//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28544 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #60 on: 21 January 2012, 12:05:33 PM »
BAB VIII
PENDAHULUAN


Setelah menyajikan suatu tinjauan luas atas jalan yang melampaui keduniawian pada bab sebelumnya, dalam bab ini dan bab berikutnya saya bermaksud untuk mengalihkan perhatian pada hal yang lebih spesifik tentang dua aspek sang jalan seperti yang digambarkan dalam Nikāya-nikāya, meditasi dan kebijaksanaan. Seperti yang telah kita lihat, latihan bertahap dibagi menjadi tiga bagian terdiri dari disiplin moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan (baca pp.225-26). Displin moral dimulai dari pelaksanaan aturan-aturan, yang mengikat perbuatan-perbuatan seseorang dalam prinsip-prinsip perilaku yang berhati-hati dan pengendalian moral. Pelaksanaan aturan-aturan – dalam Nikāya-nikāya, khususnya peraturan monastik lengkap – disebut latihan dalam disiplin moral yang lebih tinggi (adhisīlasikkhā). Disiplin moral, jika dilaksanakan secara konsisten, akan menanamkan ke dalam batin kekuatan pemurnian kebajikan bermoral, yang menghasilkan kegembiraan dan keyakinan yang lebih mendalam pada Dhamma.

Dengan berdiri di atas disiplin moral, sang siswa melaksanakan praktik meditasi, yang ditujukan untuk menstabilkan batin dan menyingkirkan rintangan-rintangan dalam mengembangkan kebijaksanaan. Karena meditasi mengangkat pikiran melampaui tingkat normalnya, maka tahap praktik ini disebut latihan pikiran yang lebih tinggi (adhicittasikkhā). Karena membawa menuju keheningan dan ketenangan batin, maka ini juga disebut pengembangan ketenangan (samathabhāvanā). Praktik yang berhasil akan menghasilkan konsentrasi mendalam atau keterpusatan pikiran (samādhī), juga dikenal sebagai ketenangan internal pikiran (ajjhattaṃ cetosamatha). Jenis konsentrasi yang paling unggul yang diakui dalam Nikāya-nikāya adalah keempat jhāna, yang merupakan konsentrasi benar (sammā samādhi) dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di atas jhāna-jhāna ada empat pencapaian tanpa bentuk (arūpasamāpatti), yang membawa proses keterpusatan pikiran pada tingkat yang lebih halus lagi.

Tahap ke tiga dari praktik adalah latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññāsikkhā), dirancang untuk membangkitkan pandangan terang ke dalam sifat sejati dari segala sesuatu seperti yang diungkapkan oleh ajaran Sang Buddha. Hal ini akan dibahas secara terperinci dalam bab berikutnya.

Pilihan pertama di bawah, Teks VIII, 1, adalah bunga-rampai dari pernyataan-pernyataan singkat yang menekankan pada perlunya latihan pikiran. Ungkapan-ungkapan ini muncul secara berpasangan, bagian pertama mengisyaratkan bahaya dari pikiran yang tidak terlatih, bagian ke dua menguji manfaat dari pikiran yang terlatih. Pikiran yang tidak terlatih adalah mangsa empuk bagi kekotoran-kekotoran – keserakahan, kebencian dan kebodohan, dan turunannya. Kekotoran-kekotoran menghasilkan kamma yang tidak bermanfaat, yang membawa akibat menyakitkan, baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya. Karena kekotoran-kekotoran adalah penyebab dari penderitaan dan perbudakan kita, maka jalan menuju kebebasan pasti melibatkan proses latihan pikiran yang seksama yang dimaksudkan untuk mengatasinya dan pada akhirnya mencabutnya dari tempat pembiakannya di dalam relung pikiran. Dari pengembangan pikiran ini muncul kebahagiaan, kebebasan, dan kedamaian.

Pengembangan pikiran, dalam Nikāya-nikāya, berarti pengembangan ketenangan (samatha) dan pandangan terang (vipassanā). Teks VIII, 2(1) mengatakan bahwa ketika ketenangan terkembang, maka hal ini akan menuntun menuju konsentrasi dan kebebasan pikiran dari kekotoran-kekotoran emosional seperti nafsu dan niat-buruk. Ketika pandangan terang terkembang, maka hal ini menuntun menuju kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam sifat sejati fenomena dan secara permanen membebaskan pikiran dari kebodohan. Demikianlah kedua hal yang paling penting untuk menguasai pikiran adalah ketenangan dan pandangan terang.

Karena konsentrasi adalah landasan bagi kebijaksanaan, Nikāya-nikāya biasanya memperlakukan pengembangan ketenangan sebagai pelopor bagi pengembangan pandangan terang. Akan tetapi, karena bakat para meditator yeng berbeda-beda, beberapa sutta memperbolehkan pendekatan alternatif pada urutan ini. Teks VIII, 2(2) menjelaskan empat pendekatan dalam latihan pikiran.

1) Pendekatan pertama, pendekatan klasik, adalah mengembangkan ketenangan terlebih dulu dan pandangan terang kemudian. Yang dimaksudkan dengan “ketenangan” adalah jhāna-jhāna atau (menurut komentar Pāli) suatu kondisi yang berbatasan dengan jhāna-jhāna yang disebut konsentrasi “akses” atau “ambang” (upacārasamādhi).

2) Pendekatan ke dua adalah mengembangkan pandangan terang terlebih dulu dan ketenangan kemudian. Karena tidak mungkin ada pandangan terang sejati tanpa konsentrasi, maka para meditator – mungkin orang-orang dengan indria intelektual yang tajam – harus pertama-tama menggunakan konsentrasi sebagai landasan untuk memperoleh pandangan terang ke dalam karakteristik sejati dari fenomena-fenomena. Akan tetapi, tampaknya konsentrasi demikian, walaupun cukup untuk pandangan terang, namun tidak cukup kuat untuk menembus jalan adi-duniawi. Oleh karena itu, para meditator ini harus kembali pada tugas memusatkan pikiran sebelum melanjutkan pekerjaan pandangan terang. Pandangan terang demikian, yang berdasarkan pada konsentrasi, memuncak pada jalan adi-duniawi.

3) Pendekatan ke tiga adalah mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara bersamaan. Para meditator yang mengambil pendekatan ini pertama-tama mencapai tingkat konsentrasi tertentu, seperti salah satu jhāna atau pencapaian tanpa bentuk, dan kemudian menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terang. Setelah mengembangkan pandangan terang, mereka kemudian kembali pada konsentrasi, mencapai tingkatan jhāna atau pencapaian tanpa bentuk yang lainnya, dan menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terang. Demikianlah mereka berlatih hingga mereka mencapai jalan adi-duniawi.

4) Penjelasan dari pendekatan ke empat agak kabur. Sutta mengatakan bahwa “pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh gejolak sehubungan dengan ajaran,” dan kemudian, beberapa saat kemudian, ia memperoleh konsentrasi dan mencapai jalan adi-duniawi. Pernyataan ini menyiratkan seseorang yang pada awalnya digerakkan oleh keinginan yang begitu kuat untuk memahami Dhamma sehingga ia tidak mampu memusatkan perhatiannya pada objek meditasi. Selanjutnya, dengan bantuan suatu kondisi pendukung tertentu, orang itu berhasil menaklukkan pikirannya, memperoleh konsentrasi, dan mencapai jalan adi-duniawi.

Teks VIII, 2(3) sekali lagi menegaskan bahwa baik ketenangan maupun pandangan terang adalah penting, dan juga mengindikasikan kemahiran-kemahiran yang diperlukan untuk praktiknya masing-masing. Latihan ketenangan memerlukan kemahiran dalam mengokohkan, menenangkan, dan mengonsentrasikan pikiran. Latihan pandangan terang memerlukan kemahiran dalam mengamati, menyelidiki, dan melihat fenomena terkondisi, yang disebut “bentukan-bentukan” (saṅkhārā). Selaras dengan teks sebelumnya, sutta ini menegaskan bahwa beberapa meditator memulai dengan mengembangkan ketenangan pikiran internal, beberapa lainnya dengan mengembangkan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena, yang lain lagi mengembangkan keduanya secara bersamaan. Tetapi walaupun para meditator mungkin memulainya secara berbeda, namun pada akhirnya mereka semuanya akan mencapai keseimbangan yang sehat antara ketenangan dan pandangan terang. Titik keseimbangan yang tepat antara keduanya mungkin berbeda pada tiap-tiap orang, tetapi ketika seorang meditator mencapai keseimbangan yang tepat, maka ketenangan dan pandangan terang akan menggabungkan kekuatan untuk menghasilkan pengetahuan dan penglihatan pada Empat Kebenaran Mulia. Pengetahuan dan penglihatan ini – kebijaksanaan yang melampaui keduniawian – muncul dalam empat “cicilan” berbeda, empat tahap penembusan yang, secara berurutan, secara permanen menghancurkan kebodohan bersama dengan kekotoran-kekotoran yang mendampinginya.  [1] Teks VIII, 2(2) mengelompokkan kekotoran-kekotoran ini di bawah ungkapan “belenggu-belenggu dan kecenderungan tersembunyi.”

Rintangan-rintangan utama dalam pengembangan ketenangan dan pandangan terang secara kolektif disebut “lima rintangan,” yang telah kita bahas dalam penjelasan lengkap pada latihan bertahap (baca Teks VII, 4 §18). Teks VIII, 3 menyebutkan bahwa seperti halnya perbedaan kejernihan air menghalangi kita melihat dengan jelas pantulan wajah kita dalam semangkuk air, demikian pula kelima rintangan menghalangi kita memahami dengan benar kebaikan kita sendiri dan kebaikan orang lain. Oleh karena itu suatu usaha awal meditator harus dikerahkan untuk menjalankan tugas mengatasi rintangan-rintangan. Begitu rintangan-rintangan ini telah diatasi, maka keberhasilan dapat dipastikan dalam latihan ketenangan dan pandangan terang ini.

Teks VIII, 4 membandingkan tingkatan-tingkatan keberhasilan dalam pemurnian pikiran dengan pemurnian emas. Bhikkhu yang bermeditasi memulai dengan melenyapkan noda-noda kasar pada perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran; ini dicapai melalui disiplin moral dan introspeksi penuh kewaspadaan. Kemudian ia melenyapkan noda-noda tingkat menengah dari pikiran-pikiran tidak bermanfaat: pikiran-pikiran indriawi, niat-buruk, dan pikiran mencelakai. Berikutnya adalah noda-noda halus pikiran yang mengembara. Akhirnya, ia harus melenyapkan pikiran-pikiran tentang Dhamma, rintangan paling halus. Ketika seluruh pikiran kacau itu telah dilenyapkan, bhikkhu itu mencapai “keterpusatan pikiran” (ekodibhāva), landasan bagi enam “pengetahuan langsung” (abhiññā) yang memuncak dalam Kearahattaan, pengetahuan hancurnya noda-noda.

Nikāya-nikāya kadang-kadang membandingkan proses latihan pikiran ini dengan menjinakkan binatang liar. Seperti halnya seorang pelatih binatang harus menggunakan berbagai teknik untuk mengendalikan binatang, demikian pula meditator harus menggunakan berbagai metode untuk mengatasi pikiran. Tidaklah cukup dengan hanya menguasai satu teknik meditasi; seseorang harus mahir dalam sejumlah metode yang dimaksudkan sebagai penawar bagi rintangan batin tertentu. Dalam Teks VIII, 5 Sang Buddha menjelaskan lima teknik tambahan – di sini disebut “gambaran-gambaran” (nimitta) – yang dapat digunakan oleh seorang bhikkhu untuk melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan. Seseorang yang berhasil dalam mengatasi pikiran-pikiran kacau dengan menggunakan teknik-teknik ini disebut “seorang yang menguasai pergerakan pikiran.”

Sutta-sutta mengajarkan berbagai teknik meditasi yang mengarah pada konsentrasi. Salah satu formula terkenal membenturkan subjek meditasi dengan kondisi pikiran tidak bermanfaat yang ingin mereka perbaiki. Demikianlah meditasi pada sifat ketidak-menarikan jasmani (baca Teks VIII, 8 §10) adalah obat bagi nafsu indria; cinta kasih adalah obat bagi niat-buruk; perhatian pada pernafasan adalah obat bagi kegelisahan; dan persepsi ketidak-kekalan adalah obat bagi keangkuhan “aku.”  [2] Persepsi ketidak-kekalan adalah subjek meditasi pandangan terang, ketiga lainnya adalah subjek-subjek meditasi ketenangan. Cinta kasih adalah yang pertama dari empat kediaman brahma (brahmavihāra) atau kondisi tanpa batas (appamaññā) yang dibahas secara singkat pada bab V: cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan tanpa batas. Ini berturut-turut adalah obat bagi niat-buruk, keinginan mencelakai, ketidak-puasan, dan keberpihakan. Karena kita telah mempelajari paragraf kanonis standard tentang kediaman brahma sehubungan dengan meditasi sebagai landasan bagi kebajikan – baca Teks V, 5(2) – untuk melihat dari sudut lain pada praktik ini saya telah memasukkan di sini, dalam Teks VIII, 6, perumpamaan gergaji yang terkenal, sebuah paragraf yang memperlihatkan bagaimana cinta kasih bekerja.

Selama berabad-abad subjek meditasi yang paling terkenal di antara umat Buddhis awam mungkin adalah enam perenungan (anussati): Buddha, Dhamma, Saṅgha, moralitas, kedermawanan, dan para deva. Teks VIII, 7 adalah sumber kanonis penting bagi meditasi-meditasi ini. Temanya secara khusus dekat pada batin dan pengalaman sehari-hari dari orang-orang yang menjalani kehidupan rumah tangga dalam budaya yang penuh dengan nilai-nilai Buddhis. Praktik-praktik meditasi ini pada gilirannya memperkaya dan mengangkat kehidupan mereka, membawa mereka pada kontak spiritual yang lebih dekat dengan idealisme keyakinan religius. Tiga yang pertama adalah perenungan pengabdian utama yang dibangun di atas keyakinan pada Tiga Permata; tetapi walaupun dimulai dengan keyakinan, namun hanya memberikan pikiran secara sementara dari kekotoran-kekotoran dan mendukung konsentrasi terus-menerus. Meditasi pada disiplin moral mengembangkan pelaksanaan aturan-aturan, suatu praktik yang ditujukan pada manfaat pribadi; perenungan kedermawanan dibangun di atas praktik memberi, suatu praktik altruistik; perenungan para deva adalah perenungan atas buah dari keyakinan, moralitas, kedermawanan, dan kebijaksanaan seseorang ketika matang dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Khotbah yang umumnya dianggap memberikan instruksi yang paling komprehensif tentang praktik meditasi adalah Satipaṭṭhāna Sutta.  [3] Ada dua versi dari sutta ini, versi yang lebih panjang pada Dīgha Nikāya, dan versi menengah pada Majjhima Nikāya. Yang pertama berbeda dengan yang ke dua hanya dalam hal analisis Empat Kebenaran Mulia, yang mungkin berasal dari naskah komentar awal yang dimasukkan ke dalam khotbah. Versi menengah dimasukkan di sini sebagai Teks VIII, 8. Keseluruhan bab dalam Saṃyutta Nikāya, Satipatṭhānasaṃyutta, juga khusus membahas sistem meditasi ini.



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #61 on: 21 January 2012, 12:06:14 PM »
Satipaṭṭhāna Sutta tidak merekomendasikan satu subjek meditasi tunggal juga bahkan satu metode meditasi tunggal. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk menjelaskan bagaimana menegakkan cara perenungan yang diperlukan agar sampai pada pencapaian Nibbāna. Kerangka pikiran yang benar yang harus ditegakkan, seperti yang disiratkan oleh judul sutta ini, disebut suatu “penegakan perhatian.” Kata satipaṭṭhāna seharusnya dipahami sebagai suatu kata majemuk dari sati, perhatian, dan upaṭṭhāna, penegakan; karena itu “penegakan perhatian” menjadi terjemahan yang paling baik dalam menangkap makna aslinya. Menurut formula standar yang menyertai masing-masing latihan, satipaṭṭhāna adalah cara berdiam (viharati). Cara berdiam ini melibatkan pengamatan objek-objek dalam kerangka pikiran yang benar. Kerangka pikiran terdiri dari tiga kualitas positif: energi (ātāpa, “semangat”), perhatian (sati), dan pemahaman jernih (sampajañña). Kata sati awalnya bermakna ingatan, tetapi dalam konteks ini menyiratkan perenungan pada kekinian, kewaspadaan terus-menerus pada apa yang sedang terjadi pada kita dan dalam diri kita pada tiap-tiap peristiwa yang dialami. Perhatian, dalam tahap awalnya, adalah berhubungan dengan mempertahankan pikiran kontemplatif secara terus-menerus pada objeknya, yang berarti mempertahankan objek agar selalu ada dalam pikiran secara terus-menerus. Perhatian menjaga pikiran agar tidak tergelincir, tidak hanyut terbawa ayunan pikiran-pikiran yang acak menjadi proliferasi pikiran dan kelengahan. Perhatian sering dikatakan muncul bersamaan dengan “pemahaman jernih,” pengetahuan dan pemahaman jernih pada apa yang sedang dialami.

Formula pembukaan dari sutta mengatakan bahwa seseorang melakukan praktik ini setelah “menyingkirkan ketamakan dan keengganan sehubungan dengan dunia” (vineyya loke abhijjhā-domanassaṃ). Ungkapan “Setelah menyingkirkan” tidak harus menandakan bahwa ia pertama-tama harus mengatasi ketamakan dan keengganan – yang, menurut komentar, menyiratkan keserakahan dan kebencian, dan dengan demikian juga merepresentasikan kelima rintangan – sebelum ia dapat memulai praktik satipaṭṭhāna. Ungkapan ini dapat berarti bahwa praktik itu sendiri adalah cara untuk mengatasi ketamakan dan keengganan. Demikianlah, sambil membangkitkan kualitas-kualitas positif kegigihan, perhatian, dan pemahaman jernih, dan merenungkan empat bidang objek: badan jasmani, perasaan, kondisi-kondisi pikiran, dan fenomena-fenomena. Adalah empat bidang objektif ini yang membedakan pengamatan penuh perhatian ke dalam empat penegakan perhatian.

Empat bidang objektif membagi porsi pembabaran dalam Satipaṭṭhāna Sutta menjadi empat bagian utama. Dua di antaranya, yang pertama dan yang ke empat, memiliki beberapa pembagian lagi. Jika pembagian-pembagian ini dijumlahkan, kita mendapatkan seluruhnya dua puluh satu subjek meditasi. Beberapa di antaranya dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan ketenangan (samatha), tetapi sistem satipaṭṭhāna secara keseluruhan tampaknya dirancang khusus untuk mengembangkan pandangan terang. Bagian utama dengan pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Perenungan badan jasmani (kāyānupassanā). Ini terdiri dari empat belas subjek meditasi: perhatian pada pernafasan; perenungan pada empat postur; pemahaman jernih pada aktivitas-aktivitas; perhatian pada ketidak-menarikan sifat badan jasmani (dilihat melalui bagian-bagian tubuh dan jaringannya); perhatian pada elemen-elemen; dan sembilan perenungan tanah pekuburan, perenungan yang berdasarkan pada mayat dalam berbagai tahap pembusukan.

2. Perenungan perasaan (vedanānupassanā). Perasaan dibedakan dalam tiga jenis utama – menyenangkan, menyakitkan, dan bukan menyakitkan dan bukan menyenangkan – yang masing-masingnya lebih jauh lagi dibedakan dalam perasaan-perasaan jasmani dan spiritual. Akan tetapi, karena semua ini hanyalah jenis-jenis perasaan yang berbeda, maka perenungan perasaan ini dianggap sebagai satu subjek.

3. Perenungan pikiran (cittānupassanā). Ini adalah salah satu subjek perenungan – pikiran – dibedakan dalam delapan pasang kondisi pikiran yang berlawanan.

4. Perenungan fenomena-fenomena (dhammānupassanā). Kata dhammā di sini mungkin menyiratkan fenomena, yang dikelompokkan dalam lima kategori yang diatur oleh ajaran Buddha, Dhamma. Demikianlah dhammānupassanā memiliki makna ganda, “dhamma (fenomena) yang direnungkan melalui Dhamma (ajaran).” Kelima kategori adalah : lima rintangan, lima kelompok unsur kehidupan, enam landasan indria internal dan eksternal, tujuh faktor pencerahan, dan Empat Kebenaran Mulia.

Walaupun tidak disebutkan dalam sutta, suatu urutan progresif tampaknya disiratkan oleh kata-kata yang menjelaskan masing-masing perenungan. Dalam perhatian pada pernafasan seseorang maju ke tahap diam yang lebih halus; dalam perenungan perasaan, seseorang maju ke arah perasaan-perasaan bukan jasmaniah yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan; dalam perenungan pikiran, seseorang maju ke arah kondisi-kondisi pikiran yang terkonsentrasi dan terbebaskan. Semua ini menyiratkan bahwa perenungan progresif menghasilkan konsentrasi yang lebih baik. Dalam perenungan fenomena-fenomena, penekanannya berpindah ke arah pandangan terang. Seseorang memulai dengan mengamati dan mengatasi kelima rintangan. Keberhasilan dalam mengatasi rintangan-rintangan menandai keberhasilan dalam konsentrasi. Dengan pikiran terkonsentrasi, seseorang merenungkan kelima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria. Ketika perenungan itu mendapatkan momentum, ketujuh faktor pencerahan akan muncul, dan pengembangan tujuh faktor pencerahan memuncak dalam pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Pengetahuan akan Empat Kebenaran Mulia membebaskan pikiran dari kekotoran-kekotoran dan dengan demikian menuntun menuju pencapaian Nibbāna. Demikianlah sistem meditasi ini memenuhi potensi yang oleh Sang Buddha dikatakan menuntun secara langsung menuju pencapaian Nibbāna.

Masing-masing latihan perenungan disertai dengan suatu bagian tambahan, suatu “pengulangan” dengan empat bagian. Yang pertama menyebutkan bahwa sang meditator merenungkan objek secara internal (dalam pengalamannya sendiri), secara eksternal (secara reflektif merenungkannya sebagai terjadi dalam pengalaman orang lain), dan keduanya; hal ini memastikan bahwa ia memperoleh pandangan yang komprehensif dan seimbang pada objek. Bagian ke dua menyebutkan bahwa sang meditator merenungkan objek sebagai tunduk pada asal-mula, sebagai tunduk pada pelenyapan, dan sebagai tunduk pada asal-mula dan lenyapnya; hal ini menerangi karakteristik ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri (anicca, dukkha, anattā). Bagian ke tiga menyebutkan bahwa sang meditator menyadari hanya objek saja hingga sejauh yang diperlukan bagi perhatian dan pengetahuan yang konstan. Dan bagian ke empat menjelaskan sang meditator sebagai berdiam dalam kondisi yang terlepas sepenuhnya, tidak melekat pada apapun di dunia.

Dalam Satipaṭṭhāna Sutta, perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) termasuk hanya sebagai salah satu subjek meditasi di antara subjek-subjek lainnya, tetapi Nikāya-nikāya memberinya suatu posisi yang penting secara fundamental. Sang Buddha mengatakan bahwa ia menggunakan perhatian pada pernafasan sebagai subjek meditasi utama untuk mencapai pencerahan (baca SN 54:8; V 317). Selama karir pengajaranNya, Beliau sering memasuki keterasingan untuk menekuni “konsentrasi yang diperoleh melalui perhatian pada pernafasan” dan Beliau menganugerahkan kehormatan istimewa pada meditasi ini dengan menyebutnya “kediaman Sang Tathāgata” (SN 54:11; V 326).

Perhatian pada pernafasan adalah judul dari satu bab dalam Saṃyutta Nikāya (SN 54, Ānāpānasaṃyutta). Sementara Satipaṭṭhāna Sutta menjelaskan perhatian pada pernafasan melalui formula empat langkah, sutta-sutta dalam koleksi ini memperluas praktiknya menjadi enam belas langkah. Teks VIII, 9, dari Ānāpānasaṃyutta, menjelaskan keenam-belas langkah ini. Karena langkah-langkah ini tidak harus berurutan namun sebagian saling bertumpang tindih, maka langkah-langkah ini dapat dianggap lebih sebagai segi-segi daripada langkah-langkah sesungguhnya. Keenam-belas segi ini dikelompokkan dalam empat tetrad yang masing-masingnya bersesuaian dengan satu dari empat penegakan perhatian. Tetrad pertama terdiri dari empat segi yang disebutkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta pada bagian perenungan badan jasmani, tetapi tetrad-tetrad lainnya memperluas praktiknya pada perenungan perasaan, pikiran, dan fenomena-fenomena. Demikianlah perhatian pada pernafasan dapat memenuhi bukan saja satu melainkan seluruh empat penegakan perhatian. Keempat penegakan perhatian ini, yang berdasarkan pada perhatian pada pernafasan, pada gilirannya akan memenuhi ketujuh faktor pencerahan; dan ketujuh faktor pencerahan ini pada gilirannya akan memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati. Demikianlah penjelasan ini menunjukkan perhatian pada pernafasan sebagai suatu subjek meditasi yang lengkap yang dimulai dengan perhatian yang sederhana pada pernafasan dan memuncak pada kebebasan pikiran secara permanen.

Akhirnya, dalam Teks VIII, 10, siswa utama Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta, memberikan kesaksian akan penguasaan pikirannya. Dalam menjawab pertanyaan dari Yang Mulia Ānanda, ia menjelaskan bagaimana ia mampu berdiam sepanjang hari dalam tiap-tiap tingkatan jhāna dan pencapaian tanpa bentuk, serta dalam pencapaian istimewa yang disebut lenyapnya persepsi dan perasaan (saññāvedayitanirodha). Dalam masing-masing kasus, karena ia adalah seorang Arahant, maka ia dapat melakukannya tanpa menggenggam pencapaian-pencapaian ini dengan pikiran “aku” atau “milikku.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #62 on: 21 January 2012, 12:07:19 PM »
VIII. MENGUASAI PIKIRAN

1. PIKIRAN ADALAH KUNCINYA

1. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu kaku seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang adalah sungguh kaku.

2. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang begitu lentur seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang terkembang adalah sungguh lentur.

3.  “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju bahaya besar seperti halnya pikiran yang tidak terkembang. Pikiran yang tidak terkembang mengarah menuju bahaya besar.

4. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang mengarah menuju manfaat besar seperti halnya pikiran yang terkembang. Pikiran yang  terkembang mengarah menuju manfaat besar.

9. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika tidak dikembangkan dan tidak dilatih akan membawa penderitaan luar biasa.

10. “Aku tidak melihat bahkan satu hal lain, O para bhikkhu, yang jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa seperti halnya pikiran. Pikiran jika dikembangkan dan dilatih akan membawa kebahagiaan luar biasa.”

(AN 1: iii, 1, 2, 3, 4, 9, 10; I 5-6)

2. MENGEMBANGKAN SEPASANG KETERAMPILAN

(1) Ketenangan dan Pandangan Terang

“Dua hal, O para bhikkhu, berperan dalam pengetahuan sejati. Apakah dua ini? Ketenangan dan Pandangan Terang.

“Ketika ketenangan dikembangkan, manfaat apakah yang dialami seseorang? Pikiran terkembang. Ketika pikiran terkembang, manfaat apakah yang dialami seseorang? Semua nafsu ditinggalkan.  [4]

“Ketika pandangan terang dikembangkan, manfaat apakah yang dialami seseorang? Kebijaksanaan terkembang. Ketika kebijaksanaan terkembang, manfaat apakah yang dialami seseorang? Semua kebodohan ditinggalkan.  [5]

“Pikiran yang dikotori oleh nafsu adalah tidak terbebaskan; dan kebijaksanaan yang dikotori oleh kebodohan adalah tidak terkembang. Demikianlah, para bhikkhu, melalui meluruhnya nafsu maka ada kebebasan pikiran; dan melalui meluruhnya kebodohan ada kebebasan melalui kebijaksanaan.”  [6]

(AN 2: iii, 10; I 61)

(2) Empat Jalan Menuju Kearahattaan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Vihara Ghosita. Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Teman-teman!”

“Ya, Teman,” para bhikkhu menjawab. Selanjutnya Yang Mulia Ānanda berkata:

“Teman-teman, para bhikkhu dan bhikkhunī manapun yang menyatakan kepadaku bahwa mereka telah mencapai pengetahuan akhir Kearahattan, mereka semuanya melakukannya dalam salah satu dari empat cara ini. Apakah empat ini?

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan.  [7] Ketika ia mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan itu, sang jalan muncul padanya. Sekarang ia mengikuti, mengembangkan, dan melatih jalan itu, dan ketika ia melakukan demikian, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan tersembunyi dilenyapkan.  [8]

“Atau, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang.  [9] Ketika ia mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang itu, sang jalan muncul padanya. Sekarang ia mengikuti, mengembangkan, dan melatih jalan itu, dan ketika ia melakukan demikian, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan tersembunyi dilenyapkan.

“Atau, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara berpasangan.  [10] Ketika ia mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara berpasangan itu, sang jalan muncul padanya. Sekarang ia mengikuti, mengembangkan, dan melatih jalan itu, dan ketika ia melakukan demikian, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan tersembunyi dilenyapkan.

“Atau, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh gejolak sehubungan dengan ajaran.  [11] Tetapi ada saatnya ketika pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi; kemudian sang jalan muncul padanya. Sekarang ia mengikuti, mengembangkan, dan melatih jalan itu, dan ketika ia melakukan demikian, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan tersembunyi dilenyapkan.

“Teman-teman, para bhikkhu dan bhikkhunī manapun yang menyatakan kepadaku bahwa mereka telah mencapai pengetahuan akhir Kearahattan, mereka semuanya melakukannya dalam salah satu dari empat cara ini.”

(AN 4:170; II 156-57)

(3) Empat Jenis Individu

“Empat jenis individu ini, O para bhikkhu, terdapat di dunia ini. Apakah empat ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang tertentu mencapai ketenangan pikiran internal tetapi tidak mencapai kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.  [12] Seorang lainnya mencapai pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak mencapai ketenangan pikiran internal. Seorang lainnya lagi tidak mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. Dan seorang lainnya lagi mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

“Di sana, para bhikkhu, orang yang mencapai ketenangan pikiran internal tetapi tidak mencapai kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi orang yang mencapai kebijaksanaan lebih tinggi dan menanyakan: ‘Bagaimanakah, teman, bentukan-bentukan itu seharusnya dilihat? Bagaimanakah bentukan-bentukan itu diselidiki? Bagaimanakah bentukan-bentukan itu dikenali dengan pandangan terang?’  [13] Kemudian orang lain itu menjawabnya seperti yang ia lihat dan ia pahami sehubungan dengan persoalan itu sebagai berikut: ‘Bentukan-bentukan harus dilihat dengan cara demikian; bentukan-bentukan harus diselidiki dengan cara demikian; bentukan-bentukan harus dikenali dengan pandangan terang dengan cara demikian.’ Dan kelak di kemudian hari orang itu mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

“Di sana, para bhikkhu, orang yang mencapai kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak mencapai ketenangan pikiran internal harus mendatangi orang yang mencapai ketenangan internal dan menanyakan: ‘Bagaimanakah, teman, pikiran ini didiamkan? Bagaimanakah pikiran ini ditenangkan? Bagaimanakah dipusatkan? Bagaimanakah pikiran ini dikonsentrasikan?’ Kemudian orang lain itu menjawabnya seperti yang ia lihat dan ia pahami sehubungan dengan persoalan itu sebagai berikut: ‘Pikiran harus didiamkan dengan cara demikian, ditenangkan dengan cara demikian, dipusatkan dengan cara demikian, dikonsentrasikan dengan cara demikian.’ Dan kelak di kemudian hari orang itu mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

“Di sana, para bhikkhu, orang yang tidak mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi orang yang mencapai keduanya dan menanyakan: ‘Bagaimanakah, teman, pikiran ini didiamkan? … Bagaimanakah, teman, bentukan-bentukan itu seharusnya dilihat? ...’ Kemudian orang lain itu menjawabnya seperti yang ia lihat dan ia pahami sehubungan dengan persoalan itu sebagai berikut: ‘Pikiran harus didiamkan dengan cara demikian … Bentukan-bentukan harus dilihat dengan cara demikian …’ Dan kelak di kemudian hari orang itu mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

“Di sana, para bhikkhu, orang yang mencapai baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena harus memantapkan dirinya dalam kondisi-kondisi bermanfaat ini dan berusaha lebih jauh demi hancurnya noda-noda.”

(AN 4:94; II 93-95)

3. RINTANGAN-RINTANGAN PADA PENGEMBANGAN BATIN

Brahmana Saṇgārava mendatangi Sang Bhagavā, saling bertukar sapa dengan Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Guru Gotama, apakah sebab dan alasan mengapa kadang-kadang teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang? Apakah sebab dan alasan mengapa kadang-kadang teks-teks yang belum pernah diulang dalam waktu yang lama dapat teringat, apalagi yang sudah pernah diulang?”

“Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh nafsu indria, diliputi oleh nafsu indria, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indria yang telah muncul,  [14] maka pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain. Dan bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang dicampur dengan pewarna merah, kuning, biru, atau merah tua. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia tidak akan mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh nafsu indria … maka pada saat itu bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Kemudian, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh niat buruk, diliputi oleh niat buruk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain. Dan bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang dipanaskan di atas api, bergelembung dan mendidih. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia tidak akan mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh niat buruk … maka pada saat itu bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Kemudian, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan, diliputi oleh kelambanan dan ketumpulan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kelambanan dan ketumpulan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain. Dan bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang tertutup oleh tanaman air dan ganggang. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia tidak akan mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan … maka pada saat itu bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Kemudian, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kegelisahan dan penyesalan, diliputi oleh kegelisahan dan penyesalan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain. Dan bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang teraduk oleh angin, beriak, berpusar, berombak. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia tidak akan mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kegelisahan dan penyesalan … maka pada saat itu bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Kemudian, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh keragu-raguan, diliputi oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain. Dan bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang keruh, terguncang, berlumpur, diletakkan di tempat gelap. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia tidak akan mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh keragu-raguan … maka pada saat itu bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Inilah, Brahmana, sebab dan alasan mengapa bahkan teks-teks yang sudah pernah diulang dalam waktu yang lama tidak dapat teringat, apalagi yang belum pernah diulang.

“Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran tidak dikuasai oleh nafsu indria, niat buruk, kelambanan dan ketumpulan, kegelisahan dan penyesalan, atau keragu-raguan, maka pada saat itu bahkan teks-teks yang belum pernah diulang dalam waktu yang lama dapat teringat, apalagi yang sudah pernah diulang.

“Misalkan, Brahmana, ada semangkuk air yang tidak dicampur dengan pewarna, tidak bergelembung atau mendidih, tidak tertutup oleh tanaman air dan ganggang, tidak teraduk oleh angin dan tidak berombak; jernih, tenang, bening, dan terpapar cahaya. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, maka ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran tidak dikuasai oleh nafsu indria, niat buruk, kelambanan dan ketumpulan, kegelisahan dan penyesalan, atau keragu-raguan, maka pada saat itu bahkan teks-teks yang belum pernah diulang dalam waktu yang lama dapat teringat, apalagi yang sudah pernah diulang.

“Inilah, Brahmana, sebab dan alasan mengapa bahkan teks-teks yang belum pernah diulang dalam waktu yang lama dapat teringat, apalagi yang sudah pernah diulang.” …

Ketika hal ini telah dikatakan, Brahmana Saṅgārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menerimaku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga hidup berakhir.”

(SN 46:55, diringkas; V 121-26)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #63 on: 21 January 2012, 12:08:09 PM »
4. PEMURNIAN PIKIRAN

“Ada, O para bhikkhu, noda-noda kasar pada emas, seperti debu dan tanah, batu dan pasir. Sekarang si pandai emas atau muridnya pertama-tama menuangkan emas itu ke dalam sebuah palung dan mencucinya, membilasnya, dan membersihkannya secara seksama. Setelah ia melakukan hal itu, masih tersisa noda-noda menengah pada emas itu, seperti bebatuan halus dan pasir kasar. Kemudian si pandai emas atau muridnya mencucinya, membilasnya, dan membersihkannya lagi. Setelah ia melakukan hal itu, masih tersisa noda-noda halus pada emas itu, seperti pasir halus dan debu hitam. Sekarang si pandai emas atau muridnya mengulangi pencucian, dan setelah itu hanya tersisa debu emas.

“Sekarang ia menuangkan emas itu ke dalam kendi peleleh, meleburnya, dan melelehkannya. Tetapi ia masih belum mengeluarkannya dari kendi, karena noda-noda yang seharusnya dihilangkan masih belum sepenuhnya dihilangkan dan emas itu masih belum cukup lentur, dapat dikerjakan, dan cemerlang; emas itu masih rapuh dan belum dapat dibentuk dengan mudah. Tetapi tiba saatnya ketika si pandai emas atau muridnya mengulangi peleburan itu dengan seksama, sehingga cacat-cacatnya sepenuhnya telah dihilangkan. Emas itu sekarang sudah cukup lentur, dapat dikerjakan, dan cemerlang, dan mudah dibentuk. Perhiasan apapun yang ingin dikerjakan oleh si pandai emas itu, apakah mahkota, giwang, kalung, atau rantai emas, emas itu sekarang dapat digunakan untuk tujuan itu.

“Demikian pula, para bhikkhu, pada seorang bhikkhu yang menekuni latihan pikiran yang lebih tinggi: terdapat dalam dirinya noda-noda kasar, yaitu, perilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Perilaku yang ditinggalkan, dihalau, dilenyapkan, dan dihapuskan oleh seorang bhikkhu yang tekun dan cakap.

“Ketika ia telah meninggalkan hal-hal ini, masih ada noda-noda tingkat menengah yang melekat padanya, yaitu, pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai.  [15] Pikiran-pikiran yang ditinggalkan, dihalau, dilenyapkan, dan dihapuskan oleh seorang bhikkhu yang tekun dan cakap.

“Ketika ia telah meninggalkan hal-hal ini, masih ada pikiran-pikiran sehubungan dengan ajaran yang tertinggal.  [16] Konsentrasi masih belum damai dan luhur; masih belum mencapai ketenangan penuh, juga belum mencapai keterpusatan pikiran; konsentrasi ini dipelihara oleh penekanan keras pada kekotoran-kekotoran.

“Tetapi tiba saatnya ketika pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Konsentrasi itu kemudian menjadi tenang dan halus; konsentrasi ini telah mencapai ketenangan penuh dan mencapai keterpusatan pikiran; konsentrasi ini tidak dipelihara oleh penekanan keras pada kekotoran-kekotoran.

“Kemudian, kondisi pikiran apapun yang dapat ditembus oleh pengetahuan langsung, ia mengarahkan pikirannya, ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.  [17]

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku memiliki berbagai jenis kekuatan spiritual: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku dapat muncul dan lenyap; pergi tanpa terhalangi menembus tembok, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong, menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; berjalan di angkasa seperti burung sambil duduk bersila; menyentuh dan memegang bulan dan matahari dengan tanganku, begitu kuat dan perkasa’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.

“Jika ia berkehendak: ‘Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku mendengar kedua jenis suara, surgawi dan duniawi, yang jauh maupun dekat’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu; pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian; pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan kebodohan sebagai pikiran dengan kebodohan; pikiran tanpa kebodohan sebagai pikiran tanpa kebodohan; pikiran mengerut sebagai mengerut, dan pikiran kacau sebagai kacau; pikiran luhur sebagai luhur, dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; pikiran terbatas sebagai terbatas, dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi, dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai terbebaskan, dan pikiran tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampauku … [baca teks II, 3(2) §38] … dengan segala aspek dan ciri-cirinya’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.

“Jika ia berkehendak, ‘Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … [baca Teks II, 3(2) §40] … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.

“Jika ia berkehendak, ‘Dengan hancurnya noda-noda, semoga aku dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan menembusnya untuk diriku dengan pengetahuan langsung’ - ia mencapai kapasitas menembus kondisi itu dengan pengetahuan langsung, kapan saja kondisi yang diperlukan tercapai.”

(AN 3:100 §§1-10; I 253-56)

5. PELENYAPAN PIKIRAN-PIKIRAN KACAU

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan lima gambaran.  [18] Apakah lima ini?

3. (i) “Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka ia harus memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat.  [19] Ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya dapat menghancurkan, menghilangkan, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi.

4. (ii) “Jika, sewaktu ia sedang memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini tidak bermanfaat, tercela, berakibat pada penderitaan.’ Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang,  terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan, muda, belia, dan menyukai hiasan, akan ketakutan, malu, dan jijik jika mayat seekor ular atau seekor anjing atau manusia digantungkan dilehernya, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa pikiran-pikiran ini … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, dan terkonsentrasi.

5. (iii) “Jika, sewaktu ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya. Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang dengan mata yang baik, yang tidak ingin melihat bentuk-bentuk yang ada dalam jarak pandangannya akan menutup matanya atau menatap ke arah lain, demikian pula … Ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut.  [20] Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat?’ dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri?’ dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berdiri? Bagaimana jika aku duduk?’ dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring?’ dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi.

7. (v) “Jika, sewaktu ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, maka dengan berkertak gigi dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Ketika, dengan berkertak gigi dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang kuat yang menangkap seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahu dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula … ketika, dengan berkertak gigi dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi.

8. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, kemudian ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memperhatikannya … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika, dengan berkertak gigi dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini dapat disebut seorang ahli dalam pengarahan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apapun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan nafsu, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 20: Vitakkasaṇṭhāna Sutta; I 118-22)

6. PIKIRAN CINTA KASIH

11. “Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan  atau dengan kejahatan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya,  [21] kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu ...




20. “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam pada bagian demi bagian tubuh dengan gergaji berpegangan ganda, ia yang memunculkan pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasih demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian. Kami akan berdiam dengan melingkupi mereka dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan diri mereka, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

21. “Para bhikkhu, jika kalian terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini, apakah kalian melihat ada ucapan, remeh atau menjijikan, yang tidak dapat kalian terima?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini. Hal ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”

(dari MN 21: Kakacūpama Sutta; I 126-27, 29)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #64 on: 21 January 2012, 12:13:50 PM »
7. ENAM PERENUNGAN

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kapilavatthu di Vihara pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:  [22]

“Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang siswa mulia sering berdiam ketika ia telah sampai pada buah dan memahami ajaran?”  [23]

“Ketika, Mahānāma, seorang siswa mulia telah sampai pada buah dan memahami ajaran, ia sering berdiam dengan cara sebagai berikut. Di sini, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, suci, pengenal segenap alam, pemimpin yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Terberkahi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Sang Tathāgata sebagai objeknya. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi pada makna, inspirasi pada Dhamma, memperoleh sukacita sehubungan dengan Dhamma. Ketika ia bersukacita, kegembiraan muncul; pada seseorang yang terangkat oleh kegembiraan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Sang Buddha.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, layak diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Dhamma sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Dhamma.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang seharusnya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan Saṅgha sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada Saṅgha.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya sendiri sebagai berikut: ‘Aku memiliki moralitas yang disenangi para mulia, tidak rusak, tidak koyak, tanpa noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada konsentrasi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan disiplin moralnya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan moralitas sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada disiplin moral.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Adalah keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa dalam suatu populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran ini, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, bermurah hati, bertangan terbuka, gembira dalam pelepasan, seorang yang mengabdi pada kedermawanan, gembira dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan kedermawanannya demikian, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan kedermawanan sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada kedermawanan.

“Lebih jauh lagi, Mahānāma, seorang siswa mulia mengembangkan perenungan pada para deva sebagai berikut: ‘Ada para deva dalam berbagai alam surga.  [24]  Terdapat dalam diriku keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu yang dengannya, ketika mereka meninggal dunia dari dunia ini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, disiplin moral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para deva itu, pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan; pikirannya lurus, dengan para deva sebagai objeknya ... Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam dengan tenang di tengah-tengah populasi yang tidak tenang, yang berdiam tanpa kesusahan di tengah-tengah populasi yang kesusahan, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan pada para deva.

“Seorang siswa mulia, Mahānāma, yang telah sampai pada buah dan memahami ajaran sering kali berdiam dalam cara ini.”

(AN 6:10; III 284-88)

8. EMPAT PENEGAKAN PERHATIAN

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ini adalah jalan satu-arah  [25] untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat penegakan perhatian.

3. “Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.  [26]Ia berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia-dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena, tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan-kesedihan sehubungan dengan dunia.  [27]

[PERENUNGAN JASMANI]

(1. Perhatian pada Pernafasan)

4. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’  [28]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’  [29] Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’  [30] Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami: ‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ … ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

5. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal.  [31] Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani.  [32] Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

(2. Empat Postur)

6. “Kemudian, para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘Aku sedang berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘Aku duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘Aku sedang berbaring’; atau ia memahami sebagaimana adanya bagaimanapun tubuhnya berposisi.  [33]

7. “Dengan cara ini ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, eksternal, dan secara internal dan eksternal … dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

(3. Pemahaman Jernih)

8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan maju atau mundur;  [34] yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

9. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

(4. Kejijikan – Bagian-bagian Tubuh)

10. “Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, selaput usus tengah, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’  [35] Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya: ‘Ini adalah beras-gunung, Ini adalah beras-merah, Ini adalah kacang, Ini adalah kacang polong, Ini adalah padi-padian, ini adalah beras putih’; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’

11. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

(5. Unsur-unsur)

12. “Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun ia berada, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’  [36] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini … sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’

13. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

(6-14. Sembilan Perenungan Tanah Pekuburan)

14. “Kemudian, para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’  [37]

15. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

16. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

17. “… Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

18-24. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arah – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak - seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’  [38]

25. “… Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

26-30. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang … tulang-belulangnya menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun, lapuk dan hancur menjadi debu, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

31. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada jasmani’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani di dalam jasmani.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #65 on: 21 January 2012, 12:19:48 PM »
[PERENUNGAN PERASAAN]

32. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan?  [39] Di sini, ketika merasakan suatu perasaan menyenangkan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan’; ketika merasakan perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan’; ketika merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’ Ketika merasakan perasaan jasmaniah yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan jasmaniah yang menyenangkan’; ketika merasakan perasaan spiritual yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan spiritual yang menyenangkan’; ketika merasakan perasaan jasmaniah yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan jasmaniah yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan spiritual yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan spiritual yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan jasmaniah yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan jasmaniah yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’; ketika merasakan perasaan spiritual yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan spiritual yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’

33. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan secara internal, atau ia berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam perasaan.  [40] Atau penuh perhatian bahwa ‘ada perasaan’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan.

[PERENUNGAN PIKIRAN]

34. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran?  [41] Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai tidak luhur. Ia memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.  [42]

35. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam pikiran.  [43] Atau penuh perhatian bahwa ‘ada pikiran’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran di dalam pikiran.

[PERENUNGAN FENOMENA-FENOMENA]

(1. Lima Rintangan)

36. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena? Di sini seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan lima rintangan.  [44] Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan lima rintangan? Di sini, jika muncul keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau jika tidak ada keinginan indria dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya keinginan indria yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keinginan indria yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan indria yang telah ditinggalkan.  [45]

“Jika terdapat niat buruk dalam dirinya … Jika terdapat kelambanan dan ketumpulan dalam dirinya … Jika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … Jika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau jika tidak ada keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keragu-raguan dalam diriku’; dan ia memahami bagaimana munculnya keragu-raguan yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keragu-raguan yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keragu-raguan yang telah ditinggalkan.

37. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan objek fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal, atau ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam fenomena-fenomena, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam fenomena-fenomena, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam fenomena-fenomena. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada fenomena-fenomena‘ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan kelima rintangan.

(2. Kelima Kelompok Unsur Kehidupan)

38. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.  [46] Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan? Di sini seorang bhikkhu memahami: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan kehendak, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya.’  [47]

39. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.

(3. Enam Landasan Indria)

40. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.  [48] Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal? Di sini seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.  [49]

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … Ia memahami hidung, ia memahami bau-bauan … Ia memahami lidah, ia memahami rasa kecapan … Ia memahami badan, ia memahami objek-objyek sentuhan … Ia memahami pikiran, ia memahami fenomena-fenomena, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

41. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.

(4. Tujuh Faktor Pencerahan)

42. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.  [50] Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan? Di sini, jika ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan.

“Jika ada faktor pencerahan penyelidikan-fenomena-fenomena dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan kegigihan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan kegembiraan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan konsentrasi dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan.  [51]

43. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.

(5. Empat Kebenaran Mulia)

44. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.  [52] Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

45. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal, atau ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya di dalam fenomena-fenomena, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya di dalam fenomena-fenomena, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya di dalam fenomena-fenomena. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada objek-objek pikiran’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian berulang-ulang. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.

[PENUTUP]

46. “Para bhikkhu, jika siapapun juga mengembangkan keempat penegakan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.  [53]

“Jangankan tujuh tahun, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat penegakan perhatian ini dengan cara demikian selama enam tahun … selama lima tahun … selama empat tahun …selama tiga tahun … selama dua tahun … selama satu tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan satu tahun, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh bulan … selama enam bulan … selama lima bulan … selama empat bulan … selama tiga bulan … selama dua bulan … selama satu bulan … selama setengah bulan, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan setengah bulan, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh hari, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

47. “Adalah dengan merujuk pada hal inilah maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat penegakan perhatian.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 10: Satipaṭṭhāna Sutta; I 55-63)

9. PERHATIAN PADA PERNAFASAN

Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Yang Mulia, adakah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal? Dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh hal? Dan tujuh hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi dua hal?”

“Ada, Ānanda, satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal; dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh hal; dan tujuh hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi dua hal.”

“Tetapi, Yang Mulia, apakah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat hal; dan empat hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh hal; dan tujuh hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi dua hal?”

“Konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan, Ānanda, adalah satu hal yang, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi empat penegakan perhatian. Empat penegakan perhatian, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi tujuh faktor pencerahan. Tujuh faktor pencerahan, jika dikembangkan dan dilatih, memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #66 on: 21 January 2012, 12:20:16 PM »

[i. Memenuhi empat landasan perhatian]

“Bagaimanakah, Ānanda, konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih agar memenuhi empat landasan perhatian? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, duduk.  [54] Setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan membangun perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami keseluruhan tubuh, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami keseluruhan tubuh, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan jasmani, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan jasmani, aku akan mengembuskan nafas.’

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kegembiraan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kegembiraan, aku akan mengembuskan nafas’. Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami bentukan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami bentukan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’  [55]

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengonsentrasikan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’  [56]

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan menarik nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas.’  [57]

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu, ketika menarik nafas panjang, mengetahui: ‘Aku menarik nafas panjang’ … [seperti di atas] … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan jasmani, aku akan mengembuskan nafas’ - pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Karena alasan apakah? Aku menyebut ini sebagai satu jenis tubuh tertentu, Ānanda, yaitu nafas-masuk dan nafas-keluar. Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kegembiraan, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan bentukan pikiran, aku akan mengembuskan nafas’ - pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Karena alasan apakah? Aku menyebut ini sebagai satu jenis tubuh tertentu, Ānanda, yaitu nafas-masuk dan nafas-keluar.  [58] Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan mengembuskan nafas’ - pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Karena alasan apakah? Aku katakan, Ānanda, bahwa tidak ada pengembangan konsentrasi melalui perhatian pada pernafasan bagi seseorang yang kacau dan tidak memiliki pemahaman jernih. Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan menarik nafas’ … ketika ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas’; - pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Setelah melihat dengan kebijaksanaan apa yang ditinggalkannya ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia, ia adalah seorang yang dengan keseimbangan melihat dengan seksama.  [59] Oleh karena itu, Ānanda, pada saat itu bhikkhu itu berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena di dalam fenomena-fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia.

“Adalah, Ānanda, ketika konsentrasi melalui perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini maka konsentrasi ini memenuhi empat penegakan perhatian.

[ii. Memenuhi tujuh faktor pencerahan]

“Dan bagaimanakah, Ānanda, empat landasan perhatian dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tujuh faktor pencerahan?

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, pada saat itu perhatian yang tidak kacau terbentuk dalam diri bhikkhu itu. Ketika, Ānanda, perhatian yang tidak kacau itu telah terbentuk dalam diri bhikkhu itu, maka pada saat itu faktor pencerahan perhatian dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan perhatian; pada saat itu faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.  [60]

“Berdiam demikian dengan penuh perhatian, dengan kebijaksanaan ia membedakan fenomena, memeriksanya, menyelidikinya. Kapanpun, Ānanda, seorang bhikhu berdiam demikian dengan penuh perhatian dan kebijaksanaan membedakan fenomena, memeriksanya, menyelidikinya, maka pada saat itu faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena  [61] dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena; pada saat itu faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Sewaktu ia dengan kebijaksanaan membedakan fenomena-fenomena itu, memeriksanya, menyelidikinya, kegigihannya dibangkitkan tanpa mengendur. Kapanpun, Ānanda, kegigihan seorang bhikkhu dibangkitkan tanpa mengendur ketika ia dengan kebijaksanaan membedakan fenomena-fenomena, memeriksanya, menyelidikinya, maka pada saat itu faktor pencerahan kegigihan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan kegigihan; pada saat itu faktor pencerahan kegigihan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Ketika kegigihannya bangkit, maka muncullah dalam dirinya kegembiraan spiritual. Kapanpun, Ānanda, kegembiraan spiritual muncul dalam diri seorang bhikkhu yang kegigihannya bangkit, maka pada saat itu faktor pencerahan kegembiraan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan kegembiraan; pada saat itu faktor pencerahan kegembiraan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Bagi seseorang yang pikirannya terangkat oleh kegembiraan, jasmaninya menjadi tenang dan pikirannya menjadi tenang. Kapanpun, Ānanda, jasmani menjadi tenang dan pikiran menjadi tenang dalam diri seorang bhikkhu yang pikirannya terangkat oleh kegembiraan, maka pada saat itu faktor pencerahan ketenangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan ketenangan; pada saat itu faktor pencerahan ketenangan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Bagi seseorang yang jasmaninya tenang dan yang bahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kapanpun, Ānanda, pikiran menjadi terkonsentrasi dalam diri seorang bhikkhu yang jasmaninya tenang dan yang bahagia, maka pada saat itu faktor pencerahan konsentrasi dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi; pada saat itu faktor pencerahan konsentrasi terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Ia menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian, maka pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan; pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan … pikiran di dalam pikiran … fenomena di dalam fenomena, pada saat itu perhatian yang tidak kacau terbentuk dalam diri bhikkhu itu. Kapanpun, Ānanda, perhatian yang tidak kacau telah terbentuk dalam diri seorang bhikkhu itu, maka pada saat itu faktor pencerahan perhatian dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan perhatian; pada saat itu faktor pencerahan perhatian mengalami pemenuhan melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

(Semuanya harus dijelaskan seperti dalam kasus penegakan perhatian yang pertama.)

“Ia menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian. Kapanpun, Ānanda, seorang bhikkhu menjadi seorang yang dengan seksama melihat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian, maka pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan dibangkitkan oleh bhikkhu itu; pada saat itu bhikkhu itu mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan; pada saat itu faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan dalam diri bhikkhu itu.

“Adalah, Ānanda, ketika empat penegakan perhatian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini maka empat penegakan itu memenuhi tujuh faktor pencerahan.

[iii. Memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati]

“Bagaimanakah, Ānanda, tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati?

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan.

“Adalah, Ānanda, ketika tujuh faktor pencerahan ini dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka faktor-faktor ini memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati.”

(SN 54: 13; V 328-33 ≠ MN 118.15-43; III 82-88)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #67 on: 21 January 2012, 12:22:48 PM »
10. PENCAPAIAN KEMAHIRAN

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.  [62] Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian, ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu. Setelah memasuki Hutan Orang Buta, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari itu.

Kemudian, malam harinya, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keterasingannya dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Dari jauh Yang Mulia Ānanda melihat Yang Mulia Sāriputta datang dan berkata kepadanya: “Sahabat Sāriputta, indriamu tenang, raut wajahmu bersih dan cerah. Bagaimanakah Yang Mulia Sāriputta melewatkan harinya?”

“Di sini, sahabat, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai oleh awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang berasal dari keterasingan. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai jhāna pertama,’ atau ‘aku telah mencapai jhāna pertama,’ atau ‘aku telah keluar dari jhāna pertama.’”

“Pasti karena pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan telah tercabut sepenuhnya dalam pikiranmu sejak lama sehingga pikiran demikian tidak muncul padamu.”  [63]

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan meredanya awal pikiran dan kelangsungan pikiran, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa awal pikiran atau kelangsungan pikiran, dan memiliki kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai jhāna ke dua,’ atau ‘aku telah mencapai jhāna ke dua,’ atau ‘aku telah keluar dari jhāna ke dua.’”

“Pasti karena pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan telah tercabut sepenuhnya dalam pikiranmu sejak lama sehingga pikiran demikian tidak muncul padamu.”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan meluruhnya kegembiraan, aku berdiam dengan seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, aku mengalami kebahagiaan pada jasmani; aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia menyatakan: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai jhāna ke tiga ...’” [Lengkap seperti di atas.]

“Pasti karena pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan telah tercabut sepenuhnya dalam pikiranmu sejak lama sehingga pikiran demikian tidak muncul padamu.”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan ketidak-senangan, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai jhāna ke empat …’”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi pada kontak indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai landasan ruang tanpa batas …’”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai landasan kesadaran tanpa batas …’”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai landasan kekosongan …’”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi …’”

[Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Sāriputta berkata:]  “Di sini, sahabat, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Namun, sahabat, aku tidak berpikir, ‘Aku sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘aku telah mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘aku telah keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan.’”  [64]

“Pasti karena pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan telah tercabut sepenuhnya dalam pikiranmu sejak lama sehingga pikiran demikian tidak muncul padamu.”

(SN 28: 1-9, digabungkan; III 235-38)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #68 on: 21 January 2012, 12:24:25 PM »
CATATAN BAB VIII


  [1] Ini adalah tingkatan-tingkatan memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Kearahattaan. Baca bab X.

  [2] Baca, misalnya, AN 9:3 (IV 358) = Ud 4:1

  [3] Sebuah terjemahan sutta ini bersama dengan komentarnya dan kutipan-kutipan penting dari subkomentar dapat ditemukan dalam Soma Thera, The Way of Mindfulness. Dua penjelasan modern yang cukup baik, yang juga memasukkan terjemahan sutta ini, adalah Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation, dan Anālayo, Satipaṭṭhāna: The Direct Path to Realization.

  [4] Mp: Jika ketenangan dikembangkan dengan tidak bergantung pada pandangan terang, maka ketenangan itu mengarah pada penekanan kelima rintangan, yang pertama adalah nafsu indria, dan memuncak dalam “pikiran yang lebih tinggi” (adhicitta) dari jhāna-jhāna, yang ditandai dengan ketiadaan nafsu. Tetapi hanya jika ketenangan dikembangkan bersama-sama dengan pandangan terang maka hal ini dapat memunculkan sang jalan, yang melenyapkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria (melalui jalan yang–tidak-kembali) dan kemelekatan pada penjelmaan (melalui jalan Kearahattaan). Di sini Mp menerjemahkan ketenangan dalam makna ke dua, diduga karena kalimat terakhir dari sutta ini.

  [5] Mp: Adalah kebijaksanaan jalan adi-duniawi (magga-paññā) yang dikembangkan. “Kebodohan ditinggalkan” adalah kebodohan besar pada akar lingkaran kehidupan.

  [6] Kearahattaan sering dijelaskan sebagai “kebebasan pikiran tanpa noda melalui kebijaksanaan” (anāsava-cetovimutti-paññāvimutti). Mp menjelaskan “kebebasan pikiran” (cetovimutti) sebagai konsentrasi yang berhubungan dengan buah (Kearahataan), “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) sebagai kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah. Mp merujuk pada “pencapaian meditatif dari buah Kearahattaan” (arahattaphala-samāpatti), suatu penyerapan meditatif adi-duniawi di mana Arahant mengalami kebahagiaan Nibbāna.

  [7] Samathapubbaṅgagamaṃ vipassanaṃ. Mp: “Ini merujuk pada seorang meditator yang pertama-tama mencapai ketenangan dan kemudian melakukan meditasi pandangan terang.” Komentator menyebut meditator demikian sebagai seorang yang menjadikan ketenangan sebagai kendaraan praktik (samathayānika). Baca Vism 587; Ppn 18:3.

  [8] “Sang Jalan” (magga) adalah jalan adi-duniawi pertama, yaitu memasuki-arus. Untuk “mengembangkan jalan itu,” menurut Mp, berarti mempraktikkan pencapaian ketiga jalan yang lebih tinggi. Tentang sepuluh belenggu, baca pp.374-75; tentang ketujuh kecenderungan tersembunyi, baca p.426 (bab I, n.5).

  [9] Vipassanāpubbaṇgamaṃ samathaṃ. Mp: “Ini merujuk pada seseorang yang secara alami cenderung pertama-tama mencapai pandangan terang dan kemudian, berdasarkan pada pandangan terang itu, menghasilkan konsentrasi.” Dalam literatur komentar hal ini disebut seorang yang menjadikan pandangan terang sebagai kendaraan (vipassanāyānika). Baca Vism 588; Ppn 18:4

  [10] Samathavipassanaṃ yuganaddhaṃ. Dalam cara praktik ini, seseorang memasuki jhāna pertama dan kemudian, setelah keluar dari jhāna itu, menerapkan pandangan terang pada pengalaman itu, yaitu, ia melihat kelima kelompok unsur kehidupan dari jhāna itu (bentuk, perasaan, persepsi, dan sebagainya) sebagai tidak kekal, terikat pada penderitaan, dan bukan-diri. Kemudian ia memasuki jhāna ke dua dan merenungkannya dengan pandangan terang. Ia menerapkan prosedur yang sama pada jhāna-jhāna lainnya juga hingga mencapai jalan memasuki-arus, dan seterusnya.

  [11] Dhammuddhaccaviggahitaṃ mānasaṃ hoti. Mp mengatakan bahwa “gejolak” (uddhacca) muncul di sini sebagai reaksi atas sepuluh “kekotoran pandangan terang” (vipassanūpakkilesa) yang ia salah pahami sebagai menunjukkan pencapaian-jalan. (Tentang kekotoran pandangan terang, baca Vism 633-38; Ppn 20:105-28.) Akan tetapi, adalah mungkin bahwa “gejolak sehubungan dengan ajaran” adalah ketegangan batin yang dibawa oleh keinginan untuk menembus Dhamma. Kondisi kecemasan spiritual ini, ketika mendadak terpecahkan, kadang-kadang dapat mempercepat suatu pengalaman pencerahan seketika. Misalnya, baca kisah Bāhiya Dāruciriya dalam Ud 1:10.

  [12] Mp menjelaskan ketenangan pikiran internal (ajjhattaṃ cetosamatha) sebagai konsentrasi penyerapan penuh (yaitu, jhāna), dan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena (adhipaññādhammavipassanā) sebagai pengetahuan pandangan terang yang melihat bentukan-bentukan (saṅkhārapariggāhaka-vipassanāñāṇa).

  [13] “Bentukan-bentukan” (saṅkhārā) adalah fenomena-fenomena terkondisi yang terdiri dari kelima kelompok unsur kehidupan. Tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, baca Teks IX, 4(1)(a)-(f).

  [14] Spk menerapkan tiga pembedaan skolastik tentang tiga jalan membebaskan diri (nissaraṇa) pada tiap-tiap rintangan: pertama adalah membebaskan diri dari rintangan dengan menekan (vikkhambhananissaraṇa) melalui jhāna; ke dua adalah membebaskan diri dalam hal tertentu (tadaṅganissaraṇa) melalui pandangan terang; dan ke tiga adalah membebaskan diri dengan pelenyapan (samucchedanissaraṇa) melalui jalan adi-duniawi. Dengan demikian: (1) keinginan-indria ditekan melalui jhāna pertama yang berlandaskan pada sifat ketidak-menarikan jasmani (asubha; baca Teks VIII, 8 §10) dan dilenyapkan melalui jalan Kearahattan (karena kāmacchanda di sini diinterpretasikan secara cukup luas untuk memasukkan nafsu terhadap objek apapun, bukan hanya terhadap kenikmatan indria); (2) niat buruk ditekan melalui jhāna pertama yang berlandaskan pada cinta kasih dan dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali; (3) kelambanan dan ketumpulan ditekan melalui persepsi cahaya (yaitu, visualisasi cahaya terang, seperti piringan matahari atau bulan purnama) dan dilenyapkan melalui jalan Kearahattan; (4) kegelisahan dan penyesalan ditekan melalui ketenangan, penyesalan dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali dan kegelisahan dilenyapkan melalui jalan Kearahattan; dan (5) Keragu-raguan ditekan dengan cara mendefinisikan fenomena (dhammavavatthāna; baca Vism 587-89; Ppn 18:3-8) dan dilenyapkan melalui jalan memasuki-arus.

  [15] Ini adalah tiga “pikiran salah,” lawan dari pikiran benar atau kehendak benar, faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Baca Teks VII, 2.

  [16] Dhammavitakka. Mp menganggap ini merujuk pada sepuluh “kekotoran pandangan terang,” tetapi tampaknya adalah lebih alami untuk memahaminya hanya sebagai perenungan yang berlebihan pada Dhamma.

  [17] Ini merujuk pada kondisi awal dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), yang dijelaskan di bawah. Kondisi awal bagi kelima pengetahuan langsung duniawi adalah jhāna ke empat. Kondisi awal bagi Kearahataan, pengetahuan langsung ke enam, adalah pandangan terang. Pengetahuan langsung ini adalah adi-duniawi.

  [18] Ps mengatakan bahwa pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (baik) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapkan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subjek meditasi utamanya.

  [19] Ps: Ketika pikiran nafsu indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada ketidak-menarikan sifat jasmani (baca Teks VIII, 8 §10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidak-kekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca Teks VIII, 8 §12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebodohan adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

  [20] Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. Dengan mengemas sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, Ps mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran.” Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian memperlambat, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

  [21] Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai objek.” Ps: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai objeknya.

  [22] Mahānāma adalah seorang kerabat Sang Buddha, seorang anggota penting dari suku Sakya.

  [23] Frasa “sampai pada buah” (āgataphala) dan “memahami ajaran” (viññātasāsana) menunjukkan bahwa ia menanyakan tentang meditasi seorang siswa mulia pada tingkat terendah pemasuk-arus. Akan tetapi, meditasi demikian juga dapat berguna untuk dipraktikkan oleh orang-orang pada berbagai tingkatan, karena meditasi tersebut membersihkan pikiran secara sementara dari kekotoran-kekotoran dan mengarah menuju konsentrasi.

  [24] Saya meringkas teks ini, yang di sini menguraikan alam-alam surga yang berbeda-beda.

  [25] Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah Soma Thera menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O para bihkkhu,” dan Nyanaponika Thera: “Ini adalah jalan tunggal, para bhikkhu.” Akan tetapi, pada MN 12.37-42 ekāyana magga memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah,” dan tampaknya sangat sesuai di sini. Intinya adalah bahwa satipaṭṭhāna mengarah ke satu arah, menuju “pemurnian makhluk-makhluk ... pencapaian Nibbāna.”
   
  [26] Ps mengatakan bahwa pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), bertujuan untuk secara tepat menentukan objek perenungan dan mengisolasi objek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Demikianlah, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga penegakan perhatian lainnya. “Ketamakan dan kesedihan,” (abhijjhā-domanassaṃ), menurut Ps, adalah keinginan indria dan niat buruk, rintangan utama di antara kelima rintangan.

  [27] Mengenai struktur khotbah berikut ini, baca pp.262-63.

  [28] Praktik perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha dengan sengaja mengatur nafas, seperti pada hatha yoga, tetapi mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan secara terus-menerus pada nafas sewaktu seseorang bernafas secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di manapun sentuhan nafas paling jelas dirasakan; panjang nafas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan.

   Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam Teks VIII, 9. Penjelasan terperinci tentang perhatian pada pernafasan menurut sistem komentar terdapat pada Vism 266-93; Ppn 8:145-244, baca juga koleksi teks-teks terjemahan Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing.

  [29] Ps, selaras dengan komentar Pāli lainnya, menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap nafas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Interpretasi ini sulit diselaraskan dengan makna literal kata itu dalam teks aslinya, yang dimaksudkan untuk menyiratkan kewaspadaan global pada keseluruhan tubuh. Juga sulit untuk melihat bagaimana -paṭisaṃvedi dapat berarti “menyadari”; akhiran ini didasarkan pada kata kerja paṭisaṃvedeti yang berarti “mengalami” atau “merasakan,” yang memiliki nuansa berbeda dari “kewaspadaan.”

  [30] “Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada sebagai nafas masuk dan keluar itu sendiri pada MN 44.13 (I 301) dan SN 41:6 (IV 293). Demikianlah, seperti yang dijelaskan Ps, dengan pengembangan praktik yang berhasil, nafas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.
« Last Edit: 21 January 2012, 12:26:15 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VIII)
« Reply #69 on: 21 January 2012, 12:26:40 PM »
  [31] MA: “secara internal”: merenungkan nafas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan nafas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan nafas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali  bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan fenomena-fenomena, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menarik kesimpulan.

  [32] Ps menjelaskan bahwa sifat kemunculan (samudayadhamm) dari jasmani dapat diamati dalam asal-mulanya yang terkondisi melalui kebodohan, nafsu, kamma, dan makanan, serta dari asal-mula dari-saat-ke-saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernafasan, suatu kondisi tambahan adalah perlengkapan fisiologis pernafasan. “Sifat lenyapnya” [(vayadhamma) dari jasmani terlihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam pelenyapan saat-ke-saat dari fenomena jasmani.

  [33] Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan kebodohan yang menganggap diri sebagai pelaku gerakan jasmani.

  [34] Sampajañña, “pemahaman jernih”, dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: (1) kewaspadaan penuh atas tujuan perbuatan, (2) pemahaman jernih atas ketepatan cara untuk mencapai tujuan; (3) pemahaman jernih atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subjek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan (4) pemahaman jernih atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca Soma, The Way of Mindfulness, pp.60-100; Nyanaponika, The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

  [35] Penjelasan terperinci atas praktik ini, menurut metode komentar, terdapat pada Vism 239-266; Ppn 8:42-144. Selaput usus tengah adalah lapisan jaringan yang mengikat usus kecil pada bagian belakang dinding perut.

  [36] Empat unsur utama ini adalah atribut materi utama – unsur tanah (pathavidhātu) adalah kepadatan; unsur air (āpodhātu) adalah kohesi; unsur api (tejodhātu) adalah panas; dan unsur udara (vāyodhātu) adalah tekanan atau perluasan. Penjelasan terperinci tentang perenungan unsur-unsur, baca Teks IX, 4(3)(c). Untuk penjelasan komentar, baca Vism 347-72; Ppn 11:27-126.
   
  [37] Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani ini” adalah, tentu saja, jasmani si meditator itu sendiri.

  [38] Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subjek meditasi terpisah dan subjek yang mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpa-intian jasmani ini. Kemajuan berlanjut dalam §§26-30.

  [39] Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “jasmaniah” dan “spiritual” dari perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 (III 217-19) di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berturut-turut berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian.

  [40] Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca p.442 (bab VIII, n.32) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan).

  [41] Pikiran (citta) sebagai suatu objek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu objek, kualitas kondisi pikiran apapun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan kebodohan atau lawannya.

  [42] Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. Ps menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. Komentar mengatakan “pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāna. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan, komentar menganggap bahwa kategori terakhir ini harus dipahami sebagai pikiran terbebaskan melalui pencapaian jalan adi-duniawi, akan tetapi, mungkin interpretasi ini seharusnya tidak dimasukkan.

  [43] Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh nama-dan-bentuk, kondisi bagi kesadaran.

  [44] Lima rintangan (pañca nīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Baca di atas, Teks VIII, 3.
   
  [45] Baca p.440 (bab VIII, n.147).

  [46] Tentang lima kelompok unsur kehidupan, baca pp. 22, 306-7, dan Teks IX, 4(1)(a)-(e).

  [47] Asal mula dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan dapat dipahami dalam dua cara: (1) melalui asal mula dan lenyapnya yang bergantung pada kondisi-kondisi (baca Teks IX, 4(1)(a)); dan (2) melalui kemunculannya, perubahan, dan lenyapnya yang terlihat (baca SN 22:37-38). Kedua cara ini tidak saling eksklusif tetapi dapat dibedakan secara konseptual.

  [48] Mengenai enam landasan indria, baca ppp. 309-11 dan [v]Teks IX, 4(2)(a)-(e).[/b]

  [49] Belenggu ini adalah keinginan dan nafsu (chandarāga) yang mengikat organ indria pada objeknya; baca SN 35-232.

  [50] Mengenai faktor-faktor pencerahan, baca Teks VIII, 9.

  [51] Komentar Pāli menjelaskan secara terperinci tentang kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca Soma Thera, The Way of Mindfulness, pp.134-149.

  [52] Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam DN mendefinisikan dan menjelaskan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia. Baca juga MN 141.

  [53] Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak-kembali.

  [54] Dimulai dari bagian ini dan seterusnya, sutta sangat erat bersesuaian dengan bagian ke dua dari Ānāpānasati Sutta (MN 118), yang bagian pertamanya adalah pendahuluan dari instruksi mengenai perhatian pada pernafasan. Tetrad pertama identik dengan paragraf tentang perhatian pada pernafasan dalam bagian “perenungan jasmani” dari Satipaṭṭhāna di atas.

   [55] “Bentukan pikiran” (cittasaṅkhāra) adalah persepsi dan perasaan; baca MN 44 (I 301) = SN 41:6 (IV 293).

  [56] Vism 289; Ppn 8:233: “Membebaskan pikiran” dari rintangan-rintangan melalui jhāna pertama, dan dari faktor-faktor jhāna yang lebih kasar dengan mencapai jhāna-jhāna yang lebih tinggi berturut-turut; dan membebaskannya dari distorsi kognitif melalui pengetahuan pandangan terang.

  [57] Vism 290-291; Ppn 8:234-37: “Merenungkan ketidak-kekalan” (aniccānupassī) adalah merenungkan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal karena mengalami kemunculan dan pelenyapan, dan perubahan, atau karena mengalami pelenyapan saat-ke-saat. Tetrad ini secara keseluruhan berhubungan dengan pandangan terang, tidak seperti tiga lainnya, yang dapat diinterpretasikan melalui ketenangan dan pandangan terang.

  [58] Spk: Perhatian bukanlah perasaan yang sesungguhnya, tetapi ini adalah judul ajaran. Dalam tetrad ini, dalam frasa pertama perasaan dikatakan secara tidak langsung di bawah kelompok kegembiraan (yang bukan perasaan), dalam frasa ke dua secara langsung merujuk pada kebahagiaan (= perasaan menyenangkan). Dalam frasa ke tiga dan ke empat, perasaan termasuk dalam bentukan pikiran.

  [59] Spk: Setelah melihat dengan kebijaksanaan, dan seterusnya. Di sini, “ketamakan” adalah hanya rintangan nafsu indria; “kesedihan” adalah rintangan niat buruk. Tetrad ini disebutkan hanya melalui pandangan terang. Kedua rintangan ini adalah yang pertama di antara kelima rintangan, bagian pertama dalam perenungan fenomena-fenomena pikiran. Demikianlah Beliau mengatakan hal ini untuk menunjukkan awal dari perenungan fenomena-fenomena pikiran. “Ditinggalkannya” adalah pengetahuan yang mengakibatkan ditinggalkannya, misalnya, seseorang meninggalkan persepsi kekekalan melalui perenungan ketidak-kekalan. Dengan kata “setelah melihat dengan kebijaksanaan” Beliau menunjukkan rangkaian pandangan terang sebagai berikut: “Dengan satu pengetahuan pandangan terang (ia melihat) pengetahuan ditinggalkannya yang terdapat dalam pengetahuan-pengetahuan ketidak-kekalan, kebebasan dari nafsu, pelenyapan dan itu juga (ia lihat) melalui yang lain lagi.” Ia adalah seorang yang dengan keseimbangan melihat dengan seksama: seseorang dikatakan melihat dengan keseimbangan (pada pikiran) bahwa ia telah mengembara di sepanjang jalan [Spk-pṭ: dengan tidak mengerahkan juga tidak mengendalikan pikiran pengembangan meditatif yang telah dilalui dengan benar di sepanjang jalan tengah], dan dengan  penyajian sebagai suatu kesatuan [Spk-pṭ: karena tidak ada yang lebih jauh lagi untuk dilakukan dalam hal itu jika pikiran telah mencapai keterpusatan]. Seseorang “melihat dengan keseimbangan” pada objek.

  [60] Satisambojjhaṅga. Bojjhaṅga adalah kata majemuk dari bodhi + aṅga. Pada SN 46:5, kata ini dijelaskan sebagai faktor-faktor yang mengarah menuju pencerahan. Ketiga frasa yang digunakan untuk menggambarkan latihan dari masing-masing faktor pencerahan dapat dipahami sebagai menggambarkan tiga tahap pengembangan berturut-turut. “Ia membangkitkan” sebagai pembangkitan awal; “ia mengembangkan” adalah pematangan secara bertahap; dan “terpenuhi melalui pengembangan” adalah puncaknya.

  [61] Dhammavicayasambojjhaṅga. Pada Sn 46:2 (V 66), “makanan” bagi munculnya faktor pencerahan ini dikatakan sebagai sering memperhatikan fenomena-fenomena pikiran bermanfaat dan tidak bermanfaat, kondisi-kondisi tercela dan tidak tercela, kondisi-kondisi hina dan mulia, kondisi-kondisi gelap dan terang dengan padanannya. Walaupun faktor pencerahan ini diidentifikasikan dengan paññā atau kebijaksanaan, namun paragraf di atas menyiratkan bahwa fungsi awalnya adalah untuk membedakan antara fenomena baik dan buruk yang menjadi semakin jelas dengan semakin mendalamnya perhatian.

  [62] Sāriputta adalah salah satu dari dua siswa utama Sang Buddha, seorang yang unggul dalam hal kebijaksanaan. Untuk biografinya, baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, bab 1.

  [63] “Pembentukan-aku” (ahaṅkāra) adalah fungsi pandangan diri; “pembentukan-milikku” (mamaṅkāra), adalah fungsi nafsu. Akar keangkuhan adalah keangkuhan “aku” (asmimāna), jadi “kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan” adalah juga bertanggung-jawab pada “pembentukan-aku.”

  [64] Saññāvedayitanirodha. Juga dikenal sebagai nirodhasamāpatti, pencapaian lenyapnya, ini adalah pencapaian meditatif khusus yang dikatakan hanya dapat dilakukan oleh para yang-tidak-kembali dan Arahant. Seperti yang disiratkan oleh namanya, ini melibatkan pelenyapan total fungsi-fungsi persepsi dan perasaan, dan menurut komentar, kesadaran dan semua faktor batin yang berhubungan juga lenyap. Untuk pembahasan terperinci menurut sistem komentar, baca Vism 702-9; Ppn 23:16-52;

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #70 on: 01 June 2012, 05:36:25 PM »
PENDAHULUAN



Teks-teks dalam bab sebelumnya memperlakukan meditasi sebagai suatu disiplin latihan pikiran yang ditujukan pada dua tugas: mendiamkan pikiran dan menghasilkan pandangan terang. Pikiran yang diam dan tenang adalah landasan bagi pandangan terang. Pikiran yang diam itu mengamati fenomena-fenomena pada saat muncul dan lenyap, dan dari pengamatan dan penyelidikan terus-menerus muncullah “kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena” (adhipaññādhammavipassanā). Ketika kebijaksanaan memperoleh momentum, maka kebijaksanaan itu menembus lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dalam sifat segala sesuatu, memuncak dalam pemahaman penuh dan komprehensif yang disebut pencerahan (sambodhi).

Kata Pāli yang di sini diterjemahkan sebagai “kebijaksanaan” adalah paññā, padanan dari Sanskrit prajñā, yang memberikan namanya pada sutra prajñāpāramitā dari Buddhisme Mahāyāna. Akan tetapi, gagasan bahwa paññā/prajñā sebagai alat utama pada jalan menuju pencerahan, bukan berasal-mula dari literatur prajñāpāramitā melainkan memang telah secara dalam tertanam dalam ajaran-ajaran Buddhisme Awal. Nikāya-nikāya memperlakukan paññā bukan hanya sekedar suatu poin ajaran melainkan sebagai suatu tema yang kaya akan perumpamaan. Demikianlah, Teks IX, 1(1)-(2) membicarakan paññā berturut-turut sebagai cahaya dan pisau. Sebagai cahaya tertinggi karena menerangi sifat sejati segala sesuatu dan menghalau kegelapan ketidak-tahuan. Sebagai pisau – sebatang pisau daging yang tajam – karena memotong kekusutan kumpulan kekotoran dan karenanya membuka jalan menuju kebebasan.

Kata Pāli paññā diturunkan dari akar kata kerja ñā (Skt: jñā), yang berarti “mengetahui,” didahului dengan awalan pa (Skt: pra), yang hanya memberikan suatu nuansa dinamis pada makna akarnya. Jadi paññā/prajñā berarti mengetahui atau memahami, bukan hanya sebagai sesuatu yang dimiliki, melainkan sebagai suatu tindakan: tindakan mengetahui, tindakan memahami, tindakan melihat. Dalam Pāli, kata kerja pajānāti, “seseorang memahami,” menyampaikan makna ini dengan lebih efektif daripada kata benda paññā. [1] Akan tetapi, apa yang dimaksudkan dengan paññā adalah sejenis pemahaman yang lebih tinggi daripada pemahaman yang muncul ketika seseorang memahami, misalnya, kalimat yang sulit dari buku ekonomi atau pengertian dari suatu argumen hukum. Paññā menyiratkan pemahaman yang muncul melalui latihan spiritual, menerangi sifat sejati segala sesuatu, dan memuncak dalam pemurnian dan kebebasan pikiran. Untuk alasan ini, terlepas dari segala kekurangannya, saya tetap menggunakan kata “kebijaksanaan” yang sudah cukup dikenal.

Literatur Buddhis kontemporer umumnya menyampaikan dua gagasan tentang paññā yang telah menjadi pernyataan-pernyataan yang nyaris dianggap benar dalam pemahaman Buddhisme popular. Yang pertama adalah bahwa paññā adalah non-konseptual dan tidak berhubungan secara eksklusif, satu jenis kognisi yang menentang semua hukum pemikiran logis; yang ke dua, bahwa paññāmuncul secara spontan, melalui suatu tindakan yang murni intuitif yang secepat kilat halilintar. Kedua gagasan tentang paññā ini berhubungan erat. Jika paññā menentang semua hukum pemikiran, maka tidak akan dapat didekati melalui segala jenis aktivitas konseptual tetapi dapat muncul hanya jika aktivitas pikiran konseptual, rasional dan diskriminatif telah dilemahkan. Dan penghentian konseptualisasi, sesuatu yang menyerupai penghancuran sebuah bangunan, haruslah sesuatu yang cepat, suatu penggalian pikiran yang tidak dipersiapkan sebelumnya melalui kematangan pemahaman bertahap manapun juga. Demikianlah, dalam pemahaman Buddhisme populer, paññā menentang rasionalitas dan dengan mudah bergeser menjadi “kebijaksanaan gila,” suatu cara yang mengejutkan pikiran dan tidak dapat dipahami dalam menghubungkan dengan dunia yang menari di tepi sempit antara super-rasionalitas dan kegilaan.

Gagasan-gagasan mengenai paññā demikian sama sekali tidak didukung oleh ajaran-ajaran dalam Nikāya-nikāya, yang secara konsisten cukup logis, jelas, dan wajar. Untuk menjelaskan kedua poin ini dalam urutan terbalik: pertama, jauh dari kemunculan secara spontan, paññā dalam Nikāya-nikāya adalah secara tegas terkondisi, muncul dari matriks sebab dan kondisi yang mendasari. Dan ke dua, paññā bukanlah sekadar intuisi, melainkan suatu pemahaman diskriminatif dan hati-hati yang pada tingkat tertentu melibatkan operasi konseptual yang tepat. Paññā diarahkan pada wilayah-wilayah tertentu dari pemahaman. Wilayah-wilayah ini, dikenal dalam komentar Pāli sebagai “tanah kebijaksanaan” (paññābhūmi), harus diselidiki secara seksama dan dikuasai melalui pemahaman konseptual sebelum pandangan terang langsung dan non-konseptual dapat secara efektif menyelesaikan tugasnya. Untuk mengusainya memerlukan analisis, pembedaan, dan penglihatan tajam. Seseorang harus mampu meyimpulkan dari kumpulan fakta-fakta menjadi pola-pola dasar tertentu yang mendasari seluruh pengalaman dan menggunakan pola-pola ini sebagai cetakan bagi perenungan seksama dari pengalaman pribadi. Saya akan menjelaskan lebih jauh ketika kita melanjutkan.

Landasan kondisional bagi kebijaksanaan ditetapkan dalam struktur bertingkat-tiga dari latihan Buddhis. Seperti yang telah kita lihat, dalam tiga pembagian jalan Buddhis, disiplin moral berfungsi sebagai landasan bagi konsentrasi dan konsentrasi menjadi landasan bagi kebijaksanaan. Seperti yang sering kali dikatakan oleh Sang Buddha: “Kembangkanlah konsentrasi, para bhikkhu. Seorang yang terkonsentrasi melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”  [2]  Karena “melihat segala sesuatu sebagaimana adanya” adalah pekerjaan kebijaksanaan; landasan utama bagi penglihatan benar ini adalah konsentrasi. Karena konsentrasi bergantung pada perilaku jasmani dan ucapan yang benar, maka disiplin moral juga adalah kondisi bagi kebijaksanaan.

Teks IX, 2 menjelaskan daftar lengkap delapan sebab dan kondisi untuk memperoleh “kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual” dan untuk mematangkan kebijaksanaan itu. Yang menarik adalah kondisi ke lima, yang tidak hanya menekankan pada kontribusi bahwa mempelajari Dhamma mendukung pengembangan kebijaksanaan tetapi juga merumuskan program pembelajaran secara berurutan. Pertama-tama seseorang “mempelajari banyak” dari “ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir.” Kemudian ia menghafalkannya; kemudian mengulanginya dengan suara keras; kemudian menyelidikinya dengan pikiran; dan akhirnya “menembusnya dengan baik melalui pandangan.” Langkah terakhir dapat disamakan dengan pandangan terang langsung, tetapi pandangan terang itu dipersiapkan oleh langkah sebelumnya, yang memberikan “informasi” yang diperlukan untuk memunculkan penembusan menyeluruh. Dari sini, kita dapat melihat bahwa kebijaksanaan tidak muncul secara otomatis dengan berlandaskan pada konsentrasi melainkan bergantung pada pemahaman konseptual yang tepat pada Dhamma yang dihasilkan dari pembelajaran, refleksi, dan perenungan mendalam pada ajaran-ajaran.

Sebagai salah satu faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, kebijaksanaan dikenal sebagai pandangan benar (sammādiṭṭhi). Teks IX, 3, versi yang diringkas dari Sammādiṭṭhi Sutta, khotbah tentang Pandangan Benar (MN 9), memberikan suatu tinjauan yang bagus sekali tentang “tanah kebijaksanaan.” Yang Mulia Sāriputta, siswa Sang Buddha yang unggul dalam hal kebijaksanaan, membabarkan khotbah ini kepada sekelompok para bhikkhu. Sejak dulu, teks ini telah berfungsi sebagai bahan pelajaran utama Buddhis di vihara-vihara di Asia Selatan. Menurut komentar klasik tentang sutta ini, pandangan benar ada dua: pandangan benar konseptual, pemahaman intelektual jernih pada Dhamma; dan pandangan benar pengalaman, kebijaksanaan yang secara langsung menembus Dhamma. Pandangan benar konseptual, disebut “pandangan benar yang selaras dengan kebenaran-kebenaran” (saccānulomika-sammādiṭṭhi), adalah pemahaman benar pada Dhamma yang dicapai dengan mempelajari dan memeriksa ajaran-ajaran Sang Buddha secara mendalam. Pemahaman demikian, walaupun konseptual dan bukan pengalaman, tidaklah sama sekali kering dan mandul. Jika berakar dalam keyakinan pada pencerahan Sang Buddha dan didorong oleh tekad kuat untuk menembus kebenaran Dhamma, maka pemahaman ini berfungsi sebagai benih yang darinya pandangan benar pengalaman dapat berkembang dan dengan demikian menjadi suatu langkah penting dalam pertumbuhan kebijaksanaan.

Pandangan benar pengalaman adalah penembusan kebenaran Dhamma – terutama, Empat Kebenaran Mulia – dalam pengalaman langsung secara pribadi. Untuk alasan ini hal ini disebut “pandangan benar yang menembus kebenaran-kebenaran” (saccapaṭivedha-sammādiṭṭhi). Untuk sampai pada penembusan langsung, seseorang memulai dengan pemahaman konseptual yang benar pada ajaran dan, melalui latihan, mentransformasikan pemahaman ini menjadi persepsi langsung. Jika pandangan terang konseptual diumpamakan sebagai tangan – tangan yang menggenggam kebenaran dengan bantuan konsep – maka pandangan terang pengalaman dapat diumpamakan sebagai mata. Adalah mata kebijaksanaan, penglihatan Dhamma, yang melihat secara langsung ke dalam kebenaran tertinggi, yang disembunyikan dari kita begitu lama oleh keserakahan, kebencian, dan delusi kita.

Khotbah tentang Pandangan Benar dimaksudkan untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang harus dipahami melalui pandangan terang konseptual dan ditembus melalui pandangan terang pengalaman. Sāriputta membabarkan prinsip-prinsip ini dalam enam belas kelompok: bermanfaat dan tidak bermanfaat, empat makanan kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, dua belas faktor kemunculan bergantungan, dan noda-noda. Harus dipahami bahwa dari bagian ke dua hingga akhir sutta, ia membingkai seluruh pembabarannya sesuai dengan pola yang sama, suatu pola yang mengungkapkan prinsip kondisionalitas sebagai kerangka bagi keseluruhan ajaran. Fenomena apapun yang ia jelaskan, ia babarkan dengan menerangkan sifat-sifat individualnya, munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Karena ini adalah pola yang mendasari Empat Kebenaran Mulia, maka saya menyebutnya “pola empat kebenaran.” Pola ini berulang sepanjang Nikāya-nikāya sebagai salah satu cetakan utama yang melaluinya fenomena-fenomena diamati agar sampai pada kebijaksanaan sejati. Penerapannya menjelaskan bahwa tidak ada entitas yang terisolasi dan terkurung melainkan terhubung pada hal-hal lain dalam suatu jaringan kompleks dari proses kemunculan bergantungan. Kunci menuju kebebasan terletak dalam pemahaman sebab-sebab yang memelihara jaringan ini dan juga mengakhirinya dalam diri seseorang. Ini dilakukan dengan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, jalan untuk memadamkan sebab-sebab itu.

Pandangan benar yang melampaui-duniawi, dicapai dengan menembus salah satu dari enam belas topik yang dibabarkan dalam sutta, muncul dalam dua tahap utama. Tahap pertama adalah pandangan benar siswa (sekha), siswa yang telah memasuki jalan satu arah menuju kebebasan tetapi masih belum mencapai akhirnya. Tahap ini ditunjukkan oleh kata-kata yang memulai masing-masing bagian, “(seseorang) yang memiliki keyakinan sempurna pada Dhamma dan telah sampai pada Dhamma sejati.” Kata-kata ini menyiratkan pandangan benar sebagai penglihatan pada prinsip-prinsip sesungguhnya, suatu pandangan terang yang telah memicu suatu transformasi radikal dalam diri siswa tetapi masih belum mencapai akhir. Tahap ke dua adalah pandangan benar melampaui-duniawi dari seorang Arahant, digambarkan oleh kata-kata penutup dari masing-masing bagian. Kata-kata ini menunjukkan bahwa siswa telah menggunakan pandangan benar untuk melenyapkan kekotoran-kekotoran yang tersisa dan telah mencapai kebebasan sempurna.

Pada bagian 4 kita sampai pada apa yang saya sebut “wilayah kebijaksanaan,” bidang yang harus diselidiki dan ditembus oleh pandangan terang. Sebagian besar dari teks-teks dalam bagian ini bersumber dari Saṃyutta Nikāya, yang bab-bab utamanya menjelaskan doktrin-doktrin prinsipil dari Buddhisme Awal. Di sini saya memasukkan pilihan-pilihan teks tentang lima kelompok unsur kehidupan; enam landasan indria internal dan eksternal; unsur-unsur (dalam kelompok jumlah yang berbeda); kemunculan bergantungan; dan Empat Kebenaran Mulia. Saat kita mengamati teks-teks pilihan ini kita akan melihat pola-pola pengulangan tertentu.

IX, 4(1) Lima Kelompok Unsur Kehidupan. Kelima kelompok unsur kehidupan (pañcakkhandha) adalah kelompok utama yang digunakan oleh Nikāya-nikāya untuk menganalisis pengalaman manusia. Kelima itu adalah: (1) bentuk (rūpa), komponen fisik dari pengalaman; (2) perasaan (vedanā), “warna emosi” dari pengalaman – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau netral; (3) persepsi (saññā), identifikasi segala sesuatu melalui tanda-tanda dan ciri-cirinya; (4) bentukan-bentukan kehendak (saṅkhārā), sebuah istilah bagi faktor-faktor batin yang bermacam-macam yang melibatkan kehendak, pilihan, dan maksud; dan (5) kesadaran (viññāṇa), kognisi yang muncul melalui salah satu dari enam organ indria – mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran.

Pemeriksaan pada kelima kelompok unsur kehidupan, topik dari Khandhasaṃyutta (Saṃyutta Nikāya, bab 22), adalah penting dalam ajaran Buddha setidaknya untuk empat alasan. Pertama, kelima kelompok unsur kehidupan adalah rujukan utama dari kebenaran mulia pertama, kebenaran mulia tentang penderitaan (baca penjelasan tentang kebenaran pertama pada Teks II, 5), dan karena seluruh empat kebanaran berkisar pada penderitaan, maka pemahaman akan kelompok-kelompok unsur kehidupan ini menjadi penting untuk memahami Empat Kebenaran Mulia secara keseluruhan. Ke dua, kelima kelompok unsur kehidupan adalah wilayah objektif dari kemelekatan dan karena itu berkontribusi pada penyebab asal dari penderitaan di masa depan. Ke tiga, kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan harus dilenyapkan untuk mencapai kebebasan. Dan ke empat, jenis kebijaksanaan yang diperlukan untuk melenyapkan kemelekatan adalah pandangan terang jernih ke dalam sifat sejati dari kelompok-kelompok unsur kehidupan. Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa selama Beliau belum memahami kelima kelompok unsur kehidupan dalam hal sifat-sifat individualnya, munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, Beliau tidak mengaku telah mencapai Penerangan Sempurna. Pemahaman sepenuhnya pada kelima kelompok unsur kehidupan adalah  sebuah tugas yang juga Beliau anjurkan kepada para siswaNya. Beliau mengatakan bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya; pemahaman sepenuhnya pada hal-hal ini membawa pada hancurnya keserakahan, kebencian, dan delusi (SN 22:23).

Kata khandha (Skt: skandha) di antara hal-hal lainnya, berarti sebuah tumpukan atau kumpulan (rāsi). Kelima kelompok unsur kehidupan juga disebut demikian karena masing-masingnya adalah fenomena-fenomena yang beragam yang memiliki karakteristik yang sama yang tergabung dalam satu label. Demikianlah bentuk apapun juga, “di masa lalu, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat,” tergabung dalam kelompok unsur bentuk; perasaan apapun juga, “di masa lalu, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat,” tergabung dalam kelompok unsur perasaan; penjelasan serupa berlaku untuk kelompok-kelompok unsur lainnya. Teks IX, 4(1)(a) menguraikan unsur-unsur pembentuk dari masing-masing kelompok unsur kehidupan dengan kata-kata sederhana sehubungan dengan kondisi-kondisi spesifiknya; Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan untuk mengakhiri masing-masing dari kelompok unsur kehidupan. Di sini kita menemukan “pola empat-kebenaran” diaplikasikan pada kelima kelompok unsur kehidupan, suatu penerapan yang mengikuti secara cukup logis dari peran yang dimainkan oleh kelima kelompok unsur kehidupan dalam merepresentasikan kebenaran mulia pertama.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #71 on: 01 June 2012, 05:51:03 PM »
Sutta ini membedakan antara siswa yang masih dalam tahap latihan dan para Arahant serupa dengan yang dijelaskan dalam Khotbah tentang Pandangan Benar. Para siswa yang masih berlatih telah secara langsung mengetahui kelima kelompok unsur kehidupan melalui pola empat-kebenaran dan sedang mempraktikkan untuk peluruhan dan pelenyapannya; karenanya mereka telah “memperoleh tempat berpijak (gādhanti) dalam Dhamma dan Disiplin ini.” Para Arahant juga telah secara langsung mengetahui kelima kelompok unsur kehidupan melalui pola empat-kebenaran, tetapi mereka telah pergi lebih jauh daripada para siswa yang masih berlatih. Mereka telah memadamkan segala kemelekatan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan dan telah terbebaskan melalui ketidak-melekatan; demikianlah mereka disebut “yang sempurna” (kevalino) yang tidak dapat digambarkan melalui lingkaran kelahiran kembali.

Sebuah Tanya-jawab terperinci tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, dengan memperlakukannya dari berbagai sudut, dapat ditemukan dalam Teks IX, 4(1)(b). Karena kelima kelompok unsur kehidupan yang membentuk pengalaman biasa kita adalah wilayah objektif dari kemelekatan (upādāna), maka kelompok-kelompok itu disebut lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan (pañc’upādānakkhandhā). Kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan muncul dalam dua cara prinsipil, yang dapat kita sebut peruntukan dan identifikasi. Seseorang apakah menggenggamnya dan memilikinya, yaitu seseorang memperuntukkannya; atau ia menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan-pandangan tentang dirinya atau bagi keangkuhan (“aku lebih baik, sama baiknya, lebih hina daripada orang lain”), yaitu, ia mengidentifikasikannya dengan kelompok-kelompok itu. Seperti yang dikatakan oleh Nikāya-nikāya, kita cenderung menganggap kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai berikut: “Ini milikku, ini aku, ini diriku” (etaṃ mama, eso ‘ham asmi, eso me attā). Dalam frasa ini, gagasan “ini milikku” mewakili tindakan peruntukan, suatu fungsi ketagihan (taṇhā). Gagasan “Ini aku” dan “Ini diriku” mewakili dua jenis identifikasi, yang pertama mengungkapkan keangkuhan (māna), yang terakhir mewakili pandangan-pandangan (diṭṭhi).  [3]


Kelima Kelompok Unsur Kehidupan
(berdasarkan pada SN 22:56-57 dan 22:95)

Kelompok unsuri  s  iKondisiPerumpamaan
BentukEmpat unsur utama dan bentuk yang diturunkan darinyaMakananBongkahan buih
PerasaanEnam kelompok perasaan: yang muncul dari kontak melalui mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiranKontakGelembung air
PersepsiEnam kelompok persepsi: bentuk, suara, bau-bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiranKontakFatamorgana
Bentukan-bentukan kehendakEnam kelompok kehendak: sehubungan dengan bentuk, suara, bau-bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiranKontakBatang pohon pisang
KesadaranEnam kelompok kesadaran: -mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan, -pikiranNama-dan-bentukTipuan sulap

Melepaskan ketagihan adalah sangat sulit karena ketagihan diperkuat oleh pandangan-pandangan, yang merasionalkan identifikasi kita dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan dengan demikian melengkapi ketagihan dengan perisai pelindung. Jenis pandangan yang terletak di dasar dari semua penegasan diri disebut pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi). Sutta-sutta sering kali menyebutkan dua puluh jenis pandangan identitas, yang diperoleh dengan menganggap diri sebagai salah satu dari empat hubungan dengan masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan: apakah sebagai identik dengannya, sebagai memilikinya, sebagai mengandungnya, atau sebagai terkandung di dalamnya. “Kaum duniawi yang tidak terlatih” menganut beberapa jenis pandangan identitas; “siswa mulia yang terlatih,” setelah dengan kebijaksanaan melihat sifat tanpa-diri dari kelompok-kelompok unsur kehidupan itu, tidak lagi menganggap kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai diri atau kepemilikan dari diri. Menganut pandangan-pandangan ini adalah sebab bagi kegelisahan dan kesusahan. Hal ini juga menjadi tali pengikat yang mengikat kita pada lingkaran kelahiran kembali – baca di atas, Teks I, 2(3) dan Teks I, 4(5).

Semua kekotoran pada awalnya berakar dari ketidak-tahuan, yang dengan demikian terletak di dasar dari segala penderitaan dan pembudakan. ketidak-tahuan menenun jaring tiga delusi di sekitar kelompok-kelompok unsur kehidupan. Delusi-delusi ini adalah gagasan bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah kekal, sumber kebahagiaan sejati, dan diri. Kebijaksanaan yang diperlukan untuk memecahkan pesona delusi ini adalah pandangan terang ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan bukan-diri (anattā). Ini disebut pengetahuan langsung pada ketiga karakteristik kehidupan (tilakkhaṇa).

Beberapa sutta tampaknya menjelaskan bahwa pandangan terang ke dalam salah satu dari ketiga karakteristik adalah mencukupi untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, ketika karakteristik itu saling terjalin erat, dan demikianlah formula yang paling umum terdapat dalam Nikāya-nikāya dibangun di atas hubungan internal. Pertama dinyatakan dalam khotbah ke dua Sang Buddha di Bārāṇasi – Teks IX, 4(1)(c) – formula ini menggunakan karakteristik ketidak-kekalan untuk mengungkapkan karakteristik penderitaan, dan keduanya bersama-sama mengungkapkan karakteristik tanpa-diri. Sutta-sutta mengambil jalur tidak langsung ini menuju karakteristik tanpa-diri karena sifat tanpa-diri dari segala sesuatu begitu halus dan sering kali tidak dapat terlihat kecuali jika ditunjukkan melalui kedua karakteristik lainnya. Ketika kita mengenali bahwa hal-hal yang kita identifikasikan sebagai diri kita adalah tidak kekal dan terikat pada penderitaan, maka kita menyadari bahwa hal-hal itu tidak memiliki ciri penting dari diri otentik dan karenanya kita berhenti mengidentifikasikan dengannya.

Penjelasan berbeda dari ketiga karakteristik ini dengan demikian akhirnya menyatu pada pelenyapan kemelekatan. Hal itu dilakukan dengan menunjukkan, dengan menganggap tiap-tiap kelompok unsur kehidupan, “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.” Ini menjadikan pandangan terang ke dalam tanpa-diri sebagai puncak dan kesempurnaan perenungan pada ketiga karakteristik. Walaupun karakteristik tanpa-diri biasanya dipahami melalui kedua karakteristik lainnya, seperti pada Teks IX, 4(1)(d), namun kadang-kadang juga diungkapkan secara langung. Sebuah contoh pendekatan langsung pada tanpa-diri adalah Teks IX, 4(1)(e), khotbah tentang “bongkahan buih,” yang menggunakan lima perumpamaan yang mengesankan untuk mengungkapkan sifat kosong dari kelima kelompok unsur kehidupan. Menurut formula standar, pandangan terang ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri akan memicu kekecewaan (nibbidā), kebebasan dari nafsu (virāga), dan kebebasan (vimutti). Seseorang yang mencapai kebebasan akan memperoleh “pengetahuan dan penglihatan kebebasan,” jaminan bahwa lingkaran kelahiran kembali telah dihentikan dan tidak ada lagi yang harus dilakukan.

Pola lainnya bahwa sutta-sutta sering kali mengaplikasikan pada kelima kelompok unsur kehidupan dan pada kelompok-kelompok fenomena lainnya, adalah triad kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri. Teks VI, 2(1)-(3), dari Aṅguttara Nikāya, mengaplikasikan triad ini pada dunia secara keseluruhan. Saṃyutta Nikāya mengaplikasikan skema yang sama secara sendiri-sendiri pada kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur. Kenikmatan dan kegembiraan yang diberikan oleh tiap-tiap kelompok unsur kehidupan, landasan indria, dan unsur adalah kepuasan; ketidak-kekalan, terliputi oleh penderitaan, dan sifat perubahannya adalah bahayanya; dan meninggalkan keinginan dan nafsu padanya adalah jalan membebaskan diri.

IX, 4(2) Enam Landasan Indria. Saḷāyatanasaṃyutta, khotbah berkelompok tentang Enam Landasan Indria (Saṃyutta Nikāya, bab 35), berisikan lebih dari dua ratus sutta pendek tentang landasan-landasan indria. Keenam landasan indria internal dan eksternal memberikan suatu perspektif pada totalitas pengalaman yang berbeda dari, namun mendukung, perspektif yang diberikan oleh kelompok-kelompok unsur kehidupan. Keenam pasang landasan adalah organ-organ indria dengan objek-objeknya masing-masing, yang mendukung munculnya jenis-jenis kesadaran yang bersesuaian. Karena menjadi perantara bagi kesadaran dan objeknya, maka landasan indria internal disebut sebagai “landasan bagi kontak” (phassāyatana), “kontak” (phassa) adalah pertemuan organ indria, objek, dan kesadaran.

Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal

Landasan indria internalLandasan indria eksternalJenis kesadaran yang muncul dari landasan indria
MataBentukKesadaran-mata
TelingaSuaraKesadaran-telinga
HidungBau-bauanKesadaran-hidung
LidahRasa kecapanKesadaran-lidah
BadanObjek sentuhanKesadaran-badan
pikiranFenomena pikiranKesadaan-pikiran

Apa yang ditunjukkan oleh kelima landasan indria pertama dan objek-objeknya cukup jelas, tetapi pasangan ke enam, pikiran (mano) dan fenomena (dhammā), menyajikan suatu kesulitan. Jika kita memperlakukan kedua istilah ini serupa dengan landasan-landasan indria lainnya, maka kita akan memahami landasan pikiran sebagai penyokong bagi munculnya kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) dan landasan fenomena sebagai bidang objektif dari kesadaran-pikiran. Mengenai interpretasi ini, “pikiran” dapat dianggap sebagai arus pasif kesadaran yang darinya kesadaran konseptual aktif muncul, dan “fenomena” sebagai objek pikiran yang murni seperti yang dipahami melalui introspeksi, khayalan, dan renungan. Akan tetapi, Abhidhamma dan komentar Pāli, menginterpretasikan kedua istilah ini dengan cara berbeda. Mereka menganggap bahwa landasan pikiran terdiri dari semua kelompok kesadaran, yaitu, termasuk di dalamnya adalah seluruh enam jenis kesadaran. Mereka juga menganggap bahwa segala entitas nyata yang tidak terdapat dalam  landasan indria lainnya merupakan landasan fenomena. Dengan demikian, landasan fenomena mencakup ketiga kelompok unsur batin lainnya – perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak – serta jenis-jenis bentuk materi halus yang tidak terlibat dalam pengalaman melalui indria-indria fisik. Apakah interpretasi ini selaras dengan makna yang dimaksudkan dalam teks-teks Buddhis tertua adalah suatu pertanyaan yang masih belum terjawab.

Teks IX, 4(2)(a)  membuktikan bahwa bagi Buddhisme Awal, kebebasan memerlukan pengetahuan langsung dan pemahaman penuh pada landasan-landasan indria internal dan eksternal dan segala fenomena yang muncul darinya. Hal ini tampaknya membentuk suatu hubungan nyata antara Buddhisme dan ilmu pengetahuan empiris, tetapi jenis pengetahuan yang dicari melalui kedua disiplin ini adalah berbeda. Sementara para ilmuwan mencari informasi “objektif” dan impersonal, praktisi Buddhis mencari pandangan terang langsung ke dalam sifat fenomena-fenomena ini sebagai komponen pengalaman hidup.

Nikāya-nikāya memberikan perbedaan menarik antara perlakuan yang diberikan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan dan landasan-landasan indria. Keduanya berfungsi sebagai tanah di mana kemelekatan berakar dan tumbuh, tetapi sementara kelompok-kelompok unsur kehidupan pada dasarnya adalah tanah bagi pandangan-pandangan tentang diri, landasan-landasan indria pada dasarnya adalah tanah bagi ketagihan. Oleh karena itu, suatu langkah penting dalam menaklukkan ketagihan adalah pengendalian indria. Para bhikkhu dan bhikkhunī khususnya, harus waspada ketika bertemu dengan objek-objek indria yang disukai maupun yang tidak disukai. Ketika ia lengah, maka pengalaman melalui indria-indria selalu menjadi pemicu bagi ketagihan: nafsu pada objek menyenangkan, penolakan pada objek yang tidak menyenangkan (dan ketagihan pada jalan membebaskan diri yang menyenangkan), dan kemelekatan tumpul pada objek-objek netral.

Dalam salah satu khotbah awalNya yang dikenal sebagai “Khotbah Api” – Teks IX, 4(2)(b) – Sang Buddha menyatakan bahwa “semuanya terbakar.” “Semuanya” di sini adalah enam landasan, objek-objeknya, dan jenis-jenis kesadaran yang muncul darinya, dan kontak dan perasaan yang berhubungan. Jalan menuju kebebasan adalah dengan melihat bahwa “semuanya” ini terbakar oleh api kekotoran dan penderitaan. Saḷāyatanasaṃyutta berulang-ulang mengatakan bahwa untuk menghalau ketidak-tahuan dan menghasilkan pengetahuan sejati, maka kita harus merenungkan seluruh landasan indria dan perasaan-perasaan yang muncul melaluinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Hal ini, menurut Teks IX, 4 (2)(c), adalah jalan langsung menuju pencapaian Nibbāna. Suatu jalan alternatif yang disarankan oleh Teks IX, 4(2)(d), adalah melihat bahwa keenam landasan ini adalah kosong – kosong dari diri atau apapun yang menjadi milik diri. Karena kesadaran muncul melalui keenam landasan ini, maka kesadaran juga hampa dari diri – Teks IX, 4(2)(e).

IX, 4(3) Unsur-unsur. Unsur-unsur adalah topik dari Dhātusaṃyutta (Saṃyutta Nikāya, bab 14). Kata “unsur-unsur” (dhātu) diaplikasikan pada beberapa kelompok fenomena yang berbeda, dan demikianlah sutta-sutta dalam bab ini terdiri dari bagian-bagian terpisah dengan sedikit persamaan namun tetap membahas entitas-entitas yang disebut unsur-unsur. Kelompok yang paling penting terdiri dari delapan belas, empat, dan enam unsur.

Delapan belas unsur adalah penjelasan dari dua belas landasan indria. Terdiri dari enam organ indria, enam objek indria, dan enam jenis kesadaran indria. Karena enam jenis kesadaran digali dari landasan pikiran, maka unsur pikiran yang tertinggal adalah jenis peristiwa kognisi yang lebih sederhana. Nikāya-nikāya tidak menyebutkan fungsinya secara persis. Abhidhamma mengidentifikasikannya dengan sejenis kesadaran yang mengambil peran pada tahap yang lebih mentah dalam proses kognisi daripada unsur kesadaran-pikiran yang lebih membeda-bedakan. Teks IX, 4(3)(a) berisi uraian sederhana pada delapan belas unsur. Perenungan pada unsur-unsur ini membantu menghalau gagasan bahwa suatu subjek abadi mendasari perubahan pada pengalaman. Hal ini menunjukkan bagaimana pengalaman terdiri dari jenis-jenis kesadaran berbeda, masing-masingnya terkondisi, muncul dengan bergantung pada organ indria dan objeknya masing-masing. Demikianlah untuk menegaskan sifat pengalaman yang terkondisi, tersusun, dan bervariasi menghalau ilusi kesatuan dan kepadatan yang biasanya menghalangi kognisi yang benar.

Empat unsur adalah tanah, air, panas, dan angin. Unsur-unsur ini mewakili “cara berperilaku” dari materi: padat, cair, energi, dan perluasan. Keempat ini tidak terpisahkan bergabung dalam setiap unit materi, dari yang terkecil hingga yang terbesar dan yang paling kompleks. Akan tetapi, unsur-unsur bukan sekedar atribut dari dunia eksternal, melainkan juga dari jasmani diri sendiri. Demikianlah seseorang harus merenungkannya sehubungan dengan jasmani diri sendiri, seperti yang diajarkan oleh Satipaṭṭhāna Sutta (baca Teks VIII, 8 §12). Ketiga sutta yang digabungkan dalam Teks IX, 4(3)(b) menunjukkan bahwa unsur-unsur ini dapat dilihat: sebagai tidak kekal dan terkondisi; dari tiga sudut pandang kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri; dan melalui pola empat-kebenaran.

Enam unsure termasuk empat unsur fisik, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Teks IX, 4(3)(c), sebuah ringkasan dari MN 140, menjelaskan secara terperinci tentang bagaimana merenungkan keenam unsur ini sehubungan dengan badan jasmani, dunia eksternal, dan pengalaman kesadaran.

IX, 4(4) Kemunculan Bergantungan. Kemunculan bergantungan (paṭiccasamuppāda) begitu penting dalam ajaran Buddha sehingga Sang Buddha berkata: “Siapa yang melihat kemunculan bergantungan berarti melihat Dhamma, dan siapa yang melihat Dhamma berarti melihat kemunculan bergantungan” (MN 28; I 190-91). Tujuan utama dari ajaran kemunculan bergantungan adalah untuk mengungkapkan kondisi-kondisi yang memelihara lingkaran kelahiran kembali dan karena itu juga menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh kebebasan dari lingkaran itu. Untuk memenangkan kebebasan adalah persoalan menguraikan pola sebab-akibat yang mendasari pembudakan kita, dan proses ini dimulai dari memahami pola sebab-akibat itu sendiri. Adalah kemunculan bergantungan yang mendefinisikan pola sebab-akibat ini.

Seluruh satu bab dari Saṃyutta Nikāya, Nidānasaṃyutta (bab 12), khusus membahas tentang kemunculan bergantungan. Doktrin ini biasanya dibabarkan sebagai suatu rangkaian dua belas faktor yang saling terhubung menjadi rantai sebelas dalil; baca Teks IX, 4(4)(a). Seorang Buddha menemukan rantai kondisi ini; setelah pencerahanNya, misiNya adalah menjelaskannya kepada dunia. Teks IX, 4(4)(b) menyatakan rangkaian kondisi ini sebagai prinsip yang pasti, hukum yang stabil, sifat dari segala sesuatu. Rangkaian ini dibabarkan dalam dua cara: melalui asal-mula (disebut anuloma atau urutan maju), dan melalui lenyapnya (disebut paṭiloma atau urutan mundur). Kadang-kadang penyajiannya bergerak dari faktor pertama menuju ke akhir; kadang-kadang bergerak dari akhir dan menelusuri kembali rantai kondisi itu kembali ke faktor pertama. Sutta-sutta lain mengambil rantai ini di suatu tempat di tengah-tengah dan bergerak balik ke belakang atau maju ke depan.
« Last Edit: 01 June 2012, 05:54:12 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #72 on: 01 June 2012, 05:52:26 PM »
Nikāya-nikāya sendiri tidak memberikan penjelasan sistematis tentang kemunculan bergantungan seperti yang dapat diharapkan seseorang dari buku bacaan perkuliahan. Demikianlah, untuk suatu penjelasan yang jelas, kita harus mengandalkan komentar-komentar dan naskah-naskah penjelasan yang telah diturunkan dari aliran-aliran Buddhis Awal. Terlepas dari perbedaan-perbedaan kecil dalam detil-detilnya, sumber-sumber ini sepakat pada makna umum dari formula kuno ini, yang dapat diringkas sebagai berikut: Karena (1) ketidak-tahuan (avijjā), tidak memiliki pengetahuan langsung tentang Empat Kebenaran Mulia, kita terlibat dalam aktivitas-aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat; ini adalah (2) bentukan-bentukan kehendak (saṅkhārā), dengan kata lain, kamma. Bentukan-bentukan kehendak memelihara kesadaran dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya dan menentukan di mana kesadaran itu akan muncul kembali; dengan cara inilah bentukan-bentukan kehendak mengkondisikan (3) kesadaran (viññāṇa). Bersama dengan kesadaran, dimulai dari sejak konsepsi, muncullah (4) “nama-dan-bentuk” (nāmarūpa), organisme hidup dengan bentuk fisik (rūpa) dan kapasitas sensitivitas dan kognitifnya (nāma). Organisme hidup ini dilengkapi dengan (5) enam landasan indria (saḷāyatana), lima organ indria fisik dan pikiran sebagai organ kognisi. Landasan-landasan indria memungkinkan terjadinya (6) kontak (phassa) antara kesadaran dan objeknya, dan kontak mengkondisikan (7) perasaan (vedaṇā). Dipicu oleh perasaan, maka muncullah ( 8 ) ketagihan (taṇhā), dan ketika ketagihan menguat maka muncullah (9) kemelekatan (upādāna), keterikatan erat pada objek-objek keinginan melalui sensualitas dan pandangan salah. Didorong oleh kemelekatan kita, sekali lagi kita terlibat dalam perbuatan-perbuatan kehendak yang menghasilkan (10) penjelmaan baru (bhava). Pada saat kematian potensi penjelmaan baru ini diaktualisasikan dalam kehidupan baru yang dimulai dari (11) kelahiran (jāti) dan berakhir dengan (12) penuaan-dan-kematian (jarāmaraṇa).  [4]

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa interpretasi komentar memperlakukan kedua-belas faktor ini membentang sepanjang tiga kehidupan, dengan ketidak-tahuan dan bentukan-bentukan kehendak di masa lampau, kelahiran dan penuaan-dan-kematian di masa depan, dan faktor-faktor di antaranya di masa sekarang. Bagian dari kesadaran hingga perasaan adalah tahap hasil dari masa sekarang, tahap yang dihasilkan dari ketidak-tahuan dan kamma masa lampau; bagian dari ketagihan hingga penjelmaan adalah tahap kreasi kamma masa sekarang, yang menuntun menuju penjelmaan baru di masa depan. Tetapi penjelmaan dibedakan dalam dua fase: satu, disebut penjelmaan-kamma (kammabhava), yang merupakan sisi aktif dari penjelmaan dan menjadi bagian dari tahap sebab dari kehidupan sekarang; fase lainnya, disebut penjelmaan-kelahiran kembali (upapattibhava), merupakan sisi pasif dari penjelmaan dan menjadi bagian dari tahap hasil pada kehidupan mendatang. Kedua-belas faktor ini juga terbagi dalam tiga “babak”: babak kekotoran (kilesavaṭṭa) termasuk ketidak-tahuan, ketagihan, dan kemelekatan; babak perbuatan (kammavaṭṭa) termasuk bentukan-bentukan kehendak dan penjelmaan-kamma; dan semua faktor lainnya termasuk dalam babak hasil (vipākavaṭṭa). Kekotoran-kekotoran memunculkan perbuatan-perbuatan kotor, perbuatan-perbuatan menghasilkan akibat, dan akibat-akibat berfungsi sebagai tanah bagi lebih banyak lagi kekotoran. Dengan cara inilah lingkaran kelahiran kembali berputar tanpa awal yang dapat diketahui.

Metode pembagian faktor-faktor ini jangan disalah-pahami sebagai bermakna bahwa faktor-faktor masa lalu, masa sekarang, dan masa depan adalah bersifat saling meniadakan. Pembagian dalam tiga kehidupan hanyalah alat untuk menjelaskan yang, demi keringkasan, harus mengalami suatu tingkat abstraksi. Seperti yang ditunjukkan oleh banyak sutta dalam Nidānasaṃyutta, kelompok faktor-faktor dipisahkan dalam formula yang tidak dapat dihindarkan saling terjalin dalam operasi dinamisnya. Kapanpun ada ketidak-tahuan, maka ketagihan dan kemelekatan tanpa terkecuali akan menyertainya; dan kapanpun ada ketagihan dan kemelekatan, maka ketidak-tahuan berdiri di belakangnya. Formula ini mendemonstrasikan bagaimana kelahiran kembali dapat terjadi tanpa kehadiran inti diri yang mempertahankan identitasnya ketika berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Tanpa suatu diri yang menghubungkan urutan-urutan itu, apa yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan lainnya bukan lain adalah prinsip kondisionalitas. Kondisi-kondisi dalam satu kehidupan memicu munculnya fenomena terkondisi dalam kehidupan lainnya; ini berfungsi sebagai kondisi-kondisi bagi fenomena-fenomena lainnya lagi, yang mengkondisikan fenomena-fenomena lain lagi, dan seterusnya tidak terhingga di masa depan. Keseluruhan proses ini berakhir hanya jika sumber yang mendasarinya – ketidak-tahuan, ketagihan, dan kemelekatan – dimusnahkan melalui kebijaksanaan.

Kemunculan bergantungan bukan hanya sekadar teori melainkan suatu ajaran yang harus diketahui secara langsung melalui pengalaman pribadi, satu hal yang disebutkan dengan jelas dalam Teks IX, 4(4)(c). Sutta ini menginstruksikan siswa untuk memahami masing-masing faktor melalui pola empat-kebenaran: ia harus memahami faktor itu, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Pertama-tama ia memahami pola ini sehubungan dengan pengalamannya. Kemudian, dengan berdasarkan pada ini, ia menyimpulkan bahwa mereka semua memahami hal ini dengan benar di masa lalu memahaminya dengan cara yang persis sama; kemudian bahwa mereka semua yang akan memahami hal ini dengan benar di masa depan akan memahaminya dengan cara yang persis sama. Dengan cara ini, kemunculan bergantungan memperoleh peran penting yang universal dan tidak terbatas oleh waktu.

Beberapa sutta menganggap bahwa kemunculan bergantungan sebagai “ajaran di tengah” (majjhena tathāgato dhammaṃ deseti). Dikatakan “ajaran di tengah” karena melampaui dua pandangan ekstrim yang mempertentangkan refleksi filosofis pada kondisi manusia. Salah satu ekstrim, tesis metafisika eternalisme (sassatavāda), yang menegaskan bahwa inti dari identitas manusia adalah diri abadi dan tidak terhancurkan, baik secara individu maupun secara universal. Hal ini juga menegaskan bahwa dunia diciptakan dan dipelihara oleh suatu entitas kekal, Tuhan atau suatu realitas metafisik lainnya. Ekstrim lainnya adalah nihilisme (ucchedavāda), yang menganut bahwa pada saat kematian orang itu sepenuhnya musnah. Tidak ada dimensi spiritual pada eksistensi manusia dan dengan demikian tidak ada apapun yang bertahan hidup. Bagi Sang Buddha, kedua ekstrim ini adalah persoalan yang tidak terpecahkan. Eternalisme mendorong suatu kemelekatan yang membandel pada kelima kelompok unsur kehidupan, yang sesungguhnya adalah tidak kekal dan hampa dari inti diri; nihilisme mengancam untuk merusak etika dan menjadikan penderitaan sebagai produk kebetulan.

Kemunculan bergantungan menawarkan suatu perspektif yang berbeda secara radikal yang melampaui kedua ekstrim. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi individu terbentuk dari aliran fenomena terkondisi yang hampa dari diri metafisik namun berlanjut dari satu kelahiran ke kelahiran lainnya selama sebab-sebab yang memeliharanya tetap bekerja. Oleh karena itu kemunculan bergantungan menawarkan suatu penjelasan yang meyakinkan atas problema penderitaan yang di satu pihak menghindari dilema filosofis yang diajukan oleh dugaan atas diri yang kekal, dan di pihak lain menghindari bahaya dari anarki etika yang pada akhirnya akan diarahkan oleh nihilisme. Selama ketidak-tahuan dan ketagihan masih ada, maka proses kelahiran kembali akan terus berlanjut; kamma menghasilkan buah yang menyenangkan dan menyakitkan, dan kumpulan besar penderitaan bertambah. Ketika ketidak-tahuan dan ketagihan dihancurkan, maka mekanisme sebab-akibat dihentikan, dan ia mencapai akhir penderitaan dalam saṃsāra. Mungkin penjelasan terbaik tentang kemunculan bergantungan sebagai “jalan di tengah” adalah Kaccānagotta Sutta yang terkenal, dimasukkan di sini sebagai Teks IX, 4(4)(d).

Walaupun formula kedua-belas faktor ini adalah versi yang paling dikenal dari doktrin kemunculan bergantungan, namun Nidānasaṃyutta memperkenalkan sejumlah variasi yang kurang dikenal untuk membantu menjelaskan versi standarnya. Salah satu variasi tersebut, Teks IX, 4(4)(e), membicarakan tentang kondisi-kondisi bagi “kelangsungan kesadaran” (viññāṇassa ṭhitiyā), dengan kata lain, bagaimana kesadaran berlanjut menuju kehidupan baru. Sebab-sebabnya dikatakan sebagai terletak pada kecenderungan tersembunyi, yaitu, ketidak-tahuan dan ketagihan , dan “apa yang dimaksudkan dan direncanakan seseorang,” yaitu, bentukan-bentukan kehendak. Begitu kesadaran terbentuk, maka produksi kehidupan baru telah dimulai; demikianlah di sini kita maju secara langsung dari kesadaran (biasanya faktor ke tiga) menjadi penjelmaan (biasanya faktor ke sepuluh). Teks IX, 4(4)(f) mengatakan bahwa dari enam landasan indria internal dan eksternal (biasanya faktor ke lima), maka kesadaran (faktor ke tiga) muncul, diikuti oleh kontak, perasaan, ketagihan , dan seterusnya. Variasi ini menegaskan bahwa urutan faktor-faktor jangan dianggap sebagai proses sebab-akibat linier yang mana masing-masing faktor yang sebelumnya akan memunculkan faktor berikutnya melalui kausalitas efisien sederhana. Sebaliknya, jauh dari linier, hubungan antara faktor-faktor tersebut adalah selalu rumit, melibatkan untaian-untaian kondisionalitas yang saling terjalin.

IX, 4(5) Empat Kebenaran Mulia. Seperti yang telah kita lihat baik dalam bagian “jalan bertahap menuju kebebasan” maupun dalam “perenungan fenomena-fenomena” dari Khotbah Penegakan Perhatian, jalan menuju pembebasan memuncak dalam penembusan Empat Kebenaran Mulia: baca Teks VII, 4 §25 dan Teks VIII, 8 §44. Ini adalah kebenaran-kebenaran yang ditemukan oleh Sang Buddha pada malam pencerahanNya dan dibabarkan dalam khotbah pertamanya: baca Teks II, 3(2) §42 dan Teks II, 5. Khotbah pertama ini terselip nyaris tidak menarik perhatian dalam Saccasaṃyutta (Saṃyutta Nikāya, bab 56), Khotbah Berkelompok tentang Kebenaran-kebenaran, satu bab yang penuh dengan sutta-sutta yang ringkas dan memancing pemikiran.

Untuk menggaris-bawahi signifikansi luas dari Empat Kebenaran Mulia, Saccasaṃyutta mengemasnya dengan latar belakang universal. Menurut Teks IX, 4(5)(a), bukan hanya Sang Buddha Gotama, melainkan semua Buddha di masa lampau, masa sekarang, dan di masa depan tercerahkan ke dalam empat kebenaran yang sama ini. Empat kebenaran ini, dikatakan oleh Teks IX, 4(5)(b), adalah kebenaran-kebenaran karena “aktual, tidak pernah salah, bukan sebaliknya.” Menurut Teks IX, 4(5)(c), hal-hal yang diajarkan oleh Sang Buddha hanyalah sedikit daun di hutan, dan apa yang Beliau ajarkan hanyalah Empat Kebenaran Mulia ini, diajarkan dengan tepat karena menuntun menuju pencerahan dan Nibbāna.

Makhluk-makhluk hidup mengembara dan berkelana dalam saṃsāra karena mereka tidak memahami atau menembus Empat Kebenaran Mulia – Teks IX, 4(5)(d). Seperti yang ditunjukkan oleh rantai kemunculan bergantungan, apa yang terletak di dasar sebab-akibat penderitaan adalah ketidak-tahuan (avijjā), dan ketidak-tahuan adalah tidak memahami Empat Kebenaran Mulia. Demikianlah mereka yang tidak memahami empat kebenaran akan memunculkan bentukan-bentukan kehendak dan jatuh ke dalam jurang kelahiran, penuaan, dan kematian – Teks IX, 4(5)(e).

Obat penawar bagi ketidak-tahuan adalah pengetahuan (vijjā), yang didefinisikan sebagai pengetahuan pada Empat Kebenaran Mulia. Penembusan pertama pada Empat Kebenaran Mulia terjadi pada pencapaian tingkat memasuki-arus, disebut penembusan pada Dhamma (dhammābhisamaya). Mencapai penembusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi tanpa menembusnya adalah tidak mungkin untuk mengakhiri penderitaan – Teks IX, 4(5)(f). Karena itu Sang Buddha berulang-ulang mendorong para siswaNya untuk “berusaha keras’ untuk mencapai penembusan pada kebenaran-kebenaran ini.

Begitu siswa menembus dan melihat Empat Kebenaran Mulia, masih terdapat tugas lain di depan, karena masing-masing kebenaran menuntut suatu tugas yang harus dipenuhi untuk memenangkan buah akhir. Kebenaran penderitaan, yang terdiri dari lima kelompok unsur kehidupan, harus dipahami (pariññeyya). Kebenaran asal-mula, yaitu ketagihan, harus ditinggalkan (pahātabba). Kebenaran lenyapnya, yaitu Nibbāna, harus dicapai (sacchikātabba). Dan kebenaran Sang Jalan, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan, harus dikembangkan (bhāvetabba). Mengembangkan sang jalan menyelesaikan seluruh empat tugas, yang mana seseorang mencapai hancurnya noda-noda. Proses ini dimulai dengan penembusan Empat Kebenaran Mulia yang sama, dan demikianlah Teks IX, 4(5)(g) mengatakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk mereka yang mengetahui dan melihat Empat Kebenaran Mulia.

IX, 5 Tujuan Kebijaksanaan. Empat Kebenaran Mulia tidak hanya berfungsi sebagai wilayah objektif dari kebijaksanaan tetapi juga mendefinisikan tujuannya, yang tercantum dalam kebenaran mulia ke tiga, lenyapnya penderitaan. Lenyapnya penderitaan adalah Nibbāna, dan demikianlah tujuan kebijaksanaan, akhir dari kemana pelatihan kebijaksanaan bergerak adalah pencapaian Nibbāna. Tetapi apakah yang dimaksud dengan Nibbāna? Sutta-sutta menjelaskan Nibbāna dalam berbagai cara. Beberapa di antaranya, seperti pada Teks IX, 5(1), mendefinisikan Nibbāna hanya sebagai kehancuran nafsu, kebencian, dan delusi. Dalam sutta-sutta lainnya, seperti rangkaian yang menyusun Teks IX, 5(2), menggunakan metafora dan perumpamaan untuk menyampaikan gagasan yang lebih nyata tentang tujuan tertinggi. Nibbāna masih sebagai kehancuran nafsu, kebencian, dan delusi, tetapi sesuai sifatnya, di antara hal-hal lainnya, adalah damai, abadi, luhur, indah, dan menakjubkan. Penjelasan demikian mengindikasikan bahwa Nibbāna adalah suatu kondisi kebahagiaan, kedamaian, dan kebebasan tertinggi yang dialami dalam kehidupan ini.

Beberapa sutta, terutama sepasang sutta dalam Udāna – dimasukkan di sini sebagai Teks IX, 5(3) dan IX, 5(4) – menyiratkan bahwa Nibbāna bukan sekedar kehancuran kekotoran-kekotoran dan suatu perasaan psikologis yang mulia. Sutta-sutta itu membicarakan Nibbāna nyaris seolah-olah Nibbāna adalah suatu kondisi transenden atau dimensi makhluk-makhluk. Teks IX, 5(3) merujuk pada Nibbāna sebagai suatu “landasan” (āyatana) yang melampaui dunia pengalaman umum di mana tidak ada unsur fisik atau dimensi tanpa bentuk yang halus yang hadir; ini adalah suatu kondisi yang sepenuhnya diam, tanpa muncul, lenyap, atau berubah. Teks IX, 5(4) menyebutnya sebagai “yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tidak menjelma, [dan] tidak terkondisi” (Ajātaṃ, akataṃ, abhūtaṃ. asaṅkhataṃ), yang keberadaannya memungkinkan tercapainya kebebasan dari segala yang dilahirkan, diciptakan, yang akan menjelma, dan terkondisi.
« Last Edit: 01 June 2012, 05:56:22 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #73 on: 01 June 2012, 05:53:17 PM »

Bagaimanakah kita menghubungkan kedua perspektif Nibbāna yang terdapat dalam Nikāya-nikāya, yang satu memperlakukannya sebagai suatu kondisi pengalaman kemurnian batin dan kebahagiaan luhur, yang lainnya sebagai keadaan tidak terkondisi yang melampaui dunia empiris? Para komentator, baik Buddhis maupun non-Buddhis, telah berusaha menghubungkan kedua aspek Nibbāna ini dalam berbagai cara. Interpretasi mereka umumnya mencerminkan kecenderungan si penerjemah seperti yang mereka lakukan pada teks-teks itu. Cara yang tampaknya paling tepat bagi kedua aspek Nibbāna yang tersirat dalam teks-teks adalah dengan menganggap pencapaian Nibbāna sebagai suatu kondisi kebebasan dan kebahagiaan yang dicapai melalui kebijaksanaan yang mendalam menembus unsur yang tidak terkondisi dan transenden, suatu kondisi yang tenang secara intrinsik dan selamanya di luar penderitaan. Penembusan pada elemen ini menghasilkan hancurnya kekotoran-kekotoran, memuncak dalam pemurnian pikiran sepenuhnya. Pemurnian demikian disertai dengan pengalaman kedamaian dan kebahagiaan sempurna dalam kehidupan ini. Dengan hancurnya jasmani pada saat kematian fisik, hal ini membawa kebebasan yang tidak dapat dibalikkan dari lingkaran kelahiran kembali yang tanpa awal.

Sutta-sutta membicarakan dua “elemen Nibbāna,” elemen Nibbāna dengan sisa (sa-upādisesa-nibbānadhātu) dan elemen Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa-nibbānadhātu). Teks IX, 5(5) menjelaskan elemen Nibbāna dengan sisa sebagai hancurnya nafsu, kebencian, dan delusi yang dicapai oleh Arahant ketika masih hidup. “Sisa” itu adalah susunan kelima kelompok unsur kehidupan yang dibawa oleh ketidak-tahuan dan ketagihan dari kehidupan masa lampau dan harus terus berlanjut hingga akhir kehidupan. Sehubungan dengan elemen Nibbāna tanpa sisa, teks yang sama mengatakan bahwa hanya ketika Arahant tersebut meninggal dunia, maka semua yang dirasakan, karena tidak dinikmati, maka akan menjadi dingin di sini. Karena tidak ada lagi kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan, dan tidak ada lagi ketagihan  pada pengalaman baru melalui kumpulan kelompok unsur kehidupan yang baru, maka munculnya kelompok-kelompok unsur kehidupan berakhir dan tidak dapat berlanjut. Proses kelima kelompok unsur kehidupan “dipadamkan” (makna literal dari Nibbāna).  [5]

Akan tetapi, Sang Buddha tidak menjelaskan sama sekali dalam hal ada atau tidak ada sehubungan dengan kondisi Arahant setelah kematian. Tampaknya cukup logis untuk menganggap bahwa karena kelima kelompok unsur kehidupan yang merupakan pengalaman telah sepenuhnya lenyap dengan tercapainya elemen Nibbāna tanpa sisa, elemen ini sendiri pastilah suatu keadaan yang sama sekali tidak ada, suatu kondisi kekosongan. Namun tidak ada teks dalam Nikāya-nikāya yang mengatakan hal ini. Sebaliknya, Nikāya-nikāya secara konsisten merujuk pada Nibbāna dengan sebutan yang merujuk pada aktualitas. Ini adalah suatu elemen (dhātu), suatu landasan (āyatana), suatu realitas (dhamma), suatu keadaan (pada), dan seterusnya. Akan tetapi, walaupun disebut demikian, Nibbāna ini dikualifikasikan dalam berbagai cara yang mengindikasikan bahwa keadaan ini sama sekali berada di luar semua konsep dan kategori yang sudah kita kenal.

Dalam Teks IX, 5(6), pengembara Vacchagotta bertanya kepada Sang Buddha apakah Sang Tathāgata – di sini menyiratkan seseorang yang telah mencapai tujuan tertinggi – terlahir kembali (upapajjati) atau tidak setelah kematian. Sang Buddha menolak untuk mengakui salah satu dari empat pilihan tersebut. Mengatakan bahwa Sang Tathāgata terlahir kembali, tidak terlahir kembali, terlahir kembali juga tidak terlahir kembali, bukan terlahir kembali juga bukan tidak terlahir kenbali – semua ini tidak dapat diterima, karena semua itu menerima kata Tathāgata sebagai menunjukkan suatu makhluk yang nyata, sementara dari sudut pandang internal seorang Tathāgata telah melepaskan segala kemelekatan pada gagasan makhluk yang nyata. Sang Buddha mengilustrasikan hal ini dengan perumpamaan api yang padam. Seperti halnya api yang padam tidak dapat dikatakan telah pergi ke manapun juga tetapi hanya dikatakan “padam,” demikian pula dengan hancurnya jasmani Sang Tathāgata tidak pergi ke manapun tetapi hanya “padam,” bentuk kata kerja lampau dari nibbuta, digunakan untuk menggambarkan api yang telah padam, dihubungkan dengan kata benda nibbāna, yang secara literal berarti “memadamkan.”  [6]

Namun demikian, jika perumpamaan ini menyiratkan pandangan “nihilisme” versi Buddhis terhadap takdir Arahant setelah kematiannya, maka kesan ini ditimbulkan oleh kesalah-pahaman, pada persepsi keliru tentang Arahant sebagai “diri” atau “orang” yang dimusnahkan. Problema kita dalam memahami keadaan Sang Tathāgata setelah kematian dipersulit oleh kesulitan kita dalam memahami keadaan Sang Tathāgata bahkan selagi hidup. Perumpamaan samudera raya menegaskan kesulitan ini. Karena Sang Tathāgata tidak lagi mengidentifikasikan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang membentuk identitas individu, maka Beliau tidak dapat dikenali melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan itu, apakah secara terpisah atau secara keseluruhan. Terbebas dari pengenalan dalam hal kelima kelompok unsur kehidupan, Sang Tathāgata melampaui pemahaman kita. Bagaikan samudera raya, Beliau “dalam, tidak terbatas, [dan] sulit diukur.”  [7]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IX)
« Reply #74 on: 01 June 2012, 08:53:24 PM »
IX. MENYALAKAN CAHAYA KEBIJAKSANAAN

1. GAMBARAN KEBIJAKSANAAN

(1) Kebijaksanaan bagai Cahaya

“Ada, O para bhikkhu, empat cahaya ini. Apakah empat ini? Cahaya bulan, cahaya matahari, cahaya api, dan cahaya kebijaksanaan. Dari keempat cahaya ini, cahaya kebijaksanaan adalah yang tertinggi.”

(AN 4:143; II 139)


(2) Kebijaksanaan bagai Pisau

11. “Saudari-saudari, misalkan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi dan memotongnya dengan pisau daging yang tajam. Tanpa merusak daging bagian dalamnya dan tanpa merusak kulit luarnya, ia membelah, memotong, dan mencincang urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi dengan pisau daging yang tajam. Kemudian setelah membelah, memotong, dan mencincang semua itu, ia menguliti kulit luarnya dan menutupnya lagi dengan kulit yang sama. Apakah ia mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya’?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena jika tukang daging yang terampil atau muridnya itu menyembelih seekor sapi … dan membelah, memotong, dan mencincang semua itu, bahkan jika ia menutupnya lagi dengan kulit yang sama dan berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya,’ namun sapi itu tetap terlepas dari kulit itu.”

12. “Saudari-saudari, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Berikut ini adalah maknanya: ‘daging bagian dalam’ adalah sebutan untuk enam landasan internal. ‘kulit luar’ adalah sebutan untuk enam landasan eksternal. ‘Urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi’ adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. ‘Pisau daging yang tajam’ adalah sebutan untuk kebijaksanaan mulia – kebijaksanaan mulia yang membelah, memotong, dan mencincang kekotoran-kekotoran bagian dalam, belenggu-belenggu, dan ikatan-ikatan.

(dari MN 146: Nandakovāda Sutta; III 274-75)

2. KONDISI BAGI KEBIJAKSANAAN

“Ada, O para bhikkhu, delapan penyebab dan kondisi untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual yang belum diperoleh dan untuk meningkatkan, mematangkan, dan memenuhi melalui pengembangan pada kebijaksanaan yang telah diperoleh. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada guru atau seorang bhikkhu yang dalam posisi menjadi guru, dan ia telah menumbuhkan terhadapnya suatu rasa malu dan ketakutan moral dan memperlakukannya dengan kasih sayang dan penghormatan. Ini adalah penyebab dan kondisi pertama untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(2) “Ketika ia hidup dengan bergantung pada guru-guru demikian, dari waktu ke waktu ia mendatangi mereka dan bertanya: ‘Bagaimanakah hal ini, Yang Mulia? Apakah arti dari ini?’ Kemudian para mulia itu akan mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, menjelaskan apa yang masih belum jelas, dan menghalau kebingungannya tentang banyak hal membingungkan. Ini adalah penyebab dan kondisi ke dua untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(3) “Setelah mempelajari Dhamma, ia berdiam dengan mengasingkan diri melalui dua jenis pengasingan: pengasingan jasmani dan pengasingan batin. Ini adalah penyebab dan kondisi ke tiga untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(4) “Ia bermoral, terkendali oleh pengendalian Pātimokkha,  [8] sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, melihat bahaya dalam pelanggaran yang terkecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia melatih dirinya dalam aturan-aturan itu. Ini adalah penyebab dan kondisi ke empat untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(5) “Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang menegaskan kehidupan spiritual yang murni dan lengkap sempurna – ajaran-ajaran ini telah banyak ia pelajari, ia hafalkan, ia ulangi secara lisan, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Ini adalah penyebab dan kondisi ke lima untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(6) “Ia bersemangat; ia hidup dengan semangat untuk meninggalkan segalanya yang tidak bermanfaat dan memperoleh segalanya yang bermanfaat; ia tekun dan kokoh dalam usahanya, tidak melalaikan tugasnya sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat. Ini adalah penyebab dan kondisi ke enam untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(7) “Ketika ia berada di tengah-tengah Saṅgha, ia tidak terlibat dalam pembicaraan tidak bertujuan dan tanpa arah. Apakah ia sendiri membicarakan Dhamma atau ia memohon agar orang lain membicarakan Dhamma, atau ia tidak menghindari keheningan mulia. Ini adalah penyebab dan kondisi ke tujuh untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

(8) “Ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah bentukan-bentukan kehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya.’ Ini adalah penyebab dan kondisi ke delapan untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual …

“Untuk kedelapan alasan ini maka rekan-rekannya sesama bhikkhu menghormatinya sebagai seorang yang sungguh mengetahui dan melihat, dan kualitas-kualitas ini menuntun menuju kasih-sayang, menuju penghargaan, keharmonisan, dan kesatuan.

“Ini, para bhikkhu, delapan penyebab dan kondisi untuk memperoleh kebijaksanaan yang mendasari kehidupan spiritual yang belum diperoleh dan untuk meningkatkan, mematangkan, dan memenuhi melalui pengembangan pada kebijaksanaan yang telah diperoleh.”

(AN 8:2, diringkas; IV 151-55)

 

anything