//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: A History of Mindfulness  (Read 52574 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
A History of Mindfulness
« on: 17 March 2013, 08:22:08 AM »
Ini terjemahan buku "A History of Mindfulness" oleh Bhikkhu Sujato. Karya ini memiliki hubungan dengan karya Bhikkhu Sujato sebelumnya tentang aliran-aliran dan sektarianisme, di mana di sini menyoroti perkembangan teks-teks awal ajaran Buddhisme pada umumnya dan teks Satipatthana Sutta sebagai pedoman meditasi Buddhis pada khususnya. Ini adalah buku yang sangat bagus untuk dipelajari oleh mereka yang tertarik pada studi Buddhisme awal.

Berikut adalah ringkasan isi buku ini dalam kata-kata sang penulis sendiri:

Quote
Kata sati, yang kita terjemahkan sebagai “perhatian”, berarti “ingatan”, dan mulanya digunakan oleh para brahmana dalam pengertian mengingat kitab-kitab Veda. Untuk secara efektif mengingat kembali kumpulan teks yang besar, anda masuk ke dalam zona kejernihan dan kehadiran pikiran, bebas dari gangguan-gangguan. Ini adalah salah satu pengaruh dalam pengembangan apa yang saat ini kita sebut “meditasi”.

Sang Buddha mengambil penggunaan Brahmanis ini, dan menggunakan sati baik sebagai “ingatan” (terhadap teks-teks) dan “kehadiran pikiran” dalam meditasi.

Ajaran-ajaran modern tentang perhatian hampir secara khusus diturunkan dari suatu penafsiran abad ke-20 dari satu teks Pali, Satipatthana Sutta. Ajaran ini, vipassanavada, mengatakan bahwa satipatthana adalah suatu praktek “pandangan terang kering”, di mana meditator, tanpa praktek meditasi ketenangan (samatha) sebelumnya, “penuh perhatian” atas fenomena yang berubah-ubah dari pengalaman. Ini saja cukup untuk merealisasi pencerahan.

Ketika kita dengan berhati-hati mempertimbangkan ajaran-ajaran yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis awal, menjadi jelas bahwa ajaran ini tidak dapat dipertahankan.

Terdapat tujuh versi bahan Satipatthana Sutta (yang terdapat dalam Vibhanga Theravada, Dharmaskandha Sarvastivada, Sariputrabhidharma Dharmaguptaka, teks Mahayana awal Prajnaparamita, Smrtyupasthana Sutra Sarvastivada, Ekayana Sutra Mahasanghika, dan Satipatthana Sutta Theravada itu sendiri), serta ratusan teks lainnya tentang perhatian (komentar-komentar, risalah-risalah, dan sutra-sutra Mahayana yang belakangan). Bergantung pada semua teks ini, tidak hanya satu teks, kita sampai pada gambaran tentang perhatian berikut dalam Buddhisme awal.

Meskipun sati digunakan dalam banyak konteks, yang paling penting adalah empat satipatthana, atau “penegakan perhatian”. Ini adalah “perhatian benar”, faktor ketujuh dari jalan mulia berunsur delapan. Tujuan satipatthana adalah untuk memperoleh faktor kedelapan, samadhi benar atau empat jhana.

Kata satipatthana adalah sebuah kata majemuk dari sati dan upatthana, yang berarti “menetapkan” atau “menegakkan”. Ini adalah pemusatan perhatian dan kehadiran kesadaran pada suatu objek; dengan kata lain, ia pada dasarnya berarti “meditasi”

Satipatthana adalah “perenungan’ (anupassana) terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan prinsip-prinsip (dhamma). “Anupassana” berarti “pengamatan terus-menerus”. Ia adalah suatu kewaspadaan yang berdiam pada satu hal dan tidak meloncat dari satu objek ke objek lain. Untuk alasan ini satipatthana dikatakan sebagai “jalan menuju yang satu”, ekayana magga.

Praktek utama satipatthana adalah meditasi pernapasan, anapanasati. Seseorang memusatkan perhatian pada pernapasan, menjaga kewaspadaan di sana, secara terus-menerus “mengingat” pernapasan. Ketika napas fisik menjadi tenang, seseorang berlanjut dari perenungan tubuh menuju kewaspadaan terhadap perasaan-perasaan halus dari kebahagiaan dan kegiuran yang muncul dalam pernapasan. Pikiran menjadi dimurnikan. Akhirnya seseorang merenungkan bagaimana keseluruhan proses adalah tidak kekal dan berkondisi; inilah perenungan terhadap dhamma (“prinsip”).

Terdapat banyak jenis meditasi lain yang dapat dikelompokkan sebagai satipatthana, tetapi semuanya mengikuti cara yang sama.

Satipatthana Sutta Pali memasukkan sejumlah bagian yang tidak digunakan bersama dengan teks-teks lain tentang satipatthana, dan yang merupakan penambahan yang belakangan.

Salah satu penambahan adalah dimasukkannya kewaspadaan terhadap posisi tubuh dan aktivitas-aktivitas sehari-hari di antara latihan-latihan meditasinya. Kewaspadaan terhadap posisi tubuh, dalam setiap teks lainnya, adalah bagian dari persiapan untuk meditasi, bukan meditasi itu sendiri.

Penambahan yang belakangan lainnya pada Satipatthana Sutta Pali adalah sebuah “pengulangan” yang mengikuti masing-masing meditasi, yang mengatakan seseorang berlatih merenungkan “muncul dan lenyapnya”. Ini adalah suatu praktek vipassana, yang awalnya hanya termasuk dalam yang terakhir dari empat satipatthana, yaitu perenungan dhamma.

Perenungan dhamma juga mengalami perluasan berskala besar. Teks awal hanya memasukkan lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan. Lima kelompok unsur kehidupan, enam alat indera, dan empat kebenaran mulia ditambahkan kemudian.

Masing-masing versi Satipatthana Sutta didasarkan pada suatu nenek moyang yang digunakan bersama, yang telah diperluas dengan cara yang berbeda-beda oleh aliran-aliran. Proses ini berlangsung selama beberapa abad setelah wafatnya Sang Buddha. Dari teks-teks yang kita miliki saat ini, yang paling dekat dengan versi awal mulanya adalah yang terkandung dalam Vibhanga Abhidhamma Pali, jika kita mengabaikan penguraian Abhidhammik-nya.

Dengan menelusuri perkembangan teks-teks tentang satipatthana dalam Buddhisme yang belakangan, terdapat suatu kecenderungan perlahan-lahan untuk menekankan aspek vipassana dengan mengorbankan sisi samatha. Ini terjadi sepanjang berbagai aliran, walaupun terdapat suatu variasi dari teks ke teks, dan mungkin beberapa perbedaan dalam penekanan sektarian. Ini membawa pada berbagai kontradiksi dan masalah dalam penafsiran.

Namun demikian, dalam semua aliran dan periode kita juga menemukan penyajian satipatthana yang mengingat kembali pada makna awalnya. Sebagai contoh, guru besar Yogacara Asanga mendefinisikan perhatian sebagai “kewaspadaan yang terus-menerus terhadap objek yang telah dialami sebelumnya”.

Dengan mempertimbangkan perhatian dalam konteks historisnya, dengan memasukkan semua teks-teks yang relevan, dan dengan memahami perkembangan historis dari aliran-aliran, kita tiba pada pemahaman yang lebih kaya, lebih bernuansa, dan lebih realistis terhadap perhatian. Ini tidak hanya membantu kita menghargai tradisi kita lebih baik, ia memberikan suatu kerangka yang lebih bermanfaat, seimbang, dan otentik untuk praktek.

Semoga bermanfaat.

NB: Thread saya tutup agar tidak ada yang comment demi kerapian topik ini.
« Last Edit: 12 October 2014, 09:01:34 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #1 on: 17 March 2013, 08:27:21 AM »
A HISTORY OF MINDFULNESS

Bagaimana pandangan terang mengalahkan ketenangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta

Bhikkhu Sujato

Tidak ada jhāna bagi seseorang yang tanpa kebijaksanaan;
Tidak ada kebijaksanaan bagi seseorang yang tanpa jhāna.
Tetapi bagi seseorang dengan jhāna dan kebijaksanaan,
Nibbana sesungguhnya dekat.

– Sang Buddha, Dhammapada 372
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #2 on: 17 March 2013, 08:38:40 AM »
Prakata: Vipassanāvāda

Tujuan buku ini adalah untuk menganalisis sumber-sumber tekstual dari teori meditasi Theravāda abad ke-20. Fokusnya adalah pada karya-karya sumber utama untuk apa yang saya sebut Vipassanāvāda, “ajaran vipassanā”. Ini adalah penafsiran khusus dari beberapa konsep meditasi utama yang telah menjadi sifat ortodoks de facto dalam Buddhisme Theravāda, walaupun bukan tanpa kontroversi. Istilah vipassanāvāda berguna dalam arti bahwa akhiran Pali –vāda menunjuk pada pentingnya teori di mana praktek-praktek ini didasarkan. Lebih dari itu, akhiran yang sama juga berarti tidak hanya suatu ajaran, tetapi juga aliran yang mengikuti ajaran tersebut. Ini semua terlalu tepat dalam kasus sekarang, karena “vipassanā” telah muncul, dengan agak aneh, untuk digunakan seakan-akan ia menunjuk pada suatu aliran Buddhisme yang sebenarnya (alih-alih suatu aspek meditasi yang dikembangkan dalam semua aliran!).[1]

Poin kunci dari vipassanāvāda adalah dinyatakan kembali berulang kali dalam hampir setiap buku tentang meditasi Theravāda abad ke-20, sehingga di sini saya akan meringkaskan dengan singkat. Sang Buddha mengajarkan dua sistem meditasi, samatha dan vipassanā. Samatha diajarkan sebelum Sang Buddha (sehingga tidak benar-benar Buddhis), ini berbahaya (karena seseorang dapat dengan mudah melekat pada ketenangan), dan ini tidak perlu (karena vipassanā sendiri dapat mengembangkan samādhi akses yang diperlukan untuk menekan rintangan batin). Vipassanā merupakan kunci sejati pada pembebasan yang diajarkan Sang Buddha. Metode ini terutama diajarkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah yang paling penting yang diajarkan Sang Buddha tentang meditasi dan tentang praktek dalam kehidupan sehari-hari. Inti praktek ini adalah kesadaran dari saat ke saat atas muncul dan lenyapnya semua fenomena pikiran-tubuh. Demikianlah satipaṭṭhāna dan vipassanā adalah hampir sinonim.

Tidak semua tradisi meditasi modern menerima dikotomi samatha dan vipassanā ini. Sebagai contoh, para guru dari tradisi hutan Thai sering menekankan sifat saling melengkapi, alih-alih pembagian, dari samatha dan vipassanā. Almarhum guru meditasi Thai Ajahn Chah, sebagai contoh, pernah mengatakan bahwa dalam samatha, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, dan membuat pikiran damai. Tetapi vipassanā, sekarang, itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dalam vipassanā, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, membuat pikiran damai, dan kemudian anda mengetahui: “Ini bukan suatu hal yang pasti!”

Saya selalu merasa bahwa dalam pendekatan untuk meditasi ini terdapat suatu ikatan yang kuat antara sutta-sutta dan ajaran-ajaran para guru [bhikkhu] hutan. Dalam karya ini saya menunjukkan dari sudut pandang ilmiah kebenaran-kebenaran yang sama diungkapkan dengan intisari dan otoritas yang demikian oleh para guru seperti Ajahn Chah.

Pada tahun 2000 saya menulis Sepasang Utusan Cepat, yang menekankan keselarasan dan sifat saling melengkapi dari samatha dan vipassanā dalam sutta-sutta awal. Di sana, saya membahas panjang lebar perlakuan atas satipaṭṭhāna dalam sutta-sutta awal, dengan memfokuskan pada Satipaṭṭhāna Sutta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa satipaṭṭhāna, jauh dari suatu jalan latihan yang berbeda atau terpisah, melekat dengan mendalam dan luas dalam makna dari sutta-sutta awal dan tidak dapat dipahami ataupun dipraktekkan di luar konteks ini.

Mendekati akhir proyek itu saya kebetulan menemukan sebuah artikel oleh Richard Gombrich yang berjudul “Retracing an Ancient Debate: How Insight Worsted Concentration in the Pali Canon”.[2] Walaupun hanya sebagian diyakinkan oleh argumentasi-argumentasinya, saya dibangkitkan minatnya oleh gagasannya – bahwa pergeseran dalam penekanan dari samādhi ke vipassanā, yang sangat jelas dalam Theravāda, dapat ditelusuri pada perubahan editorial yang dibuat dalam periode penyusunan Nikāya- Nikāya Pali. Ini menyentakkan beberapa ingatan dari akhir yang sedikit longgar yang tetap membayang-bayangi dalam studi saya atas satipaṭṭhāna. Saya memutuskan untuk menarik untaian pemikiran tersebut, dan dalam keheranan saya seluruh Satipaṭṭhāna Sutta mulai terbuka di depan mata saya. Inilah kisah bagaimana Satipaṭṭhāna Sutta dianyam, bagaimana ia teruraikan, dan bagaimana ini mempengaruhi pemahaman kita atas Dhamma-Vinaya.

Pentingnya suatu pendekatan historis yang demikian pada ajaran-ajaran masih sebagian besar tidak diketahui di antara para umat Buddha yang berlatih. Kenyataannya, pendekatan normal kita pada ajaran-ajaran adalah sangat berlawanan dengan sejarah. Seorang meditator yang beraspirasi pertama-tama belajar dari mulut seorang guru yang kata-katanya seperti yang mereka ucapkan pasti rumusan yang paling baru dari topik itu. Kemudian mereka mungkin kembali untuk membaca beberapa karya dari para guru terkemuka yang sezaman. Karena mereka yang menaatinya biasanya memiliki keyakinan bahwa guru mereka (guru dari guru itu) telah tercerahkan, mereka menganggap, sering tanpa perenungan, bahwa ajaran-ajaran itu pasti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Akhirnya, jika mereka benar-benar berdedikasi, mereka mungkin kembali membaca Satipaṭṭhāna Sutta. Ketika mereka mendatangi teks itu sendiri, mereka telah terprogram sebelumnya untuk membaca teks itu dengan suatu cara tertentu. Ini membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan guru sendiri; dan ini bukan hanya membutuhkan keberanian, tetapi waktu dan upaya untuk bertanya secara cerdas.

Selain Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah-kotbah lain tentang satipaṭṭhāna, karena kotbah-kotbah ini sangat pendek, biasanya diabaikan di bawah anggapan bahwa mereka menambahkan sedikit yang baru. Bahkan yang terbaik dari para sarjana yang telah mempelajari satipaṭṭhāna dari perspektif historis, seperti Warder, Gethin, dan Anālayo, telah memperlakukan Satipaṭṭhāna Sutta sebagai yang utama dan kotbah-kotbah yang lebih pendek sebagai pelengkap.

Maka sekarang saya ingin membalik prosedur itu. Langkah pertama kita harus melupakan semua yang kita pelajari tentang satipaṭṭhāna, dan mulai lagi dari bawah ke atas. Prinsip utama dari metode historis adalah bahwa ajaran-ajaran yang lebih sederhana cenderung lebih awal dan oleh sebab itu mungkin lebih otentik – kita harus mulai dengan batu bata sebelum kita dapat membangun sebuah rumah. Adalah bacaan yang lebih pendek, lebih mendasar, yang merupakan penyajian yang lebih fundamental dari satipaṭṭhāna. Teks-teks yang lebih panjang merupakan suatu perluasan. Kita tidak menganggap bahwa yang lebih pendek selalu lebih awal, tetapi kita menganggap ini sebagai suatu prinsip panduan yang implikasinya dapat kita ikuti.

Stratifikasi ini, harus dicatat, tidak menyatakan dapat memutuskan ajaran-ajaran mana yang sebenarnya diucapkan oleh Sang Buddha. Beliau sendiri mungkin telah memberikan ajaran-ajaran yang sama mulanya dalam bentuk yang sederhana, kemudian diperluas belakangan dalam berbagai rincian. Tetapi testimoni universal dari tradisi-tradisi adalah teks-teks seperti yang kita miliki sekarang dikumpulkan dalam bentuk mereka sekarang setelah wafatnya Sang Buddha; maka pendekatan yang rasional adalah untuk mempertimbangkan teks-teks sebagai hasil dari suatu proses evolusioner.

Mereka yang tidak setuju dengan pendekatan ini biasanya melakukannya karena mereka telah memiliki keyakinan bahwa semua ajaran-ajaran dalam sutta-sutta secara harfiah diucapkan oleh Sang Buddha, atau mereka meragukan kemungkinan rekonstruksi historis yang berarti karena tidak dapat dipercayanya sumber-sumber atau ketidakpastian metodenya. Saya yakin posisi pertama terlalu mudah percaya dan yang kedua terlalu skeptis. Dalam kasus mana pun, tanpa menghiraukan situasi historis, ini pastinya masuk akal untuk mempelajari Dhamma dengan mulai dari ajaran-ajaran yang sederhana dan bekerja menuju yang kompleks.

Maka kita harus mulai dengan mengidentifikasi unit yang terkecil, yang paling sederhana dari makna yang digunakan untuk menggambarkan satipaṭṭhāna. Ini adalah istilah-istilah dan frase-frase dasar pada semua penjelasan satipaṭṭhāna dalam semua aliran. Ini masuk akal untuk mulai dari kotbah pertama Sang Buddha. Ini memunculkan pertanyaan yang menarik. Kotbah ini adalah untuk kelompok lima bhikkhu, yang pada saat itu, adalah para pertapa non-Buddhis. Namun, teks menunjuk pada perhatian [sati] seakan-akan ia menganggap para pendengar mengetahui apa yang dimaksudnya. Mahāsi Sayadaw memperhatikan hal ini, dan merasa bahwa kotbah ini mulanya memasukkan penjelasan satipaṭṭhāna yang lebih rinci. Tetapi saya merasa ini tidak mungkin, karena Saccavibhaṅga Sutta, yang secara eksplisit menjelaskan Dhammacakkappavattana Sutta “secara rinci”, memasukkan rumusan standar satipaṭṭhāna dalam perluasan detailnya. Apa perlunya suatu perluasan demikian jika rumusan itu ada di sana dalam aslinya? Kesimpulannya adalah tak terhindarkan: Dhammacakkappavattana Sutta menganggap bahwa lima orang bhikkhu itu telah mengetahui apakah perhatian itu, dan dengan demikian perhatian merupakan praktek meditasi pra-Buddhis. Untuk memeriksa hal ini saya harus memeriksa lebih dekat catatan-catatan meditasi pra-Buddhis yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis maupun non-Buddhis.

Saya pertama kali terkejut oleh gagasan perubahan historis dalam Satipaṭṭhāna Sutta oleh A. K. Warder, yang menunjuk pada versi-versi Satipaṭṭhāna Sutta dalam terjemahan Mandarin kuno. Setelah mencatat perbedaan-perbedaan besar ia mencatat dalam hubungan dengan perenungan dhamma-dhamma yang “teks awalnya hanya memperlawankan prinsip-prinsip baik ini [faktor-faktor pencerahan] dengan rintangan-rintangan [batin].”[3] Melalui pernyataan yang tampaknya tidak berbahaya demikian sehingga saya menjadi sadar atas benar-benar pentingnya studi perbandingan dari Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Sementara Nikāya-Nikāya Theravāda akan selamanya tetap sebagai sumber utama kita untuk penelusuran Buddhisme pra-sektarian, Āgama-Āgama dari aliran Sarvāstivāda, Dharmaguptaka, dan yang lainnya yang sezaman, yang dipertahankan dalam terjemahan kuno dalam kanon Mandarin, menyediakan pemeriksaan yang penting dan dapat dipergunakan pada teks Pali. Seperti Encyclopaedia of Buddhism menyatakan: “Pada masa kita tidak mungkin bagi sarjana mana pun untuk menunjuk pada Buddhisme awal jika ia tidak memberikan perhatian yang seharusnya pada studi perbandingan atas tradisi selatan dan utara.” Studi ini akan menunjukkan bahwa Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama bukanlah sebuah lahan yang telah ditambang keluar yang harta karunnya semuanya tersimpan dalam ikhtisar yang belakangan.

Dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama jelas bahwa tidak ada satu teks yang mewakili semua pemaparan yang pasti, yang mencakup semuanya, sehingga masing-masing teks harus dianggap berhubungan pada kumpulan secara keseluruhan. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan struktur dan organisasi dari kanon. Saya mulai mencurigai bahwa teks-teks yang lebih pendek dalam Saṁyutta mungkin mempertahankan perspektif yang lebih awal tentang satipaṭṭhāna, suatu perspektif yang dalam beberapa hal lebih baik dicerminkan dalam versi-versi Mandarin dari Satipaṭṭhāna Sutta daripada dalam versi Pali. Kecurigaan saya lebih jauh dimunculkan oleh suatu komentar oleh Bhikkhu Varado tentang kelalaian para penyusun Abhidhamma Vibhaṅga dalam menghilangkan banyak bahan dari Satipaṭṭhāna Sutta. Mungkin, saya menulis kembali, mereka tidak lalai sama sekali – mungkin Satipaṭṭhāna Sutta belum ditulis ketika bagian-bagian yang berhubungan dari Vibhaṅga disusun. (Saya belakangan menemukan bahwa saya bukan yang pertama memunculkan pertanyaan ini.) Ini menyatakan bahwa saya harus memperhatikan teks-teks Abhidhamma dan Sutta, yang mengatasi, sebagian, prasangka saya bahwa Abhidhamma adalah tubuh ajaran-ajaran sektarian yang belakangan dan tandus. Dan kemudian, jika periode Abhidhamma awal tumpang tindih dengan penyusunan Satipaṭṭhāna Sutta, tampaknya mungkin bahwa agenda-agenda sektarian terlibat dalam menyelesaikan teks akhirnya. Ini memancing pemeriksaan yang lebih dekat atas cara-cara perselisihan sektarian yang muncul menemukan ekspresi dalam teks-teks yang lebih awal. Ini kemudian tampaknya sesuai untuk memperluas penelitian pada periode komentarial yang belakangan, untuk berusaha memperoleh pengertian yang lebih dalam ke dalam cara-cara tradisi menyesuaikan satipaṭṭhāna pada perspektif tertentu mereka sendiri, dan untuk menjembatani jurang antara masa Sang Buddha dan masa kita sendiri.

Untuk menggunakan bahan tentang satipaṭṭhāna yang diterjemahkan dalam bahasa Mandarin, saya harus meningkatkan pemahaman saya sendiri tentang Āgama-Āgama dan sumber-sumber awal lainnya di luar bahasa Pali. Ketika memeriksa dan membandingkan kumpulan-kumpulan ini, dengan hubungan yang sangat kuat tetapi juga perbedaan yang nyata dan bertahan, terdapat kebutuhan kuat atas suatu penyelesaian, seperti merasakan musik yang datang ketika dua catatan sangat dekat bersamaan, tetapi tidak terlalu: mereka berhasrat untuk menjadi satu. Kali ini saya cukup beruntung untuk dapat mengenal Roderick Bucknell. Diberitahukan oleh karya perbandingannya tentang struktur kitab-kitab awal, saya telah berusaha menjelaskan hubungan antara berbagai jenis dan strata teks-teks dalam kanon awal, dan telah merumuskan ini sebagai GIST. Teori ini menyatakan suatu hubungan khusus yang mencerminkan baik pentingnya ajaran maupun sumber historisnya.

Saya menyadari bahwa metodologi yang saya gunakan dalam mempelajari satipaṭṭhāna mengikuti dengan dekat garis besar dari GIST. Tidak diragukan keyakinan saya bahwa pendekatan ini bermanfaatdalam konteks satipaṭṭhāna yang mempersiapkan saya untuk menerima bahwa ia dapat diperluas pada suatu teori umum yang interpretif. Jadi saya memutuskan untuk memasukkan sebuah presentasi GIST bersama-sama dengan studi tentang satipaṭṭhāna, walaupun di sini teori umum disajikan pertama kali. Dua bagian ini pada hakekatnya memperkuat satu sama lain. Studi tentang satipaṭṭhāna menyediakan pemeriksaan yang terperinci dari suatu ajaran penting sepanjang garis-garis yang dinyatakan oleh GIST. Ini memberikan contoh metode, yang menyediakan bukti tambahan untuk prinsip-prinsip dasar GIST, dan menunjukkan bahwa GIST menghasilkan hasil yang berarti dan bermanfaat. Walaupun demikian, dua bagian itu tidak saling bergantungan. Jika analisis saya tentang satipaṭṭhāna ternyata menyesatkan, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung GIST. Demikian juga, jika GIST dirasa tidak dapat diterima, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung analisis tentang satipaṭṭhāna. Dalam beberapa tingkatan, dua studi itu dapat dianggap secara independen; tetapi diambil bersama-sama mereka lebih berarti.

Kita tidak menaiki suatu penelitian atas suatu yang pasti. Sepanjang kita berdiam dalam alam konsep-konsep, gagasan kita hanya dapat mengira-ngira kebenaran.  Apa yang penting adalah bahwa kita sedang bergerak dalam arah yang benar, bergerak jauh dari kebingungan menuju kejelasan, jauh dari dogmatisme menuju penyelidikan. Masing-masing kriteria yang digunakan dalam kritik historis ketika mengambil secara individu sebagai suatu alat yang tidak sempurna. Tetapi mereka bersifat sinergis: di mana beberapa kriteria sesuai, kesesuaian ini melipatgandakan keyakinan kita dalam kesimpulan kita – keseluruhannya lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Maka ini suatu keharusan untuk digunakan seluas mungkin variasi dari kriteria-kriteria, secara sensitif menilai sifat dapat dipercaya dari masing-masing kriteria dalam konteks yang berhubungan, tetap ada pada berbagai indikasi yang berlawanan, dan membuat kesimpulan kita tidak lebih meyakinkan daripada jaminan buktinya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #3 on: 17 March 2013, 08:41:51 AM »
Saya telah berusaha untuk membuat masalah-masalah tidak lebih teknis dan terspesialisasi daripada yang dibutuhkan tanpa mengorbankan ketepatan. Terjemahan-terjemahan berasal dari berbagai sumber. Penelitian yang dilakukan di banyak tempat – vihara-vihara, perpustakaan, pusat-pusat Buddhis, internet – dan saya tidak dapat membakukan atau memeriksa semua referensi. Terima kasih khususnya kepada Bhikkhu Fa Qing, yang memberikan banyak waktunya untuk membantu saya menjelajahi beberapa sudut rahasia dari kanon Mandarin, dan kepada Roderick Bucknell untuk banyak menjelaskan informasi dan gagasan-gagasan yang menantang. Adalah kepada Rod sehingga saya berhutang kebanyakan informasi yang terperinci pada teks-teks seperti Dharmaskandha, Śāriputrābhidharma, Kāyagatāsmṛti Sūtra, dan banyak lainnya. Menjelang akhir proyek ini, saya memulai korespondensi dengan Venerable Anālayo, yang membantu saya menangani pembacaan kanon Mandarin.

Saya telah berusaha mempertahankan konsistensi dari penerjemahan istilah-istilah teknis, dan kadangkala mengambil kebebasan dengan membawa penerjemahan dalam bacaan yang dikutip ke dalam baris dalam teks utama. Karena kanon Pali adalah tulang punggung dari karya ini, dan karena saya lebih familiar dengan Pali, saya telah menerjemahkan hampir semua kata-kata India dalam bentuk Pali-nya alih-alih bentuk Sanskrit. Pengecualian termasuk nama-nama diri dan istilah-istilah yang tidak diketahui dalam bahasa Pali dalam maknanya yang berhubungan.

Kesulitan khusus dari karya ini adalah bahwa karya ini membahas beberapa teks dengan judul-judul sama yang membingungkan. Saya telah berusaha meminimalkan kebingungan dengan menjelaskan dengan hati-hati nama-nama dan hubungan teks-teks kebanyakan dengan penuh.

Adalah kebiasaan umum di antara para sarjana untuk menunjuk teks-teks dengan bahasanya, sebagai contoh “Majjhima Nikāya Pali” dan “Madhyama Āgama Mandarin”. Ini membawa kesan yang sepenuhnya menyesatkan bahwa Āgama- Āgama, dan sesungguhnya semua teks Buddhis India yang ada pada kita dalam terjemahan Mandarin, dalam beberapa pengertian “bersifat Cina”. Kita mungkin juga menunjuk pada “Majjhima Nikāya Inggris” hanya karena kita kebetulan membaca sebuah terjemahan bahasa Inggris. Apa yang menjadi masalah adalah maknanya; dan ini lebih penting dipengaruhi oleh perspektif ajaran para penyunting daripada bahasanya. Oleh sebab itu lebih disukai untuk mengelompokkan teks-teks berdasarkan aliran kapan pun mungkin. Tentu saja, masih perlu untuk menunjuk pada “kanon Mandarin”, karena teks-teks itu berasal dari banyak aliran, dan kumpulannya sebagai keseluruhan adalah artifak Cina.

Saya telah berusaha untuk memberikan referensi pada semua versi yang diketahui dari suatu teks tertentu, yang biasanya berarti versi Pali dan Mandarin. Para pembaca harus menyadari bahwa ini menunjuk pada suatu teks yang diidentifikasi sebagai yang asalnya sama[4] dalam daftar-daftar yang ada. Ini tidak menyatakan bahwa istilah, frase, atau gagasan tertentu yang dibahas ditemukan dalam semua versi. Namun saya telah memeriksa sebanyak mungkin referensi, dan telah menunjukkan perbedaan-perbedaan yang berkaitan.

Kritik historis tidaklah menyenangkan. Studi ini kadangkala dapat muncul lebih bersifat membedah daripada bersifat inspirasional. Analisis yang kejam dapat kelihatannya bertentangan dengan keyakinan. Tetapi ini tidak perlu demikian; Sang Buddha menganggap akal sebagai landasan dari keyakinan sejati. Seseorang yang memiliki keyakinan sejati dalam Dhamma pasti tidak akan takut bahwa hanya kritik tulisan dapat menghancurkan ajaran. Dan bukankah ini hanya ketakutan yang membuat kita ingin melindungi kitab suci sendiri, memujanya, menguncinya dengan aman dalam peti yang indah pada tempat suci sendiri, aman dari penyelidikan yang tidak berkeyakinan? Syukurlah ketakutan demikian,  sementara pastinya bukan tidak ada, tidak menonjol dalam lingkaran umat Buddha saat ini. Dan penemuan kita, tidak peduli betapa kejamnya kita menggunakan pisau bedah, tidak mempengaruhi dasar-dasar [ajaran]. Terdapat kesepahaman besar-besaran di antara sumber-sumber awal seperti pada ajaran-ajaran utama – tidak hanya gagasan dan prinsip-prinsipnya, tetapi teks-teks dan rumusan khusus juga. Perbedaan yang akan kita perhatikan dalam penjelajahan kita tidak merusak dasar-dasar ini, tetapi implikasi dan kecenderungan tertentu yang dapat dilihat dalam pengaturan dan penekanan dari rumusan-rumusan yang dikembangkan. Bahkan di sini perbedaan-perbedaan, untuk dimulai dengan, adalah kecil dan sedikit jumlahnya. Jadi adalah maksud saya, bukan untuk memunculkan keragu-raguan, tetapi untuk mendorong kedewasaan keyakinan.

Catatan Kaki:

[1] Terdapat suatu contoh dalam kasus aliran Chan Cina (Zen di Jepang), yang berasal dari kata Sanskrit dhyāna (Pali jhāna), yang di sini hanya berarti “meditasi”.

[2] Gombrich

[3] Warder, pg. 86.

[4] Istilah “yang asalnya sama” secara harfiah berarti “lahir bersama”, dan digunakan dalam etimologi kata yang dipercaya berasal dari suatu nenek moyang bersama. Beberapa sarjana lebih menyukai menggunakan kata-kata seperti “paralel” atau “rekan imbangan” untuk menunjuk pada sutta-sutta yang ditemukan dalam versi Pali dan Mandarin, karena istilah-istilah ini tidak menyatakan teori tertentu apa pun seperti hubungan antara teks-teks yang dipertanyakan. Namun, saya cukup nyaman dengan “yang asalnya sama”, karena saya yakin bahwa dalam kebanyakan kasus teori bahwa sutta-sutta yang sama berasal dari suatu nenek moyang bersama adalah paling masuk akal.
« Last Edit: 17 March 2013, 08:49:12 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #4 on: 17 March 2013, 09:02:09 AM »
BAGIAN PERTAMA
GIST: STRUKTUR DHAMMA YANG TERSEMBUNYI

Teman-teman, seperti halnya jejak kaki makhluk apa pun yang berjalan dapat dimasukkan dalam jejak kaki seekor gajah, dan demikianlah jejak kaki gajah dinyatakan sebagai yang utama dari jejak-jejak kaki karena ukurannya yang besar – demikian juga, semua prinsip yang bermanfaat dapat dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia.

– Sang Buddha, Mahā Hatthipadopama Sutta

Bab 1
Makna dari “Buddha”

Buddha

Dikatakan bahwa bahkan untuk mendengar kata ini adalah berharga melampaui perhitungan. Melalui tak terhitung kappa, makhluk-makhluk jatuh ke dalam kehancuran karena mereka menolak kesempatan mendengarnya. Akhirnya, setelah suatu masa yang lama tak terhitung, Yang Tercerahkan muncul di dunia dan kata “Buddha” terdengar, bagaikan hujan di gurun yang kering. Ketika saudagar Anāthapiṇḍika mendengar kata ini ia diliputi kegembiraan – rambutnya berdiri tegak, ia tidak dapat tidur pada malam hari, hatinya melompat dengan kegembiraan meluap-luap yang aneh. Dalam milenium sejak masa Sang Buddha, kata ini telah membangun suatu aura yang unik, suatu karisma spiritual yang memberikan wibawa yang tiada bandingnya pada komunitas-komunitas dan institusi religius yang menyatakan kesetiaan pada ajaran-Nya yang membebaskan. Kita adalah para pewaris spiritual dari makhluk agung tersebut, orang itu dengan darah daging yang berjalan pada tanah subur daratan sungai Gangga hampir 2500 tahun yang lampau.

Kata-kata yang kita gunakan untuk berbicara tentang Dhamma, termasuk kata “Buddha” ini, dikelilingi dan dibatasi oleh budaya Indo-Arya di mana Siddhattha Gotama muda tumbuh. Ahli etimologi mungkin mengatakan bahwa “buddha” berasal dari akar kata Indo-Eropa kuno, yang makna dasarnya adalah “bangun”, dan yang memiliki beberapa kata yang asalnya sama dengan makna-makna yang berhubungan dalam bahasa-bahasa Eropa yang sezaman. Seorang ahli tata bahasa dapat mengatakan pada kita bahwa kata ini adalah bentuk lampau yang dibentuk dari suatu akar kata kerja. Seorang filsuf bahasa dapat menemukan kata ini penting sehingga bentuk lampau tersebut, yang tidak biasanya sama dalam bahasa-bahasa Buddhis, menunjuk tibanya pada atau kemunculan ke dalam suatu kondisi tertentu, alih-alih suatu keadaan yang abadi, kekal. Seorang ahli sejarah agama dapat mengatakan pada kita bahwa gelar “Buddha” digunakan untuk menunjuk pada sosok makhluk yang tercerahkan atau yang sempurna dalam beberapa agama, seperti Jainisme dan Brahmanisme, serta Buddhisme. Seorang guru meditasi, pada sisi lain, mungkin menekankan bagaimana “Buddha” menunjuk pada sifat kesadaran yang hakiki. Dan seterusnya. Semua aspek ini menginformasikan dan mengkondisikan gema kata “Buddha”: mereka adalah bagian dari makna kata “Buddha.”

Adalah kesetiaan yang dibagi bersama pada “Buddha” ini yang mendefinisikan agama Buddhis. Semua bentuk Buddhisme, dari Sang Buddha sendiri sampai pada semua aliran, telah mengakui dua segi, atau agaknya tahap, untuk sampai pada kebijaksanaan sejati. Pertama datang dari mendengarkan ajaran-ajaran, kata-kata kebenaran yang akhirnya berasal dari Sang Buddha sendiri; dan yang kedua adalah penerapan, penyelidikan, dan pembuktian ajaran-ajaran tersebut dalam pengalaman dekat kita. Pada awalnya kita hanya mendengar Sang Buddha mengajarkan kita tentang Empat Kebenaran Mulia – penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan latihan yang membawa pada akhir penderitaan – kemudian kita melihat ke dalam pikiran kita: “Ya” kita menyadari. “Di sanalah ia, tepat di sana! Kemelekatan, kebodohan, kebencianku sendiri yang menyebabkan munculnya penderitaan dan kesedihan dalam hatiku, dan membuatku berkata dan bertindak dengan cara yang berbahaya, bodoh, yang membebankan rasa sakitku sendiri kepada orang lain.”

Jadi sepasang yang tidak terpisahkan ini, teori dan praktek Buddhisme, masing-masing mengimbangi dan memberitahukan yang lain. Teori tanpa praktek menjadi semata-mata permainan pikiran intelektual; sedangkan praktek tanpa teori cenderung melayang tanpa arah, atau alih-alih, diarahkan oleh delusi pribadi dari orang tersebut. Tidak perlu menyatakan kembali bahwa semua umat Buddha dari tiga masa setuju bahwa pengetahuan intelektual dari Dhamma tidak cukup. Pengetahuan intelektual, disebabkan riak-riak dalam kesadaran yang digerakkan oleh aktivitas berpikir, pasti mengganggu kejernihan pemahaman, dan pengetahuan mendalam muncul hanya ketika pikiran tenang dan diam. Tetapi pengetahuan intelektual memiliki kegunaan; ini bukanlah suatu masalah dalam dan dari dirinya sendiri. Ini hanya menjadi masalah ketika kita salah mengira pengetahuan intelektual sebagai kebenaran, pendapat kita atas realitas. Maka pendapat menjadi kesombongan, dan kita dengan mudah mengalah pada kesombongan spiritual yang sangat sulit untuk disembuhkan. Tetapi seorang meditator yang terampil, waspada pada kecenderungan gagasan-gagasan dan prasangka yang menyimpang, belajar untuk sepenuhnya berada pada saat sekarang, melihat ketidakkekalan dan kekosongan pemikiran, dan tumbuh bijaksana dengan cara itu, pada tingkatan kesadaran yang paling dasar, bahkan konstruksi mental yang paling halus dan luhur membatasi kekuatan kesadaran.

Anggaplah pelatihan seorang musisi. Mungkin seseorang telah terinspirasi oleh beberapa komposer atau pemain alat musik yang besar untuk mengambil sebuah instrumen musik. Tetapi bagaimana untuk memulai? Saya ingat pada suatu waktu di sebuah toko alat musik ketika seorang murid berjalan dan berkata ia ingin seperti Mark Knopfler, yang pada waktu itu adalah pemain gitar yang paling populer, terkenal karena penyusunan kata-katanya yang lembut dan melodis penuh emosi. Terpengaruh, pemilik toko menjual pada murid itu fuzz box seharga $30, dan ia berjalan keluar dengan gembira. Sayangnya, ini tidak semudah itu. Kenyataannya, kita harus menghabiskan berjam-jam belajar membaca musik dari satu halaman, titik-titik dan garis hitam dan putih sama sekali yang tidak membagikan apa pun dari kehangatan dan warna yang merupakan inspirasi kita. Mengambil peralatan kita, terdapat tak terhitung jam skala, latihan-latihan, dan pelajaran-pelajaran sepele untuk dikuasai sebelum semuanya yang secara samar-samar mendekati “musik” didengar. Tetapi sekali teknik itu telah dikuasai, ini harus ditinggalkan di belakang. Tidak ada yang lebih buruk daripada mendengarkan seorang musisi secara egois menunjukkan keahlian teknisnya. Semua teknik, pelajaran, praktek, harus dilupakan seraya seorang seniman membenamkan dirinya ke dalam seni yang diciptakan di sini pada saat sekarang; tetapi saat sekarang itu hanya dibuat mungkin oleh pelajaran dan penerapan sebelumnya. Dengan cara ini, pengalaman masa lampau menciptakan keajaiban masa kini.

1.1 Kerancuan Tradisi

Adalah implisit dalam penyataan menjadi seorang “Buddhis” bahwa seseorang meyakini bahwa Dhamma berasal dari Sang Buddha sendiri melalui penyebaran ajaran-Nya oleh tradisi-tradisi. Kita harus mengambil pernyataan ini secara serius. Sebagai seorang bhikkhu saya menyadari bahwa, dalam pengertian yang sangat nyata, saya adalah bahan dan pewaris spiritual dari Sang Buddha. Para umat Buddha yang taat memberikan saya nasi dan kari, seperti juga pada masa lampau orang-orang India memberikan Siddhattha Gotama nasi dan kari, karena mereka menganggap saya seorang pengikut sejati, seorang “Putra Sakya”. Akan tidak tulus, bahkan curang, bagi saya untuk memakan dana makanan itu sementara pada waktu yang sama meyakini, mempraktekkan, atau mengajarkan hal-hal yang saya ketahui bahwa Siddhattha Gotama tidak akan menyetujuinya.

Ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik dan menantang. Jelas bahwa keberadaan budaya-budaya yang ada yang semuanya menyatakan sebagai “Buddhis” sangat berbeda dalam keyakinan dan praktek mereka. Seringkali ini hanyalah perbedaan budaya seraya Dhamma-Vinaya menyesuaikan dirinya pada waktu dan tempat. Umat Buddha Taiwan melakukan pelantunan [kebaktian] mereka dalam bahasa Mandarin, sedangkan umat Buddha Thai melakukannnya dalam bahasa Pali; tidak ada yang membuat masalah besar tentang hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, Sang Buddha sendiri meminta para pengikut-Nya untuk mempelajari Dhamma dalam bahasa mereka sendiri, dan tidak bersikeras pada dialek-dialek lokal.

Namun, aspek-aspek lain dari Buddhisme kultural sangat berlawanan dengan Dhamma. Sebuah contoh yang mengganggu dari hal ini adalah penggunaan bahasa dan konsep Buddhis untuk membenarkan perang, yang telah merusak banyak negera-negera Buddhis. Tidak ada penyesuaian budaya yang tidak berbahaya, tetapi suatu perbuatan yang sepenuhnya tidak wajar atas ajaran-ajaran Sang Buddha.

Fakta-fakta yang tidak menyenangkan demikian menuntut bahwa kita berhenti dan menyelidiki tradisi-tradisi lebih dekat. Ini hanya tidak cukup bagus untuk menerima dengan kepercayaan yang tidak diselidiki mitos-mitos, kisah-kisah, dan dogma-dogma dari aliran-aliran. Sebagai orang-orang yang memiliki komitmen untuk memahami dan menjalankan pesan dari Sang Bijaksana Sakya, terdapat suatu kewajiban untuk dengan jujur mempertanyakan tentang apa, persisnya, yang diajarkan Guru kita. Kita tahu bahwa tradisi-tradisi menjadi salah dalam beberapa kasus. Tetapi contoh-contoh yang jelas, tidak rancu adalah dalam minoritas. Terdapat suatu kekayaan dari ajaran-ajaran lain yang diberikan kepada kita oleh aliran-aliran, yang beberapa darinya berbeda satu sama lainnya dalam huruf; dan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik daripada kepercayaan buta sebelum kita dapat dengan cerdas menyimpulkan apakah mereka lakukan, atau tidak lakukan, juga berbeda dalam maknanya.

Semua aliran Buddhisme yang ada berbagi sekumpulan besar ajaran yang sama, tetapi juga memasukkan sekumpulan besar ajaran yang berbeda. Tidak diragukan bahwa para pendiri dan pengembang berbagai aliran itu meyakini bahwa terdapat perbedaan ajaran yang bermakna, yang asli di antara aliran-aliran. Semua aliran sepaham bahwa mereka tidak sepaham. Ini cukup ditunjukkan dengan sejumlah besar bahan polemik yang memenuhi rak-rak kanon Buddhis. Dan, pada umumnya, aliran-aliran juga sepaham pada apa yang mereka tidak sepaham. Sebuah teks aliran Theravāda dapat mengatakan bahwa ajaran “pribadi” dari aliran Puggalavāda bertentangan dengan ajaran bukan-diri; sedangkan teks-teks Puggalavāda akan dengan penuh semangat membantah bahwa ajaran tentang “pribadi” berada dalam cara yang benar untuk menafsirkan bukan-diri. Mempertimbangkan situasi ini, tampaknya agak gegabah untuk menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa Buddhis modernis, bahwa tidak ada perbedaan, atau bahwa perbedaan itu tidak penting. Apa yang diperlukan bukanlah kata-kata basa-basi hambar melainkan suatu metodologi yang diperbaiki, suatu cara mendekati ajaran-ajaran yang diturunkan, bukan dari perspektif atau ajaran-ajaran dari aliran tertentu mana pun, tetapi dari suatu evaluasi sensitif dari tradisi tekstual seperti yang dihidupkan oleh para umat Buddha. Yin Shun, bhikkhu sarjana yang terkemuka dari Buddhisme Taiwan modern, mengungkapkan perasaan yang sama dalam otobiografinya.

Walaupun “tanpa-perselisihan” adalah baik, sinkretisme yang diterjemahkan dengan terampil yang tidak mengetahui di mana dan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terlalu jauh, terlalu umum, dan samar-samar.

Untuk memahami asal mula dan transformasi Buddha Dharma dalam konteks spasial dan temporal tertentu dalam dunia yang sebenarnya perlahan-lahan menjadi prinsip pencarian saya terhadap Buddha Dharma.
« Last Edit: 17 March 2013, 09:11:13 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #5 on: 17 March 2013, 09:09:25 AM »
1.2 Kematian Mitos

Adalah suatu ciri khas yang mengejutkan, umum pada semua aliran, bahwa mereka merasa kebutuhan untuk membenarkan ajaran tertentu mereka secara mitologis – inilah apa yang semua agama lakukan. Selama 2500 tahun, Buddhisme telah terus-menerus berubah, menyesuaikan diri, berkembang; tetapi mitos aliran-aliran bersikeras bahwa Dhamma tetap sama. Demikianlah Theravāda bersikeras bahwa Abhidhamma Theravāda telah diajarkan Sang Buddha di surga Tāvatiṁsa selama pengasingan diri musim hujan-Nya yang ketujuh. Mahāyāna menyatakan bahwa sūtra-sūtra Mahāyāna ditulis pada masa Sang Buddha, disimpan di alam naga di bawah laut, kemudian didapatkan kembali oleh Nāgārjuna 500 tahun kemudian. Zen menyatakan otoritas dari suatu transmisi oral esoteris di luar kitab suci yang berasal dari Mahā Kassapa, yang disimbolkan oleh senyuman Mahā Kassapa ketika Sang Buddha memegang sekuntum teratai. Semua ini adalah mitos, dan tidak layak dianggap serius sebagai penjelasan atas kebenaran historis. Tujuannya, sebagai mitos, tidak untuk menjelaskan fakta-fakta, tetapi untuk mengesahkan keyakinan religius. Mereka mengatakan pada kita, bukan bagaimana ajaran-ajaran menjadi ada, tetapi bagaimana para penganutnya merasakannya. Dengan cara ini, mitos menawarkan suatu pelengkap yang tidak tergantikan atas sejarah, dan tidak seharusnya diabaikan. Apa yang saya kritik di sini bukanlah mitos sebagai mitos, tetapi mitos sebagai sejarah: kesalahan naif bersikeras bahwa kisah-kisah dari tradisi-tradisi adalah berdasarkan fakta. Mitos-mitos berdiri sebagai suatu penolakan yang menyolok atas ketidakkekalan, dan juga sub-tema dari karya ini adalah untuk memperhatikan ironi perih tentang bagaimana upaya yang amat sangat untuk mempertahankan ajaran-ajaran, sehingga “Dhamma sejati dapat bertahan dalam waktu lama”, cenderung menuju sesuatu yang menganggap waktu sebagai nyata.

Salah satu pelajaran terbesar dari sejarah, mungkin pelajaran yang terbesar, adalah bahwa akal menggantikan mitos. Terdapat sesuatu tentang pikiran manusia yang tidak dapat terus-menerus mempercayai suatu penjelasan mitos untuk apa yang dapat kita pahami melalui akal. Penjelasan mitos memenuhi suatu tujuan; mereka menciptakan suatu pengertian makna dan identitas bersama yang memuaskan dan menegaskan diri sendiri. Tetapi akal juga adalah suatu kekuatan positif, karena ia menganggap bahwa pikiran manusia dapat mendekati kebenaran. Karena penjelasan rasional atas pernyataan-pernyataan religius semakin maju, ini menjadi semakin bosan mempertahankan dua struktur kepercayaan yang tidak bersesuaian bersebelahan. Mitos-mitos menjadi tidak berguna. Tidak lagi meyakinkan secara inheren, mereka menjadi berlebih-lebihan dan akhirnya mati. Inilah pasang surut waktu yang tidak dapat ditawar lagi.

Ketika studi sejarah modern Buddhisme dimulai pada pertengahan abad ke-19 terdapat, sebagai suatu hasil dari mitologi-mitologi yang bersaing (tidak untuk menyebutkan mitos Hindu yang bahkan lebih menyesatkan), kebingungan yang sangat amat tentang gambaran sejarahnya. Dalam ledakan antusias rasionalis, para sarjana bersiap-siap untuk mempertanyakan apakah mitos memiliki dasar faktual sama sekali. Apakah ada hubungan historis antara agama-agama yang berbeda yang dijalankan di tempat-tempat yang terpisah jauh seperti Sri Lanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Sang Buddha benar-benar ada? Apakah Beliau hanyalah dewa-matahari? Apakah Beliau seorang nabi Etiopia? Apakah yang Beliau ajarakan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat dipercaya (atau setidaknya tidak dapat dipercaya)? Karena tradisi-tradisi telah sangat terpisah karena kekuatan sejarah – terutama penghancuran Buddhisme di India – mereka memiliki sedikit informasi tentang satu sama lainnya, dan masing-masing menyatakan keunggulannya sendiri. Masing-masing aliran mempertahankan tradisinya dalam kumpulan yang luas dari berjilid-jilid naskah kuno yang sulit dimengerti dan sulit dibaca dalam bahasa-bahasa yang sangat berbeda (Mandarin, Tibet, Pali, dan bahasa-bahasa India lainnya seperti Sanskrit). Tetapi perlahan-lahan bukti dikumpulkan. Tradisi-tradisi dibandingkan; penemuan arkeologis menegaskan fakta-fakta kunci. Kronologi Sri Lanka yang berusia 1500 tahun menyebutkan nama-nama bhikkhu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirimkan pada masa Aśoka sebagai misionaris dari Vidisa ke Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama para bhikkhu ini ditemukan di sana, yang dipahatkan dalam huruf-huruf yang penanggalannya dekat dengan masa Aśoka, dan mencatat bahwa mereka adalah para guru Himalaya.[1] Pada awal abad ke-20, dalam karya-karya oleh para sarjana seperti T. W. Rhys Davies, yang tulisan-tulisannya tetap mempertahankan nilainya saat ini, skema yang akurat diambil. Masih ada perdebatan pada awal pertengahan abad ke-20, meskipun, karena bukti masih dikumpulkan, teks-teks baru disusun, dan studi baru dilakukan.

Namun, sejak awal tahun 1882 seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan serangkaian kuliah yang berjudul Buddhist Literature in China. Ini memasukkan informasi tentang proses penerjemahan ke dalam bahasa Mandarin, dan contoh terjemahan dari beberapa lapisan utama teks-teks Buddhis – Sutta-Sutta awal, Jātaka-Jātaka, dan sebuah teks Mahāyāna. Ia menyatakan sebagai berikut:

Parinibbāna, Brahmajāla, Sigalovada, Dhammacakka, Kasi-Bhāradvadja, Mahāmangala; semua ini telah saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari bahasa Pali, dan menemukan bahwa pada pokoknya mereka adalah identik. Saya tidak mengatakan secara harfiah sama; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam alur dan semua rincian yang penting. Dan ketika kumpulan Vinaya dan Āgama sepenuhnya diselidiki, saya memiliki sedikit keraguan kita akan menemukan kebanyakan jika tidak semuanya sutta-sutta Pali dalam bentuk Mandarin.[2]

Lebih dari satu abad kemudian, studi perbandingan yang seksama yang didorong oleh Beal masih kurang. Namun, beberapa kemajuan telah dibuat. Pada tahun 1908 seorang sarjana Jepang bernama M. Anesaki menerbitkan bukunya “The Four Buddhist Āgamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikāyas”.[3] Ini diikuti pada tahun 1929 oleh Chizen Akanuma dalam The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas and Pali Nikāyas,[4] sebuah katalog komprehensif dari semua kotbah-kotbah awal yang diketahui ada dalam Pali dan Mandarin, dan sedikit teks yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Penemuan-penemuan ini ditambahkan dalam studi historis yang berskala penuh seperti Étienne Lamotte dalam History of Indian Buddhism dan A. K. Warder dalam Indian Buddhism. Studi-studi telah sangat menegaskan hipotesis awal Beal – Āgama-Āgama Mandarin dan Nikāya-Nikāya Pali hampir identik dalam ajaran. Mereka adalah dua turunan yang berbeda dari kumpulan teks yang sama. Teks-teks ini – secara populer ditunjuk hanya sebagai “Sutta-Sutta” – dikumpulkan oleh generasi pertama para pengikut Sang Buddha, sebelum masa pemisahan sektarian. Mereka adalah Buddhisme prasektarian. Walaupun mereka biasanya dianggap sebagai ajaran-ajaran “Theravāda”, ini tidak demikian. Sarjana David Kalupahana melanjutkan sejauh menyatakan bahwa tidak ada satu pun kata Theravāda dalam Nikāya-Nikāya Pali (walaupun saya pikir ini pernyataan yang sedikit berlebihan.) Sumbangsih para sarjana kebanyakan terbatas pada penetapan pengaturan akhir teks-teks dan standarisasi dialek. Penambahan gagasan sektarian adalah sedikit dan biasanya dengan siap dapat dikenal. Lamotte berkomentar:

Namun, dengan pengecualian penambahan Mahāyanis dalam Ekottara, yang dengan mudah dapat dibedakan, perbedaan-perbedaan yang dipertanyakan [antara Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama] tidak mungkin mempengaruhi apa pun kecuali metode pengungkapan atau penyusunan dari pokok-pokok bahasan. Dasar ajaran yang umum pada Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama sangat seragam. Namun, dipertahankan dan disebarkan oleh aliran-aliran, sūtra-sūtra tidak merupakan naskah-naskah skolastik, tetapi merupakan warisan bersama dari semua aliran.[5]

Semua teks lainnya, termasuk Jātaka, Abhidhamma dari berbagai aliran, sūtra-sūtra Mahāyāna, dan seterusnya, dituliskan kemudian. Relatif sedikit dari ajaran-ajaran ini dianut sama antara aliran-aliran; yaitu, mereka adalah Buddhisme sektarian. Walaupun lensa kritik historis, gambar besar dari kemunculan dan perkembangan ajaran-ajaran ini dapat ditelusuri dengan sangat jelas, dalam dinamika internal dari evolusi ajaran dan dalam tanggapan Buddhisme pada lingkungan budaya, sosial, dan religius yang berubah-ubah. Tidak ada bukti bahwa ajaran-ajaran khusus dari teks-teks ini – yaitu, ajaran-ajaran yang tidak juga ditemukan dalam Sutta-Sutta awal – berasal dari Sang Buddha. Alih-alih, teks-teks ini seharusnya dianggap sebagai jawaban yang diberikan para guru dari masa kuno atas pertanyaan: “Apakah makna Buddhisme bagi kami?” Setiap generasi berikutnya pasti melakukan tugas sulit dalam prinsip penafsiran, akulturasi kembali Dhamma pada waktu dan tempat. Dan kita, dalam masa-masa kita yang menggemparkan, yang demikian berbeda dari mereka dari masa atau budaya Buddhis masa lampau, harus menemukan jawaban kita sendiri. Dari perspektif ini, ajaran-ajaran aliran-aliran memberikan pelajaran-pelajaran yang tidak ternilai, suatu kekayaan teladan yang telah diwariskan kepada kita oleh para nenek moyang kita dalam keyakinan.

Memahami dasar historis dari Buddhisme menyediakan suatu landasan yang bermakna untuk menghargai landasan bersama dari aliran-aliran. Mitos-mitos tradisional tentang asal mula teks-teks Buddhis menjalankan tujuan polemik, yang menentukan dalam mengesahkan posisi ajaran tertentu dari aliran-aliran. Ini bukan untuk merendahkan peranan religius yang penting yang dimainkan mitos-mitos dalam Buddhis; sebaliknya, kita akan melihat bahwa kitab-kitab Buddhis selalu ditanamkan dalam kisah spiritual, yang memberi napas kehidupan ke dalam ajaran-ajaran. Tujuan kita bukan untuk mengkritik aliran-aliran, tetapi untuk membedakan yang penting dari yang tidak penting.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Frauwallner 1956; yang baru-baru ini dikoreksi oleh Willis. Lihat juga Wynne.

[2] Beal, pg. xii.

[3] Anesaki

[4] Akanuma. Sebuah versi yang telah diperbarui dari tabel Akanuma ada di www.suttacentral.net

[5] Lamotte, pg. 156.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #6 on: 17 March 2013, 09:19:07 AM »
Bab 2
GIST 1 – Tiga Lapisan Teks-Teks Awal

Apakah GIST itu? Ini adalah hipotesis umum tentang asal mula da perkembangan teks-teks Buddhis. Melihat kebutuhan untuk suatu nama yang mudah dipakai untuk gagasan ini, saya mulanya berpikir, dengan lidah dengan aman pada pipi, dengan mengikuti contoh para ahli fisika dan menyebutnya sebagai “Grand Unified Sutta Theory”. Tetapi akronim “GUST” terdengar seperti banyak udara panas, sehingga saya berpikir tentang “General Integrated Sutta Theory”: GIST. Yaitu, tentu saja, persisnya apa yang kita cari. Kita mencari suatu perlengkapan yang dapat kita percaya memotong kumpulan tambahan yang memenuhi perpustakaan Buddhis dan tiba, sedekat mungkin, pada ajaran-ajaran Sang Buddha sendiri. Bahkan jika kita membatasi pertanyaan kita pada Sutta-Sutta dan Vinaya awal kita masih diberikan dengan susunan yang luas dari ajaran-ajaran, beberapa jelas berasal dari masa setelah Sang Buddha. Terdapat beberapa upaya yang lebih kurang berhasil untuk menyaring masalah ini ke dalam berbagai lapisan. Kemajuan yang paling penting dalam hal ini adalah perbandingan Nikāya- Nikāya Pali dengan Āgama-Āgama Mandarin. Ini membawa kita kembali ke sekitar seratus tahun setelah kematian Sang Buddha. Tetapi kita masih berhadapan dengan sekumpulan kotbah yang tampaknya tidak ada jalan kembali lebih jauh. GIST berusaha untuk menembus bahkan lebih jauh, ke dalam masa Sang Buddha.

GIST adalah “General” (Umum) karena ia meliputi seluruh kitab yang masih ada, yaitu, Sutta-Sutta, Vinaya-Vinaya, dan Abhidhamma-Abhidhamma dari semua aliran yang dipertahankan dalam bahasa Pali, Mandarin, dan berbagai dialek India. Ia “Integrated” (Terintegrasi) karena ia memberikan penyajian yang ringkas dari hubungan-hubungan penting antara teks-teks ini. Ini berhubungan dengan “Sutta-Sutta” bukan hanya dalam pengertian nyata bahwa Sutta Piṭaka mengandung ajaran-ajaran yang paling penting, tetapi karena ini menyatakan suatu revaluasi makna dari kata “sutta” dalam teks-teks awal. Untuk alasan ini kita tidak akan mengikuti praktek biasanya menunjuk pada teks apa pun dalam Sutta Piṭaka sebagai “sutta”, tetapi akan menggunakan istilah yang lebih netral seperti “kotbah”, mencadangkan “sutta” dalam huruf miring untuk makna khusus yang dibawa istilah tersebut dalam penggunaan awal. Namun kita akan terus menggunakan “Sutta” dengan sebuah huruf kapital untuk menunjuk pada teks-teks awal secara umum sebagai yang berlawanan dengan Abhidhamma dan karya-karya belakangan lainnya.

Dan terakhir, GIST adalah suatu “Theory”  (Teori) karena ia tidak pasti. Tidak ada teori yang dapat sepenuhnya menangkap kebenaran. Saya pikir suatu teori yang berhasil adalah, pertama, teori yang menyampaikan suatu masalah sejati, kedua, menjelaskan berbagai fakta dalam suatu cara yang setidaknya sama masuk akalnya dengan alternatif apa pun, dan ketiga, bersifat menimbulkan penyelidikan yang lebih jauh. Walaupun GIST hanya sesosok anak yang baru lahir mengambil langkah yang terhuyung-huyung, ia masih memenuhi standar-standar ini.

Terdapat masalah serius yang menjadi taruhan: bagaimana kita menghubungkan kumpulan Pali dan Mandarin bersama-sama, melampaui hanya menyatakan bahwa mereka berbagi banyak teks-teks yang sama? Kita harus berusaha menyelidiki kesamaan dan perbedaan secara lebih sistematis dan suatu kesempatan yang menjanjikan untuk melakukan itu adalah menggunakan prinsip struktural yang dikatakan dalam teks-teks itu sendiri.

Mengenai alternatif-alternatif, tidak ada ruang di sini untuk mengevaluasi semua teori yang telah dikemukakan untuk asal mula dan perkembangan kanon. Namun, saya percaya teori-teori saat ini tidak cukup menyatakan pengaruh dari struktur Dhamma itu sendiri terhadap struktur kanon. Kotbah-kotbah awal bersifat metodis dan simetris, dan terdapat ketidaksesuaian yang menyolok antara arsitektur ajaran yang seimbang itu sendiri dan kumpulan-kumpulan yang tergeletak di mana ajaran-ajaran itu ditempatkan.

Mengenai standar ketiga, GIST memberikan metode yang jelas, sederhana, sistematis untuk mendekati studi apa pun dari ajaran-ajaran pokok Buddhisme. Alih-alih mengambil bacaan-bacaan, gagasan, atau kutipan dari sana-sini untuk mendukung argumentasi seseorang, GIST menyatakan hirarki yang jelas dari hal-hal penting dalam kitab-kitab awal. Dalam bagian kedua karya ini saya menjalankan penyelidikan demikian dalam subjek satipaṭṭhāna.

GIST dicetuskan oleh penemuan-penemuan bhikkhu sarjana Taiwan yang terkemuka Yin Shun, yang dirinya sendiri bergantung pada penelitian orang Jepang dan Taiwan awal, di mana tidak ada yang secara luas diketahui dalam lingkungan berbahasa Inggris. Saya belum membaca karya Yin Shun secara langsung; informasi saya datang dari ringkasan karya Yin Shun dalam The Fundamental Teachings of Early Buddhism oleh Choong Mun-keat, dan melalui percakapan dengan dan tulisan Roderick Bucknell. Walaupun pandangan Yin Shun mencetuskan GIST, di sini teori itu dikembangkan lebih jauh secara signifikan. Oleh sebab itu, saya tidak akan menyajikan penemuan Yin Shun untuk memulai, tetapi akan meringkaskan GIST dalam cara saya sendiri dan menyajikan sumbangsih Yin Shun pada tempat-tempat yang sesuai. Sementara Yin Shun berargumentasi dari teks-teks belakangan untuk membangun teks-teks awal, saya akan melompati masa kehidupan Sang Buddha dan mendekati ajaran Sang Buddha dengan melintasi arus sungai waktu.

2.1 Sebelum Sang Buddha

Kita harus mulai dengan mempertimbangkan kemungkinan model pra-Buddhis untuk kitab-kitab Buddhis. Tampaknya bahwa penyusunan literatur baru dalam kebudayaan mana pun secara kuat dipengaruhi oleh bentuk literatur yang tersedia dalam kebudayaan itu. Oleh sebab itu mungkin bahwa organisasi lapisan kitab-kitab Buddhis telah terutama dipengaruhi oleh model-model pra-Buddhis. Lapisan berikutnya, tentu saja, terutama dipengaruhi oleh model-model Buddhis yang lebih awal. Oleh karenanya jika kita menemukan bukti struktur tekstual Buddhis yang diturunkan dari model pra-Buddhis, ini menyatakan bahwa struktur ini bukan hanya awal, tetapi yang paling awal.

Satu-satunya tradisi literatur yang disebutkan dalam kotbah-kotbah awal adalah tradisi Brahmanis dari tiga Veda dan berbagai karya tambahan. Ini jelas memainkan peran dominan dalam lingkungan pergaulan kultural/spiritual/kesusasteraan di mana teks-teks Buddhis dibentuk. Terdapat beberapa hubungan yang jelas antara gaya kesusasteraan teks-teks Buddhis dan Veda – terutama dalam bentuk puitis – tetapi saya tidak mengetahui upaya apa pun untuk menghubungkan keseluruhan teks Buddhis dengan Veda. Ini, tidak diragukan, karena struktur kanon-kanon yang ada mengandung sedikit hubungan yang jelas dengan Veda. Tetapi marilah kita mengunjungi kembali pertanyaan ini untuk melihat apakah Veda mungkin telah mempengaruhi suatu prinsip pengorganisasian yang lebih awal.

Tiga Veda adalah Ṛg, Sāman, dan Yajur. (Veda keempat dalam tradisi Brahmanis belakangan, Atharva, disebukan dalam teks-teks Buddhis awal tetapi terbukti tambahan kanonik pada waktu itu.) Ṛg Veda sejauh ini adalah yang paling penting. Ini adalah suatu kumpulan yang paling kuno (1500 SM?) dari sekitar 10.000 syair kebaktian dan liturgis. Salah satu sistem pengelompokan Ṛg dalah dalam vagga-vagga, kelompok-kelompok dari sekitar sepuluh baris syair. Vagga dari sepuluh sutta menjadi salah satu blok bangunan paling dasar dalam pengorganisasian kitab-kitab Buddhis. Sāman sebagian besar adalah sekumpulan nyanyian pujian yang diambil dari Ṛg. Walaupun semua Veda mengandung syair, Sāman adalah kitab nyanyian yang paling unggul; murid-murid [yang menguasai]-nya adalah chandogya (“penggubah syair”). Satu-satunya dari Veda, Yajur mengandung prosa dan syair; ia berfokus terutama pada [upacara] pengorbanan. Maka kita memiliki satu karya utama dan dua pelengkap.

Bentuk tritunggal mungkin memiliki nilai religius yang penting, dicerminkan Trinitas kedewaan yang ditemukan sangat umum pada masa kuno. Trinitas biasanya terdiri dari, bukan tiga rekan yang sama, tetapi satu dewa (dewa atau kedewaan) yang memimpin yang bermanifestasi di dunia melalui media dua dewa yang lebih rendah: Yang Satu menjadi Yang Dua, Yang Dua menjadi banyak. Sifat “ketigaan” dari Veda dilipatgandakan dalam daftar-daftar belakangan dari literatur Veda yang diperluas yang disebutkan dalam tradisi Pali, di mana kita menemukan suatu pengelompokan berunsur enam dan dua belas. Berbagai bagian dari literatur Veda ditunjuk sebagai aṅga-aṅga, “bagian-bagian”, dan kita menemukan istilah “Vedanta” dan “Vedaṅga”. Kita juga mencatat bahwa istilah yang familiar sutta, di mana Buddhisme biasanya menunjuk pada kotbah-kotbah, dalam penggunaan Brahmanis secara khusus berarti pernyataan ajaran yang pendek, mendasar, yang diperlakukan sebagai suatu dasar untuk penjelasan dan komentar.

Beberapa unsur formal juga ditemukan dalam kitab-kitab Jain. Walaupun Jainisme adalah suatu agama yang lebih tua daripada Buddhisme, teks-teks Buddhis tidak menyebutkan teks-teks Jain yang ada pada masa Sang Buddha, dan Jain sendiri setuju bahwa kitab-kitab mereka dirumuskan sangat belakangan. Namun mereka jelas mengandung unsur-unsur awal, dan mungkin bahwa ciri-ciri khas awal teks-teks Jain yang masih terbukti dalam teks-teks yang ada mungkin telah mempengaruhi pembentukan teks-teks Buddhis, walaupun lebih mungkin bahwa pengaruh itu adalah sebaliknya. Jain menyatakan suatu daftar dari empat belas purva (“sebelumnya”) yang sekarang telah lenyap, dan dua belas aṅga, sebelas di antaranya masih ada. Salah satu dari aṅga ini disebut prasnavyākaraṇa, yang berarti “tanya jawab”. Sebagai tambahan mereka memiliki dua belas upanga, “bagian tambahan”. Terbukti bahwa bagi tradisi Veda dan Jain istilah “aṅga” menunjuk pada teks-teks khusus yang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok dari kelipatan tiga. Ājīvaka, aliran non-ortodoks lainnya, dikatakan dalam sūtra- sūtra Jain memiliki kitab-kitab peramalan yang terdiri dari aṅga-aṅga, dalam kasus ini delapan jumlahnya. Juga dicatat bahwa Jain, seperti Brahmana, menggunakan istilah sutta untuk ungkapan ajaran yang pendek, walaupun seperti Buddhis mereka juga menggunakannya sebagai suatu istilah untuk teks-teks ajaran secara umum. Mulai sekarang, kita dapat memasukkan semua poin ini jauh ke dalam sudut pikiran kita untuk referensi kemudian.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #7 on: 17 March 2013, 09:26:20 AM »
2.2 Kotbah-Kotbah Pertama

Sekarang kita berbalik pada teks-teks Buddhis. Bagaimana mengidentifikasi kotbah-kotbah yang paling awal? Seperti yang disebutkan di atas, salah satu perlengkapan yang paling kuat yang digunakan oleh para sarjana untuk mengidentifikasi teks-teks awal adalah kesesuaian dari tradisi-tradisi. Dalam Buddhisme studi ini, sejauh yang telah terjadi sama sekali, telah berfokus pada kesesuaian antara teks-teks yang dipertahankan oleh berbagai aliran yang terpecah belah. Tetapi, tentu saja, apa masalahnya bukan perpecahan seperti demikian, tetapi perbedaan ke dalam silsilah-silsilah tekstual yang berbeda. Terdapat banyak bukti tingkatan yang signifikan dari pemisahan dan spesialisasi studi tekstual bahkan pada masa Sang Buddha sendiri, jauh sebelum perpecahan apa pun. Inilah pembagian yang paling penting dari ajaran-ajaran dalam semua aliran dan tradisi: Dhamma dan Vinaya. Teks-teks menunjuk pada kelompok-kelompok bhikkhu yang mengkhususkan pada satu atau yang lain dari wilayah studi ini. Mereka memiliki guru-guru yang berbeda dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda. Kisah Theravādin dari Konsili Pertama mengatakan bahwa Dhamma diucapkan oleh Yang Mulia Ānanda dan Vinaya oleh Yang Mulia Upāli. Sementara tidak semua rincian tentang Konsili Pertama dapat diterima sebagai menurut sejarah, pasti ini pembagian dasar yang harus dikembalikan ke masa sebelum Sang Buddha wafat. Dan tentu saja, isi dari kedua kumpulan hampir sepenuhnya berbeda. Semua ini menyatakan bahwa beberapa ajaran doktrinal yang ditemukan dalam Vinaya memiliki suatu arti yang khusus. Mereka telah diketahui, tidak hanya oleh para spesialis ajaran, tetapi oleh semua bhikkhu dan bhikkhuni, yang berasal dari masa paling awal dari misi Sang Buddha, sebelum kumpulan-kumpulan ajaran berkembang sangat pesat sehingga spesialisasi diperlukan. Tentu saja, ini bukan kasus bahwa semua ajaran yang digunakan bersama antara sutta-sutta dan Vinaya pasti bersifat awal; kotbah-kotbah mungkin telah diubah atau digandakan antara kumpulan-kumpulan itu pada masa yang belakangan, dan kita mengetahui dalam beberapa kasus ini benar-benar terjadi. Maka kita harus melihat kotbah-kotbah yang tidak hanya ditemukan di seluruh Vinaya, tetapi juga bersifat fundamental pada struktur teks itu sendiri, hal-hal yang tidak kelihatannya seakan-akan mereka dengan mudah dicangkokkan ke sana.

Jadi apakah ajaran-ajaran ini? Terdapat beberapa versi dari Vinaya awal yang tersedia – sekitar setengah lusin aliran ditemukan dalam kanon Mandarin, Vinaya Mūlasarvāstivāda tersedia dalam bahasa Tibet dan sebagian bahasa Sanskrit, Theravāda dalam kanon Pali; beberapa bahan lain juga tersedia dalam bahasa Sanskrit hibrid dan berbagai bahasa India dan bahkan dialek Iran. Beberapa dari kumpulan-kumpulan ini mengandung bahan ajaran; tetapi kebanyakan bahan belum diterjemahkan, dan studi-studi demikian seperti yang telah dilakukan kebanyakan dalam bahasa Jepang. Untuk saat ini, kita akan berkonsentrasi terutama pada bahan dalam Vinaya Theravāda, dengan hipotesis bahwa bahan yang sama tersedia dalam Vinaya-Vinaya lain. Ini ditegaskan dalam beberapa kasus penting, dan akan menjadi arena yang mengagumkan untuk penelitian yang akan datang.
Ajaran doktrinal yang terkemuka dalam Vinaya muncul dalam bab pertama dari Mahāvagga. Terdapat tiga kotbah utama: Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhaṇa Sutta, dan Ādittapariyāya Sutta. Berdampingan dengan ini terdapat beberapa syair, khususnya Permohonan Brahmā agar Sang Buddha mengajar, dan jawaban Sang Buddha:

“Terbuka lebarlah pintu menuju Keabadian!
Biarlah mereka yang dengan telinga mendengar memastikan keyakinan mereka.”[1]

Terdapat ajaran penting lain dalam Vinaya Theravāda – khususnya kemunculan yang saling bergantungan dan 37 sayap menuju pencerahan – yang sangat menguatkan argumentasi saya; tetapi bacaan-bacaan ini bukan yang utama pada struktur Vinaya dan sehingga sampai keotentikannya telah ditegaskan melalui studi perbandingan dengan Vinaya-Vinaya lain kita harus menghindari bergantung pada mereka.

Dhammacakkappavattana Sutta tersedia setidaknya dalam lima Vinaya, dan dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Ini, kenyataannya, jauh lebih paling tersebar luas dari semua kotbah, dengan tidak kurang dari 17 versi yang ada, dan salah satu dari sedikit kotbah yang bertahan dalam empat bahasa utama Buddhis dari Pali, Sanskrit, Mandarin, dan Tibet.[2] Tidak dapat diabaikan, terdapat banyak variasi dalam detail, tetapi isi utama pada hakekatnya sama – empat kebenaran mulia. Dhammacakkappavattana Sutta menyajikan ajaran-ajaran ini dalam suatu kerangka yang dengan jelas mengisahkan pengembangan spiritual Sang Buddha sendiri, pemuasan diri-Nya di istana dan penyiksaan diri sebagai seorang pertapa, dan realisasi pencerahan-Nya sendiri sebagai jalan keluar dari dua hal ini. Demikianlah konteks internal teks itu sendiri menyatakan bahwa ini adalah kotbah pertama. Anattalakkhaṇa Sutta juga muncul dalam beberapa versi, seperti juga Ādittapariyāya Sutta dan Permohonan Brahmā, walaupun saya belum mempelajari detail penuhnya. Namun semua teks ini tersedia dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama.

Kotbah-kotbah ini membentuk inti ajaran dari riwayat hidup Sang Buddha yang paling tua, dengan menceritakan kisah sejak setelah pencerahan Sang Buddha sampai pada pembentukan Sangha. Ini adalah legenda akar yang membentuk kisah yang menyatu bagi semua Buddhis. Kisah ini diceritakan dalam banyak teks-teks kuno, kadangkala dalam Vinaya, kadangkala sebagai sebuah Sutta; dalam bentuk belakangan yang dibumbui ini menjadi sebuah buku yang panjang itu sendiri. Tetapi di balik penjelasan-penjelasan yang berlebih-lebihan terdapat suatu konsistensi yang luar biasa dalam kisah utama dan ajaran doktrinalnya. Bahkan sebuah teks belakangan seperti Mahāvastu mempertahankan ajaran-ajaran seperti Dhammacakkappavattana Sutta dalam bentuk yang hampir identik.[3] Mereka secara universal dianggap sebagai ajaran-ajaran pertama Sang Buddha, dan maka kita memiliki kesepahaman penuh antara kesesuaian teks-teks dan testimoni dari tradisi. Tentu saja, tidak mungkin untuk dapat mengembangkan bahwa teks-teks ini secara harfiah adalah ajaran-ajaran pertama. Ataupun kita tidak dapat menyangkal bahwa terdapat beberapa perbedaan kecil di antara versi-versi itu. Tetapi teks-teks ini adalah penting bagi kumpulan kitab Buddhis, dan tidak ada alasan bagus mengapa ini tidak hanya mencerminkan posisi historis.

Namun terdapat suatu masalah substansial dengan teori yang rapi ini. Bacaan yang telah kita pertimbangkan, bab pertama dari Mahāvagga Vinaya, juga ditemukan dalam tradisi Sarvāstivādin. Tetapi, ini bukan dalam Vinaya, melainkan dalam Dīrgha Āgama di bawah judul Catuṣpariṣat Sūtra (“Sūtra Empat Perkumpulan”).[4] Kotbah ini muncul dalam beberapa versi, yang membuktikan popularitasnya. Ini sangat dekat dengan versi Pali, walaupun tidak memiliki unsur Vinaya yang khusus. Beberapa sarjana telah menyatakan bahwa teks ini mulanya bagian dari Vinaya, dan kemudian dipindahkan ke dalam Āgama. Jika ini kasusnya, tidak ada masalah. Namun, mungkin bahwa perpindahannya adalah sebaliknya: teks itu mulanya sebuah kotbah yang kemudian ditambahkan ke dalam Vinaya. Ini akan menyatakan bahwa bacaan-bacaan doktrinal ini bukan, dalam kenyataannya, bagian dari Vinaya awal mula. Tetapi saya berpikir adalah lebih baik menganggap Catuṣpariṣat Sūtra sebagai hal yang pokok bagi Dhamma dan Vinaya. Dalam membawa pada kotbah pertama, ini menyediakan latar belakang naratif untuk Dhamma; dan kemudian penahbisan Añña Koṇḍañña setelahnya adalah titik awal yang sempurna untuk membuka Vinaya.

Kita berusaha untuk melihat sekilas fase dari Buddhisme. Pada tahun-tahun awal, terdapat relatif sedikit ajaran. Semua bhikkhu telah mengetahui dalam hati sedikit teks dan kotbah yang dianggap sebagai yang utama. Sebagai tambahan, mereka semua telah familiar dengan aturan sederhana non-legalistik dari perilaku yang diharapkan dari mereka sebagai pertapa Buddhis. Demikianlah mereka semua telah mengetahui Dhamma dan Vinaya. Akan memakan waktu bertahun-tahun bagi banyak sekali bahan untuk berkembang sehingga spesialisasi diperlukan. Dari titik ini, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni mengkhususkan pada Dhamma, sedangkan yang lain mengkhususkan dalam Vinaya. Sangat masuk akal menganggap bahwa ajaran-ajaran doktrinal dalam Vinaya-Vinaya yang ada adalah sisa-sisa, apakah secara langsung atau tidak, dari isi ajaran yang digunakan bersama demikian. Juga sangat masuk akal untuk menyatakan bahwa para bhikkhu dan bhikkhuni semuanya telah familiar dengan kisah pencerahan Sang Buddha, dan bahwa legenda ini diberikan bentuk kesusasteraan yang konkrit, walaupun memasukkan rincian-rincian yang belakangan, terutama untuk meminjam otoritas pada inti ajaran. Dengan kata lain, Catuṣpariṣat Sūtra dalam bentuk yang telah berkembang telah dimasukkan dalam Vinaya tepatnya karena para ahli Vinaya telah familiar dengan ajaran doktrinal utama dari kotbah-kotbah itu, dan mereka kemudian disediakan dengan suatu konteks historis yang menghubungkan ajaran dengan pendirian Sangha dan penetapan Vinaya. Jadi saya berpikir kehadiran bacaan-bacaan doktrinal dalam Vinaya-Vinaya yang ada tetap sebagai bukti yang mendukung untuk keutamaan ajaran-ajaran ini.

2.3 Teori Gāthā

GIST membuat kasus yang kuat bahwa tradisi-tradisi, dalam kasus ini, sudah benar. Tantangan ilmiah besar pada kesimpulan ini berasal dari apa yang kita sebut “teori gāthā”. Teori ini, yang memasukkan beberapa sarjana terkemuka di antara para penganutnya, menyatakan bahwa ajaran yang tercatat paling awal yang kita miliki saat ini akan ditemukan terutama di antara syair-syair tertentu , khususnya Aṭṭhaka dan Pārāyana dari Sutta Nipāta.[5] Namun, walaupun saya setuju bahwa beberapa syair bersifat awal, saya tidak berpikir bahwa alasan-alasan yang diberikan cukup untuk mengembangkan bahwa syair-syair ini umumnya lebih awal daripada prosa. Secara singkat untuk menyatakan kasus bagi dan berlawanan dengan teori gāthā.

1) Bahasa yang ditemukan dalam teks-teks demikian berhubungan dengan beberapa hal pada Veda, dan oleh sebab itu bersifat kuno.

Syair biasanya cenderung bersifat kuno; ini dapat didukung dalam sejumlah kasus dengan perbandingan bacaan syair dan prosa oleh penulis yang sama bahkan pada masa modern. Ini dapat sebagian merupakan suatu masalah gaya, suatu pemilihan atas cita rasa kuno, seperti dalam syair bahasa Inggris seseorang dapat memakai “thee” dan “thou”. Faktor lain adalah bahwa, disebabkan oleh batasan irama, lebih sulit menerjemahkan syair dibandingkan dengan prosa dari satu dialek India ke yang lainnya; demikian bahkan dalam literatur Sanskrit hibrid, syair cenderung mempertahankan ciri khas Prakrit yang lebih kuno, sedangkan prosa yang menyertainya cenderung Sanskrit yang lebih formal. Ini mengatakan pada kita sesuatu tentang proses terjemahan, tetapi tidak ada tentang usia relatif dari bagian-bagian yang berbeda dari teks asli.

2) Beberapa dari syair-syair ini ditunjuk dalam prosa Nikāya-Nikāya, dan oleh sebab itu pasti lebih awal daripada kotbah-kotbah prosa.

Ini hanya menegaskan hubungan kronologis dalam beberapa kasus. Dalam banyak kasus lainnya, syair-syair dilampirkan pada akhir kotbah prosa, seperti dalam Aṅguttara, dan terdapat kemungkinan bahwa syair-syair itu ditambahkan kemudian. Bagaimanapun, terdapat bacaan prosa yang dikutip atau ditunjuk dalam bacaan prosa lainnya, khususnya Dhammacakkappavattana Sutta, yang secara eksplisit atau implisit ditunjuk dalam beberapa kotbah penting. Penunjukan pada gāthā-gāthā, lebih lanjut, meskipun penting, tidak pernah menyatakan bacaan demikian sebagai pesan utama Dhamma. Ajaran-ajaran kunci, yang dipuji terus-menerus dalam teks-teks awal, adalah hal-hal seperti empat kebenaran mulia, 37 sayap menuju pencerahan, kemunculan yang saling bergantungan, atau “kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan unsur-unsur”. Tidak ada dari topik-topik ini menonjol dalam gāthā-gāthā. Alamiah untuk mengasumsikan bahwa isi kitab yang paling awal terdiri atas ajaran-ajaran hanya tentang topik-topik yang demikian. Penunjukan demikian mungkin bahkan menunjuk pada teks-teks khusus di mana ajaran-ajaran ini diuraikan. Sumber utama untuk semua topik ini adalah Saṁyutta.

3) Aṭṭhaka dan Pārāyana memiliki komentar kanonik mereka sendiri dalam Khuddaka Nikāya, Niddesa.

Argumen ini baru-baru ini telah diulangi oleh Gregory Schopen, yang mengatakan bahwa ini adalah “satu-satunya” teks yang telah mendapatkan komentar dari masa penyusunan paling awal yang diketahui.[6] Ini kelihatan seperti poin yang kuat, sampai kita menyadari bahwa Niddesa sebenarnya hanya menerapkan teknik Abhidhamma pada puisi [dari Aṭṭhaka dan Pārāyana], dengan memberikan daftar sinonim dalam gaya mekanis untuk setiap kata dalam syair-syairnya. Ini sangat mirip dengan Vibhaṅga Abhidhamma, dst., dan pasti berasal dari masa yang sama sebagai suatu sumber penghasilan tambahan dari proyek Abhidhamma. Vibhaṅga jelas merupakan karya yang lebih penting, dan yang terdiri atas sebagian besar kutipan dan komentar dari bacaan prosa utama dari Saṁyutta and Majjhima. Dalam kenyataannya terdapat banyak bahan “komentar” bahkan dalam empat Nikāya: Saccavibhaṅga Sutta, yang akan kita selidiki lebih jauh di bawah, merupakan suatu komentar yang eksplisit atas Dhammacakkappavattana Sutta. Banyak dari Vinaya, juga, adalah suatu komentar atas Pāṭimokkha.

4) Istilah-istilah teknis dan ajaran-ajaran yang bersifat rumusan muncul kurang sering.

Lagi-lagi, ini hanya bagian dari ciri umum dari syair. Puisi adalah untuk inspirasi, bukan informasi.

5) Para bhikkhu tinggal sebagai pertapa di dalam hutan alih-alih dalam vihara yang tetap, sedangkan dalam prosa fase Buddhisme ini sebagian besar tidak ada, kotbah-kotbah secara umum ditetapkan dalam vihara-vihara.

Pergeseran ini, dari kehidupan hutan ke vihara-vihara yang berkembang, digambarkan dalam teks-teks itu sendiri telah dimulai pada masa kehidupan Sang Buddha, dan terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa ini adalah demikian. Adalah sulit untuk tinggal di dalam hutan, dan Sangha pasti telah, sebelum sangat panjang, mulai mengambil para calon yang lanjut usia, atau lemah karena tua, atau lemah, dan yang membutuhkan tempat tinggal yang baik. Penalaran sederhana ini ditegaskan dalam banyak kisah dalam teks-teks awal. Di sini kita dapat menunjuk pada kesamaan dengan ordo Fransiskan, yang dituduh oleh St. Fransiskus sendiri meninggalkan standar keras yang telah ia tetapkan. Dalam setiap kasus, prosa dalam kenyataannya terus-menerus menunjuk pada para bhikkhu yang tinggal di hutan.  Kesalahan berasal dari selain kegagalan untuk membedakan antara ajaran-ajaran itu sendiri dan kisah narasi yang dipakaikan di mana ajaran itu muncul, yang pasti jelas belakangan. Contoh yang terkenal di sini adalah ajaran tentang pelatihan bertahap, paradigma utama untuk cara hidup monastik, yang ditemukan dalam puluhan kotbah. Walaupun teks-teks seperti mereka saat ini ditetapkan di vihara-vihara, isi ajaran itu sendiri hanya menunjuk pada bhikkhu, “pergi ke dalam hutan, ke akar sebuah pohon, atau ke sebuah gubuk kosong...” untuk bermeditasi, dengan tidak menyebutkan vihara-vihara. Ini adalah suatu potongan yang bagus dari bukti negatif: kita mengetahui bahwa Buddhisme yang belakangan sebagian besar berpusat pada vihara-vihara besar, oleh karenanya kenyataan bahwa sangat banyak dari ajaran-ajaran yang memuji kehidupan hutan dengan kuat menyatakan ajaran-ajaran ini pasti telah muncul sebelum perkembangan monastisisme yang menetap.

Maka dalam contoh ini kepercayaan tradisional dapat dipertahankan dalam menghadapi kritik modern. Saya tidak mengatakan bahwa kotbah-kotbah seperti yang ditemukan saat ini pasti kata per kata sama dengan ajaran-ajaran pertama, tetapi bahwa ajaran-ajaran ini, sebagian besar dalam kata-kata dan frase yang sama, telah diperlakukan sejak masa yang paling awal sebagai ajaran-ajaran yang paling pokok, dan tradisi-tradisi memberikan alasan yang masuk akal mengapa ini demikian. Sejumlah besar Dhammacakkappavattana Sutta membutuhkan suatu penjelasan. Gagasan, yang berpengaruh pada suatu waktu dalam studi Buddhis, bahwa ajaran-ajaran ini berasal dari suatu revisi “oleh para bhikkhu” atas Dhamma setelah Sang Buddha wafat memiliki romantisme suatu teori konspirasi, dan semua hal yang masuk akal darinya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #8 on: 17 March 2013, 09:35:20 AM »
2.4 Kumpulan Paling Awal

Setelah memberikan landasan untuk membangun kotbah-kotbah yang paling awal, kita sekarang bertanya: “Apakah kumpulan yang paling awal dari kotbah-kotbah?” Di sini kita melibatkan kriteria kembar: kesesuaian teks-teks dan testimoni tradisi-tradisi. Pertama-tama kita harus mencari kumpulan-kumpulan yang menunjukkan tingkatan kesesuaian yang tertinggi. Dari kumpulan-kumpulan utama, berikut adalah yang tersedia. Simbol ¶ berarti kumpulan di mana hanya sebagian yang ada. Dīrgha Sanskrit adalah penemuan baru yang menggembirakan yang berasal dari Afganistan dan belum sepenuhnya diedit.

Tabel 2.1: Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama

Nikāya TheravādaĀgama SarvāstivādaĀgama Lainnya (dalam Mandarin)
Dīgha (Pali)Dīrgha (Sanskrit)Dīrgha (Dharmaguptaka)
Majjhima (Pali)Madhyama (Mandarin)
Saṁyutta (Pali)Saṁyukta (Mandarin)Dua Saṁyukta “lainnya” (aliran tidak diketahui)
Aṅguttara (Pali) Ekottara (Mahāsaṅghika?), Aṅguttara (aliran tidak diketahui)

Untuk memahami ini, kita perlu mengetahui sedikit tentang aliran-aliran ini. Kronologi awal Buddhisme masih samar-samar. Bahkan penanggalan yang paling penting, kemangkatan Sang Buddha, secara khusus sangat berbeda dalam tradisi-tradisi yang berbeda, dan jauh dari jelas yang, jika ada, lebih dapat dipercaya. Mengikuti Gombrich dan yang lainnya kita dapat mengambil penanggalan itu 484-404 SM untuk Sang Buddha karena tidak ada yang lebih dapat dipercaya daripada perkiraan lainnya. Perpecahan-perpecahan tidak dapat ditentukan tanggalnya dalam pengertian yang mutlak, dan bahkan kronologi relatif dari perpecahan-perpecahan diperdebatkan. Ini mungkin mencerminkan situasi historis yang sebenarnya, karena kecenderungan pemisahan mungkin berlanjut dalam tingkatan yang berbeda pada wilayah-wilayah yang berbeda, dan mungkin tidak ada kesepahaman universal bahkan pada waktu itu atas penanggalan persis dari perpecahan-perpecahan. Ini bahkan tidak pasti apakah Sangha pada waktu itu telah menyadari bahwa ia sedang menciptakan pemisahan yang abadi ke dalam aliran-aliran  dalam pengertian yang kita pahami saat ini. Implikasi penuh dari pemutusan hanya menjadi nyata bertahun-tahun kemudian.

Buku saya Aliran-Aliran dan Sektarianisme melihat pada pertanyaan-pertanyaan ini secara lebih detail. Di sini saya akan merangkumkan penemuan-penemuan saya. Aliran-aliran muncul terutama karena penyebaran geografis Buddhisme selama masa Raja Aśoka. Komunitas-komunitas luas perlahan-lahan mengembangkan ajaran-ajaran mereka sendiri, dan persaingan untuk kesejahteraan yang meningkat yang tersedia bagi Sangha mengintensifkan ketegangan-ketegangan itu. Pergerakan pemisahan pertama, antara nenek moyang Theravāda dan Mahāsaṅghika, digerakkan oleh suatu perselisihan yang berkaitan dengan status Arahat. Mahāsaṅghika mengemukakan “5 poin” kelemahan yang berlaku pada beberapa atau semua Arahat. Theravāda mengambil pendirian yang lebih ketat terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dan suatu pemisahan dihasilkan. Mahāsaṅghika terus terpecah ke dalam beberapa sub-aliran. Ekottara Āgama yang ada, yang memasukkan beberapa penambahan Mahāyanis, sering dikatakan berasal dari salah satu dari subaliran-subaliran ini, tetapi buktinya belum meyakinkan. Namun kita akan mengikuti mayoritas sarjana modern dalam memperlakukan Ekottara sebagai berasal dari salah satu kelompok aliran Mahāsaṅghika. Hasil dari studi kita atas Satipaṭṭhāna Sutta cenderung mendukung teori ini; setidaknya, versi Ekottara dari kotbah ini relatif lebih beragam daripada versi-versi lainnya, yang adalah apa yang kita harapkan dari suatu teks Mahāsaṅghika, walaupun keberagaman tidak secara eksplisit bersifat sektarian.

Nenek moyang Theravāda, juga, mengalami banyak perpecahan yang lebih jauh. Yang paling penting dan paling awal untuk kisah kita adalah perpecahan Sarvāstivāda, yang terjadi beberapa waktu setelah kematian Aśoka pada tahun 232 SM. Di sini masalah pokoknya adalah konsepsi waktu, ajaran khusus Sarvāstivādin bahwa semua dhamma masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, ada. Perpecahan Sarvāstivāda menghasilkan, seperti juga Sarvāstivāda, aliran lain yang kadangkala disebut Vibhajjavāda, “Ajaran Analitis”. Label ini digunakan secara luas dan tidak konsisten, tetapi ini tepat digunakan di sini sebagai suatu istilah untuk aliran nenek moyang Theravāda dan Dharmaguptaka. Aliran-aliran ini sangat mirip dalam ajaran, perbedaan utama tampaknya adalah penekanan yang lebih besar pada kebaktian dalam Dharmaguptaka, seperti yang terbukti oleh aturan Vinaya tertentu mengenai pemujaan stupa, perbandingan struktur Dīgha, dan kenyataan bahwa mereka lebih menekankan jasa memberikan persembahan kepada Sang Buddha daripada Sangha. Ini semua hal-hal yang kecil, dan mungkin karena teks-teks Dharmaguptaka ditetapkan agak belakangan alih-alih suatu perbedaan sektarian, karena Theravādin juga menganut pemujaan stupa sangat kuat, tetapi tidak menyisipkannya ke dalam Vinaya mereka. Satu-satunya perbedaan sektarian yang jelas dari Theravāda adalah nilai relatif persembahan kepada Sang Buddha dan Sangha. Perbedaan antara aliran-aliran ini muncul terutama karena geografi, Dharmaguptaka merupakan cabang dari Vibhajjavāda yang berdiam di India Utara sedangkan Theravāda berpindah ke Sri Lanka. Dharmaguptaka berkembang dengan baik di Asia Tengah dan pada awalnya menikmati keberhasilan di Cina; para bhikkhu dan bhikkhuni Cina saat ini masih mengikuti Vinaya Dharmaguptaka.

Mengingat informasi umum tentang aliran-aliran awal, kita dapat kembali ke pertanyaan kita tentang manakah kumpulan yang paling awal. Tradisi-tradisi secara khusus mengatakan bahwa semua empat kumpulan diciptakan secara bersamaan. Walaupun gagasan bahwa mereka dikumpulkan bersama dalam satu sesi jelas tidak benar, kita masih dapat menerima bahwa periode pengumpulan teks-teks sebagian besar bersamaan waktunya. Bukan tidak mungkin untuk bahkan menganggap bahwa keempat Nikāya/Āgama dimulai pada waktu yang sama, dan kemudian diselesaikan pada waktu yang sama. Ini diperkuat dengan teori bahwa masing-masing kumpulan berfokus sedikit berbeda, dan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dari sektor-sektor yang berbeda dari komunitas Buddhis. Namun demikian, kita masih dapat membedakan dalam hal kecenderungan lebih awal atau belakangan, bahkan di dalam kerangka ini.

Pertanyaan ini dapat, dan seharusnya, didekati dari berbagai sudut – filosofis, doktrinal, kultural, dan sebagainya. Semua ini melibatkan penyelidikan yang kompleks dan berskala besar, dan hasilnya belum ada dari penyelidikan ini melampaui keragu-raguan. Satu masalah dengan semua pendekatan ini adalah bahwa mereka dapat mengatakan kepada kita, paling baik, tentang penanggalan relatif dari beberapa fase, gagasan, atau bacaan, tetapi bukan tentang kumpulan itu secara keseluruhan. Mengingat kehadiran intratekstualitas – bertahannya teks yang lebih awal dalam penyusunan yang belakangan – dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, dan banyak jumlah bahan yang dipersoalkan, hanya sejumlah besar skala analisis statistik dari linguistik, doktrinal, atau ciri khas lainnya dapat memberikan kita jawaban yang tegas. Saya tidak mengetahui studi mana pun yang bahkan mendekati idealisme ini.

Terselubung oleh kumpulan kegelapan ini, saya akan menyatakan bahwa analisis struktural dari Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama memberikan kita, pada keadaan pengetahuan kita saat ini, hal yang paling dekat yang kita miliki menuju cahaya terang. Prinsip-prinsip struktural dari kumpulan-kumpulan itu mengatakan kepada kita bagaimana para penyusun dari kumpulan-kumpulan itu bekerja, alih-alih bagaimana para penyusun dari individual kotbah-kotbah itu bekerja. Dengan kemunculan Dīrgha Sarvāstivāda, kita sekarang memiliki detail struktural yang lengkap dari tiga Āgama dari satu aliran yang paling penting untuk dibandingkan dengan Theravāda. Ini berarti kita dapat secara langsung mengevaluasi tingkatan kesesuaian antara pasangan-pasangan yang berhubungan dari kumpulan-kumpulan, tanpa terlalu memperhatikan bahwa masalah-masalah sektarian dapat mengubah gambarannya.

Kita masih kekurangan sebuah kumpulan Sarvāstivādin yang berhubungan dengan Aṅguttara. Studi-studi perbandingan untuk Aṅguttara terbatas dalam ruang lingkupnya, karena Aṅguttara Theravāda dan Ekottara Mahāsaṅghika sangat berbeda, yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka keduanya menggunakan prinsip pengorganisasian yang sama. (Terdapat sebagian Aṅguttara lain dalam bahasa Mandarin yang lebih mendekati versi Theravāda.) Maka untuk sekarang, jika kita tidak ingin menyelidiki ke dalam pertanyaan rumit apakah isi Aṅguttara lebih awal atau lebih belakangan, semua yang dapat kita lakukan adalah menaruhnya pada satu sisi. Saya pikir bahwa Aṅguttara menempatkan kotbah-kotbah yang lebih pendek yang “disisakan” dari topik-topik ajaran utama dalam Saṁyutta, maka mungkin penghilangannya dari pertimbangan tidak begitu kritis.

Apa yang dibutuhkan di sini adalah suatu perbandingan dari perbandingan-perbandingan. Kita harus bertanya, kumpulan manakah yang kelihatannya memiliki hubungan struktural yang paling dekat, tiga Dīgha, atau dua Majjhima, atau dua Saṁyutta? Saya akan membahas masing-masing dari kumpulan ini dalam rincian yang lebih jauh di bawah ini, sehingga saya hanya menyajikan tinjauan singkat di sini. Kenyatannya, jawaban pada pertanyaan ini sangat jelas secepat ia ditanyakan. Tiga Dīgha berbagi banyak kotbah yang sama, tetapi urutan dan organisasi dari kotbah-kotbah itu sangat berbeda. Ini secara khusus kasusnya ketika Dīgha Sarvāstivāda dibandingkan dengan dua Dīgha Vibhajjavāda. Sama halnya, dua Majjhima berbagi banyak isi tetapi sedikit struktur yang sama. Hampir semua judul bab dan pembagian sepenuhnya berbeda, dengan sedikit pengecualian yang dibahas lebih jauh di bawah ini. (Mengantisipasi argumen, kesesuaian struktural yang kadangkala antara dua Majjhima dan tiga Dīgha mungkin berasal dari Saṁyutta dan oleh sebab itu bukan bukti yang diperlukan dari struktur pra-sektarian dalam Majjhima dan Dīgha). Namun ketika kita mendatangi dua Saṁyutta, gambarannya sangat berbeda. Mereka berbagi semua pembagian besar ke dalam subjek-subjek yang sama, dst., dengan beberapa variasi dalam bab-bab kecil dan beberapa perubahan susunan.[7] Jadi kita dapat mengatakan beberapa kepastian bahwa tidak hanya isi tetapi juga struktur Saṁyutta-Saṁyutta sebagian besar ditetapkan pada periode pra-sektarian, sedangkan struktur dari Majjhima dan Dīgha sebagian besar bersifat sektarian. Demikianlah, dengan bergantung terutama pada gambaran struktural yang sangat jelas ini, kita menyimpulkan bahwa kesesuaian teks-teks menyatakan bahwa Saṁyutta lebih awal daripada Majjhima dan Dīgha.

Beberapa mungkin berkeberatan pada poin ini bahwa alasan kita tidak membuktikan apa pun, karena hanya Saṁyutta sendiri dari empat Nikāya/Āgama yang memiliki keseluruhan struktur yang bermakna, maka segera kita memilih untuk melihat pada struktur yang akan kita ambil darinya. Dengan kata lain, kesimpulan kita hanya mengikuti dari pilihan kita atas metodologi. Keberatan ini sangat benar, tetapi saya merasa argumennya masih memiliki kekuatan. Kita memerlukan beberapa kriteria, dan struktur adalah salah satu cara yang mungkin dalam penyelesaian kita. Sangat mungkin ini tidak akan mengatakan kita apa pun, tetapi kita harus setidaknya menanyakan pertanyaan dan mengikuti jawabannya sepenuhnya. Saṁyutta membuktikan sejumlah besar pola struktural yang tidak ada dalam kumpulan-kumpulan lainnya, dan satu penjelasan rasional untuk ini adalah bahwa Saṁyutta ditetapkan lebih awal. Sebagai tambahan, dalam kasus Majjhima, bahkan ketika terdapat suatu pengelompokan struktural yang sama, isi kelompok itu biasanya berbeda. Masing-masing Majjhima, sebagai contoh, memilik sebuah vagga yang disebut “Bab tentang Raja-Raja”. Dalam Pali, ini memiliki sepuluh kotbah, dalam Mandarin, empat belas. Tetapi hanya dua kotbah yang digunakan bersama dalam dua vagga.[8] Kebanyakan kotbah lainnya ditemukan dalam sumber-sumber Pali dan Mandarin, tetapi tidak dalam bab ini. Dengan demikian kedua tradisi memiliki gagasan mengumpulkan beberapa kotbah menengah bersama-sama dengan tema raja-raja, tetapi pemilihan kotbah-kotbah bersifat independen. Tetapi dalam Saṁyutta, kita menemukan hampir tanpa perbedaan, ketika sekelompok kotbah telah dibentuk di sekitar suatu tema atau prinsip tertentu, terdapat persentase yang sangat besar dari kotbah-kotbah sebenarnya yang saling melengkapi. Ini sesuai dengan tesis bahwa struktur Saṁyutta bersifat pra-sektarian, sedangkan kesamaan struktural yang kadangkala dalam Majjhima mungkin muncul melalui perkembangan yang sejajar.

Jadi apakah testimoni dari tradisi-tradisi? Ini membawa kita pada penemuan penting Yin Shun. Kanon Mandarin dan Tibet mengandung suatu risalah yang penting berjudul Yogacārabhūmiśāstra, yang ditulis oleh Asaṅga sekitar tahun 400 M. Ini adalah karya penting dan otoritatif bagi aliran Yogacāra dari Mahāyāna. Sebuah bagian dari karya ini berjudul Vastusaṅgrāhinī didedikasikan sebagai suatu komentar ekstensif atas Saṁyukta Āgama. Ini menunjukkan bagaimana Mahāyāna klasik sangat bergantung pada kotbah-kotbah awal, sesuatu yang terlalu sering terlewatkan.[9] Yin Shun telah menunjukkan bahwa Saṁyukta Āgama yang dibahas dalam Yogacārabhūmiśāstra sangat dekat dengan Saṁyukta yang sekarang dipertahankan dalam kanon Mandarin, dan telah menggunakan Yogacārabhūmiśāstra untuk merekonstruksi urutan yang lebih awal dari Saṁyukta Āgama, yang telah menjadi tidak teratur sepanjang waktu. Rekonstruksinya dianggap sangat otoritatif sehingga diadopsi dalam edisi Foguang dari Āgama yang diterbitkan pada tahun 1983. Yogacārabhūmiśāstra menyatakan bahwa Saṁyukta Āgama adalah landasan bagi empat Āgama. Yin Shun mempercayai bahwa pernyataan ini dapat diambil secara harfiah sebagai penegasan prioritas historis dari Saṁyutta di antara Āgama-Āgama. Kelihatannya tidak ada pernyataan langsung apa pun tentang hal ini dalam tradisi Theravāda; namun, terdapat, kita akan lihat, sedikit petunjuk. Tetapi tradisi Sarvāstivādin secara teratur membuat daftar Saṁyutta sebagai yang pertama dari Āgama-Āgama. Demikianlah tentang kumpulan pertama dari kotbah-kotbah yang kita miliki memenuhi dua kriteria kita, kesesuaian teks-teks dan testimoni dari setidaknya satu tradisi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #9 on: 17 March 2013, 09:43:21 AM »
2.5 Abhidhamma Pertama

Kemudian apakah Abhidhamma pertama? Di sini kita bergantung terutama pada karya Frauwallner. Ia telah menunjukkan bahwa tiga teks Abhidhamma awal berbagi banyak isi yang sama dan pasti berasal dari sebuah nenek moyang bersama, yang kita sebut “*Vibhaṅga Mūla”.[10] Ini adalah Vibhaṅga dari Theravāda,[11] Dharmaskandha dari Sarvāstivāda, dan Śāriputrābhidharma dari Dharmaguptaka. Detail-detail dari karya-karya ini terlalu kompleks untuk dimasukkan di sini; untuk sekarang kita dapat mengambil kesesuaian ini seperti yang telah dibangun.

Tradisi Pali dan Sanskrit mengandung bukti bahwa teks-teks ini dianggap pokok Abhidhamma. Catatan akhir pada terjemahan Mandarin Dharmaskandha mengatakan bahwa ini adalah teks dasar dari Abhidhamma dan sumber utama bagi aliran Sarvāstivādin. Vinaya dari aliran Dharmaguptaka meringkaskan sistem Abhidhamma mereka, yang persisnya adalah daftar isi dari Śāriputrābhidharma. Dan Aṭṭhasālinī, komentar utama atas Abhidhamma Pali, dalam bab pertamanya memasukkan dua bacaan terkenal di mana topik utama dari Abhidhamma didaftarkan; dalam bacaan pertama, ini sama dengan isi dari Vibhaṅga, dan dalam bacaan kedua sangat mirip.[12] Jadi di sini juga dua kriteria dari GIST dengan jelas terpenuhi.

Untuk meninjau kembali penemuan-penemuan kita: kita telah menunjukkan bahwa menurut kesesuaian teks-teks dan testimoni dari tradisi-tradisi, berikut ini merupakan lapisan yang paling awal dari teks-teks Buddhis.

Kotbah-Kotbah Paling Awal: Dhammacakkappavattana, Anattalakkhaṇa, dan Ādittapariyāya Sutta, serta Permohonan Brahmā.

Kumpulan Paling Awal: Bagian-bagian yang bersesuaian dari Saṁyutta Nikāya/Saṁyukta Āgama.

Abhidhamma Paling Awal: Bagian-bagian yang bersesuaian dari Vibhaṅga/Dharmaskandha/ Śāriputrābhidharma.

2.6 Beberapa Masalah

Terdapat suatu keberatan yang mungkin yang ingin saya sampaikan di sini. Beberapa orang mungkin berargumen bahwa dua kriteria independen kita tidak sepenuhnya independen. Tradisi-tradisi mungkin telah memutuskan ajaran-ajaran mana yang paling awal dan kemudian menciptakan mitos-mitos yang menyatakan hal ini, memperkuat klaim mereka dengan melipatgandakan kemunculan ajaran-ajaran ini dalam berbagai kumpulan. Kita dapat melihat hal ini sedang terjadi bahkan hari ini. Dhammacakkappavattana Sutta telah direproduksi dalam banyak buku Dhamma, tepatnya karena ia dianggap oleh tradisi-tradisi sebagai ajaran yang paling awal.

Kita harus menerima bahwa kritik ini memiliki beberapa kekuatan, khususnya dalam kasus kotbah-kotbah yang paling awal. Tetapi untuk kumpulan yang paling awal dan Abhidhamma yang paling awal keberatan ini lemah, karena tradisi-tradisi, meskipun mempertahankan suatu ingatan samar-samar dari prioritas teks-teks ini, pada umumnya tidak menyadari hal ini, dan tidak menunjukkannya. Melainkan sebaliknya: baris kelompok adalah bahwa semua teks-teks berasal dari Sang Buddha sendiri, sehingga mereka ingin sekali untuk menekankan atau sekaligus menyangkal pertanyaan apa pun tentang prioritas historis. Bahkan dalam kasus kotbah-kotbah paling awal, walaupun keberatan itu mengandung beberapa bobot, ini tidak menjelaskan kesepahaman secara besar-besaran di antara aliran-aliran. Mempertimbangkan popularitas Dhammacakkappavattana Sutta, dan kesepahaman universal bahwa ini adalah kotbah pertama, penjelasan yang paling masuk akal adalah hanya bahwa tradisi-tradisi adalah benar. Bagaimana lagi ia mendapatkan persetujuan universal dari semua Buddhis pada periode pre-sektarian? Siapa, jika bukan Sang Buddha, yang dapat mengilhaminya dengan otoritas yang demikian?

Masalah lain adalah kemungkinan peminjaman yang belakang. Tidak diragukan bahwa peminjaman memang terjadi antara tradisi-tradisi pada semua periode. Sebagai contoh, sub-komentar Brahmajala Sutta memberikan suatu pemaparan tentang praktek Bodhisattva yang sebagian diadaptasi dari Yogacārabhūmiśāstra oleh Asaṅga. Peminjaman yang belakangan pasti diingat sebagai suatu alternatif terhadap tesis tentang suatu warisan bersama. Pada umumnya, tanggapan kita pada kritik ini hanya untuk mengejar tesis warisan bersama, mengikuti sepanjang implikasi-implikasinya, dan melihat apakah itu membawa pada hasil yang bermanfaat. Bekerja dengan bahan dalam detail dan kedalaman, ini menjadi semakin jelas bahwa peminjaman yang belakangan tidak mungkin mempengaruhi lebih dari sedikit detail. Keseluruhan buku ini dapat dibaca sebagai suatu demonstrasi atas keberhasilan dan kelayakan dari pendekatan ini. Ini bukan, ia harus diingat, suatu metode yang sembarangan atau tidak biasanya. Para sarjana yang bekerja pada bidang-bidang lain, apakah studi Alkitab atau biologi, secara teratur menggunakan hipotesis-hipotesis yang sama.

Namun, akan bermanfaat untuk menunjukkan suatu kasus di mana tesis peminjaman adalah sangat tidak masuk akal. Marilah kita mempertimbangkan Bhāra Sutta yang terkenal dari Khandha-saṁyutta.[13] Kotbah ini ditemukan dalam versi-versi yang dimiliki oleh aliran Theravāda, Sarvāstivāda, dan (mungkin) Mahāsaṅghika. Sutta ini menyatakan bahwa lima kelompok unsur kehidupan adalah beban, dan “pribadi” (puggala) adalah “pembawa beban”. Dalam penjelasan ajaran tentang bukan-diri, ini adalah pernyataan yang tidak biasanya. Sementara kebanyakan aliran menganggap baris bahwa “pribadi” di sini hanyalah suatu cara konvensional berbicara, salah satu kelompok aliran yang penting, Puggalavāda, menyatakan bahwa ini menunjuk pada suatu entitas nyata yang ada di luar lima kelompok unsur kehidupan. Risalah Abhidhamma mereka, yang ada dalam terjemahan Mandarin, menunjuk pada kotbah yang sama ini.[14] Sekarang, perpecahan Puggalavāda adalah sangat awal, segera setelah perpecahan pertama (Mahāsaṅghika). Jadi kita memiliki penyebaran yang sangat baik dari kotbah ini di seluruh aliran yang paling awal.

Salah satu kekuatan yang penting yang membawa pada perpecahan adalah pembahasan dan ketidaksepahaman terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan. Pembahasan ini didahului perpecahan aktual dalam waktu yang cukup. Seraya pemisahan mengeras, aliran-aliran mulai merumuskan posisi mereka dalam menerima teks-teks, mengembangkan argumen yang rumit untuk mempertahankan penafsiran mereka. Ini menjadi bahan pelatihan yang penting untuk perdebatan ajaran yang bersemangat yang sedang berlangsung. Terdapat dua catatan utama dari pembahasan ini dari periode awal: Kathāvatthu oleh Moggaliputtatissa dalam kanon Pali dari aliran Theravādin, dan Vijñānakāya oleh Devasarman, sebuah teks kanon dari Abhidharma Sarvāstivāda yang dipertahankan dalam bahasa Mandarin. Kathāvatthu secara tradisional dianggap berasal dari periode Aśoka; walaupun banyak dari karya ini bersifat belakangan, tidak ada alasan meragukan bahwa asal mulanya, dengan beberapa argumen inti, berasal dari periode itu. Norman kenyataannya telah menunjukkan bahwa Kathāvatthu, khususnya pembahasan tentang “pribadi”, memasukkan suatu bentuk tata bahasa Magadha yang tidak biasanya, yang bernada suatu hubungan [dengan masa] Aśoka.[15] Maklumat-maklumat menunjukkan perhatian besar Aśoka untuk mencegah perpecahan dalam Sangha, yang menyatakan kecenderungan perpecahan terbukti pada masa Aśoka. Perpecahan Puggalavāda berada di antara yang paling awal.

Bagian pertama dan yang paling panjang dari kedua karya ini adalah serangan yang panjang lebar terhadap tesis “pribadi”. Ini adalah suatu masalah inti, mungkin motivasi awal untuk menulis karya-karya ini. Perpecahan ini menyakitkan. Ini masih segar dalam pikiran mereka, yang dirasakan sebagai serangan langsung terhadap ajaran bukan-diri yang dihargai.
Kita mungkin kemudian bertanya: bagaimana situasi ini dapat dijelaskan dengan baik? Marilah kita menganggap bahwa Puggalavāda menulis Bhāra Sutta untuk membenarkan ajaran khusus mereka. Ini pasti terjadi pada periode perpecahan awal, walaupun mereka baru saja berdebat dengan saudara-saudari mereka dari aliran lain. Aliran-aliran lain sangat terbujuk oleh keotentikan kotbah ini, tampaknya, sehingga mereka meminjamnya untuk dimasukkan dalam kumpulan ajaran utama mereka, bahkan ketika mereka pada waktu yang sama mati-matian berdebat menentang tesis “pribadi” sebagai ajaran menyimpang yang paling buruk. Puggalavādin begitu berhasil dengan kotbah tiruan mereka sehingga ia diterima tanpa bisikan protes oleh aliran-aliran sepanjang waktu.

Atau marilah kita menganggap bahwa aliran lain yang menciptakan kotbah ini, katakanlah Theravādin. Mereka telah berdebat dengan para pesaingnya, yang mereka anggap sebagai murtad, tentang ajaran “pribadi”. Entah bagaimana, mereka menghasilkan suatu kotbah yang tampaknya membenarkan argumen lawan mereka dan menaruhnya dalam kanon mereka, karena terlalu bodoh untuk melihat implikasinya. Kotbah ini dengan cepat “menaburkan benih” di seluruh aliran yang berbeda-beda di seluruh India yang luas; seseorang hanya dapat menganggap bahwa mereka sangat antusias atas ciptaan baru mereka dan ingin menyebarluaskannya. Ketika ini diketahui oleh pesaing Theravādin yang utama Puggalavādin, mereka melompat kegirangan untuk membenarkan tesis utama mereka, walaupun tidak tercatat bahwa mereka berterima kasih pada penulisnya atas hadiah itu.

Jika pilihan-pilihan ini tidak menarik, kita selalu dapat kembali pada gagasan yang membosankan dan sudah basi atas warisan bersama. Terdapat suatu kotbah yang disebut Bhāra Sutta. Ini diucapkan oleh Sang Buddha; atau setidaknya ini diterima sebagai demikian oleh generasi-generasi pertama Buddhis pada periode pra-sektarian. Karena ini berhubungan dengan ajaran penting tentang lima kelompok unsur kehidupan, ini dikumpulkan, bersama-sama dengan banyak kotbah yang berkaitan, dalam suatu kumpulan yang kemudian disebut “Khandha-saṁyutta”. Demikian kanonisitasnya dipastikan. Seraya pembahasan-pembahasan terhadap makna kotbah-kotbah berlangsung, beberapa mulai untuk melihat suatu makna khusus dalam penyebutan “pribadi” di sini, untuk memperhatikan tempat-tempat lain di mana kata “pribadi” tampaknya juga bersifat sugestif, dan untuk mengembangkan tesis “personalis”. Walaupun beberapa berusaha membujuk agar mereka tidak melakukannya, mereka bertahan dengan pandangan mereka, dan akhirnya perpecahan dihasilkan. Masing-masing aliran mewarisi suatu versi dari kotbah yang problematik, yang telah sangat dalam ditanamkan dalam kanon yang diterima sehingga statusnya tidak disangsikan, dan mengembangkan penafsiran mereka sendiri sesuai dengan pandangan mereka. Penafsiran ini dimasukkan dalam karya-karya Abhidhamma dari aliran-aliran.

Saya percaya bahwa pembaca, seperti saya sendiri, menemukan pilihan akhir yang paling masuk akal. Tentu saja, tidak setiap kotbah dapat dibangun begitu mudah. Tetapi bahkan jika satu kotbah dapat ditunjukkan sebagai pra-sektarian, ini membuatnya semua semakin mungkin bahwa kotbah-kotbah lain yang sama, dan kumpulan-kumpulan di mana kotbah-kotbah ini ditemukan, juga memasukkan bahan pra-sektarian.

Catatan Kaki:

[1] MN 26.21/MA 204/T № 765.4/Pali Vinaya 1.7. Mengambil tesaṁ sebagai memenuhi “milik mereka” yang diinyatakan dari baris kedua (cp. DN 18.27/DA 4/T No. 9) dan pamuñcantu sebagai suatu varian puitis dari adhimuñcantu (cp. 1146, 1149, AN 1.14/EA 4.1–10). Tetapi, satu versi Sanskrit memiliki pramodanur, dan diterjemahkan sebagai “Semoga mereka yang ingin mendengar bergembira dalam keyakinan”. Yang lain memiliki praṇudantu kakṣāḥ, “menghalau pendapat-pendapat”.

[2] Lihat Smith. Terdapat versi “ke-18” dalam Paṭisambhidāmagga 2.6.1. Walaupun ini sekarang berada dalam Khuddaka Nikāya, ini merupakan teks kuasi-Abhidhamma, sehingga kita dapat mengatakan bahwa Dhammacakkappavattana Sutta muncul di semua tiga Piṭaka.

[3] Rāhula, pg. 8.

[4] Kloppenborg.

[5] Lihat misalnya Nakamura, bab 2.3 & 2.4.

[6] Schopen 1997, pg. 24.

[7] Detail-detail dalam Choong, pp. 19–22.

[8] MN 81/MA 63 Ghaṭikāra dan MN 83/MA 67 Makhādeva.

[9] Aliran besar lainnya dari Mahāyāna awal, Mādhyamaka, mengambil basis tekstualnya Mūlamādhyamakakārikā oleh Nāgārjuna, yang berdasarkan pada Kaccāyana Sutta dari Saṁyutta. Dengan demikian dua aliran utama Mahāyāna menggunakan bersama Saṁyutta sebagai suatu kitab yang penting.

[10] Dalam buku ini teks-teks dan istilah-istilah yang didalilkan ditandai dengan sebuah tanda bintang.

[11] Diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai The Book of Analysis oleh Ashin Thiṭṭila, Pali Text Society, 1969.

[12] Tin, pg. 4, 38.

[13] SN 22.22/SA 73/EA 25.4.

[14] Sāmmitīyanikāyaśāstra (San-mi-ti pu lun), T № 1649, p. 463b11, 465b10, 463b 9–12. Lihat Thiện Châu, pp. 23–24.

[15] Norman, 1979, pp. 279–287.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #10 on: 17 March 2013, 09:58:15 AM »
Bab 3
GIST 2 – Kesepahaman Atas Tiga Lapisan

Dan demikian juga pada pertanyaan utama kita yang kedua: apakah hubungan dari lapisan ini satu sama lain? Ciri khas yang terkemuka adalah bahwa semua teks yang diidentifikasi sebagai kotbah-kotbah paling awal ditemukan dalam Saṁyutta, kumpulan yang paling awal. Ini adalah suatu alasan yang memaksa untuk menganggap kotbah-kotbah ini adalah teks-teks akar dari semua Buddhism, bukan dalam pengertian yang samar-samar atau retoris, tetapi sebagai benih historis sebenarnya di sekitar di mana Saṁyutta dan kemudian kumpulan-kumpulan lain terkristalisasi.

3.1 Benih-Benih Saṁyutta

Mungkin kasusnya bahwa Dhammacakkappavattana Sutta mulanya adalah kotbah pertama dalam Saṁyutta. Pada saat ini ia bernomor sebelas dalam Sacca-Saṁyutta Theravāda; tetapi dalam Mandarin ia adalah yang pertama dalam bab ini. (Posisi dalam Pali dapat dijelaskan dengan penyisipan yang belakangan sebuah vagga dari sepuluh kotbah di depan.) Jadi jika Saṁyutta adalah kumpulan pertama dan Dhammacakkappavattana Sutta adalah kotbah pertama dalam babnya, bukanlah suatu lompatan yang besar untuk menyatakan bahwa Saccasaṁyutta mungkin mulanya menjadi topik pertama dalam Saṁyutta Nikāya. Ini akan, tentu saja, masuk akal, karena empat kebenaran mulia adalah ajaran yang paling umum, yang mencakup semuanya, di mana kategori ajaran lainnya adalah penjelasan yang lebih terspesialisasi.

Terdapat suatu gema dari struktur awal yang dipertahankan dalam judul yang diberikan kotbah ini dalam Pali. Dalam kebanyakan naskah kuno nama “Dhammacakkappavattana Sutta” tidak muncul; ia disebut tathāgatena vutta (“Diucapkan oleh Sang Tathāgata”). Ini agak aneh, karena kebanyakan kotbah, tentu saja, dihubungkan dengan Sang Buddha. Namun istilah “Diucakan oleh Sang Buddha” dan “Diucapkan oleh Para Siswa” muncul dalam turunan Mandarin, tetapi bukan sebagai judul kotbah, tetapi sebagai judul bagian. Mungkin label “tathāgatena vutta” ditunjukkan mulanya, bukan pada Dhammacakkappavattana Sutta secara khusus, tetapi pada suatu bagian di dalam suatu kumpulan kotbah yang terdiri dari murni ajaran-ajaran yang diberikan secara langsung oleh Sang Buddha sendiri.[1]

Jadi Dhammacakkappavattana Sutta bukanlah kotbah kesebelas dalam lima puluh enam buku dari kumpulan ketiga, tetapi kotbah pertama dalam buku pertama dari kumpulan pertama. Struktur internal dari kumpulan-kumpulan yang masih ada tidak menyatakan bahwa Anattalakkhaṇa Sutta dan Ādittapariyāya Sutta pernah menikmati keutamaan yang sama dalam kumpulan mereka masing-masing.[2]

Keutamaan Dhammacakkappavattana Sutta sebagai batu pertama dari kumpulan kanonik didukung dalam beberapa kisah Konsili Pertama, yang dipertahankan dalam Vinaya-Vinaya dari aliran-aliran. Seperti yang diharapkan seseorang, masing-masing aliran mempertahankan suatu versi tentang kejadian-kejadian pada Konsili ini yang berfungsi untuk mengesahkan kanon mereka sendiri. Sebagai contoh, Theravāda menyatakan bahwa Brahmajāla Sutta dibacakan pertama kali; dan dalam Tipitaka Pali yang ada kita memang menemukan Brahmajāla Sutta adalah kotbah pertama dalam kumpulan pertama, Dīgha Nikāya. Kenyataan ini cenderung untuk mengabaikan nilai kisah sektarian dari Konsili-Konsili seperti yang tercatat dalam sejarah. Tetapi, meskipun tidak semua kisah dapat diterima, tidak ada alasan mengapa setidaknya salah satunya tidak benar secara substansial. Bukan tidak mungkin bahwa beberapa ingatan dari prosedur-prosedur bisnis utama akan dipertahankan di suatu tempat dalam tradisi-tradisi. Hanya jika aliran kemudian mengorganisasi kembali kitab mereka, mereka merasa perlu untuk merevisi kisah mereka. Demikianlah bahkan jika keberadaan suatu kisah yang menguatkan tidak dirasakan sangat membuktikan suatu teori tentang apa yang terjadi dalam Konsili Pertama, ketiadaan suatu kisah yang menguatkan cenderung untuk menyalahkan suatu teori demikian.

Oleh karena itu kita harus mempertimbangkan apakah aliran mana pun memasukkan suatu kisah Konsili Pertama yang sejalan dengan GIST. Kita tidak harus melihat jauh, karena aliran Buddhis yang paling berpengaruh, Sarvāstivādin, mengatakan Dhammacakkappavattana Sutta adalah kotbah pertama yang dibacakan dalam Konsili itu. Vinaya Mūlasarvāstivāda membuat pernyataan yang sama.[3] Dalam kisah ini, penyelenggaraan Konsili Pertama ditandai dengan nasehat Sang Buddha, sesaat sebelum Beliau wafat, agar Sangha mempertahankan Dhamma dengan membacakan dua belas aṅga. Kemudian, setelah Sang Buddha wafat, setelah mengadakan pertemuan, Yang Mulia Mahā Kassapa meminta agar Yang Mulia Ānanda membacakan Sutta-Sutta.[4] Ia pertama kali mengucapkan Dhammacakkappavattana Sutta. Seperti yang akan kita lihat di bawah ini dalam kutipan dari Catuṣpariṣat Sūtra, tradisi Sarvastivada tidak memasukkan penjelasan rinci dari setiap kebenaran (seperti yang ditemukan dalam Pali) dalam kotbah pertama. Penjelasan rinci (kelahiran adalah penderitaan...) di sini dikatakan sebagai kotbah kedua. Kotbah tentang bukan-diri, “juga diucapkan di Benares untuk kepentingan lima bhikkhu.”, oleh sebab itu dikatakan sebagai kotbah ketiga. Ketika kotbah-kotbah ini diberikan, semuanya tanpa cacat atau kritik, semua Arahat menerimanya sebagai ajaran sejati Sang Buddha.

Demikianlah Ānanda sekarang menjelaskan setiap ajaran. Masing-masing Arahat dengan suara bulat ikut serta dalam Konsili itu. Dan demikianlah saṁyutta-lima-kelompok-unsur-kehidupan disusun dan ditempatkan dalam Khandha Vagga. Juga saṁyutta-enam-alat-indera-dan-delapanbelas-unsur disusun dan ditempatkan dalam Āyatana-dhātu Vagga. Juga saṁyutta-kemunculan-bergantungan-dan-kebenaran-mulia disusun dan ditempatkan dengan nama Paṭiccasamuppāda.[5] Semua ajaran yang diucapkan oleh para siswa ditempatkan dalam Śrāvaka Vagga. Semua ajaran yang diucapkan Sang Buddha ditempatkan dalam Buddha Vagga. Semua yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna, usaha-usaha benar, landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, [faktor-faktor] pencerahan, dan sang jalan disusun dan ditempatkan dalam Magga Vagga. Juga sūtra-sūtra dalam “saṁyutta-dengan-syair”. Ini sekarang disebut Saṁyukta Āgama. Semua kotbah yang adalah ajaran-ajaran panjang dinamakan Dīrgha Āgama. Semua kotbah yang adalah ajaran-ajaran menengah dinamakan Madhyama Āgama. Semua kotbah dengan satu topik, dua topik, sampai dengan sepuluh topik, ini sekarang dinamakan Ekottara Āgama.[6]

Jadi kisah Vinaya Mūlasarvāstivāda menyatakan suatu hubungan dekat antara apa yang telah kita identifikasi sebagai kotbah-kotbah paling awal dan kumpulan paling awal. Ia kemudian berlanjut mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kassapa menyajikan mātikā, daftar isi dari Abhidhamma. Ini tidak disebutkan dalam kisah Theravāda, dan jelas suatu penambahan belakangan. Tetapi ini menarik dalam hal ia menunjukkan apa yang agaknya dianggap sebagai topik-topik dasar dari Abhidharma Mūlasarvāstivāda. Abhidharma ini tidak bertahan, dan topik-topik yang diberikan tidak persis cocok dengan karya Abhidharma mana pun yang ada, tidak bahkan Sarvāstivāda. Namun demikian, terdapat baris-baris kuat dari kelanjutan dengan apa yang akan kita identifikasi sebagai risalah Abhidhamma akar yang umum pada aliran-aliran.

Mātikā adalah yang membuat sangat jelas dan eksplisit poin-poin yang membedakan yang harus diketahui. Demikianlah ia terdiri dari empat satipaṭṭhāna, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor-pencerahan, jalan mulia berunsur delapan, empat jenis keberanian (vesārajja), empat pembedaan (paṭisambhidhā), empat buah pertapaan (sāmaññaphala),[7] empat perkataan Dhamma (dhammapāda),[8] tanpa-perselisihan (araṇadhamma?), samādhi jauh (pantasamādhi?), samādhi kekosongan, tanpa-tanda, dan tidak diarahkan, pengembangan samādhi, penembusan benar (abhisamaya), pengetahuan konvensional (sammutiñāṇa?), samatha dan vipassanā, Dhammasaṅgaṇī, Dharmaskandha – inilah apa yang terkandung dalam mātikā...[9]

Di sini muncul, lagi-lagi, 37 sayap menuju pencerahan. Topik kebijaksanaan standar – kelompok unsur kehidupan, dst. – tidak muncul. Kebanyakan item adalah topik dhamma, tetapi dua yang terakhir adalah judul kitab dalam masing-masing Abhidhamma Piṭaka Theravāda dan Sarvāstivāda. Ini mungkin kitab-kitab Abhidhamma yang luas, mungkin menggunakan bersama suatu dasar yang umum dengan nama sama yang ada, dan berhubungan dengan topik-topik kebijaksanaan menurut sistem Mūlasarvāstivāda.

Ini adalah detail yang membingungkan, yang menyoroti kemangkatan Sang Buddha, bahwa Sang Buddha dikatakan menganjurkan Sangha untuk membacakan aṅga-aṅga; tetapi tradisi-tradisi yang mencatat tentang Konsili Pertama tidak mengatakan apa pun tentang aṅga-aṅga. Apakah mata rantai yang hilang di sini? Apakah terdapat beberapa hubungan tersembunyi antara aṅga-aṅga dan kitab-kitab yang ada?

3.2 Dua Saṁyutta

Kita tahu bahwa Saṁyutta-Saṁyutta yang ada secara substansial tidak teratur, jika hanya karena mereka berbeda antara Pali dan Mandarin. Karena jelas bahwa mereka berhubungan dekat, kita terpaksa menanyakan mengapa mereka berbeda. Mungkin yang satu benar dan yang lain salah, atau lebih mungkin, masing-masing telah berbeda dalam caranya sendiri. Kesamaan struktural antara keduanya menyatakan suatu warisan umum.

Sebelum melihat lebih dekat pada isi Saṁyutta, kita harus dengan singkat menoreh pada sedikit kerancuan istilah yang membingungkan. Kata “saṁyutta”, yang berarti “berhubungan”, dalam konteks ini terutama menunjuk pada suatu kumpulan kotbah tentang suatu tema Dhamma tertentu. Demikianlah kita memiliki “Khandha-saṁyutta”, kumpulan kotbah tentang lima kelompok unsur kehidupan; “Saḷāyatana-saṁyutta”, kumpulan kotbah tentang enam indera, dan seterusnya. Kadangkala “hubungan” itu bukan suatu tema Dhamma, tetapi beberapa kriteria lain, seperti gaya kesusasteraan (Sagāthāvagga, Opammasaṁyutta), atau sosok pribadi (Anuruddha-saṁyutta, dst.). Saṁyutta-saṁyutta ini dikumpulkan bersama dalam suatu kumpulan besar yang disebut “Saṁyutta Nikāya” atau “Saṁyukta Āgama”, yang adalah “Kumpulan saṁyutta”. Demikianlah kata “saṁyutta” dapat digunakan untuk menunjuk pada keseluruhan tubuh besar ini (dalam kasus mana kita secara konvensional menggunakan huruf kapital “Saṁyutta”) atau pada topik-topik individual (yang kita tulis dalam huruf kecil sebagai “saṁyutta”). Terdapat suatu kerancuan yang sama dalam kata “vagga”. Ini digunakan dalam pengertian “buku” sebagai suatu istilah untuk masing-masing dari lima pembagian besar di mana Saṁyutta secara keseluruhan dibagi. Masing-masing dari “Vagga” ini (menggunakan huruf kapital) memasukkan sejumlah saṁyutta, dan biasanya dinamakan sesuai saṁyutta terbesarnya, yang biasanya adalah juga saṁyutta pertamanya. Tetapi pengertian penting “vagga” adalah skala kecil (dan oleh sebab itu dalam huruf kecil) yang digunakan dalam saṁyutta, di mana ia menunjuk pada sekelompok dari biasanya sepuluh kotbah. Keseluruhan struktur “vertikal” dari Saṁyutta-Saṁyutta oleh karenanya berlapis seperti ini.

Saṁyutta Nikāya/Āgama (“Kelompok/tradisi dari saṁyutta-saṁyutta”)

Khanda Vagga (“Buku [yang bagian pertama dan utamanya adalah] tentang kelompok unsur kehidupan”), Saḷāyatana Vagga, dst.

Khanda-saṁyutta (“Kumpulan [dari kotbah-kotbah] tentang kelompok unsur kehidupan”), Rādha-saṁyutta, dst.

Nakulapitu-vagga (“Bab [yang dimulai dengan sebuah kotbah kepada] Nakulapita”), dst.

Nakulapitu-sutta (“Kotbah kepada Nakulapita”), dst.

Di sini adalah perbandingan antara Saṁyutta Mandarin yang direkonstruksi dan Pali yang ada.

Tabel 3.1: Saṁyutta Sarvāstivāda dan Theravāda

Saṁyukta Āgama SarvāstivādaSaṁyutta Nikāya Theravāda
1. Sagāthāvagga
2. Nidāna Vagga
1. Khandha Vagga3. Khandha Vagga
2. Saḷāyatana Vagga4. Saḷāyatana Vagga
3. Nidāna Vagga
4. Sāvakabhāsita Vagga
5. Magga Vagga5. Mahā Vagga (= Magga Vagga)
6. Buddhabhāsita Vagga
7. Sagāthāvagga

Perbedaannya tidak sebesar seperti yang terlihat. Kebanyakan bahan yang ditemukan dalam Sāvakabhāsita (“diucapkan oleh para siswa”) dan Buddhabhāsita (“diucapkan oleh Sang Buddha”) Vagga terdistribusi dalam bab-bab kecil yang ditambahkan dalam Vagga-Vagga kedua sampai dengan kelima dalam Theravāda. Khanda, Saḷāyatana, dan Magga Vagga berada dalam urutan yang sama dalam kedua kumpulan. Hanya Nidāna dan Sagāthāvagga telah dipindahkan. Terdapat bukti internal perubahan susunan dari kitab-kitab ini dalam kanon Theravāda. Sagāthāvagga terdiri dari kotbah-kotbah dengan syair-syair, dan dengan demikian dengan jelas dibedakan kumpulan prosa sisanya. Tetapi ada satu saṁyutta lain dengan syair-syair; ini adalah Bhikkhu-saṁyutta, di mana dalam Theravāda berada pada akhir Nidāna Vagga. Ini menyatakan bahwa ia mulanya termasuk dalam Sagāthāvagga, dan Bhikkhu-saṁyutta memang ditemukan dalam Sagāthāvagga Mandarin.[10]

Bucknell telah lebih jauh menunjukkan bahwa komentar Pali memberikan petunjuk tentang suatu masa ketika Nidāna Vagga, bukan Sagāthāvagga, adalah kitab pertama dari Saṁyutta Nikāya.[11] Terdapat suatu bacaan yang ditemukan dalam komentar-komentar pada semua empat Nikāya yang menggambarkan berbagai alasan mengapa Sang Buddha mengajar – sebagai tanggapan pada suatu pertanyaan, dari inspirasi-Nya sendiri, dst. Dalam komentar Dīgha, Majjhima, dan Aṅguttara ini muncul dalam komentar pada kotbah pertama dari kumpulan itu; tetapi dalam Saṁyutta ini muncul dalam komentar pada kotbah pertama dalam Nidāna-saṁyutta. Karena Bhikkhu-saṁyutta berada pada akhir Nidāna Vagga Theravāda tetapi pada awal Sagāthāvagga Sarvāstivāda, pengaturan ulang mungkin berasal dari kesalahan [peletakan] rak: terdapat beberapa halaman yang dibiarkan kosong pada akhir Nidāna Vagga, sehingga penulis memulai Sagāthāvagga dengan menulis Bhikkhu-saṁyutta pada naskah kuno yang sama, tetapi kemudian seorang bhikkhu yang tidak sadar mengambil keluar Nidāna Vagga sebagai kitab pertama dan menggantikannya sebagai kitab kedua (atau mengambil keluar Sagāthāvagga sebagai yang kedua dan menggantikannya sebagai yang pertama.) Demikianlah Bhikkhu-saṁyutta menjadi terpisah dari pasangan aslinya, Bhikkhunī-saṁyutta. Ini harus diterima bahwa dalam hal ini versi Mandarin memelihara tradisi yang lebih masuk akal dan mungkin lebih otentik daripada Pali. Jenis-jenis pengaturan ulang ini menyumbang pada perbedaan dari suatu Saṁyutta nenek moyang bersama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #11 on: 17 March 2013, 10:15:14 AM »
Keseluruhan struktur dari Saṁyutta Nikāya/Āgama berhubungan secara kasar dengan empat kebenaran mulia. Bhikkhu Bodhi mencatat bahwa hubungan ini lebih tampak dalam Mandarin daripada Pali.[12] Lima kelompok unsur kehidupan dan enam alat indera berhubungan dengan kebenaran mulia pertama; kemunculan yang saling bergantungan (Nidāna-saṁyutta) pada kebenaran mulia kedua dan ketiga; dan sang jalan adalah kebenaran mulia keempat. Kita dapat menunjuk pada topik-topik pokok ini dalam pengertian umum sebagai “saṁyuttamātikā”. Kita menyebutkan di atas bahwa tulang punggung dari Magga Vagga ini adalah 37 sayap menuju pencerahan; dalam Mandarin ini dipertahankan dalam suatu urutan yang lebih dekat mengikuti urutan Sutta standar.[13] Oleh karenanya kita memiliki sejumlah indikasi bahwa versi Mandarin lebih dapat dipercaya secara struktural daripada Pali: posisi Bhikkhu-saṁyutta; keseluruhan hubungan dengan empat kebenaran mulia; dan urutan sayap-sayap menuju pencerahan.

Kita telah menjadi begitu terbiasa menganggap 37 sayap menuju pencerahan sebagai suatu kumpulan ajaran standar yang kita pikir secara otomatis bahwa Magga Vagga dikumpulkan dengan mengambil daftar itu dan mengumpulkan kotbah-kotbah yang sesuai di bawah masing-masing topik. Tetapi mungkin situasinya adalah sebaliknya: daftar 37 sayap menuju pencerahan telah diringkaskan dari topik-topik Magga Vagga. Kotbah-kotbah yang muncul pertama kali; mereka dikumpulkan berdasarkan topik; kumpulan-kumpulan itu diberikan judul-judul; judul-judul digunakan sebagai suatu cara cepat menunjuk pada kumpulan itu; dan kemudian judul-judul menjadi berkembang sebagai suatu daftar yang independen, yang diulangi dan diuraikan dalam tak terhitung karya yang belakangan, dengan asal mulanya dalam Saṁyutta sebagian besar terlupakan.

Ini membantu menjelaskan beberapa ciri khas yang membingungkan dari daftar itu. Sebagai contoh, lima kemampuan spiritual dan lima kekuatan spiritual terdiri dari persis dhamma-dhamma yang sama, dan tidak ada alasan yang jelas mengapa kumpulan ini diulangi. Mereka secara tradisional dijelaskan sebagai kualitas-kualitas yang sama pada tingkatan yang berbeda; tetapi ini bukanlah bagaimana Saṁyutta melihatnya.[14] Situasi ini bahkan lebih aneh dalam Saṁyutta Theravāda, karena Bala-saṁyutta hampir bersifat berlebihan, hanya menjadi serangkaian perulangan tentang kekuatan-kekuatan spiritual. Tetapi Bala-saṁyukta Sarvāstivāda memiliki kumpulan teks yang substansial, dengan mengumpulkan bersama banyak kotbah-kotbah tentang kumpulan-kumpulan yang berbeda dari “kekuatan” yang dalam Theravāda berserakan di dalam kanon, termasuk lima kekuatan spiritual. Ini pastinya lebih mungkin untuk mewakili kumpulan awal mula. Indriya-saṁyutta, sebaliknya, memiliki kotbah-kotbah yang berhubungan dengan berbagai kumpulan kemampuan sebagai tambahan pada lima kemampuan spiritual – kemampuan indera, kemampuan perasaan, dst. Dalam Vibhaṅga Abhidhamma ini menjadi menetap ke dalam kumpulan klasik dari 22 kemampuan. Jika, kemudian, kita membandingkan dua saṁyutta, satu tentang berbagai kemampuan, yang lain tentang berbagai kekuatan, mereka terdiri dari ajaran-ajaran yang sangat berbeda, dengan lima kemampuan spiritual dan lima kekuatan spiritual menjadi satu-satunya kumpulan yang saling melengkapi. Maka tidak ada masalah memahami mengapa ada dua kumpulan, satu tentang kemampuan-kemampuan, satu tentang kekuatan-kekuatan. Ini hanya ketika judul-judul menjadi terpisah dan diterapkan secara eksklusif pada lima kemampuan dan lima kekuatan yang tampaknya mereka berlebihan.

Terlihat dalam cara ini keseluruhan Saṁyutta adalah suatu pemaparan besar-besaran dari empat kebenaran mulia. Ini adalah anggapan tradisional dari aliran-aliran; kitab-kitab tentang metode penafsiran seperti Netti dan Peṭakopadesa mengajarkan bahwa pemahaman yang benar atas kotbah apa pun memerlukan ia diselidiki dalam cahaya empat kebenaran mulia. Tetapi sekarang kita dapat memberikan penafsiran tradisional ini suatu bentuk kesusasteraan yang lebih konkrit. Kita telah melihat bahwa setidaknya beberapa tradisi memperlakukan Dhammacakkappavattana Sutta sebagai kotbah pertama dalam kumpulan ini, dan benih di sekitar di mana kumpulan itu terkristalisasi. Ini menyatakan bahwa Sacca-saṁyutta, yang mengandung Dhammacakkappavattana Sutta, adalah kumpulan pertama. Ini bukan demikian sekarang: ia berada dalam Nidāna Vagga dari Sarvāstivāda dan akhir Mahā Vagga dari Theravāda. Jenis kerancuan dalam posisi ini muncul kapan pun kita berusaha untuk menyusun hubungan antara kebenaran-kebenaran [mulia] dan kategori-kategori ajaran lainnya. Akhirnya, ini bukan karena anda tidak dapat menentukan struktur tekstual linear tentang struktur organik dari Dhamma itu sendiri. Kebenaran-kebenaran [mulia], walaupun mulai sebagai kerangka yang melingkupi di dalam mana ajaran-ajaran lain yang dicakupi, diperlakukan sebagai hanya salah satu lebih item ajaran yang lebih doktrinal dalam daftar itu. Tetapi mereka tidak memiliki posisi khusus dalam daftar itu dan dapat muncul dalam hampir semua posisi. Korelasi dengan kebenaran-kebenaran [mulia] adalah yang paling penting dalam pikiran mereka yang mulanya mengumpulkan kumpulan-kumpulan itu, tetapi bagi generasi-generasi belakangan ingatan ini menjadi samar-samar.

3.3 Topik-Topik Abhidhamma Akar

Marilah sekarang mempertimbangkan lapisan teks kita yang ketiga dan terakhir, Abhidhamma-Abhidhamma. Topik-topik yang diuraikan dalam Saṁyutta tetap sangat dekat dengan ajaran-ajaran pokok yang ditetapkan dalam kotbah-kotbah paling awal. Banyak kotbah dalam Saṁyutta, kenyataannya, hanyalah variasi-variasi yang berputar-putar dari teks-teks dasar itu. Situasi yang sama diperoleh dalam kasus Abhidhamma-Abhidhamma paling awal. Di bawah ini adalah mātikā-mātikā dari teks-teks Abhidhamma dari tiga aliran, yang diidentifikasi oleh Frauwallner sebagai berhubungan pada suatu nenek moyang bersama, yang prasektarian.

Ia memberikan banyak rincian; namun ia mengabaikan beberapa poin yang berhubungan. Fragmen Dharmaskandha dari Gilgit memiliki kemunculan bergantungan yang membawa sampai dengan 5 sila. Ini menyatakan bahwa urutan dalam Mandarin telah kacau, mungkin oleh perubahan penyusunan naskah-naskah kuno yang tidak disengaja. Jika kita menggerakkan ajaran-ajaran kebijaksanaan – dari kemampuan-kemampuan ke kemunculan bergantungan – sampai ke awal, ini akan mengembalikan hubungan antara kemunculan bergantungan dan 5 sila, dan juga membuat struktur Dharmaskandha secara luas sama dengan Vibhaṅga dan Śāriputrābhidharma (serta Saṁyutta). Kita tidak dapat memastikan perubahan itu bersifat kebetulan, walaupun, bagi struktur yang ada tentunya rasional, berhubungan dengan kelompok tiga yang klasik dari tata susila, samādhi, dan pemahaman. Dalam aspek ini Dharmaskandha sama dengan risalah Theravāda yang belakangan, Visuddhimagga.

Ciri khas yang mengherankan lainnya dari Dharmaskandha adalah bahwa ia menghilangkan jalan mulia berunsur delapan. Ini ada dalam risalah awal mula; penghilangan ini pasti tidak disengaja. Mungkin ia hanya jatuh dari naskah kuno itu, atau salah ditempatkan.

Dalam tabel berikut ini faktor-faktor yang sama pada semua tiga teks ini dicetak tebal. Bahkan faktor-faktor itu tidak digunakan bersama oleh semua tiga teks ini, tetapi, hampir semua memiliki asal yang sama di tempat lain dalam Sutta atau Abhidharma.

Tabel 3.2: Tiga Versi Mātikā Abhidhamma Dasar

Vibhaṅga Theravāda Dharmaskandha SarvāstivādaŚāriputrābhidharma Dharmagupta
5 kelompok unsur kehidupan5 sila12 alat indera
12 alat indera4 faktor pemasuk-arus18 unsur
36 unsur4 keyakinan tetap5 kelompok unsur kehidupan
4 kebenaran mulia4 buah pertapaan4 kebenaran mulia
22 kemampuan4 cara praktek22 kemampuan
Kemunculan bergantungan4 silsilah mulia7 faktor pencerahan
4 satipaṭṭhāna4 usaha benar3 akar tidak bermanfaat
4 usaha benar4 landasan kekuatan3 akar bermanfaat
4 landasan kekuatan4 satipaṭṭhāna4 unsur besar
7 faktor pencerahan4 kebenaran mulia5 sila
Jalan mulia berunsur 84 jhānaUnsur-unsur
4 jhāna4 kediaman luhurKamma
4 kediaman luhur4 tak berbentukPribadi-pribadi1
5 sila4 samādhiPengetahuan2
4 pembedaan7 faktor pencerahanKemunculan bergantungan
Khuddakavatthu3Khuddakavatthu4 satipaṭṭhāna
Ñāṇavibhaṅga422 kemampuan4 usaha benar
Dhammahadaya512 alat indera4 landasan kekuatan
5 kelompok unsur kehidupan4 jhāna
62 unsurJalan mulia berunsur 8
Kemunculan bergantunganDhamma-dhamma tidak bermanfaat6
Saṅgraha7
Sampayoga
Prasthāna

1 Cp. Puggala Paññatti.
2 Cp. Ñāṇavibhaṅga.
3 Suatu daftar kekotoran-kekotoran; nama “Khuddakavatthu” diambil dari Dharmaskhanda
4 Suatu daftar pengetahuan, yang dapat dibandingkan dengan Paṭisambhidāmagga.
5 Suatu karya Abhidhamma independen dengan mātikā-nya sendiri: kelompok-kelompok unsur kehidupan, 18 unsur, kebenaran-kebenaran, 22 kemampuan, 9 sebab (hetu), 4 makanan, dan 7 kontak, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, kehendak-kehendak, dan pikiran-pikiran.
6 = Khuddakavatthu?
7 Saṅgaha dan sampayoga adalah istilah teknis dalam Dhātukathā Theravāda. Paṭṭhāna adalah judul dari risalah Abhidhamma Theravāda tentang kausalitas.

3.4 Tiga Lapisan Dibandingkan

Karena kita telah memiliki beberapa gagasan tentang isi masing-masing dari tiga lapisan, kita dapat mempertimbangkan hubungan antara mereka. Di sini adalah suatu daftar perbandingan dari ajaran-ajaran utama dalam lapisan-lapisan ini, dengan menghilangkan hal-hal sekunder. Dalam bagian Abhidhamma saya telah mengidentifikasi teks-teks persisnya dari mana Vibhaṅga Theravāda telah mengambil sumber bahannya.[15] Teks-teks yang meragukan atau berbeda ditandai dengan sebuah tanda bintang.

Pertama sebuah catatan tentang usaha dan landasan-landasan untuk kekuatan batin. Bab-bab ini ditemukan di tempat lain dalam Mandarin, tetapi bersama-sama dengan bagian dari bab tentang kemampuan-kemampuan yang telah mereka hilangkan dari Saṁyutta Mandarin yang ada disebabkan oleh suatu kegagalan dalam penyebaran teks-teks. Mungkin naskah kuno hanya salah diarsipkan dan belakangan hilang. Anehnya, sebuah bacaan dari “Kehidupan Raja Aśoka” (Aśokarājavadāna), yang tidak ada hubungannya dengan Saṁyutta, mengakhiri dalam tempatnya – suatu sisa-sisa kesalahan manusiawi dari generasi-generasi penyalin yang dengan penuh keyakinan menyebarkan kemustahilan ini.[16]

Kesepahaman itu mengejutkan, mengingat bahwa kita mengembangkan tiga lapisan ini secara independen, tanpa menunjuk pada kesamaan ajaran antara lapisan. Topik-topik ini adalah tulang punggung Dhamma, yang diulangi berkali-kali dalam tak terhitung variasi dalam semua aliran dalam semua sejarah Buddhisme. Saya telah, tanpa upaya yang besar, menghitung lebih dari selusin Abhidhamma dan karya-karya komentar dari berbagai aliran yang melandasi pada topik-topik ini. Biasanya kerangka empat kebenaran mulia masih dapat dibedakan mendasari struktur-struktur permukaan yang rumit. Ini tidak mungkin mengatakan bahwa kesesuaian ini dalam isi dari daftar-daftar ajaran tidak membuktikan bahwa aliran-aliran memahami ajaran-ajaran dalam cara yang sama. Masing-masing aliran mengembangkan penafsirannya sendiri, yang berbeda dalam rincian dan dalam prinsip.

Tabel 3.3: Tiga Lapisan Paling Awal

KotbahKumpulanAbhidhamma
Kebenaran-kebenaran [mulia]Kebenaran-kebenaran [mulia]Kebenaran-kebenaran [mulia] (MN 141/MA 31/EA 27.1)
Kelompok-kelompok unsur kehidupanKelompok-kelompok unsur kehidupanKelompok-kelompok unsur kehidupan (SN 22.59/SA 34)
Alat inderaAlat inderaAlat indera1
Unsur-unsur2Unsur-unsur (MN 115/MA 181; MN 141/MA 162)
Perasaan-perasaan
Asal mula [dukkha]Kemunculan bergantunganKemunculan bergantungan (SN 12.2/SA 298)
Kekotoran-kekotoranKekotoran-kekotoran3Kekotoran-kekotoran4
Kamma5Kamma
Lenyapnya [dukkha]Kemunculan bergantunganKemunculan bergantungan (SN 12.1, 2/SA 298)
Nibbana6Nibbana
Jalan mulia berunsur 8Jalan mulia berunsur 8 (SN 45.8/SA 783*)
SatipaṭṭhānaSatipaṭṭhāna (MN 10/MA 98/EA 12.1)
Usaha-usaha benarUsaha-usaha benar (SN 49)
Jalan mulia berunsur 8Landasan kekuatan batinLandasan kekuatan batin (SN 51.13)
Kemampuan spiritual22 kemampuan7
Kekuatan spiritual(kekuatan spiritual)8 (AN 5.14–15/SA 675)
Faktor-faktor pencerahanFaktor-faktor pencerahan (SN 46.3/SA 736, 740,
724*; SN 46.5/SA 733, etc.)
Pelatihan (sikkhā)9Pelatihan ( Jhānavibhaṅga = pelatihan bertahap;
Sikkhāpadavibhaṅga = 5 sila)


1 Ini berdasarkan pada daftar standar dari alat indera sehingga tidak dapat ditelusuri pada satu sumber.
2 Unsur-unsur (dhātu) diperlakukan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera seperti di sini, tetapi perlakuan dalam Saṁyutta lebih berhubungan erat pada kemunculan bergantungan.
3 Misalnya SN 24/SA 4 Diṭṭhi.
4 Khuddakavatthu.
5 SA 41, dihilangkan dalam SN tetapi mungkin original.
6 Misalnya SN 43/SA 890 Asaṅkhata, SN 55/SA 30 Sotāpatti.
7 Kelompok hibrid lain ditemukan dalam posisi-posisi yang berbeda disebabkan keunggulan lima kemampuan spiritual atau enam kemampuan indera.
8 Dihilangkan, tidak diragukan dirasa berlebihan, dalam Vibhaṅga/Dharmaskandha/Śāriputrābhidharma yang ada, tetapi ditemukan di tempat lain dalam Abhidhamma-Abhidhamma, misalnya Dhātukathā Pali, yang mātikā-nya berada dalam beberapa cara lebih kuno daripada Vibhaṅga, karena ia lebih mendekati urutan awal dari sayap-sayap menuju pencerahan. Bala Saṁyutta Mandarin lebih luas daripada Pali. Referensinya tentang Vibhaṅga sutta yang berhubungan.
9 SA 29, dihilangkan dalam SN tetapi mungkin original.
« Last Edit: 17 March 2013, 10:23:20 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #12 on: 17 March 2013, 10:32:00 AM »
3.3 Saṁyutta-Mātikā dalam Mahāyāna

Bertahannya saṁyutta-mātikā dalam Abhidharma tidak mengejutkan. Ini lebih menarik bagaimana pentingnya ia tetap bagi Mahāyāna juga. Saṁyutta-mātikā bersifat pokok pada struktur Sūtra Hati, dan demikian pada Prajñāpāramitā dan Mahāyāna secara umum. Sūtra Hati, yang biasanya dianggap berasal dari masa abad ke-2 M, dimulai dengan Avalokiteśvara melihat bahwa lima kelompok unsur kehidupan adalah kosong dari “inti intrinsik” (svabhāva), dan kemudian menerapkan analisis ini pada seluruh bagian kebijaksanaan dari saṁyutta-mātikā. Topik-topik yang didaftarkan adalah: lima kelompok unsur kehidupan, alat indera, 18 unsur, kemunculan bergantungan, dan empat kebenaran mulia. Ini semua disamakan dengan kekosongan, di mana Nāgarjuna, mengikuti Nidāna-saṁyukta Sarvāstivāda, telah mengidentifikasi sebagai kemunculan bergantungan. Demikianlah Sūtra Hati mengkritik suatu penafsiran atas topik-topik dari saṁyutta-mātikā berkaitan dengan teori Abhidhamma dari “inti intrinsik”, dengan menggantikan itu dengan kemunculan bergantungan. Ini bukan penemuan baru.

Saṁdhinirmocana Sūtra memberikan suatu kisah yang lebih eksplisit (dan memikat perhatian) tentang apakah masalah itu.[17] Teks ini disusun pada abad kedua M untuk membangun prinsip penafsiran teks dari aliran Yogacāra. Serangan utama bahwa pemahaman konseptual dari rincian hal-hal – suatu penunjukan yang jelas terhadap aliran-aliran Abhidhamma – lahir dari imajinasi dan konstruksi-pikiran, dan menganggap ini sebagai realitas, tetapi hanya dengan penyatuan non-konseptual dari samādhi adalah kebijaksanaan sejati yang lahir. Bacaan ini menunjukkan bagaimana seorang bhikkhu hutan menganggap bhikkhu pelajar, suatu pemikiran yang digemakan cukup sering saat ini:

Yang Mulia Subhūti berbicara kepada Sang Buddha dan mengatakan: “Yang Dijunjungi Dunia, di dunia makhluk-makhluk hidup, aku mengetahui sedikit yang menyatakan pemahaman mereka tanpa kesombongan, tetapi aku mengetahui tidak terhitung, tak terkira makhluk hidup yang sangat menyayangi kesombongan mereka dan menyatakan pemahaman mereka dalam sikap yang penuh kesombongan. Yang Dijunjung Dunia, suatu ketika aku sedang berdiam di sebuah taman di dalam sebuah hutan. Sejumlah besar bhikkhu yang tinggal di dekat sana. Aku melihat mereka berkumpul setelah matahari terbit untuk berdiskusi berbagai masalah dan mengemukakan pemahaman mereka, masing-masing menurut pengetahuannya.”

“Beberapa mengemukakan pemahaman mereka tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, karakteristiknya, munculnya, berakhirnya, pelenyapannya, dan realisasi pelenyapannya. Yang lain, dengan cara yang sama, mengemukakan pemahaman mereka tentang alat indera, kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], unsur-unsur. Yang lain mengemukakan pemahamannya tentang satipaṭṭhāna, karakteristiknya, keadaan yang dapat mereka kendalikan, pengembangannya, kemunculannya dari suatu keadaan tidak-muncul, bukan-kelenyapannya setelah muncul, dan peningkatannya dari latihan yang berulang-ulang. Yang lain mengatakan tentang pemutusan benar[18] [= usaha benar], landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, faktor-faktor pencerahan, atau tentang jalan mulia berunsur delapan dengan cara yang sama.”

“... mereka semua sangat menyayangi kesombongan mereka, dan, karena mereka melekat pada kesombongan itu, mereka tidak dapat memahami satu rasa universal dari kebenaran tentang makna tertinggi.”

Kemudian Yang Dijunjungi Dunia berbicara kepada Subhūti dan mengatakan: “Inilah demikian, Subhūti, karena Aku telah tercerahkan pada kebenaran dari makna tertinggi yang adalah satu rasa universal, paling halus, paling mendalam, paling sulit untuk diukur. Setelah tercerahkan, Aku menyatakan, mengajarkan, menjelaskan, dan menerangkannya untuk kepentingan orang lain. Apakah ini yang telah Aku ajarkan, Subhūti? Aku telah mengajarkan bahwa isi yang dimurnikan dari pemahaman dalam semua kelompok unsur kehidupan, [teks menghilangkan alat indera], kemunculan bergantungan, makanan, [teks menghilangkan kebenaran-kebenaran], unsur-unsur, satipaṭṭhāna, pemutusan benar, landasan kekuatan batin, faktor-faktor pencerahan, dan faktor-faktor jalan adalah kebenaran dari makna tertinggi. Isi yang dimurnikan dari pemahaman ini adalah karakteristik sebagai satu rasa...”

“Lebih jauh lagi, Subhūti, segera setelah para bhikkhu yang berlatih yang mengembangkan samādhi telah memahami kedemikian dari satu kelompok, ketanpa-dirian dari ajaran tentang makna tertinggi, mereka tidak akan terlibat dalam menganalisis satu per satu kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], unsur-unsur, satipaṭṭhāna [dst.].”[19]

Teks itu berlanjut menunjuk pada daftar dhamma ini sebagai suatu paradigma pokok:

“Yang Dijunjungi Dunia dalam sangat banyak kotbah telah menjelaskan kelompok-kelompok unsur kehidupan... alat indera... kemunculan bergantungan... makanan... kebenaran-kebenaran [mulia]... satipaṭṭhāna... usaha-usaha benar... landasan kekuatan batin... kemampuan spiritual... [teks menghilangkan kekuatan spiritual]... faktor-faktor pencerahan... jalan mulia berunsur delapan.”[20]

“Yang Dijunjungi Dunia telah menunjukkan aspek lain [dari ajaran-Nya, yaitu, selain dari ajaran tentang kekosongan tertinggi] bahwa makna tertinggi adalah tanpa inti dalam penunjukan pada pola dari kesempurnaan penuh, isi yang dimurnikan dari pemahaman yang adalah bukan-diri dari semua hal, yang adalah kedemikian, yang adalah pola dari kesempurnaan penuh. Ini adalah bagaimana kelompok-kelompok unsur kehidupan... alat indera... 12 cabang keberadaan [= kemunculan bergantungan]... empat makanan... enam dan delapan belas unsur harus dijelaskan.... [juga] satipaṭṭhāna, usaha-usaha benar, landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, faktor-faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan. Semua ini harus dijelaskan dengan cara ini.”[21]

Ajaran-ajaran ini menjadi begitu familiar sehingga teks sering menyingkatkan, hanya dengan menyebutkan, sebagai contoh, “kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, semua yang dibahas di atas...”;[22] atau jika tidak “kelompok-kelompok unsur kehidupan, enam alat indera internal, enam alat indera eksternal, dan sedemikian.”[23] Sekarang, kita telah menunjuk pada daftar umum dari topik-topik ini sebagai “saṁyutta-mātikā”. Kesamaan antara daftar ini dan Saṁyutta tidak dapat disangkal; tetapi dalam banyak kasus dalam Abhidhamma, dst., situasinya diperumit oleh penambahan atas faktor-faktor lainnya. Jadi seseorang dapat mencurigai bahwa di sini kita hanya memiliki suatu kesamaan dari gagasan-gagasan, alih-alih cabang sebenarnya dari batang pohon sejarah yang sama.

Marilah kita membandingkan daftar ini, yang diulangi dengan kesesuaian yang masuk akal di seluruh Saṁdhinirmocana Sūtra, dengan Saṁyukta Sarvāstivāda. Kita akan menggunakan saṁyutta-saṁyutta yang diidentifikasi dalam Yogacārabhūmiśāstra sebagai bab-bab ajaran yang utama (di mana lebih banyak di bawah ini), meninggalkan saṁyutta-saṁyutta kecil dan yang diucapkan oleh para siswa. Tanda sudut (< >) menunjukkan di mana saṁyutta-saṁyutta telah dihilangkan. Dalam kedua kasus kita mempertahankan urutan awal. Kita juga memberikan daftar topik-topik dalam definisi Yogacārabhūmiśāstra tentang sutta aṅga dalam bagian Śrāvakabhūmi.

Tabel 3.4: Tiga Versi Saṁyukta Mātikā

Saṁyukta SarvāstivādaSaṁdhinirmocana SūtraŚrāvakabhūmi1
Kelompok unsur kehidupan2Kelompok unsur kehidupanKelompok unsur kehidupan
Unsur-unsur3
Alat inderaAlat inderaAlat indera
Kemunculan bergantunganKemunculan bergantunganKemunculan bergantungan
Makanan (empat)Makanan (empat)Makanan
Kebenaran [mulia]Kebenaran [mulia]Kebenaran [mulia]
Unsur-unsurUnsur-unsur
Perasaan(tidak ada)(tidak ada)
< >Śrāvaka
Pacceka Buddha
Tathāgata
SatipaṭṭhānaSatipaṭṭhānaSatipaṭṭhāna
Usaha benar (hilang)Usaha benarUsaha benar
Landasan kekuatan (hilang)Landasan kekuatanLandasan kekuatan
Kemampuan spiritualKemampuan spiritualKemampuan spiritual
Kekuatan spiritualKekuatan spiritualKekuatan spiritual
Faktor pencerahanFaktor pencerahanFaktor pencerahan
Jalan mulia berunsur delapanJalan mulia berunsur delapanJalan (mulia berunsur delapan)
Keburukan (dari tubuh)
Ānāpānasati(tidak ada)Ānāpānasati
Pelatihan (berunsur tiga)(tidak ada)Pelatihan
Pemasuk-arus(tidak ada)Keyakinan tetap
< >

1 Śrāvakabhūmi, pg. 226.
2 Khandha-saṁyutta dalam SA dan SN diikuti oleh Rādha dan Diṭṭhi Saṁyutta, yang benar-benar hanya lampiran pada Khandha-saṁyutta. Ini sama dengan hubungan antara Satipaṭṭhāna- dan Anuruddha-saṁyutta.
3 Teks memiliki dua daftar yang berdekatan untuk unsur-unsur: dhātupratisaṁyukta dan dhātusamgaṇapratisaṁyukta (“berhubungan dengan unsur-unsur” dan “berhubungan dengan hal-hal yang dihubungkan dengan unsur-unsur” [?]). Saya tidak yakin arti dari pembagian berunsur dua itu; dalam kasus apa pun, unsur-unsur tampaknya keluar dari urutan di sini.

Korelasinya tidak hanya dekat, ini hampir persis. Yang terutama sekali relevan adalah kebetulan dari empat makanan, yang bukan standar (Theravāda memasukkan topik ini di bawah kemunculan bergantungan), dan urutan kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], dan unsur-unsur, yang juga bukan standar. Bagi Saṁdhinirmocana Sūtra, ajaran-ajaran pokok dari Dhamma adalah, tepatnya, terkandung dalam Saṁyukta dari Sarvāstivāda. Ini sangat mungkin menjadi alasan mengapa Asaṅga, dalam Yogacārabhūmiśāstra, memilih mengomentari panjang lebar pada turunan Saṁyukta Āgama ini, landasan dari Āgama-Āgama lain. Prinsip penafsiran teks Yogacāra atas Saṁdhinirmocana mengemukakan bahwa pemahaman dari ajaran-ajaran ini harus didasarkan pada samādhi alih-alih intelektualitas. Kita tidak harus melihat jauh ke dalam teks-teks awal untuk menegaskan bahwa ini, seperti penekanan Mādhyamaka terhadap kekosongan sebagai kemunculan bergantungan, bukanlah penemuan baru.
 
Catatan Kaki:

[1] Baris pemberian alasan ini menyatakan dirinya secara independen pada Bucknell dan diri saya sendiri.

[2] Terdapat beberapa pernyataan bahwa Permohonan Brahmā mungkin telah menjadi kotbah pertama dalam Sagāthāvagga, berdasarkan rekonstruksi Bucknell, mengikuti Yogacārabhūmiśāstra, dari Sagāthāvagga bersama dengan baris-baris tentang Delapan Perkumpulan; tetapi argumennya terlalu kompleks untuk dimasukkan di sini. Permohonan Brahmā, secara mengejutkan, hilang dari Saṁyukta Sarvāstivāda, walaupun ini ditemukan dalam Ekottara dan Dīrgha Āgama (Sanskrit), dan mungkin di tempat lain, muncul segera sebelum Dhammacakkappavattana Sutta, seperti halnya dalam Vinaya.

[3] Kisah berikut ini didasarkan pada terjemahan Mandarin (T № 1451) dan parafrase Rockhill dari terjemahan Tibet.

[4] Sebelum Ānanda memulai pembacaannya, terdapat kejadian yang sedikit aneh di mana Mahā Kassapa mengatakan kepada semua bhikkhu: “Terdapat para bhikkhu yang lemah dalam kemampuan dan kacau pikirannya. Mereka tidak akan mampu mempelajari dan mengingat sutta-vinaya-abhidhamma. Oleh sebab itu akan sesuai bagi kita pada pagi hari untuk menyusun “Syair-Syair Pendek Saṁyutta”, (略伽他事相應 (= saṅkhitta-gāthā-saṁyutta?), T24, № 1451, p. 406a22–23), pada sore hari akan sesuai untuk menyusun sutta-vinaya-abhidhamma.” Tidak jelas apakah ini menunjuk pada; Sagāthāvagga yang ditunjukkan segera di bawahnya, dalam tempatnya yang tepat dalam Saṁyutta, sehingga tampaknya tidak mungkin ini apa yang dimaksud. Mungkin ini menunjuk pada beberapa kumpulan syair dari Khuddaka.

[5] Teks menghilangkan “Vagga”; catatan bahwa “緣起” dapat berarti paṭicca-samuppāda atau nidāna.

[6] T24, № 1451, p. 407b20–c2.

[7] SN 45.35/SA 796–797/SA 799.

[8] Dijelaskan dalam AN 4.29 sebagai kebebasan dari keserakahan dan kehendak jahat, perhatian benar, dan samādhi benar. Juga ditemukan dalam T № 1536.7.

[9] T24, № 1451, p. 408b6–11. Terjemahan dari Rockhill pg. 160. Detail-detail diberikan oleh Rockhill telah dikoreksi mengikuti Watanabe pg. 44, dan dari bahasa Mandarin. Sedikit dari istilah Mandarin, khususnya dalam bagian belakangan kutipan, tidak jelas.

[10] CDB, pg. 532.

[11] Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.

[12] CDB, pg. 27.

[13] CDB, pg. 30.

[14] SN 48.43.

[15] Lebih rinci didaftarkan dalam lampiran pada edisi Pali PTS dari Vibhaṅga, pg. 437.

[16] Lamotte terbukti tidak menyadari masalah ini ketika ia mengatakan: “Seraya mereka [Āgama-Āgama] ditutup lebih belakangan [daripada Nikāya-Nikāya], mereka membuat ruang untuk karya-karya yang secara komparatif berasal dari masa yang lebih baru; oleh sebab itu Saṁyutta mengandung kutipan panjang dari Aśokarājavadāna.” (Lamotte (1976), pg. 155.) Penyelidikan yang lebih terperinci tidak memberikan alasan untuk menyimpulkan bahwa Āgama-Āgama, secara umum dikatakan, ditutup lebih awal atau lebih belakangan daripada Nikāya-Nikāya; masing-masing kasus perlu diperlakukan secara individual.

[17] T № 676. Saya menggunakan Keenan, yang berdasarkan versi Mandarin. Versi Tibet digunakan dalam terjemahan Perancis oleh Étienne Lamotte, Saṁdhinirmocana Sūtra: L’explication des Mysteres (Paris: Adrien Maisonneuve, 1935), dan terjemahan Inggris oleh John Powers, Wisdom of Buddha: The Saṁdhinirmocana Sūtra (Berkely, CA, Dharma Publishing. 1995).

[18] Pali padhāna (“usaha”) sering salah dibaca dalam Sanskrit sebagai pahāna (“meninggalkan”).

[19] Keenan, pp. 22–23.

[20] Keenan, pg. 35.

[21] Keenan, pp. 46–47.

[22] Keenan, pg. 23.

[23] Keenan, pg. 97.
« Last Edit: 17 March 2013, 10:34:42 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #13 on: 14 April 2013, 08:24:25 PM »
Bab 4
GIST 4 - Aṅga-Aṅga

Kita sekarang dapat berpindah ke pertanyaan utama terakhir dari GIST: apakah hubungan antara teks-teks tulang punggung ini dan sisa kotbah-kotbah? Untuk mendekati pertanyaan yang rumit ini akan bersifat membantu untuk pertama-tama mempertimbangkan beberapa lagi penemuan Yin Shun yang berdasarkan Yogacārabhūmiśāstra. Karya ini memperlakukan Saṁyukta Āgama dalam kaitan dengan tiga aṅga (bagian): sutta (teks-teks prosa dasar), geyya (syair), dan vyākaraṇa (penjelasan). Untuk memahami arti penting dari hal ini kita harus mengambil langkah mundur dan mempertimbangkan pengelompokan-pengelompokan aṅga.

Arti penting utama dari aṅga adalah bahwa mereka merupakan sistem paling awal yang tercatat untuk mengelompokkan ajaran-ajaran. Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, atau Tripitaka itu sendiri, tidak menunjuknya dalam teks-teks awal, dan terbukti hanya sangat belakangan. Mereka oleh sebab itu pasti berasal dari sesudah masa Sang Buddha. Tetapi mereka tidak mungkin sangat belakangan, karena pembagian dalam empat Āgama utama digunakan bersama di antara aliran-aliran. Oleh sebab itu pasti telah mengambil bentuk pada masa pra-sektarian; tetapi perbedaan yang besar dalam struktur internal menyatakan bahwa Āgama-Āgama belum ditetapkan secara detail. Mungkin masing-masing aliran mewarisi sekumpulan besar ajaran-ajaran, sebagian besar tetapi bukan seluruhnya saling melengkapi, dan suatu susunan umum teks-teks ke dalam Āgama-Āgama. Saya berpikir tugas besar mengorganisasi sejumlah besar bhikkhu dan bhikkhuni untuk menghafalkan sejumlah besar kitab-kitab demikian pasti telah menjadi motivasi utama dalam mengubah dari sistem yang disahkan secara kanonik dari aṅga-aṅga ke sistem Āgama-Āgama yang baru. Kita menganggap proses ini terjadi pada periode antara Konsili pertama dan kedua. Ini problematis untuk berpikir dalam kaitan dengan suatu “kanon awal”, karena tidak ada bukti tertentu bahwa kitab-kitab sebagai suatu keseluruhan yang pernah dipertimbangkan diselesaikan dan secara universal diterima pada periode pra-sektarian. Namun demikian, kumpulan besar kitab-kitab secara universal diterima sebelum dan sesudah perpecahan. Karena sistem Āgama dikembangkan relatif awal, maka jika aṅga-aṅga masih merupakan prinsip organisasional yang paling awal, ini mungkin bahwa aṅga-aṅga, atau setidaknya inti darinya, ada pada masa kehidupan Sang Buddha sendiri.

4.1 Sembilan dan Dua Belas

Terdapat suatu daftar dari sembilan aṅga, yang dianggap merupakan jumlah ajaran-ajaran Sang Buddha, yang sama dalam Nikāya-Nikāya Pali awal: sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, vedalla, dan abbhūtadhamma. Sembilan ini juga disebutkan dalam teks-teks Mahāsaṅghika,[1] dan oleh sebab itu mungkin mendahului perpecahan pertama. Daftar ini biasanya bertambah menjadi dua belas dalam Sanskrit (dengan penambahan nidāna, avadāna, dan upadeśa). Mereka semua adalah istilah-istilah yang familiar, tetapi makna sebenarnya kontroversial. Dalam teks-teks awal mereka hanya didaftarkan tanpa penjelasan lebih lanjut. Teks-teks belakangan memberikan penjelasan; tetapi ini sangat berbeda-beda, dan mencakup banyak anakronisme dan ketidakmungkinan. Di sini saya tidak akan memulai penyelidikan yang komprehensif, tetapi akan menyelidiki sumber-sumber yang tersedia bagi saya dengan tujuan atas pengumpulan apa yang tampaknya masuk akal dan relevan.

Beberapa item belakangan (gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka) adalah judul-judul kitab-kitab yang dimasukkan dalam Khuddaka Nikāya Pali, dan komentar Theravādin secara terus terang mengidentifikasi aṅga-aṅga ini dengan kitab-kitab dengan nama yang sama. Jika aṅga-aṅga yang belakangan ditunjuk terutama pada Khuddaka Nikāya, ini masuk akal bahwa tiga yang pertama berhubungan dalam beberapa cara dengan empat Nikāya/Āgama utama. Namun, kebanyakan sarjana modern berpikir bahwa aṅga-aṅga menunjuk pada gaya teks alih-alih pada kumpulan yang sebenarnya. Sebagai contoh, Lamotte mengatakan:

Pengelompokan [aṅga] ini tidak berhubungan dengan pembagian nyata mana pun dari kanon, tetapi mendaftarkan gaya kesusasteraan yang diwakili dalam penulisan kanonik. Satu teks yang sama dapat dikelompokkan dalam beberapa gaya pada waktu yang sama, bergantung pada di mana karakteristiknya dianggap.[2]

Lamotte sangat tepat mengatakan bahwa pengelompokan aṅga bersifat rancu. Namun ini tidak menunjukkan bahwa ini tidak pernah digunakan sebagai suatu pembagian nyata dari ajaran-ajaran, dengan pengecualian bahwa semua pembagian demikian akan tidak sempurna. Bagaimanapun, ini adalah masalah dalam semua sistem pengelompokan. Bahkan dalam sistem Āgama yang ada terdapat banyak kerancuan demikian; sebagai contoh Satipaṭṭhāna Sutta adalah [kotbah] menengah, yang membenarkan tempatnya dalam Majjhima; tetapi ini berhubungan satipaṭṭhāna, salah satu topik utama dari Saṁyutta; dan ia mengajarkan berdasarkan jumlah (jalan “satu” arah, “empat” satipaṭṭhāna), dan sehingga satu versi Mandarin menempatkannya dalam Ekottara. Kita akan melihat berulang kali kerancuan demikian merupakan “titik balik” , di mana sistem aṅga mulai gagal, yang menyumbangkan pada kemunculan organisasi yang lebih sistematis.

Alasan paling utama untuk mempertimbangkan aṅga-aṅga sebagai hanya gaya alih-alih suatu struktur aktual adalah bahwa beberapa aṅga, khususnya tiga yang pertama, tidak muncul sebagai judul-judul kumpulan; dan karena, dari aṅga-aṅga yang merupakan judul-judul dari kumpulan-kumpulan yang ada, kitab-kitab yang mengandung judul-judul ini umumnya dianggap telah disusun lebih belakangan daripada kotbah-kotbah awal di mana daftar itu pertama kali muncul. Tetapi, lebih mungkin bahwa daftar yang paling awal mungkin lebih pendek, dan bahwa seraya kitab-kitab lain disusun nama-nama mereka ditambahkan ke dalam daftar itu. Ini adalah suatu hipotesis yang sedikit radikal daripada dalil bahwa gagasan dari suatu kumpulan kanonik pada masa Sang Buddha diciptakan dan dimasukkan secara retrospektif. Perbedaan antara daftar Pali dan Sanskrit menegaskan bahwa beberapa penambahan pasti telah dibuat, setidaknya untuk item-item tambahan dalam Sanskrit. Di sini kita akan secara singkat membahas aṅga-aṅga yang belakangan sebelum kembali pada pertimbangan yang lebih mendalam terhadap tiga yang pertama. Tidak ada dari pertalian ini yang tidak diperdebatkan. Tetapi, kita dapat mengembangkan bahwa mungkin, bahkan masuk akal, bahwa mereka menunjuk pada pengelompokan teks-teks yang khusus, di mana banyak darinya masih tersedia.

Gāthā: Menunjuk terutama pada bagian awal dari Thera/Therīgāthā dan Sutta Nipāta. Thera/Therīgāthā sekarang ada hanya dalam Pali, tetapi sering ditunjuk dalam kitab-kitab aliran lain, sehingga mereka pasti memiliki versi-versi dari syair-syair yang menggembirakan ini yang sekarang dengan menyedihkan hilang, selain dari beberapa dalam Mandarin (misalnya Theragāthā 1018–1050 muncul sebagai MA 33), dan sedikit fragmen Sanskrit.[3] Sutta Nipāta tidak ditemukan di luar tradisi Pali sebagai suatu kumpulan, tetapi banyak teks-teks individual diketahui (Khaggavisana, Ratana, Muni, Sela, dst.), dan bahkan beberapa bab seluruhnya (Aṭṭhaka, Pārāyana). Beberapa dari ini, termasuk Aṭṭhaka dan Pārāyana, dikatakan dimasukkan dalam Khuddaka Nikāya Dharmaguptaka. Terdapat jelas suatu kecenderungan mengumpulkan gāthā-gāthā dalam kumpulan-kumpulan yang berbeda.

Udāna: Terdapat suatu bukti yang membingungkan dalam tradisi-tradisi antara teks-teks yang dikenal dalam Pali sebagai “Udāna” and “Dhammapāda”. Beberapa isi dari keduanya bercampur, dan terdapat teks mirip Dhammapāda dalam Sanskrit dan Mandarin yang disebut “Udānavarga”. Tradisi Cina menganggap Dhammapāda dan Udāna sebagai jenis teks yang sama. Mungkin hanya syair-syair yang mulanya disebut udāna, dan belakangan dilekatkan dalam bahan latar belakang dari berbagai otentisitas. Suatu tahap tertentu dalam proses ini ditandai oleh kitab Pali yang disebut “Udāna”. Dalam syair-syair yang ditemukan dalam Dhammapāda Pali proses ini lebih lambat atau lebih tidak tentu. Kisah latar belakang tidak pernah memperoleh status kanonik penuh tetapi, dengan berlimpah-limpah uraian, yang mengambil bentuk sebagai komentar Dhammapāda, yang menyediakan kerangka tradisional di mana syair-syair disajikan. Patut dicatat bahwa, walaupun komentar diselesaikan berabad-abad setelah syair-syair, setidaknya beberapa informasi secara historis dapat diverifikasi dan berasal dari suatu tradisi yang otentik. Salah satu kisah yang ditemukan dalam komentar Dhammapāda Pali dibuktikan dalam Madhyama Sarvāstivādin (MA 80 Kaṭhinadhamma Sutta). Kisah-kisah latar belakang pada syair-syair seperti yang tercatat dalam versi Mandarin dari Dhammapāda sedikit atau tidak ada hubungan dengan kisah-kisah Pali.

Itivuttaka: Komentar Theravāda mengatakan bahwa ini menunjuk pada kitab Pali dengan nama itu; tetapi saya tidak yakin. Bukti kebetulan dari keotentikannya datang dari kisah latar belakang komentar, yang mengatakan kumpulan ini mulanya dihafalkan oleh seorang umat awam wanita di mana para bhikkhuni kemudian mempelajarinya dan mengajarkannya kepada para bhikkhu. Tidak mungkin bahwa para bhikkhu telah menciptakan suatu kisah demikian yang menyatakan mereka lupa pelajaran mereka. Pada sisi lain tidak ada alasan tertentu mengapa kisah itu harus dimasukkan pada kelompok teks-teks tertentu ini. Itivuttaka adalah sebuah teks kecil bergaya-aṅguttara, yang memasukkan sebuah syair yang merangkum setiap kotbah, dan judulnya berasal dari “label” pada awal dan akhir setiap kotbah: “demikianlah ini dikatakan”. Label ini sepenuhnya “ekstrinsik” pada ajaran-ajaran dan dapat melabeli teks bergaya mana pun. Demikianlah Itivuttaka adalah tidak biasa di antara aṅga- aṅga karena tidak ada hubungan intrinsik antara nama aṅga dan gaya teks. Versi Mandarin dari Itivuttaka memiliki suatu “label” yang sama, maka jika ini bukan aslinya, ini tidak begitu belakangan. Terdapat sebuah literatur klasik Veda yang disebut “Itihāsa”, “demikianlah itu”, yaitu “kisah-kisah  dari masa lampau, sejarah-sejarah legendaris”, yang kadangkala disamakan dengan Mahābhārata dan Ramāyana. Berdasarkan analogi, itivuttaka dapat berarti “perkataan dari masa lampau”. Maka itivuttaka mungkin menunjuk pada sejarah-sejarah legendaris yang ditemukan dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, seperti Aggañña Sutta,[4] dan Cakkavattisīhanāda Sutta.[5] Perhatikan bahwa dua kotbah ini berpasangan dalam Dīgha Theravāda dan Dharmaguptaka. Sarvāstivādin menyukai untuk menempatkan keduanya dalam Madhyama mereka, di mana, namun demikian, mereka tidak berpasangan. Teori ini mendapatkan dukungan dalam beberapa sumber di luar Theravāda, yang memperlakukan itivuttaka sebagai kisah-kisah dari masa lampau, kadangkala tidak dapat dipertukarkan dengan apadāna. Sebagai contoh, Asaṅga dalam Abhidharmasamuccaya mengatakan itivuttaka “mengisahkan kehidupan-kehidupan lampau para siswa mulia”;[6] dalam Śrāvakabhūmi dari Yogacārabhūmiśāstra ia mengatakan ini menunjuk pada “apa pun yang berhubungan dengan praktek sebelumnya.”[7]

Jātaka: Dapat dianggap bahwa ini mulanya menunjuk pada kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha yang ditemukan kadangkala dalam empat Āgama, alih-alih kitab yang terkenal dengan nama yang sama, yang jelas belakangan (walaupun terdapat beberapa tumpang tindih antara dua lapisan dalam Pali; dan setidaknya salah satu kisah dalam kitab Jātaka Pali ditemukan dalam Sarvāstivāda Madhyama [MA 60]). Namun demikian, istilah jātaka, “bodhisatta” (“makhluk pencerahan” atau “seseorang yang bermaksud pada pencerahan”) dan kebanyakan dari ciri-ciri khusus lain yang dihubungkan dengan kitab  Jātaka tidak muncul dalam kisah-kisah Āgama tentang kehidupan-kehidupan lampau. Sebagai contoh, tidak ada petunjuk bahwa “calon Buddha” dalam pengertian apa pun ditakdirkan atas pencerahan, atau sedang menjalankan latihan yang membawa pada pencerahan; agak berlawanan, Sang Buddha bersusah payah menyatakan bahwa latihan-latihan yang beliau lakukan pada kehidupan-kehidupan lampau “tidak membawa pada pencerahan”.[8]

Jika daftar aṅga yang diperluas ditambahkan kemudian pada tiga yang pertama, lebih mungkin bahwa jātaka di sini menunjuk pada kitab tersebut, setidaknya pada suatu versi yang lebih awal. Kitab Jātaka kanonik hanya mengandung syair-syair yang mengisahkan inti kisah; karya ini hampir tidak pernah ditemukan secara independen. Ini harus dibandingkan dengan Udāna/Dhammapāda seperti yang tercatat di atas. Kisah-kisah itu sendiri dikandung dalam komentar, walaupun kisah-kisah itu pasti telah diturunkan bersama-sama dengan syair-syair dalam tradisi oral, karena dalam banyak kasus syair-syair bersifat samar-samar dan tidak masuk akal tanpa kisah itu. Adalah penting untuk diingat ketika mempertimbangkan literatur Jātaka bahwa syair-syair dan “kisah-kisah dari masa lampau” milik bersama, dan jarang memiliki ciri Buddhis secara khusus, yang sebagian besar merupakan suatu hasil dari tradisi cerita rakyat. Mungkin kisah-kisah itu diadopsi oleh para guru Buddhis mulanya hanya sebagai fabel moral. Kemudian beberapa dari kisah-kisah itu diidentifikasi dengan Sang Buddha pada kehidupan-kehidupan lampau. Ketika kisah-kisah itu dikumpulkan sebagai sebuah kitab, mungkin dirasa sangat diperlukan untuk membakukan bentuk kesusasteraannya; proses ini tidak hanya mencerminkan kumpulan syair lainnya seperti Udāna/Dhammapāda, tetapi juga Vinaya, yang sama halnya menyediakan setiap aturan dengan suatu kisah awal mula yang sering kali bernilai sejarah yang meragukan (suatu nidāna, salah satu aṅga yang belakangan). “Kisah-kisah dari masa sekarang”, yang memberikan kejadian masa kini (yaitu masa kehidupan Sang Buddha) yang dianggap telah menginspirasi penceritaan kisah itu, pembungkusan eksternal yang ditambahkan lama setelah kisah-kisah itu mulanya diceritakan. Ini, tentu saja, “pembungkusan” ini yang mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam kisah itu dengan Sang Buddha, keluarga Beliau, dst. pada kehidupan-kehidupan lampau. Ini memberikan alasan pada judulnya “Jātaka” (“Kisah Kelahiran”).

“Kisa-kisah dari masa sekarang” ini mensyaratkan suatu tahap dalam perkembangan ajaran bodhisatta secara signifikan di muka dari kotbah-kotbah awal. Evolusi penggunaan ini dapat ditelusuri dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama sebagai berikut. Istilah “bodhisatta” umumnya menunjuk pada Siddhattha dalam masa perjuangan sebelum pencerahan; ini adalah penggunaan yang paling awal. Ini menyatakan bahwa makna paling awal dari kata “bodhisatta” adalah “seorang yang bermaksud pada pencerahan” (bodhiśakta), alih-alih “makhluk tercerahkan” (bodhisattva). Ini tampaknya adalah penunjukan baik dalam kitab-kitab Mandarin maupun Theravāda yang menyatakan makna ini. Mahāpadāna Sutta, yang menceritakan kisah Vipassī, menggunakan kata “bodhisatta” mundur sejauh sampai turunnya dari surga Tusita dan kelahiran pada kehidupan terakhir.[9] Versi Sanskrit dari teks ini, walaupun tidak lengkap, kelihatannya sama dalam hal ini. Hal yang sama juga ditemukan dalam Tathāgata-acchariya Sutta dari Aṅguttara.[10] Acchariyaabbhūta Sutta (suatu penyesuaian kisah Vipassī pada Buddha “kita”) memperluas lingkup istilah itu mundur pada kelahiran sebelumnya di Tusita.[11] Versi Sarvāstivādin dari teks yang sama mengambil langkah penting dengan menyatakan bahwa pada masa Kassapa, Buddha sebelumnya, bodhisatta membuat ikrar untuk menjadi seorang Buddha masa depan, suatu gagasan yang tidak ditemukan dalam tradisi awal.[12] Dari sana bukanlah loncatan besar untuk membayangkan calon Budha yang berusaha keras melalui tak terhitung kehidupan dalam perjuangannya atas Kebuddhaan.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:17:50 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #14 on: 14 April 2013, 08:37:43 PM »
Vedalla: Istilah lain yang problematis. Ini digunakan sebagai judul untuk dua kotbah dalam Majjhima Nikāya.[13] Dua kotbah itu muncul bersama dalam Theravāda dan Sarvāstivāda. Dalam Sarvāstivāda keduanya membentuk pasangan terakhir pada bab kedua terakhir; dengan demikian, dengan mengingat bahwa unit tekstual kelihatannya sering dipindahkan dalam bab-bab (vagga-vagga) dari sepuluh atau sekian kotbah, keduanya mungkin pada satu tahap telah menjadi kotbah terakhir dalam Majjhima.[14] Namun demikian, judul “Vedalla” hanya digunakan dalam Theravāda; versi Sarvāstivādin yang sama dinamakan menurut tokoh utama, Mahā Koṭṭhita dan Bhikkhuni Dhammadinna. Kata vedalla tidak muncul dalam isi teks sama sekali, sehingga, seperti Itivuttaka, sangat mungkin bahwa istilah itu hanya ditempelkan pada kotbah-kotbah itu pada masa yang belakangan. Dalam kenyataannya, kotbah-kotbah itu hanyalah vyākaraṇa, dan tidak ada alasan untuk menciptakan suatu kelas literatur yang terpisah hanya untuk kotbah-kotbah itu. Komentar Theravādin juga memasukkan sejumlah kotbah yang mirip di bawah vedalla. Semua ini ditemukan dalam kanon Pali kecuali “Sankhārabhājanīya Sutta” (secara tidak masuk akal diidentifikasi sebagai Sankhāruppatti Sutta). Istilah bhājanīya (“pemaparan”), dari akar kata yang sama dengan “vibhaṅga”, adalah jarang dalam kotbah-kotbah awal, dan kemunculan yang paling familiar adalah pada judul bab dari Vibhaṅga Abhidhamma, yang tidak terlalu tidak sama pada vedalla-vedalla yang ada. PED tidak pasti tentang asal kata vedalla, secara mustahil menyatakan veda + ariya. Tetapi suatu akar kata dala (yang sama asalnya dengan bahasa Inggris “tear”), dengan makna dasar “putus, terpisah”. Ini digunakan untuk nama-nama bunga tertentu, dengan pengertian membuka dan memisahkan kelopak-kelopak dan dedaunan. Bentuk vidala, yang terbukti dalam Sanskrit dengan makna “membagi, memisahkan”, persis sejajar dengan vibhaṅga, dan vedalla hanyalah bentuk abstrak dari kata ini. Oleh sebab itu satu kemungkinan bahwa vedalla mulanya adalah teks proto-abhidhamma yang dapat kita sebut *Vibhaṅga Mūla. Namun, mempertimbangkan ketidakpastian istilah vedalla, dan lemahnya hubungan dengan teks-teks yang ada, kita tidak dapat menarik kesimpulan apa pun di sini, kecuali bahwa dua teks yang sekarang disebut vedalla mungkin dipasangkan bersama sebelum dibawa ke dalam Majjhima. Istilah Sanskrit di sini berbeda-beda, tetapi biasanya vaipulya, “berlimpah”, yang merupakan suatu istilah standar untuk Sūtra-Sūtra Mahāyāna yang terpencar-pencar. Mungkin bahwa para penerjemah atau penyunting yang belakangan menggantikan istilah familiar ini untuk istilah vedalla yang problematis dan samar-samar, bukan dengan sengaja meminjam kredibilitas pada klaim-klaim yang diperdebatkan atas keotentikan Mahāyāna. Dalam kenyataannya Abhidharmasamuccaya (sebuah Abhidhamma yang ditulis oleh Asaṅga) mengidentifikasi  aṅga ini sebagai yang terkandung dalam “Bodhisattvapiṭaka”, dan mengatakan bahwa tiga istilah yang berbeda menunjuk pada hal yang sama: vaipulya (ia membantu semua makhluk, dan mendalam), vaidalya (= vedalla, “menghancurkan semua rintangan”), vaitulya (“tiada bandingnya”).[15] Hanya asal kata yang kedua memiliki hal yang meyakinkan, walaupun seperti yang dikatakan di atas, maknanya lebih mungkin sebagai “memisahkan” dalam pengertian “analisis”.

Abbhūtadhamma: Mungkin yang paling mudah dari aṅga-aṅga yang dapat ditafsirkan, ini menunjuk pada kotbah-kotbah seperti Acchariya-abbhūta Sutta (MN 123/MA 32), Bakkula Sutta (MN 124/MA 34), dst., yang membahas “kualitas-kualitas menakjubkan” dari Sang Buddha atau berbagai siswa. Yang Mulia Ānanda berkaitan erat dengan literatur jenis ini. Dalam kanon Theravādin dua contoh terkenal dari gaya ini ditemukan bersama dalam Majjhima. Dalam Sarvāstivāda, tidak hanya dua kotbah ini tetap dekat bersama, tetapi keduanya membentuk bagian dari suatu bab dari Majjhima Sarvāstivādin yang disebut “Abbhūtadhammavagga”. Bab ini memasukkan sebuah kotbah di mana Sang Buddha memuji “kualitas-kualitas menakjubkan” Ānanda (MA 33). Penjelasan Buddhaghosa tentang abbhūtadhamma menunjuk pada apa yang mungkin suatu teks yang sama, yang sekarang ditemukan dalam Aṅguttara dan Dīgha Theravāda (DN 16.5.16). kenyataanya, pada AN 4.127-130 terdapat sekelompok dari empat teks dari jenis ini. Lebih lanjut, terdapat suatu kelompok dari lima kotbah dari jenis ini ditemukan bersama dalam Aṅguttara delapan, dan Madhyama Abbhūtadhammavagga Sarvāstivāda. Dengan demikian abbhūtadhamma menunjuk pada kelompok-kelompok teks yang sebenarnya. Bakkula Sutta adalah kasus yang menarik. Ia adalah bersifat baru, baik dalam bukti internal, dan dalam pernyataan komentar bahwa ia ditambahkan pada konsili kedua. Ini adalah satu dari sedikit penerimaan langsung suatu teks yang ditambahkan setelah konsili pertama. Satu-satunya pernyataan yang sama yang saya ketahui menunjuk pada beberapa gāthā dalam Thera/Therīgāthā dan Mahā Parinibbāna Sutta, yang juga termasuk dalam aṅga-aṅga yang belakangan. Ini sama dekatnya dengan kita sampai pada pengakuan oleh tradisi-tradisi bahwa aṅga-aṅga yang belakangan ditambahkan pada konsili kedua atau yang belakangan.

Tiga aṅga berikut hanya muncul dalam daftar Sanskrit.

Upadeśa: Ia berarti “petunjuk-petunjuk, arahan-arahan”. Ia muncul terutama dalam teks-teks belakangan. Saya tidak mengetahui teks-teks awal mana pun dalam tradisi Sanskrit yang menggunakan judul ini. Namun, sarjana Cina yang belakangan termasuk Hsuang Tsang mengatakan bahwa upadeśa adalah risalah-risalah yang menjelaskan sūtra-sūtra.[16] Ini menyatakan suatu hubungan dengan Peṭakopadesa (“Petunjuk-petunjuk dalam Piṭaka”), suatu karya awal tentang teknik-teknik yang diterima ke dalam Khuddaka Nikāya hanya di Myanmar. Asaṅga dalam Śrāvakabhūmi menjelaskan upadeśa sebagai “semua mātikā dan abhidhamma” yang menjelaskan Sutta-Sutta; dalam Abhidharmasamuccaya ia menjelaskannya sebagai “ajaran yang tepat, mendalam, halus tentang ciri khas semua hal.”[17]

Apadāna: Istilah ini, yang dieja avadāna dalam Sanskrit, sangat mirip dengan jātaka, yang biasanya menunjuk pada kisah riwayat hidup dari masa lampau. Dalam Pali apadāna adalah kehidupan-kehidupan lampau dari para siswa, sedangkan jātaka adalah kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha; tetapi perbedaan ini tidak dipertahankan secara konsisten. Menurut Cone, istilah itu memiliki makna dasar “memotong, menuai, memanen”, yang diterapkan dalam suatu pengertian metafora dari “menuai” buah dari perbuatan seseorang (khususnya dalam kehidupan lampau), dan maka menjadi suatu kisah tentang kamma dan akibatnya. Penggunaan paling awal dalam pengertian ini adalah Mahāpadāna Sutta, yang, tetapi, juga memasukkan unsur-unsur abbhūtadhamma, vyākaraṇa, udāna (atau gāthā), geyya, dan bahkan Vinaya. Detail ini menyatakan suatu hubungan antara Apadāna dan Vinaya, yang akan kita bahas lebih jauh di bawah. Mungkin kisah-kisah kehidupan awal yang ditemukan kadangkala dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, seperti Māratajjanīya Sutta, dapat dianggap sebagai apadāna;  tetapi istilah itu sendiri tidak digunakan dalam konteks ini. Istilah itu adalah judul suatu kitab yang ditemukan dalam Khuddaka Nikāya Pali, yang menceritakan kisah-kisah kehidupan lampau para Arahat. Karya-karya yang sama ditemukan dalam tradisi-tradisi Sanskrit.

Nidāna: Ini menunjuk pada bahan latar belakang atau sumber. Di sini ia dapat menunjuk pada Jātaka Nidāna, salah satu dari riwayat hidup Buddha awal. Abhidharmasamuccaya mengatakan nidāna adalah “suatu pernyataan yang dibuat [oleh Sang Buddha] ketika beliau ditanyai, atau ini adalah pernyataan tentang suatu aturan dengan sebabnya.”[18] Yang pertama dari penjelasan ini agaknya menunjuk pada vyākaraṇa. Namun, ini mungkin menunjuk pada kisah-kisah demikian seperti ketika, sebagai contoh, Sang Buddha memberikan senyum yang membingungkan, dan ketika ditanyai oleh Yang Mulia Ānanda tentang alasan untuk hal ini, beliau menjawab dengan menceritakan suatu kisah dari masa lampau. Penjelasan kedua, yang menghubungkan nidāna dengan Vinaya, jelas sesuai dengan penggunaan awal yang langsung.

Terdapat, kenyataanya, banyak sumber kuno yang menghubungkan nidāna dan apadāna dengan Vinaya.[19] Nidāna adalah kisah awal mula untuk aturan-aturan, sedangkan apadāna adalah kisah-kisah lain yang dimasukkan untuk pendidikan, khususnya kisah-kisah yang membandingkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ini dengan peristiwa-peristiwa pada masa kehidupan yang lampau. Śrāvakabhūmi, meskipun memasukkan apadāna dalam Sutta-Sutta, mengatakan bahwa nidāna adalah Vinaya, sedangkan upadeśa adalah Abhidhamma. Ini menyatakan bahwa perbedaan antara sembilan dan dua belas aṅga tidak harus merupakan suatu masalah pertumbuhan historis dari bahan sektarian, tetapi bahwa kategori berunsur sembilan memasukkan hanya Sutta-Sutta, sedangkan yang berunsur dua belas memasukkan Vinaya dan Abhidhamma juga.

Kerancuan klasifikasi ini mencerminkan cara yang mengagumkan Vinaya-Vinaya mencampurkan hagiografis (riwayat hidup orang suci) dan prosa. Sebagai contoh locus classicus [bacaan standar yang sering dikutip sebagai ilustrasi] untuk apadāna, Mahāpadāna Sutta, walaupun bersifat hagiografis, juga memasukkan beberapa bahan narasi yang sama dengan Vinaya, yang menyatakan ia dapat dianggap, bersama dengan Mahā Parinibbāna Sutta dan Catuṣpariṣat Sūtra, menempati posisi yang rancu antara Dhamma dan Vinaya. Tiga teks ini membentuk dasar bagi semua riwayat hidup Sang Buddha yang belakangan, seperti Mahāvastu yang terkenal dari Mahāsaṅghika Lokuttaravāda, sebuah teks yang sering menggunakan kata avadāna, memasukkan banyak avadāna dan kadang bernada agar ditunjuk sebagai Mahāvastu-avadāna.  Sebuah apadāna adalah sebuah kisah yang membentuk suatu perumpamaan atau kiasan; dengan kata lain, suatu kisah yang menunjuk pada realitas yang lebih besar di luar hanya peristiwa-peristiwa yang dicatat, khususnya, suatu kisah yang membentuk paradigma spiritual untuk diteladani. Dalam hal ini, kisah hidup Sang Buddha sendiri, “Apadāna Agung”, menetapkan bentuk untuk semua yang mengikuti. Kesejajaran antara kehidupan-kehidupan semua Buddha menandai tema dari pola yang berulang, pilihan etis yang berulang-ulang, untuk kebaikan atau kejelekan, yang diikuti oleh akibat-akibat yang tidak dapat dihindari, berputar-putar pada sepanjang kelahiran dan kematian dari berbagai zaman. Kita memiliki versi-versi dari kisah ini dalam beberapa turunan, masing-masing berbeda dengan yang lainnya dalam kelimpahan dari detail dan pembesaran sulaman yang mulia dan ajaib. Keterangan tambahan yang menakjubkan disorot pada antarhubungan antara kisah-kisah ini oleh tanda penerbit pada akhir Abhiniśkramana Sūtra, yang diterjemahkan di bawah judul The Romantic Legend of Sakya Buddha:

“Mungkin ditanyakan: ‘Dengan judul apa kitab ini disebut?’ di mana kita menjawab, Mahāsaṅghika menyebutnya ‘Mahāvastu’’”; Sarvāstivādin menyebutnya ‘Mahā Lalitavistara’; Kaśyapīya menyebutnya ‘Buddha-jātakanidāna’; Dharmaguptaka menyebutnya ‘Śakyamuni-buddhacarita’; Mahīśāsaka menyebutnya ‘Vinaya-piṭaka-mūla’.”[20]

Demikianlah masing-masing aliran memiliki versinya sendiri, yang hanyalah variasi pada tema yang sama. Abhiniśkramana Sūtra memasukkan beberapa pernyataan, mungkin oleh para penerjemah yang belakangan, pada beberapa dari variasi ini. Sebagai contoh, mengenai pertanyaan penting tentang seberapa jauh kuda Bodhisatta berjalan pada malam beliau meninggalkan istana; teks itu mengatakan dua league, Mahāsaṅghika mengatakan dua belas, tetapi Theravādin mengatakan seratus.[21] “Kisah Agung” Sang Buddha menjadi subjek perluasan hampir sama tidak terbatasnya dengan lingkaran samsara, dan tetapi bahkan dalam versi-versi yang paling rinci, ajaran-ajaran dasar, seperti Dhammacakkappavattana Sutta, berulang dalam bentuk yang hampir sama, seperti gumpalan kecil emas yang tercuci sepanjang arus sungai; arus itu sendiri terus-menerus berubah, walau tetap secara kasar aliran yang sama, tetapi gumpalan itu tetap tidak bernoda dan sangat lambat untuk berubah. Sebagai suatu gaya kesusasteraan, ini lagi-lgi dapat dibandingkan dengan beberapa aṅga lain yang telah kita bahas di atas. Aturan-aturan Pāṭimokkha yang membentuk inti Vinaya, sebagai contoh, dalam Vinaya-Vinaya yang ada, ditempelkan dalam kisah-kisah awal mula (nidāna). Tetapi sementara aturan-aturan hampir identik dalam semua Vinaya yang ada, kita menemukan banyak variasi; menyelidiki Bhikkhunī Vinaya Lokuttaravāda, saya terkejut menemukan bahwa kebanyakan kisah awal mula tidak mungkin berbagi unsur-unsur bersama. Kita telah mencatat suatu keadaan yang sejajar yang didapatkan dalam kasus syair-syair; kebanyakan kumpulan syair - Dhammapāda, Jātaka, Udāna – muncul dengan kisah-kisah latar belakang mereka sendiri, tetapi sementara kisah-kisah dan syair-syair mungkin berasal dari masa yang sama, adalah syair-syair yang sudah ditetapkan dalam bentuk yang sekarang lebih awal, menempel dalam suatu tubuh prosa dengan fleksibilitas yang berbeda.

4.2 Sutta, Geyya, Vyākaraṇa

Maka tidak ada alasan yang sangat kuat untuk menerima pandangan bahwa aṅga-aṅga hanyalah gaya sastra alih-alih tubuh-tubuh kitab yang diorganisasir. Banyak dari aṅga-aṅga yang belakangan dapat dihubungkan dengan cara yang sama dengan judul-judul teks-teks yang masih ada. Bahkan dalam kasus dari istilah-istilah tersebut yang bukan judul dari kitab-kitab yang berdiri sendiri, seperti vedalla dan abbhūtadhamma, teks-teks yang relevan secara wajar dan konsisten dikumpulkan bersama dalam kumpulan-kumpulan yang ada. Mereka telah dengan jelas menggunakan pengaruh struktural pada kanon-kanon yang ada, yang cenderung dikelompokkan bersama dalam kumpulan-kumpulan yang lebih besar. Tubuh-tubuh teks yang dikenali demikian secara alami akan berkembang ke dalam kitab-kitab yang berbeda.

Karena ini adalah kasusnya dengan aṅga-aṅga yang belakangan, tiga aṅga pertama juga mulanya telah menjadi kelompok-kelompok teks  yang dapat dikenali, bagian-bagian yang berbeda dalam suatu kerangka yang lebih besar. Mempertimbangkan konservatisme dari literatur agama pada umumnya, dan Buddhisme pada khususnya, sangat tidak mungkin bahwa tidak ada sisa-sisa dari struktur ini dipertahankan dalam kanon-kanon yang ada.

Terdapat alasan-alasan yang bagus untuk memperlakukan tiga aṅga pertama sebagai yang berbeda dari, dan lebih awal daripada, aṅga-aṅga yang belakangan. Yin Shun menunjukkan bahwa Mahā Suññatā Sutta, dalam versi Sarvāstivāda dan Theravāda, memberikan daftar hanya tiga yang pertama: sutta, geyya, vyākaraṇa.[22] Ia mengambil ini untuk menunjukkan bahwa tiga ini adalah secara historis yang paling awal. Mempertimbangkan kekonsistenan dengan mana teks-teks Theravāda memperlakukan aṅga-aṅga, kemunculan tiga aṅga itu sendiri dalam Mahā Suññatā Sutta sesungguhnya membutuhkan penjelasan. Terjemahan Tibet di sini memiliki daftar yang biasa dari dua belas, yang, seperti yang dicatat penerjemah Peter Skilling, membuktikan suatu tahap yang belakangan dalam perkembangan dalam aṅga-aṅga.[23] Di sini paragraf yang relevan dari teks Pali.

“Ānanda, tidak layak bagi seorang siswa untuk mengikuti seorang Guru untuk kepentingan sutta-sutta, geyya-geyya, and vyākaraṇa-vyākaraṇa.[24] Mengapa demikian? Selama waktu yang lama, Ānanda, kamu telah mempelajari ajaran-ajaran, mengingatnya, membacakannya secara verbal, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik dengan pandangan. Tetapi pembicaraan demikian seperti yang berhubungan dengan pelenyapan, seperti yang mendukung kebebasan dari rintangan-rintangan batin, dan membawa pada kejijikan, memudarnya, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana; yaitu, pembicaraan pada keinginan hal-hal kecil, tentang kepuasan, pengasingan, menjauhkan diri dari masyarakat, membangkitkan semangat, etika, samādhi, pemahaman, pembebasan, pengetahuan dan pandangan dari pembebasan – untuk pembicaraan demikian, seorang siswa seharusnya mengikuti seorang Guru bahkan jika ia diminta untuk pergi menjauh.”

Di sini tiga aṅga jelas menunjuk pada sekumpulan kitab yang telah terformalisasi. Dicatat kerancuan: ini adalah referensi khas pada pembelajaran formal atas Dhamma dalam kotbah-kotbah awal; pembelajaran didorong, tetapi bukan sebagai akhir itu sendiri. Bacaan-bacaan demikian, yang sangat umum, mungkin mendahului penyusunan Tipitaka di Sri Lanka, karena di sana Sangha memutuskan bahwa kitab muncul sebelum praktek.[25] Mereka tidak menemukan bacaan-bacaan demikian yang bersifat kritis atas posisi mereka sendiri; dalam kenyataanya sangat mengagumkan bahwa mereka mempertahankan sangat banyak bacaan yang secara tegas menempatkan praktek di atas kitab suci. Penyebutan hubungan erat Yang Mulia Ānanda dengan tiga aṅga di sini membangkitkan minat; Dhamma yang dipelajari olehnya adalah sutta, geyya, dan vyākaraṇa. Mempertimbangkan bahwa tradisi-tradisi menganggap Ānanda sebagai peran utama dalam membacakan Dhamma pada Konsili Pertama, ini adalah suatu indikasi bahwa Dhamma yang disusun di sana mungkin telah mengandung tiga aṅga ini.

Bukti yang lebih jauh datang dari Mahā Parinirvāṇa Sūtra Sanskrit, yang telah diterbitkan sebagai suatu versi lengkap yang telah direkonstruksi, dan suatu penggalan sebagian. Daftar dari dua belas aṅga muncul dalam versi lengkap dan sebagian, dan walaupun pembacaan berbeda sedikit, dalam kedua kasus tiga yang pertama muncul dalam bentuk turunan, sebagai kata-kata individual, sedangkan aṅga-aṅga sisanya dikelompokkan semuanya bersama dalam suatu kata majemuk yang panjang: sūtraṁ geyaṁ vyākaraṇaṁ gāthodānanidānavadānetivṛttakajātakavaipulyādbhutadharmopadeśāḥ.[26] Ini sangat tampak seakan-akan daftar awal mula dari tiga dilengkapi kemudian. Ciri khas yang persis sama muncul dua kali dalam suatu daftar Sanskrit dari dua belas aṅga dalam Śrāvakabhūmi dari Yogacārabhūmiśāstra oleh Asaṅga.[27] Teks ini kemudian beberapa kali memberikan hanya tiga yang pertama, dan kemudian hanya mengatakan bahwa daftar itu seharusnya diperluas seperti sebelumnya.[28] Kejelasan dari tiga yang pertama juga dinyatakan dalam cara Asaṅga berkomentar tentang ketiganya. Dalam Śrāvakabhūmi dan Abhidharmasamuccaya ia mengatakan geyya adalah “sutta-sutta yang membutuhkan penjelasan lebih jauh”, dan vyākaraṇa adalah “sutta-sutta yang telah dijelaskan sepenuhnya”.[29] Ini memperlakukan keduanya sebagai pasangan yang berhubungan erat; penjelasan itu sangat dekat pada penafsiran kita atas istilah-istilah ini.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:38:00 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa