 (5) Tanpa-diri

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai diri akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai tanpa-diri akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

101 (6) Nibbāna

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap nibbāṅa sebagai penderitaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap nibbāṅa sebagai kebahagiaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. [443] (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

102 (7) Tidak Bertahan Lama

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi ketidak-kekalan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.<1445> Apakah enam ini? (1) ‘Segala fenomena terkondisi akan tampak bagiku sebagai tidak bertahan lama. (2) Pikiranku akan tidak menyenangi segala sesuatu di dunia. (3) Pikiranku akan keluar dari seluruh dunia. (4) Pikiranku akan condong ke arah nibbāna. (5) Belenggu-belengguku akan ditinggalkan.<1446> Dan (6) Aku akan memiliki pertapaan tertinggi.’<1447>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi ketidak-kekalan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.”

103 (8 ) Belati Teracung

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi penderitaan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. Apakah enam ini? (1) ‘Persepsi kekecewaan akan ditegakkan padaku terhadap segala fenomena terkondisi, seperti terhadap seorang pembunuh dengan belati teracung. (2) Pikiranku akan keluar dari seluruh dunia. (3) Aku akan melihat nibbāṅa sebagai damai. (4) Kecenderungan tersembunyiku akan tercabut. (5) Aku akan menjadi seorang yang telah melakukan tugasnya. Dan (6) Aku akan melayani Sang Guru dengan cinta-kasih.’ [444]

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi penderitaan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. “
 
104 (9) Tanpa Identifikasi

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi tanpa-diri yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. Apakah enam ini? (1) ‘Aku akan menjadi tanpa identifikasi dalam keseluruhan dunia.<1448> (2) Pembentukan-aku akan berhenti padaku. (3) Pembentukan-milikku akan berhenti padaku. (4) Aku akan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh [kaum duniawi]. (5) Aku akan dengan jelas melihat sebab-akibat. Dan (6) Aku akan dengan jelas melihat fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat.’

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi tanpa-diri yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.”

105 (10) Eksistensi

“Para bhikkhu, ada tiga jenis penjelmaan ini yang harus ditinggalkan; [dan] seseorang harus berlatih dalam tiga latihan.<1449> Apakah tiga jenis penjelmaan yang harus ditinggalkan? (1) Penjelmaan alam indria, (2) penjelmaan alam berbentuk, dan (3) penjelmaan alam tanpa bentuk: ini adalah ketiga jenis penjelmaan itu yang harus ditinggalkan. Dalam tiga latihan apakah seseorang harus berlatih? (4) Dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (5) dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (6) dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seseorang harus berlatih dalam ketiga latihan ini.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan ketiga jenis penjelmaan ini dan telah menyelesaikan tiga latihan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.” [445]

106 (11) Ketagihan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis ketagihan ini, dan tiga jenis keangkuhan ini, yang harus ditinggalkan.<1450> Apakah ketiga jenis ketagihan yang harus ditinggalkan? (1) Ketagihan indriawi, (2) ketagihan pada penjelmaan, dan (3) ketagihan pada pemusnahan: ini adalah ketiga jenis ketagihan itu yang harus ditinggalkan. Dan apakah ketiga jenis keangkuhan yang harus ditinggalkan? (4) Keangkuhan, (5) sikap rendah-diri, dan (6) kesombongan: ini adalah ketiga jenis keangkuhan yang harus ditinggalkan.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan ketiga jenis ketagihan ini dan ketiga jenis keangkuhan ini, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #25 on: 19 May 2013, 07:30:40 PM »
BAB-BAB TAMBAHAN PADA KELOMPOK LIMA PULUH<1451>

I. TRIAD

107 (1) Nafsu

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Nafsu, (2) kebencian, dan (3) delusi. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? [446] (4) Ketidak-menarikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu. (5) Cinta-kasih harus dikembangkan untuk meninggalkan kebencian. (6) Kebijaksanaan harus dikembangkan untuk meninggalkan delusi. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

108 (2) Perbuatan Buruk

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Perbuatan buruk melalui jasmani, (2) perbuatan buruk melalui ucapan, dan (3) perbuatan buruk melalui pikiran. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Perbuatan baik melalui jasmani harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani. (5) Perbuatan baik melalui ucapan harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan. (6) Perbuatan baik melalui pikiran harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

109 (3) Pikiran

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Pikiran indriawi, (2) pikiran berniat buruk, dan (3) pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Pikiran meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran indriawi. (5) Pikiran berniat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran berniat buruk. (6) Pikiran tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

110 (4) Persepsi

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Persepsi indriawi, (2) persepsi berniat buruk, dan (3) persepsi mencelakai. [447] Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Persepsi meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi indriawi. (5) Persepsi berniat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi berniat buruk. (6) Persepsi tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

111 (5) Elemen

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Elemen indriawi, (2) elemen niat buruk, dan (3) elemen mencelakai. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Elemen meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen indriawi. (5) Elemen niat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen niat buruk. (6) Elemen tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

112 (6) Pemuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) pandangan pemuasan, (2) pandangan diri, dan (3) pandangan salah. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangan pemuasan. (5) Persepsi tanpa-diri harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangam diri. (6) Pandangan benar harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangan salah. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.” [448]

113 (7) Ketidakpuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Ketidakpuasan, (2) sikap membahayakan, dan (3) Perilaku yang berlawanan dengan Dhamma. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Kegembiraan altruistik harus dikembangkan untuk meninggalkan ketidakpuasan. (5) Sikap tidak membahayakan harus dikembangkan untuk meninggalkan sikap membahayakan. (6) Perilaku yang sesuai dengan Dhamma harus dikembangkan untuk meninggalkan perilaku yang berlawanan dengan Dhamma. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

114 (8 ) Kepuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Ketidak-puasan, (2) ketiadaan pemahaman jernih, dan (3) Keinginan kuat. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Kepuasan harus dikembangkan untuk meninggalkan ktidak-puasan. (5) Pemahaman jernih harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiadaan pemahaman jernih. (6) Keinginan yang sedikit harus dikembangkan untuk meninggalkan keinginan kuat. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

115 (9) Sulit Dikoreksi

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? [449] (1) Sulit dikoreksi, (2) Pertemanan yang buruk, dan (3) gangguan pikiran. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? [449] (4) Menjadi mudah dikoreksi harus dikembangkan untuk meninggalkan yang sulit dikoreksi. (5) Pertemanan yang baik harus dikembangkan untuk meninggalkan pertemanan yang buruk. (6) Perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk meninggalkan gangguan pikiran. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

116 (10) Kegelisahan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Kegelisahan, (2) tanpa pengendalian, dan (3) Kelengahan. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Ketenangan harus dikembangkan untuk meninggalkan kegelisahan. (5) Pengendalian harus dikembangkan untuk meninggalkan tanpa pengendalian. (6_ Kewaspadaan harus dikembangkan untuk meninggalkan kelengahan. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

II. PERTAPAAN

117 (1) Merenungkan Jasmani <1452>

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Tanpa meninggalkan enam hal ini, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. [450]

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja … makan secukupnya. Setelah meninggalkan enam hal ini, seseorang mampu merenungkan jasmani dalam jasmani.”

118 (2) Merenungkan Jasmani secara Internal, dan seterusnya

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan perasaan dalam perasaan … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan pikiran dalam pikiran … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan fenomena dalam fenomena … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Tanpa meninggalkan enam hal ini, seseorang tidak mampu merenungkan fenomena dalam fenomena … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merenungkan fenomena dalam fenomena. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja … makan secukupnya. Setelah meninggalkan enam hal ini, seseorang mampu merenungkan fenomena dalam fenomena baik secara internal maupun secara eksternal.”

119 (3) Tapussa

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Tapussa telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian. Apakah enam ini? [451] Keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha, keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma, keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha, perilaku bermoral yang mulia, pengetahuan mulia, dan kebebasan mulia. Dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Tapussa telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian.”<1453>

120 (4) – 139 (23) Bhallika, dan seterusnya

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Bhallika … perumah tangga Sudatta Anāthapiṇḍika … perumah tangga Citta dari Macchikāsaṇḍa … perumah tangga Hatthaka dari Āḷavī … perumah tangga Mahānāma orang Sakya … perumah tangga Ugga dari Vesālī … perumah tangga Uggata … perumah tangga Sūra dari Ambaṭṭha … perumah tangga Jīvaka Komārabaccha … perumah tangga Nakulapitā … perumah tangga Tavakaṇṇika … perumah tangga Pūraṇa … perumah tangga Isidatta … perumah tangga Sandhāna … perumah tangga Vijaya …perumah tangga Vijjiyamāhita … perumah tangga Meṇḍaka … umat awam Vaseṭṭha … umat awam Ariṭṭha … umat awam Sāragga telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian. Apakah enam ini? Keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha, keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma, keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha, perilaku bermoral yang mulia, pengetahuan mulia, dan kebebasan mulia. Dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Sāragga telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #26 on: 19 May 2013, 07:31:34 PM »
III. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA

140 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? [452] Penglihatan yang tak terlampaui, pendengaran yang tak terlampaui, perolehan yang tak terlampaui, latihan yang tak terlampaui, pelayanan yang tak terlampaui, dan pengingatan yang tak terlampaui. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

141 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? Pengingatan pada Sang Buddha, pengingatan pada Dhamma, pengingatan pada Saṅgha, pengingatan pada perilaku bermoral, pengingatan pada kedermawanan, dan pengingatan pada para dewata. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

142 (3)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan, persepsi lenyapnya. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

143 (4) – 169 (30)


“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka enam hal harus dikembangkan.”

170 (31) -649 (510) <1454>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka keenam hal ini harus dikembangkan.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Enam selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #27 on: 19 May 2013, 07:32:12 PM »
CATATAN KAKI
1251 > N’eva sumano hoti na dummano, upekkhako viharati sato sampajāno. Mp: “Tidak bergembira juga tidak bersedih: [dipenuhi] dengan kegembiraan yang disertai dengan nafsu sehubungan dengan objek yang disenangi. Juga [ia tidak] bersedih: [dipenuhi] dengan kesedihan yang disertai dengan penolakan sehubungan dengan objek yang tidak disenangi. Melainkan [ia] berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih: ia bukan seimbang karena ia telah jatuh ke dalam ‘keseimbangan ketidak-tahuan’ (aññāṇ’upekkhā) melalui sikap tidak peduli dalam hal objek yang netral; melainkan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mempertahankan netralitas sehubungan dengan objek. Dalam sutta ini, yang dibahas adalah kediaman konstan seorang Arahant.”

1252 > Untuk penjelasan terperinci lima tentang pengetahuan langsung lokiya yang pertama, baca Vism bab 12 dan 13.

1253 > Baca 5:139, di mana perumpamaan yang sama disebutkan sehubungan dengan gajah jantan besar milik raja.

1254 > Dijelaskan di bawah pada 6:30.
   
1255 > Dijelaskan persis di bawah pada 6:10 dan sekali lagi pada 6:25.

1256 > Ariyasāvako āgataphalo viññātasāsano. Mp mengatakan bahwa Mahānāma bertanya tentang pendukung vital pemasuk-arus (sitāpannassa nissayavihāraṃ).

1257 > Enam pengingatan berikut ini dikomentari secara terperinci dalam Vism bab 7.

1258 > Visamagatāya pajāya samappatto. Mp: “Di antara makhluk-makhluk yang telah menjadi tidak seimbang (visamagatesu) melalui nafsu, kebencian, dan delusi, ia telah mencapai kedamaian dan ketenangan (samaṃ upasamaṃ patto hutvā).” Dari hal ini, jelas bahwa Mp menganggap kata Pāli sama sebagai sama dengan Skt śama, damai. Tetapi karena teks mempertentangkan visama, ketidak-seimbangan (atau ketidak-bajikan) yang karenanya orang-orang biasa hidup, dengan sama yang telah dicapai oleh siswa mulia, maka lebih mungkin bahwa Pāli sama bersesuaian dengan Skr sama. Dua paralel China mendukung dugaan ini. SĀ2 156, pada T II 432c15-16, menuliskan (MANDARIN) (“Apakah musuh-musuhnya atau sanak saudaranya, terhadap kedua jenis orang ini ia tidak memiliki pikiran bermusuhan, melainkan pikirannya seimbang”). Yang lainnya, T 1537.8 pada T XXVI 492c13-15, menuliskan (MANDARIN) (“Di tengah-tengah makhluk-makhluk hidup yang tidak seimbang, ia memperoleh keseimbangan; di antara makhkuk-makhluk yang menderita ia berdiam tanpa penderitaan”). Walaupun berlawanan dengan interpretasi sama dari Mp, namun hal ini menegaskan makna yang nyata dari sutta.

1259> Dhammasotaṃ samāpanno. Mp: “Ia telah memasuki arus Dhamma yang terdapat dalam pandangan terang.” Karena ungkapan Pāli ini dapat dengan mudah disingkat menjadi sotāpanna, saya tidak melihat mengapa Mp menginterpretasikan dhammasota sebagai pandangan terang (vipassanā) bukan sebagai jalan mulia (ariyamagga). Dalam SN 55:5, pada V 347, 24-25, sota digunakan sebagai suatu metafora bagi jalan mulia berunsur delapan.

1260> Enam pertama adalah para dewata di enam alam surga indriawi. Para deva pengikut Brahmā (brahmakāyikā deva) adalah para dewata di alam brahmā. “Para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini” adalah para deva yang lebih tinggi di alam berbentuk dan alam tanpa bentuk.

1261> Dhamma sāraṇīyā. Mp menjelaskan sāraṇiyā seolah-olah bermakna “layak diingat” (saritabbayuttakā), tetapi Edgerton, dalam BHSD (p.593), menganggap saṃrañjana, saṃrañjanīya,”ramah, menyenangkan, sopan, bersahabat,” sebagai padanan Skt yang benar. Lima di antara hal-hal ini terdapat pada 5:105, di mana hal-hal itu disebut “cara-cara berdiam dengan nyaman” (phāsuvihārā).

1262> Appaṭivibhattabhogī. Mp menjelaskan bahwa ada dua jenis keengganan (dve paṭivibhattānī), sehubungan dengan benda-benda dan sehubungan dengan orang-orang. Keengganan sehubungan dengan benda-benda berarti bahwa seseorang memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu dan menyimpannya sejumlah lainnya untuk dirinya sendiri. Keengganan sehubungan dengan orang-orang berarti bahwa ia memutuskan untuk memberikan kepada seseorang tetapi tidak kepada orang lainnya. Bhikkhu yang digambarkan di sini tidak memiliki salah satu keengganan ini.

1263> Nissāraṇīyā dhātuyo. Bandingkan dengan 5:200, yang menjelaskan kelompok “elemen membebaskan diri” yang berbeda.

1264> Arati. Kata ini biasanya menunjukkan ketidak-puasan terhadap kehidupan melepaskan keduniawian.

1265> Teks ini menggunakan kata rāga, yang dalam konteks ini mungkin lebih bermakna kecenderungan pribadi daripada keinginan indria. Yang menarik, pada MN I 424,33-34, upekkhā dilawankan dengan paṭigha, penolakan, kutub berlawanan dari rāga. Dengan asumsi bahwa upekkhā adalah suatu kondisi ketenangan batin yang melampaui ketertarikan dan penolakan, tidaklah mengherankan jika hal ini diberikan sebagai penawar bagi kedua kualitas berlawanan itu.

1266> Animitta cetivimutti. Mp: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang yang kuat (balavavipassanā). Tetapi para pelafal Dīgha Nikāya mengatakan bahwa ini adalah pencapaian meditatif dari buah Kearahattaan (arahattaphalasamāpattī); dikatakan tanpa gambaran karena tidak ada gambaran nafsu, dan seterusnya, gambaran bentuk, dan seterusnya, dan gambaran kekekalan, dan seterusnya (sā hi rāganimittādīnañc’eva rūpanimittādīnañca niccanimittādīnañca abhāvā animittā ti vuttā).

1267> Nimittānusārī. Mp: “Mengikuti gambaran: mengikuti gambaran-gambaran yang telah disebutkan.” “Gambaran-gambaran yang telah disebutkan” adalah gambaran-gambaran yang disebutkan dalam catatan sebelumnya.

1268> Dalam hubungan standar antara tahap-ahapan pencapaian dan pelenyapan kekotoran, keragu-raguan dan kebingungan bersama dengan pandangan “Ini adalah aku” dilenyapkan melalui pencapaian tingkat memasuki-arus, dan keangkuhan “aku” melalui pencapaian Kearahattaan (baca SN 22:89, III 126-32). Dalam paragraf yang sekarang ini, keragu-raguan yang membandel dianggap sebagai satu kriteria untuk menentukan bahwa seseorang belum melenyapkan keangkuhan “aku.”

1269> Vihāraṃ kappeti. Lit., “mengatur kediamannya.” Kappeti, sebagai menyiratkan suatu cara untuk melewatkan waktu, muncul dalam ungkapan-ungkapan seperti jīvitaṃ kappeti, “mencari penghidupan,” vāsaṃ kappeti, “membuat tempat kediaman, berdiam,” nisajjaṃ kappeti, “mengambil tempat duduk, duduk,” dan sebagainya.

1270> Na bhaddakaṃ maranaṃ hoti, no bhaddikā kālakiriyā. Pāli sering kali memasangkan dua kata untuk kematian, maraṇa dan kālakiriyā. Karena cara pengungkapan demikian terdengar ganjil dalam Bahasa Inggris, maka saya menggunakan satu kata. Mp mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan dengan “bukan kematian yang baik” adalah kelahiran kembali di alam sengsara (apāye paṭisandhiṃ gaṇhāti).

1271> Kammārāmo hoti kammarato kammārāmataṃ anuyutto. Dalam konteks ini, kamma berarti pekerjaan konstruksi, yang biasa terdapat di vihara-vihara, seperti membangun gedung baru dan merenovasi fasilitas-fasilitas yang telah ada.   

1272> Papañcārāmo hoti papañcarato papañcārāmataṃ anuyutto. Mp mengatakan: “Proliferasi adalah proliferasi kekotoran, yang muncul melalui ketagihan, pandangan, dan keangkuhan dan memicu kemabukan” (papañco ti taṇhādiṭṭhimānavasena pavatto madanākārasaṇṭhito kilesapapañco). Untuk penjelasan tentang papañca, baca pp. 1710-11, catatan 881.

1273> Sakkāya. Mp: “Lingkaran penjelmaan dengan ketiga alamnya” (tebhūmakavaṭṭaṃ).

1274> Mago. Lit., “Makhluk buas.” Mp: “Seorang yang menyerupai makhluk buas” (magasadiso).

1275> Sāpekhho. Mp mengemas kata ini sebagai sataṇho, “dengan ketagihan,” tetapi saya yakin bahwa makna yang dimaksudkan kemungkinan besar adalah “dengan kecemasan, dengan kekhawatiran, dengan kesedihan.” Pāli apekkhā, seperti halnya “cemas,” dapat bermakna kemelekatan maupun kekhawatiran.

1276> Mp mengatakan bahwa karena ia tidak mampu menyembuhkan penyakitnya dengan obat-obatan, maka ia mengaumkan “auman singa” ini (sīhanāda) untuk menyembuhkan penyakitnya melalui pernyataan kebenaran (saccakiriyā).

1277> Bersama Ce saya membaca varaṃ, bukan seperti Be dan Ee gharaṃ. Mp: “akan mengambil suami lain” (aññaṃ sāmikaṃ gaṇhissati). Baca SED sv vara2: “’pemilih,’ seorang yang mencari gadis dalam suatu perkawinan, pelamar, kekasih, mempelai laki-laki, suami.”

1278> Gahaṭṭhakaṃ brahmacariyaṃ. Bukanlah hal yang  tidak biasa dalam budaya tradisional Buddhis bagi pasangan yang taat yang telah melahirkan beberapa anak untuk sepakat menjalankan kehidupan selibat.
   
1279> Karena struktur bagian ini paralel dengan kedua bagian yang berikutnya bukan dengan tiga bagian sebelumnya, maka jelas bahwa mam’accayena tidak berlaku di sini. Walaupun ungkapan ini ada dalam ketiga edisi cetakan, sebuah naskah Sinhala yang tercatat dalam Ee menghilangkannya. Seperti kedua bagian berikutnya, bagian ini tidak memiliki kata kerja bentuk masa depan bhavissati. Lebih jauh lagi, paralel dengan kedua bagian berikutnya, Nakulamātā di sini menegaskan bahwa ia pada saat itu memenuhi perilaku bermoral, mengarahkan orang yang meragukan hal ini pada Sang Buddha. Maka dari itu, karena Nakulamātā sedang membicarakan fakta sekarang, maka tidak perlu baginya untuk merujuk waktu ketika suaminya telah meninggal dunia. Mp mengatakan bahwa §§4-6 adalah pernyataan kebenaran Nakulamātā.

1280> Na … imasmiṃ dhammavinaye ogādhappattā patigādhappattā assāsappattā. Semua ini adalah cara-cara untuk menyatakan bahwa ia paling sedikit adalah seorang pemasuk-arus. Yang menarik adalah bahwa ia mengaku telah memperoleh pijakan kaki dalam dhammavinaya, yang menyiratkan bahwa dalam konteks tertentu vinaya mengandung makna yang lebih luas daripada sekedar peraturan monastik.

1281> Yāvadatthaṃ seyyasukkaṃ passasukhaṃ middhasukhaṃ anuyutto viharanto. Pada 5:206 ini disebut belenggu pikiran (cetaso vinibandha).
   
1282> Juga terdapat pada 5:56.

1283> Menarik untuk mengetahui bahwa perhatian pada kematian memuncak pada tanpa-kematian.

1284> Mp menjelaskan bahwa seruan pembuka, aho vata, sebagai pernyataan kerinduan yang tidak dapat berubah (patthanatthe nipāto). Brahmāli menolak interpretasi Mp dan menganggap kalimat ini sebagai pernyataan fakta yang tegas, yang ia terjemahkan: “Sesungguhnya, aku dapay hidup hanya sehari semalam; aku harus menekuni ajaran Sang Bhagavā.” Paralel China, EĀ 40.8 (T I 741c26-742b2), sepakat dengan Mp. Demikianlah bhikkhu pertama berkata (pada T I 742a2-3): “Ketika aku merenungkan kematian, aku ingin terus hidup selama tujuh hari [dan] merenungkan tujuh faktor pencerahan. Ini akan sangat bermanfaat [bagiku] sehubungan dengan ajaran Sang Tathāgata [dan] setelah kematian Aku tidak akan menyesal” (MANDARIN).

1285> Bahuṃ vata me kataṃ assa. Mp: “Aku dapat berhasil dalam tugasku sehubungan dengan ajaran” (sāsane mama kiccaṃ bahu kataṃ assa). Mp-ṭ: “Aku akan berhasil dalam tugasku sebagai seorang bhikkhu, yang akan bermanfaat bagiku.”

1286> Mp-ṭ: “Satu kali makan: satu kali makan mampu mempertahankannya selama satu hari.” Maksud dari kata Pāli tadantaraṃ … yadantaraṃ bukanlah bahwa ia ingin hidup cukup lama untuk makan satu kali, melainkan bahwa, menyadari ketidak-pastian datangnya kematian, ia ingin hidup selama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali makan sehingga ia daapt mempraktikkan Dhamma. Dengan kata lain, jika memerlukan waktu dua puluh menit untuk satu kali makan, maka ini adalah lama waktu yang ia harapkan untuk tetap hidup.

1287> Rattiyā patihitāya. Patihita (atau paṭihita) tidak terdapat dalam PED; baca SED sv prati-dhā. Ini adalah bentuk pasif dari patidahati, yang bermakna “memulai, bermula, mendatangi,” yang tampaknya sesuai di sini. Mp mengemasnya sebagai paṭipannāya.i


1288> Bersama Be saya membaca parihāyamāne, bukan seperti Ce dan Ee parihānāya saṃvattamāne.

1289> Delapan baris ini juga terdapat pada 3:36. di sini seluruh tiga edisi membaca te khemappattā dalam pāda a dari syair terakhir.

1290> Teks menggunakan bentuk tunggal himavataṃ pabbatarājaṃ. Untuk menyesuaikan dengan penggunaan Bahasa Inggris yang lazim saya menerjemahkan himavantaṃ sebagai “Himalaya,” terlepas dari perbedaan penekanan antara objek jamak dan tunggal “raja pegunungan.”

1291> Mp: “Ia terampil dalam pencapaian konsentrasi (samādhissa samāpattikusalo): ia terampil dalam memasuki konsentrasi, setelah memahami jenis makanan dan cuaca yang bagaimana yang sesuai. Terampil dalam durasi konsentrasi (samādhissa ṭhitikusalo): ia mampu menstabilkan konsentrasi. Terampil dalam keluar dari konsentrasi (samādhissa vuṭṭhānakusalo): ia mampu keluar pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Terampil dalam kenyamanan untuk konsentrasi (samādhissa kallitakusalo): ia mampu menggembirakan pikirannya untuk konsentrasi, membuatnya nyaman.  Terampil dalam wilayah [atau tempat] konsentrasi: setelah menghindari hal-hal yang tidak sesuai dan tidak membantu untuk konsentrasi, mengejar hal-hal yang sesuai dan membantu, ia mengetahui, ‘Konsentrasi ini menggunakan gambaran sebagai objeknya; yang ini menggunakan karakteristik sebagai objeknya.’ Terampil dalam tekad sehubungan dengan konsentrasi (samādhissa abhinīhārakusalo): untuk memasuki pencapaian-pencapaian meditatif yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, ia mampu mengarahkan [pikirannya] pada konsentrasi jhāna pertama dan seterusnya.” Mp-ṭ menambahkan informasi tentang keterampilan-keterampilan ini: “Terampil dalam kenyamanan: mampu membuat pikirannya memasuki [konsentrasi] dengan melenyapkan kondisi-kondisi yang berlawanan dan dengan secara seimbang menerapkan penyebab-penyebab yang mendukung konsentrasi. Terampil dalam wilayah: terampil dalam apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan konsentrasi; terampil dalam tempat di mana konsentrasi itu terjadi, yaitu, subjek meditasi, dan terampil dalam memasangkan perhatian dan pemahaman jernih pada wilayah tempat menerima dana makanan. Terampil dalam tekad: mampu mengarahkan atau menuntun [pikiran] pada konsentrasi jhāna pertama, dan seterusnya, karena berhubungan dengan keluhuran.” Untuk penjelasan lebih lanjut tentang keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai konsentrasi, baca 7:40-41 dan SN bab 34.

1292> Mp mengemas anussatiṭṭhānāni sebagai anussatikāranāni, “sebab-sebab ingatan,” yang mengenainya Mp-t mengatakan: “Pengingatan-pengingatan itu sendiri adalah ‘sebab-sebab ingatan’ dalam hal bahwa pengingatan-pengingatan itu berfungsi sebagai penyebab (hetubhāvato) bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”

1293> Idampi kho bhikkhave ārammaṇaṃ karitvā. Dalam Nikāya-Nikāya kata ārammaṇa tidak selalu berarti “objek kesadaran” dalam makna umum, seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Kadang-kadang dalam Nikāya-Nikāya ārammaṇa menyiratkan suatu objek meditasi, tetapi peran ini biasanya diambil oleh nimitta, yang tidak harus berarti “gambaran pendamping” seperti dalam komentar. Saya tidak menginterpretasikan teks yang sekarang ini sebagai mengatakan bahwa seseorang mengingat Sang Buddha sebagai suatu objek, melainkan bahwa ia menjadikannya sebagai landasan, atau titik awal, untuk menjauh dari keserakahan. Untuk hal ini, saya menarik dukungan dari Mp-ṭ, yang megemas ārammaṇaṃ karitvā sebagai berikut: “Setelah menjadikannya sebagai kondisi, setelah menjadikannya sebagai landasan” (paccayaṃ karitvā pādakaṃ katvā). Mp-ṭ menganggap “ini” (idam) dalam lema di atas sebagai konsentrasi akses (upacārajjhāna) yang diperoleh melalui pengingatan pada Sang Buddha. Mp menjelaskan “dimurnikan” (visujjhanti) berarti “mereka mencapai nibbāna akhir, kemurnian tertinggi.”

1294> Mp: “Di tengah-tengah kurungan (sambādhe): di tengah-tengah kurungan kelima objek kenikmatan indria. Telah menemukan bukaan (okāsādhigamo): bukaan adalah keenam subjek pengingatan, yang telah Beliau temukan.”

1295> Di mana sutta sebelumnya menulis idh’ekacce sattā visujjhānti, sutta yang sekarang ini menuliskan idh’ekacce sattā visuddhidhammā bhavanti. Tidak ada perbedaan dalam makna.

1296> Manobhāvanīyassa bhikkhuno dassanāya upasaṅkamituṁ. Komentar secara konsisten menjelaskan manobhāvanīyā bermakna “mereka yang meningkatkan penghormatan,” atau “mereka yang layak menerima penghormatan,” daripada “mereka yang telah mengembangkan pikiran.” Demikianlah Spk II 250, 1-2 mengatakan para bhikkhu itu adalah manobhāvanīyā “yang, ketika dilihat, membuat pikiran tumbuh dalam apa yang bermanfaat” (yesu diṭṭhesu kusalavasena cittaṃ vaḍḍhati).

1297> Yam nimittaṃ āgamma yaṃ nimittaṃ manasikaroto anantarā āsavānaṃ khayo hoti. Tentang “segera mencapai hancurnya noda-noda,” baca p. 1705, catatan 851.

1298> Mp: “Pada saat ketika ia sedang duduk dalam kediaman siang harinya, objek konsentrasi itu muncul di pintu pikirannya.”

1299> Adhicittaṃ. Mp: “Pikiran konsentrasi dan pandangan terang.” Bhikkhu Udāyī (Lāḷudāyī) sering kali keliru dalam penjelasannya atas hal-hal doktrin dan karenanya ia ditegur oleh Sang Buddha.

1300> Ironisnya, hal ini mungkin adalah tempat satu-satunya dalam Nikāya di mana ketiga jhāna dirujuk sebagai anussatiṭṭhāna, “subjek pengingatan.” Baik teks maupun Mp tidak menjelaskan mengapa jhāna ke empat diletakkan sebagai subjek pengingatan tersendiri, sebagai yang ke lima di sini. Sebenarnya, penggunaan sebutan anussatiṭṭhāna untuk kelima pengingatan yang disebutkan Ānanda, dan ke enam yang ditambahkan oleh Sang Buddha, tampaknya khusus hanya pada sutta ini.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #28 on: 19 May 2013, 07:32:45 PM »
1301> Yathā divā tathā rattiṃ, yathā rattiṃ tathā divā. Juga terdapat pada 4:41. Mp menjelaskan: “Seperti halnya siang hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada malam hari. Seperti hal malam hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada siang hari. Memperoleh pengetahuan dan penglihatan: ini adalah memperoleh mata dewa, yang disebut pengetahuan dan penglihatan.”

1302> Di sini dan di bawah adalah sembilan perenungan tanah pekuburan, seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta, pada DN 22.7-10, II 295-97; MN 10.12-30, I 58-59.

1303> Ini pasti merujuk pada jhāna ke empat sebagai landasan agi enam jenis pengetahuan langsung.

1304> Dalam Pāli: dassanānuttariyaṃ, savanānuttariyaṃ, labhānuttariyaṃ, sikkhānuttariyaṃ, pāricariyānuttariyaṃ, anussatānuttariyaṃ.

1305> Paṭisanthāra. Pada 2:152 dikatakan bahaw ada dua jenis keramahan: dengan benda-benda materi dan dengan Dhamma.

1306> Tiga persepsi terakhir ini dijelaskan pada 10:60 §§5-7.

1307> Acamayitvāna. Mp menjelaskan bahwa ini secara literal: ia mencuci tangan dan kakinya dan membersihkan mulutnya.

1308> Natthi attakāro, natthi parakāro, lit, “Tidak ada tindakan melakukan sendiri, tidak ada tindakan melakukan oleh orang lai.” Sang Buddha membantahnya persis di bawah dengan menunjukkan fakta nyata bahwa brahmana itu telah datang atas kehendaknya sendiri (sayaṃ) dan pergi atas kehendaknya sendiri.

1309> Arambhadhātu. Mp: “Kegigihan yang muncul melalui dimulainya [suatu aktivitas]” (arabhanavasena pavattaviriyaṃ). Kedua elemen berikutnya yang disebutkan di bawah, nikkamadhātu dan parakkamadhātu, dapat dipahami berturut-turut sebagai kegigihan yang diperlukan untuk tetap melangsungkan suatu tindakan dan menyelesaikannya. Ketiga ini diberikan sebagai penawar bagi ketumpulan dan kantuk pada 1:18 dan SN 46:51, V 105,25-106,2, dan sebagai cara untuk memelihara faktor pencerahan kegigihan pada SN 46:2, V 66,9-15, dan SN 46:51, V 14-20.

1310> Mp tidak membedakan ketiga faktor berikutnya yang disebutkan di sini – thāmadhātu, thitidhātu, dan upakkamadhātu – tetapi hanya mengatakan bahwa ketiga ini adalah berbagai sebutan bagi kegigihan.

1311> Suatu paralel yang diperluas dari 5:201.

1312> Baca 5:30. walaupun kerangka kerja kedua sutta ini sama, namun isinya sangat berbeda sehingga dapat dipertanyakan apakah sutta yang sekarang ini dapat dianggap sebagai paralel yang diperluas dari sutta yang lainnya.

1313> Bersama Ce saya membaca ārāmiko vā samaṇuddeso va sahadhammiko vā. Baik Be maupun Ee mencantumkan sahadhammiko va. Tulisan Be di sini sangat berbeda: idān’ imaṃ āyasmantaṃ ārāmiko vā upaṭṭhahissati samaṇuddeso vā taṃ tamhā samādhimā cāvessati; “Sekarang seorang pelayan vihara akan melayani yang mulia ini, yang akan menyebabkannya jatuh dari konsentrasi itu.” Ee mengikuti Be, tetapi dengan ghaṭṭessati, “menyerang, menghina, memprovokasi,” bukan paṭṭhahissati.

1314 > Araññasaññaṃyeva manasi karissati ekattaṃ. Mp: “Kemanunggalan: ia akan hanya mengingat persepsi hutan, sebuah keadaan keterpusatan pada kesatuan” (ekasabhāvaṃ, ekaggatābhūtaṃ, araññasaññaṃ yeva cite karissati).  Kata-kata di sini mengingatkan oada MN 121, III 104,20-21: araññasaññaṃ paticca manasi karoti ekattaṃ, “ia memperhatikan kemanunggalan dengan bergantung pada persepsi hutan.”

1315> Mp: “Sejauh ini, Sang Guru telah memuji tempat kediaman di dalam hutan.

1316> Berbagai penggunaan kata nāga akan dijelaskan persis di bawah. Gajah besar milik Raja Pasenadi disebut “Seta” (“Putih”) karena tubuhnya berwarna putih.

1317> Yang dimaksudkan di sini adalah suatu permainan kata. Pernyataan Sang Buddha - āguṃ na karoti – secara main-main menurunkan kata nāga dari na + āguṃ, “tanpa kejahatan.” Dengan demikian nāga menjadi suatu gelar bagi Sang Buddha, atau, secara lebih luas, bagi Arahant. Baca Sn 527: Aguṃ na karoti kiñci loke … nāgo tādi pavuccate tathattā (“Seorang yang tidak melakukan kejahatan di dunia … yang stabil karena alasan demikian maka disebut nāga”). Baca juga Th 1249 (= SN 8:8, I 192, 34): Nāganāmo’si bhagavā (“Engkau dinamai Nāga, O Bhagavā”).

1318> Mp mengidentifikasikan Udāyī ini sebagai Kāludāyī. Akan tetapi, syair yang sama pada Th 689-704 diduga berasal dari Udāyī, sedangkan syair berbeda pada Th (527-36) diduga berasal dari Kāludāyī. Hal ini membuktikan bahwa identifikasi Mp atas penggubah syair itu tidak benar. Terdapat paralel China dari sutta ini, MĀ 118 (pada T I 608b2 -609a3), yang pada beberapa hal terbukti membantu saya dalam membaca syair-syair Pāli.

1319> Saya bersama Be membaca vanā nibbanam āataṃ. Ce dan Ee menuliskan nibbānam pada tempat nibbanam. Mp menarik permainan kata: “Dari belantara kekotoran, ia telah keluar ke ruang terbuka; ia telah mencapai nibbāna, yang hampa dari belantara kekotoran” (kilesavanato nibbanaṃ kilesavanarahitaṃ nibbānaṃ āgataṃ sampattaṃ). Tampaknya Ce dan Ee telah mengubah kata nibbāna dari kemasan ke dalam teks itu sendiri. Versi China pada T I 608c2 menuliskan (MANDARIN), “dari hutan ia telah meninggalkan hutan,” yang mendukung tulisan Be.

1320> Saccanāmo bukanlah “seorang yang namanya berarti kebenaran,” melainkan “seorang yang dinamai dengan benar,” yang namanya sesuai dengan orangnya. Mp: “Beliau adalah seorang yang dinamai dengan benar, dinamai sesuai kenyataan dinamai dengan tepat sebagai ‘nāga’ karena tidak melakukan kejahatan (tacchanāmo bhūtanāmo āguṃ akaraṇeneva nāgoti evaṃ avitathanā to). Versi China (pada T I 608c7) menuliskan (MANDARIN), “Beliau adalah nāga di antara semua nāga, sebenarnya nāga yang tidak terlampaui.”

1321> Terdapat permainan kata di sini antara kedua makna caraṇa, “perbuatan, perilaku” dan “kaki.” Mp mengemas: “Itu adalah kedua kaki belakang nāga Sang Buddha.”

1322> Sati gīvā siro paññā vimaṃsā dhammacintanā. Saya menerjemahkan kata-kata ini secara cukup literal. Akan tetapi, Mp mengatakan: “Ujung belalai gajah disebut penyelidikan (vimaṃsā) karena [menyelidiki] benda-benda untuk menentukan apakah keras atau lunak, dapat dimakan atau tidak dapat dimakan, dan sebagainya. Kemudian gajah itu menolak apa yang harus ditolak dan mengambil apa yang harus diambil. Demikian pula, bagi nāga Sang Buddha, refleksi atas fenomena-fenomena (dhammacintanā) – merujuk pada pengetahuanNya yang menentukan kelompok-kelompok fenomena – adalah [alat] penyelidikanNya: Dengan pengetahuan ini Beliau mengetahui siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu.” Versi China pada 608c11 menerjemahkan kalimat ini secara lebih langsung: (MANDARIN), “kebijaksanaan adalah kepalanya, refleksi atas dan pembedaan fenomena-fenomena.”

1323> Dalam pāda C saya bersama Be dan Ee membaca samātapo, bukan seperti Ce samāvāpo. Mp: “Adalah konsentrasi jhāna ke empat yang di sini disebut dhamma. Karena dengan berdasarkan pada ini maka kekuatan-kekuatan batin itu berhasil. Oleh karena itu disebut panas seimbang dalam perutnya (kucchisamātapo). Keterasingan (viveka) merujuk pada keterasingan jasmani, keterasingan pikiran, dan keterasingan dari perolehan (kāyacittaupadhiviveko). Karena gajah menggunakan ekornya untuk menghalau nyamuk-nyamuk, demikian pula Sang Tathāgata mendatangi keterasingan untuk menghalau perumah tangga dan para bhikkhu.” Versi China menuliskan bait (pada 608c12) sebagai (MANDARIN), “menegakkan dharma adalah perutnya, dan kesenangan dalam keterasingan adalah sepasang lengannya.” Jelas dalam penyampaian ini, kata kāladhi dalam Pāli telah berubah menjadi bāhūni.

1324> Assāsa dapat berarti penarikan nafas atau penghiburan, arti ke dua merujuk pada Kearahattaan. Mp mengatakan bahwa seperti halnya menarik nafas dan mengembuskan nafas adalah apa yang mempertahankan gajah tetap hidup, demikian pula buah Kearahataan (phalasamāpatti) adalah penting bagi Sang Buddha, dan adalah di sana Beliau bersenang.

1325> Bersama dengan Be membaca loke viharati. Ce dan Ee loke virajjati bermakna “menjadi terlepas di dunia,” yang tidak sesuai dengan perumpamaan.

1326> Pada temmpat saṅkhāresūpasantesu dalam pāda c (tulisan pada seluruh tiga edisi), di sini saya membaca sepasang naskah Burma (yang dirujuk dalam sebuah catatan dalam Ee): aṅgāresu ca santesu, nibbutoti pavuccati. Tulisan ini juga terdapat pada Th 702. Vanarata menunjukkan bahwa “keseluruhan syair adalah perumpamaan dan nibbuto [yang berarti padamnya api dan seorang yang telah mencapai nibbāna] merujuk pada api.” Versi China (pada 608c27), sesuai dengan Th dan naskah Burma, menuliskan (MANDARIN), “Tanpa kayu api, api tidak dapat terus menyala. Maka api ini dikatakan sebagai telah padam.”

1327> Mp: “Nāga Arahant lainnya akan mengenali Nāga-Buddha yang diajarkan oleh sang nāga, sesepuh Udāyī.” Terlepas dari Mp, saya curiga bahwa teks itu sendiri bermaksud bahwa Sang Bdudha sendiri sebagai seorang yang mengajarkan tentang nāga. Versi China (pada 608c29) mendukung kecurigaan saya: (MANDARIN), “dikatakan oleh sang nāga di antara para nāga.”

1328> Bersama dengan Ee membaca parinibbāti ‘nāsavo, bukan seperti Ce dan Be parinibbissati anāsavo. Syair ini melengkapi perumpamaan api. Analogi ini menjadi lebih jelas dalam versi China (pada 609a2), di mana (MANDARIN), “nāga ini dikatakan telah mencapai nibbāna,” diulang pada 608c27, (MANDARIN), “api ini dikatakan telah padam.” Saya mencoba untuk menangkap efek ini dengan menerjemahkan parinibbāti dua kali, pertama sebagai makna padam dan kemudian dalam hal makna doktrin.

1329> Saya menganggap tulisan yang benar di sini adalah dari Be sakadāgāmipatto (juga terdapat dalam naskah Burma), berlawanan dengan Ce dan Ee sakadāgāmi satto. Tertukarnya s dan p bukanlah tidak biasa dalam naskah-naskah Sinhala. Akan tetapi, kemasan dalam ṃp, sakadāgāmipuggalo hutvā, menyiratkan bahwa komentator menggunakan teks dengan tulisan sakadāgāmī satto. Bukan tidak mungkin bahwa perubahan ini (jika ini benar) berasal dari sebelum masa komentar.

1330> Ce dan Be petteyyopi; Ee petteyyo piyo. Satu-satunya arti petteyya yang diberikan oleh PED adalah “menunjukkan kasih sayang terhadap ayahnya,” yang tidak sesuai di sini. Di sini kita mungkin harus membaca pettāpiyo, yang didefinisikan oleh PED sebagai “saudara ayah, paman dari pihak ayah.” Dalam versi pada 10:75, Ce menuliskan pettā pi yo dan Ee pettā piyo, yang, dengan menghilangkan spasinya, keduanya menghasilkan tulisan yang dimaksudkan. Dalam MN 89.18, II 123,27 – 124,11, Purāṇa dan Isidatta dikatakan sebagai pejabat dari Raja Pasenadi Kosala tetapi memperlihatkan hormat yang lebih besar kepada Sang Buddha daripada kepada sang raja. Cinta mereka pada Sang Buddha diungkapkan dalam SN 55:6, V 348-52.

1331> Mp: “Ānanda mengatakan hal ini karena ia tidak mengetahui alasannya.” Brahmāli menulis: “Saya memahami Ānanda hanya berkata bahwa hal itu harus dipahami persis seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha,” dan ia menyarankan terjemahan kalimat ini: “Persis demikianlah, Saudari, karena ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā.” Akan tetapi, pada titik ini pernyataan Sang Buddha atas takdir mereka masih belum dijelaskan. Penjelasannya baru muncul pada akhir sutta, ketika Sang Buddha meuji hal-hal yang kuat pada masing-masing kedua siswa laki-laki yang telah meninggal dunia itu.

1332> Ce ambakapaññā; Be di sini menuslikan ammakasaññā, “persepsi seorang perempuan” atau “gagasan seorang perempuan,” tetapi teks 10:75 pada Be membaca ammakapaññā. Ee menuliskan ambakasaññā di sini tetapi ambakapaññā dalam paragraf penutup. Jelas bahwa tulisan Ee yang pertama adalah kesalahan cetak bagi yang belakangan, karena pada kemunculan pertama saññā disebutkan dalam catatan sebagai salah satu variasi. Sekali lagi, pertukaran s/p yang umum pasti mendasari variasi ini. Ambaka dalam Ce dan Ee (atau Be ammaka) diturunkan dari ammā, “ibu,” tetapi dengan makna yang lebih umum sebagai perempuan (lit., kelompok ibu-ibu” (Ammakāti mātugāmo. Upacāravacanañh’etaṃ. Itthīsu yadidaṃ ammakā mātugāmo jananī janikā). SED sv ambā menuliskan “seorang ibu, perempuan yang baik (sebagai gelar hormat).” Dan di bawah ambikā: “seorang ibu, perempuan yang baik (sebagai sebutan hormat).” Paralel China pada T II 258,c8-9, tidak memasukkan generalisasi menghina tentang perempuan, namun menyebutkan hal itu dengan merujuk pada Migasālā sebagai seorang individu: “Umat awam perempuan Migasālā adalah dungu dan memiliki sedikit kebijaksanaan” (MANDARIN).

1333> Penjajaran bentuk nominative ke dengan bentuk lokatif -ñāṇe agak membingungkan. Saya menganggap maknanya sebagai bahwa mereka yang dirujuk oleh ke telah kokoh dalam pengetahuan ini. Mungkin, walaupun -ñāṇe adalah bentuk timur yang tersisa, sebuah bentuk jamak nominatif yang sesuai dengan ke. Mp tidak berusaha untuk memecahkan masalah ini, tetapi ketika mengomentari tentang “pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah” (purisapuggalaparopariyañāṇe), ini menjelaskan pengetahuan ini sebagai “pengetahuan atas indria-indria tinggi dan rendah dari orang-orang lain melalui ketajaman dan ketumpulan” (purisapuggallānaṃ tikkhamuduvasena indriyaparopariyañāṇaṃ).

1334> Sāmāyikampi vimuttiṃ na labhati. Mo mengatakan bahwa ia tidak kadang-kadang memperoleh sikacita dan kegembiraan yang diturunkan dari mendengarkan Dhamma. Akan tetapi, Paṭis II 40, 16-17, mendefinisikan sinonim yang mendekati samayavimokkho sebagai empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk (cattāri ca jhānāni, catasso ca arūpasamāpattiyo, ayaṃ samayavimokkho, yang dibedakan dari  kebebasan permanent, yang diidentifikasikan sebagai empat jalan mulia, empat buah kehidupan spiritual, dan nibbāna (cattāro ca ariyamaggā, cattāri ca sāmaññaphalāni, nibbānañca, ayaṃ asamayavimokkho).

1335> Teks hanya membaca taṃ hi tesaṃ, tanpa menyebutkan apa yang dirujuk oleh taṃ. Mp menjelaskan bahwa ini adalah memberikan penilaian (taṃ pamāṇakaraṇaṃ).

1336> Imaṃ puggalaṃ dhammasotaṃ nibbahati. Mp: “Pengetahuan pandangan terang, muncul dengan kuat, membawanya bersama, menuntunnya menuju alam para mulia.”

1337> Teks menuliskan lobhadhammā, “keadaan keserakahan,” yang dikemas oleh Mo sebagai “hanya keserakahan” (lobho yeva).

1338> Di sini saya mengikuti teks cetakan dari Ce, dengan penghilangan. Edisi elektronik Ce melengkapi bagian penghilangan itu secara keliru.

1339> Di sini dan dalam §6, saya bersama Ce membaca vacīsaṃsārā, yang juga merupakan tulisan pada Mp (Ce). Be dan Ee menuliskan vacīsaṅkhārā. Mp mengemas: “Hanya ucapan dalam menyapa dan berbincang” (ālāpasallāpavasena vacanāñ’eva). Vacīsaṃsāro terdpat pada 2:63, di mana ini merujuk pada perdebatan antara kelompok-kelompok para bhikkhu.

1340> Mp: “Purāṇa unggul dalam perilaku bermoral, Isidatta dalam kebijaksanaan. Perilaku bermoral Purāṇa sebanding dengan keunggulan kebijaksanaan Isidatta; kebijaksanaan Isidatta sebanding dengan keunggulan perilaku bermoral Purāṇa.”

1341> Saya telah membagi bait-bait seperti yang dilakukan dalam Be, yang saya nilai lebih memuaskan daripada Ce. Dalam Ee baris-baris syair tidak dikelompokkan ke dalam bait-bait terpisah.

1342> Seluruh tiga edisi membaca evam etaṃ gahaṭṭhānaṃ cāgo puññaṃ pavaḍḍhati. Sintaksis ini tidak memuaskan namun tidak terdapat variasi yang tercatat. Mp mencoba memecahkan masalah ini dengan kemasannya, cāgoti saṅkhaṃ gataṃ puññaṃ vaḍḍhati, “jasa yang ‘kedermawanan’ meningkat,” tetapi hal ini tidak masuk akal. Mungkinkah awalnya adalah bentuk ablatif cāgā di sini, atau suatu kata bantu cāgena (dengan kata kerja vaḍḍhati, untuk mendukung irama), yang berubah menjadi cāgo karena kekeliruan? Paralel China, MĀ 125, memberikan dukungan pada dugaan ini pada T I 614c20: (MANDARIN), “karena kedermawanan maka jasa meningkat.”

1343> Dhammayogā. Mp mengatakan ini adalah sebutan untuk pembabar Dhamma (dhammakathikā), tetapi ini juga dapat merujuk pada semua yang secara dominan mengadopsi pendekatan kognitif  pada Dhamma. Kata ini tampaknya unik pada teks ini, perbedaan antara para meditator dan mereka yang berfokus pada Dhamma menyiratkan asal-usul belakangan ketika penugasan-penugasan dalam Saṅgha telah terpecah dua menjadi kedua kelompok ini.

1344> Jhāyanti pajjhāyanti. Nuansanya agak mengejek. Be menggunakan rangkaian empat kata kerja: jhāyanti pajjhāyanti nijjhāyanti avajjhāyanti. Untuk penggunaan kata kerja yang mengejek yang serupa tentang jhāyanti, baca 11:9, V 323,18; MN 50.13, I 334,18-34.

1345> Amataṃ dhātuṃ kāyena phusitvā viharanti. Mp: “Ini merujuk pada elemen nibbāna, disebut “keabadian” karena hampa dari kematian. Setelah menerima subjek meditasi, secara bertahap mereka berdiam setelah menyentuhnya dengan tubuh pikiran.”

1346> Gambhīraṃ atthapadaṃ paññāya ativijjhā passanti. Mp: “’Yang mendalam dan tajam’ termasuk kelompok-kelompok unsur kehidupan, elemen-elemen, landasan-landasan indria, dan sebagainya, yang halus dan tersembunyi. Mereka melihat ini setelah menembusnya dengan pandangan terang dan kebijaksanaan sang jalan (sahavipassanāya maggapaññāya).”

1347> Moliyasīvaka juga terdapat pada SN 36:21, IV 230-31, di mana ia bertanya pada Sang Buddha apakah semua perasaan adalah akibat dari kamma masa lampau.

1348> Tentang “Dhamma yang terlihat langsung” (sandiṭṭhiko dhammo), baca juga 3:53-54.

1349> Lobhadhamma. Serupa dengan ini, persis di bawah, teks menuliskan dosadhammā dan mohadhammā. Mp mengemas sebagai “faktor-faktor yang berhubungan dengannya” (taṃsampayuttadhammā).

1350> Kāyasandosaṃ, diikuti oleh vacIsandosaṃ dan manosandosaṃ. Mp mengemas yang pertama sebagai kualitas buruk dalam pintu badan (kāyadvārassa dussanākāraṃ).

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #29 on: 19 May 2013, 07:33:12 PM »
1351> Kedua bhikkhu menyatakan, dalam cara yang berlawanan, pelenyapan ketiga modis keangkuhan seorang Arahant: keangkuhan lebih tinggi, keangkuhan lebih rendah, dan keangkuhan setara.

1352> Attho ca vutto attā ca anupanīto. Seperti pada 3:72, IV 218, 31, tampaknya terdapat permainan kata antara attho dan attā, “tujuan” dan “diri.”

1353> Mp mengemas ussesu sebagai orang-orang yang lebih tinggi, omesu sebagai orang-orang yang lebih rendah, dan samatte sebagai orang-orang yang setara, dengan menjelaskan: “Para Arahant tidak memposisikan diri mereka, melalui keangkuhan, sebagai lebih tinggi, lebih rendah, atau setara.”

1354> Sebuah paralel yang diperluas dari 5:24.

1355> Cetasā samphuṭṭapubbā te ca samudācaranti. Ungkapan ini tidak lazim. Mp hanya memberikan kemasan kata yang rutin.

1356> Pertanyaan dalam Pāli: kiṃadhippāyā, kiṃupavicārā, kiṃadhiṭṭhānā, kiṃabhinivasesā, kiṃpariyosāna.

1357> Saya bersama dengan Ce membaca sathādhiṭṭhānā, bukan seperti Be dan Ee satthādhiṭṭhānā, “senjata adalah penyokong mereka.” MP Tidak berkomentar, namun muslihat berhubungan dengan lebih baik dengan belantara, kegelapan, dan tidak terlihat.

1358> Akiñcaññābhinivesā. Mp menganggap ini berarti bahwa pikiran mereka berfokus pada keadaan tidak-menggenggam (niggahaṇabhāve).

1359> Mp tidak memberikan informasi tentangnya dan ia tidak muncul di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya.

1360> Mengherankan bahwa baik Mp maupun Mp-ṭ tidak menjelaskan mengapa Sang Buddha memanggil Dhammika sebagai brāhmaṇa. Ini mungkin tempat satu-satunya dalam Nikāya-Nikāya di mana Sang Buddha memanggil seorang bhikkhu sebagai seorang brahmana yang diikuti dengan nama pribadinya.

1361> Saya bersama Ce dan Be membaca pavattesi, bukan seperti Ee pātesi, “ditebang,” yang juga dituliskan sebagai variasi dalam Ce dan Be. Mp mengemas pavattesii sebagai parivattesi.

1362> Brahmalokasahavyatāya. Suatu ungkapan yang janggal, yang juga muncul pada DN 19.59, II 250, 20. SV II 670, 13-14 mengatakan: “’Ia mengajarkan jalan kepada para siswanya demi persahabatan dengan alam brahma’: yaitu, ia menjelaskan jalan menuju persahabatan dengan Brahmā di alam brahmā” (savakānañca brahmalokasahabyatāya maggaṃ desesī ti brahmaloke brahmunā sahabhāvāya maggaṃ kathesi).

1363> Ditthisampannaṃ. Seorang yang setidaknya adalah seorang pemasuk-arus.

1364> Brahmāli mengarahkan perhatian saya pada suatu catatan da;a, DOP (p. 744) untuk kata benda khanti 2, yang berarti “sakit, luka,” diduga diturunkan dari kata kerja khaṇati, “sakit, luka, rusak.” Kata ini bukanlah padanan Pāli dari Skt kṣanti (DOP khanti), “kesabaran” atau “penerimaan.” Mp mengemas khanti di sini sebagai “menggali moralitas seseorang” (attano guṇakhaṇanaṃ), tetapi DOP menunjukkan bahwa komentar cenderung mencampur-adukkan khaṇati 1, “luka,” dengan khaṇati 2, “menggali.” Padanan Skt dari khanti 1 mungkin adalah kṣhati, dari kṣaṇoti, “sakit, luka, cedera”; baca SED sv kshan.

1365> Ito bahiddhā. Yaitu, mereka yang di luar komunitas Buddhis.

1366> Ce na no āmasabrahmacārisu, Be na no samasabrahmacārisu, Ee na no sabrahmacārisu. DOP sv āma3 berarti “dalam atau dari rumah yang sama; bagian dari rumah yang sama” dan menuliskan āmasabrahmacāri(n) sebagai bermakna “seorang murid religius yang berasal dari rumah atau komunitas yang sama.” Akan tetapi, hal ini menjadikan paragraf ini sebagai satu-satunya referensi, dan kata ini tidak muncul di mana pun dalam Nikāya-Nikāya. Mp (Ce) menerima tulisan yang tidak lazim dan mengatakan: Na no āmasabrahmacārīsū ti ettha āmajano [Be: samajano] nāma sakajano vuccati. Tasmā na no sakesu samānabrahmacārīsu cittāni paduṭṭhāni bhavissantī ti ayamettha attho (“Terhadap teman-teman kami para bhikkhu dari rumah yang sama: Di sini, adalah orang-orang sendiri yang disebut ‘orang-orang dari rumah yang sama.’ Oleh karena itu maknanya di sini adalah: ‘Jangan ada pikiran kebencian terhadap teman-teman kami para bhikkhu.’”) kalimat ini muncul kembali pada 7:73, tetapi dengan sabrahmacārisu yang tidak diperkuat. Saya curiga bahwa bentuk penguatan yang terdapat dalam versi sutta ini dalam Ce dan adalah hasil dari kekeliruan dalam penyampaian masa lalu yang diterima sebagai otentik oleh para komentator. Oleh karena itu saya memperlakukan teks ini sebagai hanya sabrahmacārisu.

1367> Ini adalah Soṇa Koḷivīsa, yang dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terunggul di antara mereka yang membangkitkan kegigihan (baca 1:205). Syair-syairnya terdapat pada Th 632-44. Th 638-39 merujuk pada perumpamaan kecapi. Kisah Soṇa ini tampaknya merupakan versi panjang dari Vin I 179-85, di mana hal ini mengarah pada keputusan Sang Buddha mengizinkan para bhikkhu mengenakan sandal.

1368> Bersama dengan Ce dan Ee membaca: Viriyasamataṃ adhiṭṭhaha, indriyānaṃ ca samataṃpaṭivijjha, tattha ca nimittaṃ gaṇhāhi. Di mana Ce dan Ee menuliskan viriyasamataṃ, Be menuliskan vīriyasamathaṃ (tetapi persis di bawah, indriyānañca samataṃ). Mp (Ce) juga membaca viriyasamathaṃ dalam lema. Penjelasan dalam Mp tampaknya memdukung viriyasamathaṃ.

Mp: “Bertekadlah pada kegigihan yang seimbang: Bertekad pada ketenangan yang digabungkan dengan kegigihan (viriyasampayuttaṃ samathaṃ adhiṭṭhaha). Maknanya adalah, ‘Menghubungkan kegigihan dengan ketenangan.’ Capailah kesetaraan indria-indria spiritual: mempertahankan kesetaraan, keseimbangan indria-indria spiritual keyakinan, dan seterusnya. Ketika keyakinan dihubungkan dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan dihubungkan dengan keyakinan, ketika kegigihan dihubungkan dengan konsentrasi dan konsentrasi dihubungkan dengan kegigihan, maka keseimbangan indria-indria terjaga. Tetapi perhatian adalah berguna di segala tempat, maka harus selalu kuat … Tangkaplah objek di sana: ketika ada keseimbangan demikian, maka objek dapat muncul dengan jelas, bagaikan pantulan wajah seseorang pada cermin; dan engkau harus memegang (gaṇhāhi) objek ini – memunculkan (nibbattehi) objek ketenangan, pandangan terang, sang jalan, dan buah. Demikianlah Sang Buddha menjelaskan subjek meditasi kepadanya, yang menuntunnya menuju ke Kearahattaan.”

Paralel China atas paragraf ini memberikan tulisan yang sangat berbeda pada instruksi Sang Buddha, sebagai berikut: T I 612a28-29: “Oleh karena itu engkau harus membedakan saat ini (mungkinkah samataṃ telah berubah menjadi samayaṃ?), memeriksa tanda ini, dan jangan lengah” (MANDARIN); T II 62c17-18: “Oleh karena itu engkau harus berlatih dengan memegang [objek] secara seimbang; jangan melekat, jangan lengah, dan jangan mencengkeram tanda-tanda” (MANDARIN); T II 612b19-20: “Jika engkau dapat bertahan di tengah, maka ini adalah latihan tertinggi” (MANDARIN); T XXII 844c1-2 adalah yang paling dekat dengan Pāli: “Engkau harus menyeimbangkan kegigihanmu, menyeimbangkan indria-indriamu” (MANDARIN).

1369> Dalam Pāli: nekkhammādhimutto, pavivekādhimutto, abyāpajjhādhimutto, taṇhakkhayādhimutto, upādānakkhayādhimutto, asammohādhimutto. Mp mengatakan bahwa tiap-tiap ungkapan ini menyiratkan Kearahattaan.

1370> Karaṇīyaṃ attano asamanupassanto katassa vā paṭicayaṃ. Mp mengemas paṭicayaṃ sebagai “pertumbuhan melalui aktivitas berulang-ulang” (punappunaṃ karaṇena vaḍḍhiṃ).

1371> Sīlabbataparāmāsaṃ … sārato paccāgacchanto. Ungkapan ini biasanya merujuk pada praktik ekstrim dari mereka yang meyakininya sebagai inti dari pelatihan spiritual. Baca 3:78.

1372> Seluruh tiga edisi menyingkat tiga hal terakhir seperti yang dilakukan di sini.

1373> Vayañc’assānupassati. Mp: “Ia melihat muncul dan lenyapnya pikiran itu” (tassa c’esa cittassa uppādampi vayampi passati).

1374> Perumpamaan yang mengikuti terdapat juga di tempat-tempat lain juga pada MN 97.29, II 193,1-19, dan SN 35:87, IV 56,17-57,5.

1375> Ini berarti bahwa ia meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali.

1376> Saya mengikuti Be dan Ee, yang mana manfaat pertama, ke dua, ke tiga, ke empat, dan ke lima berasal dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat (kālena dhammasavane), yang ke tiga dan ke enam berasal dari memeriksa makna pada waktu yang tepat (kālena atth’upaparikkhāya). Ce menggabungkan keduanya pada hal ke tiga dan ke enam, yang kurang memuaskan, karena dalam kedua situasi ini bhikkhu itu tidak mendengarkan Dhamma.

1377> Anuttare upadhisaṅkhaye. Mp mengidentifikasikan hal ini sebagai nibbāna. Tentang perolehan (upadhi), baca p.1621, catatan 219.

1378> Chaḷabhijātiyo. Pūraṇa Kassapa adalah salah satu dari enam guru yang sezaman dengan Sang Buddha. Ini adalah tempat satu-satunya di mana ia dihubungkan dengan doktrin dari enam kelompok, yang tidak disebutkan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Dalam DN 2.17, I 52,22-53,4, ia digambarkan sebagai pencetus doktrin tidak-berbuat (akiriyavāda), tetapi pada SN 46:56, V 126,26-30, doktrin non-kausalitas (ahetukavāda) diduga berasal darinya.

1379> Bhikkhū kaṇṭakavuttikā. Maksud yang sebenarnya tidak dapat dipastikan, namun bernuansa merendahkan. Mp mengatakan bahwa mereka adalah para samaṇa.

1380> Nibbānaṃ abhijāyati. Mp: “Menghasilkan nibbāna: yaitu, ia mencapai nibbāna, atau ia terlahir ke dalam kelompok nibbāna yang terdapat dalam bidang para mulia” (nibbānaṃ abhijāyatīti nibbānaṃ pāpuṇāti, ariyabhūmisaṅkhātāya vā nibbānajātiyā jāyati). Penjelasan ini diberikan karena dalam istilah doktrin nibbāna, ajāta dan akata, “tidak dilahirkan” dan “tidak diciptakan,” adalah tanpa kelahiran atau produksi.

1381> Seperti pada 3:13, 4:85, tetapi di sini seluruh tiga edisi menempatkan nesādakule sebelum veṇakule.

1382> Dalam Pāli: āsavā saṃvarā pahātabbā, āsavā paṭisevaṇā pahātabbā, āsavā adhivāsanā pahātabbā, āsavā parivajjanā pahātabbā, āsavā vinodanā pahātabbā, āsavā bhāvanā pahātabbā.  Enam ini, yang didahului oleh “noda-noda yang harus ditinggalkan melalui melihat” (āsavā dassanā pahātabbā), dijelaskan secara terperinci dalam Sabbāsava Sutta (MN 2), di mana penjelasannya sama dengan yang diberikan di sini.

1383> Kalimat ini tidak ada dalam Be, tetapi muncul dalam Ce dan Ee mencantumkan paralelnya pada bagian tentang metode lain meninggalkan noda-noda.

1384> Namanya berarti “pedagang kayu apu.” Mo mengatakan bahwa ia diberi nama itu karena ia mencari penghidupannya dengan menjual kayu api.

1385> Ketiga kualitas yang ia sebutkan adalah praktik pertapaan (dhutaṅga). Di bawah hal ini dilawankan dengan praktik monastic bukan pertapaan: menetap di dekat desa, menerima undangan makan dari umat-umat awam untuk makan di rumah-rumah mereka, dan mengenakan jubah yang dipersiapkan oleh para perumah tangga.

1386> Mp mengatakan bahwa beberapa waktu kemudian, lima ratus bhikkhu yang mengunjungi keluarga-keluarga kembali kepada kehidupan awam. Ketika ia mendengar hal ini ia berkata, “Apa hubungannya hal itu denganku?” dan keyakinannya tidak goyah. Adalah untuk mengantisipasi hal ini maka Sang Buddha berkata kepadanya: “Ketika engkau memberi pemberian kepada Saṅgha, maka pikiranmu akan menjadi yakin.” Tentang jasa istimewa dari pemberian kepada Saṅgha, baca MN 142.7-8, III 255-56.

1387> Abhidhammakathaṃ kathenti. Mp menjelaskan ini sebagai “suatu pembicaraan yang berhubungan dengan Abhidhamma” (abhidhammamissakaṃ kathaṃ), tetapi saya menganggap abhidhammakathaṃ di sini hanya sebagai kata referensi. Tentang penggunaan ungkapan ini, baca p.1733, catatan 1086.

1388> Kathaṃ opāteti (seperti pada Ce dan Be; Ee menuliskan bentuk aoris opātesi). Mp: “Ia menyela diskusi mereka dan memberikan penjelasannya sendiri” (tesaṃ kathaṃ vicchinditvā attano kathaṃ katheti).

1389> Gopāsū. Saya menerjemahkan dengan mengikuti Mp: gāvo ca ajikā ca.

1390> Sippisambuka. PED menyarankan “”tiram” untuk sippi, tetapi tiram adalah binatang laut. Terjemahan saya dimaksudkan untuk menghindari kesulitan.

1391> Animittaṃ cetosamādhiṃ. Mp: “Segala gambaran adalah semua gambaran itu seperti kekekalan dan sebagainya. Konsentrasi pikiran tanpa gambaran adalah konsentrasi pandangan terang kuat (balavipassanāsamādhiṃ).”

1392> Sarissati nekkhammassa. Mp: “Ia akan mengingat keluhuran dari meninggalkan keduniawian.”

1393> Mp menjelaskan bahwa Citta kembali ke kehidupan awam sebanyak tujuh kali dan meninggalkan keduniawian sebanyak tujuh kali. Alasan dari ketidak-mantapannya adalah bahwa pada masa Buddha Kassapa ia telah membujuk seorang bhikkhu untuk kembali kepada kehidupan awam. Oleh karena itu, walaupun ia memiliki kondisi-kondisi yang mendukung untuk tercapainya Kearahattaan, tetapi karena kamma itu maka ia harus bolak-balik sebanyak tujuh kali antara kehidupan awam dan kehidupan monastic sebelum mencapai Kearahattaan.

1394> Sn 1042. nama dari murid brahmana ini adalah Tissa Metteya. Tentang Parāyana, baca p.1639, catatan 367.

1395> Majjhe mantā na lippati. Mp mengemas mantā sebagai paññā, menganggapnya sebagai bentuk kata benda berjenis perempuan. Dalam hal ini Mo mengikuti Nidd II 10,12, yang mengemas mantā seolah-olah kata bantu berjenis perempuan yang  terpotong: majjhe mantāya na lippati. Akan tetapi, saya pikir, mantā adalah bentuk kata benda pelaku mantar, “seorang pemikir, seorang bijaksana.” tentang bentuk ini, baca Norman 2006b:190-91.

1396> Mp menjelaskan: “Kontak (phassa) pada ujung pertama adalah penjelmaan individu seseorang (attabhāva), yang dihasilkan melalui kontak. Asal-mula kontak (phassasamudaya), ujung ke dua, adalah penjelmaan masa depan, yang dihasilkan dengan kontak kamma yang dilakukan dalam penjelmaan sekarang sebagai kondisinya. Lenyapnya kontak (phassanirodha) adalah nibbāna. Nibbāna dikatakan sebagai di tengah karena memotong ketagihan, si perempuan penjahit, menjadi dua.” Pendapat saya, akan lebih masuk akal untuk melihat phassanirodha di sini, bukan sebagai nibbāna, melainkan sebagai lenyapnya kontak di ujung penjelmaan pertama. Kemudian ketagihan menjadi perempuan penjahit karena menghubungkan kontak dari penjelmaan sebelumnya dengan munculnya kontak awal pada permulaan penjelmaan baru.

1397> Mp: “Apa yang harus diketahui secara langsung (abhiññeyyaṃ) adalah empat kebenaran mulia; apa yang harus dipahami sepenuhnya (pariññeyyaṃ) adalah pasangan kebenaran-kebenaran duniawi (penderitaan dan asal-mulanya). Dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan lingkaran; ia menghentikannya dan melenyapkannya.”

1398> Mp: “Kesadaran – baik kesadaran kelahiran kembali maupun jenis lainnya – dikatakan sebagai di tengah karena muncul sebagai kondisi bagi nama dan bentuk.”

1399> Mp: “kesadaran kamma adalah di tengah; atau di sini, karena kamma dimasukkan oleh landasan pikiran di antara landasan-landasan internal, segala jenis kesadaran adalah di tengah; atau kesadaran javana adalah bergantung pada landasan internal – karena [bergantung pada] pengalihan di pintu-pikiran – karenanya maka dikatakan sebagai di tengah.”

1400> Mp: “Eksistensi diri (sakkāya) adalah lingkaran penjelmaan dengan tiga alamnya. Asal-mula eksistensi diri adalah kebenaran asal-mula; lenyapnya eksistensi diri adalah kebenaran lenyapnya.” Sekali lagi, saya menginterpretasikan hal ini seperti yang saya lakukan pada penyajian pertama: eksistensi diri adalah penjelmaan sekarang; asal-mula eksistensi diri adalah munculnya penjelmaan berikutnya; lenyapnya eksistensi diri adalah lenyapnya penjelmaan sekarang. Dan ketagihan, karena menghasilkan kelahiran kembali, menjahit penjelmaan masa depan pada penjelmaan sekarang.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #30 on: 19 May 2013, 07:33:33 PM »
1401> Dalam paralel China atas sutta ini, SĀ 1164 (T II 310b20-311a2), para bhikkhu mengusulkan hanya lima interpretasi atas syair ini: (1) enam landasan internal, enam landasan eksternal, dan perasaan; (2) masa lalu, masa depan, dan masa sekarang; (3) kenikmatan, kesakitan, dan bukan kesakitan juga bukan kenikmatan; (4) penjelmaan, asal-mulanya, dan perasaan; (5) identitas dan asal-mulanya (kata pertengahan tidak ada). Ketika mereka bertanya kepada Sang Buddha, Beliau menjelaskan syair ini dalam hal kontak, asal-mulanya, dan perasaan. Syair dalam China tidak memiliki kata yang bersesuaian dengan mantā dalam Pāli.

1402> Di sini saya mengikuti syair uddāna dari Be. Versi Ce tidak jelas bagi saya.

1403> Seperti pada 6:44, III 348,9-10. tampaknya ini adalah cara Ānanda untuk menegaskan bahwa Sang Buddha telah mengatakan sesuatu tanpa memberikan interpretasi atas pernyataan itu.

1404> Kathañhi nāma yaṃ mayā ekaṃsena byākataṃ tattha dvejjhā apajjissati. Pernyataan Sang Buddha di sini adalah cara pertama dalam menjawab pertanyaan, yaitu, dengan membuat penegasan tegas. Tentang empat cara menjawab pertanyaan, baca 3:67, 4:42.

1405> Vālaggakoṭinittudanamattampi sukkadhammaṃ. Mp: “suatu jumlah yang dapat terlihat diujung sehelai rambut; atau suatu jumlah yang dapat diambil dengan ujung sehelai rambut.”

1406> Ce dan Ee menuliskan vibhajantassa, bukan seperti Be vibhajissāmi, yang dicatat oleh Ee sebagai suatu variasi dari naskah Burma. Tulisan Be tampaknya suatu normalisasi, tetapi kaerna tulisan Ce/Ee membiarkan kalimat itu secara tata bahasa tidak lengkap, maka saya mengikuti Be. Bentuk jamak -ñāṇāni terdapat dalam teks, dan dengan demikian saya menggunakan bentuk jamak ‘pengetahuan-pengetahuan” walaupun terdengar janggal dalam Bahasa Inggris.

1407> Saya bersama dengan Ce membaca kusalamūlā, bukan seperti Be dan Ee kusalā.

1408> Abhidose addharattaṃ bhattakālasamaye. DOP sv addha mendefinisikan addharattaṃ sebagai “tengah malam.” Tentang bhattakālasamaye, Mp mengatakan “waktu untuk makan pada sidang kerajaan” (rājakulānaṃ bhattakālasaṅkhāte samaye). Mungkin pada masa Sang Buddha sidang kerajaan mengakhiri harinya dengan makan tengah malam.

1409> Nibbedhikapariyāyaṃ vo bhikkhave dhammapariyāyaṃ desessāmi. Mp: “Suatu penjelasan yang menembus adalah penjelasan yang menembus dan memecahkan kumpulan keserakahan, [kebencian, dan delusi] yang belum ditembus dan belum dipecahkan sebelumnya.”

1410> Teks berselang-seling antara bentuk tunggal dan jamak dari kamma. Saya menggunakan bentuk tunggal, yang terdengar lebih wajar dalam Bahasa Inggris.

1411> Berlawanan dengan seluruh tiga edisi, saya menganggap kemunculan pertama dari saṅkapparāgo purisassa kāmo sebagai prosa atau satu baris dari syair terkenal yang dikutip dalam prosa. Syair berikutnya adalah syair normal empat baris bukan syair lima baris. Baca SN 1:34, I 22, di mana syair ini muncul dalam hanya empat baris. Mp menjelaskan saṅkapparāgo sebagai “nafsu yang muncul melalui kehendak” (saṅkappavasena uppannarāgo). Kāmasaṅkappo adalah salah satu dari tiga jenis pemikiran tidak bermanfaat, dan jelas dari konteksnya bahwa ini adalah apa yang dimaksudkan. Untuk pembahasan lebih lanjut, baca CDB 366, catatan 72. syair ini tidak terdapat dalam paralel China, MĀ 111.

1412> Mp menjelaskan ini sebagai kontak yang berdampingan (sahajātaphassa).

1413> Mp: “Seseorang yang menginginkan kenikmatan indria surgawi, dengan memenuhi perilaku baik, terlahir kembali di alam deva [dan memperoleh] eksistensi diri yang merupakan kosekuensi dari kebaikan. Dengan melakukan perbuatan buruk, seseorang terlahir kembali di alam sengsara [dan memperoleh] eksistensi diri yang merupakan konsekuensi dari keburukan.”

1414> Sehubungan dengan frasa terakhir, Mp mengatakan bahwa ini adalah kehidupan spiritual sang jalan (brahmacariyasaṅkhāto maggo va) yang disebut lenyapnya kenikmatan indria. Akan terlihat bahwa masing-masing bagian mengikuti pola empat kebenaran mulia, dengan dua penambahan: keberagaman (vemattatā) dan akibat (vipaka).

1415> Sāmisā. Mp: “Berhubungan dengan umpan kekotoran” (kilesāmisasampayuttā).

1416> Vohāravepakkaṃ saññaṃ vadāmi. Mp: “Ungkapan, yang terdapat dalam pembicaraan, adalah akibat dari persepsi.”

1417> Cetanā ‘ham bhikkhave kammaṃ vadāmi. Ini mungkin harus dipahami sebagai bermakna bahwa kehendak adalah faktor yang diperlukan dalam menciptakan kamma, bukan bahwa kehendak adalah selalu dan dalam semua kasus akan menciptakan kamma. Dengan demikian ini dapat dilihat sebagai suatu lawan dari posisi Jain bahwa segala perbuatan, bahkan yang tidak disengaja, akan menciptakan kamma. Paralel China, MĀ 111, pada T I 600a23-24, mengatakan: “Bagaimanakah seseorang memahami kamma? Ada dua jenis kamma: kehendak dan kamma [yang tercipta] ketika seseorang telah berkehendak” (MANDARIN).

1418> Pernyataan ini harus dipahami dalam makna bahwa akibat kamma dialmi dalam alamnya masing-masing.

1419> Baca p. 1639, catatan 372, dan p. 1666, catatan 547. Paralel China, MĀ 111 di sini mencantumkan empat perbedaan kamma yang terdapat dalam 4:232-33. Tetapi MĀ 15 (pada T I 437b26) membicarakan hanya dua jenis akibat, dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan mendatang, tanpa alternatif ke tiga.

1420> Ini mungkin harus dipahami dalam makna bahwa, karena kontak adalah kondisi bagi kehendak dan kamma dapat dijelaskan sebagai kehendak, oleh karena itu maka kontak adalah kondisi bagi kamma.

1421> Ko ekapadaṃ dvipadaṃ jānāti imassa dukkhassa nirodhāya. Mp: “Maknanya adalah: ‘Siapakah yang mengetahui mantra, mantra satu kata atau dua kata?’” paralel China pada T I 600b17-18 menggunakan karakter (MANDARIN), yang berarti “mantra”.

1422> Mengherankan bahwa hanya enam kekuatan Tathāgata yang disebutkan di sini. Biasanya, sepuluh kekuatan Tathāgata dicantumkan (diidentifikasikan sebagai ñāṇabalāni, kekuatan-kekuatan pengetahuan). Dalam AN kesepuluh ini terdapat pada 10:21. Juga terdapat pada MN 12.9-20, I 69-71, dan dianalisis pada Vibh 335-44 (Be §§809-31).

1423> Beberapa contoh dari apa yang mungkin (ṭhāna) dan apa yang tidak mungkin (aṭṭhāna) terdapat pada 1:268-95; MN 115.12-19, III 64-67; dan Vibh 335-38 (Be §809).

1424> Thānaso hetuso. Mp menjelaskan apa yang mungki (ṭhāna) sebagai kondisi (paccaya). Memgikuti Vibh 338-39 (Be §810), menganggap hal ini sebagai pengetahuan atas kondisi-kondisi bagi kamma untuk menghasilkan akibat sehubungan dengan empat faktor baik yang memperkuat atau pun melemahkan matangnya: alam (gati, tempat kelahiran kembali seseorang), perolehan (upadhi, jasmani dan batin seseorang), waktu (kāla), dan usaha (payoga). Penyebabnya (hetu) adalah kamma itu sendiri.

1425> Empat jhāna banyak terdapat dalam Nikāya-Nikāya. Delapan pembebasan (vimokkha) terdapat pada 8:66. Tiga jenis konsentrasi (samādhi) terdapat pada 8:63: konsentrasi dengan pemikiran dan pemeriksaan, tanpa pemikiran namun hanya dengan pemeriksaan, dan tanpa peikiran dan tanpa pemeriksaan. Sembilan pencapaian meditatif (samapatti) adalah sama dengan sembilan kediaman bertahap (anupubbavihārā) pada 9:32. Kekotoran (saṃkilesa) adalah kualitas yang mengarah pada kemerosotan; pembersihan (vodāna) adalah kualitas yang mengarah pada keluhuran; dan keluar dari (vuṭṭhāna), menurut Vibh 342-43 (Be §28), adalah pembersihan dan keluarnya itu sendiri. “Pembersihan” di sini berarti bahwa kemahiarn dalam jhāna-jhāna yang lebih rendah adalah landasan bagi jhāna berikutnya yang lebih tinggi; “keluarnya itu sendiri” berarti keluar dari jhāna.

1426> Ce dan Be menunjukkan, dengan menggunakan titik-titik penghilangan, bahwa tiga bagian terakhir harus diperluas secara lengkap, seperti pada 6:2. Untuk mempermudah pembacaan, saya menyajikan bagian-bagian tanpa penghilangan frasa-frasa umum.

1427> Komentar Abhidhamma, seperti 239,25 – 240,2 (Be §362), menjelaskan rūparāga sebagai “keinginan dan nafsu pada penjelmaan [alam]-berbentuk” (rūpabhave chandarāgo) dan arūparāga sebagai “keinginan dan nafsu pada penjelmaan [alam]-tanpa-bentuk” (arūpabhave chandarāgo). Walaupun kata “nafsu” tampak kuat sehubungan dengan alam-alam penjelmaan halus ini, saya merasa lebih bermanfaat untuk menerjemahkan rāga secara konsisten.

1428> Cittassa nimittaṃ. Mp: “Objek konsentrasi pikiran dan pandangan terang, aspek konsentrasi dan pandangan terang” (samādhivipassanācittassa nimittaṃ samādhivipassanākāraṃ). Mp jelas menginterpreasikan hal ini melalui kedua makna kata nimitta, sebagai objek dan sebagai “gambaran” atau aspek.

1429> Tatra tatra, Lit. “di sana [dan] di sana.” Mp: “Keadaan keluhuran ini dan itu” (tasmiṃ tasmiṃ visese). Mp mengemas āyatane sebagai kārane (“penyebab”), tetapi baca p. 1669, catatan 562. tentang empat pertama dari enam fator, baca 4:179.

1430> Mp: “Keangkuhan (māna) adalah menganggap diri sendiri [sebagai lebih baik] berdasarkan kelahiran, dan sebagainya. Sikap rendah-diri (omāna) adalah keangkuhan, ‘aku lebih rendah’ (hīno’ham asmī ti māna). Kesombongan (atimāna) adalah keangkuhan meninggikan diri sendiri. Menilai diri sendiri terlalu tinggi (adhimāna) adalah membayangkan diri sendiri telah mencapai [apa yang sebenarnya belum ia capai]. Sifat keras kepala (thambha) adalah karena kemarahan dan keangkuhan. Merendahkan diri sendiri (atinipāta) adalah keangkuhan ‘aku lebih rendah’ yang muncul pada seorang yang memang lebih rendah.”

1431> Ālokabahulo. Mp: “Ia berkelimpahan cahaya pengetahuan” (ñāṇālokabahulo).

1432> Mp: “Pikiran yang harus ditekan (niggahetabbaṃ) oleh konsentrasi pada saat muncul kegelisahan; harus dikerahkan oleh kegigihan pada saat jatuh ke dalam kelambanan; harus didorong (paggahetabbaṃ) dengan konsentrasi pada saat kelesuan; dan harus dilihat (ajjhupekkhitabbaṃ) dengan faktor pencerahan keseimbangan ketika berlangsung secara seimbang.” Aspek-aspek pengembangan pikiran ini dibahas secara terperinci pada Vism 130-35, Ppn 4.51-64.

1433> Baca 3:22, 5:151-53, p.1638, catatan 358, dan p. 1739, catatan 1150.

1434> Mp: “Halangan oleh kamma (kammāvaraṇatā) terjadi melalui lima perbuatan berat dengan akibat segera (baca 6:87). Halangan oleh kekotoran (kilesāvaraṇatā) terjadi melalui pandangan salah dengan akibat pasti (yaitu, pandangan salah yang berat dengan menyangkal bekerjanya kamma). Halangan oleh akibat (vipakāvaraṇatā) adalah suatu akibat kelahiran kembali yang tidak bermanfaat atau akibat kelahiran kembali yang bermanfaat yang tanpa akar.” Kedua jenis kesadaran kelahiran kembali ini adalah tanpa akar kebijaksanaan dan dengan demikian seseorang yang terlahir kembali melaluinya adalah tidak mampu mencapai sang jalan. Seseorang yang terlahir kembali degan dua akar kesadaran kelahiran kembali, tanpa akar kebijaksanaan, juga tidak dapat mencapai sang jalan. Tentang peran kesadaran kelahiran kembali. Baca CMA 179, 194-95. jenis keinginan (chanda) yang diperlukan adalah keinginan yang bermanfaat, keinginan untuk melakukan kebaikan (kattukamyatāchandaṃ).

1435> Saya mengikuti Be, yang tidak mencantumkan pi di sini, tidak seperti Ce dan Ee, yang menuliskan pi. Dalam paralel sebagian 5:151-53, Ce dan Ee tidak mencantumkan pi. Tampaknya maknanya menuntut agar pi seharusnya tidak dimasukkan; karena adalah ketika mendengarkan Dhamma sejati maka ia dapat berharap seseorang memasuki sang jalan. Hal yang sama berlaku pada 6:87 dan 6:88 persis di bawah.

1436> Atthaṃ riñcati. Mp: “Ia membuang manfaat pertumbuhan” (vaḍḍhiatthaṃ chaddeti). Mp menjelaskan attha di sini dalam makna etis, sebagai baik atau bermanfaat. Akan tetapi, karena kata ini digunakan sehubungan dengan seseorang yang mendengarkan ajaarn, maka tampaknya lebih mungkin bahwa makna semantiknya – yaitu, “arti” – yang dimaksudkan. Dengan demikian attha adalah makna yang benar dari penjelasan ini, sedangkan amattha adalah makna keliru yang diakibatkan oleh kesalahan interpretasi.

1437> Kata khanti, biasanya bermakna “kesabaran,” digunakan sehubungan dengan praktik kontemplasi untuk tujuan kepercayaan atau pendirian sesorang. Saya mendasarkan penambahan dalam tanda kurung di sinin pada kemasan Mp, sāsanassa anulomikāya, “tidak selaras dengan ajaran.”

1438> Diṭṭhisampadaṃ. Mp: “Jalan memasuki-arus” (sotāpattimaggaṃ).

1439> Anāgamanīyaṃ vatthuṁ paccāgantuṃ. Mp menjelaskan bahwa ia tidak mampu atas lima permusuhan (yaitu, pelanggaran lima sīla) dan mengadopsi enam puluh dua pandangan spekulatif.

1440> Mp: “’Penjelmaan ke delapan’ berarti bahwa ia tidak dapat menjalani kelahiran kembali ke delapan di alam indria.”

1441> Ce dan Be ānantariyaṃ  kammaṃ; Ee anantariyaṃ kammaṃ. Anehnya, walaupun kata ini umumnya muncul dalam penjelasan doktrin Buddhisme, namun suatu pencarian dalam CST 4.0 menghasilkan hanya satu kemunculan dalam keseluruhan Sutta Piṭaka, yaitu, dalam sutta ini. Ungkapan ini juga muncul dalam Vinaya Piṭaka, tetapi hanya satu kali, dalam kisah Devadatta pada Vin II 193,37. Suatu āṅantariya kamma dipahami sebagai perbuatan buruk yang berat yang pada kelahiran yang persis berikutnya pasti menghasilkan kelahiran kembali di neraka. Lima perbuatan yang merupakan jenis kamma ini disebutkan pada 5:129, 6:87, dan persis di bawah pada 6:94.

1442> Ito bahiddhā dakkhiṇeyyaṃ gavesituṃ. Yaitu, tidak mampu mencari orang yang memiliki pencapaian mulia di luar ajaran Buddha.

1443> Aññaṃ satthāraṃ uddisituṃ. Yaitu, mengandalkan orang lain selain Sang Buddha sebagai guru spiritual tertingginya.

1444> Sammattaniyāmaṃ okkamissati. Sammattaniyāmaṃ jelas merupakan bentuk singkat dari niyāmaṃ kusalesu dhammesu sammattaṃ, tentang ini baca p.1638, catatan 358, dan p.1739, catatan 1150.

1445> Sabbasaṅkhāresu anodhiṃ karitvā aniccasaññaṃ upaṭṭhāpetuṃ. Mp: “Tidak terbatas: tanpa menetapkan batasan sebagai berikut: ‘hanya fenomena-fenomen terkondisi ini, tetapi bukan yang lain, yang tidak kekal.’”

1446> Ce dan Ee menuliskan gacchanti, tetapi makna masa depan (yang disampaikan melalui bentuk ini) tampaknya yang dimaksudkan di sini. Be menuliskan gacchissanti, mungkin suatu bentuk masa depan yang baru.

1447> Saya bersama Be dan Ee membaca bhavissāmi, tidak seperti Ce bhavissati.

1448 > Sabbaloke atammayo bhavissāmi. Mp: “Identifikasi (tammayo) adalah ketagihan dan pandangan; tanpa-identifikasi (atammayo) adalah ketiadaannya.”

1449> Sebuah enam campuran, yang tersusun dari dua triad.

1450> Sebuah enam campuran lainnya.

1451> Paṇṇāsakātirekā vaggā. Ini adalah judul umum yang diberikan Ce untuk ketiga bab tambahan ini, yang diberi nomor 1, 2, dan 3. Ee memberikan judul Paṇṇāsasaṅgahito vagga, “bab yang termasuk dalam kelompok Lima Puluh” (?). Be tidak memberikan judul pada bab-bab tambahan, namun memberikan nomor 11, 12, dan 13 berturut-turut pada vagga-vagga terdahulu dalam nipāta ini.

1452> Mulai dari sini dan seterusnya tidak ada syair-syair Uddāna yang dapat dijadikan judul sutta. Oleh karena itu saya mengadopsi judul dari Ce.

1453> Sering dianggap bahwa rangkaian sutta-sutta ini membuktikan sejumlah besar Arahant awam pada masa Sang Buddha. Akan tetapi, hal ini adalah kesalahpahaman. Karena kita mengetahui dalam daftar ini bahwa Anāthapiṇḍika, Pūraṇa (atau Purāṇa), dan Isidatta, mereka semuanya terlahir kembali di surga Tusita (baca 6:44 dan MN 143.16, III 262,1). Kita juga mengetahui bahaw Ugga dari Vesālī, yang dikataan (pada 5:44) telah terlahir kembali di antara para dewata ciptaan pikiran, dan Hatthaka, yang dikatakan (pada 3:127) telah terlahir kembali di surga Aviha di alam murni. Kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan umat-umat awam ini adalah penggambaran atas para mulia dari tingkat memasuki-arus dan seterusnya. Mereka semua memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan (aveccappasāda) pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, telah “mencapai kepastian tentang Sang Tathāgata” (tathāgate niṭṭhaṅgata) dan mereka yang melihat nibbāna, keabadian (amataddasa). Baca 10:63, di mana kepastian tentang Sang Buddha, dimiliki oleh para siswa pada tingkat yang lebih rendah dari Kearahattaan. Pernyataan bahwa orang-orang ini memiliki kebebasan mulia (ariyena vimuttiyā) adalah tidak lazim, tetapi Mp mengemasnya dengan “melalui kebebasan buah dari mereka yang masih berlatih” (sekha phalavimuttiyā). Formula yang sangat berbeda dengan yang digunakan untuk menggambarkan seorang Arahant. Dalam Nikāya-Nikāya tidak tercatat kasus-kasus umat awam yang mencapai Kearahattaan dan kemudian tetap melanjutkan kehidupan awam. Mereka yang mencapainya segera memasuki kehidupan tanpa rumah segera setelah pencapaian mereka, seperti Yasa pada Vin I 17,1-3.

1454> Jumlah total sutta-sutta dalam rangkaian pengulangan ini dihitung dengan cara mengambil sepuluh cara perlakuan (dari pengetahuan langsung” hingga “terlepasnya”) sehubungan dengan tujuh belas kekotoran (dari nafsu hingga kelengahan); ini menjadikan 170. karena masing-masing cara perlakuan dicapai dengan mengembangkan satu atau lain cara dari tiga kelompok enam, ini menjadikan total 510 sutta.


 

anything