//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: A History of Mindfulness  (Read 52573 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #15 on: 14 April 2013, 08:42:52 PM »
Kasus lain yang menarik adalah dalam dua karya Pali tentang penafsiran tekstual, Netti dan Peṭakopadesa. Kedua karya ini menganggap empat kebenaran mulia sebagai kunci dan inti dispensasi Sang Buddha, dengan menunjuk semua ajaran lain kembali padanya. Peṭakopadesa dengan eksplisit menghubungkan Dhammacakkappavattana Sutta dan aṅga-aṅga:

Antara malam pencerahan-Nya dan malam Parinibbāna-Nya tanpa kemelekatan, apa pun yang diucapkan oleh Yang Dirahmati – sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, vedalla – semua yang adalah Roda Dhamma (dhammacakka) yang diputar. Tidak ada dalam ajaran Sang Buddha, Yang Dirahmati, di luar Roda Dhamma. Dalam semua sutta-Nya, dhamma yang mulia seharusnya dicari. Dalam pengertian ini terdapat lima hal yang berakhir dengan “cahaya”.[30]

Karya-karya ini disusun pada suatu masa ketika kanon lebih kurang terorganisasi seperti sekarang, dengan menunjuk bagian-bagian demikian seperti “Saṁyutta Nikāya”, dst., dan menggunakan istilah khusus Abhidhamma. Peṭakopadesa menyebutkan aṅga yang berunsur sembilan hanya dua kali,[31] Netti tidak sama sekali. Ini sedikit mengherankan bagi karya-karya yang menjelaskan dalam sangat panjang bagaimana menganalisis kotbah-kotbah.

Peṭakopadesa memperlakukan sutta sangat luas, mencakup semua ajaran. Salah satu dari tujuan utama karya itu adalah untuk menjelaskan berbagai prinsip dengan cara mana suatu kotbah dapat ditafsirkan dengan ajaran-ajaran yang ditemukan dalam kotbah-kotbah lain. Setelah menjelaskan beberapa prinsip demikian, ia sering kali mengatakan bahwa gāthā-gāthā seharusnya ditaksir dengan gāthā-gāthā, vyākaraṇa-vyākaraṇa seharusnya ditaksir dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa.[32] sementara ia tidak eksplisit, ini terlihat sepertinya tiga aṅga pertama, walaupun kata aṅga tidak digunakan; gāthā adalah sebuah sinonim untuk geyya, dan geyya sering dijelaskan sebagai “dengan gāthā-gāthā”. Pengelompokan yang sama muncul dalam Netti, walau hanya sekali.[33]

Tidak segera jelas apa yang bacaan Peṭakopadesa maksud. Mungkin, seperti yang dinyatakan terjemahan Nanamoli, bacaan itu mengatakan bahwa sutta, keseluruhan ajaran, dapat dibagi ke dalam syair (gāthā) dan prosa (vyākaraṇa). Ini didukung oleh pernyataan seperti: “Namun demikian, sampai pada poin ini, seluruh sutta – apakah gāthā atau vyākaraṇa – tidak [dikutip].”[34] Tetapi ini tidak mencerminkan makna awal aṅga-aṅga sangat dekat. Perlakuan gāthā dan vyākaraṇa sebagai bagian dari sutta mengingatkan pada perlakuan Asaṅga atas geyya dan vyākaraṇa yang disebutkan di atas. Ini dengan jelas berasal dari suatu masa ketika cakupan sutta telah diperluas dari pengertian satu bagian dari ajaran menjadi pengertian semua ajaran.

Terdapat setidaknya satu bacaan yang lebih dekat pada penggunaan kita, dan bahkan melibatkan saṁyutta mātikā. Peṭakopadesa menjelaskan enam “jalan masuk” (otaraṇa, lebih banyak tentang ini di bawah) – kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, alat indera, kemampuan-kemampuan, kebenaran-kebenaran, kemunculan bergantungan – dan mengatakan bahwa “tidak ada sutta atau gāthā atau vyākaraṇa di mana satu atau yang lainnya dari enam dhamma ini tidak kelihatan.”[35] Ñāṇamoli menerjemahkan bacaan ini dengan berbeda, dengan mengatakan “tidak ada Benang [sutta], apakah syair [gāthā] atau pemaparan prosa [vyākaraṇa]...”[36]. Ini dapat dibenarkan mempertimbangkan penggunaan yang lebih dari biasanya dari tiga istilah ini dalam teks ini seperti yang telah kita catat di atas, tetapi edisi Peṭakopadesa saya memiliki “suttaṁ vā gāthā vā byākaraṇaṁ vā.” Mempertimbangkan kerusakan teks yang sangat buruk, tidak bijaksana untuk membuat terlalu banyak rincian demikian. Tetapi penyebutan-penyebutan ini menyatakan bahwa Peṭakopadesa mengingat suatu masa ketika teks-teks, yang semuanya merupakan penjelasan dari kotbah pertama, terdiri dari sutta-sutta, gāthā-gāthā, dan vyākaraṇa-vyākaraṇa yang berhubungan dengan topik-topik dari saṁyutta mātikā.

Urutan dari tiga aṅga pertama hampir selalu tetap, sedangkan faktor-faktor yang belakangan menunjukkan banyak variasi dalam isi dan urutan.[37] Ini adalah petunjuk lain bahwa tiga pertama adalah lebih awal. Sebagai contoh Vinaya Dharmaguptaka memberikan daftar Kśudraka Āgama (tidak ada lagi) sebagai: jātaka, itivuttaka, nidāna, vedalla, abbhūtadhamma, avadāna, upadeśa, aṭṭhakavagga, dhammapāda, pārāyana (? meragukan, mungkin “berbagai masalah”), uragavagga. Ini adalah suatu percampuran dari aṅga-aṅga yang belakangan dengan isi yang ada dari Khuddaka Nikāya Theravāda, termasuk beberapa bagian yang sekarang dimasukkan dalam Sutta Nipāta.

Jadi tiga aṅga pertama adalah yang paling awal, atau setidaknya adalah yang pertama dikembangkan sebagai kanonik, sedangkan aṅga-aṅga berikutnya perlahan-lahan diperluas. Namun, tidak semua jelas persis apa yang mereka tunjukkan. Di sini sedikit penyelidikan dibutuhkan.

Sebagai salah satu dari tiga aṅga, sutta bermakna hanya  satu bagian dari ajaran dan tidak dapat menjadi istilah umum untuk semua kotbah, seperti yang ia maksudkan belakangan. Makna akar sutta adalah “benang”, dan ini secara menyolok digunakan dalam pengertian kiasan seutas benang di mana manik-manik diuntai. Saya pikir sutta sebagai sebuah aṅga mencerminkan kiasan ini dan bermakna “pernyataan ajaran dasar”. Ini mirip dengan makna dalam konteks Brahmanis dan Jain. Sebuah gema dari makna ini bertahan dalam Vinaya. Kumpulan aturan yang membentuk Pāṭimokkha disebut, dalam Pāṭimokkha itu sendiri, sutta. Analisis terperinci dari aturan-aturan itu disebut sutta vibhaṅga (“analisis dari sutta”). Bahan vibhaṅga ini secara gaya mirip dengan Vibhaṅga Abhidhamma dan mungkin berasal dari periode yang sama.

Risalah awal tentang metode tafsir, Netti, memberikan suatu penjelasan yang aneh untuk kata sutta dalam empat rujukan besar, yang diajarkan oleh Sang Buddha sesaat sebelum Beliau wafat.[38] Rujukan besar ini menyatakan bahwa jika bhikkhu, guru, silsilah, atau tradisi mana pun, betapa pun terpelajarnya dan terhormatnya, membuat pernyataan apa pun tentang Dhamma, pernyataan itu harus dengan hati-hati dibandingkan dengan Sutta-Sutta dan Vinaya untuk memastikan apakah ini dapat diterima sebagai ajaran Sang Buddha, atau seharusnya ditolak. Sekarang dalam Netti, sebagai suatu karya yang didedikasikan pada analisis kesusasteraan dan tekstual, kita akan mengharapkan bahwa sutta di sini akan dijelaskan sebagai Sutta Piṭaka. Tetapi tidak – sutta dijelaskan sebagai empat kebenaran mulia.[39] Ini adalah, tentu saja, isi ajaran utama dari Dhammacakkappavattana Sutta, dan saya yakin kita memiliki suatu relik dari suatu makna awal dari sutta: pernyataan-pernyataan ajaran dasar, khususnya kotbah pertama. Saya pikir Netti terutama di sini, dan bahwa ketika Sang Buddha mengatakan pada kita untuk mengambil sutta-sutta sebagai otoritas kita dalam menentukan apa yang sebenarnya diucapkan Sang Buddha, Beliau bermaksud terutama kotbah-kotbah inti yang sekarang ditemukan dalam bagian-bagian utama Saṁyutta.

Aṅga kedua, geyya, lebih sedikit sulit ditafsirkan. Ini secara konsisten dianggap sebagai campuran prosa dan syair, dan Yogacārabhūmiśāstra dan komentar Theravāda mengidentifikasinya dengan Sagāthāvagga dari Saṁyutta Nikāya. Tetapi, terdapat geyya-geyya yang ditemukan di luar kumpulan ini juga, termasuk sedikit dalam saṁyutta-saṁyutta yang bersifat ajaran.

Kata vyākaraṇa[40] berarti “jawaban” (ia juga dapat berarti “tata bahasa” dan “ramalan”, tetapi makna-makna ini tidak berlaku di sini). Ia terutama digunakan dalam pengertian suatu jawaban yang bersifat penjelasan pada sebuah pertanyaan ajaran.[41] Makna dari vyākaraṇa sangat jelas dalam Abyākata-saṁyutta, saṁyutta tentang “pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab”, apa yang tidak dapat “di-vyākaraṇa-kan”. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab, tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah Tathāgata ada setelah kematian” dan lain sebagainya. Tetapi apa yang dinyatakan (vyākata) Sang Buddha adalah empat kebenaran mulia.[42] Ini sendiri menyatakan bahwa kita mencari vyākaraṇa-vyākaraṇa dalam Saṁyutta, kumpulan yang dibangun pada tangga empat kebenaran mulia. Beberapa kotbah menyajikan kita dengan suatu rangkaian numerik dari penyelidikan-penyelidikan dhamma: satu pertanyaan (pañha), satu ringkasan (uddesa), satu jawaban penjelasan (vyākaraṇa).[43] Di sini makna vyākaraṇa secara khusus jelas. Hanya kadangkala kita bertemu dengan vyākaraṇa dalam suatu makna yang lebih umum dari “pernyataan”, tanpa secara khusus menjadi jawaban pada sebuah pertanyaan; namun bahkan di sini, ia dapat kenyataannya suatu jawaban, hanya konteksnya tidak membuat ini jelas.[44] Dalam Aṅguttara kita diberitahukan tentang empat jenis “jawaban (vyākaraṇa) pada pertanyaan-pertanyaan”: menjawab dengan pernyataan yang pasti, dengan analisis (vibhaṅga), dengan menanyakan suatu pertanyaan sebagai jawaban, dan dengan mengesampingkan.[45] Perhatikan bahwa sebuah vibhaṅga, yang adalah sebuah kelompok kunci dari ajaran-ajaran doktrinal, di sini dijelaskan sebagai suatu jenis dari vyākaraṇa.

Pengertian umum atas vyākaraṇa ini sangat terkenal, tetapi peranan dari vyākaraṇa sebagai penjelasan dari sutta-sutta jarang diakui. Namun, penilaian Dutt mirip. Ia menyatakan bahwa “Sutta-Sutta di mana Sāriputta, Mahākaccāyana, atau Buddha memberikan pemaparan rinci dari empat kebenaran mulia atau jalan mulia berunsur delapan, atau tentang ajaran mana pun dari Buddhisme atau tentang apa pun perkataan singkat Buddha, seharusnya dimasukkan [sebagai vyākaraṇa].”[46]

Abhidharmasamuccaya oleh Asaṅga memiliki ini untuk mengatakan:

Apakah vyākaraṇa? Ini adalah pemaparan dari berbagai kehidupan saat ini dari para siswa mulia dalam hubungan dengan masa lampau jauh mereka pada lokasi-lokasi yang berbeda.  Atau ini adalah suatu sutta yang telah dijelaskan sepenuhnya, karena ia adalah pemaparan terbuka tentang suatu makna yang mendalam.[47]

Makna pertama di sini seharusnya apadāna alih-alih vyākaraṇa. Tetapi yang kedua adalah pada jalur yang benar: vyākaraṇa adalah penjelasan terperinci atas poin-poin yang dinyatakan secara singkat dalam sutta-sutta. Ini mengejutkan bahwa penafsiran ini tidak lebih luas diterima, karena bentuk ini secara mutlak adalah ciri khas tradisi kesusasteraan India secara umum. Ungkapan yang singkat, samar-samar dari karya-karya seperti, katakanlah, Yoga Sūtra dimaksudkan untuk dijelaskan melalui suatu tanya jawab guru-murid. Gaya kesusasteraan ini ditemukan dalam sebagian besar kotbah-kotbah yang ada. Jarang kita menemukan suatu pemaparan sepanjang apa pun melampaui pernyataan-pernyataan ajaran dasar yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan langsung.

Secara khusus, kita jarang menemukan suatu ajaran siswa dalam cara ini. Para siswa hampir selalu mengajar dalam bentuk suatu tanya jawab antara dua orang bhikkhu, atau antara seorang bhikkhu dan Sang Buddha, atau ajaran, walau diberikan oleh seorang bhikkhu, diungkapkan dalam bentuk tanya jawab “retoris”. Terdapat sedikit pengecualian; tetapi mereka kadangkala hanya membuktikan aturan itu. Dalam satu kotbah Majjhima Yang Mulia Sāriputta melihat Yang Mulia Rāhula duduk bermeditasi dan menasehatinya: “Kembangkanlah ānāpānasati, Rāhula! Ketika ia dikembangkan dan dibuat banyak, ānāpānasati berbuah besar dan bermanfaat.” Ini adalah suatu sutta langsung; dan ini adalah kutipan langsung dari Saṁyutta. Penghubungan ajaran-ajaran ini oleh para siswa dengan vyākaraṇa sepaham dengan Yogacārabhūmiśāstra yang memasukkan bagian “Yang Diucapkan oleh para Siswa” dalam aṅga vyākaraṇa.

Di sini adalah suatu contoh bagus dari vyākaraṇa:

Pada suatu saat, banyak bhikkhu senior yang berdiam di Macchikāsaṇḍa, di Hutan Ambataka. Sekarang pada saat itu, ketika para bhikkhu senior telah kembali dari berkeliling mengumpulkan dana makanan, setelah makan mereka berkumpul dalam paviliun dan sedang duduk bersama ketika percakapan ini muncul: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’: apakah hal-hal ini berbeda dalam makna dan juga berbeda dalam ungkapan, atau apakah mereka satu dalam makna dan berbeda hanya dalam ungkapan?”

Beberapa bhikkhu senior menjawab (vyākaraṇa) demikian: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’ adalah berbeda dalam makna dan juga berbeda dalam ungkapan.” Tetapi beberapa bhikkhu senior menjawab demikian: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’ adalah sama dalam makna dan berbeda hanya dalam ungkapan.”[48]

Dalam kasus ini para bhikkhu senior beralih kepada Citta sang perumah tangga, yang menjelaskan bagaimana keduanya sesungguhnya berbeda dalam makna:

“... mata bukan belenggu dari bentuk-bentuk yang dapat dilihat, ataupun bentuk-bentuk yang dapat dilihat bukanlah belenggu dari mata; tetapi alih-alih keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya – itulah belenggu di sana.”

Sekarang, saya pikir penggunaan vyākaraṇa dalam bacaan-bacaan demikian persis apa yang dimaksud aṅga vyākaraṇa. Dengan jelas Peṭakopadesa berpikir sepanjang garis yang sama, karena ia menunjuk pada kotbah ini juga “dalam Citta-saṁyutta” sebagai vyākaraṇa.[49] Perhatikan bahwa jawaban itu diungkapkan dalam istilah enam alat indera; Citta menyesuaikan suatu sutta khusus dari Saḷāyatana-saṁyutta (SN 35.109/SA 239) untuk membuat vyākaraṇa-nya.

Terdapat beberapa kerancuan tentang batasan persis dari bentuk vyākaraṇa, karena kehadiran yang hampir di mana-mana dari bentuk “pertanyaan retoris”. Jika kita secara ketat menerima hanya kotbah-kotbah dengan tanpa pertanyaan sama sekali sebagai sutta-sutta, kita ditinggalkan hampir tidak ada; bahkan Dhammacakkappavattana Sutta memiliki ciri khas satu atau lebih pertanyaan dalam beberapa dari versinya. Oleh sebab itu, kita akan menghitung kotbah-kotbah yang sederhana, dengan sejumlah kecil pertanyaan retoris, sebagai sutta-sutta, dan kotbah-kotbah yang lebih kompleks, dengan serangkaian pertanyaan, sebagai vyākaraṇa-vyākaraṇa. Ini jelas menyisakan kita dengan beberapa wilayah abu-abu, yang hanya diharapkan; tetapi, kita biasanya dapat membedakan dengan baik dan siap antara kedua jenis itu.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:53:22 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #16 on: 14 April 2013, 08:59:01 PM »
4.3 Tiga Aṅga dan Kotbah-Kotbah Pertama

Marilah kita mempertimbangkan lagi kotbah-kotbah pertama. Ini jatuh ke dalam tiga pembagian. Kotbah pertama, Dhammacakkappavattana Sutta, adalah teks akar yang menetapkan pernyataan ajaran yang paling dasar. Kotbah yang kedua dan ketiga adalah serupa satu sama lain dan termasuk bersama-sama dalam pembagian kedua. Keduanya adalah pemaparan yang lebih rinci dari gagasan-gagasan yang disebutkan secara singkat dalam kotbah pertama: komentar-komentar pertama. Keduanya menekankan suatu peralatan kesusasteraan baru. Dhammacakkappavattana Sutta hampir seluruhnya diungkapkan sebagai suatu pernyataan ajaran yang langsung. Kotbah kedua dan ketiga menekankan suatu bentuk tanya jawab. Walau kadangkala ini murni bersifat retoris, dalam kotbah kedua para bhikkhu benar-benar menjawab; dengan demikian untuk pertama kalinya kita mendengar suara-suara para siswa berdampingan dengan Sang Buddha. Pembagian ketiga adalah Permohonan Brahmā, yang memperkenalkan bentuk kesusasteraan lainnya, yang bercampur dalam prosa dan syair.

Jadi kita dapat menyimpulkan ciri khas utama dari tiga aṅga sebagai berikut:

Tabel 4.1 Tiga Aṅga


Sutta
Vyākaraṇa
Geyya
Isi
Pernyataan ajaran dasar
Pemaparan terperinci
Inspirasional/Bersifat membangkitkan keyakinan
Gaya
Prosa yang bersifat pernyataan
Prosa yang bersifat pertanyaan
Campuran prosa dan syair
Pembicara
Hanya Sang Buddha
Sang Buddha dan/atau para siswa
Sang Buddha, para siswa, dan yang lainnya
Konteks
Selalu bersifat monastik
Biasanya bersifat monastik
Biasanya dengan orang awam atau para dewa, sering bersifat Brahmanis
Contoh
Dhammacakkappavattana
Anattalakkhaṇa
Permohonan Brahmā

4.4 Aṅga-Aṅga dan Veda-Veda

Kita sekarang telah menemukan landasan yang cukup untuk melihat hubungan antara struktur berunsur tiga ini dan tiga Veda. Dhammacakkappavattana Sutta, seperti Ṛg Veda, adalah teks sumber utama. Geyya dan vyākaraṇa, seperti Sāman dan Yajur Veda, adalah bersifat sekunder dan turunan. Kita telah melihat bagaimana aṅga-aṅga berlipat tiga – 3, 9, 12 – seperti halnya literatur Veda yang berlipat tiga – 3, 6, 12. Kita juga telah melihat aṅga berunsur dua belas muncul dalam kitab-kitab Jain. Setelah terputusnya secara efektif sistem aṅga, angka tiga masih dasar pada kitab-kitab Buddhis seperti Tripitaka, “Tiga Keranjang”. Istilah ini digunakan dalam semua tradisi, walaupun kenyataannya bahwa hanya kanon Pali secara penuh makna terstruktur ke dalam tiga bagian. Maka jelas, gagasan Tripitaka mendapatkan suatu daya tarik pada pikiran umat Buddha melampaui hanya suatu sistem pengelompokan.

Hubungan-hubungan lain antara Veda-Veda dan kitab-kitab Buddhis juga dapat dilihat. Teks-teks Buddhis dikelompokkan dalam vagga-vagga dari biasanya sepuluh teks; Ṛg Veda dikelompokkan dalam vagga-vagga dari kira-kira sepuluh baris. Judul vyākaraṇa muncul dalam Veda berunsur enam dan dua belas, tetapi di sini ia berarti “tata bahasa”; tetapi ia juga muncul dalam aṅga-aṅga Jain di mana ia berarti “jawaban”. Kita juga menemukan istilah suttaṅga sejajar dengan vedaṅga; sebagai tambahan istilah suttanta menggemakan vedanta.

Catatan Kaki:

[1] Sembilan aṅga muncul dalam Vinaya Mahāsaṅghika (T № 1425, p. 227b), dalam Saṅgīti Sūtra (T № 12, p. 227b), dalam Itivuttaka (T № 765, p. 684a and 697c), dalam Dharmasaṅgīti Sūtra (T № 761, p. 612a), dalam Saddharmapuṇḍarika Sūtra (T № 262, p. 7c (walaupun ini tampaknya suatu kumpulan yang berbeda)), dalam Dharmasaṅgraha (T № 764, p. 661a), dan dalam Daśavihāravibhāsa (T № 1521, p. 19b). Terima kasih saya kepada Venerable Anālayo untuk informasi ini.

[2] Lamotte (1976), pg. 144.

[3] Beberapa referensi dalam Lamotte (1976), pp. 161, 162.

[4] DN 27/DA 5/T № 10/MA 154/EA 40.1/Skt. Dalam referensi ini dan berikutnya saya tidak memberikan detail-detail dari teks Sanskrit. Mereka dapat ditemukan pada tabel yang berhubungan pada http://suttacentral.net/. Saya menghilangkannya karena ini panjang dan terperinci, dan hanya berhubungan pada sedikit sarjana, yang dapat dengan mudah menemukannya melalui SuttaCentral bagaimanapun juga.

[5] DN 26/DA 6/MA 70

[6] Boin-Webb, pg. 179.

[7] Śrāvakabhūmi, pg. 230.

[8] MN 83.21/MA 67/EA 1/EA 50.4/T № 152.87/T № 211, DN 19.61/DA 3/T № 8/Skt.

[9] DN 14.1.17/DA 1/T № 2/T № 3/T № 4/EA 48.4/Skt.

[10] AN 4.127/MA 32*/EA 25.3*.

[11] MN 123.3.

[12] MA 32.

[13] MN 43/MA 211, MN 44/MA 44; versi-versi ini berbeda dalam beberapa pertanyaan dan rincian, tetapi tidak ada perbedaan sektarian.

[14] Segera sebelum dua Vedalla adalah sekelompok dari tiga kotbah yang muncul bersama dan dalam urutan yang sama dalam kedua Majjhima: MN 77/MA 207 Mahāsakaludāyin; MN 79/MA 208 Cūḷsakaludāyin; MN 80/MA 209 Vekhanassa. (MN 78/MA 179 Samaṇamaṇḍikā, gugur karena ia memang berada antara “Mahā” dan “Cūḷa” Sakaludāyin Sutta, jelas suatu penyisipan belakangan.) Kelompok dari tiga dan dua Vedalla Sutta mungkin kelompok yang sudah ada yang dibawa ke dalam Majjhima.

[15] Boin-Webb, pg. 180.

[16] Gnoli, Pt. 1, pg. xix.

[17] Boin-Webb, pg. 180.

[18] Boin-Webb, pg. 179.

[19] Dibahas dalam Matsumura.

[20] Beal (1985), pg. 386–7; terjemahan yang diperbaiki mengikuti Lamotte, pg. 177.

[21] Beal (1985), pg. 140.

[22] MN 122.20/MA 191.

[23] Pg. 957

[24] Terdapat beberapa perbedaan pembacaan. Saya tidak memiliki berbagai edisi Pali yang tersedia, maka saya berterima kasih kepada Venerable Anālayo untuk pembacaan-pembacaan berikut. Edisi PTS memiliki: sutta geyya veyyākaraassa hetu; edisi Burma dan Sinhala memiliki: sutta geyya veyyākaraa tassa hetu; edisi Siam memiliki: suttageyyaveyyākaraassa sotu. Versi PTS dengan demikian tampaknya hanya memiliki dua aṅga, di mana penjelasan siswa itu menginginkan dari Sang Tathāgata (cp. Terjemahan oleh Horner: “... untuk kepentingan suatu pemaparan dari kotbah-kotbah yang adalah dalam prosa dan dalam prosa dan syair”).  Tetapi tata bahasanya aneh: frase ini kelihatannya agaknya telah dibentuk dengan kontraksi dari pembacaan Burma/Sinhala (suttageyya veyyākara’ assa hetu). Versi Mandarin membaca 正經.歌詠.記說故. Ini menunjukkan bahwa aslinya membaca hetuḥ, bukan sotuṁ seperti yang diusulkan oleh edisi Siam, Sotu (“untuk mendengarkan tentang...”) lebih secara langsung; secara tata bahasa pembentukan kata majemuk dalam edisi Siam juga lebih secara langsung, membawa saya untuk mencurigai para penyunting Thai telah menormalisasi suatu bacaan yang sulit. Versi Mandarin tidak memberikan petunjuk pada masalah tata bahasa dari bacaan ini. Dalam setiap kasus, versi Mandarin dan kebanyakan versi Pali memiliki tiga aṅga, dan kehadiran yang nyata dari dua aṅga dalam PTS tampaknya dengan mudah dapat dijelaskan.

[25] Lihat garis waktu dalam pendahuluan Ñāṇamoli’s dalam The Path of Purification, p. xi, yang menunjuk pada Komentar Aṅguttara, i.92f.

[26] Waldschmidt (1950, 1951) 40.62; Waldschmidt (1968).

[27] Śrāvakabhūmi, pg. 154, 232.

[28] Śrāvakabhūmi, pg. 154, 184, 220, 226.

[29] Neyyattha dan nītattha; Śrāvakabhūmi pg. 228; Abhidharmasamuccaya pg. 179, tetapi lihat komentar de Jong’s, pg. 295.

[30] Peṭakopadesa 1.7. Dalam kalimat terakhir saya menerima perbaikan Ñāṇamoli pada ālokapañcaka, yang menunjuk pada rangkaian lima istilah dalam Dhammacakkappavattana Sutta yang menjelaskan realisasi Sang Buddha atas kebenaran-kebenaran mulia.

[31] Peṭakopadesa 1.7, 1.22.

[32] Peṭakopadesa 1.8, 1.9, 1.12, 4.41, 5.53, 5.54, 7.105.

[33] Netti 89.

[34] Peṭakopadesa 1.12.

[35] Peṭakopadesa 5.53.

[36] Ñāṇamoli (1964), pg. 133.

[37] Namun terdapat beberapa variasi. Menurut Lamotte, Saddharmapuṇḍarīka Sūtra memiliki: sūtra, gāthā, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, nidāna, aupamya, geya, upadeśa.

[38] DN 16.4.7ff./DA 2/T № 5/T № 6/T № 7/T № 1451/Skt.

[39] Netti 122

[40] Dalam Pali biasanya dieja veyyākaraa atau byākaraa.

[41] Misalnya DN 11.85/DA 24/P 5595, SN 12.12/SA 372, SN 12.32/MA 23/SA 345/Skt, SN 12.70/SA 347, SN 35.116/SA 234, SN 35.204/SA 1175, SN 41.1/SA 572, MN 32/MA 184/EA 37.3/T № 154.16, MN 44/MA 210, MN 56.6/MA 133/Skt, MN 133.21/MA 165, AN 3.21, AN 6.61/SA 1164.

[42] DN 9.29/DA 28, DN 29.32/DA 17, MN 63.9/MA 221/T № 94, SN 16.12/SA 905/SA2 121.

[43] SN 41.8/SA 574, AN 10.27/EA 46.8/SA 486–489*, AN 10.28.

[44] Misalnya DN 18.4/DA 4/T № 9, AN 5.93, AN 6.62/MA 112/T № 58.

[45] AN 4.42/T № 1536.8.

[46] Dutt, pg. 225.

[47] Boin-Webb, pg. 179 (disesuaikan mengikuti catatan de Jong, pg. 295); Śrāvakabhūmi pg. 228 adalah sama, hanya tanpa frase terakhir.

[48] SN 41.1/SA 572.

[49] Peṭakopadesa 10.
« Last Edit: 14 April 2013, 10:06:21 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #17 on: 05 May 2013, 08:08:39 PM »
Bab 5
Aṅga dalam Nikāya-Nikāya & Āgama-Āgama

Kita sekarang kembali untuk menyelidiki pernyataan Yin Shun, yang berdasarkan pada Yogacārabhūmiśāstra, bahwa Saṁyukta Āgama terdiri dari tiga aṅga. Ia mengidentifikasi sutta sebagai kumpulan ajaran yang pokok, geyya sebagai Sagāthāvagga bersama dengan Bhikkhu-saṁyutta (yang sebenarnya hanya suatu bab yang nyasar dari Sagāthāvagga), dan vyākaraṇa sebagai pemaparan pelengkapnya. Identifikasi atas Sagāthāvagga adalah bersifat langsung; komentar Pali, juga, mengatakan bahwa geyya adalah campuran prosa dan syair, “khususnya keseluruhan Sagāthāvagga dari Saṁyutta Nikāya”. Tetapi, penafsiran sutta dan vyākaraṇa tidak persis sepanjang garis yang kita pertimbangkan di atas.

Satu masalah dengan penafsiran Yogacārabhūmiśāstra adalah bahwa ia tidak menghubungkan sangat dekat pada makna akar dari istilah sutta dan vyākaraṇa. Dalam kenyataannya, tidak semuanya jelas mengapa istilah vyākaraṇa dipilih untuk kumpulan ini. Poin lainnya adalah bahwa komentar-komentar Pali memasukkan Abhidhamma Piṭaka di bawah vyākaraṇa. Sementara ini jelas anakronistik, ini tidak begitu jauh dari cirinya, karena Abhidhamma yang paling awal didasarkan pada teks-teks yang dipilih sebagian besar dari Saṁyutta; namun, ini diambil dari kumpulan ajaran yang pokok, bukan dari bab-bab pelengkap. Ini bahkan lebih jelas dalam bagian dari Dharmaskandha yang digali di Gilgit, yang seringkali mengutip dari teks-teks ajaran yang utama seperti Nidāna Saṁyukta, seringkali dalam ungkapan yang hampir identik dengan versi Pali, dan biasanya menunjuk pada kotbah-kotbah yang demikian sebagai vyākaraṇa.[1] Masalah lain adalah bahwa pendapat Asaṅga dalam Yogacārabhūmiśāstra tidak kelihatannya sepaham di sini dengan pernyataannya dalam Abhidharmasamuccaya. Kita telah melihat bahwa ia menjelaskan vyākaraṇa sebagai kehidupan-kehidupan lampau para siswa, atau kotbah-kotbah “yang telah dijelaskan sepenuhnya”. Tidak ada satu pun dari hal ini sangat sesuai dengan aṅga vyākaraṇa yang dinyatakan dalam Yogacārabhūmiśāstra, tetapi setidaknya penafsiran kedua sangat sesuai dengan GIST.

Dengan melihat lebih dekat mengungkapkan bahwa dalam setidaknya beberapa kasus perbedaannya tidak sangat besar. Sebagai contoh, Rādha- dan Diṭṭhi-saṁyutta mengikuti setelah Khandha-saṁyutta dalam kedua kumpulan. Keduanya terdiri dari serangkaian pertanyaan dan jawaban tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan. Versi Mandarin menambah kelompok lainnya yang sama, yang disebut “Meninggalkan”, pada kumpulan ini. Saṁyutta-saṁyutta kecil ini telah diperpanjang dari beberapa kotbah dari Khandha-saṁyutta. Kotbah-kotbah ini dihitung sebagai vyākaraṇa berdasarkan penafsiran Yin Shun mengikuti Yogacārabhūmiśāstra; dan mereka juga adalah vyākaraṇa dalam perhitungan saya. Anuruddha-saṁyutta adalah suatu kasus yang sama, yang menjadi tambahan singkat pada Satipaṭṭhāna-saṁyutta.

Perhatikan bahwa saṁyutta-saṁyutta kecil ini berhubungan langsung pada empat kebenaran mulia: kelompok unsur kehidupan muncul di bawah kebenaran tentang penderitaan; satipaṭṭhāna muncul di bawah kebenaran tentang sang jalan. Sekarang, jika kita menyelidiki Saṁyutta Sarvāstivāda berdasarkan rekonstruksi Yin Shun, aṅga sutta didasarkan pada empat kebenaran mulia, tetapi aṅga vyākaraṇa tidak. Jadi mengapa saṁyutta-saṁyutta ini tidak menemukan rumah dalam aṅga sutta? Terdapat saṁyutta-saṁyutta lain yang juga sesuai dengan rapi dalam empat kebenaran mulia, tetapi menurut perhitungan Yin Shun mereka muncul dalam aṅga vyākaraṇa. Sebagai contoh, Sarvāstivāda mempertahankan sebuah Kammavipāka-saṁyutta. Ini mengandung sekitar lima puluh kotbah tentang sepuluh jalan perbuatan bermanfaat. Tidak ada padanan Theravādin dalam Saṁyutta, tetapi kebanyakan kotbah itu ditemukan berkelompok bersama-sama dalam Aṅguttara sepuluh. Ini dapat dengan jelas dijelaskan sebagai sebuah saṁyutta yang telah dipindahkan dari Saṁyutta ke Aṅguttara. Menurut Yin Shun, ini termasuk aṅga vyākaraṇa. Tetapi pokok bahasan tentang kamma, dan tiga akar yang tidak bermanfaat yang disebutkan dalam konteks ini, termasuk kebenaran mulia kedua. Berdasarkan GIST, kotbah-kotbah ini telah disisipkan dalam skema empat kebenaran mulia Saṁyutta kuno. Hal yang sama, Anamatagga-saṁyutta tentang ketidakmampuan untuk mengetahui awal samsara, dengan bagian pengulangannya yang berulang-ulang tentang “makhluk-makhluk yang dihalangi oleh ketidaktahuan dan dibelenggu oleh keinginan”, sesuai di bawah kebenaran mulia kedua. Atau lagi, jhāna jelas sesuai di bawah kebenaran keempat, yang tidak berkondisi di bawah kebenaran ketiga, tetapi ini dianggap sebagai vyākaraṇa. Lebih masuk akal untuk menganggap kotbah-kotbah atau kumpulan yang demikian mulanya telah dikumpulkan di bawah arus utama kumpulan empat kebenaran mulia dari sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa.

Evolusi aṅga sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa mengikuti suatu proses yang alami. Sang Buddha sangat sering mengajarkan ajaran-ajaran dasar. Ini dikumpulkan pada masa awal. Ukuran kumpulan sutta itu bersifat membatasi dirinya sendiri, karena ini hanya sangat banyak variasi yang mungkin tentang ajaran-ajaran dasar. Penyelidikan-penyelidikan ke dalam makna dari teks-teks ini berlanjut secara tetap. Lapisan awal yang sangat penting dari teks-teks yang bersifat penjelasan adalah vibhaṅga, suatu jenis khusus vyākaraṇa yang menyediakan kunci untuk memahami kerangka ajaran yang umumnya diungkapkan dalam bentuk ringkas, hampir bersifat samar-samar. Banyak dari Saṁyutta memiliki sebuah vibhaṅga; mulanya mungkin semuanya. Beberapa vibhaṅga yang hilang dari Saṁyutta Theravāda ditemukan dalam Sarvāstivāda, sebagai contoh Bala Vibhaṅga Sutta yang seharusnya dikembalikan dari Aṅguttara ke Saṁyutta.

Tetapi sementara sutta-sutta terbatas dalam ukuran, vyākaraṇa- vyākaraṇa dapat diperluas tidak terbatas. Ini tidak memakan lama bagi pengelompokan awal yang sederhana menjadi tidak cukup dan bagi struktur baru, yang lebih terperinci, dibutuhkan. Dua kemungkinan yang mungkin menyatakan dirinya pada tahapan ini. Satu adalah tetap mengakumulasi vyākaraṇa- vyākaraṇa individual, dengan menciptakan kumpulan baru bagi mereka berdasarkan bahan yang tersebar dari seluruh kumpulan tiga-aṅga awal. Kemungkinan lain adalah berusaha mengurangi pertumbuhan sebagian besar teks-teks dan ketidaknyamanan akibatnya dengan mengumpulkan semua teks-teks utama yang bersifat penjelasan ke dalam satu Vibhaṅga yang komprehensif untuk berperan sebagai suatu kunci bagi semua kotbah. Hasil dari perkembangan garis pertama itu adalah Majjhima, Dīgha, dan Aṅguttara, dan hasil dari perkembangan garis kedua adalah Vibhaṅga Abhidhamma.

Secara umum dipahami bahwa empat Nikāya/Āgama disusun pertama kali dan Abhidhamma Piṭaka kemudian. Tetapi ini memerlukan beberapa kualitifikasi. GIST menyatakan bahwa Saṁyutta kuno disusun pertama kali dan bahwa karya tentang Nikāya/Āgama mungkin telah berlangsung pada waktu yang sama dengan karya Abhidhamma yang paling awal. Istilah “abhidhamma” dan “mātikā” muncul kadangkala dalam teks-teks awal (sebuah mātikā adalah suatu daftar istilah-istilah ajaran yang berfungsi sebagai perancah bagi suatu karya Abhidhamma). Walaupun istilah-istilah ini di sini tidak menunjuk pada Abhidhamma Piṭaka yang sudah ada, mereka mungkin juga menunjuk pada beberapa perintis awal.

Terdapat sedikit petunjuk dalam teks-teks awal itu sendiri bahwa ini mungkin. Satu bacaan dalam Nikāya Theravāda menyebutkan “abhidhamma” dan kemudian membahas 37 sayap menuju pencerahan. Ini membentuk kerangka utama untuk bagian meditasi dari *Vibhaṅga Mūla. Ini ditegaskan oleh suatu petunjuk dalam Dharmaskandha, versi Sarvāstivādin dari bahan *Vibhaṅga Mūla yang telah berkembang. Teks Sanskrit itu mengutip dari Saṁyukta sebuah bacaan di mana Sang Buddha mengatakan tentang 37 sayap menuju pencerahan; dalam Pali ini disebut “dhamma-dhamma”, tetapi Sanskrit menyebutnya dharmaskandha, yang tentu saja judul dari kitab di mana kutipan itu muncul, dan kitab itu memang berciri-khaskan topik-topik tersebut. Kisah Sarvāstivādin yang belakangan tentang kehidupan Aśoka mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kassapa, patriark dari Sarvāstivāda, membacakan mātikā, yang sebagian besar terdiri dari 37 sayap menuju pencerahan, pada Konsili pertama.[2]

Terdapat petunjuk lain dalam versi Sarvāstivādin dari Mahā Gosiṅgavana Sutta. Ini mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kaccāyana adalah seorang bhikkhu yang menikmati berdiskusi “abhidhamma dan abhivinaya”.[3] Salah satu dari versi Mandarin lainnya tidak menyebutkan ini dalam tubuh teks itu, tetapi pada akhirnya Mahā Kaccāyana dipuji Sang Buddha atas kemampuannya menguraikan empat kebenaran mulia.[4] Dalam Aṅguttara Theravāda, ia dipuji sebagai yang terkemuka di antara mereka yang dapat “menganalisis (vibhaṅga) dengan rinci makna suatu ucapan yang diberikan secara singkat.”[5] Versi Mandarin memujinya atas kemampuannya membedakan makna dan mengajarkan sang jalan.[6] Ini menyatakan bahwa makna awal “abhidhamma” seharusnya dicari di antara kotbah-kotbah Mahā Kaccāyana. Ia dianggap sebagai seorang pendiri Abhidhamma, dan ajaran-ajarannya mengandung hanya jenis bahan yang kita harapkan – vyākaraṇa-vyākaraṇa analisis yang berkaitan dengan alat indera, kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan seterusnya. Sebagai tambahan, dua dari kotbah Mahā Kaccāyana dimasukkan dalam Vibhaṅgavagga. Maka Abhidhamma paling awal mengandung dua aspek: ajaran-ajaran kebijaksanaan – kebenaran-kebenaran [mulia], kelompok unsur kehidupan, alat indera, kemunculan bergantungan, unsur-unsur – dan ajaran samādhi – 37 sayap menuju pencerahan.

Jika *Vibhaṅga Mūla dari Abhidhamma diturunkan, bukan dari Sutta Piṭaka yang telah lengkap, tetapi dari sumber yang sama dengan Majjhima dan Dīgha sepanjang suatu garis perkembangan yang berlainan, *Vibhaṅga Mūla mungkin mempertahankan beberapa ciri khas yang lebih kuno daripada Majjhima-Majjhima yang ada. Ini tentu saja hanya berlaku pada isi dasarnya, bukan bentuk terperinci yang ada, yang jelas tidak sangat awal. Satu contoh yang mungkin dari ini adalah bab tentang unsur-unsur. Vibhaṅga Abhidhamma Theravāda menyebutkan 36 unsur. Ini ditemukan dalam Bahudhātuka Sutta, dan karena beberapa unsur bukanlah standar di sana ini pastilah sumber Vibhaṅga (dan juga uraian dari Dhātuvibhaṅga Sutta). Tetapi Bahudhātuka Sutta menambahkan, setelah 36 ini, lima unsur lagi yang tidak ada dalam Vibhaṅga. (Sarvāstivāda memiliki 62 unsur dalam Bahudhātuka Sutta dan Dharmaskandha.) Tambahan lima unsur ditambahkan pada Bahudhātuka Sutta setelah ia dipindahkan dari Saṁyutta kuno.[7]

GIST tidak mengatakan bahwa kotbah-kotbah Saṁyutta adalah awal dan otentik, sedangkan kotbah-kotbah lain adalah belakangan. Semua kumpulan mengandung suatu percampuran dari bahan awal dan belakangan. Kita sedang menggeneralisasi suatu proses rumit yang membentuk kumpulan dari ratusan kotbah. Kotbah-kotbah di luar Saṁyutta muncul dari sejumlah sumber. Beberapa mulanya dimasukkan dalam Saṁyutta kuno, tetapi dipindahkan keluar. Yang lainnya mungkin sudah beredar dalam komunitas, tetapi tidak dimasukkan dalam kumpulan dasar. Dalam kasus-kasus lain, kotbah-kotbah mungkin telah diwariskan di daerah-daerah yang jauh dan disisipkan kemudian. Kotbah-kotbah lain mungkin dibentuk kemudian dengan menggabungkan bagian-bagian yang sudah ada dari teks. Yang lain berevolusi dari kisah dan bahan latar belakang yang relatif informal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran. Dan beberapa, tidak diragukan, adalah murni rekaan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #18 on: 05 May 2013, 08:39:19 PM »
5.1 Saṁyutta

Kita harus dapat membedakan jejak aṅga-aṅga dalam kumpulan-kumpulan yang masih ada. GIST menyatakan bahwa saṁyutta-saṁyutta utama yang bersifat ajaran adalah berdasarkan sutta-sutta, yang dilengkapi oleh penjelasan-penjelasan vyākaraṇa. Struktur ini dapat dibedakan dalam Saṁyutta-Saṁyutta yang ada dalam bentuk sisa-sisa. Sangat terkenal dalam Saḷāyatana-saṁyutta Theravāda (SN 35), di mana 52 kotbah pertama sebagian besar adalah sutta-sutta, yang kelimapuluh tiga dimulai dengan “seorang bhikkhu tertentu” mendekati Sang Buddha untuk menanyakan pertanyaan, dan dengan demikian melontarkan suatu rangkaian panjang dari vyākaraṇa.[8] Struktur ini tidak begitu nyata dalam kebanyakan bagian dalam versi Pali.

Namun demikian, banyak bab dalam Saṁyukta Āgama Sarvāstivādin tampaknya mencerminkan bentuk ini pada beberapa tingkatan. Demikianlah dalam Khandha-saṁyutta 14 kotbah pertama adalah sutta-sutta, di mana setelah itu suatu rangkaian panjang yang sebagian besar adalah vyākaraṇa. Saḷāyatana, Nidāna, Sacca, Satipaṭṭhāna, Bojjhaṅga, Ānāpānasati, dan Sotāpatti saṁyutta dari kumpulan ini semuanya mencerminkan pola ini.

Marilah kita melihat secara rinci pada Sacca-saṁyutta, batu penjuru ajaran dari keseluruhan Saṁyutta. Di sini terdapat Saccasaṁyutta Theravāda dan Sarvāstivāda, yang dikelompokkan ke dalam tiga aṅga. Seperti yang dijelaskan tabel ini, sutta-sutta cenderung berkelompok dengan sutta-sutta, vyākaraṇa-vyākaraṇa dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa, dan geyya-geyya di tengah.

Dalam Sarvāstivāda kecenderungan bagi sutta-sutta untuk berkelompok dengan sutta-sutta lainnya dan vyākaraṇa-vyākaraṇa berkelompok dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa lainnya, bahkan lebih jelas. Dengan sama dikatakan bahwa kumpulan itu mulai dengan suatu kawanan dari 23 sutta. Empat teks beranekaragam, termasuk geyya-geyya, kemudian menyusupi, dan lalu 11 vyākaraṇa. Di sini, seperti dalam Theravāda, geyya-geyya muncul di tengah-tengah kumpulan, yang mengingatkan kita tentang urutan sutta, geyya, vyākaraṇa. Separuh yang belakangan sedikit kurang koheren, tetapi masih aṅga-aṅga dapat dibedakan, terutama vyākaraṇa. Juga, ia mulai dengan kelompok terbesar dari sutta-sutta dan berakhir dengan kelompok terbesar dari vyākaraṇa-vyākaraṇa.

Tabel 5.1: Aṅga-Aṅga dalam Sacca-saṁyutta Theravāda

SN 56
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
1-12



13-18



19-20



21-22



23-29



30-31



32-33



34



35-41



42-43



44



45-131




Tabel 5.2: Aṅga-Aṅga dalam Satya-saṁyukta Sarvāstivāda

SASuttaGeyyaVyākaraṇaLatar
379-391
Benares
392
393-402
403
Magadha
404Rājagaha (dalam perjalanan)
405
Vesali, Kolam Monyet
406
Kolam Monyet
407-418
Rājagaha, Veḷuvana
419-420
Rājagaha, Veḷuvana
421-426

Rājagaha, Veḷuvana
427-433

Rājagaha, Veḷuvana
434-442

Rājagaha, Veḷuvana
443
Sāvatthī, Jetavana

Tetapi adalah latarnya yang memberikan konfirmasi yang mengejutkan, dan tidak diharapkan, dari tesis kita. Teks pertama adalah Dhammacakkappavattana Sutta, yang tentu saja berlatarkan di Taman Rusa di Benares. Semua sutta yang mengikuti juga berlatar di Taman Rusa. Ini berlanjut tanpa mengatakan bahwa tidak mungkin bahwa Sang Buddha mengajarkan semua pernyataan dasar-Nya tentang empat kebenaran mulia pada satu tempat. Latar untuk kotbah-kotbah berikutnya hanyalah secara mekanistik diulangi dari yang pertama. Persis hal yang sama terjadi pada vyākaraṇa-vyākaraṇa. Mengabaikan empat kotbah yang menyusup, untaian pertama vyākaraṇa berlatarkan di Rājagaha di Veḷuvana, dan kotbah-kotbah berikutnya hanya membeokan latar ini. Kesimpulan ini pada dasarnya diperkuat oleh dua pertimbangan lainnya. Pertimbangan pertama adalah bahwa dua kotbah ini hampir satu-satunya dalam kumpulan itu yang memiliki latar yang sama dalam Pali dan Mandarin. Pertimbangan kedua adalah bahwa kebanyakan kotbah-kotbah tidak memiliki petunjuk yang melekat padanya seperti di mana mereka diucapkan. Mereka hanya memberikan suatu pernyataan ajaran yang dapat terjadi di mana pun. Tetapi Dhammacakkappavattana Sutta sangat dalam menempel pada konteks naratifnya. Yang pertama dari vyākaraṇa-vyākaraṇa juga, secara internal menegaskan latar ini, karena, berlatarkan di Rājagaha, ia menceritakan kisah tentang seseorang di Rājagaha.

Sekarang marilah kita menggabungkan kedua daftar ini, dengan membuat suatu daftar tentang kesesuaian antara kedua versi Sacca-saṁyutta, yang memperluas rincian dengan memberikan daftar masing-masing kotbah individual yang muncul pada kedua kumpulan. Dalam kebanyakan kasus Theravāda tidak menetapkan latarnya; ini ditunjukkan dengan tanda kurung kosong ( ). Adalah aman untuk menganggap bahwa latar dari teks-teks ini dimaksudkan di Sāvatthī. Karena Sarvāstivāda lebih kuno secara struktural, marilah kita menggunakan urutan teks dalam SA.

Tabel 5.3: Kesesuaian dari Kedua Sacca-saṁyutta

SA
SN 56
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
Latar SA
Latar SN
379
11-12



Taman Rusa
Taman Rusa
382
29



TR
( )
390-1
5-6*



TR
( )
392
22/Iti 4.4



TR
Koṭigāma
393.1
3-4



TR
( )
393.5
25*



TR
( )
394
37*



TR
( )
395
38



TR
( )
397
32*



TR
( )
398-9
39-40



TR
( )
400
34
✓ (SA)

✓ (SN)
TR
( )
401
35



TR
( )
402
23



TR
Sāvatthī
403
21



Magadha
Koṭigāma
404
31



Rājagaha
Kośambi
405
45

✓ (SA)
✓ (SN)
Kolam Monyet
Hutan Besar
406
47



Kolam Monyet
( )
407
41



Veḷuvana
Veḷuvana
408
8



V
( )
409-10
7



V
( )
411
10



V
( )
412
9



V
( )
416
15



V
( )
417
20, 27
✓ (SN)

✓ (SA)
V
( )
418
16



V
( )
421-2
42-43



V
Puncak Nazar
423-6
46*



V
( )
428
2



V
( )
429
1



V
Sāvatthī
430
33



V
( )
435
32*


Jetavana
( )
436-7
44*


J
( )
438
36
✓ (SN)

✓ (SA)
J
( )
439
49/SN 13.1*



J
( )
440.1-3
52, 53, 57



V
( )
441.1-60
49*, 55*, 59*



J
( )
442.1-17
61-131



J
( )
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #19 on: 05 May 2013, 08:47:09 PM »
Tabel ini dengan baik menggambarkan jenis-jenis masalah yang kita hadapi dalam studi-studi ini. Kita memiliki dua kumpulan yang sama, tetapi urutan internal dari teks-teks sangat berbeda. Seperti juga sejumlah besar teks-teks yang sama, kita juga memiliki berbagai anomali: suatu teks dalam satu kumpulan menjadi dua atau lebih dalam kumpulan lain; kadangkala teks-teks menunjukkan variasi yang signifikan; adakalanya suatu sutta dalam satu kumpulan menjadi suatu vyākaraṇa dalam kumpulan lain, dan seterusnya. Namun demikian, tampak bahwa teks-teks seringkali dikelompokkan bersama-sama sebagai sutta atau vyākaraṇa, dan ini seharusnya dikenali sebagai suatu prinsip struktural penting yang mendasari pembentukan kumpulan yang masih ada. Lagi daftar itu mulai dari suatu daftar panjang dari sebagian besar sutta, dan berakhir dengan vyākaraṇa. Ciri khas lain adalah bahwa antara sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa terdapat beberapa geyya. Posisi dari geyya SN 56.22/SA 392 jelas anomali, karena teks itu berhubungan dekat dengan SN 56.21/SA 403. Keduanya muncul bersama dalam Theravāda, jadi posisi SA terbukti hanyalah suatu kesalahan dalam penyebaran SA. Jika kita menganggap bahwa posisi yang benarnya adalah bersama dengan geyya lain, kita dapat melihat bahwa setidaknya dalam saṁyutta geyya-geyya jatuh di antara sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa, sesuai dengan urutan aṅga.

Hubungan yang mengejutkan lainnya adalah bahwa, dalam beberapa kasus, suatu kelompok teks yang dapat diidentifikasi ditemukan dalam kedua kumpulan. Sebagai contoh, mengambil teks SA 408-412. Kelompok sutta ini berhubungan dengan kelompok SN 56.7-10. Ini adalah kesatuan umum yang sudah ada dalam kedua tradisi. Situasi yang sama mendapatkan teks SA 394-401, yang dengan longgar berhubungan dengan SN 56.32, 34, 35. 37. 38, 39. 40. Pada skala yang lebih kecil, beberapa pasangan teks muncul bersama dalam kedua kumpulan. Hubungan-hubungan ini memunculkan kemungkinan bahwa tidak semata-mata isi, tetapi juga urutan teks-teks dalam kedua tradisi berbagi bersama, setidaknya sebagian.

Pernyataan ini menemukan konfirmasi yang menakjubkan dalam kasus Kassapasaṁyutta. Ini adalah kumpulan vyākaraṇa yang hidup yang memancarkan cahaya yang menarik pada salah satu tokoh besar Buddhisme, khususnya dalam peran historisnya. Ini adalah satu dari beberapa saṁyutta yang bersifat prosa yang dipertahankan sepenuhnya dalam Theravāda dan dalam dua Saṁyutta Mandarin, Sarvāstivāda dan sebagian “Saṁyutta lain” dari aliran yang tidak diketahui, mungkin Kaśyapīya. Di sini daftar dari teks-teks, yang menggunakan urutan dari SA yang telah dipulihkan.

Tabel 5.4: Kesesuaian dari Tiga Kassapa-saṁyutta

SA Sarvāstivāda
“SA Lain”
SN 16 Theravāda
1136
111
3
1137
112
4
1138
113
6
1139
114
7
1140
115
8
1141
116
5
1142
117
9
1143
118
10
1144
119
11
905
120
12
906
121
13

Hubungan itu berbatasan dengan keajaiban. Dua Saṁyutta Mandarin adalah identik dalam isi dan urutan, jika kita menerima pemulihan yang diusulkan Yin Shun dari dua teks akhir (SA 905, 906). Theravāda juga sangat dekat. Ia memiliki dua teks tambahan pada awalnya; teks-teks ini mungkin tambahan yang belakangan. Dan satu teks telah dipindahkan, SN 16.5 “Tua”. Teks ini berbagi bersama dengan SN 16.8 suatu bacaan penting tentang praktek-praktek yang demikian sebagai penghuni hutan, pemakan dana makanan, dan seterusnya. Dengan demikian SN 16.5 seharusnya mengikuti SN 16.8 dan dua versi Mandarin telah dalam hal ini mempertahankan urutan yang benar. Mengabaikan dua teks tambahan dalam Theravāda, kita memiliki sebelas teks, yang cukup dekat pada suatu vagga klasik dari sepuluh.

Sayangnya, tidak ada di tempat lain dalam saṁyutta-saṁyutta yang bersifat prosa kita menemukan hubungan yang rapi demikian. Ke mana pun kita berbalik, kita dikelilingi dengan anomali-anomali dan ketidakkontinuan. Masing-masing anomali adalah suatu garis kesalahan yang potensial, suatu celah di mana melaluinya kita mungkin hanya dapat melihat suatu struktur yang lebih kuno.

Untuk sisa bab ini saya akan menyelidiki beberapa ciri khas struktural dari Dīgha, Majjhima, dan Aṅguttara, dalam lebih sedikit rinci daripada Saṁyutta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #20 on: 05 May 2013, 08:50:49 PM »
5.2 Majjhima

Terdapat beberapa petunjuk dari pengaruh Saṁyutta dalam pembentukan dari Majjhima-Majjhima yang masih ada. Kebanyakan jelas bahwa beberapa bab dalam Majjhima Sarvāstivāda disebut “saṁyutta”. Terdapat sebuah Kamma-saṁyuttavagga, Sāriputta-saṁyutta-vagga, Samudaya-saṁyutta-vagga, dan Rāja-saṁyutta-vagga. Tidak hanya kata “saṁyutta” muncul, tetapi juga terdapat semua judul yang mirip dari bagian-bagian dalam Saṁyutta Sarvāstivāda. Lebih jauh lagi, bab 6-10 dari Majjhima Theravāda memiliki judul-judul yang mirip atau identik dengan judul-judul dalam Saṁyutta: Gahapati (= Gāmaṇisaṁyutta), Bhikkhu, Paribbājaka (tidak dalam Saṁyutta-Saṁyutta yang ada, tetapi akan muncul di bawah delapan perkumpulan), Rāja (= Kośala), dan Brāhmaṇa. Dengan pengecualian dari Gahapati, ini berada dalam urutan yang sama yang diprediksi oleh Sagāthāvagga yang direkonstruksi Bucknell. Lagi, bab terakhir dari Majjhima Theravāda, Saḷāyatanavagga, tidak hanya berbagi judul dan pokok pembahasannya dengan Saṁyutta, tetapi semua kotbah ditemukan dalam Saṁyutta Sarvāstivāda.

Pembagian ke dalam tiga kelompok dari lima puluh kotbah dalam Majjhima Theravāda mencerminkan tiga aṅga, walaupun sedikit. Lima puluh yang pertama menyajikan ajaran-ajaran utama; walaupun secara formal ini sebagian besar vyākaraṇa, dalam Majjhima sebagai suatu keseluruhan mereka berfungsi sebagai teks-teks dasar, dalam suatu cara yang mirip dengan sutta. Lima puluh yang kedua memiliki judul-judul yang mirip dengan Sagāthāvagga, memasukkan sejumlah syair, dan sering disampaikan kepada umat awam, dengan demikian berhubungan dengan aṅga geyya. Lima puluh yang terakhir cenderung lebih bersifat analitis dan pemaparan, vyākaraṇa klasik, termasuk beberapa teks-teks Abhidhamma kuno, Saḷāyatanavagga, dan Vibhaṅgavagga yang penting secara historis.

Vibhaṅgavagga adalah satu-satunya bab yang berbagi judul dan hampir semua isi yang sama dalam dua Majjhima. Judul sebenarnya dalam Sarvāstivāda adalah “Mūlavibhaṅgavagga”, “Bab Vibhaṅga Akar”, yang sangat sugestif. Kebanyakan kotbahnya berkaitan dnegan topik-topik yang familiar seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera. Dua dari kotbah-kotbah itu, Saccavibhaṅga Sutta dan Araṇavibhaṅga Sutta, menunjuk secara langsung kembali ke Dhammacakkappavattana Sutta. (Saccavibhaṅga Sutta tidak ada dalam Vibhaṅgavagga Sarvāstivāda yang ada; tetapi Bucknell berpendapat dengan meyakinkan bahwa ia dihapus secara tidak sengaja pada suatu masa yang belakangan).  Tidak mengejutkan, beberapa kotbah dalam Vibhaṅgavagga berbagi kesamaan dengan bab-bab dalam Vibhaṅga Abhidhamma. Semua ini menunjukkan bahwa bab ini, dengan hubungannya yang erat dengan Saṁyutta, merupakan suatu pembagian yang awal dan penting dalam Majjhima.

Terdapat satu kerangka yang sangat penting, yang mengisi sekeliling sepertiga dari kotbah-kotbah dalam Majjhima dan Dīgha, yang tidak ditemukan, atau setidaknya tidak terkemuka, dalam Saṁyutta Nikāya Theravāda yang ada. Ini adalah “pelatihan” (sikkhā). Perbedaan ini mungkin mengapa ketergantungan Majjhima pada Saṁyutta tidak diperhatikan. Namun, Saṁyukta Āgama Sarvāstivāda meralat hal ini. Ia memiliki sebuah Sikkhā-saṁyutta yang terdiri dari kotbah-kotbah dasar tentang pelatihan berunsur tiga, di mana dalam Theravāda berada sekarang dalam Aṅguttara Nikāya. Dalam Majjhima dan Dīgha pelatihan berunsur tiga yang sederhana ini biasanya diuraikan ke dalam “pelatihan bertahap” yang terperinci, yang menghasilkan dalam banyak kotbah yang panjang. Jika semua kotbah tentang pelatihan itu dikumpulkan, bergaya Saṁyutta, ke dalam satu kumpulan ia akan menjadi panjang dan sungguh tidak praktis. Kumpulan yang panjang demikian segera dipecah ke dalam potongan-potongan yang dapat diatur untuk membentuk bagian-bagian yang penting, mungkin bagian yang terpenting, dari kumpulan yang baru.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #21 on: 05 May 2013, 09:02:11 PM »
5.3 Dīgha

Kita secara unik beruntung memiliki tiga Dīgha yang tersedia untuk diselidiki. Dīgha Nikāya Theravāda dalam Pali sangat dikenal, dan telah dua kali diterjemahkan dalam keseluruhannya ke dalam bahasa Inggris. Dīrgha Āgama Dharmaguptaka dalam Mandarin lebih sedikit dikenal, dan hanya sedikit kotbah dan bacaan telah diterjemahkan. Dīrgha Āgama Sarvāstivāda hampir sepenuhnya tidak diketahui, karena hanya dalam beberapa tahun terakhir naskah-naskah kuno muncul dari  Afghanistan dan telah dibuat tersedia untuk studi (walaupun beberapa dari kotbah-kotbah individual telah disunting dan diterjemahkan sebelumnya). Berikut berasal dari esai Hartman yang merincikan struktur dari kumpulan itu, di mana ia telah merekonstruksi dengan bantuan dari informasi dalam uddāna (ringkasan dari judul-judul kotbah pada akhir setiap bagian), dan angka folio.[9] Hartman mengatakan bahwa hasil ini adalah “mendekati pasti”.

Sebagai tambahan pada sumber-sumber ini, terdapat beberapa informasi tentang suatu versi Dīgha yang disebutkan dalam Abhidharmakośopāyikanāmaṭīkā (AKO) oleh Śamathadeva, yang tersedia dalam bahasa Tibet. Hartman mengatakan kesimpulannya tentang Dīrgha Sarvāstivāda dalam karya paling awalnya berdasarkan sumber ini telah dengan gembira ditegaskan oleh penemuan naskah kuno yang sebenarnya; tetapi, yang lain telah mengatakan bahwa terdapat beberapa perbedaan yang pasti antara Dīrgha seperti yang disimpulkan dari AKO dan naskah kuno.[10] Karena AKO adalah suatu komentar terhadap Abhidharmakośa yang ditulis oleh Vasubandhu, dan karya itu merupakan suatu polemik Sautrāntika melawan Sarvāstivāda, Dīrgha yang digunakan oleh Śamathadeva (dan Vasubandhu) mungkin milik Sautrāntika.

Di sini terdapat isi dari Dīrgha Sarvāstivāda, bersama dengan kotbah-kotbah yang asalnya sama dalam Theravāda (Dīgha and Majjhima) dan Dharmaguptaka (Dīrgha). Kebanyakan dari kotbah-kotbah ini memiliki asal yang sama dalam Mandarin, Tibet, dan Sanskrit, tetapi karena kita tertarik dalam prinsip struktural dari kumpulan-kumpulan itu, alih-alih isi dari kotbah-kotbah individual, saya hanya menyebutkan kotbah-kotbah yang asalnya sama dalam kumpulan-kumpulan utama.

Dalam tabel-tabel berikut, ∃ berarti “ada dalam naskah kuno DA2”; ¶ berarti “ada sebagian”; ∄ berarti “ada hanya sebagai judul dalam uddāna”.

Tabel 5.5: Tiga Dīgha: Bagian Pertama

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
DA2 1 Daśottara
DN 34 Dasuttara
DA 10, 11
DA2 2 Arthavistara


DA2 3 Saṅgīti
DN 33 Saṅgīti
DA 9
DA2 4 Catuṣpariṣat
1

DA2 5 Mahāvadana
DN 14 Mahāpadāna
DA 1
DA2 6 Mahāparinirvāṇa
DN 16 Mahāparinibbāna
DA 2
1 = bab pertama dari Khandaka Vinaya

“Kelompok Enam Sūtra” (ṣaṭsūtrakanipāta) ini merupakan suatu kumpulan yang populer, sejenis kompilasi yang “sukses besar”. Dasuttara dan Saṅgīti mengumpulkan sejangkauan luas ajaran dari sutta-sutta dan menyusun mereka dalam bentuk numerik bergaya Aṅguttara. Arthavistara, walaupun tidak ada dari Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama utama, ditemukan dalam sejumlah terjemahan beranekaragam dalam Mandarin.[11] Ini adalah dua yang terakhir dari 72 terjemahan kotbah individu yang ditempatkan setelah terjemahan Madhyama Āgama yang lengkap, yang menyatakan bahwa para penyusun dari edisi Taishō berpikir mereka termasuk pada Madhyama alih-alih Dīrgha. Mereka adalah terjemahan yang awal, khususnya T No. 98, yang dilakukan oleh An Shigao (berkembang pada tahun 148-170 M), seorang perintis penerjemahan ke dalam Mandarin. Dua terjemahan sebagian besar sepaham dalam isi. Arthavistara disampaikan oleh Yang Mulia Sāriputta dan terdiri dari 23 atau 25 daftar dhamma dalam gaya Dasuttara dan Saṅgīti, tetapi daftar-daftar itu tidak muncul dalam urutan numerik yang menaik dan kebanyakan memiliki jumlah lebih dari 10.

Catuṣpariṣat menceritakan kejadian-kejadian setelah pencerahan Sang Buddha: pemutaran roda Dhamma, dan pendirian perkumpulan berunsur empat. Theravāda dan aliran-aliran lain menyukai untuk memasukkan teks ini dalam Vinaya-Vinaya mereka. Mahāpadāna mengandung banyak hal yang sejajar dengan ini, yang berlatar dalam waktu mitos dari Vipassī Buddha; Mahā Parinibbāna adalah kisah pelengkap pada akhir kehidupan Sang Buddha. Maka “Kelompok Enam Sūtra” ini adalah tiga daftar dari ajaran-ajaran dasar, dan tiga kunci kisah biografis. Ini membuatnya tampak seperti suatu kurikulum dasar untuk para pemula dalam studi-studi Buddhis.

Bagian berikutnya, “Kelompok Berpasangan”, terdiri dari dua vagga, mengandung banyak bahan yang tidak dibagi bersama. Tetapi, satu ciri khas struktural adalah dua pasangan kotbah DN 18/DA 4/DA2 13 Janavasabha & DN 19/DA 3/DA2 14 Mahā Govinda; dan DN 28/DA 18/DA2 15 Sampasādanīya & DN 29/DA 17/DA2 16 Pāsādika. Dua pasangan ini sangat mirip dalam gaya, dan mereka ditemukan bersama dalam semua ketiga kumpulan. Dengan demikian mereka tampak dimiliki bersama, dan mungkin telah ditempelkan bersama melalui berbagai perubahan dalam kumpulan-kumpulan itu. Namun demikian, selain dari ini, bagian ini tidak tampak berbagi warisan struktural bersama.

Bagian ini mengandung beberapa kotbah yang, dalam Pali, ditemukan dalam Majjhima. Tidak ada dari kotbah-kotbah ini memiliki asal yang sama dalam Madhyama Āgama yang ada dalam Mandarin. Sampai penemuan Dīrgha Sarvāstivāda, ini merupakan suatu teka-teki: apakah semua kotbah ini diciptakan oleh Theravāda? Tetapi sekarang teka-teki itu terpecahkan. Dua kumpulan, Madhyama yang sekarang ditemukan dalam kanon Mandarin, dan Dīrgha dari Afghanistan, telah disunting bersama, dan para penyusun menghindari penggandaan kotbah dalam kedua kumpulan. Ini menegaskan bahwa mereka dimiliki oleh aliran yang sama, Sarvāstivāda. Jadi Theravāda dan Sarvāstivāda memiliki versi dari kotbah-kotbah ini, tetapi Theravāda meletakannya dalam Majjhima mereka, sedangkan Sarvāstivāda memasukkannya dalam Dīrgha mereka. Ini menunjukkan kita tidak seharusnya meloncati dengan terburu-buru kesimpulan berdasarkan ketiadaan suatu kotbah tertentu dari satu kumpulan atau yang lain.

Tabel 5.6: Tiga Dīgha: Bagian Kedua

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
Yuganipāta, vagga ke-1


DA2 7 Apannaka
MN 60 Apaṇṇaka

DA2 8 Sarveka


DA2 9 Bhārgava
DN 24 Pāṭika
DA 15
DA2 10 Śalya
MN 105 Sunakkhatta

DA2 11 Bhayabhaivara
MN 4 Bhayabherava

DA2 12 Romaharṣaṇa
MN 12 Mahā Sīhanāda

DA2 13 Jinayabha
DN 18 Janavasabha
DA 4
DA2 14 Govinda
DN 19 Mahā Govinda
DA 3
DA2 15 Prāsādikaḥ
DN 28 Sampasādanīya
DA 18
DA2 16 Prasādanīya
DN 29 Pāsādika
DA 17
Varga ke-2


DA2 17 Pañcatraya
MN 102 Pañcattaya

DA2 18 Māyājāla


DA2 19 Kāmaṭhika
MN 95 Caṅkī

DA2 20 Kāyabhāvanā
MN 36 Mahā Saccaka

DA2 21 Bodha
MN 85 Bodhirājakumāra

DA2 22 Śaṁkara
MN 100 Saṅgārava

DA2 23 Āṭānāṭa
DN 32 Āṭānāṭiya

DA2 24 Mahāsamāja
DN 20 Mahā Samaya
DA 19
« Last Edit: 27 June 2015, 09:57:38 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #22 on: 05 May 2013, 09:16:21 PM »
Kotbah-kotbah ini duduk sangat nyaman dalam Dīgha, karena semuanya berhubungan, dalam satu cara atau yang lain, dengan pertanyaan atas hubungan Buddhisme dan agama-agama lain yang sezaman, yang juga merupakan suatu tema yang terkemuka dari banyak kotbah-kotbah kunci Dīgha yang lain, khususnya Sīlakkhandhavagga yang dibahas di bawah. Vinaya Vibhāśa Sarvāstivāda (suatu komentar Vinaya yang dipertahankan dalam Mandarin) mengatakan bahwa tujuan dari Dīgha (mungkin Dīrgha Sarvāstivāda) adalah untuk menyanggah para pengikut ajaran lain. MN 60/DA2 7 Apaṇṇaka membuka dengan para brahmana dari Sālā mendengarkan penyanggahan Sang Buddha, kemudian memutuskan untuk mengunjungi Beliau; bacaan cadangannya ini ditemukan dalam kotbah 3-7 dari Dīgha Theravāda. MN 95/DA2 19 Caṅkī juga memiliki pembukaan dan tema bergaya Dīgha yang khas.[12] MN 105/DA2 10 Sunakkhatta dan MN 12/DA2 12 Mahāsīhanāda adalah peristiwa-peristiwa dalam karir spiritual yang suram dari pengembara Sunakkhatta, yang juga muncul dalam DN 24/DA 15/DA2 9 Pāṭika; demikianlah Sarvāstivādin menyukai untuk mengumpulkan kotbah-kotbah ini bersama-sama dalam Dīrgha mereka. MN 4/DA2 11 Bhayabherava disampaikan kepada Brahmana Jāṇussoṇi, yang muncul, sepanjang dengan sejumlah brahmana lain yang dihormati yang dicirikan di tempat lain dalam Dīgha, pada DN 13.2. Ini juga berhubungan dengan praktek Bodhisatta sebelum pencerahan, yang menghubungkannya dengan MN 36/DA2 20 Mahāsaccaka, MN 85/DA2 21 Bodhirājakumāra, dan MN 100/DA2 22 Saṅgārava, yang semuanya menggambarkan praktek pertapaan Bodhisatta, sebagai tanggapan pada tantangan oleh para Jain atau brahmana. MN 102/DA2 17 Pañcattaya telah digambarkan sebagai suatu versi “menengah” dari DN 1/DA 21/DA2 47 Brahmajāla, suatu sanggahan yang rumit atas sejangkauan pandangan salah. Ciri gaya Dīgha yang lain adalah bahwa beberapa dari kotbah ini berhubungan dengan pelatihan bertahap: MN 60/DA2 7 Apaṇṇaka, MN 4/DA2 11 Bhayabherava, MN 36/DA2 20 Mahāsaccaka, MN 85/ DA2 21 Bodhirājakumāra, dan MN 100/DA2 22 Saṅgārava. Kotbah lain yang muncul dalam Majjhima Theravāda tetapi Dīrgha Sarvāstivāda adalah MN 55/DA2 43 Jīvaka, yang muncul dalam bagian berikutnya dari Dīrgha Sarvāstivāda. Ini adalah pilihan yang sedikit aneh, karena teks itu sangat pendek, tidak biasanya bahkan untuk sebuah kotbah Majjhima. Namun demikian, ia juga menyampaikan tema tanggapan Sang Buddha atas kritik dari agama-agama lain.

Kotbah-kotbah Majjhima diambil bersama berjumlah sepuluh. Mengejutkannya, terdapat juga sepuluh kotbah dalam situasi yang berlawanan; yaitu, mereka ditemukan dalam Dīgha Theravāda tetapi dalam Madhyama Sarvāstivāda. Ini adalah sebagai berikut: DN 15/MA 97 Mahā Nidāna, DN 17/MA 68 Mahā Sudassana, DN 21/MA 134 Sakkapañha, DN 22/MA 98 Satipaṭṭhāna, DN 23/MA 71 Pāyāsi, DN 25/MA 104 Udumbarikasīhanāda, DN 26/MA 70 Cakkavattisīhanāda, DN 27/MA 154 Aggañña, DN 30/ MA 59 Lakkhaṇa, DN 31/MA 135 Sigalovāda. Karena kotbah-kotbah biasanya dikelompokkan dalam vagga-vagga dari sepuluh, perbedaan ini berasal dari pemindahan vagga-vagga di antara kumpulan-kumpulan. Pertanyaannya kemudian menjadi, dari mana mereka dipindahkan? Dalam kasus dua kotbah yang ditemukan Dīgha Theravāda dan Madhyama Sarvāstivāda, yaitu, Satipaṭṭhāna dan Lakkhaṇa, versi-versi Dīgha memiliki jumlah yang substansial dari bahan tambahan, dan bahan yang ditambahkan pada bukti internal adalah bersifat belakangan. Dengan demikian dua kotbah ini diambil dari Majjhima, ditambahkan, dan ditempatkan dalam Dīgha. Mempertimbangkan bahwa mereka dipindahkan sebagai sebuah kelompok, kesimpulan ini juga berlaku untuk kotbah-kotbah sisanya. Jadi Sarvāstivāda menggeser satu vagga dari Madhyama dari Dīrgha ke dalam Madhyama mereka, dan Theravāda menggeser sebuah vagga yang berbeda dari Majjhima mereka ke dalam Dīgha.

Bagian berikutnya disebut Śīlaskandhanipāta dalam Sanskrit, yang berhubungan dengan Sīlakkhandhavagga Pali. Beberapa dari kotbah-kotbah ditemukan dalam Sanskrit tidak memiliki asal yang sama. Beberapa dari kotbah-kotbah yang tidak dipakai bersama tampaknya anomali: kita telah berkomentar tentang Jīvaka Sutta; ini dipotong terpaut dari teman-teman Majjhima-nya. Khususnya mengejutkan adalah dimasukkannya bahan bergaya Aṅguttara. Mungkin para penyusun dengan sadar menggunakan “prinsip keanekaragaman” dalam mengumpulkan teks-teks: mereka ingin memasukkan sejangkauan bahan yang berbeda-beda dalam satu kumpulan, maka dengan bebas menyisipkan bahan yang tidak sejenis. Prinsip ini dapat dilihat di tempat lain juga. Sebagai contoh, Vinaya, walaupun berfokus terutama pada aturan monastik, menemukan ruang untuk mencakupi sejangkauan luas gaya lainnya, dari ajaran yang bersifat doktrinal, sampai kisah historis, syair-syair, pengisahan cerita, dan seterusnya. Ini mungkin dilakukan karena para pengulang dari semua kumpulan memiliki relatif sedikit pengetahuan atas isi dari kumpulan lain. Dalam Theravāda, para penyusun memastikan, sebagai contoh, bahwa para pengulang Dīgha akan diarahkan pada kunci ajaran bergaya Aṅguttara dengan menyisipkan bahan demikian dalam kotbah-kotbah yang lebih besar. Sarvāstivāda juga melakukan hal ini, tetapi mereka juga mengizinkan ruang untuk bahan yang belum diadaptasikan agar sesuai dalam konteksnya.

Tabel 5.7: Tiga Dīgha: Bagian Ketiga

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
Śīlaskandhanipāta, vagga ke-1


DA2 25 Tridaṇḍin


DA2 26 Piṅgālatreya


DA2 27 Lohitya 1
DN 12 Lohicca
DA 29
DA2 28 Lohitya 2
DN 12 Lohicca
DA 29
DA2 29 Kaivartin
DN 11 Kevaddha
DA 24
DA2 30 Maṇḍīśa 1
DN 7 Jāliya

DA2 31 Maṇḍīśa 2
DN 7 Jāliya

DA2 32 Mahallin
DN 6 Mahāli

DA2 33 Śroṇatāṇḍya
DN 4 Soṇadaṇḍa
DA 22
DA2 34 Kūṭadāṇḍya
DN 5 Kūṭadanta
DA 23
Varga ke-2


DA2 35 Ambāṣṭha
DN 3 Ambaṭṭha
DA 20
DA2 36 Pṛṣṭhapāla
DN 9 Poṭṭhapāda
DA 28
DA2 37 Kāraṇavādin


DA2 38 Pudgala
(Cp. AN 4.198ff.)

DA2 39 Śruta


DA2 40 Mahālla


DA2 41 Anyatama


Varga ke-3


DA2 42 Śuka
DN 10 Subha

DA2 43 Jīvaka
MN 55 Jīvaka

DA2 44 Rājā
DN 2 Sāmaññaphala
DA 27
DA2 45 Vāsiṣṭha
DN 13 Tevijja
DA 26
DA2 46 Kāśyapa
DN 8 Kassapasīhanāda
DA 25
DA2 47 Brahmajāla
DN 1 Brahmajāla
DA 21
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #23 on: 05 May 2013, 09:21:27 PM »
Mengesampingkan teks-teks anomali, hampir semua kotbah dalam bagian ini ditemukan dalam semua ketiga kumpulan. Ini adalah ciri khas struktural yang paling terkemuka dari Dīgha yang ada. Dalam Dīgha sisanya, kebanyakan dari kotbah-kotbah dianut sama di antara tradisi-tradisi, khususnya antara Theravāda dan Dharmaguptaka, tetapi sedikit kemiripan struktural menyatakan bahwa urutan kotbah-kotbah ditetapkan setelah Dharmaguptaka di Gandhārā yang jauh di sebelah barat terpisah dari Theravādin Sri Lanka. Tetapi dalam bagian ini kotbah-kotbah ditemukan secara konsisten berkelompok bersama, meskipun urutan teks-teks sangat berbeda. Sedikit kotbah yang tidak dipakai bersama kebanyakan mengulangi kotbah-kotbah yang dipakai bersama, jadi tidak secara substansial mempengaruhi gambarnya.

Bahkan lebih mengejutkan, kotbah-kotbah semuanya berhubungan dengan suatu topik yang mirip, memberikan kisah terperinci pelatihan etis monastik, yang memberikan alasan judul bab “Sīlakkhandhavagga” (“Bab tentang Kelompok Etika”). Risalah tentang etika ini biasanya dilengkapi dengan bagian-bagian tentang empat jhāna dan kemudian pengetahuan yang lebih tinggi yang memuncak pada realisasi empat kebenaran mulia, yang menyempurnakan pelatihan bertahap berunsur tiga (sikkhā). Posisi vagga itu berbeda-beda – dalam Theravāda ia ada pada awal, dalam Dharmaguptaka dan Sarvāstivāda pada akhir. Kenyataannya Theravāda di sini benar, karena Vinaya dari Dharmaguptaka menyatakan bahwa Brahmajāla Sutta adalah kotbah pertama yang dibacakan dalam Konsili Pertama; teks ini ada dalam Sīlakkhandhavagga dari kedua versi, dan dalam versi Theravāda ia adalah kotbah pertama dalam vagga itu. Oleh sebab itu, Dīrgha Dharmaguptaka pasti telah disusun kembali setelah Vinaya mereka diselesaikan. Penyusunan kembali ini memindahkan kotbah-kotbah yang bersifat monastik dan meditatif dari awal kumpulan dengan kisah biografis dan hagiografis; ini mungkin bahkan telah terjadi di bawah pengaruh Mahāyāna pada masa penerjemahan. Walaupun perbedaan dalam posisi vagga ini, dan walaupun kenyataan bahwa urutan internal dalam vagga itu berbeda, jelas bahwa vagga ini adalah unsur struktural kunci dalam Dīgha yang terjadi bersamaan dalam aliran nenek moyang Theravāda sebelum ia terpecah ke dalam Sarvāstivāda and Vibhajjavāda. Ini lebih jauh ditegaskan dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda, yang mengatakan bahwa Dīgha mengandung Ṣaṭsūtrakanipāta dan Śīlaskandhanipāta, walaupun ini tidak memberikan daftar kotbah-kotbah individual.[13]

Kenyataannya, mungkin bahwa Dīgha awal mula hanyalah Sīlakkhandhavagga. Ini didukung oleh sebuah pernyataan dalam pendahuluan Dīrgha Āgama Dharmaguptaka, yang menggambarkan kumpulan itu berkaitan dengan “berbagai jalan latihan”, yang adalah tujuan utama dari Sīlakkhandhavagga. Bagian ini memiliki ciri khas seperti Saṁyutta yang berbeda – sekelompok sepuluh kotbah yang berkaitan dengan topik yang sama. Dengan demikian Sīlakkhandhavagga mungkin telah ada pertama kali dalam Saṁyutta kuno, di mana ia terdiri atas “*Silakkhandha-saṁyutta”-nya sendiri. Lebih mungkin, walaupun, ia adalah bab terbesar dalam sebuah “*Sikkhā-saṁyutta”, yang belakangan dipecah karena terlalu panjang. Sarvāstivāda mempertahankan sebuah Sikkhā-saṁyutta yang sederhana yang sebagian besar terdiri dari kotbah-kotbah pendek tentang pelatihan berunsur tiga, tetapi dalam Theravāda ini telah lenyap. Kotbah-kotbah yang lebih pendek dipindahkan ke dalam Aṅguttara, yang menengah ke dalam Majjhima, dan yang paling panjang membentuk sebuah kelompoknya sendiri, yang menarik kotbah-kotbah panjang lain dan menjadi Dīgha. Kotbah-kotbah panjang ini semuanya dalam bentuk percakapan dan oleh sebab itu merupakan vyākaraṇa, yang mencatat perdebatan yang bersemangat antara Sang Buddha dan para tokoh spiritual sezaman-Nya.

Tetapi pada waktunya kotbah-kotbah yang belakangan ditambahkan ke Dīgha, pengelompokan tiga aṅga terputus sama sekali. Suatu contoh bagus dari ini adalah Mahāpadāna Sutta.[14] Inti ajaran dari kotbah ini adalah vyākaraṇa bergaya Saṁyutta tentang kemunculan bergantungan (yang memiliki banyak kesamaan dengan SN 12.4–9/SA 366). Ini berhubungan erat dengan suatu bacaan sutta dasar tentang muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang diambil dari Khandha-saṁyutta (bacaan ini berhubungan dengan kemunculan bergantungan dalam teks Theravādin SN 12.22 tetapi tidak dalam rekannya SA 348). Ini ditempelkan dalam sebuah apadāna, suatu bentuk yang ditemukan dalam aṅga berunsur dua belas Sanskrit tetapi tidak dalam aṅga berunsur sembilan Pali. Kotbah itu mulai dengan suatu abbhūtadhamma. Ia juga mengandung Permohonan Brahmā, yang adalah suatu skema geyya. Bahan Vinaya dan beberapa udāna (atau gāthā) dari Dhammapāda dilemparkan ke dalam untuk ukuran yang baik. Demikianlah kita menemukan, dalam satu kotbah yang ada, tidak kurang dari tujuh bentuk kesusasteraan yang berbeda.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #24 on: 05 May 2013, 09:26:14 PM »
5.4 Aṅguttara

Jadi jika Majjhima dan Dīgha dapat dianggap sebagai perkembangan aṅga vyākaraṇa, bagaimana dengan Aṅguttara? Saṁyutta dan Aṅguttara merupakan kumpulan dari kotbah-kotbah lebih pendek yang saling melengkapi. Sementara kotbah-kotbah dalam Saṁyutta dikumpulkan berdasarkan topik (“prinsip saṁyutta”), kotbah-kotbah dalam Aṅguttara disusun dengan urutan numerik (“prinsip aṅguttara”). Sebagai tambahan pada penerapan utama ini dalam Sutta Piṭaka, pasangan prinsip penyusunan ini digemakan dalam Vinaya dan Abhidhamma. Sebagai contoh Vinaya Dharmaguptaka memiliki dua tambahan, satu yang disebut “Saṁyuktavarga”, dan satu yang disebut “Vinayaikottara”.[15] Kita akan dengan singkat mempertimbangkan Abhidhamma di bawah. Kenyataan bahwa dua prinsip itu muncul di seluruh aliran dan juga di sepanjang Piṭaka-Piṭaka menyatakan keduanya penting. Mempertimbangkan ini, maka apakah mungkin untuk menentukan prinsip penyusunan mana yang muncul pertama kali?

Seperti biasanya, kita pertama-tama mempertimbangkan teks-teks pra-Buddhis. Dari Ṛg Veda dan seterusnya dalam banyak literatur Brahmanis syair-syair penghormatan kepada sosok dewa tertentu – katakanlah, Soma, atau Agni, atau Maruts – dikumpulkan dalam bab-bab. Ini adalah prinsip saṁyutta; sesungguhnya, beberapa bab dalam Sagāthāvagga, seperti Sakka-saṁyutta atau Devaputta-saṁyutta, secara langsung mengingat contoh Veda sebelumnya. Beberapa teks Jain yang ada menggunakan prinsip aṅguttara, tetapi ini tidak jelas apakah penggunaan ini sebelum masa Buddhisme. Jadi kebanyakan literatur pra-Buddhis terdiri dari sebagian besar potongan kecil teks-teks yang dikumpulkan bersama pada masa yang belakangan dan disusun berdasarkan topik ke dalam arsitektur yang besar. Saṁyutta dapat dilihat sebagai suatu tantangan kesusasteraan yang langsung pada keunggulan Veda ini, dengan mengambil beberapa unsur formal dan menerapkannya jauh lebih sistematis. Sama seperti Veda-Veda dianggap sebagai suatu pancaran dari Makhluk ke dalam suara, suatu ungkapan dari kecerdasan kosmis bawaan (veda) sebagai suatu tubuh dari puisi yang menginspirasi (Veda-Veda), Saṁyutta dengan mewujudkan empat kebenaran mulia memaparkan hubungan yang sempurna antara Dhamma sebagai pengalaman yang hidup dan Dhamma sebagai ajaran yang terformalisasi.

Dari tradisi pra-Buddhis, marilah kita mempertimbangkan tradisi-tradisi Buddhis awal mula. Ini tentu saja adalah kotbah-kotbah individual, ajaran-ajaran yang diberikan Sang Buddha sendiri. Kebanyakan dari kotbah-kotbah ini terdiri dari pernyataan pendek tentang suatu topik tertentu, di mana aspek-aspek yang berhubungan dari topik itu dapat diringkas dalam sejumlah kecil item-item dasar; sebagai contoh pelatihan berunsur tiga, lima kekuatan, atau enam perenungan. Maka kotbah-kotbah individual, blok-blok bangunan itu, secara internal disusun berdasarkan topik, yaitu, prinsip saṁyutta. Ini menyatakan bahwa gagasan prinsip saṁyutta secara logika mendahului prinsip aṅguttara. Tetapi sementara dalam kebanyakan kasus kesamaan tematik merupakan gaya magnet yang menarik dhamma-dhamma ini bersama, cara menyajikan mereka dalam daftar-daftar dari item-item yang berbeda memberikannya suatu pendirian numerik. Gaya standar pembukaan untuk kotbah-kotbah, katakanlah, “Terdapat empat kebenaran mulia ini...”. Ini akan mengundang pengelompokan di bawah “empat” atau “kebenaran mulia”.

Terdapat beberapa kotbah yang menggunakan jumlah sebagai suatu prinsip penyusunan internal. Sebagai contoh Dhammacakkappavattana Sutta berciri-khaskan kumpulan angka yang saling berkaitan: 2, 3, 4, 8, 12. Kotbah-kotbah demikian melibatkan sifat misterius dari angka, yang dapat dibagi atau dikali, seperti sebuah gambar yang dilihat melalui prisma yang mengungkapkan banyak atau sedikit segi. Tetapi dalam kasus-kasus demikian hubungan numerik, walaupun penting, jelas membawahi hubungan tematik. Hanya kadangkala kita melihat suatu kotbah di mana prinsip numerik menghubungkan ajaran-ajaran yang tidak memiliki hubungan tematik yang kuat. Dalam skala kecil terdapat kotbah-kotbah seperti Mahā Pañha Sutta,[16] yang memberikan suatu daftar dari pertanyaan tentang kumpulan beranekaragam dhamma dari satu sampai sepuluh, dan pada skala besar terdapat tentu saja Saṅgīti dan kotbah-kotbah yang mirip.[17] Tetapi bahkan di sini, sementara tidak ada hubungan tematik yang kuat antara kumpulan dhamma yang berbeda, masing-masing kumpulan dhamma masih secara internal disusun berdasarkan topik. Kapan pun kita mengupas kembali kulitnya, prinsip saṁyutta berada di bawah prinsip aṅguttara.

Mungkin sisa yang paling berpengaruh dari prinsip aṅguttara dalam Buddhisme yang belakangan adalah 37 sayap menuju pencerahan. Kelompok ini menjelaskan sifat saling mempengaruhi antara dua prinsip penyusunan. Ia terdiri dari tujuh kumpulan dhamma yang berhubungan dengan sang jalan, yang mulanya menyusun Mahā Vagga (atau “Magga Vagga” menurut Sarvāstivādin) dari Saṁyutta Nikāya. Dengan demikian struktur keseluruhan yang paling umum adalah prinsip saṁyutta (dhamma-dhamma yang berhubungan dengan satu tema, jalan latihan), dan maka mereka membentuk bagian dari Saṁyutta Nikāya/Āgama. Dalam pengelompokan yang saling melingkupi ini, urutan standar membuat daftar kelompok-kelompok dalam urutan numerik yang menaik, yaitu prinsip aṅguttara – empat (satipaṭṭhāna, usaha benar, landasan kekuatan batin), lima (kemampuan dan kekuatan), tujuh (faktor pencerahan), delapan (faktor dari jalan mulia). Terdapat bukti bahwa ini kenyataannya adalah prinsip aṅguttara yang bekerja di sini, bukan beberapa struktur progresif yang sulit dipahami yang mendasari kumpulan-kumpulan itu. Ini adalah Mahā Pañha Sutta kedua, yang memberikan dhamma-dhamma berikut dalam urutan menaik: (satu) semua makhluk bertahan hidup dari makanan; (dua) nama & bentuk; tiga perasaan; empat satipaṭṭhāna; lima kemampuan spiritual; enam unsur pelepasan; tujuh faktor pencerahan; jalan mulia berunsur delapan; sembilan alam kediaman makhluk; sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.[18] Ini sesuai dengan sebanyak mungkin dari sayap menuju pencerahan ke dalam skema numerik ini. Beberapa aliran, melupakan sifat yang acak dari urutan ini, berusaha menafsirkan ini dengan menyatakan suatu kemajuan latihan yang berurutan; yaitu, mereka menafsirkan suatu kumpulan ajaran yang disusun berdasarkan prinsip aṅguttara seperti telah disusun berdasarkan prinsip saṁyutta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #25 on: 05 May 2013, 09:30:44 PM »
Gethin menunjukkan bahwa banyak dari mātikā dari Abhidhamma Theravāda dan Sarvāstivāda dikonstruksi dengan prinsip aṅguttara.[19] Contoh yang paling penting adalah Dhammasaṅgaṇī, yang didasarkan pada suatu mātikā dari 22 yang berunsur dua dan 100 yang berunsur tiga dari dhamma-dhamma. Banyak dari ini dipakai bersama dengan Sutta-Sutta awal dan Abhidhamma Sarvāstivāda; oleh karenanya, banyak dari yang berunsur dua dan berunsur tiga itu pasti bersifat kuno, walaupun pengerjaan rumit terhadap mereka tidak. Gethin melihat kunci karya-karya Abhidhamma berkembang dari hal yang saling mempengaruhi dari aṅguttara-mātikā dan saṁyutta-mātikā: Dhammasaṅgaṇī didasarkan pada aṅguttara-mātikā, dan menganalisis ini dengan saṁyutta-mātikā; Vibhaṅga didasarkan pada saṁyutta-mātikā dan menganalisis ini dengan aṅguttara-mātikā.[20] Namun, sementara dengan benar menekankan pentingnya prinsip aṅguttara, ia tidak benar-benar menyajikan bukti yang meyakinkan bahwa prinsip aṅguttara merupakan yang sangat penting seperti prinsip saṁyutta. Tidak diragukan Sang Buddha mengajar dalam kumpulan yang diberi penomoran, dan tidak diragukan ini mulai dikumpulkan dari suatu masa awal. Tetapi kisah yang diceritakan oleh teks-teks awal mengatakan bahwa Saṁyutta adalah kumpulan yang paling penting, dalam hal waktu dan ajaran. Lebih jauh, teks-teks berprinsip saṁyutta cenderung relatif konsisten tidak semata-mata dalam prinsip penyusunan mereka tetapi juga dalam isi sebenarnya (saṁyutta-mātikā), sedangkan tidak ada isi standar dari teks berprinsip aṅguttara.

Bucknell membahas ciri khas struktural dari Aṅguttara dalam beberapa kedalaman. Di sini adalah suatu contoh penemuannya.

Yang pertama diberi judul Vaggo paṭhamo (Vagga pertama) – atau, dalam satu naskah kuno Rūpādivaggo paṭhamo (Vagga pertama, tentang Bentuk yang Dapat Dilihat dst.).[21] Dalam kasus ini sepuluh “sutta” pendek menyusun vagga yang dimiliki bersama berkaitan dengan isi dan bentuk. Dalam yang pertama dari sepuluh Sang Buddha mengatakan: “Para bhikkhu, Aku mengetahui tidak ada bentuk yang dapat dilihat lainnya yang sangat memperbudak pikiran seorang pria seperti bentuk yang dapat dilihat dari seorang wanita”; dalam empat berikutnya Beliau mengatakan hal yang sama tentang suara, bau, rasa dan perasaan (pengalaman perabaan) dari seorang wanita; dan dalam lima sisanya Beliau mengulangi semuanya kecuali dengan kata-kata “pria” dan “wanita” saling ditukarkan. Susunan kata-kata sebaliknya identik dalam semua kesepuluh “sutta”. Apa yang diidentifikasi teks sebagai suatu vagga, suatu kumpulan dari sepuluh sutta, sebenarnya memiliki karakteristik dari satu sutta dalam sepuluh bagian, yang dapat ditempatkan dengan benar dalam Yang Lima, atau mungkin Yang Sepuluh. Sekarang, terdapat suatu sutta dalam Yang Lima yang menyisipkan secara harfiah lima yang pertama dari sepuluh “sutta” ini;[22] ia berbeda hanya dalam menambahkan lebih banyak rincian, dengan menempatkan pelajarannya dalam suatu konteks, dan memberikan rumusan pendahuluan dan penutup. Ini, oleh sebab itu, mungkin sumber dari vagga pertama dari Yang Satu. Bagian utama dari sutta sumber diangkat keluar dari konteksnya, dibagi menjadi lima bagian, dan kemudian digandakan dengan menggantikan “pria” dan “wanita”, untuk menghasilkan sekumpulan sepuluh sutta semu, di mana masing-masing berhubungan dengan hanya satu topik Dhamma.[23]

Bucknell mencatat bahwa sepuluh kotbah Theravāda diwakili oleh dua teks dalam Ekottara Mahāsaṅghika (EA 9.7, 9. 8 ) , dengan demikian mendukung hipotesisnya. Ciri khas yang sama mendominasi Yang Satu dari Aṅguttara, dan ditemukan di tempat lain dalam kumpulan itu juga. Alasan yang mungkin atas manipulasi demikian – yang terjadi dalam versi Theravāda dan Mahāsaṅghika – adalah hanya untuk menyediakan lebih banyak bahan untuk angka-angka yang diwakili dengan kurang baik. Terdapat banyak kumpulan dari, katakanlah, lima dhamma, tetapi sedikit kumpulan dari satu dhamma, dan ini mungkin telah mendorong pengirisan beberapa teks dari yang lima ke dalam yang satu.

Walau demikian, masih ada pertanyaan yang tersisa mengapa beberapa dari yang lima dipilih dan bukan yang lain. Apakah ini hanyalah bersifat acak, atau terdapat beberapa prinsip panduan yang berlangsung? Satu alasan yang jelas adalah bahwa banyak dari teks-teks ini berciri-khaskan kata “satu”. Tetapi tidak semuanya. Saya yakin bahwa sebagian dari jawaban juga terletak dalam gema simbolik dari angka-angka. Kekuatan dan misteri dari angka membuat daya tarik pada banyak filsuf dari dunia kuno; mereka belum begitu familiar dengan bilangan sehingga melihatnya hanya sebagai alat untuk manipulasi mekanis dan “kegentingan-jumlah”. Angka menjanjikan kunci untuk membuka misteri bintang-bintang. Angka-angka tertentu jelas memiliki arti penting simbolik dalam tradisi Buddhis. Akan mengejutkan jika arti penting numerologi tidak memiliki pengaruh pada suatu kumpulan yang disusun berdasarkan jumlah. Sebagai contoh, angka “satu” dalam Buddhisme sering menunjuk pada samādhi atau “kesatu-titikan dari pikiran” [ekaggata: keterpusatan pikiran]. Limapuluh lima sutta pertama dari Aṅguttara berkaitan dengan samādhi dan rintangannya, dan secara menyolok berciri-khaskan kata “pikiran” (citta), suatu kata yang sering muncul dalam konteks samādhi sebagai “kesatu-titikan pikiran”. Empat puluh teks pertama berciri-khaskan kata “satu”, tetapi sisanya tidak. Teks-teks ini semuanya dapat dibuktikan sebagai rekaan: kebanyakan darinya dikonstruksi dengan mengiris satu teks yang lebih panjang ke dalam penggalan-penggalan. Mungkin bahwa proses ini didorong oleh perasaan bahwa angka “satu” secara khusus sesuai bagi suatu konteks samādhi.

Kita telah melihat bagaimana beberapa dari hal penting yang bersifat ajaran dalam Aṅguttara dipindahkan dari Saṁyutta. Dan, sesungguhnya kita sering menemukan, dalam keadaan berantakan yang berskala besar dari Aṅguttara, kelompok-kelompok kotbah yang lebih kecil dikumpulkan bersama berdasarkan topik, seperti pelatihan berunsur tiga, berbagai kelompok tentang kekuatan, enam perenungan, jalan berunsur sepuluh, dst.; ini membentuk saṁyutta-saṁyutta kecil dalam Aṅguttara, yang dalam beberapa kasus cocok dengan saṁyutta-saṁyutta sebenarnya dalam Saṁyutta Sarvāstivāda. Kadangkala ini membentuk suatu vagga klasik, seperti AN 3.81–91 tentang pelatihan berunsur tiga, yang mengingatkan tentang sepuluh (atau lebih) kotbah tentang pelatihan bertahap yang ditemukan dalam Dīgha.[24] Kebanyakan dari ini ditemukan dalam Sikkhāsaṁyutta Sarvāstivāda, yang terkonsentrasi dalam satu setengah vagga. Tetapi bahannya kebanyakan berkarateristik Aṅguttara adalah sederhana, ajaran yang berorientasi pada umat awam tentang etika dan ketaatan, dan dalam banyak kotbah prosa ditambahkan dengan suatu ringkasan syair. Ini mengingatkan kita akan aṅga geyya. Sebagai tambahan terdapat sejumlah besar vyākaraṇa yang berhubungan dengan topik-topik yang familiar seperti alat indera, kemunculan bergantungan, dst. Kira-kira 78 kotbah, sebagian besar adalah vyākaraṇa, ditemukan dalam Aṅguttara Theravāda tetapi Madhyama Sarvāstivāda. Beberapa dari ini muncul seperti kotbah “bergaya Majjhima”, dan oleh karenanya mungkin telah dipindahkan dari Majjhima ke dalam Aṅguttara. Dalam kasus-kasus lain terdapat kelompok-kelompok penting dari kotbah-kotbah yang berurutan dalam Madhyama Sarvāstivāda yang berbagi angka yang sama; ini mungkin telah dipindahkan dari Aṅguttara.

Hipotesis saya adalah bahwa Aṅguttara Theravāda memulai hidup sebagai kumpulan yang lebih kecil yang berasal dari aṅga geyya. Ia memasukkan kotbah-kotbah yang lebih pendek yang berhubungan dengan topik-topik yang kurang penting yang tidak dimasukkan dalam Saṁyutta. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan bahan yang sesuai untuk ceramah-ceramah, khususnya untuk para umat awam; fungsi ini dinyatakan oleh aliran-aliran. Pada masa yang belakangan ia banyak diisi dengan bahan dari Majjhima dan Saṁyutta. Kebanyakan bahan ini mulanya milik kumpulan lain dan dipindahkan ke Aṅguttara untuk memberikannya lebih bobot yang bersifat ajaran, memastikan bahwa para siswa Aṅguttara mendapatkan pendidikan yang lengkap, dan menyeimbangkan Nikāya-Nikāya ke dalam empat kumpulan yang secara masuk akal berukuran sama untuk tujuan penghapalan.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Dietz e.g. pg. 26 “kumbhopame vyākaraṇe” (= SN 12.51/SA 292/Skt; judul Pali adalah “parivīmaṁsana”; pg. 33 “phalguṇavavāde vyākaraṇe” (= SN 12.12/SA 372; judul Pali adalah “moḷiyaphagguna”); pg. 52 “pataleyavyakarane” (= SN 22.81/SA 57).

[2] Przylyski, pp. 45, 334; cp. Rockhill, pg. 160.

[3] MN 32/MA 184/EA 37.3/T № 154.6. Theravāda menghubungkan ini dengan Moggallāna, tetapi semua ketiga versi Mandarin lebih masuk akal memuji Moggallāna atas kekuatan batinnya.

[4] T № 154.

[5] AN 1.197.

[6] EA 4.2. Lihat Anālayo (esai yang tidak diterbitkan tentang M 32), Minh Châu, pp. 251–257.

[7] Contoh lain yang mungkin adalah Jhāna Vibhaṅga. Ini memberikan suatu kisah pelatihan bertahap yang lebih ringkas daripada versi Sutta yang biasanya. Namun, dalam kasus ini tampaknya bagi saya ini adalah suatu ringkasan alih-alih suatu versi kuno.

[8] Dalam kenyataannya teks 33-52, yang diwakili oleh satu teks dalam Sarvāstivāda, SA 196, tampaknya diperpanjang dari Ādittapariyāya Sutta yang dilipatgandakan untuk memenuhi lima puluh.

[9] Terima kasih saya kepada penulis untuk menyediakan saya dengan salinan dari esai ini.

[10] Stephen Hodge, komunikasi pribadi.

[11] T № 97, T № 98. Terima kasih saya kepada Rod Bucknell atas informasi ini.

[12] Secara kebetulan, sebuah penggalan dari suatu versi Mahāsaṅghika dari kotbah ini juga ada.

[13 T24, p. 35 a3 & 57 a26–7; Yin Shun (1971), pp. 720–725. Dalam Mandarin, nipāta kedua dengan salah disebut “ Enampuluh-tiga-Nipāta”.

[14] DN 14/DA 1/EA 48.4.

[15] Heirmann, pg. 27.

[16] AN 10.27/EA 46.8/SA 486–489*.

[17] DN 33/DA 9/T № 12/Skt.

[18] AN 10.28.

[19] Gethin, 1992.

[20] Tetapi beberapa topik dari Vibhaṅga, seperti 37 sayap menuju pencerahan, menyatakan prinsip aṅguttara dan bagian-bagian dari mātikā Dhammasaṅgaṇī menyatakan prinsip saṁyutta.

[21] AN 1.1–10/EA 9.7–8.

[22] AN 5.55.

[23] Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.

[24] Edisi-edisi yang berbeda bervariasi dalam penomoran kotbah-kotbah berdasarkan satu pada titik ini. SuttaCentral mendaftarkan AN 3.81 Samaṇa sampai AN 3.91 Paṅkadha memiliki rekan SA pada 816–21, 824, 827–32.
« Last Edit: 05 May 2013, 09:33:51 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #26 on: 09 May 2013, 01:52:57 PM »
Bab 6
Evolusi Kebenaran Mulia

Bagaimana ajaran-ajaran berevolusi dalam teks-teks yang telah kita bahas? Kita akan mengambil contoh utama empat kebenaran mulia. Juga memiliki posisi utama dalam Dhamma, kerangka ini memberikan suatu model tertentu yang jelas untuk jenis-jenis perubahan yang kita minati di sini. Secara khusus, teks-teks itu sendiri menyatakan suatu evolusi dalam penyajian ajaran.

6.1 Dhammacakkappavattana Sutta Sanskrit

Versi Theravāda dari Dhammacakkappavattana Sutta, yang sejauh ini paling terkenal, menyajikan bahan ajaran dengan cara berikut. Pertama-tama muncul dua ekstrem dan jalan berunsur delapan; kemudian muncul definisi dari kebenaran-kebenaran; akhirnya muncul penjelasan tentang “tiga siklus dan dua belas cara”.

Penyajian ini tidak umum pada semua versi. Yang paling penting dari perhatian kita, beberapa menghilangkan definisi kebenaran-kebenaran; kita telah menyebutkan bahwa ini adalah kasusnya dengan Dhammacakkappavattana Sutta SA. Satu versi bahkan menghilangkan kebenaran-kebenaran sepenuhnya, menyajikan hanya ekstrem-ekstrem dan jalan tengah. Catuṣpariṣat Sūtra Sarvāstivāda memberikan suatu perspektif yang menarik tentang bagaimana variasi ini dapat muncul. Di sini saya memberikan suatu ringkasan dari kisah yang penting ini. Ini diterbitkan sebagai bagian dari terjemahan Kloppenborg atas Catuṣpariṣat Sūtra; tetapi saya telah secara substansial merevisi terjemahan Kloppenborg untuk membawa kedekatan dari versi Sanskrit dengan Pali. Ajaran-ajaran mulai setelah suatu percakapan yang diperpanjang antara Sang Buddha dan kelompok lima bhikkhu, mirip dengan kisah dalam bacaan yang sejajar dalam Mahāvagga Vinaya Theravāda.[1] Lima bhikkhu itu telah mengkritik Sang Buddha karena kembali ke kebiasaan lama yang tercela, kembali pada suatu kemewahan, dengan meninggalkan praktek keras dari pertapaan. Sang Buddha menanggapi:

11.14 “Para bhikkhu, kedua ekstrem ini seharusnya tidak dikembangkan atau dinikmati atau diikuti oleh seseorang yang telah meninggalkan keduniawian: ketaatan pada kemanjaan dalam kesenangan indera, yang rendah, kasar, biasa, dilakukan oleh orang-orang biasa; dan ketaatan pada penyiksaan diri, yang menyakitkan, hina, dan tidak berarti.

11.15 “Menghindari kedua ekstrem ini adalah jalan tengah, yang membawa pada penglihatan, pengetahuan, dan pengetahuan jernih, pencerahan, dan Nibbana.”

11.16 “Apakah jalan tengah itu? Ini adalah jalan mulia berunsur delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, upaya benar, perhatian benar, dan samādhi benar sebagai yang kedelapan.”

11.17 Sang Bhagava berhasil dalam membujuk lima bhikkhu dengan cara pengajaran ini. Pada pagi hari Sang Bhagava mengajar dua dari lima bhikkhu, sedangkan tiga orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Enam dari mereka makan dari apa yang dibawa tiga orang itu.

11.18 Pada sore hari Sang Bhagava mengajarkan tiga dari lima bhikkhu, sedangkan dua orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Lima dari mereka makan dari apa yang dibawa dua orang itu. Sang Tathāgata hanya makan pada pagi hari, pada waktu yang layak.

12.1 Kemudian Sang Bhagava memanggil lima bhikkhu itu:

12.2 “‘Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan (buddhi) muncul.”

12.3 “‘Inilah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul.”

12.4 “‘Kebenaran mulia tentang penderitaan harus diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih (abhjñā)’... pencerahan muncul.”

12.5 “‘Asal mula penderitaan... harus ditinggalkan dengan pengetahuan jernih’....”

12.6 “‘Lenyapnya penderitaan... harus dilihat...’....”

12.7 “‘Jalan menuju lenyapnya penderitaan... harus dikembangkan...’....”

12.8 “‘Kebenaran mulia tentang penderitaan telah diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih’... pencerahan muncul.”

12.9 “‘... Asal mula penderitaan... telah ditinggalkan dengan pengetahuan jernih’....”

12.10 “‘... Lenyapnya penderitaan... telah dilihat dengan pengetahuan jernih’....”

12.11 “‘Kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan dengan pengetahuan jernih.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul.”

12.12 “Selama, para bhikkhu, mengenai empat kebenaran mulia ini dengan tiga putaran dan dua belas caranya, penglihatan tidak muncul, ataupun pengetahuan, ataupun realisasi, ataupun pencerahan tidak muncul, selama itu juga, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para pangeran dan rakyatnya Aku tidak menyatakan telah terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas... dengan pencerahan sempurna yang tiada bandingnya.”

12.13 “Tetapi ketika, para bhikkhu, mengenai empat kebenaran mulia ini dengan tiga putaran dan dua belas caranya, penglihatan muncul, juga pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul, maka, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para pangeran dan rakyatnya, Aku menyatakan telah terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas... dengan pencerahan sempurna yang tiada bandingnya.”

13.1 Ketika uraian dhamma ini telah diberikan, Yang Mulia Kauṇḍinya mencapai penglihatan Dhamma yang tidak ternoda, murni tentang dhamma-dhamma, bersama-sama dengan 80.000 dewa.

13.2 Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Mulia Kauṇḍinya:

13.3 “Kauṇḍinya, apakah kamu memahami Dhamma dengan mendalam?”

13.4 “Saya memahami dengan mendalam, Yang Mulia.”

13.5 “Kauṇḍinya, apakah kamu memahami Dhamma dengan mendalam?”

13.6 “Saya memahami dengan mendalam, Sugata.”

13.7 Dhamma telah dipahami dengan mendalam oleh Yang Mulia Kauṇḍinya, oleh sebab itu Yang Mulia Kauṇḍinya disebut ‘Ājñātakauṇḍinya’.”

13.8-12 [Berbagai kumpulan dewa, dari para yakkha bumi sampai para dewa Brahmā, berseru untuk mengumumkan pemutaran roda Dhamma dengan tiga putaran dan dua belas caranya.]

13.13 Demikianlah roda Dhamma ini dari Dhamma dengan tiga putaran dan dua belas caranya diputar Sang Bhagava di Taman Rusa di Isipatana. Oleh karena itu uraian dari Dhamma ini disebut “Pemutaran Roda Dhamma”.

14.1 Kemudian Sang Bhagava berkata kepada lima bhikkhu itu:

14.2 “Terdapat, para bhikkhu, empat kebenaran mulia. Apakah empat hal itu?”

14.3 “Kebenaran mulia tentang penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.”

14.4 “Apakah kebenaran mulia tentang penderitaan?”

14.5 “Kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, berpisah dari yang disenangi adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan, mencari tetapi tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan.  Secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan. Untuk memahami sepenuhnya hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.6 “Apakah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan?”

14.7 “Keinginan yang berhubungan dengan kelahiran kembali, berkaitan dengan kenikmatan dan nafsu, yang menyenangi di sini dan di sana. Untuk meninggalkan hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.8 “Apakah kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan?”

14.9 “Ini adalah meninggalkan sepenuhnya keinginan itu yang berhubungan dengan kelahiran kembali, berkaitan dengan kenikmatan dan nafsu, yang menyenangi di sini dan di sana; pelepasan, penghancuran, pelenyapan, memudarnya, penghentian, penenangan, dan mengakhirinya. Untuk melihat hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.10 “Apakah kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan?”

14.11 “Ini adalah jalan mulia berunsur delapan, yaitu pandangan benar... samādhi benar. Ini harus dikembangkan.”

14.12 Ketika uraian Dhamma ini diberikan, pikiran Ājñātakauṇḍinya terbebaskan dari kekotoran tanpa kemelekatan, dan untuk sisa dari lima bhikkhu itu penglihatan Dhamma yang tidak bernoda, murni tentang dhamma-dhamma muncul. Pada waktu itu terdapat seorang Arahat di dunia; Sang Bhagava adalah yang kedua.

15.1 Kemudian Sang Bhagava memanggil sisa dari  lima bhikkhu itu:

15.2 “Para bhikkhu, bentuk fisik bukanlah diri....”

15.3-18 [Sang Buddha mengajarkan Kotbah tentang Bukan-Diri, hampir identik dengan versi Pali.]
15.19 Ketika uraian Dhamma ini diberikan, pikiran empat bhikkhu sisanya terbebaskan dari kekotoran, tanpa kemelekatan. Pada waktu itu terdapat lima Arahat di dunia; Sang Bhagava adalah yang keenam.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #27 on: 09 May 2013, 01:54:53 PM »
Terdapat terlalu banyak poin yang menarik dalam kisah ini untuk disebutkan semuanya; pembaca diminta untuk membandingkan dengan hati-hati dengan versi Theravādin. Jelasnya, bagian ajaran hampir identik. Perbedaan yang patut dicatat dalam isi adalah penghilangan “kesedihan, ratap tangis, kesakitan, dukacita, dan keputusasaan adalah penderitaan”, sebuah frase yang adalah standar dalam Theravāda, tetapi dihilangkan di tempat lain dalam Sarvāstivāda, seperti Saccavibhaṅga Sutta. Juga frase “sakit adalah penderitaan” dan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dari yang disenangi” kadangkala dihilangkan Theravāda. Tidak ada dari perbedaan ini bersifat sektarian. Perbedaan yang paling mengejutkan adalah struktur kisahnya. Theravāda menggabungkan ajaran-ajaran dalam satu sesi – dua ekstrem, definisi kebenaran-kebenaran, tiga putaran dan dua belas cara – di mana pada akhirnya Yang Mulia Kauṇḍinya mencapai penglihatan Dhamma. Kemudian, selama beberapa hari berikutnya, Sang Buddha memberikan ajaran-ajaran yang lebih jauh. Ini tidak dijelaskan, tetapi Yang Mulia Vappa dan Bhaddiya, dan kemudian Yang Mulia Mahānāma dan Assaji, mencapai pemasuk arus. Masing-masing, segera setelah melihat Dhamma, meminta penahbisan di bawah Sang Buddha, dan ini membentuk hubungan tematik dengan Vinaya, yang disajikan sebagai pengantar pada perkembangan prosedur penahbisan. Unsur-unsur khusus Vinaya demikian tidak ada dalam Catuṣpariṣat Sūtra. Selanjutnya, selama Kotbah tentang Bukan-Diri, semua kelima bhikkhu mencapai Kearahatan. Jadi penyajian dari peristiwa-peristiwa dalam Sarvāstivāda membuat masuk akal kisah Theravāda juga: pertama ajaran dasar tentang sang jalan dan kebenaran-kebenaran diberikan, diikuti dengan penjelasan yang lebih rinci. Belakangan Theravāda menggabungkan ajaran-ajaran itu ke dalam satu kotbah yang lebih panjang.

Beberapa unsur dalam Sarvāstivāda jelas bersifat belakangan, seperti penyisipan tentang “80.000 dewa”; tetapi ini harus diterima bahwa karya itu secara umum menempel bersama sangat baik sebagai sebuah kisah. Dua ekstrem dan jalan tengah disajikan lebih secara langsung dan secara eksplisit sebagai tanggapan pada kritik atas kembali ke kebiasaan lama yang tercela. Kemudian, ajaran pokok tentang tiga putaran dan dua belas cara diberikan. Ini, di sini ditekankan lebih banyak daripada dalam Theravāda, menjadi suatu tema yang berulang. Mereka dimasukkan dalam pernyataan para dewa, dan lagi ditunjukkan dalam definisi yang kemudian tentang kebenaran-kebenaran, dalam frase “Untuk mengetahui sepenuhnya hal ini... [dst]”; tidak ada kedua konteks ini dalam kisah Theravāda. Tampaknya bahwa dalam tradisi ini, makna sebenarnya dari judul kotbah itu, “Pemutaran Roda Dhamma”, menunjuk pada tiga putaran (lihat bagian 13.13 di atas). Hanya setelah penyajian tiga putaran dan dua belas cara, definisi yang terperinci dari kebenaran-kebenaran yang diberikan. Ini diungkapkan dalam bentuk pertanyaan retoris, sedangkan dalam Theravāda pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada. Demikianlah dalam versi Sarvāstivāda pernyataan awal dari ajaran dasar dalam bentuk deklaratif diikuti, pada waktu yang belakangan, dengan pemaparan yang terperinci dalam bentuk tanya jawab. Ini berhubungan persis dengan model sutta/vyākaraṇa. Perhatikan struktur itu di sini:

1. Pernyataan (sutta): Terdapat penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

2. Pertanyaan: Apakah penderitaan?

3. Penjelasan (vyākaraṇa): Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

Sekarang Kotbah tentang Bukan-Diri mengambil dari sini, dengan menjelaskan bagaimana lima kelompok unsur kehidupan adalah penderitaan. Ini seakan-akan pertanyaan lain telah ditanyakan:

1. Pernyataan (sutta): Terdapat penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

2. Pertanyaan: Apakah penderitaan?

3. Penjelasan (vyākaraṇa): Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

4. Pertanyaan: Bagaimana lima kelompok unsur kehidupan adalah penderitaan?

5. Penjelasan: Bentuk fisik bukanlah diri. Jika bentuk fisik adalah diri, ia tidak akan membawa pada penderitaan....

Jadi penjelasan pada satu tingkat menjadi teks dasar untuk penjelasan yang lebih dalam. Penjelasan ini kemudian memperkenalkan suatu bidang baru dari ajaran, lima kelompok unsur kehidupan, yang memerlukan penjelasan yang lebih jauh; menurut GIST, ini adalah sumber Khandha-saṁyutta. Demikianlah konsep vyākaraṇa adalah sesuatu yang relatif, yang bergantung pada tingkat mana dari teks yang dijelaskan. Ini menyatakan bahwa kategori vyākaraṇa akan fleksibel, dan akan berkembang karena penjelasan-penjelasan itu menjadi lebih abstrak dari teks awalnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #28 on: 09 May 2013, 01:58:45 PM »
6.2 Spiral Penguraian

Proses penjelasan yang sama adalah eksplisit di tempat lain dalam Sutta-Sutta juga, yang sebagian besar dicirikan dalam ajaran dari Yang Mulia Sāriputta. Di sini awal dari Mahā Hatthipadopama Sutta:

“Teman-teman, seperti halnya jejak kaki dari makhluk hidup apa pun yang berjalan dapat ditempatkan dalam sebuah jejak kaki gajah... demikian juga semua prinsip-prinsip yang bermanfaat dapat dimasukkan dalam empat kebenaran mulia. Apakah empat hal itu? Kebenaran mulia tentang penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan.”

“Dan apakah kebenaran mulia tentang penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.”

“Dan apakah lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan? Mereka adalah: kelompok bentuk fisik yang berkaitan dengan kemelekatan, kelompok perasaan... persepsi... aktivitas-aktivitas [kehendak]... kesadaran yang berkaitan dengan kemelekatan.”

“Dan apakah kelompok bentuk fisik yang berkaitan dengan kemelekatan? Ini adalah empat unsur besar fisik dan bentuk fisik yang diturunkan darinya.”

“Dan apakah empat unsur besar fisik? Mereka adalah: unsur tanah... air... api... udara.”

“Dan apakah unsur fisik dari tanah? Unsur fisik dari tanah dapat berupa internal atau eksternal.”

“Dan apakah unsur fisik tanah internal? Apa pun yang secara internal, dimiliki seseorang, padat, keras, dan dapat digenggam; yaitu, rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit....”[2]

Di sini lingkaran yang berulang dari teks/penjelasan dibawa ke sebuah tingkatan yang terperinci, yang berfokus bahkan lebih halus, dari kebenaran-kebenaran menuju kelompok-kelompok unsur kehidupan menuju unsur-unsur fisik, yang menunjukkan bagaimana semua “dhamma-dhamma yang bermanfaat” ini terkandung dalam empat kebenaran mulia. Mempertimbangkan kerancuan yang meresap dari istilah “dhamma”, adalah mungkin untuk membaca istilah itu di sini menunjuk pada “kualitas-kualitas, prinsip-prinsip”, yang berarti bahwa semua latihan kontemplatif menempati pada kerangka pemahaman yang lebih luas dari empat kebenaran mulia, dan juga “ajaran-ajaran”, yang berarti bahwa semua ajaran dapat dikelompokkan dalam empat kebenaran mulia (= Saṁyutta kuno). Bagi para Buddhis awal, ini, bukan sebuah teori yang sulit dipahami, tetapi suatu pencerminan dari bagaimana ajaran-ajaran mewujudkan pada suatu tingkatan yang mendalam struktur dari realitas.

Saccavibhaṅga Sutta memberikan contoh proses penguraian ini bahkan lebih eksplisit.[3] Ini berlatarkan di Taman Rusa di Benares, dan Sang Buddha mengingat kembali ajaran-Nya sendiri tentang Dhammacakkappattana Sutta di sana. Beliau memuji Yang Mulia Sāriputta atas kemampuannya untuk mengajarkan empat kebenaran mulia secara rinci, dan kemudian mengundurkan diri ke tempat kediaman-Nya. Yang Mulia Sāriputta mendapatkan isyarat, dan melanjutkan menganalisis kebenaran-kebenaran. Sementara dalam Mahā Hatthipadopama Sutta ia berkonsentrasi dengan teliti pada empat unsur fisik, di sini ia memberikan penjelasan untuk semua aspek dari kebenaran-kebenaran. Ajaran itu memiliki struktur sebagai berikut:

1) Pernyataan (sutta): Sang Buddha mengajarkan empat kebenaran mulia.

2) Pertanyaan: Apakah empat hal itu?

3) Penjelasan (vyākaraṇa): Penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

4) Pertanyaan: Apakah penderitaan?

5) Penjelasan: Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

6) Pertanyaan: Apakah kelahiran?

7) Penjelasan: Kelahiran makhluk-makhluk dari berbagai jenis....

Dalam teks-teks utama ini tradisi-tradisi secara langsung menghubungkan asal mula historis mereka dengan tingkatan penguraian itu. Pertama adalah pernyataan tentang kebenaran-kebenaran; kemudian penjelasan tentang kebenaran-kebenaran; kemudian penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penjelasan itu. Perhatikan bahwa tingkat terakhir penjelasan ini diyakini berasal dari seorang siswa, bukan Sang Buddha sendiri. Dan penjelasan terperinci ini menunjukkan banyak perbedaan. Sebagai contoh, Sarvāstivāda memberikan suatu penjelasan terperinci dari frase “sakit adalah penderitaan”, yang tidak ditemukan dalam konteks ini dalam Pali (tradisi Theravāda sangat rancu tentang dimasukkannya “sakit” dalam kebenaran mulia). Banyak bahan lain juga adalah pernyatan-pernyataan yang sebagian besar ditemukan dalam Āgama-Āgama tentang ajaran Sarvāstivāda tentang waktu: “Kebenaran mulia tentang penderitaan ini telah ada di masa lampau, ada di masa sekarang, dan akan ada di masa depan...”. Adalah mudah untuk melihat bagaimana pernyataan-pernyataan seperti ini, yang menegaskan bahwa Dhamma adalah suatu prinsip yang tidak bergantung waktu, dapat dimasukkan ke dalam ajaran bahwa “dhamma-dhamma” (fenomena) selalu ada di masa lampau, masa depan, dan masa sekarang.

Evolusi ajaran-ajaran tentang empat kebenaran mulia tidak berhenti di sini. Mahā Satipaṭṭhāna Sutta memasukkan tubuh ajaran dari Saccavibhaṅga Sutta, dengan menambahkan bahkan lebih banyak bahan. Kita akan menyelidiki hal ini lebih jauh dalam penelitian tentang Satipaṭṭhāna Sutta. Penambahan utama adalah perluasan yang panjang dari kebenaran mulia kedua dan ketiga. Kebenaran mulia penderitaan juga diperluas dalam cara yang lebih mendalam, dengan penambahan “sakit” dan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang disenangi” pada penjelasan ringkas dan terperinci. Terdapat banyak inkonsistensi dalam cara tradisi memperlakukan frase-frase ini. Keduanya ditemukan dalam Saccavibhaṅga Sutta Sarvāstivādin, tetapi bukan Theravādin. Dengan demikian penyajian Mahā Satipaṭṭhāna Sutta tentang kebenaran-kebenaran jelas menyatakan perluasan historis yang lebih jauh, walaupun dalam kasus ini konteks historis tidak ditegaskan dalam teks itu sendiri.

Mahā Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda menyajikan kebenaran-kebenaran yang diambil oleh Vibhaṅga Abhidhamma dalam uraiannya tentang kebenaran-kebenaran. Di sini kita melihat penambahan yang lebih jauh. Alih-alih menunjuk pada seseorang yang tertimpa “beberapa jenis kemalangan”, Vibhaṅga merincikan kemalangan yang disebabkan kegagalan dalam keluarga, kekayaan, penyakit, etika, atau pandangan. Juga “pemotongan kemampuan hidup” (jīvitindriyassupaccheda) ditambahkan pada definisi kematian. Tetapi secara umum, Pemaparan Sutta tetap benar-benar sama dengan Sutta-Sutta. Pemaparan Abhidhamma menggunakan bentuk konsep abhidhamma yang berkembang untuk menganalisis kebenaran-kebenaran. Anehnya, kebenaran pertama dan kedua adalah dalam urutan yang terbalik. Seperti biasa, pemaparan itu mengikuti jejak serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang tidak berarti dan sangat menekankan pengajaran yang semakin meningkat. Satu-satunya yang menarik pada bagian “pertanyaan” terakhir, standar dalam Vibhaṅga, adalah bahwa sekali lagi ia mencerminkan bentuk pernyataan/pertanyaan yang telah kita lihat berkembang sepanjang evolusi teks-teks. Di sini bahkan Pemaparan Abhidhamma yang telah berkembang menjadi teks dasar, yang tunduk pada pertanyaan yang lebih jauh. Kenyataannya, Abhidhamma kadangkala dikatakan dicirikan dengan “metode pertanyaan” ini, yang tampaknya ganjil ketika kita mengetahui bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang umum ada dalam Sutta-Sutta juga, tetapi dapat dijelaskan ketika kita menyadari bahwa Abhidhamma sebagian besar diturunkan dari aṅga vyākaraṇa.

Analisis kebenaran-kebenaran berkembang seperti ini: Saccavibhaṅga Sutta → Mahā Satipaṭṭhāna Sutta → Vibhaṅga. Pada setiap tahap lebih banyak bahan ditambahkan. Beberapa bahan ditambahkan dalam versi akhir Vibhaṅga menemukan jalan kembalinya ke dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta Myanmar (VRI). Ini memasukkan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dari yang disenangi”, dan “pemotongan kemampuan hidup” bahkan dibuat kembali ke dalam Saccavibhaṅga Sutta, dengan “berevolusi terbalik” seperti ini: Vibhaṅga → Mahā Satipaṭṭhāna Sutta → Satipaṭṭhāna Sutta/Saccavibhaṅga Sutta.

Perlakuan terhadap empat kebenaran mulia persis seperti yang diprediksi oleh GIST. Ajaran-ajaran pokok ditemukan dalam Saṁyutta dan Vinaya. Penyajian yang lebih sederhana dari ajaran itu muncul pertama-tama, dan penyajian yang lebih rumit kemudian. Pernyataan dasar dalam bentuk deklaratif, yang diucapkan Sang Buddha. Penguraian yang lebih rumit dalam bentuk pertanyaan, dan dihubungkan dengan para siswa. Ini berkembang dari Saṁyutta ke Majjhima ke Dīgha ke Abhidhamma.

Catatan Kaki:


[1] Kebanyakan dari ini banyak tersedia dalam Life of The Buddha oleh Bhikkhu Ñāṇamoli.

[2] MN 28.2–6/MA 30.

[3] MN 141/MA 31/T № 32/EA 27.1/T № 1435.60.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #29 on: 07 August 2013, 06:20:39 PM »
 
Bab 7
Apa yang Terjadi di Gua Sattapaṇṇi?

Sebelum Beliau wafat, Sang Buddha menasehati para bhikkhu:

“Oleh karena itu, Cunda, kalian semua di mana kepada kalian Aku telah mengajarkan dhamma-dhamma ini, setelah melihatnya dengan pengetahuan jernih-Ku, seharusnya berkumpul bersama dan membacakan mereka, menetapkan makna di samping makna dan ungkapan di samping ungkapan, tanpa perselisihan, agar bahwa kehidupan suci ini dapat berlanjut dikembangkan untuk waktu yang lama, untuk manfaat dan kebahagiaan dari banyak orang, demi belas kasih kepada dunia, untuk manfaat dan kebahagiaan dari para dewa dan manusia. Dan apakah dhamma-dhamma yang seharusnya kalian bacakan bersama? Empat satipaṭṭhāna, empat upaya benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan.”[1]

Ini adalah versi Theravāda. Dalam Dharmaguptaka, 37 sayap menuju pencerahan digantikan dengan dua belas aṅga.[2] Terdapat masalah di sini. Tiga puluh tujuh sayap menuju pencerahan dan dua belas aṅga adalah, secara sekilas, hal yang sangat berbeda: sayap-sayap menuju pencerahan adalah topik-topik ajaran, sedangkan aṅga-aṅga adalah gaya kesusasteraan. Tetapi jika sayap-sayap menuju pencerahan adalah, seperti yang saya nyatakan, terutama sebuah daftar isi dari bagian meditasi (Magga Vagga) dari Saṁyutta kuno, dan jika tiga aṅga secara luas diidentifikasi dengan Saṁyutta kuno secara keseluruhan, maka masalah terselesaikan.

Terdapat nasehat yang sama dalam Mahā Parinibbāna Sutta. Sang Buddha, setelah melepaskan keinginan-Nya untuk terus hidup, mengumpulkan para bhikkhu di Aula Beratap Segitiga di Hutan Besar di Vesālī. Dalam Pali, Sang Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk mempelajari dan berlatih 37 sayap menuju pencerahan, dalam kata-kata yang sama seperti di atas, tetapi tidak secara khusus menyebutkan membacakannya bersama-sama.[3] Sarvāstivāda memiliki bacaan yang sama, tetapi latarnya adalah di Tempat Pemujaan Cāpala. Seperti halnya Pali, ini menyebutkan 37 sayap menuju pencerahan, tetapi menambahkan bahwa dhamma-dhamma ini harus “diingat, dipahami dengan baik, dan dibacakan”.[4]

Versi Sanskrit lainnya, di mana kita hanya memiliki potongan ini, menjelaskan kejadian yang sama yang terjadi di Tempat Pemujaan Gandhamādāna. Ini menyebutkan aṅga-aṅga dan sayap-sayap menuju pencerahan. Ini sedikit aneh bahwa sayap-sayap pencerahan, yang merupakan ajaran-ajaran tentang latihan, adalah untuk dibacakan, sedangkan aṅga-aṅga adalah untuk dilatih; ini menghilangkan semua pembagian antara teori dan praktek, dan cenderung lebih jauh menyatakan penyatuan dari dua kelompok ini. Kita mencatat sekilas bahwa beberapa dari frase-frase itu dalam bacaan berikut (“dengan bersama-sama bergembira, tanpa perselisihan, dalam kesatuan, dengan pembacaan yang bersatu...” dst.) mengingatkan pada bahan Vinaya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, dhamma-dhamma tersebut yang telah Ku-nyatakan, setelah melihat dan memasukinya dengan pengetahuan langsung-Ku – yaitu: empat satipaṭṭhāna, empat upaya benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan – di sanalah kalian semua harus, dalam kebersamaan dan kerukunan, dengan bersama-sama bergembira, tanpa perselisihan, dalam kesatuan, dengan pembacaan yang bersatu, satu bagaikan susu dan air... (?)... seharusnya berdiam dalam kenyamanan.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, dhamma-dhamma yang diajarkan oleh-Ku – yaitu, sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā-udāna-nidāna-avadāna-itivuttaka-jātakavepulla-abbhūtadhamma-upadeśa – dhamma-dhamma tersebut harus dengan baik dan sepenuhnya dipelajari; setelah dipelajari mereka harus diingat; setelah diingat mereka harus diselidiki; setelah diselidiki mereka harus dipahami; setelah dipahami, dalam hal yang sama mereka harus dilatih.”[5]

Sedikit setelah kejadian ini, dalam versi Pali dan Sanskrit, muncul ajaran yang terkemuka tentang rujukan agung, yang telah kita temui sebelumnya: ketika siapa pun membuat pernyataan tentang ajaran Sang Buddha, tidak peduli betapa terpelajarnya atau berwibawanya mereka, pernyataan mereka harus dibandingkan dengan Sutta-Sutta dan Vinaya.[6] Sanskrit menyatakan prinsip-prinsip penting lebih secara eksplisit daripada Pali: “Para bhikkhu harus bergantung pada Sutta-Sutta bukan pada individu”.[7] Dalam alur narasi, ini mengingatkan kembali pada pernyataan-pernyataan yang lebih awal, yang menyatakan “sutta-sutta” di sini berhubungan dengan sayap-sayap menuju pencerahan dan/atau aṅga-aṅga: yaitu Saṁyutta kuno.

Versi Sanskrit mencatat suatu pernyataan tambahan, yang sama. Ini diberikan keunggulan besar dengan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran menjelang kematian yang terkenal dari Sang Buddha. Dalam istilah-istilah yang identik pada konteks sebelumnya, Sang Buddha menyatakan bahwa dhamma-dhamma bermanfaat tersebut adalah untuk dipelajari, diingat, dan dibacakan, tetapi alih-alih menyebutkan sayap-sayap  menuju pencerahan ini menyebutkan dua belas aṅga.[8] Dalam kedua kasus ini, dhamma-dhamma yang sama ditemukan dalam konteks yang sama dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda.[9]

Bacaan ini mendukung tesis kita, apakah mereka perkataan Sang Buddha yang otentik atau tidak. Jika mereka tidak otentik, mereka pasti telah diciptakan oleh Sangha, mungkin untuk mengesahkan kenyataan Konsili Pertama di Rājagaha. Mereka tidak mungkin penambahan yang sangat belakangan, karena maka mereka pasti menyebutkan Nikāya-Nikāya, seperti juga kisah dalam Cūḷavagga Vinaya. Kenyataan bahwa mereka menunjuk, tampaknya tanpa perbedaan, pada 37 sayap pencerahan dan aṅga-aṅga, menyatakan bahwa jika mereka adalah suatu penambahan mereka menghubungkan kembali pada suatu masa ketika hal-hal ini dilihat sebagai ajaran-ajaran kunci yang dibacakan pada Konsili Pertama.

Dan jika mereka otentik, tampaknya tidak masuk akal bahwa Sangha telah mengabaikan atau mengesampingkan ajaran yang penting demikian. Tidak ada alasan yang bagus untuk meragukan bahwa Sang Buddha memang, sesaat sebelum Beliau wafat, menganjurkan Sangha untuk mempertahankan ajaran-Nya dengan berkumpul bersama untuk membacakannya. Dan saya yakin bahwa mereka melakukan persis seperti yang dianjurkan Sang Buddha. Setelah Beliau wafat, Sangha berkumpul bersama di Gua Sattapaṇṇi, di bukit curam yang menghadap Rājagaha, dan membacakan, demi belas kasih pada dunia, inti ajaran Dhamma: sutta, geyya, dan vyākaraṇa yang kita temukan sekarang dalam Saṁyutta Nikāya.

Kesimpulan dari Mahā Parinibbāna Sutta ini menyambung dengan agak baik dengan tradisi tafsir Theravāda dari Peṭakopadesa dan Netti. Bacaan tentang rujukan agung mengatakan suatu pernyataan harus diperiksa untuk melihat apakah ia “sesuai” dengan Sutta-Sutta. Kata yang kita terjemahkan sebagai “sesuai” adalah dalam Pali otaraṇa, secara harfiah “menuruni, memasuki”. L. S. Cousins berkomentar:

Ini adalah suatu ungkapan yang tidak biasanya; ini lebih baik ditafsirkan dalam penjelasan tradisi Peṭakopadesa di mana otaraṇa adalah salah satu dari enam belas hāra [“cara menyampaikan suatu penafsiran”]. Ini dapat diambil sebagai suatu cara tafsir tertentu yang menghubungkan suatu kotbah yang dipertimbangkan ke dalam ajaran-ajaran secara keseluruhan dengan alat salah satu dari kategori umum dari ajaran. Peṭakopadesa kenyataannya merincikan enam kemungkian: kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, kemampuan-kemampuan, kebenaran-kebenaran, kemunculan bergantungan. Semua ini dapat digunakan untuk menganalisis isi dari suatu kotbah dan penggunaannya akan secara otomatis menempatkannya dalam konteks ajaran secara keseluruhan. Sesuatu dalam baris ini, jika mungkin agak sedikit didefinisikan, pastinya dimaksudkan dalam bacaan mahāpadesa [“rujukan agung”]. Apakah yang digambarkan untuk sutta bukanlah sekumpulan tubuh literatur, tetapi alih-alih suatu pola tradisional dari ajaran.[10]

Dalam daftar dari enam topik di bawah otaraṇa dalam Peṭakopadesa yang kita miliki, tentu saja, juga contoh lain dari saṁyutta-mātikā. Kita telah memperhatikan bagaimana Netti memperlakuan sutta dalam rujukan agung berhubungan dengan empat kebenaran mulia, yang menunjukkan pada kita langsung pada Dhammacakkappavattana Sutta dan kumpulan utama dimana ia ditemukan di dalamnya. Ini menghilangkan dikotomi yang ditetapkan Cousins dalam kalimat terakhirnya: sutta adalah sekumpulan literatur yang telah dipolakan menurut ajaran-ajaran utama.

Terdapat suatu bacaan dalam Samantapāsādika, komentar Vinaya Theravada, yang mengungkapkan gambaran historis di sini. Bacaan itu berhubungan dengan pertanyaan bagaimana 500 orang bhikkhu dipilih untuk ikut serta dalam Konsili Pertama.

Mengesampingkan ratusan dan ribuan orang bhikkhu yang telah menghafal keseluruhan sembilan aṅga dispensasi tekstual dari Sang Guru, orang-orang biasa, pemasuk arus, yang kembali sekali, yang tidak akan kembali, para Arahat vipassanā-kering, Sesepuh [Mahā Kassapa] mengumpulkan 499 orang bhikkhu yang telah menghafal Tipiṭaka dengan semua pembagian tekstualnya, yang mencapai pembedaan, dengan kekuatan besar, kebanyakan mereka yang termasuk dalam para siswa terkemuka, pemilik tiga realisasi, dst., yang semuanya adalah Arahat.”[11]

Jelasnya kelompok pertama tidak disukai dibandingkan dengan yang belakangan; dengan demikian ini menyatakan bahwa kitab sembilan aṅga entah bagaimana lebih rendah daripada Tipiṭaka. Namun ini tersirat dalam tradisi-tradisi: karena mereka berpindah dari aṅga-aṅga menuju Tipiṭaka, mereka pasti tidak puas dengan sistem lama. Bacaan ini menyatakan bahwa Konsili Pertama adalah titik poros untuk perubahan ini, masa ketika sistem Tipiṭaka mulai muncul dalam pengaruhnya yang penting. Walaupun Abhidhamma bukan bagian dari pembacaan, kita dapat setuju dengan dinamika yang disarankan itu. Lagi ini bersesuaian sangat baik dengan kisah Konsili Pertama dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda, karena di sana urusan menyusun Saṁyutta Āgama (tiga aṅga pertama GIST) diberikan tempat utama, dan membawa pada penyusunan Āgama-Āgama lain.

Kita sekarang dalam keadaan seimbang untuk menarik beberapa untaian dalam bab-bab di atas, dan untuk melukiskan seluruh gambaran yang lebih masuk akal dari struktur Dhamma dan Vinaya. Dua kotbah, Catuṣpariṣat Sūtra dan Mahā Parinibbāna Sutta, adalah sepasang yang saling melengkapi. Ini terbukti dari banyak kesejajaran dan kesamaan dalam rincian dan strukturnya. Tidak perlu menyelidiki hal ini secara rinci di sini; cukup memberikan contoh beberapa ciri khas. Keduanya mulai di atau dekat Rājagaha; keduanya melibatkan Raja dari Rājagaha; keduanya mengisahkan Sang Buddha mengadakan perjalanan; keduanya menyelingi perjalanan itu dengan ajaran-ajaran penting; Catuṣpariṣat mengisahkan pengikut pertama (Aññā Koṇḍañña), sedangkan Mahā Parinibbāna mengisahkan pengikut terakhir (Subhadda); keduanya menyebutkan keunggulan Sang Buddha daripada pertapa Āḷāra Kālāma; keduanya menonjolkan campur tangan dewa dari Sakka, Brahmā, dan Māra, serta para makhluk surgawi lainnya; keduanya menonjolkan pertunjukan kekuatan batin, termasuk “berjalan di atas air”; keduanya mengatakan tentang gempa bumi dan tanda-tanda surgawi lainnya yang menyertai kejadian-kejadian utama dalam karir Sang Tathāgata; keduanya menyatukan sejumlah besar bahan yang ditemukan di tempat lain sebagai Sutta-Sutta individual; namun keduanya gagal menyatukan sepenuhnya semua bahan yang ditemukan di tempat lain; keduanya menempati posisi di antara Dhamma dan Vinaya; dan seterusnya. Sementara ciri-ciri khas ini menyatakan suatu hubungan antara teks-teks, hubungan-hubungan yang eksplisit juga tidak kurang. Catuṣpariṣat Sutta menyatakan Sang Buddha mengatakan bahwa ia tidak akan meninggal dunia sebelum empat perkumpulan (para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan) telah sepenuhnya berkembang (yang mana lihat lebih lanjut di bawah). Mahā Parinibbāna Sutta secara eksplisit menunjuk pada pemutaran roda Dhamma sebagai salah satu dari delapan sebab gempa bumi; versi Sanskrit bahkan menyebutkan “dua belas cara”  dan “tiga putaran”, dengan demikian menjelaskan bahwa ini adalah kenyataannya Dhammacakkappavattana Sutta yang ditunjukkan.[12]

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa