//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28306 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
BUKAN TIPITAKA TEMATIK
« on: 06 October 2011, 10:31:15 PM »
ya ini memang BUKAN TIPITAKA TEMATIK, walaupun bersumber dari buku yg sama IN THE BUDDHA'S WORDS oleh BHIKKHU BODHI.

sebelum ada yg bertanya lebih baik saya jawab duluan.

proyek ini saya kerjakan bukan bertujuan untuk menyaingi produk yg sudah ada. melainkan karena buku ini adalah buku bagus yg layak dibaca oleh umat Buddhis sebagai pengantar untuk mempelajari Tipitaka. juga untuk menyampaikan pesan Bhikkhu Bodhi seperti yang tercantum dalam kata pengantarnya.

Quote
Buku ini ditujukan kepada dua jenis pembaca. Yang pertama adalah mereka yang masih belum terbiasa dengan khotbah-khotbah Sang Buddha yang membutuhkan suatu pendahuluan sistematis. Bagi pembaca-pembaca ini, Nikāya-nikāya tampak kabur. Seluruh keempatnya, dilihat sekaligus, mungkin terlihat seperti belantara – kusut dan membingungkan, penuh dengan binatang buas yang tidak dikenali – atau seperti samudera raya – luas, hingar-bingar, dan menakutkan. Saya harap buku ini dapat berfungsi sebagai peta untuk membantu mereka melintasi jalan menembus belantara sutta-sutta atau sebagai sebuah kapal yang kokoh untuk membawa mereka menyeberangi samudera Dhamma.

Jenis pembaca ke dua yang kepada mereka buku ini ditujukan adalah mereka, yang telah terbiasa dengan sutta-sutta, yang masih tidak dapat melihat bagaimana sutta-sutta itu cocok dalam suatu rangkaian menyeluruh yang dapat dipahami. Bagi pembaca-pembaca ini, sutta-sutta terpisah mungkin dapat dipahami secara terpisah, namun teks-teks tersebut secara keseluruhan tampak seperti potongan-potongan teka-teki menyusun gambar yang berserakan di atas meja. Begitu seseorang memahami skema buku ini, maka ia akan memiliki gagasan atas arsitektur ajaran. Kemudian, denagn sedikit perenungan, maka ia akan dapat menentukan tempat di mana sutta itu berlokasi dalam gudang Dhamma, apakah termasuk dalam antologi ini atau tidak.

Antologi ini, atau antologi sutta-sutta lainnya, bukanlah pengganti Nikāya-nikāya. Harapan saya ada dua, bersesuaian dengan kedua jenis pembaca yang kepada mereka buku ini disusun: (1)  bahwa para pendatang baru pada literatur Buddhis Awal menjadi lebih tertarik dan terdorong untuk terjun ke dalam Nikāya-nikāya lengkap; dan (2) bahwa para pembaca Nikāya-nikāya yang berpengalaman menyelesaikan buku ini dengan pemahaman yang lebih baik atas materi-materi yang telah mereka kuasai.

Buku ini banyak bersumber dari Nikaya-nikaya utama (Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, Anguttara Nikaya), yg mana 3 dari empat Nikaya itu sudah tersedia di Dhammacitta ini, jadi menerjemahkan buku ini adalah pekerjaan yg sangat mudah, 75% hasil copas. saya hanya memerlukan waktu +/- 1 bulan dengan rata2 2 s/d 3 jam sehari untuk menyelesaikan buku ini.

saat ini buku ini sedang dalam tahap editing oleh para editor DC, setelah selesai akan tersedia dalam ebook di perpustakaan DC, GRATIS.

semoga bermanfaat


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (PENGANTAR)
« Reply #1 on: 06 October 2011, 10:34:53 PM »
PENGANTAR
(Dalai Lama)


Lebih dari dua ribu lima ratus tahun telah berlalu sejak guru kita yang baik, Buddha Sākyamuni, mengajar di India. Beliau memberikan nasihat kepada semua yang mau mengindahkannya, mengundang mereka untuk mendengar, merenugkan, dan memeriksa dengan kritis apa yang telah Beliau katakan. Beliau mengajar para individu dan kelompok berbeda selama masa lebih dari empat puluh tahun.

Setelah Sang Buddha wafat, catatan atas apa yang Beliau katakan dilestarikan sebagai suatu tradisi lisan. Mereka yang mendengar ajaran-ajaranNya akan berkumpul secara periodik untuk mengulangi bersama apa yang telah mereka dengarkan dan mereka hafalkan. Dalam perjalannya, pengulangan dari ingatan ini dituliskan, menjadi dasar bagi semua literatur Buddhis turunannya. Kanon Pāli adalah salah satu yang paling awal dari catatan tertulis dan satu-satunya versi awal yang lengkap yang berhasil bertahan secara utuh. Dalam Kanon Pāli, teks-teks yang dikenali Nikāya-nikāya memiliki nilai khusus sebagai koleksi terpadu tunggal dari ajaran-ajaran Buddha dalam kata-kataNya sendiri. Ajaran-ajaran ini mencakup berbagai topik; topik-topik ini bukan hanya membahas pelepasan keduniawian dan kebebasan, tetapi juga membahas tentang hubungan selayaknya antara suami dan istri, pengaturan rumah tangga, dan cara-cara mengatur negara. topik-topik ini juga menjelaskan tentang jalan pengembangan spiritual – dari kedermawanan dan etis, melalui latihan pikiran dan penembusan kebijaksanaan, sepanjang jalan hingga pada pencapaian kebebasan.

Ajaran-ajaran dari Nikāya-nikāya yang dikumpulkan di sini memberikan pandangan yang mempesona ke dalam bagaimana ajaran-ajaran Buddha dipelajari, dilestarikan, dan dipahami pada masa-masa awalpengembangan Buddhisme. Para pembaca modern akan merasa sangat beruntung untuk menjelaskan dan menegaskan pesan penting Sang Buddha tentang belas kasihan, tangung jawab etis, ketenangan pikiran, dan penglihatan adalah sama relevannya pada masa sekarang seperti halnya pada lebih dari dua ribu lima ratus tahun lalu.

Walaupun Buddhisme menyebar dan berakar di banyak bagian di Asia, berevolusi menjadi berbagai tradisi menurut tempat dan situasinya, jarak dan perbedaan bahasa membatasi  pertukaran antar Buddhis di masa lalu. Salah satu akibat dari perkembangan modern dalam hal transportasi dan komunikasi yang sangat saya kagumi adalah begitu luasnya pertumbuhan keseempatan bagi mereka yang tertarik dalam ajaran dan praktik Buddhisme pada saat ini. Apa yang menurut saya sangat mendorong dalam buku ini adalah bahwa buku ini menunjukkan dengan begitu jelas betapa banyaknya kesamaan secara fundamental yang dimiliki oleh semua aliran Buddhisme. Saya mengucapkan selamat kepada Bhikkhu Bodhi atas karya kompilasi dan penerjemahan yang teliti ini. Saya mempersembahkan doa semoga para pembaca dapat menemukan nasihat di sini – dan inspirasi untuk menerapkannya ke dalam praktik – yang akan memungkinkan mereka mengembangkan kedamaian batin, yang saya percaya adalah penting untuk menciptakan dunia yang lebih berbahagia dan lebih damai.




Yang Mulia Tenzin Gyatso,  Dalai Lama ke empat belas
May 10, 2005





PENGANTAR
(Bhikkhu Bodhi)

Khotbah-khotbah Sang Buddha yang dilestarikan dalam Kanon pāli disebut sutta-sutta, padanan Pāli untuk kata Sanskrit sūtra-sūtra. Walaupun Kanon Pāli adalah milik aliran Buddhis tertentu – Theravāda, atau Aliran para Sesepuh – sutta-sutta itu bukanlah teks Buddhis Theravāda secara eksklusif. Sutta-sutta itu berakar dari periode paling awal dari sejarah literatur Buddhis, suatu periode yang berlangsung kurang lebih seratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha, sebelum komunitas Buddhis yang asli terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Sutta-sutta Pāli memiliki padanan dari aliran Buddhis awal lainnya yang sekarang sudah punah, teks-teks yang kadang-kadang serupa dengan versi Pāli, hanya berbeda terutama pada bagian situasi dan pengaturannya tetapi bukan pada inti doktrin. Dengan demikian, sutta-sutta, bersama dengan padanannya, merupakan catatan tertua dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang tersedia bagi kita; sutta-sutta itu adalah yang terdekat yang dapat kita lihat pada apa yang sesungguhnya secara historis diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya berfungsi sebagai sumber mata air, sumber primer, bagi semua aliran doktrin dan praktik Buddhis yang berevolusi selama berabad-abad. Untuk alasan ini, sutta-sutta merupakan warisan umum bagi keseluruhan tradisi Buddhis, dan umat Buddis dari semua aliran yang ingin memahami akar utama Buddhisme harus menjadikan pembelajaran saksama pada sutta-sutta ini sebagai prioritas.

Dalam Kanon Pāli khotbah-khotbah Sang Buddha dilestarikan dalam koleksi-koleksi yang disebut Nikāya-nikāya. Selama dua puluh tahun terakhir ini, terjemahan-terjemahan baru atas empat Nikāya utama telah dicetak, dan dipublikasikan dalam edisi-edisi yang menarik dan terjangkau. Wisdom Publications memulai pengembangan ini pada tahun 1987 ketika mempublikasikan terjemahan Dīgha Nikāya oleh Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha. Wisdom melanjutkan gerakan ini dengan menerbitkan, pada tahun 1995, versi revisi dan suntingan saya atas terjemahan tulisan tangan Majjhima Nikāya oleh Bhikkhu Ñāṇamoli, The Middle Length Discourses of the Buddha, dilanjutkan dengan terjemahan baru saya atas Saṃyutta Nikāya, The Connected Discourses of the Buddha. Pada tahun 1999, di bawah naungan The Sacred Literature Trust Series, AltaMira Press menerbitkan antologi sutta-sutta dari Aṅguttara Nikāya, yang diterjemahkan oleh almarhum Nyanaponika Thera dan saya, berjudul Numerical Discourses of the Buddha. Saat ini saya sedang mengerjakan terjemahan baru dari keseluruhan Aṅguttara Nikāya, yang akan diserahkan kepada Teachings of The Buddha Series dari Wisdom Publication.

Banyak yang telah membaca karya-karya yang lebih besai ini memberitahu saya, yang memuaskan saya, bahwa terjemahan itu menghidupkan sutta-sutta itu bagi mereka. Namun orang-orang lain yang sungguh-sungguh berusaha memasuki samudera dalam Nikāya-nikāya memberitahu saya sesuatu yang lain. Mereka mengatakan bahwa walaupun bahasa dalam terjemahan itu jauh lebih memudahkan mereka daripada terjemahan-terjemahan terdahulu, namun mereka masih bergulat untuk menemukan sudut pandang dari mana mereka melihat keseluruhan struktur dari sutta-sutta tersebut, suatu kerangka yang di dalamnya sutta-sutta itu cocok satu sama lain. Nikāya-nikāya itu sendiri tidak banyak membantu dalam hal ini, karena pengaturannya – dengan pengecualian khusus pada Saṃyutta Nikāya, yang memiliki struktur tematik – tampak nyaris serampangan.

Dalam serangkaian kuliah yang saya mulai di Bodhi Monastery di New Jersey pada bulan Januari 2003, saya memikirkan suatu skema saya sendiri untuk mengatur isi dari Majjhima Nikāya. Skema ini menyingkapkan pesan Sang Buddha secara progresif, dari yang sederhana hingga yang sulit, dari yang mendasar hingga yang mendalam. Dalam merenungkan hal ini, saya melihat bahwa skema ini dapat diterapkan bukan hanya pada Majjhima Nikāya, tetapi juga pada keempat Nikāya secara keseluruhan. Buku sekarang ini mengatur sutta-sutta pilihan dari seluruh empat Nikāya dalam kerangka tematik dan progresifnya.

Buku ini ditujukan kepada dua jenis pembaca. Yang pertama adalah mereka yang masih belum terbiasa dengan khotbah-khotbah Sang Buddha yang membutuhkan suatu pendahuluan sistematis. Bagi pembaca-pembaca ini, Nikāya-nikāya tampak kabur. Seluruh keempatnya, dilihat sekaligus, mungkin terlihat seperti belantara – kusut dan membingungkan, penuh dengan binatang buas yang tidak dikenali – atau seperti samudera raya – luas, hingar-bingar, dan menakutkan. Saya harap buku ini dapat berfungsi sebagai peta untuk membantu mereka melintasi jalan menembus belantara sutta-sutta atau sebagai sebuah kapal yang kokoh untuk membawa mereka menyeberangi samudera Dhamma.

Jenis pembaca ke dua yang kepada mereka buku ini ditujukan adalah mereka, yang telah terbiasa dengan sutta-sutta, yang masih tidak dapat melihat bagaimana sutta-sutta itu cocok dalam suatu rangkaian menyeluruh yang dapat dipahami. Bagi pembaca-pembaca ini, sutta-sutta terpisah mungkin dapat dipahami secara terpisah, namun teks-teks tersebut secara keseluruhan tampak seperti potongan-potongan teka-teki menyusun gambar yang berserakan di atas meja. Begitu seseorang memahami skema buku ini, maka ia akan memiliki gagasan atas arsitektur ajaran. Kemudian, denagn sedikit perenungan, maka ia akan dapat menentukan tempat di mana sutta itu berlokasi dalam gudang Dhamma, apakah termasuk dalam antologi ini atau tidak.

Antologi ini, atau antologi sutta-sutta lainnya, bukanlah pengganti Nikāya-nikāya. Harapan saya ada dua, bersesuaian dengan kedua jenis pembaca yang kepada mereka buku itu dirancang: (1)  bahwa para pendatang baru pada literatur Buddhis Awal menjadi lebih tertarik dan terdorong untuk terjun ke dalam Nikāya-nikāya lengkap; dan (2) bahwa para pembaca Nikāya-nikāya yang berpengalaman menyelesaikan buku ini dengan pemahaman yang lebih baik atas materi-materi yang telah mereka kuasai.

Jika antologi ini dimaksudkan untuk memberikan poin lain lagi, ini adalah untuk menyampaikan luasnya kebijaksanaan Sang Buddha. Walaupun kadang-kadang Buddhisme Awal digambarkan sebagai suatu disiplin melepaskan keduniawian yang ditujukan khususnya kepada para petapa, namun khotbah-khotbah tua dari Kanon Pāli menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan belas kasihan Sang Buddha mengjangkau hingga ke kedalaman kehidupan duniawi, memberikan tuntunan berperilaku yang baik dan pemahaman benar kepada orang-orang biasa. Bukannya menjadi suatu sumpah bagi elit monastik, Buddhisme kuno juga terlibat dalam kolaborasi erat para perumah tangga dengan kaum monastik dalam tugas ganda memelihara ajaran-ajaran Buddha dan saling membantu satu sama lain dalam usaha mereka untuk menapaki jalan menuju padamnya penderitaan. Untuk memenuhi tugas-tugas ini dengan penuh makna, Dhamma harus memberikan tuntunan, inspirasi, kegembiraan, dan penghiburan yang mendalam dan tidak habis-habisnya kepada mereka. Dhamma tidak akan pernah memenuhi hal ini jika tidak secara langsung memicu usaha sungguh-sungguh mereka untuk menggabungkan kewajiban sosial dan keluarga dengan cita-cita untuk mencapai yang tertinggi.

Hampir seluruh paragraf yang termasuk dalam buku ini dipilih dari empat Nikāya yang disebutkan di atas. Hampir seluruhnya telah mengalami revisi, biasanya kecil tapi kadang-kadang besar, untuk menyesuaikan dengan evolusi pemahaman saya atas teks-teks dan bahasa Pāli. Saya memiliki sejumlah kecil sutta dari Aṅguttara Nikāya yang tidak termasuk adlam antologi yang disebutkan di atas. Saya juga telah memasukkan beberapa sutta dari Udāna dan Itibuttaka, dua buku kecil dari Nikāya ke lima, Khuddaka Nikāya, koleksi kecil atau bungarampai. Saya mendasarkan ini atas terjemahan John D. Ireland, yang diterbitkan oleh Buddhist Publication Society di Sri Lanka, tetapi sekali lagi saya telah dengan bebas menyesuaikannya dengan gaya bahasa dan terminologi yang saya sukai. Saya memrioritaskan sutta-sutta dalam bentuk prosa daripada syair, karena lebih langsung dan eksplisit. Jika sebuah sutta ditutup dengan syair-syair, jika syair-syair itu hanya mengulangi prosa sebelumnya, maka untuk menghemat tempat, saya mengabaikannya.

Tiap-tiap baba dimulai dengan pendahuluan yang mana saya menjelaskan konsep yang menonjol yang relevan dengan tema bab tersebut dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana teks-teks yang saya pilih memberikan contoh pada tema itu. Untuk menjelaskan hal-hal yang muncul baik dari pendahuluan maupun dari teks-teks, saya telah mencantumkan catatan kaki. Catatan-catatan ini sering kali diambil dari komentar klasik pada Nikāya-nikāya yang diduga berasal dari komentator besar India Selatan bernama Ācariya Buddhaghosa, yang bekerja di Sri Lanka pada abad ke lima Masehi. Demi keringkasan, saya tidak mencantumkan catatan sebanyak yang saya berikan pada terjemahan Nikāya lainnya. Catatan-catatan itu juga tidak se-teknis yang terdapat pada terjemahan lengkap.

Rujukan-rujukan pada sumber tercantum pada tiap-tiap pilihan. Rujukan-rujukan pada teks-teks dari Dīgha Nikāya dan Majjhima Nikāya mencantumkan nomor dan nama sutta (dalam Pāli); paragraf-paragraf dari dua koleksi ini mempertahankan nomor paragraf yang digunakan dalam The Long Discourses of the Buddha dan The Middle Length Discourses of the Buddha, agar pembaca yang ingin menemukan paragraf-paragraf ini dalam terjemahan lengkapnya dapat dengan mudah melakukannya. Rujukan-rujukan teks dari Saṃyutta Nikāya mencantumkan saṃyutta dan nomor sutta; teks-teks dari Aṅguttara Nikāya mencantumkan nipāta dan nomor sutta (Yang Satu dan Yang Dua juga mencantumkan bab-bab di dalam nipāta diikuti dengan nomor sutta). Rujukan-rujukan pada teks-teks dari Udāna mencantumkan nipāta dan nomor sutta; teks-teks dari Itivuttaka hanya mencantumkan nomor sutta. Semua rujukan diikuti dengan nomor buku dan nomor halaman dalam edisi standar Pali Text Society atas buku-buku ini.

Saya berterima kasih kepada Timothy McNeill dan David Kittelstrom dari Wisdom Publications karena mendorong saya untuk tetap melanjutkan proyek ini dalam periode panjang kesehatan yang buruk. Sāmaṇera Anālayo dan Bhikkhu Nyanasobhano yang membaca dan mengomentari pendahuluan saya, dan John Kelly yang memeriksa keseluruhan buku. Mereka bertiga memberikan saran-saran, yang sangat membantu. John Kelly juga mempersiapkan tabel sumber yang terdapat pada bagian akhir buku ini. Akhirnya, saya berterima kasih kepada para murid-murid saya dalam pembelajaran Pāli dan Dhamma di Bodhi Monastery atas semangat dan ketertarikan mereka dalam ajaran-ajaran dari Nikāya-nikāya, yang menginspirasi saya untuk menyusun antologi ini. Saya secara khusus berterima kasih pada pendiri vihara yang luar biasa, Yang Mulia Master Jen-Chun, atas sambutannya pada aliran Buddhis lain ke viharanya dan atas ketertarikannya dalam menjembatani transmisi ajaran-ajaran Buddhis Awal Utara dan Selatan.


Bhikkhu Bodhi




« Last Edit: 06 October 2011, 10:37:18 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (Pendahuluan)
« Reply #2 on: 06 October 2011, 10:52:28 PM »
PENDAHULUAN UMUM

MENYINGKAP STRUKTUR AJARAN

Walaupun ajaran Beliau adalah sangat sistematis, namun tidak ada satu teks pun yang dapat dianggap berasal dari Sang Buddha yang dengannya Beliau mendefinisikan arsitektur Dhamma, perancah yang di atasnya Beliau membingkai ungkapan spesifik dari doktrin. Dalam perjalanan panjang pengajaranNya, Sang Buddha mengajarkan dalam berbagai cara sesuai situasi dan kondisi. Kadang-kaadng Beliau menjelaskan prinsip-prinsip tanpa kecuali yang berdiri di jantung ajaran. Kadang-kadang Belau akan menyesuaikan ajaran dengan watak dan kecenderungan orang-orang yang mendatanginya untuk mendapatkan bimbingan. Kadang-kaadng Beliau akan mengatur pembabaranNya agar sesuai dengan situasi yang menuntut suatu jawaban tertentu. Tetapi di sepanjang koleksi teks ini sampai kepada kita sebagai “Kata-kata Sang Buddha” yang otentik, kita tidak menemukan satu sutta, satu khotbah, di mana Sang buddha mengumpulkan semua unsur-unsur ajarannya dan menempatkannya pada tempat tertentu dalam suatu sistem yang komprehensif.

Walaupun dalam suatu budaya literatur di mana pemikiran sistematis sangat dijunjung tinggi, maka ketiadaan teks yang berfungsi sebagai kesatuan demikian dapat dipandang sebagai suatu cacat, dalam suatu budaya lisan sepenuhnya – seperti budaya di mana Sang Buddha hidup dan berkelana – ketiadaan kunci yang menjelaskan Dhamma nyaris tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting. Dalam budaya ini baik guru maupun murid tidak bertujuan untuk memiliki sistem ide-ide yang lengkap; murid-muridnya tidak berkeinginan untuk mempelajari sistem ide-ide yang lengkap. Tujuan yang menyatukannya dalam proses pembelajaran – proses transmisi – adalah latihan praktis, transformasi-diri, dan penembusan kebenaran, dan kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ajaran selalu berguna dalam segala situasi. Ada kalanya Sang Buddha menyajikan pandangan-pandangan yang lebih luas dari Dhamma yang menyatukan banyak komponen sang jalan dalam struktur mencakup bidang yang luas dan bertingkat. Tetapi walaupun terdapat beberapa khotbah yang memperlihatkan cakupan yang luas, namun masih belum merangkul semua unsur Dhamma dalam satu skema terpusat.

Tujuan dari buku ini adalah untuk mengembangkan dan memberikan contoh pada skema demikian. Di sini saya mencoba untuk memberikan suatu gambaran komprehensif dari ajaran Sang Buddha yang menggabungkan berbagai sutta ke dalam suatu struktur organik. Struktur ini, saya harap, akan menjelaskan pola yang mendasari formulasi Sang Buddha pada Dhamma dan dengan demikian memberikan kepada pembaca suatu tuntunan untuk memahami Buddhisme Awal secara keseluruhan. Saya memilih sutta-sutta yang hampir seluruhnya berasal dari empat koleksi utama atau Nikāya dari Kanon Pāli, walaupun saya juga memasukkan sedikit teks dari Udāna dan Itivuttaka, dua buku kecil dari koleksi ke lima, Khuddaka Nikāya. Masing-masing bab dimulai dengan pendahuluannya masing-masing, yang mana saya menjelaskan konsep dasar Buddhisme Awal yang dijelaskan dalam teks-teks dan menunjukkan bagaimana teks-teks ini mengungkapkan ekspresinya pada ide-ide ini.

Saya akan secara singkat memberikan informasi latar belakang tentang Nikāya-nikāya dalam pendahuluan masing-masing bab. Akan tetapi, pertama-tama, saya ingin menggambarkan skema yang telah saya rencanakan untuk mengorganisasi sutta-sutta. Walaupun penggunaan khusus skema ini mungkin masih asli, namun bukan suatu inovasi penting melainkan berdasarkan pada tiga pembedaan yang dilakukan oleh komentar-komentar Pāli pada jenis-jenis manfaat yang dicapai melalui praktik Dhamma: (1) kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan ini; (2) kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang; dan (3) kebaikan tertinggi, Nibbāna (Skt: nirvāṇa).

Tiga bab pertama dirancang untuk menuntun mereka yang menganut skema tiga ini. Bab I adalah suatu pengamatan pada kondisi manusia terlepas dari munculnya seorang Buddha di dunia ini. Mugnkin hal ini adalah jalan kehidupan manusia yang terlihat oleh Bodhisatta – Calon Buddha – ketika Beliau berdiam di alam surga Tusita memandang ke bumi, menunggu saat yang tepat untuk turun dan menjalani kelahiran terakhirNya. Kita melihat sebuah dunia di mana makhluk-makhluk hidup tanpa daya didorong menuju penuaan dan kematian; yang mana mereka diputar oleh situasi sehingga ditindas oleh kesakitan jasmani, dijatuhkan oleh kegagalan dan kemalangan, dicemaskan dan ditakuti oleh perubahan dan kemunduran. Ini adalah dunia di mana orang-orang ingin hidup damai, tetapi juga di mana emosi liar mereka berulang kali memaksa mereka, melawan penilaian baik mereka, beradu dalam konflik yang meningat menjadi kekerasan dan kehancuran massal. Akhirnya, dengan mengambil pandangan yang terluas dari semua ini, dunia ini adalah di mana makhluk-makhluk hidup bergerak maju, oleh kebodohan dan nafsu mereka sendiri, dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, mengembara secara membuta melalui lingkaran kembali yang disebut saṃsāra.

Bab II mengisahkan tentang turunnya Sang Buddha ke dunia ini. Beliau datang sebagai “seseorang” yang muncul demi belas kasihan kepada dunia, yang kemunculanNya ke dunia ini adalah “manifestasi dari cahaya agung.” Kita mengikuti kisah konsepsi dan kelahirannya, pelepasan keduniawian dan pencariannya akan pencerahan, penembusannya pada Dhamma, dan keputusanNya untuk mengajar. Bab ini ditutup dengan khotbah pertama Beliau kepada lima bhikkhu, para siswa pertamaNya, di Taman Rusa di dekat Bārāṇasi.

Bab III dimaksudkan untuk memberikan sketsa pada ciri khusus ajaran Buddha dan dengan menyimpulkan, sikap yang dengannya seorang siswa yang prospektif seharusnya mendatangi ajaran. Teks-teks itu memberitahukan kepada kita bahwa Dhamma bukanlah suatu rahasia atau ajaran esoteris melainlan sesuatu yang “bersinar ketika diajarkan secara terbuka.” Ajaran ini tidak menuntut keyakinan membuta dalam kitab-kitab otoriter, dalam rahasia-rahasia surgawi,atau dogma-dogma tidak sempurna, tetapi mengundang penyelidikan dan menarik untuk dialami secara pribadi sebagai kriteria tertinggi untuk menentukan validitasnya. Ajaran ini berkenaan dengan muncul danlenyapnya penderitaan, yang dapat diamati dalam pengalaman pribadi seseorang. Ajaran ini bahkan tidak menempatkan Sang Buddha sebagai otoritas yang tanpa cela tetapi mengundang kita untuk memeriksa Beliau untuk menentukan apakah Beliau sepenuhnya layak untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan kita. Akhirnya, ajaran ini menawarkan prosedur langkah demi langkah yang mana kita dapat menguji ajaran ini, dan denagn melakukannya kita dapat menembus kebenaran mutlak itu untuk kita sendiri.

Dengan bab IV, kita sampai pada teks-teks yang membahas tentang yang pertama dari tiga jenis manfaat yang dibawa oleh ajaran Buddha. Ini disebut “kesejahteraan dan kebahagiaan yang terlihat dalan kehidupan ini” (diṭṭhadhamma-hitasukha), kebahagiaan yang dihasilkan dari mengikuti norma-norma etis dalam hubungan kekeluargaan, penghidupan, dan aktivitas-aktivitas komunal. Walaupun Buddhisme Awal sering kali digambarkan sebagai suatu disiplin meninggalkan keduniawian yang radikal yang diarahkan pada tujuan transendental, namun Nikāya-nikāya mengungkapkan Sang Buddha sebagai seorang guru yang penuh belas kasihan dan pragmatis yang berniat untuk memajukan tatanan sosial di mana masyarakat dapat hidup bersama denagn damai dan harmonis sesuai dengan pedoman etis. Aspek dari Buddhisme Awal ini jelas dalam ajaran Buddha tentang tugas-tugas anak kepada orang tuanya, tentang kewajiban timbal balik antara suami dan istri, tentang penghidupan benar, tentang tugas-tugas penguasa terhadap subjeknya, dan tentang prinsip-prinsip keharmonisan dan penghormatan komunal.

Jenis manfaat kedua ke arah mana ajaran Buddha menuntun adalah topik dari Bab V, yang disebut kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang (samparāyika-hitasukha). Ini adalah kebahagiaan yang dicapai dengan memperoleh kelahiran kembali dan keberhasilan yang menguntungkan dalam kehidupan-kehidupan mendatang melalui akumulasi jasa seseorang. Kata “jasa” (puñña) merujuk pada kamma (Skt: karma) bermanfaat yang diartikan dalam hal kapasitasnya dalam menghasilkan akibat-akibat yang menyenangkan di dalam lingkaran kelahiran kembali. Saya memulai bab ini dengan pilihan sutta-sutta tentang ajaran kamma dan kelahiran kembali. Hal ini mengarahkan kita pada teks-teks umum tentang gagasan jasa, diikuti oleh sutta-sutta pilihan tentang tiga “landasan jasa” utama yangdikenali dalam khotbah-khotbah Sang Buddha: memberi (dāna), disiplin moral (sīla), dan meditasi (bhāvanā). Karena meditasi muncul secara menonjol dalam jenis manfaat ke tiga, maka jenis meditasi yang ditekankan di sini, sebagai suatu landasan jasa, adalah yang produktif menghasilkan buah berlimpah, yaitu empat “kediaman brahma” (brahmavihāra), khususnya pengembangan cinta kasih.

Bab VI adalah bab transisi, dimaksudkan untuk mempersiapkan jalan bagi bab-bab selanjutnya. Sambil mendemonstrasikan bahwa praktik ajaran Beliau sesungguhnya mengarah menuju kebahagiaan dan keberuntungan di dalam cakupan kehidupan duniawi, untuk membimbing orang-orang melampaui cakupan ini, Sang Buddha mengungkapkan bahaya dan kelemahan dari segala kehidupan terkondisi. Beliau menunjukkan cacat dalam kenikmatan indria, kekurangan dalam keberhasilan materil, kematian yang tidak dapat dihindari, dan ketidak-kekalan dari segala alam makhluk-makhluk terkondisi. Untuk membangkitkan dalam diri para siswaNya suatu aspirasi pada kebaikan tertinggi, Nibbāna, Sang Buddha berulang-ulang menekankan bahaya saṃsāra. Demikianlah bab ini sampai pada puncaknya dengan dua teks dramatis yang berkisar tentang kesengsaraan karena diperbudak oleh lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.

Empat bab berikutnya dikhususkan untuk manfaat ke tiga yang dibawa oleh Ajaran Buddha: kebaikan tertinggi (paramattha), pencapaian Nibbāna. Yang pertama, Bab VII, memberikan tinjauan umum pada jalan menuju kebebasan, yang diperlakukan secara analitis melalui definisi faktor-faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan dan secara dinamis melalui kisah perjalanan latihan bhikkhu. Sepanjang sutta tentang jalan bertahap menelusuri latihan monastik dari sejak bhikkhu ditahbiskan ketika ia meninggalkan keduniawian hingga pencapaiannya pada Kearahattaan, tujuan akhir.

Bab XIII berfokus pada menjinakkan pikiran, penekanan utama pada latihan monastik. Di sini saya menyajikan teks-teks yang membahas rintangan-rintangan pengembangan batin, alat untuk mengatasi rintangan-rintangan ini, metode-metode meditasi yang berbeda-beda, dan kondisi-kondisi yang harus dicapai ketika rintangan-rintangan ini telah teratasi dan sang siswa telah menguasai pikirannya. Dalam bab ini saya memperkenalkan perbedaan antara samatha dan vipassana, ketenangan dan pandangan terang, yang satu mengarah pada samādhi atau konsentrasi, yang lain mengarah pada paññā atau kebijaksanaan. Akan tetapi, saya memasukkan teks-teks yang memperlakukan pandangan terang hanya dalam hal metode-metode yang digunakan untuk menghasilkannya, bukan dalam hal kandungan sesungguhnya.

Bab IX, berjudul “Menyalakan Cahaya Kebijaksanaan,” membahas kandungan yang terdapat dalam pandangan terang. Bagi Buddhisme Awal, dan sebenarnya bagi hampir semua aliran Buddhisme, pandangan terang atau kebijaksanaan adalah alat utama bagi kebebasan. Demikianlah dalam bab ini saya berfokus pada ajaran Sang Buddha tentang topik ini yang sangat penting bagi pengembangan kebijaksanaan sebagai pandangan benar, kelima kelompok unsur kehidupan, keenam landasan indria, kedelapan belas unsur, sebab-akibat yang saling bergantungan, dan Empat Kebenaran Mulia. Bab ini ditutup dengan teks-teks pilihan tentang Nibbāna, tujuan utama kebijaksanaan.

Tujuan akhir tidak dicapai secara tiba-tiba tetapi dengan melewati serangkaian tahapan yang mentransformasikan seseorang dari seorang kaum duniawi menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan. Demikianlah bab X, “Tingkatan Pencapaian,” menawarkan teks-teks pilihan tentang tahapan-tahapan sepanjang perjalanan. Pertama-tama saya menyajikan serangkaian tahapan sebagai urutan progresif; kemudian saya kembali ke titik awal dan memeriksa tiga titik aman utama dalam rangkaian ini: memasuki-arus, tingkat yang-tidak-kembali, dan Kearahattaan. Saya menutupnya dengan pilihan sutta-sutta tentang Sang Buddha, yang terkemuka di antara para Arahant, di sini disebutkan dengan gelar yang sering Beliau gunakan ketika merujuk pada diriNya sendiri, Sang Tathāgata.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (Pendahuluan)
« Reply #3 on: 06 October 2011, 10:53:38 PM »
ASAL-MULA NIKĀYA-NIKĀYA

Teks-teks yang saya ambil untuk mengisi skema saya adalah, seperti yang telah saya katakan di atas, semuanya diambil dari Nikāya-nikāya, koleksi sutta-sutta utama dari Kanon Pāli. Sedikit kata-kata diperlukan untuk menjelaskan asal-mula dan sifat dari sumber-sumber ini.

Sang Buddha tidak menuliskan ajaran-ajaran ini, juga ajaran-ajaran ini tidak dicatat dalam bentuk tulisan oleh para siswaNya. Budaya India pada masa Sang Buddha hidup adalah masih sebagian besar belum mengenal tulisan.  [1] Sang Buddha mengembara dari satu pemukiman ke pemukiman lain di sepanjang dataran Gangga, memberikan instruksi kepada para bhikkhu dan bhikkhunī, membabarkan khotbah kepada para perumah tangga yang berkumpul untuk mendengarkan Beliau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang ingin tahu, dan terlibat dalam diskusi dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Catatan ajaran-ajaranNya yang kita miliki sekarang tidak datang dari penaNya sendiri atau dari catatan yang dibuat oleh mereka yang mendengarkan ajaran dari Beliau, melainkan dari konsili monastik yang diadakan setelah Beliau parinibbāna – wafatNya ke dalam Nibbāna – dengan tujuan untuk melestarikan ajaranNya.

Sangat tidak mungkin bahwa ajaran-ajaran yang diturunkan dari konsili-konsili ini mereproduksi kata-kata Sang Buddha secara persis sama. Sang Buddha pasti berbicara secara spontan dan menjelaskan temanya dalam berbagai cara sebagai respon pada berbagai kebutuhan dari mereka yang memohon tuntunan dari Beliau. Melestarikan melalui penyampaian lisan dari begitu banyak material adalah nyaris mustahil. Untuk membentuk ajaran-ajaran itu dalam suatu format yang sesuai untuk pelestarian, para bhikkhu yang bertanggung jawab dalam hal teks-teks harus menyusun dan menyuntingnya untuk memudahkan dalam mendengarkan, mengingat, menghafal, dan mengulang – lima unsur utama dalam penyampaian lisan. Proses ini, yang mungkin telah dimulai pada masa kehidupan Sang Buddha, mungkin telah mengarah pada suatu tingkat penyederhanaan dan standarisasi material untuk dilestarikan.

Selama masa kehidupan Sang Buddha, khotbah-khotbah dikelompokkan dalam sembilan kategori menurut jenis literatur: sutta (khotbah-khotbah berbentuk prosa), geyya (campuran prosa dan syair), veyyākaraṇa (jawaban atas pertanyaan), gāthā (syair), udāna (ucapan-ucapan inspiratif), itivuttaka (ucapan-ucapan mengesankan), jātaka (kisah-kisah kehidupan lampau), abbhutadhamma (kualitas-kualitas menakjubkan), dan vedalla (tanya-jawab).  [2] Pada suatu titik tertentu setelah wafatNya, sistem pengelompokan lama ini tergantikan oleh suatu skema baru yang menata teks-teks dalam koleksi-koleksi yang lebih besar yang disebut Nikāya-nikāya dalam tradisi Buddhis Theravāda, Āgama dalam aliran Buddhis di India Utara.  [3] Kapan tepatnya skema Nikāya-Āgama ini menjadi suatu otoritas tidak diketahui dengan pasti, namun kemunculannya seketika menggantikan sistem lama.

Cullavagga, salah satu buku dari Vinaya Piṭaka Pāli, memberikan penjelasan tentang bagaimana teks-teks yang sah disusun pada konsili Buddhis pertama, yang diselenggarakan pada tiga bulan setelah parinibbāna Sang Buddha. Menurut laporan ini, tidak lama setelah wafatnya Sang Buddha Bhikkhu Mahākassapa, pemimpin Saṅgha secara de fakto, memilih lima ratus bhikkhu, seluruhnya Arahant atau yang telah terbebaskan, untuk berkumpul dan menyusun suatu versi ajaran-ajaran yang sah. Konsili ini memakan waktu selama masa vassa di Rājagaha (sekarang Rajgir), ibukota Magadha, kelak menjadi negeri yang besar di India Tengah.  [4] Pertama-tama Mahākassapa meminta Yang Mulia Upāli, yang terkemuka dalam hal-hal disiplin, untuk mengulangi Vinaya. Dengan berdasarkan pengulangan ini, Vinaya Piṭaka, kompilasi tentang Disiplin, disusun. Kemudian Mahākassapa meminta Yang Mulia Ānanda untuk mengulang “Dhamma,” yaitu, khotbah-khotbah, dan dengan berdasarkan pada pengulangan ini, Sutta Piṭaka, kompilasi khotbah-khotbah, disusun.

Cullavagga menyebutkan bahwa ketika Ānanda mengulang Sutta Piṭaka, Nikāya-nikāya memiliki isi yang sama seperti yang terdapat sekarang ini, dengan sutta-sutta disusun dalam urutan yang sama seperti terdapat dalam Kanon Pāli sekarang. Narasi ini tidak diragukan mencatat sejarah masa lalu melalui lensa masa belakangan. Āgama dari aliran Buddhis selain Theravāda bersesuaian dengan empat Nikāya utama, tetapi Āgama mengelompokkan sutta-sutta secara berbeda isinya disusun dalam urutan berbeda dengan Nikāya-nikāya Pāli. Hal ini menyiratkab bahwa jika penataan Nikāya-Āgama terjadi pada konsili pertama, maka konsili belum menyusun sutta-sutta pada tempatnya dalam skema ini. Dengan kata lain, adalah mungkin bahwa skema ini muncul pada masa belakangan. Mungkin muncul pada suatu masa tertentu setelah konsili pertama tetapi sebelum Saṅgha terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Jika skema ini muncul pada masa pembagian sekte-sekte, maka hal ini mungkin diperkenalkan oleh salah satu aliran dan kemudian digunakan oleh aliran lainnya, sehingga aliran-aliran berbeda akan menempatkan teks-teks mereka pada tempat-tempat berbeda dalam skema ini.

Walaupun kisah Cullavagga tentang konsili pertama mungkin termasuk materi legendaris yang tercampur dengan fakta historis, namun tampaknya tidak ada alasan untuk meragukan peran Ānanda dalam pelestarian khotbah-khotbah. Sebagai pelayan pribadi Sang Buddha, Ānanda telah mempelajari khotbah-khotbah dari Beliau dan dari para siswa besar lainnya, mengingatnya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Pada masa Sang Buddha ia dipuji atas daya ingatnya dan ditunjuk sebagai :”yang terunggul di antara mereka yang telah banyak belajar” (etadaggaṃ bahussutānaṃ).  [5] Sedikit bhikkhu yang mungkin memiliki ingatan yang menyamai ingatan Ānanda, tetapi pada kehidupan Sang Buddha masing-masing bhikkhu pasti telah mulai menguasai teks tertentu. Standarisasi dan penyederhanaan materi mungkin telah mempermudah penghafalan mereka. Begitu teks-teks dikelompokkan menjadi Nikāya-nikāya atau Āgama, tantangan pelestarian dan penyampaian warisan tekstual terpecahkan dengan pengaturan para ahli tekstual dalam kelompok-kelompok yang khusus mempelajari koleksi tertentu. Dengan demikian kelompok-kelompok berbeda dalam Saṅgha dapat berfokus pada penghafalan dan penginterpretasian koleksi-koleksi berbeda dan komunitas secara keseluruhan dapat menghindari penugasan berlebihan pada ingatan para bhikkhu secara individu. Adalah dengan cara ini ajaran-ajaran dapat terus diturunkan selama tiga atau empat ratus tahun berikutnya, hingga akhirnya dituliskan.  [6]

Dalam abad-abad setelah wafatnya Sang Buddha, Saṅgha menjadi terpecah dalam hal-hal disiplin maupun doktrin hingga pada abad ke tiga setelah parinibbāna terdapat setidaknya delapan belas aliran Buddhisme. Masing-masing sekte mungkin memiliki koleksi teks masing-masing yang dianggap sebagai kanonis, walaupun adalah mungkin bahwa beberapa sekte yang berhubungan dekat berbagi koleksi teks sah yang sama. Walaupun aliran-aliran Buddhis berbeda mungkin menyusun koleksi mereka dengan cara berbeda dan walaupun sutta-sutta mereka memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam detill-detilnya, namun masing-masing sutta sering kali serupa, kadang-kadang bahkan nyaris identik, dan doktrin-doktrin dan praktik yang digambarkan para intinya adalah sama.  [7] Perbedaan doktrin antar aliran tidak muncul dari sutta-sutta itu sendiri melainkan dari interpretasi dari para ahli tekstual yang mempengaruhinya. Perbedaan demikian yang diperkuat setelah aliran-aliran saingan memformulasikan prinsip-prinsip filosofis mereka dalam naskah-naskah dan komentar-komentar yang menunjukkan sudut pandang yang membedakan pada hal-hal doktrin. Sejauh yang dapat kita tentukan, sistem filosofis yang telah diperhalus hanya sedikit mempengaruhi teks aslinya, yang aliran-aliran itu sepertinya enggan untuk mengubahnya untuk menyesuaikan dengan agenda doktrin mereka. Sebaliknya, melalui komentar-komentar, mereka berusha untuk menginterpretasikan sutta-sutta sedemikian untuk menarik keluar ide-ide yang mendukung pandangan mereka. Tidaklah lazim bagi interpretasi-interpretasi demikian untuk tampil defensif dan terencana, membela diri melawan kata-kata dari teks aslinya.
« Last Edit: 06 October 2011, 10:58:33 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (Pendahuluan)
« Reply #4 on: 06 October 2011, 10:55:05 PM »
KANON PĀLI

Yang menyedihkan, koleksi kanonis milik sebagian besar aliran besar Buddhisme Awal India telah hilang ketika Buddhisme India dihancurkan oleh Muslim yang menyerbu India Utara pada abad ke sebelas dan dua belas. Penyerbuan ini secara efektif mendentangkan lonceng kematian bagi Buddhisme di tanah kelahirannya. Hanya satu koleksi teks milik salah satu aliran Buddhis India yang berhasil diselamatkan. Koleksi ini dilestarikan dalam bahasa yang kita kenal sebagai Pāli. Koleksi ini milik aliran Theravāda kuno, yang telah dicangkokkan ke Sri Lanka pada abad ke tiga sebelum Masehi, dan dengan demikian berhasil selamat dari malapekataka yang dialami Buddhisme di tanah kelahirannya. Pada waktu yang kurang lebih sama, Theravāda juga menyebar ke Asia Tenggara dan selama abad-abad berikutnya menjadi berkembang di seluruh wilayah itu.

Kanon Pāli adalah koleksi teks yang dianggap oleh Theravāda sebagai kata-kata Sang Buddha (buddhavacana). Fakta bahwa teks-teks dalam koleksi ini selamat sbagai sebuah kanon tunggal bukan berarti bahwa teks-teks ini berasal dari periode yang sama; juga bukan berarti bahwa teks-teks ini membentuk titik pangkal kuno yang pasti lebih tua daripada padanannya dari aliran Buddhis lainnya, yang banyak berhasil diselamatkan dalam bahasa China atau Tibet sebagai bagian dari keseluruhan kanon atau, dalam beberapa kasus, sebagai teks terpisah dalam Bahasa India lainnya. Meskipun demikian, Kanon Pāli sangat penting bagi kita setidaknya untuk tiga alasan.

Pertama, ini adalah sebuah koleksi lengkap yang seluruhnya berasal dari satu aliran tunggal. Walaupun kita dapat mendeteksi gambaran nyata dari pengembangan historis antara bagian-bagian berbeda dari kanon, pensejajaran ini dengan sebuah aliran tunggal memberikan suatu tingkat keseragaman tertentu pada teks-teks ini. Di antara teks-teks yang berakar dari periode yang sama, kita bahkan dapat menyebutkan kesamaan isinya, suatu rasa tunggal yang mendasari banyak ungkapan dalam doktrin. Kesamaan ini jelas terlihat adlam empat Nikāya dan bagian-bagian lebih tua dari Nikāya ke lima dan memberikan kepada kita alasan untuk mempercayai bahwa teks-teks ini – mengizinkan kualifikasi yang dinyatakan di atas, bahwa teks-teks tersbut memiliki paadnan dalam aliran-aliran Buddhis lainnya yang telah punah – kita dapat mencapai lapisan tertua adri literatur Buddhis yang dapat ditemukan.

Ke dua, keseluruhan koleksi telah dilestarikan dalam Bahasa Indo Arya Tengah, salah satu yang sangat dekat hubungannya (atau, mungkin juga, berbagai dialek religius) bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha. Kita menyebut bahasa ini sebagai Pāli, tetapi nama untuk bahasa ini sesungguhnya muncul dari kesalah-pahaman. Kata pāli sesungguhnya berarti “teks,” yaitu, teks kanonis yang dibedakan dengan komentar-komentar. Komentator-komentator merujuk pada bahasa yang digunakan untuk melestarikan teks itu sebagai pālibhāsā, “bahasa dari teks-teks.” Pada suatu titik tertantu, kata itu disalahpahami sebagai “Bahasa Pāli,” dan begitu kesalah-pahaman muncul, hal itu menjadi berakar dan kita gunakan sejak itu. Para cendikiawan menganggap bahasa ini sebagai suatu bahasa campuran yang menunjukkan ciri-ciri dari beberapa dialek Prakrit yang digunakan sekitar abad ke tiga sebelum Masehi, yang mengalami sebagian proses Sanskritisasi.  [8] Walaupun bahsa ini tidak identik dengan bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri, namun bahasa ini adalah bagian dari keluarga besar bahasa yang sama seperti yang Beliau gunakan dan berasal dari matrik konseptual yang sama. Dengan demikian bahasa ini mencerminkan dunia-pemikiran yang diwarisi Sang Buddha dari budaya India yang lebih luas di mana Beliau dilahirkan, sehingga kata-katanya menangkap nuansa halus yang tidak terhindarkan bahkan dalam terjemahan yang paling teliti sekali pun.

Alasan ke tiga pentingnya Kanon Pāli adalah bahwa koleksi ini merupakan otoritas bagi aliran Buddhis masa kini. Tidak seperti koleksi-koleksi tekstual dafri aliran-aliran Buddhisme Awal yang telah punah, yang hanya menarik bagi kalangan akademis, koleksi-koleksi ini masih sarat dengan kehidupan. Koleksi ini menginspirasi keyakinan jutaan Buddhis dari desa-desa dan vihara-vihara di Sri Lanka, Myanmar, dan Asia Tenggara hingga kota-kota dan pusat-pusat meditasi di Eropa dan Amerika. Koleksi ini membentuk pemahaman mereka, membimbing mereka dalam menghadapi pilihan-pilihan etis yang sulit, menuntun praktik meditasi mereka, dan menawarkan kepada mereka kunci menuju pndangan cerah yang membebaskan.

Kanon Pāli umumnya dikenal sebagai Tipiṭaka, “Tiga Keranjang” atau “Tiga Kompilasi.” Tiga pengelompokan ini tidak hanya berlaku pada aliran Theravāda tetapi juga menjadi penggunaan umum di natara aliran-aliran Buddhis India sebagai cara untuk mengelompokkan teks-teks kanonis Buddhis. Bahkan pada masa kini kitab-kitab yang dilestarikan dalam terjemahan Bahasa China dikenal sebagai Tripiṭaka China. Ketiga kompilasi Kanon Pāli ini adalah:

1. Vinyata Piṭaka, Kompilasi Disiplin, yang berisikan aturan-aturan yang ditetapkan sebagai tuntunan bagi para bhikkhu dan bhikkhunī dan peraturab-peraturan yang ditetapkan demi kerukunan kelompok monastik.

2. Sutta Piṭaka, Kompilasi Khotbah-khotbah, yang berisikan sutta-sutta, khotbah-khotbah Sang Buddha dan para siswa serta karya-karya inspirasional dalam syair, syair narasi, dan karya-karya tertentu yang bersifat komentar.

3. Abhidhamma Piṭaka, Kompilasi Filosofis, sebuah koleksi yang terdiri dari tujuh naskah yang mentemai ajaran-ajaran Buddha dalam sistematisasi philosofis terperinci.

Abhidhamma Piṭaka jelas adalah produk dari tahap evolusi pemikiran Buddhis yang lebih belakangan daripada kedua Piṭaka lainnya. Versi Pāli yang mewakili aliran Theravāda mencoba mnsistematisasikan akaran-ajaran tua. Aliran-aliran awal lainnya jelas memiliki sistem Abhidhamma mereka sendiri. Sistem Sarvāstivāda adalah satu-satunya yang teks kanonisnya selamat dan utuh secara keseluruhan. Koleksi kanonisnya, seperti halnya versi Pāli, juga terdiri dari tujuh naskah. Teks-teks ini aslinya disusun dalam Sanskrit tetapi dilestarikan sepenuhnya hanya dalam terjemahan China. Sistem yang mereka definisikan jauh berbeda dengan padanan Theravāda baik dalam hal formulasi maupun filosofi.

Sutta Piṭaka, yang mengandung catatan-catatan khotbah-khotbah dan pembahasan Sang Buddha, terdiri dari lima koleksi yang disebut Nikāya-nikāya. Pada masa komentator Nikāya-nikāya ini juga disebut sebagai Āgama-āgama, seperti halnya padanannya dalam Buddhisme utara. Keempat Nikāya utama adalah:

1.   Dīgha Nikāya: Koleksi Khotbah-khotbah Panjang, tiga puluh empat sutta yang disusun dalam tiga vagga, atau buku.
2.   Majjhima Nikāya: Koleksi Khotbah-khotbah Menengah, 152 sutta yang disusun dalam tiga vagga.
3.   Saṃyutta Nikāya: Koleksi Khotbah-khotbah Berkelompok, hampir 3000 sutta pendek yang dikelompokkan dalam lima puluh enam bab atau saṃyutta, yang disusun dalam lima vagga.
4.   Aṅguttara Nikāya: Koleksi Khotbah-khotbah Bernomor (atau mungkin, “Khotbah-khotbah Menaik”), kurang lebih 2,400 sutta-sutta pendek yang disusun dalam sebelas bab, yang disebut nipāta.

Dīgha Nikāya dan Majjhima Nikāya, sekilas, tampak dibentuk secara prinsip menurut landasan panjangnya: khotbah-khotbah panjang masuk ke dalam Dīgha, khotbah-khotbah dengan panjang menengah masuk ke dalam Majjhima. Akan tetapi, dengan pengamatan teliti pada isinya, terlihat faktor lain yang mungkin mendasari perbedaan kedua koleksi ini. Sutta-sutta dalam Dīgha Nikāya terutama ditujukan kepada para pendengar umum dan tampaknya dimaksudkan untuk menarik potensi pengalihan keyakinan kepada ajaran dengan mendemonstrasikan keunggulan Sang Buddha dan doktrinNya.  Sutta-sutta dalam Majjhima Nikāya terutama ditujukan ke dalam kepada komunitas Buddhis dan tampaknya dirancang untuk memperkenalkan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dengan doktrin-doktrin dan praktik-praktik Buddhisme.  [9] Hal ini tetap menjadi pertanyaan apakah tujuan-tujuan pragmatis ini merupakan kriteria penentu dibalik kedua Nikāya ini atau apakah kriteria utama adalah panjangnya, dengan tujuan-tujuan pragmatis ini mengikuti sebagai konsekuensi yang tidak disengaja dari perbedaan panjangnya itu.

Saṃyutta Nikāya disusun menurut topik. Masing-masing topik adalah “gandar” (saṃyoga) yang menghubungkan khotbah-khotbah itu ke dalam saṃyutta atau bab. Karena itulah maka judul koleksi itu dinamakan “khotbah-khotbah yang berhubungan (saṃyutta).” Buku pertama, buku syair-syair, adalah unik karena disusun berasarkan pada jenis kesusasteraan. Buku ini terdiri dari sutta-sutta campuran prosa dan syair, disusun dalam sebelas bab sesuai topik. Keempat buku lainnya masing-masing terdiri dari bab-bab panjang yang membahas doktrin-doktrin prinsipil dari Buddhisme Awal. Buku II, III, dan IV masing-masing dimulai dengan bab panjang yang khusus membahas topik yang paling penting, berturut-turut adalah, sebab-akibat yang saling bergantungan (bab 12: Nibānasaṃyutta); kelima kelompok unsur kehidupan (bab 22: Khandhasaṃyutta); dan enam landasan internal dan eksternal (bab 35: Saḷāyatanasaṃyutta). Bagian V membahas kelompok-kelompok prinsipil tentang faktor-faktor latihan yang, dalam periode setelah-kanonik, disebut sebagai tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā). Ini termasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan (bab 45: Maggasaṃyutta), tujuh faktor pencerahan (bab 46: Bojjhaṅgasaṃyutta), dan empat penegakan perhatian (bab 47: Satipaṭṭhānasaṃyutta). Dari isinya, kita dapat menyimpulkan bahwa Saṃyutta Nikāya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kedua kelompok monastik. Satu terdiri dari para ahli doktrin, para bhikkhu dan bhikkhunī yang mengeksplorasi dalamnya implikasi Dhamma dan menjelaskannya kepada teman-temannya dalam kehidupan religius. Yang lainnya terdiri dari mereka yang menekuni pengembangan meditasi pandangan terang.

Aṅguttara Nikāya disusun menurut skema penomoran yang diturunkan dari ciri khas metode pengajaran Sang Buddha. Untuk memudahkan pemahaman dan penghafalan, Sang Buddha sering kali memformulasikan khotbah-khotbahNya melalui kelompok bernomor, sebuah format yang membantu untuk memastikan bahwa ide-ide yang Beliau sampaikan dapat dengan mudah diingat. Aṅguttara Nikāya mengumpulkan khotbah-khotbah bernomor ke dalam suatu karya besar yang terdiri dari sebelas nipāta atau bab, masing-masing mewakili jumlah poin yang membentuk kerangka sutta-sutta tersebut. Demikianlah ada Bab tentang Yang Satu (ekakanipātai), Bab tentang Yang Dua (dukanipātai), Bab tentang Yang Tiga (Tikanipāta), dan seterusnya, hingga ditutup dengan Bab tentang Yang Sebelas (ekādasanipāta). Karena berbagai kelompok faktor sang jalan telah dijelaskan daalm Saṃyutta, maka Aṅguttara dapat berfokus pada aspek-aspek latihan yang belum termasuk dalam kelompok-kelompok pengulangan. Aṅguttara memasukkan suatu proporsi sutta-sutta penting yang ditujukan kpada umat awam yang membahas tentang urusan etika dan spiritual dalam kehidupan di dunia, termasuk hubungan keluarga (suami dan istri, anak-anak dan orang tua) dan cara yang benar dalam mencari, menyimpan, dan menggunakan harta kekayaan. Sutta-sutta lainnya membahas latihan praktis para bhkkhu. Penyusunan bernomor dari koleksi ini sangat memudahkan dalam hal instruksi formal, dan dengan demikian dapat dengan mudah dirujuk oleh para bhikkhu ketika mengajar murid-murid mereka dan oleh para pengkhotbah ketika memberikan khotbah kepada umat awam.

Di samping empat Nikāya utama, Sutta Piṭaka Pāli juga memasukkan Nikāya ke lima, yang disebut Khuddaka Nikāya. Nama ini berarti Koleksi Minor. Mungkin awalnya terdiri dari hanya beberapa karya minor yang tidak dapat dimasukkan ke dalam empat Nikāya utama. Tetapi dengan semakin bertambahnya karya-karya selama berabad-abad dan ditambahkan ke dalamnya, maka ukurannya membengkak hingga menjadi bagian yang paling tebal di antara lima Nikāya. Akan tetapi, di jantung Khuddaka, terdapat suatu konstelasi kecil karya pendek yang disusun seluruhnya dalam bentuk syair (yaitu, Dhammapada, Theragāthā, dan Therīgāthā) atau campuran prosa dan syair (Suttanipāta, Udāna, dan Itivuttaka) yang gaya dan isinya menyiratkan bahwa buku-buku ini berasal dari masa kuno. Teks lain dari Khuddaka Nikāya – seperti Paṭisambhidāmagga dan dua Niddesa – mewakili sudut pandang aliran Theravāda dan dengan demikian pasti disusun pada masa Buddhisme Sektarian, ketika aliran-aliran awal telah mengambil jalan berbeda dari pengembangan ajaran mereka.

Empat Nikāya dalam Kanon Pāli memiliki padanannya dalam Āgama dalam Tripiṭaka China, walaupun berasal dari aliran awal yang berbeda. Bersesuaian dengan masing-masing secara berturut-turut adalah Dirghāgama, mungkin berasal dari aliran Dharmaguptaka, aslinya diterjemahkan dari Prakrit; Mdhyamāgama dan Samyuktāgama, keduanya berasal dari aliran Sarvātivāda dan diterjemahkan dari Sanskrit; dan Ekottarāgama, bersesuaian dengan Aṅguttara Nikāya, umumnya dianggap berasal dari cabang aliran Mahāsaṅghika dan telah diterjemahkan dari dialek Indo-Arya Tengah atau dialek campuran Prakrit dengan unsur Sanskrit. Tripiṭaka China juga berisikan terjemahan sūtra-sūtra dari keempat koleksi, mungkin berasal dari aliran lain lagi yang tidak teridentifikasi, dan terjemahan buku-buku tersendiri dari Koleksi Minor, termasuk dua terjemahan Dhammapada (salah satu yang dikatakan paling mirip dengan versi Pāli) dan beberapa bagian Suttanipāta, yang, sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri, tidak terdapat dalam terjemahan China.  [10]
« Last Edit: 06 October 2011, 10:58:49 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (Pendahuluan)
« Reply #5 on: 06 October 2011, 10:55:51 PM »
CATATAN TENTANG GAYA PENULISAN


Para pembaca sutta-sutta Pāli sering kali terganggu oleh pengulangan-pengulangan teks. Adalah sulit untuk mengetahui bagian mana yang berasal dari Sang Buddha sendiri, yang sebagai seorang pembabar yang berpindah-pindah pasti mengguanakan pengulangan untuk memperkuat poin-poin yang Beliau sampaikan, adn berapa banyak yang berasal dari para penyusun. Akan tetapi, jelas bahwa sebagian besar pengulangan berasal dari proses penyampaian lisan.

Untuk menghindari pengulangan yang berlebihan dalam terjemahan ini saya banyak menggunakan penghilangan. Dalam hal ini saya mengikuti edisi cetak dari Pāli Text, yang sangat ringkas, tetapi suatu terjemahan yang dimaksudkan untuk pembaca masa kini memerlukan suatu pemampatan lebih jauh lagi jika ingin menghindari resiko kemarahan pembaca. Di pihak lain, saya telah dengan sangat teliti memeriksa bahwa tidak ada hal penting dalam teks aslinya, termasuk rasanya, menjadi hilang karen peringkasan ini. Idealisme pertimbangan pembaca dan ketaatan pada teks kadang-kadang berlawanan dengan tuntutan pada seorang penerjemah.

Perlakuan pola pengulangan yang mana pengucapan yang sama dilakukan sehubungan dengan serangkaian poin adalah persoalan abadi dalam menerjemahkan sutta-sutta Pāli. Ketika menerjemahkan sebuah sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan, misalnya, seseorang tergoda untuk tidak lagi menguraikan kelompok-kelompok secara sendiri-sendiri dan sebaliknya mengubah sutta menjadi sebuah pernyataan umum tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai sekelompok. Bagi saya, pendekatan demikian beresiko mengubah penerjemahan menjadi penafsiran dan karenanya dapat kehilangan banyak makna aslinya. Kebijakan umum saya adalah menerjemahkan ucapan secara lengkap sehubungan dengan poin pertama dan terakhir dari kelompok itu dan hanya menguraikan poin-poin di antaranya yang dipisahkan dengan titik-titik penghilangan. Demikianlah, dalam sebuah sutta tentang lima kelompok unsur kehidupan, saya menerjemahkan pernyataan secara lengkap hanya untuk bentuk dan kesadaran, dan di antaranya terdapat “perasaan ... persepsi ... bentukan-bentukan kehendak ...,” yang menyiratkan bahwa pernyataan lengkap berlaku pada titik-titik ini.

Pendekatan ini menuntut keseringan penggunaan titik-titik penghilangan, suatu praktik yang juga mengundang kritik. Ketika menghadapi kalimat-kalimat berulang dalam kerangka narasi, saya kadang-kadang memampatkannya dan tidak menggunakan titik-titik penghilangan untuk menunjukkan di mana teks-teks tersebut dihilangkan. Akan tetapi, dengan teks-teks penjelasan doktrin saya taat pada praktik yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Saya pikir penerjemah memiliki tanggung jawab, ketika menerjemahkan doktrin penting, untuk menunjukkan secara persis di mana teks itu dihilangkan, dan karena titik-titik penghilangan masih menjadi alat terbaik yang kita miliki.
« Last Edit: 06 October 2011, 10:59:05 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (Pendahuluan)
« Reply #6 on: 06 October 2011, 10:56:53 PM »
Catatan:
 
[1] Tahun yang pasti sehubungan dengan kehidupan Sang Buddha masih menjadi digaan di antara para cendikiawan. Hingga saat ini yang paling umum tercatat adalah tahun 556-486 Sebelum Masehi, tetapi belakangan ini semakin banyak para Indologis yang mempertanyakan angka tahun ini dan mereka lebih suka menetapkan tahun Kematian Beliau berkisar pada tahun 400 Sebelum Masehi.

[2] Baca, misalnya, MN 22.10 (I 133). Beberapa istilah tidak jelas, dan koemntar tampaknya berusaha mencari cara untuk mengidentifikasikan teks yang berada dalam cakupannya.

[3] Tetapi bahkan para komentator yang paling belakangan pun (abad ke lima Masehi), tradisi Theravāda juga menyebutnya sebagai Āgama serta Nikāya.

[4] Kisah Cullavaga tentang konsili pertama dalam Vin II 284-87. masa musim hujan (vassāvāsa) adalah periode tiga bulan yang bertepatan dengan musim huan di India ketika para bhikkhu Buddhis harus berhenti mengembara dan menetap di tempat tinggal yang tetap. Periode ini biasanya berlangsung dari sehari setelah hari purnama di bulan Juli hingga hari purnama di bulan Oktober.

[5] Baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, bab 4.

[6] Dalam tradisi Theravāda, penulisan kanon berlangsung di Sri Lanka pada abad pertama Masehi. Pada waktu itu para bhikkhu, yang mengkhawatirkan bahwa ajaran-ajaran yang dilestarikan secara lisan akan lenyap, secara kolektif menuliskan teks-teks tersebut di atas lembaran-lembaran daun palem dan menjilidnya menjadi beberapa jilid, prototipe dari buku-buku. Hingga pada titik ini, walaupun teks-teks terpisah mungkin telah ditulis oleh para bhikkhu sebagai alat bantu untuk mengingat, namun salinan resmi dari ajaran belum ada. Tentang penulisan kanon, baca Adikaram, Early History of Buddhism in Ceylon, p. 79; dan Malalasekera, The Pāli Literature of Ceylon, pp. 44-47. Adalah mugnkin bahwa di India penulisan teks-teks kanon bahkan telah dilakukan lebih dulu daripada di Sri Lanka.

[7] Baca, misalnya, Thich Minh Chau, The Chinese Madhyama Āgama and the Pāli Majjhima Nikāya; Choong Mun-keat (Wei-keat), The Fundamental Teachings of Early Buddhism.

[8] Tentang ciri-ciri Pāli, baca Norman, Pāli Literature, pp. 2-7.

[9] Baca Manné, “Categories of Sutta in the Pāli Nikāya,” khususnya pp. 71-84.

[10]Informasi di atas diturunkan dari Choong, The Fundamental Teachings of Early Buddhism, pp. 6-7.
« Last Edit: 06 October 2011, 10:59:19 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB I)
« Reply #7 on: 06 October 2011, 11:10:32 PM »
PENDAHULUAN

Seperti halnya ajaran religius lainnya, Ajaran Buddha berasal-mula sebagai respon atas tekanan pada inti kondisi manusia. Apa yang membedakan ajaran Beliau dengan pendekatan religius lainnya pada kondisi manusia adalah kelangsungan, kecermatan, dan realisme tanpa kompromi yang dengannya Beliau melihat tekanan-tekanan ini. Sang Buddha tidak memberikan kepada kita pereda sakit yang menyisakan penyakit sesungguhnya tetap tidak tersentuh di bawah permukaan; sebaliknya, Beliau melacak penyakit kita hingga penyebab yang paling mendasarnya,  begitu gigih dan bersifat menghancurkan, dan menunjukkan kepada kita bagaimana hal-hal ini dicabut sepenuhnya. Akan tetapi, walaupun Dhamma pada akhirnya akan mengarah menuju kebijaksanaan yang melenyapkan penyebab-penyebab penderitaan, namun hal ini tidak dimulai di sana melainkan dengan observasi mengenai fakta-fakta nyata pengalaman sehari-hari. Di sini juga realisme langsung, cermat, dan gigih terbukti. Ajaran ini dimulai dengan mengajak kita untuk mengembangkan kemampuan yang disebut yoniso manasikāra, perhatian seksama. Sang Buddha mengajak kita untuk berhenti terhanyut tanpa pertimbangan sepanjang hidup kita, dan sebagai gantinya, memperhatikan dengan seksama pada kebenaran-kebenaran sederhana yang sehari-hari terjadi pada kita, menuntut perenungan berkesinambungan selayaknya.

Salah satu yang paling nyata dan tidak dapat dihindarkan dari kebenaran-kebenaran ini adalah juga merupakan yang paling sulit bagi kita untuk diterima sepenuhnya, yaitu, bahwa kita pasti menjadi tua, jatuh sakit, dan mati. Secara umum diasumsikan bahwa Sang Buddha mengajak kita untuk mengenali realitas usia tua dan kematian untuk memotivasi kita agar memasuki jalan melepaskan keduniawian yang mengarah menuju Nibbāna, kebebasan sepenuhnya dari lingkaran kelahiran dan kematian. Akan tetapi, walaupun hal ini adalah tujuan tertinggi, namun bukan respon pertama yang Beliau berusaha bangkitkan ketika kita beralih kepadanya untuk mendapatkan tuntunan. Respon pertama yang hendak dibangkitkan Sang Buddha dalam diri kita adalah sesuatu yang etis. Dengan mengarahkan perhatian kita pada belenggu usia tua dan kematian, Beliau berusaha menginspirasi kita dengan suatu tekad yang kokoh untuk berbalik dari cara-cara tidak bermanfaat dalam kehidupan dan sebaliknya merangkul alternatif-alternatif yang bermanfaat.

Sekali lagi, Sang Buddha mendasarkan seruan etis awalNya bukan hanya pada perasaan belas kasihan terhadap makhluk-makhluk lain, melainkan juga pada keprihatinan naluriah kita pada kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kita sendiri. Beliau berusaha untuk membuat kita melihat bahwa dengan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk etis akan memungkinkan kita untuk mengamankan kesejahteraan kita baik pada saat ini maupun jauh di masa depan. Argumen Beliau bergantung pada alasan penting bahwa perbuatan-perbuatan memiliki konsekuensi-konsekuensi. Jika kita harus mengubah kebiasaan-kebiasaan kita, maka kita harus yakin pada validitas dari prinsip ini. Khususnya, untuk berubah dari cara-cara kehidupan yang bodoh menjadi cara yang sungguh bermanfaat, kita harus menyadari bahwa perbuatan-perbuatan kita memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi diri kita sendiri, konsekuensi-konsekuensi yang dapat berbalik kepada kita baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan-kehidupan berikutnya.

Ketiga sutta yang menjadi bagian pertama dari bab ini menunjukkan hal ini dengan begitu tepat, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Text I,1(1) menjelaskan hukum yang tidak terhindarkan bahwa semua makhluk yang dilahirkan pasti mengalami penuaan dan kematian. Walaupun  secara sepintas khotbah ini tampaknya sekadar mengatakan fakta alami, dengan menyebutkan contoh para anggota dari peringkat atas masyarakat (para penguasa kaya, brahmana kaya, dan perumah tangga kaya) dan para Arahant yang telah terbebaskan, namun secara tidak langsung menyiratkan suatu pesan moral yang halus dalam kata-katanya. Teks I, 1(2) memaparkan pesan ini secara lebih nyata dengan perumpamaan gunung yang mengesankan, yang mengembalikan poin bahwa ketika “penuaan dan kematian menghampiri” kita, tugas kita dalam hidup adalah menjalani hidup dengan benar dan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat. Sutta tentang “utusan surgawi” – Teks I, 1(3) – memberikan makna yang wajar akan hal ini: ketika kita gagal mengenali “para utusan surgawi” di tengah-tengah kita, ketika kita melewatkan isyarat peringatan tersembunyi dari usia tua, penyakit, dan kematian, maka kita menjadi lalai dan berperilaku sembrono, menciptakan kamma tidak bermanfaat yang berpotensi menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan.

Kenyataan bahwa kita pasti menjadi tua dan mati mematahkan  mantra ketergila-gilaan yang dijatuhkan kepada kita oleh kenikmatan indria, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini menghalau kabut kebingungan dan memotivasi kita untuk menetapkan tujuan hidup kita yang baru. Kita mungkin belum siap untuk meninggalkan keluarga dan harta kita untuk menjalani kehidupan mengembara tanpa rumah dan meditasi dalam kesunyian, tetapi hal ini bukanlah pilihan yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para siswa perumah tangga. Sebaliknya, seperti kita lihat di atas, pelajaran pertama Beliau tarik dari fakta bahwa kehidupan kita berakhir pada usia tua dan kematian adalah suatu hal yang etis yang saling terjalin dengan prinsip kembar kamma dan kelahiran kembali. Hukum kamma menetapkan bahwa perbuatan baik dan buruk kita memiliki konsekuensi jauh melampaui kehidupan saat ini: perbuatan buruk mengarah pada kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan menghasilkan kesakitan dan penderitaan di masa depan; perbuatan baik mengarah pada kelahiran kembali yang menyenangkan dan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan di masa depan. Karena kita pasti menjadi tua dan mati, maka kita harus senantiasa menyadari bahwa segala kemakmuran saat ini yang dapat kita nikmati hanyalah sementara. Kita dapat menikmatinya selama kita muda dan sehat; dan ketika kita mati, kamma yang baru kita peroleh akan berkesempatan untuk masak dan memberikan hasilnya. Kemudian kita harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita. Dengan mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang, kita seharusnya dengan cermat menghindari perbuatan-perbuatan jahat yang berakibat pada penderitaan dan dengan tekun melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menghasilkan kebahagiaan di sini maupun dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Dalam bagian ke dua, kita menjelajahi tiga aspek kehidupan manusia yang saya kumpulkan dalam judul “Kesengsaraan Kehidupan tanpa Perenungan.” Jenis-jenis penderitaan ini berbeda dengan penderitaan yang berhubungan dengan usia tua dan kematian, dalam aspek yang penting. Usia tua dan kematian terikat pada kehidupan jasmani dan oleh karena itu tidak dapat dihindari, berlaku baik pada orang-orang biasa maupun pada para Arahant yang telah terbebaskan – satu hal yang disebutkan dalam teks pertama bab ini. Sebaliknya, ketiga teks yang termasuk dalam bagian ini seluruhnya membedakan antara orang-orang biasa, yang disebut “kaum duniawi yang tidak terlatih” (assutavā puthujjana), dan pengikut bijaksana Sang Buddha, yang disebut “siswa mulia yang terlatih” (sutavā ariyasāvaka).

Yang pertama dari perbedaan ini, disebutkan dalam Teks I,2(1), berkisar di sekitar respon pada perasaan menyakitkan. Baik kaum duniawi maupun siswa mulia mengalami perasaan menyakitkan jasmani, namun mereka memberikan respon yang berbeda atas perasaan-perasaan ini. Kaum duniawi memberikan reaksi penolakan dan oleh karena itu, di atas perasaan menyakitkan jasmani, juga mengalami perasaan menyakitkan batin: dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Siswa mulia, ketika mengalami kesakitan jasmani, menahankan perasaan itu dengan tabah, tanpa dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Secara umum diasumsikan bahwa kesakitan jasmani dan batin adalah hubungan yang tidak terpisahkan, tetapi Sang Buddha memberikan batasan yang jelas antara keduanya. Beliau mengajarkan bahwa sementara keberadaan jasmani tidak terhindarkan, pasti mengalami kesakitan jasmani, namun kesakitan demikian tidak harus memicu reaksi emosional kesengsaraan, ketakutan, kekesalan, dan kesedihan yang biasanya menjadi reaksi normal kita. Melalui latihan batin kita dapat mengembangkan perhatian dan pemahaman jernih yang diperlukan untuk menahankan kesakitan jasmani dengan berani, dengan tabah dan seimbang. Melalui pandangan terang kita dapat mengembangkan kebijaksanaan yang cukup untuk mengatasi ketakutan kita pada perasaan sakit dan kebutuhan kita untuk mencari kenyamanan dalam pesta pemuasan indria sebagai pengalihan.

Aspek lainnya dari kehidupan manusia yang membawa pada perbedaan penting antara kaum duniawi dan siswa mulia adalah perubahan takdir. Teks-teks Buddhis dengan rapi merangkum hal-hal ini ke dalam empat pasang yang saling berlawanan, yang dikenal sebagai delapan kondisi duniawi (aṭṭha lokadhammā): untung dan rugi, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan. Teks I, 2(2) menunjukkan bagaimana kaum duniawi dan siswa mulia berbeda dalam merespon perubahan-perubahan ini. Sementara kaum duniawi bergembira dengan keberhasilan dalam mencapai keuntungan, kemasyhuran, pujian, dan kesenangan, dan kecewa ketika dihadapkan pada lawannya yang tidak diharapkan, siswa mulia tetap tidak terganggu. Dengan menerapkan pemahaman ketidak-kekalan pada kedua kondisi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, siswa mulia dapat berdiam dalam keseimbangan, tidak terikat pada kondisi menyenangkan, tidak menolak kondisi yang tidak menyenangkan. Seorang siswa demikian meninggalkan suka dan tidak suka, dukacita dan kesedihan, dan akhirnya memenangkan berkat tertinggi dari segalanya: kebebasan sepenuhnya dari penderitaan.

Teks I,2(3) memeriksa keadaan menyedihkan dari kaum duniawi pada tingkat yang lebih mendasar. Karena keliru dalam memahami sesuatu, kaum duniawi bergejolak oleh perubahan, khususnya ketika perubahan itu berdampak pada jasmani dan batin mereka. Sang Buddha mengelompokkan unsur-unsur jasmani dan batin ke dalam lima kategori yang dikenal sebagai “lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” (pañc’upādānakkhandhā): bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran (penjelasan terperinci, baca pp.305-07). Kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah balok penyusun yang umumnya kita gunakan untuk membangun identitas personal kita; unsur-unsur itu adalah hal-hal yang kita lekati sebagai “milikku,” “aku,” dan “diriku.” Apa pun yang kita identifikasikan, apa pun yang kita anggap sebagai diri atau milik diri, semuanya dapat dikelompokkan ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan ini. Dengan demikian  kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah landasan utama bagi “identifikasi” dan “peruntukan,” kedua aktivitas dasar yang karenanya kita membangun suatu keakuan. Karena kita menanamkan gagasan keakuan dan identitas personal dengan suatu perhatian emosional yang tinggi, ketika objek yang padanya keakuan itu terikat – kelima kelompok unsur kehidupan – mengalami perubahan, maka kita secara wajar mengalami kekhawatiran dan kesedihan. Dalam persepsi kita, hal ini bukanlah sekadar fenomena non-personal yang mengalami perubahan, melainkan adalah identitas kita, diri kita yang kita puja, dan hal ini adalah apa yang paling kita takuti. Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh teks ini, seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan, sifat menipu dari semua gagasan diri yang kekal, dan dengan demikian tidak lagi mengidentifikasikan dengan kelima kelompok unsur kehidupan. Oleh karena itu siswa mulia dapat menghadapi perubahan mereka tanpa kecemasan, tidak gelisah akan perubahan, kerusakan, dan kehancurannya.

Gejolak dan kekacauan menerpa kehidupan manusia bukan hanya pada tingkat personal dan pribadi, tetapi juga dalam interaksi sosial kita. Sejak zaman dulu, dunia kita selalu menjadi salah satu konfrontasi dan konflik kekerasan. Nama, tempat, dan alat penghancuran mungkin berubah, tetapi kekuatan di belakangnya, motivasinya, ekspresi keserakahan dan kebencian, tetap sama. Nikāya-nikāya membuktikan bahwa Sang Buddha sangat memahami dimensi kondisi manusia ini. Walaupun ajaran Beliau, dengan penekanan pada disiplin-diri etis dan pengolahan batin, bertujuan terutama pada pencerahan dan kebebasan personal, namun Sang Buddha juga menawarkan kepada orang-orang suatu perlindungan dari kekerasan dan ketidak-adilan yang menyakiti kehidupan manusia dengan cara-cara yang kejam. Hal ini jelas dalam penekanan Beliau pada cinta-kasih dan belas-kasihan; pada ketidak-kejaman dalam perbuatan dan kehalusan dalam ucapan; dan penyelesaian perselisihan dengan damai.

Bagian ke tiga dari bab ini memasukkan empat teks pendek yang membahas akar-akar yang mendasari konflik dan ketidak-adilan. Kita dapat melihat dari teks-teks ini bahwa Sang Buddha tidak menuntut perubahan sekadar dalam struktur luar masyarakat. Beliau memperlihatkan bahwa fenomena-fenomena gelap ini adalah proyeksi eksternal dari kecenderungan tidak baik dari batin manusia dan dengan demikian menunjukkan perlunya perubahan batin sebagai kondisi paralel untuk menciptakan kedamaian dan keadilan sosial. Masing-masing dari empat teks yang termasuk dalam bagian ini melacak konflik, kekerasan, tekanan politik, dan ketidak-adilan ekonomi ke belakang hingga pada penyebab-penyebabnya; masing-masing dalam caranya melacak lokasinya dalam batin.

Teks I, 3(1) menjelaskan konflik antara orang-orang awam yang muncul dari kemelekatan pada kenikmatan indria, konflik antara petapa yang muncul dari kemelekatan pada pandangan-pandangan. Teks I, 3(2) sebuah dialog antara Sang Buddha dan Sakka, penguasa para deva pada masa pre-Buddhis di India, melacak kebencian dan permusuhan pada iri-hati dan kekikiran; dari sana Sang Buddha melacaknya kembali pada penyimpangan mendasar yang berdampak pada cara persepsi dan kognisi kita memproses informasi yang diberikan oleh indria-indria. Teks I, 3(3) memberikan versi lain dari rantai sebab-akibat yang terkenal, yang berputar dari perasaan menuju nafsu, dan dari nafsu melalui kondisi lainnya menuju “pengambilan tongkat pemukul dan senjata” dan jenis-jenis perilaku kekerasan lainnya. Teks I, 3(4) menggambarkan bagaimana ketiga akar kejahatan – keserakahan, kebencian, dan kebodohan – memiliki dampak mengerikan pada keseluruhan masyarakat, berakibat pada kekerasan, nafsu pada kekuasaan, dan hukuman menyakitkan yang tidak adil. Seluruh empat teks ini menyiratkan bahwa transformasi apa pun yang signifikan dan bertahan lama dalam masyarakat memerlukan perubahan signifikan dalam serat moral dari masing-masing individu; karena selama keserakahan, kebencian, dan kebodohan merajalela menjadi penentu pada perilaku, konsekuensi-konsekuensinya adalah pasti buruk.

Ajaran Sang Buddha menyebutkan aspek ke empat dari kondisi manusia yang, tidak seperti tiga yang telah kita bahas, tidak seketika terlihat oleh kita. Ini adalah belenggu kita pada lingkaran kelahiran kembali. Dari teks-teks pilihan yang termasuk dalam bagian terakhir bab ini, kita melihat bahwa Sang Buddha mengajarkan bahwa umur kehidupan kita adalah hanya satu tahap dalam rangkaian kelahiran kembali yang telah berlangsung sejak awal yang tidak dapat diketahui. Rangkaian kelahiran kembali ini disebut saṃsāra, kata Pāli yang menyiratkan gagasan pengembaraan tanpa arah. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita mencari awal dari alam semesta, kita tidak akan pernah menemukan saat awal penciptaan. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita melacak urutan kehidupan seseorang, kita tidak akan pernah sampai pada titik awal. Menurut Teks I, 4(1) dan I, 4(2), bahkan jika kita melacak urutan ibu dan ayah kita di seluruh sistem dunia, kita hanya akan sampai pada lebih banyak ibu dan ayah merentang hingga cakrawala yang jauh.

Terlebih lagi, proses itu bukan hanya tanpa awal tetapi juga kemungkinan besar tanpa akhir. Selama kebodohan dan nafsu masih tetap ada, proses itu akan berlanjut tak terhingga ke masa depan tanpa titik akhir yang terjangkau. Bagi Sang Buddha dan Buddhisme awal, hal ini menegaskan krisis dalam inti dari kondisi manusia; kita terikat pada rantai kelahiran kembali, dan terikat padanya bukan lain oleh kebodohan dan nafsu kita sendiri. Pengembaraan tanpa tujuan dalam saṃsāra muncul pada latar belakang kosmis dari dimensi yang tidak terbayangkan luasnya. Rentang waktu bagi suatu sistem dunia untuk berkembang, mencapai fase maksimum pengembangan, penyusutan, dan kemudian hancur disebut satu kappa (Skt: kalpa). Teks I, 4(3) memberikan perumpamaan yang jelas untuk menggambarkan rentang waktu satu kappa; Teks I, 4(4) suatu perumpamaan jelas lainnya untuk menggambarkan jumlah kappa yang tidak terhitung yang telah kita lalui dalam pengembaraan kita.

Selama makhluk-makhluk mengembara dan berkelana dari satu kehidupan ke kehidupan lain, terselimuti oleh kegelapan, mereka terjatuh lagi dan lagi ke dalam jurang kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Tetapi karena nafsu mendorong mereka maju dalam pencarian tanpa ampun demi kepuasan, mereka jarang berhenti cukup lama untuk melangkah mundur dan memperhatikan kesengsaraan kehidupan mereka. Seperti yang dinyatakan dalam Teks I, 4(5), sebaliknya mereka hanya terus-menerus berputar di sekitar “lima kelompok unsur kehidupan” seperti halnya seekor anjing yang terikat akan berlari mengelilingi tiang atau pilar. Karena kebodohan mereka mencegah mereka mengenali sifat kejam dari kondisi mereka, mereka tidak mampu melihat bahkan jejak jalan menuju kebebasan. Kebanyakan makhluk hidup tenggelam dalam kenikmatan indria. Yang lainnya, didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan, status, dan penghargaan, melewatkan kehidupan mereka dengan sia-sia berusaha memuaskan dahaga yang tidak terpuaskan. Banyak di antara mereka, karena takut akan kemusnahan pada saat kematian, membangun sistem kepercayaan yang kembali pada diri individual mereka, jiwa mereka, prospek hidup abadi. Sedikit di antara mereka yang menginginkan jalan kebebasan, tetapi tidak mengetahui di mana menemukannya. Demi untuk memberikan jalan inilah maka Sang Buddha telah muncul di tengah-tengah kita.





Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB I)
« Reply #8 on: 06 October 2011, 11:11:14 PM »
I. KONDISI MANUSIA

1. USIA TUA, PENYAKIT, DAN KEMATIAN

(1) Penuaan dan Kematian

Di Sāvatthi. Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Adakah orang yang dilahirkan bebas dari penuaan dan kematian?”[1]

“Baginda, tidak ada seorang pun yang dilahirkan bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para khattiya kaya raya – kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, harta dan komoditi berlimpah, kekayaan dan hasil panen berlimpah – karena mereka telah terlahir, tidak bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para brahmana kaya raya … perumah tangga kaya raya – kaya … dengan kekayaan dan hasil panen berlimpah - karena mereka telah terlahir, tidak bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para bhikkhu yang adalah para Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah melepaskan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah secara total menghancurkan belenggu kehidupan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan tertinggi: bahkan bagi mereka jasmani ini tunduk pada kehancuran, pasti terbaringkan.  [2]

“Kereta indah para raja menjadi usang,
Jasmani ini juga mengalami kelapukan.
Tetapi Dhamma yang baik tidak lapuk:
Demikianlah yang baik menyatakan yang baik.”

(SN 3:3;171 <163-64>)

(2) Perumpamaan Gunung

Di Sāvatthi, di siang hari, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau,  dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang, Baginda, di siang hari ini?”

“Baru saja, Yang Mulia, aku melakukan urusan kerajaan khusus untuk raja-raja, yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan akan kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan, seseorang mendatangimu dari timur, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan, dan memberitahukan kepadamu: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari timur, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Kemudian orang ke dua mendatangimu dari barat … orang ke tiga dari utara … dan orang ke empat mendatangimu dari selatan, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan, dan memberitahukan kepadamu:: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari selatan, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Jika, Baginda, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi ke-manusia-an yang sangat sulit diperoleh, apakah yang harus dilakukan?”

“Jika, Yang Mulia, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi ke-manusia-an yang sangat sulit diperoleh, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”

“Aku beritahukan kepadamu, Baginda, Aku mengumumkan kepadamu, Baginda: usia tua dan kematian sedang menghampirimu. Ketika usia-tua dan kematian sedang menghampirimu, Baginda, apakah yang harus dilakukan?”

“Karena usia-tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?

“Yang Mulia, raja-raja yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan akan kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini, menaklukkan melalui pertempuran gajah, pertempuran kuda, pertempuran kereta, dan pertempuran pasukan pejalan kaki; tetapi tidak ada harapan kemenangan bagi perang-perang demikian, tidak ada kesempatan berhasil, ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat para menteri yang, ketika musuh datang, mampu memecah mereka dengan muslihat, namun tidak ada harapan kemenangan bagi muslihat, tidak ada kesempatan berhasil ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat emas dan perak dalam jumlah besar tersimpan dalam brankas dan gudang-gudang penyimpanan, dan dengan kekayaan sebanyak itu kami mampu meredam musuh ketika mereka datang; tetapi tidak ada harapan kemenangan bagi kekayaan, tidak ada kesempatan berhasil, ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Karena usia-tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”

“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Karena usia-tua dan kematian menghampirimu, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Bagaikan gunung karang,
Tinggi, menjulang ke langit,
Menarik segalanya dari segala sisi,
Menggilas segalanya di empat penjuru –
Demikian pula usia-tua dan kematian datang
Menghampiri semua makhluk hidup –

“Khattiya, Brahmana, Vessa, Sudda,
Kasta buangan dan binatang:
Tidak menyisakan apapun sepanjang perjalanannya
Namun datang menggilas segalanya.

“Tidak ada harapan di sini untuk kemenangan
Bagi pasukan gajah, kereta dan pasukan infanteri.
Seseorang tidak dapat mengalahkannya dengan muslihat,
Atau membelinya dengan kekayaan.

“Oleh karena itu seorang yang bijaksana di sini,
Demi kebaikannya sendiri,
Harus dengan teguh mengokohkan keyakinan
Dalam Sang Buddha, Dhamma dan Saṅgha.

“Ketika seseorang berperilaku sesuai Dhamma
Melalui jasmani, ucapan dan pikiran,
Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini,
Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.”

(SN 3:25; I 100-102 <224-29>)

(3) Utusan Surgawi

“Ada, para bhikkhu, tiga utusan surgawi.  [3] Apakah tiga ini?

“Ada orang yang berperilaku buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka. Kemudian para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua tangannya dan membawanya ke hadapan Yama, Raja Kematian,  [4] dengan mengatakan: ‘Orang ini, Baginda, tidak menghormati ayah dan ibu, juga tidak menghormati para petapa dan brahmana, juga tidak menghormati orang-orang tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman padanya!’

“Kemudian, para bhikkhu, Raja Yama menanyai orang itu, memeriksanya, dan berkata kepadanya sehubungan dengan utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, sahabat, utusan surgawi pertama muncul di antara manusia?’

“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki, berusia delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun; lemah, bungkuk bagaikan rusuk atap, bongkok, bersandar pada tongkat, gemetar, sakit, kemudaan dan kekuatan lenyap, dengan gigi tanggal, dengan rambut rontok atau botak, keriput, dengan anggota badan berbisul?’

“Dan orang itu menjawab: ‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada usia tua dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’

“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, memeriksa, dan berkata kepadanya demikian sehubungan dengan utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, memeriksa, dan berkata kepada orang itu tentang yang ke dua, dengan berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, Sahabat, utusan surgawi ke dua muncul di antara manusia?’

“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki yang sedang sakit dan kesakitan, sakit parah, berbaring di atas kotorannya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan diletakkan di atas tempat tidur oleh orang lain?’

“‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’

“‘Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’

“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’

“‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, memeriksa, dan berkata kepadanya demikian sehubungan dengan utusan surgawi ke dua, kemudian ia menanyai, memeriksa, dan berkata kepada orang itu tentang yang ke tiga, dengan berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, Sahabat, utusan surgawi ke tiga muncul di antara manusia?’

“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki yang telah mati selama satu, dua, atau tiga hari, mayatnya membengkak, warnanya memudar, dan membusuk?’

“‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’

“‘Maka, Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada kematian dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’

“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’

“‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’

(dari AN 3:35; I 138-40)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB I)
« Reply #9 on: 06 October 2011, 11:11:47 PM »
2. KESENGSARAAN KEHIDUPAN TANPA PERENUNGAN

(1) Anak Panah Perasaan Menyakitkan

“Para bhikkhu, ketika kaum duniawi yang tidak terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia berdukacita, bersedih, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi putus-asa. Ia merasakan dua perasaan – perasaan jasmani dan perasaan batin. Misalkan mereka menembak seseorang dengan sebatang anak panah, dan kemudian menembaknya lagi dengan anak panah ke dua, sehingga orang itu merasakan perasaan yang ditimbulkan oleh dua batang anak panah. Demikian pula, ketika kaum duniawi yang tidak terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia merasakan dua perasaan – perasaan jasmani dan perasaan batin.

“Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan yang sama ini, ia memendam penolakan terhadap perasaan itu. Ketika ia memendam penolakan terhadap perasaan menyakitkan itu, kecenderungan tersembunyi penolakan terhadap perasaan menyakitkan bersembunyi di balik ini.  [5] Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan, ia mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria. Karena alasan apakah? Karena kaum duniawi yang tidak terlatih tidak mengetahui jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan selain dari kenikmatan indria.  [6] Ketika ia mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria, kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan bersembunyi di balik ini. Ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan-perasaan ini.  [7] Jika ia tidak memahami hal-hal ini, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan bersembunyi di balik ini.

“Jika ia merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia merasakannya dengan terikat. Jika ia merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia merasakannya dengan terikat. Jika ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan terikat. Ini, para bhikkhu, disebut seorang kaum duniawi yang tidak terlatih terikat pada kelahiran, penuaan, dan kematian; yang terikat pada dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputus-asaan; yang terikat pada penderitaan, Aku katakan.

“Para bhikkhu, ketika siswa mulia yang terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap; ia tidak menangis dengan memukul dada atau menjadi putus asa.  [8] Ia merasakan satu perasaan – perasaan jasmani, bukan perasaan batin. Misalkan mereka menembak seseorang dengan sebatang anak panah, tetapi mereka tidak menembaknya lagi dengan anak panah ke dua, sehingga orang itu hanya merasakan perasaan yang ditimbulkan oleh hanya satu batang anak panah saja. Demikian pula, ketika siswa mulia yang terlatih mengalami perasaan menyakitkan, ia hanya merasakan satu perasaan – perasaan jasmani, dan bukan perasaan batin.

“Sewaktu merasakan perasaan menyakitkan yang sama itu, ia tidak memendam penolakan terhadap perasaan itu. Karena ia tidak memendam penolakan terhadap perasaan menyakitkan, maka kecenderungan tersembunyi pada penolakan terhadap perasaan menyakitkan tidak bersembunyi di baliknya. Sewaktu mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria. Karena alasan apakah? Karena siswa mulia yang terlatih mengetahui jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan selain dari kenikmatan indria. Karena ia tidak mencari kesenangan di dalam kenikmatan indria, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan tidak bersembunyi di baliknya. Ia memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan-perasaan ini. Karena ia memahami hal-hal ini, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan tidak bersembunyi di balik ini.

“Jika ia merasakan perasaan menyenangkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Jika ia merasakan perasaan menyakitkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Jika ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan tidak terikat. Ini, para bhikkhu, disebut seorang siswa mulia yang terlepas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; yang terlepas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputus-asaan; yang terlepas dari penderitaan, Aku katakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah, perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih.”

(SN 36:6; IV 207-10)

(2) Perubahan dalam Kehidupan

“Delapan kondisi duniawi ini, para bhikkhu, menjaga dunia ini tetap berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini. Apakah delapan ini? Untung dan rugi, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan.

“Delapan kondisi duniawi ini, para bhikkhu, dialami oleh kaum duniawi yang tidak terlatih, dan juga dialami oleh siswa mulia yang terlatih. Sekarang apakah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, para bhikkhu,  dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Ketika seorang kaum duniawi yang tidak terlatih, memperoleh keuntungan, ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Keuntungan yang kuperoleh ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Ia tidak mengetahui sebagaimana adanya. Dan ketika ia mengalami kerugian, kemashyuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Semua ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Ia tidak mengetahui sebagaimana adanya. Bagi orang seperti demikian, keuntungan dan kerugian, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan senantiasa memenuhi pikirannya. Ketika keuntungan datang ia gembira dan ketika ia mengalami kerugian ia kecewa. Ketika kemasyhuran datang ia gembira dan ketika ia mengalami reputasi buruk ia kecewa. Ketika pujian datang ia gembira dan ketika ia mengalami celaan ia kecewa. Ketika ia mengalami kesenangan ia gembira dan ketika ia mengalami kesakitan ia kecewa. Dengan terlibat demikian dalam suka dan tidak suka, ia tidak akan terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputus-asaan; ia tidak akan terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang mulia yang terlatih memperoleh keuntungan, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Keuntungan yang kuperoleh ini adalah tidak kekal, terikat dengan penderitaan, tunduk pada perubahan.’ Dan demikian pula ia akan merenungkan ketika kerugian dan seterusnya mendatanginya. Ia memahami semua hal ini sebagaimana adanya, dan tidak memenuhi pikirannya. Demikianlah ia tidak gembira oleh keuntungan dan tidak kecewa oleh kerugian; tidak genbira oleh kemasyhuran dan tidak kecewa oleh reputasi buruk; tidak gembira oleh pujian dan tidak kecewa oleh celaan; tidak gembira oleh kesenangan dan tidak kecewa oleh kesakitan. Setelah melepaskan kesukaan dan ketidak-sukaan demikian, ia akan terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputus-asaan; ia  akan terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara seorang siswa mulia yang terlatih dan seorang kaum duniawi yang tidak terlatih.”

(AN 8:6; IV 157-59)

(3) Kekhawatiran Karena Perubahan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang gejolak melalui kemelekatan dan tanpa-gejolak melalui tanpa-kemelekatan.  [9] Dengar dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, munculnya gejolak melalui kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih, yang bukan pengikut para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan pengikut orang-orang yang baik dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.  [10] Bentuknya itu berubah dan berganti. Dengan perubahan dan pergantian bentuk itu, kesadarannya dipenuhi dengan perubahan bentuk itu. Gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan bentuk menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui kemelekatan ia menjadi bergejolak.

“Ia menganggap perasaan sebagai diri ... persepsi sebagai diri ... bentukan-bentukan kehendak sebagai diri ... kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan berganti. Dengan perubahan dan pergantian kesadaran itu, kesadarannya dipenuhi dengan perubahan kesadaran itu. Gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan kesadaran menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui kemelekatan ia menjadi bergejolak.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, munculnya gejolak melalui kemelekatan.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu,  tanpa-gejolak melalui tanpa-kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih, yang adalah pengikut para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang adalah pengikut orang-orang yang baik dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.  [11] Bentuknya itu berubah dan berganti. Terlepas dari perubahan dan pergantian bentuk itu, kesadarannya tidak dipenuhi dengan perubahan bentuk itu. Tidak ada gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan bentuk menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui ketidak-melekatan ia tidak menjadi bergejolak.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri ... persepsi sebagai diri ... bentukan-bentukan kehendak sebagai diri ... kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah dan berganti. Terlepas dari perubahan dan pergantian kesadaran itu, kesadarannya tidak dipenuhi dengan perubahan kesadaran itu. Tidak ada gejolak dan suatu kondisi konstelasi pikiran yang muncul dari terus-menerus memikirkan perubahan kesadaran menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi takut, menderita, dan khawatir, dan melalui ketidak-melekatan ia tidak menjadi bergejolak.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan.”

(SN 22:7; III 15-18)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB I)
« Reply #10 on: 06 October 2011, 11:12:50 PM »
3. DUNIA DALAM KEKACAUAN

(1) Asal-mula Konflik

Brahmana Ārāmadaṇḍa mendatangi Yang Mulia Mahākaccāna,  [12] saling bertukar sapa dengannya, dan bertanya: “Mengapakah, Guru Kaccāna, para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana dengan para brahmana, dan para perumah tangga dengan para perumah tangga?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan pada kenikmatan indria, keterikatan pada kenikmatan indria, perasaan mendalam pada kenikmatan indria, ketagihan pada kenikmatan indria, godaan kenikmatan indria, memegang erat pada kenikmatan indria sehingga para khattiya berselisih dengan para khattiya, para brahmana dengan para brahmana, dan para perumah tangga dengan para perumah tangga.”

“Mengapakah, Guru Kaccāna, para petapa berselisih dengan para petapa?”

“Adalah, brahmana, karena kemelekatan pada pandangan, keterikatan pada pandangan, perasaan mendalam pada pandangan, ketagihan pada pandangan, godaan pandangan, memegang erat pada pandangan sehingga para petapa berselisih dengan para petapa.”

(AN 2: iv, 6, diringkas; I 66)

(2) Mengapakah Makhluk-makhluk Hidup dalam Kebencian?

2.1. Sakka, penguasa para deva,  [13] bertanya kepada Sang Bhagavā: “Makhluk-makhluk berkeinginan untuk hidup tanpa kebencian, tanpa mencelakai, tanpa permusuhan, dan tanpa perseteruan; mereka ingin hidup dalam kedamaian. Namun mereka hidup dalam kebencian, saling mencelakai satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh. Oleh belenggu apakah mereka terikat, Yang Mulia, sehingga mereka hidup demikian?”

[Sang Bhagavā berkata:] “Penguasa para deva, adalah belenggu iri-hati dan kekikiran yang mengikat makhluk-makhluk itu sehingga, walaupun mereka berkeinginan untuk hidup tanpa kebencian, tanpa mencelakai, tanpa permusuhan, dan tanpa perseteruan; dan ingin hidup dalam kedamaian, namun mereka hidup dalam kebencian, saling mencelakai satu sama lain, bermusuhan, dan sebagai musuh.”

Ini adalah jawaban Sang Bhagavā, dan Sakka, karena gembira, berseru: “Demikianlah, Sang Bhagavā! Demikianlah, Yang Sempurna! Melalui jawaban Sang Bhagavā aku telah mengatasi keragu-raguanku dan terbebas dari kebimbangan.”

2.2. Kemudian Sakka, setelah mengungkapkan penghargaannya, mengajukan pertanyaan lain: “Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menyebabkan iri-hati dan kekikiran, apakah asal-mulanya, dan bagaimanakah iri-hati dan kekikiran itu terbentuk, bagaimanakah munculnya? Ketika ada apakah maka iri hati dan kekikiran muncul, dan ketika tidak ada apakah maka iri-hati dan kekikiran tidak muncul?”

“Iri-hati dan kekikiran, penguasa para deva, muncul dari suka dan tidak suka; ini adalah asal-mulanya, ini adalah bagaimana iri-hati dan kekikiran terbentuk, bagaimana iri-hati dan kekikiran muncul. Ketika hal-hal ini ada maka iri-hati dan kekikiran muncul, ketika hal-hal ini tidak ada maka iri-hati dan kekikiran tidak muncul.”

“Tetapi, Yang Mulia, apakah yang memunculkan suka dan tidak suka ...?” – “Suka dan tidak suka muncul, penguasa para deva, dari keinginan ...” – “Dan apakah yang memunculkan keinginan ...?” – “Keinginan muncul, penguasa para deva, dari pemikiran. Ketika pikiran memikirkan sesuatu, maka keinginan muncul; ketika pikiran tidak memikirkan apa pun, maka keinginan tidak muncul.”

“Tetapi, Yang Mulia, apakah yang memunculkan pemikiran ...?”

“Pemikiran, penguasa para deva, muncul dari persepsi dan gagasan yang rumit.  [14]  Ketika ada persepsi dan gagasan yang rumit, maka muncul pemikiran. Ketika tidak ada persepsi dan gagasan yang rumit, maka pemikiran tidak muncul.”

(dari DN 21: Sakkapañha Sutta; II 276-77)



(3) Mata Rantai Gelap dari Sebab-Akibat

9. “Demikianlah, Ānanda, dengan bergantung pada perasaan maka ada nafsu; dengan bergantung pada nafsu maka ada pencarian; dengan bergantung pada pencarian maka ada perolehan; dengan bergantung pada perolehan maka ada pengambilan-keputusan; dengan bergantung pada pengambilan-keputusan maka ada keinginan dan nafsu; dengan bergantung pada keinginan dan nafsu maka ada kemelekatan; dengan bergantung pada kemelekatan maka ada kepemilikan; dengan bergantung pada kepemilikan maka ada kekikiran; dengan bergantung pada kekikiran maka ada pertahanan diri; dan karena pertahanan diri, maka berbagai hal jahat yang tidak bermanfaat berasal-mula – mengambil tongkat pemukul dan senjata, konflik, pertengkaran, dan perselisihan, penghinaan, fitnah, dan kebohongan.”  [15]

(dari DN 15: Mahānidāna Sutta; II 58)

(4) Akar Kekerasan dan Penindasan

“Segala jenis keserakahan, kebencian, dan kebodohan adalah tidak bermanfaat.  [16] Perbuatan apa pun yang ditimbun oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan – melalui perbuatan, ucapan, atau pikiran – itu juga adalah tidak bermanfaat. Penderitaan apa pun yang dialami oleh orang itu, yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, pikirannya dikendalikan oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, menghukum orang lain karena alasan keliru – melalui pembunuhan, hukuman penjara, penyitaan harta, tuduhan palsu, atau pengusiran – karena didorong untuk melakukan hal-hal ini oleh pikiran, ‘aku memiliki kekuasaan dan aku menginginkan kekuasaan,’ semua ini adalah juga tidak bermanfaat.”

(dari AN 3:69; I 201-2)

4. TANPA AWAL YANG DAPAT DITEMUKAN

(1) Rumput dan Ranting

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan.  [17] Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Misalkan, para bhikkhu, seseorang memotong semua rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan yang ada di Jambudipa  [18] dan mengumpulkannya dalam satu tumpukan. Setelah melakukan hal itu, ia akan memindahkannya satu demi satu sambil mengatakan: ‘Ini adalah ibuku, ini adalah ibu dari ibuku.’ Urutan dari ibu dan nenek itu tidak akan berakhir, namun rumput, ranting, dahan, dan dedaunan di Jambudipa ini telah seluruhnya dipindahkan dan habis. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Selama waktu yang sangat panjang, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan,  dan kemalangan, dan membengkak di pekuburan. Cukuplah untuk menjadi kecewa dengan segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

(SN 15:1; II 178)

(2) Bola-bola Tanah

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik awal tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Misalkan, para bhikkhu, seseorang membentuk bola-bola tanah seukuran biji jujube  dan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap butirnya]: “Ini adalah ayahku, ini adalah ayah dari ayahku.” Urutan dari ayah dan kakek dari orang itu tidak akan berakhir, namun seluruh tanah di bumi ini sudah seluruhnya dipindahkan dan habis. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan membengkak di pekuburan. Cukuplah untuk menjadi kecewa dengan segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

(SN 15:2; II 179)

(3) Gunung

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?”  [19]

“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau berapa ratus tahun, atau berapa ribu tahun, atau berapa ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya, bhikkhu, terdapat sebuah gunung batu dengan panjang satu yojana, lebar satu yojana, dan tingginya satu yojana, tanpa lubang atau celah, sebuah batu padat yang besar. [20] Di akhir setiap seratus tahun seseorang akan menggosoknya satu kali dengan sehelai kain halus. Dengan usaha ini gunung batu itu lama-kelamaan akan terkikis habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Begitu lamanya satu kappa itu, bhikkhu. Dan dari kappa-kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukup untuk terbebaskan darinya.”

(SN 15:5; II 181-82)

(4) Sungai Gangga

Di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai, seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Beliau: “Guru Gotama, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”

“Brahmana, banyak kappa yang telah berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Guru Gotama?”

“Mungkin saja, brahmana,” Sang Bhagavā berkata. “Bayangkan, brahmana, butiran pasir dari mulai Sungai Gangga ini bersumber hingga tempat sungai ini memasuki samudera raya; tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa butir, atau berapa ratus butir, atau berapa ribu butir, atau berapa ratus ribu butir. Brahmana, kappa-kappa yang telah lewat dan berlalu adalah jauh lebih banyak dari butiran pasir itu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, brahmana, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukup untuk terbebaskan darinya.”

(SN 15:8; II 183-84)

(5) Anjing yang Terikat

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu.

“Akan tiba saatnya, para bhikkhu, ketika samudera raya mengering dan menguap dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku katakan, tidak mengakhiri penderitaan bagi makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu.

“Akan tiba saatnya, para bhikkhu, ketika Sineru, Raja Pegunungan, terbakar dan musnah dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku katakan, tidak mengakhiri penderitaan bagi makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu.

“Akan tiba saatnya, para bhikkhu, ketika bumi besar ini, terbakar dan musnah dan tidak ada lagi, tetapi tetap saja, Aku katakan, tidak mengakhiri penderitaan bagi makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara terhalang oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu.

“Misalkan, para bhikkhu, seekor anjing terikat dengan tali pada sebuah tiang atau pilar yang kuat. Ia akan terus berlari berputar mengelilingi tiang atau pilar yang sama itu. Demikian pula, kaum duniawi yang tidak terlatih menganggap bentuk sebagai diri … perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri …. Ia akan terus berlari berputar mengelilingi bentuk, mengelilingi perasaan, mengelilingi persepsi, mengelilingi bentukan-bentukan kehendak, mengelilingi kesadaran. Karena ia terus berlari berputar mengelilingi semua itu, maka ia tidak terbebaskan dari bentuk, tidak terbebaskan dari perasaan, tidak terbebaskan dari persepsi, tidak terbebaskan dari bentukan-bentukan kehendak, tidak terbebaskan dari kesadaran. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, penuaan, dan kematian; tidak terbebaskan dari kesedihan, ratapan, kesakitan, kekecewaan, dan keputus-asaan; tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan.

(SN 22:99; II 149-50)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB I)
« Reply #11 on: 06 October 2011, 11:14:48 PM »
Catatan Bab 1:

[1] Raja Pasenadi adalah penguasa negeri Kosala, yang beribukota Sāvatthī. Jetavana, hutan Pangeran Jeta, yang juga dikenal sebagai Taman Anāthapiṇḍika karena dibeli untuk Sang Buddha oleh sang dermawan kaya-raya Anāthapiṇḍika. Nikāya-nikāya menggambarkan Pasenadi sebagai salah satu pengikut awam Sang Buddha yang paling berbakti, walaupun tidak pernah disebutkan bahwa ia mencapai tingkat pencapaian apa pun. Keseluruhan satu bab dari Saṃyutta Nikāya - Kosalasaṃyutta (Bab 3) – mencatat percakapannya dengan Sang Buddha.

[2] Ketika membicarakan Arahant, Sang Buddha tidak menggambarkan takdirnya sebagai “penuaan dan kematian,” tetapi hanya sebagai hancurnya dan ditinggalkannya jasmani. Hal ini adalah karena Arahant, karena terbebas dari segala gagasan “aku” dan “milikku,” tidak menganggap kerusakan dan kehancuran jasmani sebagai penuaan dan kematian dari “aku.”

[3] Devadūta. Menurut legenda, sewaktu Sang Bodhisatta masih menjadi seorang pangeran yang menetap di istana, ia bertemu dengan seorang tua, orang sakit, dan orang mati, pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Penemuan ini menghancurkan kepuasan keduniawiannya dan menggugahnya untuk mencari jalan menuju kebebasan dari penderitaan. Komentar mengatakan bahwa ketiga sosok itu adalah para dewa yang menyamar yang diutus untuk menyadarkan Sang Bodhisatta akan misinya. Demikianlah usia-tua, penyakit, dan kematian disebut “utusan surgawi.”

[4] Yama adalah dewa legenda dari alam bawah, yang memberikan keputusan pada si orang mati dan mengirim mereka menuju takdir mereka di masa depan. Menurut beberapa kisah, ia melakukan hal itu hanya dengan memegang cermin di hadapan arwah si orang mati yang memantulkan perbuatan-perbuatan baik dan buruk mereka.

[5] Kecenderungan tersembunyi (anusaya) adalah watak terhadap kekotoran yang tertidur dalam batin dan menjadi aktif jika terprovokasi. Beberapa teks, seperti yang sekarang ini, menyebutkan tiga kecenderungan tersembunyi: kecenderungan pada nafsu (rāgānusaya) akan perasaan menyenangkan; pada penolakan (paṭighānusaya) akan perasaan menyakitkan; dan pada kebodohan (avijjānusaya) sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Teks-teks lain menyebutkan tujuh kecenderungan tersembunyi: pada nafsu indria, penolakan, pandangan, keragu-raguan, keangkuhan, kemelekatan pada penjelmaan, dan kebodohan.

[6] Spk: Jalan membebaskan diri adalah konsentrasi, sang jalan, dan buah. Ia tidak mengetahui hal ini; satu-satunya jalan membebaskan diri yang ia ketahui adalah kenikmatan indria.

[7] Lima istilah ini merupakan pola utama bagi perenungan. “Asal mula dan lenyapnya” (samudaya, atthaṅgama) menunjukkan karakteristik ketidak-kekalan. Tentang triad kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri (assāda, ādinava, nissaraṇa), baca pp.186-87.
   
[8] Lanjutan ini menjelaskan bahwa “siswa mulia yang terlatih” yang sedang digambarkan adalah Arahant, yang sepenuhnya bebas dari kecenderungan pada penolakan, nafsu, dan kebodohan. Akan tetapi, walaupun Arahant mampu mempertahankan keseimbangan sempurna terhadap sakit jasmani, praktisi biasa juga masih mungkin untuk meniru Arahant dengan berusaha mengatasi kekesalan dan kesedihan ketika mengalami perasaan menyakitkan jasmani. Semua orang yang memiliki jasmani, termasuk Sang Buddha, tunduk pada sakit jasmani. Suatu tanda kematangan spiritual adalah kemampuan menahankan rasa sakit tanpa diliputi oleh rasa sakit itu.

[9] Kata benda paritassanā diturunkan dari kata kerja paritassati, yang bermakna sama dengan Skt paritṛṣyati, “ketagihan, dahaga akan”; kata ini berhubungan secara etimologi dengan taṇhā, nafsu. Akan tetapi, dalam Pali kata kerja akar itu  telah digabungkan dengan tasati = takut, gemetar, dan dengan demikian turunan kata bendanya seperti paritassanā dan paritasita juga memperoleh makna yang diturunkan dari tasati. Pertemuan makna ini, yang nyata terbukti dalam Nikāya-nikāya, ditegaskan lagi dalam komentar. Saya telah mencoba untuk menangkap kedua nuansa dengan menerjemahkan kata kerja paritassati “bergejolak” dan kata benda paritassanā “gejolak.” Walaupun Spk memahami paritassanā di sini dalam makna nafsu, teks tampaknya menekankan bhaya-paritassanā, “gejolak sebagai ketakutan.”

[10] Kaum duniawi yang tidak terlatih adalah seorang yang tidak memiliki pengetahuan doktrin Dhamma (ditegaskan oleh kata akovida, “tidak terampil”) dan latihan praktik dalam Dhamma (ditegaskan oleh kata avinita, “tidak disiplin”). Kaum duniawi bukanlah “pengikut para mulia”, yaitu, pengikut Sang Buddha dan para siswa mulia, karena ia tidak memiliki mata kebijaksanaan yang melihat kebenaran yang telah mereka lihat. “Para Mulia” (ariya) dan “orang-orang baik” (sappurisa) adalah bersinonim.

Teks di sini menguraikan dua puluh jenis pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhī), yang diperoleh dengan menempatkan diri dalam empat cara sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang menjadi identitas personal (sakkāya). Pandangan identitas adalah salah satu dari tiga belenggu yang harus dilenyapkan pada tingkat memasuki-arus, tingkat pertama dari empat tingkat pencapaian.

Spk: Ia menganggap bentuk sebagai diri (rūpaṃ attato samanupassati), dengan menganggap bentuk dan diri sebagai tidak berbeda, seperti halnya api dan sebuah lampu minyak dan warnanya tidak dapat dibedakan. Ia menganggap diri sebagai memiliki bentuk (rūpavantaṃ attānaṃ), ketika ia menganggap yang tidak berbentuk (yaitu, pikiran atau faktor-faktor batin) sebagai diri yang memiliki bentuk, seperti halnya sebatang pohon yang memiliki bayangan; bentuk sebagai di dalam diri (attani rūpaṃ), ketika ia menganggap yang tidak berbentuk (batin) sebagai diri yang di dalamnya bentuk itu terletak, seperti halnya aroma di dalam bunga;  diri sebagai di dalam bentuk (rūpasmiṃ attānaṃ), ketika ia menganggap yang tanpa bentuk (batin) sebagai diri yang terletak di dalam bentuk, seperti halnya sebutir permata di dalam sebuah peti.

[11] Siswa mulia ini diasumsikan minimal adalah seorang pemasuk-arus.

[12] Mahākaccāna adalah siswa yang unggul dalam memberikan analisis terperinci dari pernyataan ringkas Sang Buddha. Mengenai riwayat dan ajaran-ajarannya, baca Nyanaponika and Hecker, Great Disciples of the Buddha, bab 6.

[13] Sakka, penguasa para deva di alam surga Tāvatiṃsa, adalah seorang pengikut Sang Buddha. Baca SN bab 11.

[14] Papañcasaññāsaṅkhā. Makna dari kata majemuk ini tidak dijelaskan dalam Nikāya-nikāya. Kata ini tampaknya merujuk pada persepsi-persepsi  dan gagasan-gagasan yang telah “terinfeksi” oleh prasangka subjektif, “dijelaskan” oleh kecenderungan pada nafsu, keangkuhan, dan pandangan-pandangan menyimpang. Menurut komentar, nafsu, keangkuhan, dan pandangan-pandangan adalah tiga faktor yang bertanggung jawab pada penjelasan konseptual (papañca). Pembahasan terperinci atas ungkapan ini terdapat dalam Ñāṇananda, Concept and Reality in Early Buddhism Thought.

[15] Sv: Mengejar (pariyesanā) adalah mengejar objek-objek seperti bentuk-bentuk terlihat, dan sebagainya, dan perolehan (lābha) adalah mendapatkan objek-objek itu. Pengambilan-keputusan (vinicchaya) adalah memutuskan berapa banyak untuk diri sendiri dan berapa banyak untuk diberikan kepada orang lain; berapa banyak untuk digunakan dan berapa banyak untuk disimpan, dan sebagainya.

[16] Keserakahan, kebencian, dan kebodohan (lobha, dosa, moha) adalah tiga “akar tidak bermanfaat” – penyebab-penyebab akar dari segala kekotoran batin dan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat; baca p.146.

[17] Anamataggo ‘yaṃ bhikkhave saṃsāro. Makna asli dari anamatagga tidak dapat dipastikan. Spk mengemasnya sebagai “memiliki awal yang tidak dapat ditentukan,” menjelaskan: “Bahkan jika harus dikejar dengan pengetahuan selama seratus atau seribu tahun, awalnya tetap tidak dapat ditentukan, dengan awal yang tidak diketahui. Tidaklah mungkin untuk mengetahui awalnya dari sini atau dari sana”; maknanya adalah tanpa suatu batasan titik awal atau akhir. Saṃsāra adalah proses dari kelompok-kelompok unsur kehidupan yang berturut-turut tanpa terputus.

[18] Jambudipa. “Tanah jambu,” sub-benua India.

[19] Kappa. Ternyata yang dimaksudkan adalah mahākappa,  “kappa besar”, rentang waktu yang diperlukan bagi sistem dunia untuk terbentuk, berkembang, dan musnah. Masing-masing mahākappa terdiri dari empat asaṅkheyyakappa, masing-masing periode pengembangan, stabil, penyusutan, dan kehancuran. Untuk pembahasan kosmologi Buddhis awal, baca Gethin, The Foundation of Buddhism, pp.112-15.

[20] Satu yojana kira-kira tujuh mil.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #12 on: 07 October 2011, 09:12:05 PM »

BAB II
PENDAHULUAN


Gambaran kondisi manusia yang terdapat dalam Nikāya-nikāya, seperti yang tergambar pada bab sebelumnya, adalah latar belakang yang darinya manifestasi Sang Buddha di dunia ini mendapatkan signifikansi tinggi dan dalam. Jika kita tidak memandang Sang Buddha pada latar belakang multi-dimensi ini, yang menjangkau dari yang paling personal dan dorongan individual pada saat ini hingga yang luas, irama waktu kosmis yang bukan-personal, maka segala interpretasi yang akan kita peroleh sehubungan dengan peranNya pasti tidak lengkap. Bukannya menangkap sudut pandang para penyusun Nikāya, interpretasi kita malah akan banyak dipengaruhi oleh asumsi kita seperti halnya oleh mereka, bahkan mungkin lebih. Bergantung pada prasangka dan kecenderungan kita, kita mungkin memilih untuk menganggap Sang Buddha sebagai seorang tokoh pembaruan liberal etis dari paham Brahmanisme yang merosot, sebagai seorang tokoh besar kemanusiaan sekuler, sebagai seorang empiris radikal, sebagai seorang psikolog kehidupan, sebagai pendukung agnostik, atau sebagai pelopor aliran intelektual yang sesuai dengan khayalan kita. Sang Buddha yang menatap balik kepada kita melalui teks-teks akan sangat merefleksikan diri kita sendiri, terlalu kecil untuk suatu gambaran Yang Tercerahkan.

Mungkin dalam menerjemahkan literatur religius kuno kita tidak akan pernah sepenuhnya menghindari penyisipan diri kita dan nilai-nilai kita sendiri ke dalam topik yang sedang kita terjemahkan. Akan tetapi, walaupun kita tidak akan pernah mencapai transparansi sempurna, namun kita dapat membatasi dampak penyimpangan personal pada proses penerjemahan dengan memberikan penghormatan pada kata-kata dalam teks. Ketika kita memberikan penghormatan kepada Nikāya-nikāya, ketika kita menganggap serius kisah-kisah latar belakang itu pada manifestasi Sang Buddha di dunia ini, maka kita akan melihat bahwa Nikāya-nikāya itu berasal dari misi Beliau yang tidak kurang dari cakupan kosmis. Terhadap latar belakang alam semesta yang tanpa batasan waktu yang dapat dibayangkan, suatu alam semesta yang di dalamnya makhluk-makhluk hidup yang terselimuti dalam kegelapan kebodohan mengembara dengan terikat pada penderitaan usia tua, penyakit, dan kematian, Sang Buddha hadir sebagai “pembawa obor bagi manusia” (ukkādhāro manussānaṃ) membawa cahaya kebijaksanaan.  [1] Dalam kata-kata dari Teks II,1, kemunculanNya di dunia adalah “manifestasi penglihatan agung, cahaya agung, sinar agung.” Setelah menemukan untuk diriNya sendiri kedamaian kebebasan yang sempurna, Beliau menyalakan cahaya pengetahuan, yang mengungkapkan baik kebenaran-kebenaran yang harus kita lihat untuk diri kita sendiri maupun jalan praktik yang memuncak dalam penglihatan yang membebaskan ini.

Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha Gotama bukan hanya satu individu unik yang membawa kemunculan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke atas panggung sejarah manusia dan kemudian pensiun untuk selamanya. Melainkan, Beliau adalah pemenuhan suatu model primordial, anggota terbaru dari “dinasti” para Buddha kosmis yang terdiri dari tidak terhingga banyaknya para Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau dan dilestarikan oleh para Yang Tercerahkan Sempurna yang melanjutkan dengan tanpa batas ke masa depan. Buddhisme awal, bahkan di dalam sumber teks-teks kuno dari Nikāya-nikāya, telah mengenali pluralitas para Buddha yang semuanya selaras pada pola prilaku tertentu yang pasti, secara garis besar digambarkan dalam bagian pembukaan dari Mahāpadāna Sutta (Digha Nikāya 14, yang tidak dicantumkan dalam buku ini). Kata “Tathāgata,” yang digunakan dalam teks sebagai sebuah gelar bagi seorang Buddha, merujuk pada pemenuhan model primordial ini. Kata ini bermakna baik sebagai “Seorang yang telah datang demikian” (tathā āgata), yaitu, yang telah datang ke tengah-tengah kita dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah datang; maupun sebagai “Seorang yang telah pergi demikian” (tathā gata), yaitu, yang telah pergi menuju kedamaian tertinggi, Nibbāna, dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah pergi.

Walaupun Nikāya-nikāya menetapkan bahwa dalam sistem dunia mana pun, pada masa kapan pun, hanya muncul satu Buddha Yang Tercerahkan Sempurna, kemunculan para Buddha merupakan bagian alami dari proses kosmik. Bagaikan sebuah meteor dalam kegelapan langit malam, dari waktu ke waktu seorang Buddha akan muncul dalam latar belakang ruang dan waktu yang tanpa batas, menerangi cakrawala spiritual di dunia, memancarkan kecemerlangan kebijaksanaanNya pada mereka yang mampu melihat kebenaran-kebenaran yang beliau terangi. Makhluk yang kelak menjadi seorang Buddha disebut, dalam Pāli, seorang bodhisatta, sebuah kata yang lebih dikenal dalam bentuk Sanskrit, bodhisattva. Menurut tradisi Buddhis pada umumnya, seorang bodhisatta adalah seorang yang menjalani perjalanan panjang pengembangan spiritual dengan sadar termotivasi oleh cita-cita untuk mencapai Kebuddhaan di masa depan.  [2] Terinspirasi dan ditopang oleh belas kasih agung terhadap makhluk-makhluk hidup yang terperosok ke dalam penderitaan kelahiran dan kematian, seorang Bodhisatta memenuhi, selama banyak kappa kosmis, perjalanan sulit yang diperlukan untuk sepenuhnya menguasai prasyarat untuk mencapai penerangan sempurna. Ketika semua prasyarat ini lengkap terpenuhi, Beliau mencapai Kebuddhaan untuk menegakkan Dhamma di dunia. Seorang Buddha menemukan jalan menuju kebebasan yang telah lama hilang, “jalan tua” yang dilalui oleh para Buddha masa lampau yang memuncak dalam kebebasan Nibbāna yang tanpa batas. Setelah menemukan jalan itu dan melaluinya hingga titik akhir, kemudian Beliau mengajarkannya sepenuhnya kepada manusia sehingga banyak orang lain dapat memasuki jalan itu menuju kebebasan akhir.

Akan tetapi, hal ini tidak memadamkan fungsi seorang Buddha. Seorang Buddha memahami dan mengajarkan bukan hanya jalan menuju kebebasan tertinggi, kebahagiaan sempurna Nibbāna, tetapi juga jalan-jalan yang mengarah menuju berbagai jenis kebahagiaan duniawi yang bermanfaat yang juga diinginkan manusia. Seorang Buddha menyatakan baik jalan peningkatan duniawi yang memungkinkan makhluk-makhluk hidup menanamkan akar bermanfaat yang produktif pada kebahagiaan, kedamaian, dan keamanan dalam dimensi duniawi dari kehidupan mereka, dan jalan yang melampaui keduniawian untuk menuntun makhluk-makhluk menuju Nibbāna. Dengan demikian PeranNya adalah lebih luas daripada suatu fokus eksklusif pada aspek transenden seperti yang disiratkan oleh ajaranNya. Beliau bukan hanya seorang mentor para petapa, bukan hanya seorang guru teknik meditasi dan pandangan terang filosofis, melainkan seorang penuntun Dhamma dalam jangkauan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya; seorang yang mengungkapkan, menyatakan, dan menegakkan semua prinsip-prinsip integral untuk mengoreksi pemahaman dan perilaku bermanfaat, apakah duniawi atau pun transendental. Teks II,1 menggaris-bawahi dimensi altruistik yang luas dari karir seorang Buddha ketika teks ini memuji Sang Buddha sebagai satu orang yang muncul di dunia “demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.”

Nikāya-nikāya memberikan dua perspektif sehubungan dengan Sang Buddha sebagai seseorang, dan untuk menilai teks ini adalah penting  untuk menerima kedua perspektif ini dengan seimbang, tanpa membiarkan yang satu meniadakan yang lain. Suatu pandangan yang benar atas Sang Buddha hanya dapat dimunculkan dari penggabungan kedua perspektif ini, seperti halnya penglihatan benar atas suatu objek hanya dapat dimunculkan ketika perspektif yang ditampilkan oleh kedua mata bergabung di dalam otak menjadi satu gambaran tunggal. Salah satu perspektif, yang paling sering digaris-bawahi dalam penyajian Buddhisme modern, menunjukkan Sang Buddha sebagai seorang manusia yang, seperti juga manusia lainnya, harus berjuang dengan kelemahan-kelemahan umum dari sifat manusia untuk sampai pada kondisi Yang Tercerahkan. Setelah pencerahanNya pada usia tiga puluh lima, Beliau berjalan di antara kita selama empat puluh lima tahun sebagai seorang guru manusia yang bijaksana dan penuh belas kasih, berbagi pencapaianNya dengan orang lain dan memastikan bahwa ajaranNya akan bertahan lama di dunia setelah Beliau meninggal dunia. Ini adalah sisi alamiah Sang Buddha yang digambarkan paling menonjol dalam Nikāya-nikāya. Karena sangat bersesuaian dengan sikap agnostik kontemporer terhadap keyakinan religius ideal, hal ini memiliki sisi menarik bagi mereka yang menganut cara-cara pemikiran modern.

Aspek lain dari sosok Sang Buddha tampak agak aneh bagi kita, tetapi diyakini luas dalam tradisi Buddhis dan bertindak sebagai landasan bagi pemujaan Buddhis populer. Walaupun sekunder dalam Nikāya-nikāya, namun kadang-kadang muncul secara begitu menyolok sehingga tidak dapat diabaikan, terlepas dari usaha-usaha para praktisi Buddhis modern untuk mengurangi nilainya atau merasionalisasi penyusupannya. Dari perspektif ini, Sang Buddha terlihat sebagai seorang yang telah melakukan persiapan bagi pencapaian tertinggi selama banyak kehidupan lampau yang tak terhingga dan ditakdirkan sejak lahir untuk memenuhi misiNya sebagai seorang guru dunia. Teks II,2 adalah sebuah contoh bagaimana Sang Buddha dilihat dari perspektif ini. Di sini, dikatakan, Sang Calon Buddha turun dengan penuh kesadaran dari alam surga Tusita ke dalam rahim ibunya; konsepsi dan kelahirannya disertai dengan keajaiban; para dewa menyembah bayi yang baru lahir; dan segera setelah Beliau dilahirkan, Beliau berjalan tujuh langkah dan menyerukan takdir masa depanNya. Jelas, bagi para penyusun sutta seperti ini, Sang Buddha telah ditakdirkan untuk mencapai Kebuddhaan bahkan sebelum konsepsiNya dan dengan demikian perjuangannya untuk mencapai pencerahan adalah sebuah pertempuran yang hasilnya telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi, paragraf terakhir dari sutta ini, secara ironis mendengar kembali gambaran realistis dari Sang Buddha. Apa yang dianggap oleh Sang Buddha sendiri sebagai sesuatu yang menakjubkan yang bukan merupakan keajaiban yang menyertai konsepsi dan kelahiranNya, tetapi perhatianNya dan pemahaman jernih di tengah-tengah perasaan, pikiran, dan persepsi.

Tiga teks dalam bagian 3 adalah kisah biografi yang konsisten dengan sudut pandang naturalis. Teks-teks ini memberikan kepada kita suatu potret Sang Buddha yang sebenarnya dalam kenyataannya, secara murni naturalis, menyentuh dalam kemampuannya untuk menyampaikan pandangan terang psikologis mendalam dengan teknik penggambaran minimal. Dalam Teks II, 3(1) kita membaca tentang pelepasan keduniawianNya, latihanNya di bawah dua guru meditasi terkenal, kekecewaanNya pada ajaran-ajaran mereka, perjuanganNya sendirian, dan kemenanganNya dalam mencapai Keabadian. Teks II, 3(2) mengisi celah narasi di atas dengan kisah terperinci praktik Sang Bodhisatta dalam menyiksa diri, yang anehnya tidak terdapat pada khotbah sebelumnya. Teks ini juga memberikan kita penggambaran klasik dari pengalaman pencerahan seperti pencapaian empat jhāna, kondisi-kondisi meditasi mendalam, diikuti dengan ketiga vijjā atau jenis-jenis pengetahuan yang lebih tinggi: pengetahuan mengingat kehidupan lampau, pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, dan pengetahuan hancurnya noda-noda. Sementara teks ini menyampaikan kesan bahwa pengetahuan terakhir muncul dalam pikiran Sang Buddha secara tiba-tiba dan intuisi spontan, Teks II, 3(3) mengoreksi kesan ini dengan sebuah kisah Sang Bodhisatta pada malam menjelang pencerahannya merenungkan secara mendalam pada penderitaan usia tua dan kematian. Kemudian Beliau secara metodis melacak penderitaan ini kembali kepada kondisinya melalui sebuah proses yang terlibat, pada setiap tahap, “perhatian seksama” (yoniso manasikāra) menuntun menuju “suatu penembusan melalui kebijaksanaan” (paññāya abhisamaya). Proses penyelidikan ini memuncak dalam penemuan sebab-akibat yang saling bergantungan, yang mana menjadi batu landasan filosofis dari ajaranNya.

Adalah penting untuk menekankan bahwa, seperti disajikan di sini dan di tempat lain dalam Nikāya-nikāya (baca di bawah, pp.353-59), sebab-akibat yang saling bergantungan tidak menyiratkan suatu perayaan kegembiraan dari segala sesuatu yang saling berkaitan melainkan suatu pengucapan tepat dari pola kondisionalitas dalam ketergantungan yang padanya penderitaan muncul dan lenyap. Dalam teks yang sama, Sang Buddha menyatakan bahwa Beliau menemukan jalan pencerahan hanya ketika Beliau menemukan jalan untuk mengakhiri sebab-akibat yang saling bergantungan. Demikianlah pencapaian lenyapnya sebab-akibat yang saling bergantungan, dan bukan sekadar penemuan aspek asal-mulanya, yang mempercepat pencerahan Sang Buddha. Perumpamaan kota tua, yang diperkenalkan kemudian dalam khotbah, mengilustrasikan poin bahwa pencerahan Sang Buddha bukanlah suatu peristiwa unik melainkan penemuan kembali “jalan tua” yang sama yang telah diikuti oleh para Buddha di masa lampau.

Teks II,4 melanjutkan narasi dari Teks II, 3(1), yang telah saya bagi dengan menggabungkan kedua versi alternatif dari pencarian Sang Buddha atas jalan pencerahan. Sekarang kita bergabung dengan Sang Buddha segera setelah pencerahanNya ketika Beliau merenungkan pertanyaan berat apakah akan berbagi pencapaianNya dengan dunia. Pada titik ini, di tengah-tengah suatu teks yang telah sangat luas muncul dengan begitu meyakinkan, sesosok dewa bernama Brahmā Sahampati turun dari alam surga untuk memohon agar Sang Buddha mengembara dan mengajarkan Dhamma demi manfaat dari mereka yang memiliki “sedikit debu di mata mereka.” Apakah adegan ini diinterpretasikan secara literal atau sebagai sebuah simbol undangan dari sebuah drama internal yang terjadi dalam pikiran Sang Buddha? Sulit untuk memberikan jawaban pasti atas pertanyaan ini; mungkin adegan ini bisa dipahami sebagai terjadi pada kedua tahap sekaligus. Bagaimana pun juga, kemunculan Brahmā pada titik ini menandai suatu pergeseran dari realisme yang mewarnai bagian awal dari sutta ini ke belakang pada modus simbolis-mistis. Transisi ini sekali lagi menegaskan signifikansi kosmis dari pencerahan Sang Buddha dan misi masa depanNya sebagai seorang guru.

Permohonan Brahmā akhirnya menang dan Sang Buddha setuju untuk mengajar. Sebagai penerima pertama ajaranNya Beliau memilih kelima petapa yang telah melayaniNya selama tahun-tahun praktik petapaanNya. Narasi ini memuncak dalam sebuah pernyataan singkat bahwa Sang Buddha memberikan instruksi kepada mereka dalam suatu cara sehingga mereka semua mencapai Keabadian Nibbāna untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi, tidak ada indikasi sehubungan dengan ajaran khusus apa yang ditanamkan Beliau kepada mereka ketika Beliau pertama bertemu dengan mereka setelah pencerahanNya. Ajaran itu adalah Khotbah Pertama itu sendiri, yang dikenal sebagai “Pemutaran Roda Dhamma.”

Sutta ini termasuk di sini sebagai Teks II,5. Ketika sutta dimulai, Sang Buddha menyatakan kepada kelima petapa bahwa Beliau telah menemukan “jalan tengah,” yang Beliau identifikasi dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di bawah cahaya kisah biografi sebelumnya, kita dapat memahami mengapa Sang Buddha memulai khotbah ini dengan cara ini. Kelima petapa pada awalnya menolak menerima pengakuan pencerahan Sang buddha dan menolakNya sebagai seorang yang telah mengkhianati panggilan dan kembali kepada kehidupan mewah. Demikianlah Beliau pertama-tama harus meyakinkan mereka bahwa, bukannya kembali ke kehidupan kenikmatan-diri, Beliau malah telah menemukan pendekatan baru menuju pencarian tanpa akhir demi pencerahan. Pendekatan baru ini, Beliau memberitahu mereka, tetap setia pada pelepasan kenikmatan indria namun menghindari penyiksaan diri sebagai tidak bermanfaat dan tidak produktif. Kemudian Beliau menjelaskan kepada mereka jalan benar menuju kebebasan, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang menghindari kedua ekstrim dan dengan demikian membangkitkan cahaya kebijaksanaan dan memuncak dalam hancurnya semua belenggu, Nibbāna.

Begitu Beliau telah menjernihkan kesalah-pahaman mereka, Sang Buddha kemudian menyatakan kebenaran-kebenaran yang Beliau tembus pada malam pencerahanNya. Ini adalah Empat Kebenaran Mulia. Beliau tidak hanya mengucapkan masing-masing kebenaran itu dan secara ringkas mendefinisikan maknanya, melainkan Beliau menjelaskan masing-masing kebenaran dalam tiga perspektif. Hal ini merupakan tiga “pemutaran roda Dhamma” yang dirujuk belakangan dalam khotbah ini. Sehubungan dengan masing-masing kebenaran, pemutaran pertama adalah kebijaksanaan yang menerangi ciri tertentu dari kebenaran mulia itu. Pemutaran ke dua adalah pemahaman bahwa masing-masing kebenaran mulia itu menuntut tugas tertentu untuk diselesaikan. Demikianlah kebenaran mulia pertama, kebenaran penderitaan, harus dipahami sepenuhnya; kebenaran ke dua, kebenaran asal-mula penderitaan atau nafsu, harus ditinggalkan; kebenaran ke tiga, kebenaran lenyapnya penderitaan, harus dicapai; dan kebenaran ke empat, kebenaran sang jalan, harus dikembangkan. Pemutaran ke tiga adalah pemahaman bahwa keempat fungsi sehubungan dengan Keempat Kebenaran Mulia telah diselesaikan: kebenaran penderitaan telah dipahami sepenuhnya; nafsu telah ditinggalkan; lenyapnya penderitaan telah dicapai; dan Sang Jalan telah  dikembangkan sepenuhnya. Hanya ketika Beliau telah memahami Keempat Kebenaran Mulia dalam ketiga pemutaran ini dan dua belas cara, Beliau mengatakan, maka Beliau dapat mengaku bahwa Beliau telah mencapai penerangan sempurna yang tidak terlampaui.

Dhammacakkappavattana Sutta sekali lagi mengilustrasikan perpaduan kedua gaya bahasa yang saya sebutkan sebelumnya. Khotbah ini berjalan hampir seluruhnya dalam cara realistis-naturalistis hingga kita mendekati akhir. Ketika Sang Buddha mengakhiri khotbahNya, signifikansi kosmis dari peristiwa ini dijelaskan oleh paragraf yang menunjukkan bagaimana para dewa dari tiap-tiap alam surga berturut-turut bersorak atas khotbah itu dan menyerukan berita baik itu ke atas pada para deva di alam yang lebih tinggi berikutnya. Pada waktu yang sama, keseluruhan sistem dunia bergoyang dan berguncang, dan cahaya gilang-gemilang melampaui cahaya para deva muncul di dunia. Kemudian, pada bagian akhir, kita kembali dari adegan agung ini kepada alam manusia yang normal, untuk melihat Sang Buddha secara singkat memuji Petapa Koṇḍañña karena memperoleh “penglihatan Dhamma yang tanpa noda dan bebas dari debu.” Dalam sepersekian detik, Pelita Ajaran telah disampaikan dari Guru kepada siswaNya, untuk memulai perjalanan di seluruh penjuru India dan seluruh Dunia.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #13 on: 07 October 2011, 09:14:05 PM »

II PEMBAWA CAHAYA

1. SATU ORANG

“Para bhikkhu, ada satu orang yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia. Siapakah satu orang itu? Adalah Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Beliau adalah satu orang itu.

“Para bhikkhu, ada satu orang yang muncul di dunia ini yang unik, tanpa tandingan, tanpa bandingan, tiada tara, tanpa lawan, tanpa saingan, yang terbaik di antara manusia. Siapakah satu orang itu? Adalah Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini adalah satu orang itu.

“Para bhikkhu, manifestasi satu orang itu adalah manifestasi penglihatan agung, cahaya agung, sinar agung; ini adalah manifestasi dari enam hal yang tidak terlampaui; pencapaian empat pengetahuan analitis; penembusan berbagai elemen, keragaman elemen; ini adalah pencapaian buah pengetahuan dan kebebasan; pencapaian buah memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Kearahattaan.  [3] Siapakah satu orang itu? Adalah Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini adalah satu orang itu.”

(AN 1: xiii, 1, 5, 6; I 22-23)

2. KONSEPSI DAN KELAHIRAN SANG BUDDHA

1. Demikinlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang duduk di aula pertemuan, di mana mereka berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika diskusi ini muncul di antara mereka: “Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan, betapa sakti dan berkuasanya Sang Tathāgata! Karena Beliau mampu mengetahui tentang para Buddha masa lampau – yang mencapai Nibbāna akhir, memotong [kekusutan] proliferasi, mematahkan siklus, mengakhiri lingkaran, dan mengatasi segala penderitaan – bahwa kelahiran para Bhagavā itu adalah seperti demikian, nama mereka adalah demikian, suku mereka adalah demikian, moralitas mereka adalah demikian, kualitas [konsentrasi] mereka adalah demikian, kebijaksanaan mereka adalah demikian, kediaman meditatif mereka  adalah demikian, kebebasan mereka adalah demikian.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.”  [4]

Akan tetapi, diskusi mereka terhenti; karena Sang Bhagavā bangun dari meditasiNya pada malam itu, memasuki aula pertemuan, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau bertanya kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan diskusi apakah yang terhenti?”

“Di sini, Yang Mulia, kami sedang duduk di aula pertemuan, di mana kami berkumpul setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, diskusi ini muncul di antara kami: ‘Sungguh mengagumkan, Teman-teman, sungguh menakjubkan ... kebebasan mereka adalah demikian.’ Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada kami: ‘Teman-teman, Para Tathāgata adalah mengagumkan dan memiliki kualitas-kualitas mengagumkan. Para Tathāgata adalah menakjubkan dan memiliki kualitas-kualitas menakjubkan.’ Ini adalah diskusi kami, Yang Mulia, yang terhenti ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah dengan lebih lengkap tentang kualitas-kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata.”

3. “Aku mendengar dan mempelajari ini, Yang Mulia, dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita.  [5]  Bahwa  dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, Ānanda, Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita.’ Ini kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

4. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

5. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Sepanjang umur kehidupan penuh Sang Bodhisatta berada di alam surga Tusita.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

6. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibuNya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

7. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan masuk ke dalam rahim ibuNya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui keagungan para deva muncul di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusia. Dan bahkan alam antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya,  cahaya terang yang tidak terukur melampaui keagungan para deva juga muncul di sana.  [6]  Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang, bergoncang dan bergetar, dan  sekali lagi cahaya terang yang tidak terukur melampaui keagungan para deva muncul di dunia.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

8. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibuNya, empat deva muda datang untuk menjagaNya di empat penjuru agar tidak ada manusia atau bukan-manusia atau siapapun dapat mencelakai Sang Bodhisatta atau ibuNya.’  [7]  Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

9. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta telah memasuki rahim ibuNya, sang ibu menjadi sungguh-sungguh bermoral, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan kelengahan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā …

14. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ’Para perempuan lain melahirkan setelah mengandung anaknya dalam rahim selama sembilan atau sepuluh bulan, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkanNya setelah mengandungNya selama tepat sepuluh bulan.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

15. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ’Para perempuan lain melahirkan dalam posisi duduk atau berbaring, tetapi tidak demikian dengan ibu Sang Bodhisatta. Ibu Sang Bodhisatta melahirkanNya dalam posisi berdiri.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

16. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, pertama-tama para deva menerimaNya, kemudian manusia.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

17. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, Beliau tidak menyentuh tanah. Empat deva muda menerimaNya dan mengangkatNya di depan sang ibu dengan mengatakan: “Bergembiralah, O Ratu, seorang putera dengan kekuasaan luar biasa telah engkau lahirkan.”’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

18. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, Beliau keluar dalam keadaan bersih, tidak berlumuran air atau cairan atau darah atau kotoran apapun juga, bersih, dan tanpa noda. Misalkan terdapat sebutir permata yang diletakkan di atas sehelai kain Kāsi, maka permata itu tidak mengotori kain atau kain mengotori permata. Mengapakah? Karena kemurnian keduanya. Demikian pula Sang Bodhisatta keluar ... bersih, dan tanpa noda.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

19. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, dua pancuran air memancar dari angkasa, satu sejuk dan satu hangat, untuk memandikan Sang Bodhisatta dan ibuNya.’ Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

20. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Segera setelah Sang Bodhisatta lahir, Beliau berdiri tegak dengan kaki menginjak tanah; kemudian Beliau berjalan tujuh langkah ke arah utara, dan dengan payung putih memayungiNya, Beliau mengamati tiap-tiap penjuru dan mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok: “Akulah yang tertinggi di dunia; Akulah yang terbaik di dunia; Akulah yang terkemuka di dunia. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir;  tidak ada lagi penjelmaan baru bagiKu.”’  [8]  Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.

21. “Aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: ‘Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, suatu cahaya yang tidak terukur yang melampaui keagungan para deva muncul di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusia. Dan bahkan alam antara yang tanpa dasar, kelam, gelap gulita, di mana bulan dan matahari, yang kuat dan perkasa, tidak dapat menjangkaunya, cahaya terang yang tidak terukur melampaui keagungan para deva juga muncul di sana.’ Dan makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana dapat saling melihat karena cahaya itu: “Sesungguhnya, Tuan, ada makhluk-makhluk lain yang terlahir kembali di sini!” Dan sepuluh ribu sistem dunia ini bergoyang dan bergoncang dan bergetar, dan di sana juga muncul cahaya terang yang tidak terukur melampaui keagungan para deva ... Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

22. “Karena itu, Ānanda, ingatlah ini juga sebagai kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Tathāgata: Di sini, Ānanda, bagi Sang Tathāgata perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya.  [9]  Ingatlah ini juga, Ānanda, sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

23. “Yang Mulia, karena bagi Sang Bhagavā perasaan-perasaan dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; persepsi-persepsi dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya; pikiran-pikiran dikenali pada saat munculnya, pada saat berlangsungnya, pada saat lenyapnya - Ini juga kuingat sebagai satu kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari Sang Bhagavā.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda.

(MN 123: Acchariya-abbhūta Sutta, diringkas; III 118-20; 122-24)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #14 on: 07 October 2011, 09:16:09 PM »
3. PENCARIAN PENCERAHAN

(1) Mencari Kondisi Kedamaian Luhur Tertinggi

5. “Para bhikkhu, ada dua jenis pencarian ini: pencarian mulia dan pencarian tidak mulia. Dan apakah pencarian tidak mulia? Di sini seorang yang tunduk pada kelahiran mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan dirinya tunduk pada penuaan,  ia mencari apa yang juga tunduk pada penuaan; dengan dirinya tunduk pada penyakit, ia mencari apa yang juga tunduk pada penyakit; dengan dirinya tunduk pada kematian, ia mencari apa yang juga tunduk pada kematian; dengan dirinya tunduk pada dukacita, ia mencari apa yang juga tunduk pada dukacita; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, ia mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran.

6-11. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian; pada dukacita dan kekotoran? Istri dan anak-anak, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak: perolehan-perolehan ini adalah tunduk pada kelahiran. Perolehan-perolehan ini  tunduk pada kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian; pada dukacita dan kekotoran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kelahiran … pada dukacita dan kekotoran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran ... pada dukacita dan kekotoran.  [10]

12. “Dan apakah pencarian mulia? Di sini seseorang yang tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada dukacita, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Ini adalah pencarian mulia.

13. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga, dengan diriKu yang tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan diriKu yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran. Kemudian Aku merenungkan: ‘Mengapa, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran? Mengapa, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran? Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna. Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Nibbāna.’

14. “Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan, walaupun ibu dan ayahku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

15. “Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, dalam mencari apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian luhur, Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku menyerukan, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dengan cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan kekosongan. [11]

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. Jadi Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung.  Dan Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guruKu, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan menuju Nibbāna, tetapi hanya menuntun menuju kelahiran kembali di dalam landasan kekosongan.’  [12] Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

16. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian luhur, Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’  Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku menyerukan, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dengan cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.  [13]

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, temanKu dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju Nibbāna, tetapi hanya menuju kelahiran kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

17. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian luhur, Aku mengembara secara bertahap melawati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Uruvelā di dekat Senānigama. Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang berniat untuk berusaha.’ Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’  [14]

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada dukacita, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘KebebasanKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’

(dari MN 26: Ariyapariyesana Sutta; I 160-67)
« Last Edit: 07 October 2011, 09:19:05 PM by Indra »