//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Jurnal Satria  (Read 30486 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Jangan Meremehkan Pengalaman Mistik Bertemu Yesus
« Reply #60 on: 22 June 2011, 11:44:10 AM »
 [at]  Blacquejacque

Tidak ada yang perlu 'dimaafkan'. Seperti saya bilang, bebas saja orang posting, dan bebas pula orang lain menimpali juga sesuai pengalamannya. Dan benar, saya memindahkannya karena alasan tersebut.

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Jangan Meremehkan Pengalaman Mistik Bertemu Yesus
« Reply #61 on: 22 June 2011, 12:12:45 PM »
Yesusnya botak gak?
i'm just a mammal with troubled soul



Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Jurnal Satria
« Reply #62 on: 16 July 2011, 10:39:43 PM »
Seperti biasa, senja hari ini aku bersiap-siap mengenakan kaos kaki dan sepatu hendak berolahraga lari ke bukit Gandola. Rencananya nanti di sana, aku akan bermeditasi sambil melepas lelah. Ini merupakan aktifitas yang sudah berlangsung lama secara rutin aku lakukan.

Lari merupakan olahraga yang juga meditasi bagiku. Karena di dalamnya terdapat unsur latihan pengendalian tubuh dan pikiran. Dengan bergerak lari, saya meneguhkan tekad untuk sejenak “lari” dari kehidupan yang menggelisahkan. Dengan mengatasi kemalasan, dan memperkuat Viriya (semangat) aku terus melesat menembus angin, belari sekecang yang aku dapat.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak problematika hidup yang aku pikirkan, termasuk problem “perang pikiran” yang kulakukan di forum-forum. Masalah hidup memang bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi. Walaupun demikian, aku harus memberi waktu kepada pikiran untuk beristirahat. Oleh karena itu dengan olahraga lari, aku lari dari kehidupan untuk memberi waktu istirahat sejenak kepada pikiran.   

Dengan memusatkan perhatian kepada objek nafas sebagai objek utama, serta menyadari seluruh gerakan tubuh, demikianlah hal yang aku praktikan dalam berlari. Setiap tarikan dan hembusan nafas, menjadi daya magnet yang menarik pikiran untuk senantiasa memperhatikan.

Mula-mula, di dalam pikiran ini masih begitu berkecamuk berbagai problem kehidupan. Pikiran melayang ke sana kemari. Tetapi seiring dengan langkahnya kaki, pikiran itu terpikat oleh nafas yang keluar masuk dengan tersengal-sengal. Ini membuat pikiran tidak terlalu melayang-layang lagi. Tetapi seringkali pikiran masih terganggu oleh objek-objek indah yang ditemui selama perjalanan.

Seiring dengan jarak yang ditempuh, batinpun berkembang. Kini pikiranku lebih fokus kepada keluar masuknya nafas dan tidak tertarik lagi dengan objek indah apapun yang tampak di perjalanan. Setiap kali ada objek indah yang muncul, seperti misalnya ada perempuan cantik dan seksi yang begitu menggoda untuk dipandang, maka segera aku tundukan wajah, karena aku tahu kecantikan perempuan itu bisa mengganggu kosentrasi dan melenyapkan rasa suka yang muncul dari sifat konsentrasi itu. Setelah keadaan ini dipertahankan beberapa lama, perasaan menyenangkan yang muncul akibat perhatian terhadap nafas yang teguh menjadi semakin kuat, dan aku semakin tidak tertarik dengan objek apapun di luar sana.

Sesampainya di bukit Gandola, aku membeli air minum sekedar untuk menghilangkan rasa dahaga. Kemudian aku memilih tempat yang kupikir cocok untuk beristirahat dan bermeditasi. Uh segarnya, duduk dibukit hijau setelah lelah berkeringat diterpa angin sepoi-sepoi. Air minumpun rasanya 7 kali lebih nikmat dari biasanya.

Dari bukti Gandola, luasnya kota Bandung terliha dengan jelas. Gedung-degung tinggi terlihat menjadi kecil-kecil sekali. Lengkungan bumi di sana terlihat menakjubkan. Aku merasa berada di atas awan. Lalu aku mulai memejamkan mata, meninggalkan segala keindahan itu, menegakan punggung dan merapakan kaki untuk mulai bermeditasi.

Uh, ternyata meditasi itu tidak mudah. Sudah lama aku memusatkan perhatian kepada nafas, keluar masuk, keluar masuk dan terus begitu, tapi rasanya tidak ada hasil memuaskan yang bisa didapatkan. Pikiranku sulit sekali menyatu dan sering dihinggapi dengan berbagai bayangan dan pemikiran. Tak jarang, aku teringat kepada perdebatan-perdebatan sengit yang aku lakukan di forum-forum diskusi. Oh, ternyata perdebatan-perdebatan seperti itu membuatku menempuh jalan yang sulit di dalam meditasi. Tapi aku tidak berputus asa, dengan harapan mencapai pencerahan, aku lanjutkan bermeditasi.

Alam semesta tampak meredup. Matahari tampak mulai terbenam di ufuk barat mengingatkan aku pada umur yang tak lama lagi juga akan terbenam seperti matahari tersebut. Betapa cepat waktu berlalu, kini aku semakin tua. Orang tuaku juga semakin tua, membutuhkan perlindungan dan perawatan dariku sebagai anaknya, tapi aku masih terlalu sibuk dengan urusanku sendiri dan keluarga. Anak-anakku butuh waktu untuk bermain dan belajar bersamaku, tapi aku telah menghabiskan waktu untuk terus bekerja. Sementara ditempat kerjaku, seringkali aku diperlakukan tidak adil oleh teman dan atasanku. Semua perenungan ini akhirnya menimbulkan rasa kemendesakan (samvega) bagi diriku untuk segera mencari jalan keselamatan. Maka aku bertekad, tak akan berhenti bermeditasi sebelum sampai pada pencerahan yang aku harapkan.

Matahari beberapa detik lagi akan tenggelam sepenuhnya dan aku masih belum mencapai pencerahan, maka akankan aku mati sebelum sampai pada kebahagiaan hidup yang sejati? Alam menjadi gelap. Dilangit tak kulihat bintang-bintang. Hanya di bawah sana, bintang-bintang lampu perkotaan yang berkelap kelip. Dan di salah satu sudut kota, tampak meluncur keangkasa kembang api yang berwarna-warni. Sejenak kunikmati indahnya kota Bandung di malam hari, sebelum kulanjutkan meditasi.

Suara adzan berkumandang, seharusnya aku segera berwudhlu untuk menunaikan shalat. Tapi aku tak ingin beranjak dari meditasiku sebelum sampai pada pencerahan yang aku harapkan. Aku berhenti sejenak dari meditasi untuk mendengarkan suara adzan. Setelah itu aku lanjutkan bermeditasi. Dalam setiap tarikan nafas, aku membaca subhanallah. Dan pada setiap hembusan nafas, aku membaca alhamdulillah. Hal ini juga  pernah disarankan kepadaku, oleh umat buddhis, kawan diskusiku di forum DC.

Sebenarnya semangat meditasiku tidak sekuat dulu lagi, sejak banyak umat buddhis di forum-forum buddhis yang berdebat dengaku, mempersalahkan dan mengejekku, aku menjadi tidak terlalu bersemangat lagi bermeditasi. Tapi aku sadar, bahwa itu semua akibat persepsiku yang keliru saja. Ajaran sang Buddha ditebarkan untuk siapa saja, bukan hanya milik mereka yang mengaku diri umat Buddha. Oleh karena itu, dengan melupakan segenap perdebatan, dan berbagai gejolak pikiran, aku meneruskan meditasi.

Malam semakin kelam dan sepi. Tadi di ujung sana masih ada dua orang muda mudi yang sedang pacaran, kini mereka telah beranjak pergi. Kini, tinggal aku sendiri dibukit ini yang dengan susah payah terus berjuang untuk mencapai pencerahan spiritual.

Bandanku terasa sakit. Mungkin juga karena masuk angin, karena sehabis berkeringat kemudian berangin-angin ditengah perbukitan, diterpa udara tanpa tedeng aling-aling. Nyamuk-nyamuk mulai menggigit, tapi aku berusaha bertahan pada posisiku, tidak bergerak. Kadang-kadang muncul gangguan pikiran, “nyamuk-nyamuk ini menggigiti aku, bagaimana kalau aku nanti terkena penyakit DBD?” tapi segera kualihkan perhatian kepada nafas, “masuk, masuk, masuk”, “keluar, keluar, keluar”, meninggalkan segala pikiran. Maka dari itu, aku tak peduli dibukit itu sendiri, tak peduli gelap malam, tak peduli kalau kiranya ada ular atau hantu jahat berkeliaran, karena setelah memaksakan diri memusatkan perhatian terhadap nafas, aku menjadi tidak peduli pada apapun termasuk kesehatan diriku sendiri.

Bukannya pencerahan yang kudapatkan, meditasi malah semakin membosankan. Sekarang aku mencoba mengganti teknik meditasi. Tadi aku mencoba mengembangkan konsentrasi dengan teknik meditasi samatha. Mungkin aku tidak terlalu mahir dengan teknik meditasi tersebut. Jadi, kini aku mencoba menggantinya dengan meditasi Kracht. Dengan meletingkan punggung, dengan menggerakan otot (kontraksi), serta menekankannya pada cakra, aku mengembangkan konsentrasi. Dengan cara ini, ternyata konsentrasi lebih mudah berkembang.

Setelah konsentrasi cukup berkembang, aku kembali kepada teknik meditasi samatha + vipasana. Aku mulai mengamati seluruh fenomena yang muncul dan lenyap di dalam tubuh mentalku. Ketika itu, tiba-tiba “plak” serasa tanganku ada yang memukul. Aku membuka mata, tak kulihat sesuatupun. “oh, sepertinya itu tadi makhluk halus yang mencoba menggangguku.” Demikian gumamku dalam hati. “oh, tapi saat ini batinku belum cukup kuat untuk bisa melihat, wujud makhluk yang memukul lengaku tadi. Tunggulah sebentar lagi, bila aku berhasil membuka indra keenam ku, maka kau akan dapat kulihat, wahai makhluk halus.” Demikian gerutuku dalam hati. Lalu kulanjutkan bermeditasi.

Aduh..capek juga ngetiknya … bersambung aja ah ….

Bang Medho, tolong thread ku ini jangan dihapus, belum kelar nih!
« Last Edit: 16 July 2011, 11:05:30 PM by Satria »

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #63 on: 17 July 2011, 11:27:03 AM »
^duh kok gak bisa diedit lagi ya?

Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #64 on: 17 July 2011, 04:11:18 PM »
Setau saya om, itu karena masa waktu editnya uda abis. Makanya gak bisa diedit lagi.

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #65 on: 17 July 2011, 07:31:54 PM »
saya bikin cerpen tapi aga cerpan, jadi bersambung. eh mau diterusin malah tombol editnya ilang. ???????? :?

Offline bluppy

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.163
  • Reputasi: 65
  • Gender: Female
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #66 on: 17 July 2011, 08:31:50 PM »
kalau tidak salah
15 menit pertama bisa diedit
seterusnya sudah tidak bisa

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #67 on: 18 July 2011, 10:48:45 PM »
kalau tidak salah
15 menit pertama bisa diedit
seterusnya sudah tidak bisa

baru tau saya. nyesel dah gak diselesain. ntar kalo sambungannya di halaman 2, gak enak bacanya.

Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #68 on: 18 July 2011, 11:09:17 PM »
Masih bisa dihalaman 1 kok, om. Di lanjut aja ceritanya, gpp...





[mod]Post berulangnya sudah didelete.[/mod]
« Last Edit: 19 July 2011, 09:12:02 AM by Kainyn_Kutho »

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #69 on: 19 July 2011, 09:06:38 AM »
bukit Gandola itu tempat wisata yah?
i'm just a mammal with troubled soul



Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #70 on: 20 July 2011, 02:56:51 PM »
bukit Gandola itu tempat wisata yah?

ya. itu sebuah pegunungan di bandung utara. kalo sabtu sore, biasanya muda-mudi berkumpul di sana bwt pacaran. tempatnya tidak terlalu ramai, jadi enak juga bwt berlatih meditasi.

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #71 on: 20 July 2011, 02:58:50 PM »
Masih bisa dihalaman 1 kok, om. Di lanjut aja ceritanya, gpp...


terima kasih atas anjurannya. udah kepotong banyak komeng, jadi agak kurang selera nerusinnya. ntar aja ah, saya bikin cerpen yang baru aja.

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Senja Meditasi di Bukit Gandola
« Reply #72 on: 20 July 2011, 05:09:12 PM »
ya. itu sebuah pegunungan di bandung utara. kalo sabtu sore, biasanya muda-mudi berkumpul di sana bwt pacaran. tempatnya tidak terlalu ramai, jadi enak juga bwt berlatih meditasi.
emang ada di daerah bandung utara? dekat daerah mana ya?
Samma Vayama

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
membayar utang karma
« Reply #73 on: 27 July 2011, 08:18:05 PM »

Banyak tikus di rumahku. Hal itu sangat menjengkelkan. Entahlah kemana jalannya, tikus-tikus itu bisa masuk ke rumahku. Orangtuaku menyarankan agar aku memasang perangkap tikus atau memberinya racun agar tikus-tikus itu mati. Aku tidak segera menyetujuinya. Apalagi aku percaya dengan hukum karma. Percaya bahwa hewanpun punya perasaan seperti halnya manusia. Mereka juga ingin hidup, seperti halnya manusia. Dan mereka merasakan penderitaan maupun kebahagiaan.

Aku memikirkan, bagaimana caranya mengatasi tikus-tikus itu. Aku teringat cerita seorang kawan buddhis di Dhammacitta.org bahwa dia telah berhenti berperang dengan tikus dan nyamuk dengan cara menutup semua celah yang memungkinkan nyamuk dan tikus itu bisa masuk ke dalam rumah. Dengan cara seperti itu, tidak perlu lagi kita membunuh nyamuk maupun tikus. Cerita ini membuatku terdorong untuk melakukan hal yang sama. Kulihat ada beberapa lubang di langit-langit rumah, setelah kuamati dari sanalah tikus-tikus itu bermunculan.

Sejenak aku pandangi langit-langit rumah itu, aku berpikir “Bagaimana ya cara aku menutupinya? Disumpel pake kertas? Hmmm….percuma, pasti bisa dibobol ama tikus. Dipasangi triplek, duh gimana masangnya ya. Maklumlah, aku benar-benar bodoh dalam soal menggunakan perkakas-perkakas kayu. Bagaimana aku nyuruh tukang kayu aja untuk menutup celah itu? Tapi, masa sih aku harus mengeluarkan uang untuk sekedar ngurusin tikus-tikus bau ini?” Sebenarnya aku terlalu malas untuk ngurusin masalah tikus, jadi aku lupakan saja semunya.

Tapi bagaimanapun, adanya tikus-tikus itu membuatku aku dan anak-anakku kurang nyaman. Apalagi anakku yang kelas 4 SD, kalau aku sedang berada di kantor, dia sering masak sendiri di dapur. Kadang-kadang dia meninggalkan masakanya sampai gosong gara-gara takut pada tikus. Malah itu bisa menimbulkan bahaya yang sangat besar, seperti misalnya kebakaran. Aku akan menyesal tidak membunuh tikus-tikus itu, jika terjadi musibah besar hanya gara-gara anakku takut pada tikus. “Duh, gimana ya, aku bingung. Membunuh tikus aku takut pada karma buruk. Tapi membiarkan tikus, membuat anak-anakku sangat takut dan bisa menimbulkan bahaya.”

Sangat menjengkelkan, semakin hari jumlah tikus itu semakin banyak. Setelah dibiarkan, malah si tikus makin ngelunjak. Dia tidak takut lagi bermain-main di kakiku ketika aku sedang mengetik di komputer. Kadang-kadang, salah satu diantara mereka membuatku kaget, ketika aku konsentrasi dengan pekerjaan-pekerjaanku di komputer, tiba-tiba tikus itu melompat dihadapanku sampai ekornya mengenai hidungku. Teramatlah kurang ajarnya tikus-tikus itu. Sangat kesal aku dibuatnya.


Lalu, suatu hari aku ada ide. Aku percaya bahwa walaupun tikus-tikus itu tidak mengerti bahasa manusia, tapi kurasa mereka mengerti bahasa batin yang bersifat universal. Di dalam tingkat konsentrasi tertentu, terkadang aku jadi bisa mengerti bahasa hewan. Oleh karena itu, jika batinku cukup baik, maka  mungkin aku bisa berbicara kepada tikus-tikus itu agar mereka pergi dari rumahku.

Dengan sedikit rasa humor, aku membakar dupa. Aku percaya bahwa asap dupa itu bisa menjadi sarana pengantar pesan saya kepada para tikus di rumahku. Dengan sungguh-sungguh, sambil membakar dupa aku berkata, “Wahai para tikus yang ada di rumahku, sesungguhnya aku tidak mau membunuh kalian. Maka saya persilahkan kalian untuk pergi dari rumahku. Jika dalam jangka waktu 4 hari, kalian tidak pergi maka aku akan membunuh kalian semua dan jangan kalian salahkan aku.” Aku merasa berhak mengancam mereka.

Ajaib, esoknya tak satupun terlihat tikus berkeliaran di rumahku. Demikian juga hari kedua, ketiga dan keempat. Tapi pada hari kelima, tikus itu tampak berkeliaran lagi. Begitu melihat mereka, aku bergumam, “oh…kalau begitu berarti kalian ingin mati.” Aku segera berangkat ke pasar untuk membeli racun tikus dan kemudian menaruh racun itu dibawah lemari dapur.

Aku tak habis pikir, apa tikus-tikus itu telah salah tafsir dengan kata-kataku atau gimana ya. Aku bilang bahwa jika tikus-tikus tak pergi dalam jangka waktu 4 hari, maka aku akan membunuh mereka. Maksudku, setelah empat hari seharusnya tak ada satupun tikus yang tersisa di rumahku. Mungkinkah si tikus malah menafsirkan bahwa mereka harus pergi hanya selama 4 hari saja? Kok bisa ya tikus salah tafsir, kirain Cuma kawan-kawan diskusiku yang di DC aja yang bisa salah tafsir, eh ternyata tikus-tikus di rumahku juga bisa salah tafsir juga. Buktinya mereka malah pergi selama 4 hari dan di hari kelima datang lagi dengan jumlah yang tampak lebih banyak. Mungkin selama 4 hari itu mereka berlibur bersama keluarga mereka, trus pulang bawa teman-temannya ke rumah, jadi jumlah tikus makin banyak. Mungkin ayah atau ibu mereka berkata kepada anak-anak mereka, “Nak, mari kita pergi dari rumah ini selama 4 hari! Pemilik rumah ini akan membunuh kita bila kita tidak pergi selama 4 hari. Jadi, nanti hari ke lima kita bisa pulang lagi.” Eh, dasar tikus bodoh.

Tadinya sih, aku memberi waktu jangka 4 hari itu untuk memberi mereka waktu buat beres-beres tempat, nyari tumpangan baru dan angkut-angkut barang. Saya kira 4 hari itu waktunya sudah cukup. Dasar tikus dungu, bukannya pindahan malah piknik selama 4 hari, ngeselin banget. Tapi sekarang aku sudah menaruh racun. “Rasain tuh, kedunguan dan keserakahan kalian terhadap makanan yang bukan milik kalian akan membunuh kalian sendiri.” Demikian gerutuku dalam hati.

 
Keesokan harinya, tikus-tikus kecil tampak berjalan terseok-seok di lantai rumah. Aku memukul tikus itu pake sandal, “Dasar tikus bau, mati loe!” Tikus itu tampak sudah lemah akibat pengaruh racun, aku memukulnya pula. Beberapa ekor tikus lainnya yang agak sedikit besar dari tikus yang pertama aku temukan di bawah akuarium dan di belakang lemari. Lalu aku taruh mereka di dalam kertas koran, membungkusnya dengn kertas koran itu secara berlapis-lapis dan membakarnya di tempat sampah.

Tikus-tikus yang berukuran sedang ditemukan di mana-mana, aku segera membuangnya, mengubur atau membakarnya. Kupikir, kini rumahku akan terbebas dari hama tikus.

Keesokan harinya lagi, seekor tikus besar nongol dari balik lemari. Tikus ini sangat besar, mungkin bapaknya tikus-tikus kecil yang mati kemarin. Dia menatap ke arahku. “hus! Hus!” aku mengusir tikus itu. Tapi aneh, bukannya pergi, tikus itu malah berjalan pelan-pelan sempoyongan ke arahku. “eh buset, malah nyamperin kau!” aku menjauh karena merasa jijik dan takut digigit.

Rupanya tikus ini sudah kepayahan akibat racun. Dia lebih kuat bertahan hidup dan masih mampu berjalan, walaupun dari mulutnya darah sudah menetes-netes. Tikus itu terus mendekat ke arahku. Aku tengok kiri kanan untuk mencari pemukul, tapi tidak kutemukan sesuatu yang bisa aku gunakan untuk memukul kecuali lain lap lantai. Aku ambil kain itu lalu aku pukulkan ke tikus besar itu. Sejenak tikus itu berhenti dan menatapku. Dari sorot pandang matanya, seolah-olah dia berkata padaku, “mengapa kau membunuh kami, padahal kami hanya mencari makan. Kini aku tengah sekarat dan kesakitan, mohon jangan biarkan aku menderita lebih lama lagi, bunuhlah aku segera.” Lalu tikus itu terus berjalan mendekati aku.

Karena tikus itu tak bisa diusir pergi, aku pun diam saja sambil duduk bersila. Tak lama kemudian tikus itu sampai di depanku dengan tetesan-tetesan darah dari mulutnya, lalu dia kejang-kejang, sekarat, dan matilah dia. Aku kasihan melihatnya. Tapi harus bagaimana lagi, kupikir tidak seharusnya mereka tinggal di rumahku. Kalau toh mau mencari makan, kan mereka bisa tinggal di kebun, di kolong jembatan, di hutan atau dimana kek, asal jangan di rumahku. Aku menguburkan tikus itu.

Sore harinya, ketika aku hendak mengambil nasi di lemari makan, terasa dingin kakiku disentuh sesuatu. Ketika kulihat aku terkejut dan melompat, “eh, buset, ini tikus yang mau mati lagi!” mungkin itu adalah ibunya. Tikus itu melihat ke arahku, lalu dengan terseok-seok dia mendekati aku. Sangat penasaran, mengapa tikus-tikus ini mendekati aku kalau mau mati, apa sebenarnya yang mereka inginkan. Maka aku diam saja untuk menunggu apa yang ingin dilakukan tikus itu padaku.

Tikus besar itu berhenti tepat di depan ibu jari kaki kiriku. Dari gerak-geriknya, sepertinya dia memohon sesuatu. Seolah-olah dia berkata, “Tuan, aku ini adalah ibu dari anak-anak tikus yang telah anda bunuh. Suamiku juga telah mati menyusul anak-anakku. Kini giliranku untuk mati karena racun yang anda berikan kepada kami. Tuan, mohon ampunilah kami! Bila kami harus mati dengan cara seperti ini, mungkin ini sudah nasib kami, tapi mohon janganlah tuan membunuh seluruh keluargaku. Aku masih punya anak, seekor tikus yang masih sangat kecil, biarlahkan dia hidup! Biarkanlah dia hidup, Tuan!”

Glek! Aku menelan ludahku sendiri, karena kasihan melihat tikus itu. Badannya tampak bergetar dan matilah dia dalam posisi seperti sedang memohon di kakiku. Aku tidak tahu, kalau di rumahku masih ada tikus yang tersisa. Tapi sesudah kematian tikus yang mati di depan ibu jari kakiku itu, masih ku temukan seekor tikus yang juga sangat besar.

Malam harinya, seperti biasa, sebelum tidur aku bermeditasi terlebih dahulu barang setengah atau satu jam. Tapi ada yang lain dalam meditasiku kali ini, rasa ngantuk berat menyerangku, sehingga kira-kira baru 10 menit saja aku langsung merebahkan diri di kasur.

Dalam tidur aku bermimpi, aku mendengar suara-suara merintih kesakitan. Lalu aku mencari suara rintihan itu dan akhirnya kutemukan dua ekor tikus yang sedang berguling-guling sambil memegangi  perut mereka. Salah satu dari tikus itu berkata kepadaku, “Tega sekali kau meracuni kami, padahal kami hanya mencari makan! Tahukah kamu bahwa dengan meracuni kamu, itu sama seperti kamu tidak menyayangi bapak-bapakmu. Ketahuilah bahwa bapakmu dan bapak angkatmu, matinya akan seperti kami berguling-guling kesakitan.”

Lalu aku mendekati kedua tikus itu. Tiba-tiba mereka berubah menjadi kedua bapakku, yaitu bapak kandungku dan bapak angkatku. Keduanya berguling-guling memegangi perut kesakitan, dan mereka tengah menghadapi ajal.

Aku terbangun dan terkejut dengan mimpi itu. Kulihat jam di dinding menunjukan pukul 2.00. aku ingat, menurut orang tua, jika mimpi pada waktu sepertiga malam terakhir, maka mimpi itu bukan sembarang mimpi, melainkan mimpi yang akan menjadi kenyataan. “Astagfirullah hal adzim!” Demikian gumamku. “Ya Allah, aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk, dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan nama Allah yang maha pengampun, ampunilah segala dosa-dosaku, dan aku berlindung kepada Allah dari kejahatan mimpi buruk.” Lalu aku berwudhu dan shalat malam.

Setelah itu, beberapa hari rumahku sepi dari suara ribut-ribut aktifitas tikus. Tapi entah selang beberapa hari, tiba-tiba kulihat seekor tikus mungil melompat-lompat sangat lucu. Anakku yang paling kecil, yang berusia 2 tahun melihat tikus itu. Dia tertawa-tawa melihat lucunya perilaku si tikus kecil, lalu dia mengikuti kemana perginya si tikus kecil. Begitulah, setiap harinya anakku terhibur oleh tikus kecil yang lucu itu. Aku berkata pada anakku yang paling besar, “Tikus ini ketika kecil tampak sangat lucu dan menyenangkan, tapi kalau sudah besar bau dan menjengkelkan, apalagi kalau sudah berkembang biak.” Tapi aku tidak ingin membunuh tikus, karena ingat janjiku pada si ibu tukus beberapa hari yang lalu.

Setahun kemudian, tikus-tikus di rumahku telah banyak lagi. Aku tak mau membunuh tikus lagi. Kini setiap malam, aku menaruh sepiring makanan di dapur di bawah wastafel tempat cuci piring. Makanan itu selalu dihabiskan oleh para tikus di rumahku. Malam harinya, di dapur tidak terdengar ribut-ribut lagi. Mungkin mereka sudah tau di mana saya menyimpan makanan, lalu mereka makan sampai kenyang dan kembali tidur. Mereka tidak berkeliaran terlalu jauh dan tidak setiap waktu. Asal mereka telah kenyang, mereka berhenti membuat keributan.

Masih kulihat lubang di langit-langit rumah itu. Aku bisa menutupnya sekarang. Tapi biarlah saja tidak kututup. Sungguh aku merasa bersalah kepada tikus-tikus yang telah aku bantai setahun yang lalu. Untuk menebus kesalahanku pada tikus-tikus itu, kini aku melayani tikus-tikus keturunan mereka, menyisihkan rezeki setiap hari untuk memberikan mereka makanan. Jika nanti kurasa telah cukup bagiku membayar utang karmaku, barulah aku akan menutup lubang itu.

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: membayar utang karma
« Reply #74 on: 27 July 2011, 10:20:49 PM »
bro satria pernah gak kepikiran buat buku memuat cerita seperti ini.. ada bagus nya juga lho..
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148