(c) Empat Puluh Empat Kasus Pengetahuan
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian empat puluh empat kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”
“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, apakah empat puluh empat kasus pengetahuan? Pengetahuan penuaan-dan-kematian, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya, pengetahuan kelahiran … pengetahuan penjelmaan … pengetahuan kemelekatan … pengetahuan ketagihan … pengetahuan perasaan … pengetahuan kontak … pengetahuan enam landasan indria … pengetahuan nama-dan-bentuk … pengetahuan kesadaran … pengetahuan bentukan-bentukan kehendak, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya. Inilah, para bhikkhu, empat puluh empat kasus pengetahuan.
“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? … [definisi seperti pada Teks IX, 3 §22] … Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan-dan-kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penuaan-dan-kematian; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penuaan-dan-kematian demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip. [44] Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, dicapai langsung, diselami, ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana manapun di masa lampau yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti yang kuketahui sekarang. Para petapa dan brahmana manapun di masa depan yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti yang kuketahui sekarang.’ Ini adalah pengetahuan kesimpulan. [45]
“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki pengetahuan seorang pelajar, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.
“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? … Apakah bentukan-bentukan kehendak? [
definisi seperti pada Teks IX, 3] … Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan kehendak demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip. Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, dicapai langsung, diselami, ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan … ini adalah pengetahuan kesimpulan.
“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan … yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.”
(SN 12:33; II 56-59)
(d) Suatu Ajaran di Tengah
Di Sāvatthi, Yang Mulia Kaccānagotta menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘pandangan benar, pandangan benar.’ Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, pandangan benar itu?”
“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar bergantung pada dualitas – pada gagasan ke-ada-an dan gagasan ke-tiada-an. [46] Tetapi bagi seorang yang melihat asal-mula dunia ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini. Dan bagi seorang yang melihat lenyapnya dunia sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia. [47]
“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar terbelenggu oleh pekerjaan, kemelekatan, dan keterikatan. Tetapi orang ini [dengan pandangan benar] tidak menjadi terlibat dan melekat pada pekerjaan dan kemelekatan, sudut pandangan, keterikatan, kecenderungan tersebunyi; ia tidak menganut pandangan ‘diriku’. Ia tidak bingung atau ragu bahwa apa yang muncul hanyalah munculnya penderitaan, apa yang lenyap hanyalah lenyapnya penderitaan. [48] Pengetahuannya tentang ini tidak bergantung pada yang lain. Dalam cara inilah, Kaccāna, pandangan benar itu.
“‘Semua ada’: Kaccāna, ini adalah satu ekstrim. ‘Semua tidak ada’: ini adalah ekstrim ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, muncul kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”
(SN 12:15; II 16-17)
(e) Kesinambungan Kesadaran
“Para bhikkhu, apa yang dikehendaki seseorang, dan apa yang direncanakan seseorang, dan kecenderungan pada apapun yang dimiliki seseorang: ini menjadi dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika ada dasar maka ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Jika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, kelahiran, penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan di masa depan juga muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [49]
“Jika, para bhikkhu, seseorang tidak bermaksud, dan tidak merencanakan, tetapi masih memiliki kecenderungan pada sesuatu, ini menjadi dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika ada dasar maka ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [50]
“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, dan tidak memiliki kecenderungan pada apapun, maka tidak ada dasar bagi kesinambungan kesadaran. Jika tidak ada dasar maka tidak ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran tidak terbentuk dan tidak berkembang, maka tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Jika tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan di masa depan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.” [51]
(SN 12:38; II 65-66)
(f) Asal-mula dan Lenyapnya Dunia
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang asal-mula dan lenyapnya dunia. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”
“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula dunia? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncullah ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka muncullah kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka muncullah penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncullah kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncullah penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.
“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa-kecapan … Dengan bergantung pada badan dan objek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncullah ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka muncullah kemelekatan … penjelmaan … kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncullah penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.
“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya dunia? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, muncullah ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya dunia.
“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka muncullah perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, muncullah ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan … lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya dunia.”
(SN 12:44; II 73-74)
(5) Melalui Empat Kebenaran Mulia(a) Kebenaran-kebenaran Semua Buddha
“Para bhikkhu, para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa lampau, yang telah tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa depan, yang akan tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya akan tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun di masa sekarang, yang tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya.
“Apakah empat ini? Kebenaran mulia penderitaan, kebenaran mulia asal-mula penderitaan, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan. Para Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna manapun, yang telah tercerahkan sempurna … yang akan tercerahkan sempurna … yang tercerahkan sempurna pada segala sesuatu sebagaimana adanya, semuanya tercerahkan sempurna pada Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya.
“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”
(SN 56:24; V 433-34)
(b) Empat Kebenaran Ini Adalah Kenyataan
“Para bhikkhu, empat hal ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. [52] Apakah empat ini?
“‘Ini adalah penderitaan’: ini, para bhikkhu, adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’: ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah.
“Empat hal ini adalah kenyataan, tidak pernah salah, tidak berubah.
“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”
(SN 56:20; V 430-31)
(c) Segenggam Daun
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Kosambi di sebuah hutan siṃsapā. Kemudian Sang Bhagavā mengambil sedikit daun siṃsapā dengan tanganNya dan berkata kepada para bhikkhu: “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: sedikit daun yang Kuambil dalam tanganKu ini atau dedaunan di atas kepala di hutan ini?”
“Yang Mulia, daun yang Sang Bhagavā ambil dalam tanganNya adalah sedikit, tetapi dedaunan di atas kepala di hutan ini adalah banyak.”
“Demikian pula, para bhikkhu, hal-hal yang secara langsung Kuketahui tetapi tidak Kuajarkan kepada kalian adalah banyak, sedangkan hal-hal yang Kuajarkan kepada kalian adalah sedikit. Dan mengapakah, para bhikkhu, Aku tidak mengajarkan banyak hal itu? Karena hal-hal itu adalah tidak bermanfaat, tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Aku tidak mengajarkannya.
“Dan apakah, para bhikkhu, yang telah Kuajarkan? Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku telah mengajarkan: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dan mengapakah, para bhikkhu, Aku mengajarkan ini? Karena ini bermanfaat, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Aku telah mengajarkannya.
“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”
(SN 56:31; V 437-38)
(d) Karena Tidak Memahami
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk Vajji di Koṭigāma. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, adalah karena tidak memahami dan tidak menembus Empat Kebenaran Mulia maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini. Apakah empat ini?
“Adalah, para bhikkhu, karena tidak memahami dan tidak menembus kebenaran mulia penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini. Adalah karena tidak memahami dan tidak menembus kebenaran mulia asal-mula penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan maka kalian dan Aku telah mengembara dan berkelana dalam perjalanan panjang saṃsāra ini.
“Kebenaran mulia penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia asal-mula penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran menuju penjelmaan [53] telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”
(SN 56:21; V 431-32)
(e) Jurang
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Puncak Gunung Nasar. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Ayo, para bhikkhu, mari kita pergi ke Puncak Inspirasi untuk melewatkan hari.”
“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Puncak Inspirasi. Salah seorang bhikkhu melihat jurang yang curam di Puncak Inspirasi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Jurang ini sungguh curam, Yang Mulia; jurang ini sangat menakutkan. Tetapi adakah, Yang Mulia, jurang lain yang lebih curam dan lebih menakutkan dari yang ini?”
“Ada, bhikkhu.”
“Tetapi, Yang Mulia, jurang apakah yang lebih curam dan lebih menakutkan dari yang ini?”
“Para petapa dan brahmana itu, bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ - mereka bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dengan bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Setelah menghasilkan bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka jatuh ke jurang kelahiran, penuaan, dan kematian; meraka jatuh ke jurang dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian. Mereka tidak terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Tetapi, bhikkhu, Para petapa dan brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ - mereka tidak bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dengan tidak bersenang-senang dalam bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak yang menuntun menuju dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Karena tidak menghasilkan bentukan-bentukan kehendak demikian, mereka tidak jatuh ke jurang kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak jatuh ke dalam jurang dukcita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”
(SN 56:42; V 448-50)