seperti kata suhu medho, gak ada di tipitaka bukan berarti tidak benar...
hikmah yg perlu kita ambil justru dari sini kita melihat betapa rapuhnya kepercayaan itu dan betapa dasyatnya ajaran buddha yg terdapat di kalama sutta mengenai menerima sesuatu berdasarkan otoritas guru, buku, atau kata orang belaka...
betul, Dhamma itu tidak terbatas pada apa yg tertulis di dalam Tripitaka, nah apakah 31 alam kehidupan benar adanya ? [kembali kepertanyaan awal topik ini, susah jg seh, bakal terputer disitu terus
] apa kah harus dikaji dan dibuktikan ? bagaimana cara kita mengkaji dan membuktikannya ?
saya tertarik menganalisa kata2 anda: "ketika kita bicara Dhamma".
apa sih yg sering dibicarakan orang ttg "dhamma" ini, "dhamma" itu?
orang sering menganggap "dhamma" itu adalah sesuatu yg ada di buku yg labelnya buddhis, atau diomongin oleh pemuka agama yg labelnya juga buddhis. saya merasa sudah selayaknya pengertian dhamma dikembalikan kepada pengertian awal yg dimaksudkan buddha, yaitu sesuatu yg mutlak, yg tak lapuk oleh waktu, yg mistik.... bukan yg berbasiskan buku ataupun label2...
"dhamma" yg sering dibicarakan orang2 itu tidak lebih dari teori, hanya bentuk lain dari "kepercayaan" dan penerimaan otoritas tertentu...
jika Dhamma/kebenaran itu tanpa batasan kiab suci/label, cm merupakan teori dan hanya bentuk lain kepercayan serta merupakan penerimaan otoritas tertentu [cm mau tau aje
] apa yg menjadi kriteria, ini loh Dhamma ini loh bukan ? misalkan : apa bs saya katakan Fong Shui sebagai Dhamma/kebenaran ? apakah bs saya katakan ilmu ramal telapak tanggan, ramal menggunakan kartus (orang gypsi) bs dikatakan Dhamma/kebenaran ? apakah bs saya katakan al-kita-b katakan bagian dari Dhamma/kebenaran ?
jika kita dituntut mengkaji, mencerna dan mengalami, hal itu jg terjadi oleh orang di kepercayaan lain, makanya ada penganutnya yg mempercayai Fong Shui, Agama X, Ilmu ramal, Sai Baba dan lainnya, mereka tentu nya jg mengklaim bahwa itu lah yg benar/kebenaran...
NB: Tulisan bro Mor, keren yg di web MABINDO...