//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA  (Read 13447 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« on: 27 January 2013, 03:07:29 AM »
[101]BUKU KELOMPOK TIGA

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #1 on: 27 January 2013, 03:08:23 AM »
LIMA PULUH PERTAMA

I. SI DUNGU

1 (1) Bahaya

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bahaya apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Bencana apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Kemalangan apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Seperti halnya api yang memercik dalam sebuah rumah yang terbuat dari tanaman rambat atau rerumputan akan membakar bahkan sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup; demikian pula, bahaya apa pun yang muncul … semuanya muncul karena si dungu, bukan karena orang bijaksana. (1) Demikianlah, para bhikkhu, si dungu membawa bahaya, orang bijaksana tidak membawa bahaya; (2) si dungu membawa bencana, orang bijaksana tidak membawa bencana; (3) si dungu membawa kemalangan, orang bijaksana tidak membawa kemalangan. Tidak ada bahaya dari orang bijaksana; tidak ada bencana dari orang bijaksana; tidak ada kemalangan dari orang bijaksana.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [102]

2 (2) Karakteristik

“Para bhikkhu, si dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; orang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya. Kebijaksanaan bersinar dalam manifestasinya.<339>

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu. Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

3 (3) Berpikir

“Para bhikkhu, si dungu memiliki tiga katakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang dungu, manifestasi seorang dungu.<340> Apakah tiga ini? Di sini, seorang dungu berpikir buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk. Jika si dungu tidak berpikir buruk, tidak berbicara buruk, dan tidak bertindak buruk, bagaimanakah orang-orang bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang jahat’? Tetapi karena si dungu berpikir buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk, maka orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang jahat.’ Ini adalah tiga karakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang dungu, manifestasi seorang dungu.

“Orang bijaksana memiliki tiga katakteristik seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bijaksana berpikir baik, berbicara baik, dan bertindak baik. Jika orang bijaksana itu tidak berpikir baik, tidak berbicara baik, dan tidak bertindak baik, bagaimanakah orang-orang bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang baik’? [103] Tetapi karena orang bijaksana itu berpikir baik, berbicara baik, dan bertindak baik, maka orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang baik’.’ Ini adalah tiga karakteristik seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … [seperti dalam 3:2] … Demikianlah kalian harus berlatih.”<341>


4 (4) Pelanggaran

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? (1) Ia tidak melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran. (2) Jika ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, ia tidak memperbaikinya sesuai Dhamma. (3) Jika orang lain mengakui suatu pelanggaran kepadanya, ia tidak menerimanya sesuai Dhamma. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? (1) Ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran. (2) Jika ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, ia memperbaikinya sesuai Dhamma. (3) Jika orang lain mengakui suatu pelanggaran kepadanya, ia menerimanya sesuai Dhamma. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

5 (5) Dengan Tidak Hati-hati

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? (1) Ia menyusun pertanyaan dengan tidak hati-hati; (2) ia menjawab pertanyaan dengan tidak hati-hati. (3) Ketika orang lain menjawab sebuah pertanyaan dengan hati-hati, dengan kata-kata dan frasa yang tersusun dengan baik dan masuk akal, ia tidak menyetujuinya. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? (1) Ia menyusun pertanyaan dengan hati-hati; (2) ia menjawab pertanyaan dengan hati-hati. (3) Ketika orang lain menjawab sebuah pertanyaan dengan hati-hati, dengan kata-kata dan frasa yang tersusun dengan baik dan masuk akal, ia menyetujuinya. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

6 (6) Tidak Bermanfaat

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? [104] Perbuatan tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan tidak bermanfaat melalui ucapan, perbuatan tidak bermanfaat melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? [104] Perbuatan bermanfaat melalui jasmani, perbuatan bermanfaat melalui ucapan, perbuatan bermanfaat melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

7 (7) Tercela

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, perbuatan tercela melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan tanpa cela melalui jasmani, perbuatan tanpa cela melalui ucapan, perbuatan tanpa cela melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

8 (8 ) Menyakitkan

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan yang menyakitkan melalui jasmani, perbuatan yang menyakitkan melalui ucapan, perbuatan yang menyakitkan melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang tidak menyakitkan melalui jasmani, perbuatan yang tidak menyakitkan melalui ucapan, perbuatan yang tidak menyakitkan melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [105]

9 (9) Celaka

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.

10 (10) Noda-noda

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas dan tanpa meninggalkan tiga noda, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Seseorang tidak bermoral dan tidak meninggalkan noda ketidak-bermoralan. (2) Seorang iri dan tidak meninggalkan noda ke-iri-an. (3) Seorang kikir dan tidak meninggalkan noda kekikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini dan tanpa meninggalkan tiga noda ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas dan telah meninggalkan tiga noda, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Seseorang bermoral dan telah meninggalkan noda ketidak-bermoralan. (2) Seorang tidak iri dan telah meninggalkan noda ke-iri-an. (3) Seorang tidak kikir dan telah meninggalkan noda kekikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini dan telah meninggalkan tiga noda ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

II. PEMBUAT KERETA

11 (1) Terkenal

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah tiga ini? Ia mendorong perbuatan yang bertentangan melalui jasmani, perbuatan yang bertentangan melalui ucapan, dan perbuatan yang bertentangan melalui pikiran.<342> Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah tiga ini? Ia mendorong perbuatan yang sesuai melalui jasmani, perbuatan yang sesuai melalui ucapan, dan perbuatan yang sesuai melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu terkenal bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

12 (2) Untuk  Diingat

“Para bhikkhu, ada tiga [tempat] ini yang harus diingat seumur hidup oleh seorang raja khattiya yang sah. Apakah tiga ini? (1) Yang pertama adalah tempat di mana ia dilahirkan. (2) yang ke dua adalah tempat ia dilantik menjadi seorang raja khattiya. (3) Dan yang ke tiga adalah tempat di mana, setelah memenangkan peperangan, ia keluar sebagai pemenang di depan medan peperangan. Ini adalah tiga [tempat] yang harus diingat seumur hidup oleh seorang raja khattiya yang sah. [107]

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga [tempat] ini yang harus diingat seumur hidup oleh seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Yang pertama adalah tempat di mana ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. (2) Yang ke dua adalah tempat di mana ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ (3) Dan yang ke tiga adalah tempat di mana, dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<343> Ini adalah tiga [tempat] yang harus diingat seumur hidup oleh seorang bhikkhu.”

13 (3) Seorang Bhikkhu

“Para bhikkhu, ada tiga jenis individu ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – sebuah keluarga caṇḍala, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga<344> - seorang yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, tidak menarik untuk dilihat, cebol, dengan banyak penyakit: buta, timpang, pincang, atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung-kalung bunga, bau-bauan, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia mendengar: ‘Para khattiya telah melantik khāttiya itu.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ ini disebut orang tanpa pengharapan.

(2) “Dan apakah orang yang penuh pengharapan? [108] Di sini, putera tertua dari seorang raja khattiya yang sah, seorang yang pasti dilantik tetapi masih belum dilantik, telah mencapai ketidak-goyahan.<345> Ia mendengar: ‘Para khattiya telah melantik khāttiya itu.’ Ia berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ ini disebut orang yang penuh pengharapan.

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang raja khattiya yang sah mendengar: ‘Khattiya itu telah dilantik oleh para khattiya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ karena alasan apakah? Karena pengharapan masa lalunya agar dilantik telah memudar ketika ia dilantik. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis individu ini terdapat di dunia ini.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga jenis orang terdapat di antara para bhikkhu. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seseorang adalah tidak bermoral, berkarakter buruk, berperilaku tidak murni dan mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ ini disebut orang yang tanpa pengharapan.

(2) Dan apakah orang yang penuh pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral, berkarakter baik. Ia [109] mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ ini disebut orang yang penuh pengharapan.

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ karena alasan apakah? Karena pengharapan kebebasannya di masa lalu telah memudar ketika ia terbebaskan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis orang itu terdapat di antara para bhikkhu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #2 on: 27 January 2013, 03:10:03 AM »
14 (4) Pemutar-Roda

“Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, tidak memutar roda tanpa raja di atasnya.

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Bhante, siapakah raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma?”

“Yaitu Dhamma, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata.<346> “Di sini, bhikkhu, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para penduduk di wilayahnya. Kemudian, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, yang hanya mengandalkan Dhamma, yang menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, yang menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, yang memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para pengikut khattiya-nya, bala tentaranya, [110] para brahmana, dan para perumah tangga, para penduduk pemukiman dan desa, para petapa dan brahmana, dan binatang-binatang and burung-burung. Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian kepada semua makhluk-makhluk ini, ia memutar roda hanya melalui Dhamma,<347> sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia jahat mana pun juga.<348>

(1) “Demikian pula, bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan jasmani, dengan mengatakan: ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih; perbuatan jasmani demikian tidak boleh dilatih.’

(2) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan ucapan, dengan mengatakan: ‘Perbuatan ucapan demikian harus dilatih; perbuatan ucapan demikian tidak boleh dilatih.’

(3) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan pikiran, dengan mengatakan: ‘Perbuatan pikiran demikian harus dilatih; perbuatan pikiran demikian tidak boleh dilatih.

“Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian sehubungan dengan perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik memutar roda Dhamma yang tiada bandingnya hanya melalui Dhamma, sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun di dunia.”

15 (5) Pacetana <349>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, di masa lalu ada seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang pembuat kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan mulai sekarang akan ada sebuah peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?” – “Dapat, Baginda,” pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si pembuat kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada si pembuat kereka: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah sepasang roda itu telah selesai? [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu enam bulan kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu roda.’ – ‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke dua untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta menyelesaikan roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana dan berkata: ‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu, Baginda.’ – ‘Apakah perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang memakan enam hari untuk diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun antara keduanya.’ – ‘Ada sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’

“Kemudian si pembuat kereta menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya,<350> dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.<351>

“[Kemudian raja bertanya:] ‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’

“[Si pembuat kereta menjawab:] ‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.’

“Mungkin saja, para bhikkhu, kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, (1) Terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; (3) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan tetap berdiri].

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

16 (6) Tidak keliru

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu mempraktikkan jalan yang tidak keliru dan telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.<352> Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria, menjalankan praktik makan secukupnya, dan menekuni keawasan.<353>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria? Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, maka ia mempraktikkan pengendaliannya terhadapnya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah menciaum suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengetahui suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerbunya, maka ia mempraktikkan pengendaliannya terhadapnya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Demikianlah seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria. [114]

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menjalankan praktik makan secukupnya? Di sini, dengan merefleksikan secara seksama, seorang bhikkhu memakan makanannya bukan demi kesenangan juga bukan demi kemabukan juga bukan demi kecantikan fisik dan kemenarikan, melainkan hanya untuk mendukung dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Demikianlah aku akan menghentikan perasaan lama dan tidak membangkitkan perasaan baru, dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Demikianlah seorang bhikkhu menjalankan praktik makan secukupnya.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menekuni keawasan? Di sini, selama siang hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Pada jaga pertama malam hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Pada jaga pertengahan malam hari, ia berbaring pada sisi kanan dalam postur singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah mencatat dalam pikirannya gagasan untuk terjaga. Setelah terjaga, pada jaga terakhir malam hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Demikianlah seorang bhikkhu menekuni keawasan.

“Seorang bhikkhu yang memiliki tiga kualitas ini mempraktikkan jalan yang tidak keliru dan telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.”

17 (7) Diri Sendiri

“Para bhikkhu, tiga kualitas ini mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Ketiga kualitas ini mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya.

“Tiga kualitas [lainnya] ini tidak mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Ketiga kualitas ini tidak mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya.” [115]

18 (8 ) Deva

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian sebagai berikut: ‘Sahabat-sahabat, apakah kalian menjalani kehidupan spiritual di bawah Petapa Gotama demi kelahiran kembali di alam deva?’ tidak kah kalian merasa muak, malu, dan jijik?”

“Benar, Bhante.”

“Demikianlah, para bhikkhu, karena kalian merasa muak, malu, dan jijik dengan umur kehidupan surgawi, keindahan surgawi, kebahagiaan surgawi, keangungan surgawi, dan kekuasaan surgawi, sedemikian maka kalian harus merasa muak, malu, dan jijik sehubungan dengan perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran.

19 (9) Penjaga Toko (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tidak tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermafaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai. [116]

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermafaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai.”

20 (10) Penjaga Toko (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1)  “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang penjaga toko mengetahui suatu barang: ‘Jika baarng ini dibeli dengan harga ini dan dijual dengan harga itu, maka barang ini memerlukan modal sebesar ini dan menghasilkan keuntungan sebesar itu.’ Demikianlah seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko bertanggung jawab? Di sini, seorang penjaga toko terampil dalam membeli dan menjual barang-barang. Demikianlah seorang penjaga toko bertamggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko memiliki penyokong? [117] Di sini, para perumah tangga dan para putera perumah tangga yang kaya, dengan kekayaan berlimpah mengenalinya sebagai berikut: ‘Penjaga toko yang baik ini memiliki mata yang tajam dan bertanggung jawab; ia mampu menyokong istri dan anak-anaknya dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’ Maka mereka menyimpan kekayaan mereka padanya, dengan berkata: ‘Setelah memperoleh kekayaan dengan ini, sahabat penjaga toko, sokonglah istri dan anak-anakmu dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’

“Dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1) “Dan bagaimanakah, seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Demikianlah seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu bertanggung jawab? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan memperoleh kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha keras, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Demikianlah seorang bhikkhu bertanggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penyokong? Di sini, dari waktu ke waktu seorang bhikkhu mendatangi para bhikkhu yang terpelajar, pewaris warisan pusaka, ahli-ahli Dhamma, ahli-ahli disiplin, ahli-ahli penjelasan-penjelasan,<354> dan mempertanyakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Kemudian para mulia itu mengungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang samar-samar, dan menghalau kebingungan tentang berbagai hal membingungkan. Demikianlah seorang bhikkhu memiliki penyokong. [118]

“Dengan memiliki tiga kualitas ini, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas besar dan berlimpah.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #3 on: 27 January 2013, 03:11:40 AM »
III. ORANG-ORANG

21 (1) Saviṭṭha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Saviṭṭha:

“Sahabat Saviṭṭha, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Saksi tubuh, seorang yang mencapai pandangan, dan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan.<355> Ini adalah ketiga jenis orang yang terdapat di dunia ini. Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Sāriputta, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap seorang yang terbebaskan melalui keyakinan adalah yang paling baik dan mulia.<356> Karena alasan apakah? Karena indria keyakinan orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat Koṭṭhita, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini … [119] Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Sāriputta, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap saksi tubuh adalah yang paling baik dan mulia. Karena alasan apakah? Karena indria konsentrasi orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini … Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Koṭṭhita, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap seorang yang mencapai pandangan adalah yang paling baik dan mulia. Karena alasan apakah? Karena indria kebijaksanaan orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat-sahabat, kita masing-masing telah menjelaskan menurut teladan kita sendiri. Ayo, mari kita mendatangi Sang Bhagavā dan melaporkan hal ini kepada Beliau. Kita akan mengingatnya ketika Beliau menjelaskannya kepada kita.”

“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita menjawab. Kemudian Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [120] Kemudian Yang Mulia Sāriputta melporkan keseluruhan percakapan yang telah terjadi.

[Sang Bhagavā berkata:] “Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(1) “Karena adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang yang terbebaskan melalui keyakinan berlatih untuk mencapai Kearahattaan, sedangkan seorang saksi tubuh dan seorang yang mencapai pandangan adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(2) “Adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang saksi tubuh berlatih untuk mencapai Kearahattaan, sedangkan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan dan seorang yang mencapai pandangan adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(3) “Adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang yang mencapai pandangan berlatih untuk mencapai Kearahattaan,<357> sedangkan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan dan seorang saksi tubuh adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’”

22 (2) Pasien-pasien

“Para bhikkhu, ada tiga jenis pasien ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seorang pasien tidak akan sembuh dari penyakitnya apakah ia mendapatkan makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan perawat yang kompeten, atau tidak. (2) Pasien lainnya akan sembuh dari penyakitnya apakah ia mendapatkan makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan perawat yang kompeten, atau tidak. (3) Pasien lainnya lagi akan sembuh dari penyakitnya hanya jika ia mendapatkan makanan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan makanan yang sesuai; hanya jika ia mendapatkan obat-obatan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan obat-obatan yang sesuai; dan hanya jika ia mendapatkan seorang perawat yang kompeten, bukan jika ia tidak mendapatkan perawat yang kompeten.

“Makanan dan obat-obatan dan perawat yang kompeten diresepkan khusus untuk pasien yang akan sembuh dari penyakitnya hanya jika ia mendapatkan makanan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan makanan yang sesuai; hanya jika ia mendapatkan obat-obatan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan obat-obatan yang sesuai; dan hanya jika ia mendapatkan seorang perawat yang kompeten, bukan jika ia tidak mendapatkan perawat yang kompeten. Tetapi karena pasien ini, pasien-pasien lainnya harus dirawat juga. Ini adalah ketiga jenis pasien yang terdapat di dunia ini.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga jenis orang yang serupa dengan pasien-pasien ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seseorang tidak akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat apakah ia bertemu dengan Sang Tathāgata atau tidak dan apakah ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata atau tidak.<358> (2) Kemudian orang lainnya akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat apakah ia bertemu dengan Sang Tathāgata atau tidak dan apakah ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata atau tidak. (3) Dan orang lainnya lagi memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat hanya jika ia bertemu dengan Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak bertemu dengan Sang Tathāgata; hanya jika ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.  [122]

“Pengajaran Dhamma diresepkan khususnya untuk orang yang akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat hanya jika ia bertemu dengan Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak bertemu dengan Sang Tathāgata; hanya jika ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata. Tetapi karena orang ini, Dhamma juga harus diajarkan kepada orang-orang lainnya. Ini adalah ketiga jenis orang yang serupa dengan pasien-pasien yang terdapat di dunia ini.”

23 (3) Aktivitas-aktivitas Berkehendak.

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang menghasilkan aktivitas jasmani yang menyakitkan, aktivitas ucapan yang menyakitkan, dan aktivitas pikiran yang menyakitkan.<359> Sebagai akibatnya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan, kontak-kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti halnya makhluk-makhluk neraka.

(2)  “Seorang lainnya menghasilkan aktivitas jasmani yang tidak menyakitkan, aktivitas ucapan yang tidak menyakitkan, dan aktivitas pikiran yang tidak menyakitkan. Sebagai akibatnya, ia terlahir kembali di alam yang tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang tidak menyakitkan, kontak-kontak yang tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang  tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang tidak menyakitkan, sangat menyenangkan, seperti halnya para dewa dengan keagungan gemilang.<360>

(3) “Seorang lainnya lagi menghasilkan aktivitas jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai akibatnya, [123] ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, kontak-kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti halnya manusia, beberapa deva, dan beberapa makhluk di alam yang lebih rendah.<361>

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

24 (4) Membantu

“Para bhikkhu, tiga orang ini sangat membantu bagi orang lain. Siapakah tiga ini?

(1) “Orang yang melaluinya orang lain menjadi berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Orang ini sangat membantu bagi orang lain.

(2) “Kemudian, orang yang melaluinya orang lain memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Orang ini sangat membantu bagi orang lain.<362>

(3) “Kemudian, orang yang melaluinya, dengan hancurnya noda-noda, orang lain merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Orang ini sangat membantu bagi orang lain.

“Ketiga orang ini sangat membantu bagi orang lain.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa tidak ada orang lain yang lebih membantu bagi orang lain daripada ketiga orang ini. Aku katakan juga, bahwa tidaklah mudah untuk membalas ketiga orang ini dengan memberi penghormatan kepada mereka, dengan bangkit untuk mereka, dengan pemujaan, dengan perbuatan selayaknya, dan dengan mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan serta perlengkapan bagi yang sakit kepada mereka.”

25 (5) Berlian

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. [124] Siapakah tiga ini? Seorang yang pikirannya bagaikan luka terbuka, seorang yang pikirannya bagaikan kilat halilintar, dan seorang yang pikirannya bagaikan berlian.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang pikirannya bagaikan luka terbuka? Di sini, seseorang mudah marah dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula seseorang di sini mudah marah … dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Orang ini dikatakan memiliki pikiran yang bagaikan luka terbuka.

(2) “Dan apakah orang yang pikirannya bagaikan kilat halilintar? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Seperti halnya, dalam kegelapan malam, seseorang yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk melalui cahaya kilat halilintar, demikian pula seseorang di sini memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Orang ini dikatakan memiliki pikiran bagaikan kilat halilintar.

(3) “Dan apakah orang yang pikirannya bagaikan berlian? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Seperti halnya tidak ada apa pun yang tidak dapat dipotong oleh berlian, apakah permata atau batu, demikian pula, dengan hancurnya noda-noda, seseorang merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan … berdiam di dalamnya. Orang ini dikatakan memiliki pikiran bagaikan berlian.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

26 (6) Dijadikan Teman

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Ada orang yang tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; (2) orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; dan (3) [125] seorang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan.

(1) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang lebih rendah [daripada diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani, kecuali demi rasa simpati dan belas kasihan.

(2) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang serupa [dengan diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? [Karena ia mempertimbangkan:] ‘Karena kita setara dalam hal perilaku bermoral, maka kita akan berdiskusi tentang perilaku bermoral, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman. Karena kita setara dalam hal konsentrasi, maka kita akan berdiskusi tentang konsentrasi, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman. Karena kita setara dalam hal kebijaksanaan, maka kita akan berdiskusi tentang kebijaksanaan, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman.’ Oleh karena itu orang demikian harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(3) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan? Di sini, seseorang lebih tinggi [daripada diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan. Karena alasan apakah? [Karena ia mempertimbangkan:] ‘Dengan cara demikian maka aku akan memenuhi kelompok perilaku bermoral yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok perilaku bermoral yang telah kupenuhi. Aku akan memenuhi kelompok konsentrasi yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok konsentrasi yang telah kupenuhi. Aku akan memenuhi kelompok kebijaksanaan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok kebijaksanaan yang telah kupenuhi.’<363> Oleh karena itu orang demikian harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.” [126]

   Seorang yang bergaul dengan orang rendah akan mengalami kemunduran;
Seorang yang bergaul dengan orang yang setara tidak akan mengalami kemunduran;
Dengan melayani seorang yang tinggi, maka seseorang akan berkembang dengan cepat;
Oleh karena itu kalian harus mengikuti orang yang lebih tinggi daripada kalian.

27 (7) Kejijikan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Ada orang yang harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; (2) seorang yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; dan (3) seorang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(1) “Dan orang jenis apakah, para bhikkhu, yang harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Orang seperti ini harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? Walaupun seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita buruk tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang jahat, teman-teman yang jahat, kawan-kawan yang jahat.’ Seperti halnya seekor ular yang melintasi kotoran tinja, walaupun ular itu tidak menggigit, namun tetap akan berlumuran tinja, demikian pula, walaupun seseorang seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita buruk tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang jahat, teman-teman yang jahat, kawan-kawan yang jahat.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(2) Dan orang jenis apakah, para bhikkhu, yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang mudah marah   [127] dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula … seperti halnya sebuah lubang kotoran, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan menjadi berbau lebih busuk, demikian pula, seseorang di sini mudah marah dan … memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Ia akan menghinaku, memakiku, dan membahayakan aku.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(3) “Dan orang jenis apakah yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang adalah bermoral dan berkarakter baik. Orang seperti itu adalah yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? Walaupun seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita baik tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang baik, teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

[Syair terlampir identik dengan syair pada 3:26]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #4 on: 27 January 2013, 03:13:20 AM »
28 (8 ) Ucapan Bagaikan Kotoran

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia. [128] Apakah tiga ini? Seorang yang ucapannya bagaikan kotoran, seorang yang ucapannya bagaikan bunga, dan seorang yang ucapannya bagaikan madu.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang ucapannya bagaikan kotoran? Di sini, jika ia dipanggil oleh suatu dewan, oleh suatu pertemuan, oleh kumpulan sanak-saudaranya, oleh perkumpulannya, atau oleh suatu sidang pengadilan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, orang ini mengatakan, ‘Aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat.’ Demikianlah ia dengan sadar mengucapkan kebohongan demi kepentingan dirinya sendiri, atau demi kepentingan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi.<364> Ini disebut orang yang ucapannya bagaikan kotoran.

(2) “Dan apakah orang yang ucapannya bagaikan bunga? Di sini, jika ia dipanggil oleh suatu dewan, oleh suatu pertemuan, oleh kumpulan sanak-saudaranya, oleh perkumpulannya, atau oleh suatu sidang pengadilan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, orang ini mengatakan, ‘Aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat.’ Demikianlah ia tidak dengan sadar mengucapkan kebohongan demi kepentingan dirinya sendiri, atau demi kepentingan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ini disebut orang yang ucapannya bagaikan bunga.

(3) “Dan apakah orang yang ucapannya bagaikan madu? Di sini, seseorang, setelah meninggalkan ucapan kasar, menghindari ucapan kasar. Ia mengucapkan kata-kata yang halus, menyenangkan di telinga, dan memikat, yang masuk ke dalam hati, sopan, disukai oleh banyak orang, dan menyenangkan banyak orang. Ini adalah orang yang ucapannya bagaikan madu.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

29 (9) Buta

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Orang buta, orang bermata satu, dan orang bermata dua.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang buta? Di sini, seseorang tidak memiliki jenis mata [129] yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, dan ia juga tidak memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang buta.

(2) “Dan apakah orang bermata satu? Di sini, seseorang memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, tetapi ia tidak memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang bermata satu.

(3) “Dan apakah orang bermata dua? Di sini, seseorang memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, dan ia juga memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang bermata dua.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia.”

   Ia tidak memiliki kekayaan,
   Juga tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa;
   Si orang buta tanpa mata
   Melemparkan lemparan tidak beruntung dalam kedua sisi.

   Orang yang digambarkan sebagai bermata satu.
   Adalah seorang munafik yang mencari kekayaan,
   [kadang-kadang] dengan cara yang baik
   [dan kadang-kadang] dengan cara yang tidak baik.

   Keduanya dengan tindakan-tindakan mencuri dan menipu
   Dan dengan ucapan-ucapan dusta
   Orang itu yang menikmati kenikmatan indria
   Mahir dalam menimbun kekayaan.
   Setelah pergi dari sini menuju neraka,
   Orang bermata satu itu disiksa.

   Seorang bermata dua dikatakan sebagai
   Orang dari jenis terbaik.
   Kekayaannya<365> diperoleh melalui usahanya sendiri,
   Dengan benda-benda yang diperoleh dengan jujur. [130]

   Kemudian dengan kehendak terbaik ia memberi
   Orang ini dengan pikiran yang tidak terbagi
   Ia pergi menuju [kelahiran kembali dalam] alam yang baik
   Di mana, setelah pergi, ia tidak bersedih.

   Seseorang dari jauh harus menghindari
   Si orang buta dan orang bermata satu,
   Tetapi harus berteman dengan orang bermata dua,   
   Orang dari jenis terbaik.


30 (10) Terbalik

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Orang dengan kebijaksanaan terbalik, orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan, dan orang dengan kebijaksanaan luas.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang dengan kebijaksanaan terbalik? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Setelah ia bangkit dari duduknya, ia masih tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika sebuah kendi yang dibalikkan, maka air yang telah dituangkan ke dalamnya akan tumpah dan tidak tinggal di sana, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Setelah ia bengkit dari duduknya, ia masih tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan terbalik.

(2) “Dan apakah orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Tetapi setelah ia bangkit dari duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika seseorang meletakkan berbagai bahan makanan yang ditebarkan di atas pangkuannya – biji wijen, beras, kue, dan jujube – jika ia tidak penuh perhatian ketika bangkit dari duduknya, [131] maka ia akan membuatnya jatuh berserakan, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Tetapi setelah ia bengkit dari duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan.

(3) “Dan apakah orang dengan kebijaksanaan luas? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Setelah ia bangkit dari duduknya, sekali lagi ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika sebuah kendi diletakkan dalam posisi tegak, maka air yang dituangkan ke dalamnya akan tetap berada di sana dan tidak tumpah, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Setelah ia bangkit dari duduknya, sekali lagi ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan luas.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

   Orang dengan kebijaksanaan terbalik,
Bodoh dan tidak melihat,
Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Namun orang ini tidak menangkap
Apa pun dari khotbah itu,
Pada awal, pertengahan, dan akhirnya,
Karena ia sama sekali tanpa kebijaksanaan.

Orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan
Dikatakan lebih baik daripada yang sebelumnya.
Ia juga Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Ketika ia sedang duduk di sana,
Ia menangkap kata-kata dari khotbah tersebut,
Pada awal, pertengahan, dan akhirnya.
Tetapi setelah bangkit, ia tidak lagi memahami,
Melainkan melupakan apa yang telah ia pelajari.

Orang dengan kebijaksanaan luas
Dikatakan sebagai yang terbaik di antara ketiga ini.
Ia juga Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Ketika ia sedang duduk di sana,
Ia memahami kata-kata dari khotbah tersebut,
Pada awal, pertengahan, dan akhir
Dari khotbah [yang dibabarkan oleh bhikkhu].

Orang dengan kehendak terbaik,
Pikirannya tidak terbagi, mengingat [apa yang telah ia pelajari].
Mempraktikkan sesuai Dhamma,
Ia dapat mengakhiri penderitaan. [132]


IV. UTUSAN SURGAWI

31 (1) Brahmā

(1) “Para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam bersama Brahmā ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (2) keluarga-keluarga itu berdiam bersama guru-guru pertama ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (3) keluarga-keluarga itu berdiam bersama yang-layak-menerima-pemberian ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

“’Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan bagi ibu dan ayah. ‘Guru-guru pertama’ adalah sebutan bagi ibu dan ayah. ‘Yang-layak-menerima-pemberian’ adalah sebutan bagi ibu dan ayah. Karena alasan apakah? Ibu dan ayah sangat membantu bagi anak-anak mereka. Mereka membesarkan mereka, memelihara mereka, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

   Ibu dan ayah disebut “Brahmā”
   Dan juga “guru-guru pertama.”
   Mereka layak menerima pemberian dari anak-anak mereka,
   Karena mereka memiliki belas kasihan terhadap keturunan mereka.

   Oleh karena itu seorang bijaksana harus menghormati mereka,
Dan memperlihatkan penghormatan selayaknya,
Melayani mereka dengan makanan dan minuman,
Dengan pakaian dan tempat tidur,
Dengan memijat dan memandikan mereka,
Dan dengan mencuci kaki mereka.

Karena pelayanan ini
Kepada ibu dan ayah,
Orang bijaksana dipuji di dunia ini
Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.

32 (2) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga (1) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; (2) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan (3) ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya?”<366>

“Dapat, Ānanda.”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai kondisi konsentrasi demikian?” [133]

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berpikir sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya. Dan adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku berkata kepada Pārāyana, dalam “Pertanyaan Puṇṇaka’:<367>

   “Setelah memahami ketinggian dan kerendahan dalam dunia,
   Ia tidak terganggu oleh apa pun di dunia.
   Damai, tanpa kabut, tidak terganggu, tanpa keinginan,
   Ia, Aku katakan, telah menyeberangi kelahiran dan usia tua.”

33 (3) Sāriputta <368>

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Sāriputta, Aku dapat mengajarkan Dhamma secara ringkas; Aku dapat mengajarkan Dhamma secara terperinci; Aku dapat mengajarkan Dhamma baik secara ringkas maupun secara terperinci. Mereka yang dapat memahaminya adalah sedikit.

“Sekarang adalah waktunya untuk ini, Sang Bhagavā. Sekarang adalah waktunya untuk ini, Yang Berbahagia. Sang Bhagavā harus megajarkan Dhamma secara ringkas; Beliau harus mengajar Dhamma secara terperinci; Beliau harus mengajar Dhamma baik secara ringkas maupun secara terperinci. Akan ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.”

“Oleh karena itu, Sāriputta, engkau harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘tidak akan ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; (2) tidak akan ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan (3) kami akan masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah, Sāriputta, engkau harus berlatih.

“Ketika, Sāriputta, seorang bhikkhu [134] tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; ketika ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan ketika ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belengu, dan, dengan sepenuhnya mematahkan keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan. Dan adalah sehubungan dengan ini maka Aku berkata dalam Pārāyana, dalam ‘Pertanyaan Udaya’:<369>

“Ditinggalkannya baik
Persepsi-persepsi indria maupun kesedihan;
Dihilangkannya ketumpulan,
Diusirnya penyesalan;<370>

“Keseimbangan dan perhatian yang murni
Didahului oleh refleksi pada Dhamma:
Ini, Aku katakan, adalah kebebasan melalui pengetahuan akhir,
Hancurnya ketidak-tahuan.”<371>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #5 on: 27 January 2013, 03:14:35 AM »
34 (4) Penyebab-penyebab

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Keserakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; kebencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; delusi adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui keserakahan, muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, berasal-mula dari keserakahan, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.<372>

(2) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui kebencian, muncul dari kebencian, disebabkan oleh kebencian, berasal-mula dari kebencian, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

(3) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, [135] adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

“Misalkan, para bhikkhu, benih-benih masih utuh, murni, tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, disimpan dengan baik, ditanam di tanah yang dipersiapkan dengan baik di lahan yang baik dan menerima curah hujan yang cukup: dengan cara ini, benih-benih itu akan tumbuh, menjadi besar, dan matang. Demikian pula,  Kamma apa pun juga yang dirancang melalui keserakahan … kebencian … delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lain] bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Ketidak-serakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; ketidak-bencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; ketidak-delusian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-serakahan, muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, berasal-mula dari ketidak-serakahan, ditinggalkan ketika keserakahan telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.<373>

(2) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-bencian, muncul dari ketidak-bencian, disebabkan oleh ketidak-bencian, berasal-mula dari ketidak-bencian, ditinggalkan ketika kebencian telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

(3) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, ditinggalkan ketika delusi telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Misalkan, para bhikkhu, benih-benih masih utuh, murni, [136] tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, disimpan dengan baik. Kemudian seseorang membakarnya dalam api, mengubahnya menjadi abu, dan menebarkan abunya dalam angin kencang atau membiarkannya dihanyutkan oleh arus sungai. Dengan cara ini, benih-benih itu akan terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Demikian pula, Kamma apa pun juga yang dirancang melalui ketidak-serakahan … ketidak-bencian … ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, ditinggalkan ketika delusi telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.”

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.”

   Kamma apa pun [yang telah dilakukan] oleh seorang dungu
   Muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi,
Apakah apa yang dirancang olehnya sedikit atau banyak,
Harus dialami di sini:
Tidak ada tempat lain [baginya].<374>

Oleh karena itu orang bijaksna harus meninggalkan
[perbuatan apa pun] yang muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi.
Seorang bhikkhu, dengan memunculkan pengetahuan,
Harus meninggalkan semua takdir buruk.<375>

35 (5) Hatthaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Āḷavi di tumpukan dedaunan yang dihamparkan di atas jalan setapak sapi di hutan siṃsapā. Kemudian Hatthaka dari Āḷavi,<376> sewaktu sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga, melihat Sang Bhagavā duduk di sana. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, apakah Sang Bhagavā tidur nyenyak?”

“Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.”

“Tetapi, Bhante, malam-malam musim dingin sangat dingin. Sekarang adalah interval delapan hari, waktunya turun salju.<377> Tanah yang terinjak-injak oleh kaki sapi menjadi kasar, hamparan dedaunan ini tipis, [137] dedaunan di pepohonan menjadi jarang, jubah jingga membiarkan seseorang kedinginan, dan angin kencang bertiup dingin. Namun Sang Bhagavā berkata: ‘Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.’

“Baiklah, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan hal ini. Silakan engkau menjawab dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mungkin memiliki sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup. Di sana ia mungkin memiliki dipan berlapis permadani, selimut, dan penutup tempat tidur, dengan penutup yang baik terbuat dari kulit rusa, dengan kanopi di atas dan bantal guling merah di kedua sisi. Sebuah lampu minyak menyala dan keempat istrinya melayaninya dengan cara-cara yang sangat menyenangkan. Bagaimana menurutmu, apakah ia tidur nyenyak atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu sehubungan dengan hal ini?”

“Ia akan tidur nyenyak, Bhante. Ia akan menjadi adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.’

(1) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan nafsu demikian, memotongnya di akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.

(2) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari kebencian … (3) demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan delusi demikian, memotongnya di akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, [138] melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.”

   Ia selalu tidur nyenyak,
   Brahmana yang telah mencapai nibbāna,
   Sejuk, tanpa perolehan,
   Tidak ternoda oleh kenikmatan indria.

   Setelah memotong segala kemelekatan,
   Setelah melenyapkan kesedihan dalam pikiran,
   Yang damai tidur nyenyak,
   Setelah mencapai kedamaian pikiran.<378>

36 (6) Utusan-utusan <379>

“Para bhikkhu, ada tiga utusan surgawi ini.<380> Apakah tiga ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada Raja Yama,<381> [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’

(1) “Kemudian Raja Yama menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap, bongkok, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] Ia berkata: “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang nelakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(2) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit parah, berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ -  “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: [140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(3) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan bernanah?’  Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ -  “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang nelakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan surgawi ke tiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk,<382> namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan Neraka Besar:

   “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu
   Dan terbagi dalam ruang-ruangan terpisah;
   Dikelilingi oleh dinding besi
   Dan ditutup dengan atap besi. [142]

   “Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus yojana penuh
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

“Suatu ketika, para bhikkhu, di masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan. Oh, Semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami DhammaNya!’

“Para bhikkhu, Aku tidak mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui, lihat, dan pahami oleh diriKu sendiri.”

   Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi,
   Orang-orang itu yang tetap lalai
Menderita untuk waktu yang lama
Setelah mengembara di alam rendah.

Tetapi orang-orang baik di sini yang,
Ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi,
Tidak menjadi lalai
Sehubungan dengan Dhamma mulia;
Yang, setelah melihat bahaya dalam kemelekatan
Sebagai asal-mula kelahiran dan kematian,
Terbebaskan melalui ketidak-melekatan
Dalam padamnya kelahiran dan kematian:
Orang-orang berbahagia itu telah mencapai keamanan;<383>
Mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.
Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya,
Mereka telah melampaui segala penderitaan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #6 on: 27 January 2013, 03:15:24 AM »
37 (7) Raja-raja (1)

“Para bhikkhu, (1) Pada hari ke delapan dwimingguan, para menteri dan anggota kelompok dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia,<384> [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’<385> (2) Pada hari ke empat belas dwimingguan, para putera dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … [143] … dan melakukan perbuatan berjasa.’ (3) Pada hari ke lima belas, hari uposatha, Keempat Raja dewa sendiri mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’

“Jika, para bhikkhu, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi tidak senang, [dengan mengatakan]: ‘Aduh, kelompok surgawi akan mengalami kemunduran dan kelompok asura akan maju!’

“Tetapi jika ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi gembira, [dengan mengatakan]: ‘Sungguh, kelompok surgawi akan berkembang dan kelompok asura akan mengalami kemunduran!’”

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia membacakan syair berikut ini:<386> [144]

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku
   Harus menjalankan uposatha
   Yang lengkap dengan delapan faktor.
   Pada hari ke empat belas, ke lima belas,
   Dan ke delapan dari dwimingguan,
   Dan selama dwimingguan khusus.’<387>

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan  diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya sendiri, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku …
   Dan selama dwimingguan khusus.’

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi.”

38 (8 ) Raja-raja (2)

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia membacakan syair berikut ini:<388>

   “Orang yang akan menjadi sepertiku …,
   Dan selama dwimingguan khusus.’

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan  diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan …  seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

   “Orang yang akan menjadi sepertiku …
   Dan selama dwimingguan khusus.’ [145]

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.”

39 (9) Kelembutan

“Para bhikkhu, Aku dipelihara dengan lembut, dipelihara dengan sangat lembut, dipelihara dengan luar biasa lembut. Di kediaman ayahKu kolam-kolam teratai dibangun hanya demi kesenanganKu: di salah satu kolamnya teratai biru bermekaran, di kolam lainnya teratai merah, dan di kolam ke tiga teratai putih.<389> Aku tidak menggunakan cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepalaKu, jubah luar, jubah bawah, dan jubah atas terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi.<390> Siang dan malam sebuah kanopi puti selalu memayungiKu agar dingin dan panas, debu, rumput, dan embun tidak mengenaiKu.

“Aku memiliki tiga istana: satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan.<391> Aku melewatkan empat bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki,<392> dan Aku tidak meninggalkan istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan mereka, namun di kediaman ayahKu mereka diberi beras gunung pilihan, daging pilihan, dan nasi.

(1) “Di tengah-tengah kehidupan yang megah dan lembut demikian, Aku berpikir: ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penuaan, tidak terbebas dari penuaan, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang tua, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.<393> Sekarang, Aku juga tunduk pada penuaan dan tidak terbebas dari penuaan. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, [146] dan jijik ketika melihat orang lain yang tua, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kemudaan sepenuhnya ditinggalkan.

(2) “[Kemudian, Aku berpikir:] ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang sakit, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak terbebas dari penyakit. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang sakit, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kesehatan sepenuhnya ditinggalkan.

(3) “[Kemudian, Aku berpikir:] ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada kematian, tidak terbebas dari kematian, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang mati, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada kematian dan tidak terbebas dari kematian. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang mati, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kehidupan sepenuhnya ditinggalkan.

“Ada, para bhikkhu, tiga jenis kemabukan ini.<394> Apakah tiga ini? Kemabukan pada kemudaan, kemabukan pada kesehatan, dan kemabukan pada kehidupan. (1) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kemudaan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. (2) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kesehatan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. (3) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kehidupan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, [147] ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Karena mabuk pada kemudaan, seorang bhikkhu meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau karena mabuk pada kesehatan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau karena mabuk pada kehidupan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah.

   “Kaum duniawi tunduk pada penyakit,
   Penuaan, dan kematian, menjadi jiijk
   [karena orang lain] yang muncul
   Sesuai dengan sifat alaminya.<395>

   “Jika aku menjadi jijik
   Pada makhluk-makhluk dengan sifat demikian,
   Itu tidaklah selayaknya bagiku
   Karena Aku juga memiliki sifat yang sama.

   “Ketika Aku sedang berdiam demikian,
   Setelah mengetahui keadaan tanpa perolehan,
   Aku mengatasi segala kemabukan –
   Kemabukan pada kesehatan,
   Pada kemudaan, dan pada kehidupan –
   Setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.<396>

   “Kemudian kemauan muncul padaKu
   Ketika Aku dengan jelas melihat nibbāna.
   Sekarang Aku tidak mampu lagi
   Menuruti kenikmatan-kenikmatan indria.
   Dengan bersandar pada kehidupan spiritual,
   Aku tidak akan pernah berbalik.”<397>

40 (10) Kekuasaan-kekuasaan

“Para bhikkhu, ada tiga kekuasaan ini. Apakah tiga ini? Diri sendiri sebagai kekuasaan seseorang, dunia sebagai kekuasaan seseorang, dan Dhamma sebagai kekuasaan seseorang.<398>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, diri sendiri sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, atau tempat tinggal, atau demi menjadi ini atau itu,<399> melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” [148] Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah selayaknya bagiku untuk mencari kenikmatan-kenikmatan indria yang serupa atau lebih buruk dari apa yang telah kutinggalkan.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dirinya sendiri sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut diri sendiri sebagai kekuasaan.

(2) “Dan apakah, para bhikkhu, dunia sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, aku mungkin memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, atau pikiran-pikiran mencelakai. Tetapi bidang dunia ini sangat luas. Dalam luasnya dunia ini terdapat para petapa dan brahmana yang memiliki kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat.” Juga ada para dewa dengan kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat.” Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkikan dalam diriku [149] tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dunia sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut dunia sebagai kekuasaan.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, Dhamma sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Ada sahabat-sahabatku para bhikkhu yang mengetahui dan melihat. Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna ini, adalah tidak selayaknya bagiku untuk bermalas-malasan dan lalai.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkikan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan Dhamma sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut Dhamma sebagai kekuasaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga kekuasaan.”

   Bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat
   Tidak ada tempat yang dikatakan “tersembunyi.”
   Diri di dalammu sendiri mengetahui, O manusia,
Apakah itu benar atau salah.<400>

Sesungguhnya, Tuan, engkau adalah saksi
Yang meremehkan dirimu yang baik;
Engkau menyembunyikan dirimu yang jahat
Yang terdapat di dalam dirimu sendiri.<401> [150]

Para deva dan Tathāgata melihat si dungu
Berbuat tidak baik di dunia.
Oleh karena itu seseorang harus mengembara dengan penuh perhatian,
Menjadikan diri sendiri sebagai kekuasaan;
Awas dan meditatif, menjadikan dunia sebagai kekuasaan;
Dan mengembara sesuai Dhamma,
Dengan menjadikan Dhamma sebagai kekuasaan.
Sungguh-sungguh mengerahkan dirinya, seorang bijaksana tidak akan mundur.

Setelah menaklukkan Māra
Dan mengatasi pembuat-akhir,
Sang pejuang telah menyelesaikan kelahiran.
Seorang petapa demikian, bijaksana, seorang pengenal-dunia,
Tidak mengidentifikasikan sebagai apa pun sama sekali.<402>   

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #7 on: 27 January 2013, 03:16:04 AM »
V. BAB MINOR

41 (1) Keberadaan

“Para bhikkhu, ketika tiga hal ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? (1) Ketika keyakinan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. (2) Ketika sebuah objek yang akan diberikan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. (3) Ketika mereka yang layak menerima persembahan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. ketika ketiga hal ini ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa.”

42 (2) Kasus

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus seseorang dapat dipahami sebagai memiliki keyakinan dan kepercayaan. Apakah tiga ini? Ketika seseorang ingin melihat mereka yang berperilaku bermoral; ketika seseorang ingin mendengarkan Dhamma sejati; dan ketika seseorang berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Dalam ketiga kasus ini, seseorang dapat dipahami sebagai memiliki keyakinan dan kepercayaan.

   Seseorang yang ingin melihat orang-orang bermoral,
   Yang ingin mendengar Dhamma sejati,
   Yang telah melenyapkan noda kekikiran,
   Disebut seorang yang memiliki keyakinan. [151]

43 (3) Keuntungan

“Para bhikkhu, ketika seseorang melihat tiga keuntungan, maka adalah cukup untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Apakah tiga ini? (1) Orang yang mengajarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma.<403> (2) Orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. (3) Baik orang yang mengajarkan Dhamma maupun orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. Dengan melihat ketiga keuntungan ini, maka adalah cukup untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain.”

44 (4) Mengalir lancar

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus ini sebuah khotbah mengalir dengan lancar. Apakah tiga ini? (1) Ketika seseorang yang mengajarkan dhamma mengalami makna dan Dhamma. (2) Ketika orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. (3) Ketika baik orang yang mengajarkan Dhamma maupun orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. Dalam ketiga kasus ini sebuah khotbah mengalir dengan lancar.”

45 (5) Para Bijaksana

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. Apakah tiga ini? (1) Memberi ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. (2) Meninggalkan keduniawian ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. (3) Merawat ibu dan ayah seseorang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. Ini adalah ketiga hal yang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik.”

   Orang-orang baik menetapkan perbuatan memberi,
   Tidak membahayakan, pengendalian-diri, dan menjinakkan-diri,
Pelayanan kepada ibu dan ayah
Dan kepada para pengikut kehidupan spiritual yang damai.<404>

   Ini adalah perbuatan-perbuatan baik
   Yang harus dikejar oleh para bijaksana.
   Seorang mulia yang memiliki penglihatan
   Pergi ke dunia yang menguntungkan.

46 (6) Bermoral

“Para bhikkhu, ketika orang-orang bermoral yang meninggalkan keduniawian berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa dalam tiga cara. Apakah tiga ini? [152] Melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketika orang-orang bermoral yang meninggalkan keduniawian berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa dalam ketiga cara ini.

47 (7) Terkondisi

“Para bhikkhu, ada tiga karakteristik ini yang mendefinisikan keterkondisian.<405> Apakah tiga ini? Kemunculannya terlihat, kelenyapannya terlihat, dan perubahannya selama berlangsung terlihat. Ini adalah ketiga karakteristik yang mendefinisikan keterkondisian itu.

“Para bhikkhu, ada tiga karakteristik ini yang mendefinisikan ketidak-terkondisian.<406> Apakah tiga ini? Ketidak-munculannya terlihat, ketidak-lenyapannya terlihat, dan ketidak-berubahannya selama berlangsung terlihat. Ini adalah ketiga karakteristik yang mendefinisikan ketidak-terkondisian itu.”

48 (8 ) Gunung

“Para bhikkhu, berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? Pepohohan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3) pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.

   Seperti halnya pepohonan yang tumbuh
   Dengan bergantung pada gunung batu
   Dalam hutan belantara yang luas
   Akan menjadi “raja hutan kayu,”
   Demikian pula, ketika kepala keluarga di sini
   Memiliki keyakinan dan moralitas,
   Istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya
   Semuanya tumbuh dengan bergantung padanya;
   Demikian pula teman-teman, lingkaran keluarganya,
   Dan mereka yang bergantung padanya. [153]

   Mereka yang memiliki penglihatan,
   Dengan melihat perbuatan baik orang-orang bermoral itu,
   Kedermawanan dan perbuatan baiknya,
   Akan meniru teladannya.

   Setelah hidup di sini sesuai Dhamma,
   Jalan yang menuju takdir yang baik,
   Mereka yang menginginkan kenikmatan indria akan bergembira,
   Bersenang di alam deva.

49 (9) Semangat

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam ketiga kasus ini semangat harus dikerahkan.

“Ketika seorang bhikkhu mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun, awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

50 (10)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan bergelombang. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak raja.

(2) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar,<407> atau hutan rapat. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.

(3) Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa.

“Adalah dengan memiliki tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa. [155]

“Adalah dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan.”

« Last Edit: 27 January 2013, 03:20:41 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #8 on: 27 January 2013, 03:17:31 AM »
LIMA PULUH KE DUA

I. BRAHMANA

51 (1) Dua Brahmana (1)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama menasihati kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, dan pulau, perlindungan, dan penyokong.”

   Kehidupan terhanyutkan, umur kehidupan singkat,
   Tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia tua.
Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini,
Seseorang harus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.<408>
   
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
Pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran,
Dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup,
Mengarah pada kebahagiaannya. [156]

52 (2) Dua Brahmana (2)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama menasihati kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, dan pulau, perlindungan, dan penyokong.”

   Ketika rumah seseorang terbakar
   Perlengkapan yang dibawa keluar
   Adalah yang berguna bagi kalian,
   Bukan yang terbakar di dalam.

   Oleh karena itu karena dunia ini terbakar
   Oleh usia tua dan kematian,
   Seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi:
   Apa yang diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.<409>

Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
Pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran,
Dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup,
Mengarah pada kebahagiaannya.

53 (3) Seorang Brahmana Tertentu

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’<410> Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, [157] menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung …

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

54 (4) Seorang Pengembara

Seorang brahmana tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. [158] Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.  Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Seseorang yang penuh kebencian …

(3) “Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

55 (5) Nibbāna

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Nibbāna yang terlihat secara langsung, Nibbāna yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Nibbāna terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?” [159]

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah Nibbāna terlihat secara langsung.

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Nibbāna terlihat secara langsung.

“Ketika, Brahmana, seseorang mengalami hancurnya nafsu tanpa sisa, hancurnya kebencian tanpa sisa, hancurnya delusi tanpa sisa, maka dengan cara ini juga, Nibbāna itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

56 (6) Berkurangnya Populasi

Seorang brahmana kaya mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, aku telah mendengar para brahmana yang lebih tua yang berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, guru-guru dari para guru, mengatakan: ‘Di masa lalu dunia ini berpopulasi sangat padat sehingga seseorang mungkin berpikir bahwa tidak ada jarak antara orang-orang. Desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat menerbangi antara tempat-tempat itu.’<411> Mengapakah, Guru Gotama, pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, pengurangan populasi terlihat,<412> dan desa-desa, [160] pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap?”<413>

(1) “Pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu.<414> Sebagai akibatnya, mereka mengambil senjata-senjata dan saling membunuh satu sama lain. Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, berkurangnya populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

(2) “Kemudian, pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu. Ketika hal ini terjadi, hujan yang turun tidak mencukupi. Sebagai akibatnya, bencana kelaparan terjadi. Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan lain mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, berkurangnya populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

(3) “Kemudian, pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu. Ketika hal ini terjadi, para yakkha melepaskan makhluk-makhluk buas.<415> Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan lain lagi mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, pengurangan populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

57 (7) Vaccha

Pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, aku telah mendengar: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Dana harus diberikan hanya kepadaKu, [161] bukan kepada orang lain, dana harus diberikan hanya kepada para siswaKu, bukan kepada para siswa orang lain. Hanya apa yang diberikan keapadaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada orang lain; hanya apa yang diberikan keapada para siswaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada para siswa orang lain.”’ Apakah mereka mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Guru Gotama dan tidak salah menginterpretasikan Beliau dengan apa yang bertentangan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai Dhamma sehingga mereka tidak menimbulkan kritik yang logis atau dasar bagi celaan?<416> Karena kami tidak ingin salah menginterpretasikan Guru Gotama.”

“Mereka, Vaccha, yang mengatakan: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Dana harus diberikan hanya kepadaKu … ; hanya apa yang diberikan keapada para siswaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada para siswa orang lain.”’ Tidak mengatakan apa yang telah dikatakanKu melainkan salah menginterpretasikan Aku  dengan apa yang bertentangan dengan fakta. Seorang yang mencegah orang lain memberikan dana menciptakan rintangan dan halangan bagi tiga orang. Siapakah tiga ini? Ia menciptakan sebuah rintangan kepada si penyumbang untuk memperoleh jasa, kepada penerima untuk memperoleh pemberian, dan ia telah mencelakai dan melukai dirinya sendiri. Seorang yang mencegah orang lain memberikan dana menciptakan rintangan dan halangan bagi ketiga orang ini.

“Tetapi, Vaccha, Aku katakan bahwa seseorang akan memperoleh jasa bahkan jika ia membuang air pencuci piring ke dalam tempat sampah atau saluran pembuangan dengan pikiran: ‘Semoga makhluk-makhluk hidup di sini bertahan hidup dengan ini!’ Apalagi, [jasa yang diperoleh seseorang] ketika ia memberikan kepada manusia! Akan tetapi, Aku katakan bahwa apa yang diberikan kepada seseorang yang berperilaku bermoral adalah lebih berbuah daripada [apa yang diberikan] kepada seorang yang tidak bermoral. Dan [penerima yang paling baik] adalah seorang yang telah meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor.

“Lima faktor apakah yang telah ia tinggalkan? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan [162] dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan. Ini adalah kelima faktor yang telah ia tinggalkan.

“Dan lima faktor apakah yang ia miliki? Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, dan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Ini adalah kelima faktor yang ia miliki.

   Di antara sapi-sapi dari berbagai jenis,
   Apakah hitam, putih, merah, atau keemasan,
   Bebercak, sewarna, atau berwarna-merpati,
   Sapi jantan yang jinak dilahirkan,
   Sapi yang dapat mengangkat beban,
   Memiliki kekuatan, berjalan dengan kecepatan baik.
   Mereka mengikatkan beban hanya padanya;
   Mereka tidak peduli akan warnanya.

   Demikian pula di antara manusia
   Adalah dalam jenis kelahiran apa pun –
   Di antara para khattiya, brahmana, vessa,
   Sudda, caṇḍala, atau pemungut sampah –
   Di antara berbagai jenis orang
   Orang yang jinak yang berperilaku baik dilahirkan:
   Seorang yang teguh dalam Dhamma, bermoral dalam perilaku,
   Jujur dalam ucapan, memiliki rasa malu bermoral;
   Seorang yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Sempurna dalam kehidupan spiritual,
   Dengan beban diturunkan, terlepas,
   Yang telah menyelesaikan tugasnya, bebas dari noda-noda;
   Yang telah melampaui segala sesuatu [di dunia]
   Dan melalui ketidak-melekatan telah mencapai nibbāna:
   Sebuah persembahan adalah sungguh besar
   Ketika ditanamkan dalam lahan yang tak bernoda.

   Orang-orang dungu yang hampa dari pemahaman,
   Dengan kecerdasan-tumpul, tidak terpelajar,
   Tidak melayani orang-orang suci<417>
Tetapi memberikan pemberian-pemberian mereka kepada orang-orang di     luar itu.
Akan tetapi, mereka yang melayani orang-orang mulia,
Melayani orang-orang bijaksana dihargai sebagai orang bijaksana,<418>
Dan mereka yang berkeyakinan pada Yang Sempurna
Tertanam dalam dan kokoh berdiri,
Pergi ke alam para deva
Atau terlahir di sini dalam keluarga yang baik.
Maju dalam langkah demi langkah berturut-turut,
Para bijaksana itu mencapai nibbāna. [163]
« Last Edit: 27 January 2013, 03:19:11 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #9 on: 27 January 2013, 03:19:55 AM »
58 (8 ) Tikaṇṇa

Brahmana Tikaṇṇa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Tikaṇṇa, di hadapan Sang Bhagavā, memuji para brahmana yang telah menguasai tiga pengetahuan: “Demikianlah para brahmana yang adalah para pemilik tiga pengetahuan; Demikianlah para brahmana yang adalah para pemilik tiga pengetahuan.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi bagaimanakah, brahmana, para brahmana menggambarkan seorang brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan?”

“Di sini, Guru Gotama, seorang brahmana terlahir baik pada kedua pihak ibunya dan ayahnya, dari keturunan murni, tak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga tujuh generasi dari pihak ayahnya. Ia adalah pembaca dan pelestari syair-syair pujian, seorang guru dari tiga Veda dengan kosa kata, ritual, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia sepenuhnya menguasai filosofi alam dan tanda-tanda manusia luar biasa. Adalah dalam cara ini para brahmana itu menggambarkan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan.”

“Brahmana, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan seperti yang digambarkan oleh para brahmana tentangnya.”

“Tetapi dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia? Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku yang menjelaskan bagaimana seseorang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Baiklah, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” Brahmana Tikaṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, Brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, [164] ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, yang memiliki pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

(1) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(2) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan [165] benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(3) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaiana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaiana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

   “Ia yang moralitasnya tidak goyah,
   Yang waspada dan meditatif,
   Yang pikirannya telah dikuasai,
   Terpusat, terkonsentrasi baik;

   “Sang bijaksana, penghalau kegelapan,
   Pembawa tiga pengetahuan, pemenang atas kematian;
   Seorang yang mereka sebut yang meninggalkan segalanya,
   Penolong para deva dan manusia;

   “Seorang yang memiliki tiga pengetahuan,
   Yang berdiam tanpa delusi;
   Mereka menyembahNya, Sang Buddha
   Gotama, yang membawa jasmani terakhirNya.

   “Seorang yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya,
   Yang melihat alam surga dan alam sengsara,
   Dan telah mencapai hancurnya kelahiran
   Adalah seorang bijaksana sempurna dalam pengetahuan langsung.<419>

   “Melalui ketiga jenis pengetahuan ini
   Seseorang menjadi seorang brahmana dengan tiga pengetahuan.
   Aku menyebutnya seorang penguasa tiga pengetahuan,
   Bukan orang lain yang mengucapkan mantera-mantera. [166]

“Dengan cara inilah, Brahmana, bahwa seseorang adalah pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana. Dan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana tidak bernilai seper enambelas bagian dari pemilik tiga pengetahuan dalam displin Yang Mulia.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

59 (9) Jāṇussoṇī

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, Siapa pun yang melakukan pengorbanan, persembahan makanan sebagai peringatan, suatu persembahan makanan, atau sesuatu yang akan diberikan harus memberikan pemberian itu kepada para brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan.”<420>

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi bagaimanakah, brahmana, para brahmana menggambarkan seorang brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan?”

“Di sini, Guru Gotama, seorang brahmana terlahir baik pada kedua pihak ibunya dan ayahnya … [seperti dalam 3:58] … dan [mahir] dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Adalah dalam cara ini para brahmana itu menggambarkan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan.”

“Brahmana, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan seperti yang digambarkan oleh para brahmana.”

“Tetapi dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia? Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku yang menjelaskan bagaimana seseorang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Baiklah, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” Brahmana Jāṇussoṇī menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, Brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … [seluruhnya seperti dalaam 3:58 hingga:] [167] … “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

   “Seseorang yang sempurna dalam moralitas dan pelaksanaan,
   Yang bersungguh-sungguh dan tenang,
   Yang pikirannya telah dikuasai,
   Terpusat dan terkonsenttasi baik;

   “Seorang yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya,
   Yang melihat alam surga dan alam sengsara,
   Dan telah mencapai hancurnya kelahiran
   Adalah seorang bijaksana sempurna dalam pengetahuan langsung. [168]

   “Melalui ketiga jenis pengetahuan ini
   Seseorang menjadi seorang brahmana dengan tiga pengetahuan.
   Aku menyebutnya seorang penguasa tiga pengetahuan,
   Bukan orang lain yang mengucapkan mantera-mantera.

“Dengan cara inilah, Brahmana, bahwa seseorang adalah pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana. Dan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana tidak bernilai seper enambelas bagian dari pemilik tiga pengetahuan dalam displin Yang Mulia.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #10 on: 27 January 2013, 03:21:38 AM »
 60 (10) Saṅgārava

Brahmana Saṅgārava mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Saṅgārava berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Guru Gotama, kami para brahamana melakukan pengorbanan dan menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan. Sekarang baik seorang yang melakukan pengorbanan sendiri maupun seorang menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan, keduanya telah terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pengorbanan. Tetapi seorang yang meninggalkan keluarga dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah hanya menjinakkan dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri, dan hanya dirinya sendiri yang mengarah menuju nibbāna. Dalam kasus demikian, ia terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau hanya satu orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

“Baiklah, Brahmana, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan persoalan ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Brahmana? Di sini, seorang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Beliau berkata sebagai berikut: ‘Marilah, ini adalah jalan, ini adalah cara. Dengan berlatih menurut jalan ini, Aku telah merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual yang tidak terlampaui<421> dan mengenalkannya kepada orang lain. Marilah, kalian juga berlatih demikian. Dengan berlatih sesuai jalan ini, kalian juga akan merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah sang guru mengajarkan Dhamma ini dan orang-orang lain [169] berlatih sesuai ajaranNya itu. Ada ratusan, ribuan, ratusan ribu yang melakukan demikian. Bagaimana menurutmu? Dalam kasus ini, apakah tindakan meninggalkan keduniawian itu adalah sebuah praktik berjasa yang menjangkau satu orang atau banyak orang?”

“Jika kasusnya demikian, Guru Gotama, maka ini adalah praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Saṅgārava: “Di antara kedua praktik ini, Brahmana, yang manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan  lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?’

Kemudian Brahmana Saṅgārava berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”<422>

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia  Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke dua kalinya Brahmana Saṅgārava menjawab: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia  Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke tiga kalinya Brahmana Saṅgārava menjawab: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.” [170]

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Bahkan untuk ke tiga kalinya Brahmana Saṅgārava, ketika ditanya dengan pertanyaan sewajarnya oleh Ānanda, ia menjadi bimbang dan tidak menjawab. Biarlah aku membebaskannya.” Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Saṅgārava: “Perbincangan apakah, Brahmana, yang dibicarakan pada hari ini di antara para pengikut raja ketika mereka berkumpul dan duduk di istana kerajaan?”

“Perbincangannya adalah ini, Guru Gotama: ‘Sebelumnya ada lebih sedikit bhikkhu, tetapi lebih banyak yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia. Tetapi sekarang ada lebih banyak bhikkhu, tetapi lebih sedikit yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia.’ Ini adalah perbincangan yang muncul hari ini di antara para pengikut raja.

“Ada, brahmana, tiga jenis keajaiban ini. Apakah tiga ini? Keajaiban kekuatan batin, keajaiban membaca pikiran, dan keajaiban pengajaran.<423>

(1) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban kekuatan batin? Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Ini disebut keajaiban kekuatan batin.

(2) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban membaca pikiran? Ada seseorang yang, melalui suatu petunjuk,<424> menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu petunjuk, [171] tetapi ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], tetapi ia mendengarkan suara pancaran pikiran<425> ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], atau dengan mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal], tetapi dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’<426> Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya. Ini disebut keajaiban membaca pikiran.

(3) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban pengajaran? Di sini, seseorang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ Ini disebut keajaiban pengajaran.<427>

“Ini, Brahmana, adalah ketiga jenis keajaiban. Di antara ketiga jenis keajaiban ini, yang manakah yang menarik bagimu sebagai yang paling baik dan luhur?”

“Di antara ini, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia mengerahkan berbagai kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Kemudian, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia menyatakan kondisi pikiran orang lain dengan berdasarkan pada petunjuk … dengan mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk halus, atau para dewa … dengan mendengar suara pancaran pikiran sewaktu seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] … dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami: [172] ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya – ini juga, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini juga, tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Tetapi, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban ini yang dengannya ia mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ – keajaiban ini menarik bagiku sebagai yang paling baik dan luhur di antara ketiga keajaiban itu.

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini telah dinyatakan oleh Guru Gotama! Kami menganggap Guru Gotama sebagai seorang yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini. Karena Guru Gotama mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Guru Gotama dengan pikiranNya melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Beliau memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan Guru Gotama mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: : ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’

“Tentu saja, Brahmana, kata-katamu itu memancing dan menantang.<428> Namun demikian, Aku akan menjawabmu. Aku memang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Aku memang dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Aku memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan aku memang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: : ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”

“Tetapi, Guru Gotama, adakah satu saja bhikkhu lain selain Guru Gotama yang dapat melakukan ketiga jenis keajaiban ini?”

“Bukan hanya seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus, atau lima ratus, tetapi bahkan lebih dari itu yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini.”

“Tetapi di manakah para bhikkhu itu berdiam sekarang?” [173]

“Persis di sini, Brahmana, dalam Saṅgha para bhikkhu ini.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #11 on: 27 January 2013, 03:22:26 AM »
II. BAB BESAR

61 (1) Sektarian

“Para bhikkhu, ada tiga prinsip sektarian ini<429> yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak-berbuat.<430> Apakah tiga ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi.’<431>

(1) “Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan masa lalu,’<432> dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. [174] Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; sehingga kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’<433>

“Mereka yang mengandalkan perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(2) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya.  Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan …  dan menganut pandangan salah.’

“Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian. [175]

(3) Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya.  Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan pembunuhan …  dan menganut pandangan salah.’

“Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga prinsip sektarian yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak-berbuat.

“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehKu ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.<434> Dan apakah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?

“’Ini adalah enam elemen’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam landasan bagi kontak’ … ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini adalah empat kebenaran mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam elemen”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada [176] enam elemen ini: elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran.<435> Ketika dikatakan: “Ini adalah enam elemen”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan bagi kontak ini: mata sebagai sebuah landasan kontak, telinga sebagai sebuah landasan kontak, hidung sebagai sebuah landasan kontak, lidah sebagai sebuah landasan kontak, badan sebagai sebuah landasan kontak, dan pikiran sebagai sebuah landasan kontak. Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?<436> Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah menciun suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Ketika dikatakan: Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya embrio [di masa depan] terjadi.<437> Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan,’

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian [177] adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka [muncul] aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.<438>

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan

“Dan apakah, para bhikkhu kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.” [178]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #12 on: 27 January 2013, 03:22:52 AM »
62 (2) Bahaya

“Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar membicarakan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.<439> Apakah tiga ini?

(1) “Akan tiba saatnya ketika kebakaran besar muncul. Ketika kebakaran besar muncul, kebakaran itu membakar desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota sedang terbakar, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya pertama yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

(2) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika hujan lebat muncul. Ketika hujan lebat muncul, maka banjir besar terjadi. Ketika banjir besar terjadi, desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya ke dua yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

(3) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika muncul pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ketika terjadi pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya ke tiga yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

“Ini adalah tiga bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

“Ada, para bhikkhu, tiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.<440> Apakah tiga ini?

(1) “Akan tiba saatnya ketika kebakaran besar muncul. Ketika kebakaran besar muncul, kebakaran itu membakar desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota sedang terbakar, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu [179] bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan ibunya. Ini adalah bahaya pertama ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya.

(2) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika hujan lebat muncul. Ketika hujan lebat muncul, maka banjir besar terjadi. Ketika banjir besar terjadi, desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan  ibunya. Ini adalah bahaya ke dua ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.

(3) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika muncul pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ketika terjadi pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan ibunya. Ini adalah bahaya ke tiga ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.
.
“Ini adalah tiga bahaya ketika sang ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.

“Ada, para bhikkhu, tiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.<441> Apakah tiga ini? Bahaya penuaan, bahaya penyakit, dan bahaya kematian.

(1) “Ketika sang anak bertambah tua, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku bertambah tua, tetapi semoga anakku tidak bertambah tua!’ Dan ketika sang ibu bertambah tua, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku bertambah tua, tetapi semoga ibuku tidak bertambah tua!’

(2) “Ketika sang anak jatuh sakit, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku jatuh sakit, tetapi semoga anakku tidak jatuh sakit!’ Dan ketika sang ibu jatuh sakit, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku jatuh sakit, tetapi semoga ibuku tidak jatuh sakit!’

(3) “Ketika sang anak sekarat, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku mati, tetapi semoga anakku tidak mati!’ Dan ketika sang ibu sekarat, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku mati, tetapi semoga ibuku tidak mati!’

“Ini adalah tiga bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya. [180]

“Ada jalan, para bhikkhu, ada cara yang mengarah menuju ditinggalkannya dan diatasinya ketiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali dan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya. Apakah jalan dan cara itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah jalan dan cara yang mengarah menuju ditinggalkannya dan diatasinya ketiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali dan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.”

63 (3) Venāga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara dalam suatu perjalanan di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Venāgapura. Para brahmana perumah tangga di Venāgapura mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dari keluarga Sakya, telah tiba di Venāgapura. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah merealisasikan dengan pengetahuan langsungNya sendiri dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para brahmana perumah tangga di Venāgapura mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa saling bertukar sapa dengan Beliau [181] dan, ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, kemudian duduk di satu sisi; beberapa memberi penghormatan kepada Beliau dan duduk di satu sisi; beberapa menyebutkan nama dan suku mereka dan duduk di satu sisi; beberapa berdiam diri dan duduk di satu sisi. Kemudian Brahmana Vacchagotta dari Venāgapura berkata kepada Sang Bhagavā:

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama, betapa indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya buah jujube kuning di musim gugur yang murni dan cerah, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya sebutir buah palem yang telah dipetik dari tangkainya murni dan cerah, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya sebuah perhiasan dari emas terbaik, yang dikerjakan dengan baik oleh seorang pandai emas yang terampil dan ditempa pada tungku dengan sangat terampil, diletakkan di atas kain brokat merah, bersinar dan memancar dan bercahaya, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah.

“Jenis-jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah apa pun juga yang ada – yaitu, sofa, dipan, penutup tempat tidur berumbai panjang, penutup tempat tidur warna warni, penutup tempat tidur putih, penutup tempat tidur wol dengan hiasan bunga, selimut tebal dari katun wol, penutup tempat tidur wol dengan hiasan gambar binatang, penutup tempat tidur dengan pinggiran ganda, penutup tempat tidur dengan pinggiran tunggal, alas tempat tidur bertatahkan permata, alas tempat tidur dari benang sutera yang bertatahkan permata, selimut penari, selimut gajah, selimut kuda, selimut kereta, selimut kulit kijang, hamparan dari kulit rusa-kadali, [tempat tidur] dengan kanopi di atas dan bantal guling di kedua ujungnya – Guru Gotama tentu memperolehnya sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan.”<442>

“Brahmana, jenis-jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah itu jarang didapat oleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian, dan jika tempat-tempat tidur itu didapat, tempat-tempat tidur itu tidak diperbolehkan.

“Tetapi, Brahmana, ada tiga jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah yang sekarang ini Aku dapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan. Apakah tiga ini? [182] tempat tidur tinggi dan mewah surgawi, tempat tidur tinggi dan mewah brahma, dan tempat tidur tinggi dan mewah mulia.<443> Ketiga tempat tidur tinggi dan mewah ini yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

(1) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah surgawi yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdian dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, Aku berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, Aku mengalami kenikmatan pada jasmani; Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, yang memiliki pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah surgawi.<444> Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah surgawi. Jika Aku sedang duduk, pada saat itu dudukKu itu adalah surgawi. Jika Aku berbaring, pada saat itu, itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah surgawi. Itu adalah [183] tempat tidur tinggi dan mewah surgawi yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah demikian  sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

(2) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah brahma yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian Aku berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, Aku berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Aku berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, Aku berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah brahma. Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah brahma. Jika Aku sedang duduk, pad saat itu dudukKu itu adalah brahma. Jika Aku berbaring, pada saat itu, maka itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah brahma. Itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah brahma yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.” [184]

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah demikian  sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

(3) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah mulia yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian Aku memahami sebagai berikut: ‘Aku telah meninggalkan keserakahan, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Aku telah meninggalkan kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Aku telah meninggalkan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan.’<445>

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan maju mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah mulia. Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah mulia. Jika Aku sedang duduk, pada saat itu dudukKu itu adalah mulia. Jika Aku berbaring, pada saat itu, itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah yang mulia. Itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah mulia yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah mulia demikian sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang kami berlindung kepada Guru Gotama, kepada [185] Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggap kami sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #13 on: 27 January 2013, 03:23:28 AM »
64 (4) Sarabha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu seorang pengembara bernama Sarabha baru saja meninggalkan Dhamma dan disiplin ini.<446> Ia telah memberi tahu suatu kelompok di Rājagaha: “Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.”

Kemudian, pada suatu pagi, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah mereka, dan memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Mereka mendengar pengembara Sarabha mengucapkan pernyataan itu di hadapan suatu kelompok di Rājagaha. Ketika para bhikkhu itu telah menerima dana makanan, setelah makan, ketika mereka telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, pengembara Sarabha, yang baru saja meninggalkan Dhamma dan disiplin ini, telah memberitahu suatu kumpulan di Rājahagaha: ‘Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.’ Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi taman para pengembara di tepi [sungai] Sappinikā dan, demi belas kasihan, mendatangi pengembara Sarabha.” Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan pergi ke taman para pengembara di tepi [sungai] Sappinikā. Ia mendatangi Pengembara Sarabha, duduk di tempat yang telah dipersiapkan [186] untuk Beliau, dan berkata kepadanya: “Benarkah, Sarabha, bahwa engkau telah mengatakan: ‘Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.’?” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha: “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke dua kalimya Pengembara Sarabha berdiam diri.

Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha:<447> “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke tiga kalimya Pengembara Sarabha berdiam diri.<448>

Kemudian para pengembara berkata kepada Pengembara Sarabha: “Petapa Gotama telah menawarkan untuk memberikan apa pun yang engkau minta, teman Sarabha. Bicaralah, teman Sarabha! bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Petapa Gotama akan melengkapinya untukmu. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Beliau akan bergembira.” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Pengembara [duduk] berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, berkata kepada para pengembara:

(1) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Walaupun Engkau mengaku tercerahkan sempurna, namun Engkau tidak sepenuhnya tercerahkan sehubungan dengan hal-hal ini.’ [187] maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya.<449> Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.<450>

(2) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Walaupun Engkau mengaku sebagai seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, namun Engkau tidak sepenuhnya menghancurkan noda-noda ini.’ maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya. Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.

(3) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Dhamma tidak menuntun seseorang yang mempraktikkannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya, yang demi tujuan itu maka Engkau mengajarkannya.’<451> maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya. Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah mengaumkan auman singaNya tiga kali di taman pengembara di tepi [sungai] Sappinikā, melayang ke angkasa dan pergi.<452>

Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para pengembara itu menyerang Pengembara Sarabha dengan cacian verbal,<453> [dengan mengatakan:] “Seperti halnya seekor serigala tua di dalam hutan belantara mungkin berpikir: ‘Aku akan mengaumkan auman singa,’ namun hanya mampu melolong dan menggonggong seperti seekor serigala, demikian pula, teman Sarabha, di belakang Petapa Gotama mengaku: ‘Aku akan mengaumkan auman singa,’ [188] namun engkau hanya melolong dan menggonggong seperti seekor serigala. Seperti halnya, teman Sarabha, seekor ayam betina mungkin berpikir: ‘Aku akan bernyanyi seperti seekor ayam jantan,’ namun engkau hanya bernyanyi seperti seekor ayam betina.<454> Seperti halnya, teman Sarabha, seekor sapi jantan mungkin berpikir untuk melenguh dalam-dalam di suatu kandang sapi betina yang kosong, demikian pula, teman Sarabha, di belakang Petapa Gotama engkau berpikir bahwa engkau dapat melenguh dalam-dalam.” [Dengan cara ini] para pengembara itu menyerang Pengembara Sarabha dengan cacian verbal.

65 (5) Kesaputtiya <455>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta. Pada saat itu, para penduduk Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 3:63] …[dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para penduduk Kālāma di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma itu berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, [189] dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O para penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan.<456> Marilah, O para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’<457>  Tetapi ketika, para penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”<458>

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, pikirannya dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.” [190]

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh delusi, dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh delusi, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“ Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. [191] Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus [192] hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Kemudian, para penduduk Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk , tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa pertentangan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul dalam takdir yang baik, di alam surga.’

“Jaminan ke dua yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk, bebas dari kesulitan.

“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’<459>

“Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’<460>

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”<461>

“Demikianlah, Sang Bhagavā! Demikianlah, Yang Berbahagia! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, [193] telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan … [seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’

“Siswa mulia ini, Bhante, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Bagus sekali, Bhante!, … Kami berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #14 on: 27 January 2013, 03:24:37 AM »
66 (6) Sāḷha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Nandaka sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Kemudian Sāḷha, cucu dari Migāra, dan Rohaṇa, cucu dari Pekkhuniya, mendatangi Yang Mulia Nandaka, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Nandaka berkata kepada Sāḷha.

“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’  Tetapi ketika engkau [194] mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada keserakahan?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti kerinduan. Seorang yang serakah, penuh kerinduan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada kebencian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti niat buruk. Seorang yang penuh kebencian, dengan pikiran berniat buruk, akan melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada delusi?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti ketidak-tahuan. Seorang yang terdelusi, terbenam dalam ketidak-tahuan, akan melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah engkau menganggapnya?” [195] – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, Sāḷha. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka engkau harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-serakahan?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti ketiadaan kerinduan. Seorang yang tanpa keserakahan, tanpa kerinduan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-bencian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti niat baik. Seorang yang tanpa kebencian, dengan pikiran berniat baik, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-delusian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti pengetahuan sejati. Seorang yang tidak terdelusi, [196] yang telah sampai pada pengetahuan sejati, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah engkau menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya.,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Kemudian, Sāḷha, siswa mulia itu – yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk , tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Kemudian ia memahami sebagai berikut: ‘Ada ini; ada yang hina; ada yang mulia; ada jalan membebaskan diri dari apa pun yang berhubungan dengan persepsi.’<462> Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. [197] Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Sebelumnya, ada keserakahan; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada kebencian; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada delusi; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat.

“Demikianlah dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, padam dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.”<463>

67 (7) Dasar-dasar Pembicaraan

“Para bhikkhu, ada tiga dasar pembicaraan ini. Apakah tiga ini? (1) Dengan merujuk pada masa lalu, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa lalu.’ (2) Dengan merujuk pada masa depan, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa depan.’ (3) Dengan merujuk pada masa sekarang, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah sekarang, di masa kini.’

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia tidak menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab tanpa memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab tanpa mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia tidak mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.<464>
 
“Tetapi Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab setelah memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab dengan mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia tidak bertahan dalam strateginya; jika ia tidak [198] bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia tidak bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.<465>

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia bertahan dalam strateginya; jika ia bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia menjawab dengan cara menghindar, mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak menjawab dengan cara menghindar, tidak mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan  tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia membanjiri [si penanya], menggilasnya, mengejeknya, dan menangkapnya atas kesalahan kecil,<466> maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak membanjiri [si penanya], tidak menggilasnya, tidak mengejeknya, dan tidak menangkapnya atas kesalahan kecil, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai apakah memiliki kondisi pendukung atau tidak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang tidak menyimak tidak memiliki kondisi pendukung; seorang yang menyimak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang memiliki kondisi pendukung secara langsung mengetahui satu hal, sepenuhnya memahami satu hal, meninggalkan satu hal, dan merealisasi satu hal. Dengan secara langsung mengetahui satu hal, dengan sepenuhnya memahami satu hal, dengan meninggalkan satu hal, dan dengan merealisasi satu hal, ia mencapai kebebasan benar.<467>

“Ini, para bhikkhu, adalah tujuan pembicaraan, tujuan diskusi, tujuan dari kondisi pendukung, tujuan dari menyimak, yaitu, kebebasan pikiran melalui ketidak-melekatan.” [199]

   Mereka yang berbicara dengan niat bertengkar,
   Kokoh dalam pendapat mereka, menggembung dengan keangkuhan,
   Tidak mulia, setelah menyerang moralitas,<468>
   Mencari celah [untuk menyerang] satu sama lain.

   Mereka saling bersenang ketika lawan mereka
   Berbicara dengan buruk dan melakukan kesalahan,
   [Mereka bergembira] dalam kebingungan dan kekalahannya;
   Tetapi para mulia tidak terlibat dalam pembicaraan demikian.

   Jika seorang bijaksana ingin berbicara,
   Setelah mengetahui waktu yang tepat,
   Tanpa pertengkaran atau keangkuhan,
   Seorang bijaksana boleh berbicara
   Ucapan yang dilatih para mulia,
   Yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.<469>

   Tidak sombong atau agresif,
   Dengan pikiran tidak bangga,<470>
   Ia berbicara bebas dari iri hati
   Dengan berdasarkan pada pengetahuan benar.
   Ia harus menyetujui apa yang diungkapkan dengan benar
   Tetapi ia tidak boleh menyerang apa yang disampaikan dengan buruk.

   Ia tidak boleh berlatih dalam mencari kesalahan
   Juga tidak menangkap kesalahan orang lain;
   Ia tidak boleh membanjiri dan menggilas lawannya,
   Juga tidak mengucapkan kata-kata dusta.
   Sesungguhnya, suatu diskusi di antara orang-orang baik
   Adalah demi pengetahuan dan keyakinan.

   Demikianlah cara orang mulia mendiskusikan hal-hal;
   Ini adalah diskusi para mulia.
   Setelah memahami hal ini, orang bijaksana
   Tidak menggembung melainkan harus mendiskusikan hal-hal.