//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42903 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #75 on: 26 August 2010, 08:44:55 PM »
Tambahan 27  Cūḷahatthipadopama Sutta
3. Ia kan berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah yang besar ’.

dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’. Apakah empat ini?

26. yang baik’. [ ]Dan pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu selesai secara terperinci.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #76 on: 27 August 2010, 10:22:07 PM »
26  Ariyapariyesanā Sutta
Pencarian Mulia

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Teman Ānanda, telah lama sejak kami mendengar Dhamma dari mulut Sang Bhagavā. Baik sekali jika kami dapat mendengar khotbah demikian, Teman Ānanda.”Kalau begitu, silakan para mulia pergi ke pertapaan Brahmana Rammaka. Mungkin kalian akan mendengarkan khotbah Dhamma dari mulut Sang Bhagavā sendiri.”“Baik, Teman,” mereka menjawab.

3. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Taman Timur, ke Istana Ibu Migāra, untuk melewatkan hari.”“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. [161] Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Taman Timur, Istana Ibu Migāra, untuk melewatkan hari.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Pemandian Timur untuk mandi.”“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Pemandian Timur untuk mandi. Ketika Beliau telah selesai, Beliau keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah mengeringkan badan-Nya. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, pertapaan Brahmana Rammaka ada di dekat sini. Pertapaan itu indah dan menyenangkan. Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā pergi ke sana demi belas kasih-Nya.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju pertapaan Brahmana Rammaka. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang duduk bersama di pertapaan itu mendiskusikan Dhamma. Sang Bhagavā berdiri di luar pintu menunggu diskusi mereka berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa diskusi itu telah berakhir, Beliau berdeham dan mengetuk, dan para bhikkhu membuka pintu untuk Beliau. Sang Bhagavā masuk, duduk di tempat duduk yang telah disediakan, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah yang kalian diskusikan saat kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan apakah yang sedang kalian diskusikan yang terhenti?”

“Yang Mulia, diskusi kami yang terhenti adalah tentang Sang Bhagavā sendiri. Kemudian Sang Bhagavā datang.”

“Bagus, Para bhikkhu. Adalah selayaknya bagi kalian para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama dan mendiskusikan Dhamma. Ketika kalian berkumpul bersama, Para bhikkhu, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal ini: berdiskusi Dhamma atau berdiam dalam keheningan mulia.

(DUA JENIS PENCARIAN)

5. “Para bhikkhu, ada dua jenis pencarian ini: pencarian mulia dan pencarian tidak mulia. Dan apakah pencarian tidak mulia? Di sini, seorang yang tunduk pada kelahiran mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan dirinya tunduk pada penuaan, [162] ia mencari apa yang juga tunduk pada penuaan; dengan dirinya tunduk pada penyakit, ia mencari apa yang juga tunduk pada penyakit; dengan dirinya tunduk pada kematian, ia mencari apa yang juga tunduk pada kematian; dengan dirinya tunduk pada dukacita, ia mencari apa yang juga tunduk pada dukacita; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, ia mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran.

6. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kelahiran? Istri dan anak-anak tunduk pada kelahiran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kelahiran. Perolehan-perolehan ini [ ]tunduk pada kelahiran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran.

7. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penuaan? Istri dan anak-anak tunduk pada penuaan, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada penuaan. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penuaan; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penuaan, mencari apa yang juga tunduk pada penuaan.

8. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penyakit? Istri dan anak-anak tunduk pada penyakit, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada penyakit. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penyakit; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penyakit, mencari apa yang juga tunduk pada penyakit.

9. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kematian? Istri dan anak-anak tunduk pada kematian, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kematian. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kematian; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kematian, mencari apa yang juga tunduk pada kematian.

10. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada dukacita? Istri dan anak-anak tunduk pada dukacita, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada dukacita. Perolehan-perolehan ini tunduk pada dukacita; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada dukacita, mencari apa yang juga tunduk pada dukacita.

11. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kekotoran? Istri dan anak-anak tunduk pada kekotoran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kekotoran. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kekotoran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kekotoran, mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran.

12. “Dan apakah pencarian mulia? Di sini, seseorang yang tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, [163] mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penuaan, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, [ ]mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penyakit, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, [ ]mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kematian, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, [ ]mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada dukacita, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita, [ ]mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, [ ]mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Ini adalah pencarian mulia.

ko, itu yg digrsbwh.. uda bnr ya?

bersambung ...
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #77 on: 27 August 2010, 10:25:03 PM »
(PENCARIAN PENCERAHAN)

13. “Para bhikkhu, sebelum pencerahan-Ku, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga, dengan diri-Ku yang tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan diri-Ku yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran. Kemudian Aku merenungkan: ‘Mengapa, dengan diri-Ku sendiri tunduk pada kelahiran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran? Mengapa, dengan diri-Ku sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran? Bagaimana jika, dengan diri-Ku sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna. Bagaimana jika, dengan diri-Ku sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Nibbāna’.

14. “Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap kehidupan utama, walaupun ibu dan ayah-Ku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambut dan janggut-Ku, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

15. “Setelah meninggalkan keduniawian, Para bhikkhu, dalam mencari apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini’. Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana [164] dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung’. Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku menyerukan, ‘Aku mengetahui dan melihat’dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini’. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung, engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini’? Sebagai jawaban, ia menyatakan landasan kekosongan.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung’?

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung’?‘Demikianlah, Teman’.‘Adalah dengan cara ini, Teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung’.‘Suatu keuntungan bagi kita, Teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. Jadi, Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diri-Mu sendiri dengan pengetahuan langsung. [165] Dan Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diri-Mu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi, Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, Teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guru-Ku, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diri-Ku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi Aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, tidak menuntun menuju lenyapnya, tidak menuntun menuju kedamaian, tidak menuntun menuju pengetahuan langsung, tidak menuntun menuju Nibbāna, tetapi hanya menuntun menuju kemunculan kembali dalam landasan kekosongan’. [ ]Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

16. “Masih dalam pencarian, Para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini’. [ ]Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung’. Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku menyerukan, ‘Aku mengetahui dan melihat’dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini’. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini’? Sebagai jawaban, ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, [166] kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung’?

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung’?‘Demikianlah, Teman’.‘Adalah dengan cara ini, Teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diri-Ku sendiri dengan pengetahuan langsung’.—‘Suatu keuntungan bagi kita, Teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. Jadi, Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk diri-Mu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk diri-Mu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi, Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, Teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, teman-Ku dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diri-Ku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju Nibbāna, tetapi hanya menuju kemunculan kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi’. Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

17. “Masih dalam pencarian, Para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mengembara secara bertahap melewati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Senānigama di dekat Uruvelā. [167] Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang berniat untuk berusaha’. Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha’.

bersambung ...
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #78 on: 28 August 2010, 12:38:53 AM »
(PENCERAHAN)

18. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan diri-Ku sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan diri-Ku sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan diri-Ku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diri-Ku sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan diri-Ku sendiri tunduk pada dukacita, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan diri-Ku sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada-Ku: ‘Kebebasan-Ku tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran-Ku yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru’.

19. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan pemikiran logis, halus, untuk dialami oleh para bijaksana.  Tetapi generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. [ ]Adalah sulit bagi generasi demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, sebab-akibat yang saling bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. [168] Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahami-Ku, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagi-Ku’. Setelah itu, muncullah pada-Ku secara spontan syair-syair ini yang tidak pernah didengar sebelumnya:

‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma
   Yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai;
   Karena tidak akan pernah dilihat
   Oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.

   Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
   Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini
   Yang mengalir melawan arus duniawi.
   Halus, dalam, dan sulit dilihat’.

Dengan merenungkan demikian, batin-Ku lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.
[ ]

20. “Kemudian, Para bhikkhu, Brahmā Sahampati dengan pikirannya mengetahui pikiran-Ku dan ia merenungkan: ‘Dunia akan musnah, dunia akan binasa, karena pikiran Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, lebih condong pada tidak berbuat apa-apa daripada mengajarkan Dhamma’. Kemudian secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapan-Ku. Ia merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada-Ku, dan berkata: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mengajarkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma’. Brahmā Sahampati berkata demikian, dan kemudian ia berkata lebih lanjut:

   ‘Di Magadha telah muncul hingga sekarang
   Ajaran tidak murni yang diajarkan oleh mereka yang masih ternoda.
   Bukalah pintu menuju Keabadian! Biarkan mereka mendengar
   Dhamma yang ditemukan oleh Yang Tanpa Noda.

   Bagaikan seseorang yang berdiri di sebuah puncak gunung
   Dapat melihat ke bawah, orang-orang di segala penjuru,
   Maka, O, Yang Bijaksana, Yang Maha-Melihat,
   Naiklah ke istana Dhamma
   Sudilah Yang Tanpa Dukacita mengamati keturunan manusia ini,
   Diliputi oleh dukacita, dikuasai oleh kelahiran dan usia tua. [169]

   Bangkitlah, pahlawan pemenang, pemimpin pengembara,
   Yang tanpa kewajiban, dan mengembaralah di dunia.
   Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma,
   Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma’.

21. “Kemudian Aku mendengarkan permohonan Brahmā, dan demi belas kasihan kepada makhluk-makhluk, Aku memeriksa dunia dengan mata Buddha. Dengan memeriksa dunia dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Bagaikan dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai lahir dan tumbuh dalam air berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan beberapa teratai lain lahir dan berkembang dalam air dan berdiam di permukaan air, dan beberapa teratai lainnya lahir dan berkembang dalam air keluar dari air dan berdiri dengan bersih, tidak dibasahi oleh air; demikian pula, dengan memeriksa dunia ini dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Kemudian Aku menjawab Brahmā Sahampati dalam syair ini:

‘Terbukalah bagi mereka pintu menuju Keabadian,
Semoga mereka yang memiliki telinga sekarang menunjukkan keyakinan mereka.
Karena berpikir akan menyusahkan, O, Brahmā,
Aku tidak membabarkan Dhamma yang halus dan luhur’.

Kemudian Brahmā Sahampati berpikir: ‘Aku telah menciptakan kesempatan bagi Sang Bhagavā untuk mengajarkan Dhamma’. Dan setelah memberi hormat kepada-Ku, dengan Aku tetap di sisi kanannya, ia seketika lenyap dari sana.

22. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat’? Kemudian Aku berpikir: ‘Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku [170] mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat’. Kemudian para dewa mendatangi-Ku dan berkata: ‘Yang Mulia, Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu’. Dan pengetahuan dan penglihatan muncul pada-Ku: ‘Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu’. Aku berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat’.

23. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat’? Kemudian Aku berpikir: ‘Uddaka Rāmaputta bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Uddaka Rāmaputta. Ia akan memahaminya dengan cepat’. Kemudian para dewa mendatangi-Ku dan berkata: ‘Yang Mulia, Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam’. Dan pengetahuan dan penglihatan muncul pada-Ku: ‘Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam’. Aku berpikir: ‘Kerugian Uddaka Rāmaputta sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat’.

24. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat’? Kemudian Aku berpikir: ‘Para bhikkhu dari kelompok lima yang melayani-Ku sewaktu Aku menjalani usaha-Ku telah sangat membantu. [ ]Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada mereka’. Kemudian Aku berpikir: ‘Di manakah para bhikkhu dari kelompok lima itu menetap’? Dan dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa mereka sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana.

(PENGAJARAN DHAMMA)

25. “Kemudian, Para bhikkhu, ketika Aku telah menetap di Uruvelā selama yang Aku inginkan, Aku melakukan perjalanan secara bertahap menuju Benares. Antara Gayā dan tempat pencerahan, Ājīvaka Upaka melihat-Ku dalam perjalanan dan berkata: ‘Teman, indria-Mu cerah, warna kulit-Mu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah Engkau meninggalkan keduniawian, Teman? Siapakah guru-Mu? Dhamma siapakah yang Engkau [171] anut? Aku menjawab Ājīvaka Upaka dalam syair:

   ‘Aku adalah seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya,
   Tidak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya,
   Terbebaskan dalam lenyapnya keinginan. Setelah mengetahui semua ini
   Bagi diri-Ku, siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?

   Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara dengan-Ku
   Tidak ada di segala alam
   Bersama dengan semua dewanya, karena Aku tidak memiliki
   Siapa pun yang dapat menandingi-Ku.

   Aku adalah Yang Sempurna di dunia ini,
   Aku adalah Guru Tertinggi.
   Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
   Yang api-apinya telah padam.

   Aku pergi sekarang ke Kota Kāsi
   Untuk memutar Roda Dhamma.
   Dalam dunia yang telah buta
   Aku pergi untuk menabuh tambur Keabadian’.

   ‘Dengan pengakuan-Mu, Teman, Engkau pasti adalah Pemenang Segalanya’.

   ‘Para pemenang adalah mereka yang seperti-Ku
   Yang telah memenangkan penghancuran noda-noda.
   Aku telah menaklukkan segala kondisi jahat,
   Oleh karena itu, Upaka, Aku adalah pemenang’.

bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #79 on: 28 August 2010, 01:32:59 AM »
“Ketika ini dikatakan, Ājīvaka Upaka berkata: ‘Semoga demikian, Teman’. Dengan menggelengkan kepala, ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi.

26. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan berjalan secara bertahap, Aku akhirnya sampai di Benares, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati para bhikkhu dari kelompok lima. Dari jauh para bhikkhu melihat-Ku mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usaha-Nya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepada-Nya atau bangkit menyambut-Nya atau menerima mangkuk dan jubah luar-Nya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untuk-Nya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk’. Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambut-Ku dan mengambil mangkuk dan jubah luar-Ku, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kaki-Ku; akan tetapi mereka menyapa-Ku dengan nama dan sebagai ‘teman’.

27. “Kemudian Aku memberi tahu mereka: ‘Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman”. Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, [172] seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, Para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’.

“Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu dari kelompok lima itu menjawab-Ku sebagai berikut: ‘Teman Gotama, dengan perilaku, praktik, dan pelaksanaan pertapaan keras yang Engkau jalani, Engkau tidak mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran apa pun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. [ ]Karena sekarang Engkau hidup dalam kemewahan, telah meninggalkan usaha-Mu dan kembali kepada kemewahan, bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apa pun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia’? Ketika hal ini dikatakan, Aku memberi tahu mereka: ‘Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan, juga tidak meninggalkan usaha-Nya dan tidak kembali kepada kemewahan. Sang Tathāgata adalah Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, Para bhikkhu, Keabadian telah dicapai ... dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’.

“Untuk ke dua kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepada-Ku: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apa pun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia’? Untuk ke dua kalinya Aku memberi tahu mereka: Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan ... dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’. Untuk ke tiga kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepada-Ku: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apa pun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia’?

28. “Ketika hal ini dikatakan, Aku bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya’?—‘Tidak, Yang Mulia’.—‘Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, Para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’. [173]

29. “Aku berhasil meyakinkan para bhikkhu dari kelompok lima. [ ]Kemudian Aku kadang-kadang memberikan instruksi kepada dua bhikkhu sementara tiga lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh ketiga bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan. Kadang-kadang Aku memberikan instruksi kepada tiga bhikkhu sementara dua lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

30. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, setelah diajari dan diberikan instruksi oleh-Ku, dengan diri mereka sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; dengan diri mereka sendiri tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna; mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada mereka: ‘Kebebasan kami tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran kami yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru’.

(KENIKMATAN INDRIA)

31. “Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. [ ]Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

32. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya tanpa melihat bahaya di dalam hal-hal ini atau tidak memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap mereka’. Misalkan seekor rusa hutan yang terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia telah menemui bencana, ia telah menemui kemalangan, pemburu dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang, rusa itu tidak mampu pergi ke mana pun yang ia inginkan’. Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap mereka’.

33. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tidak tergila-gila pada hal-hal ini, dan tidak menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya dengan melihat bahaya di dalam hal-hal ini dan memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, [174] dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap mereka’. [ ]Misalkan seekor rusa hutan yang tidak terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia tidak menemui bencana, ia tidak menemui kemalangan, pemburu tidak dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang, rusa itu mampu pergi ke mana pun yang ia inginkan’. Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apa pun yang ia sukai terhadap mereka’.

34. “Misalkan seekor rusa hutan sedang mengembara di hutan belantara: ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan pemburu. Demikian pula, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

35. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

36. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian’. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

37. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

38. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

39. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

40. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

41. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [175] seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

42. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan pada dunia. [ ]Ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan si Jahat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #80 on: 28 August 2010, 02:54:07 AM »
29  Mahāsāropama Sutta
Khotbah Panjang tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama setelah Devadatta pergi. [ ]Di sana, dengan merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga’. Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’. Demikian pula, Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan[ ]… [193] … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa ranting dan dedaunan kehidupan suci dan berhenti di sana.

3. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai. [ ]Dan karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk’. Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’. Demikian pula, Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan[ ]… ia hidup dalam penderitaan. [194] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi. [ ]Dan karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara’. Ia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’. Demikian pula, Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. [195] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan<tetapi?> tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. [ ]Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. [ ]Ia senang dengan pengetahuan dan penglihatan tersebut dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat’. Ia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’. [196] Demikian pula, Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kayu lunak kehidupan suci dan berhenti di sana.

6. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. [ ]Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. [ ]Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [197] ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana’. Demikian pula, Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … Karena ia rajin, maka ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, Para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan pikiran yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 28 August 2010, 02:56:36 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #81 on: 28 August 2010, 05:58:16 PM »
Quote

50 Māratajjanīya Sutta
Teguran kepada Māra

 [332] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, di Taman Rusa.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Dan pada saat itu, Māra Si Jahat masuk ke dalam perut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan memasuki ususnya. Kemudian, Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan: “Mengapa perutku menjadi sangat berat? Seseorang akan berpikir bahwa perutku penuh kacang.” Demikianlah ia meninggalkan jalan setapak itu dan memasuki kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia.

3. Ketika ia telah duduk, ia mengerahkan perhatian penuh pada dirinya, dan melihat bahwa Māra si Jahat telah memasuki perutnya dan masuk ke dalam ususnya. Ketika ia melihat ini, ia berkata: “Keluarlah, Yang Jahat! Jangan mengganggu Sang Tathāgata, jangan menganggu siswa Sang Tathāgata, atau hal ini akan membawamu ke dalam bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama.”

4. Kemudian Māra si Jahat berpikir: "Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?"

5. Kemudian, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata: “Meskipun demikian, aku mengenalimu, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak mengenaliku'. Engkau adalah Māra, si Jahat, engkau berpikir: 'Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?’”

6. Kemudian Māra si Jahat berpikir: “[ ]Petapa ini mengenali aku, ia melihat aku ketika ia mengatakan itu,” kemudian ia [333] keluar dari mulut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan berdiri dengan bersandar pada tiang pintu.

7. Yang Mulia Mahā Moggallāna melihatnya berdiri di sana dan berkata: “Aku melihat engkau di sana juga, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak melihatku'. Engkau sedang berdiri bersandar pada tiang pintu, Yang Jahat.

8. “Pernah terjadi suatu ketika, Yang Jahat, aku adalah Māra bernama Dūsi,  dan aku memiliki saudara perempuan bernama Kāli. Engkau adalah puteranya, maka engkau adalah keponakanku.

9. “Pada saat itu Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah muncul di dunia.  Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki sepasang siswa utama yang mulia bernama Vidhura dan Sañjiva. Di antara para siswa Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak ada yang menandingi Yang Mulia Vidhura dalam hal mengajarkan Dhamma. Itulah sebabnya Yang Mulia Vidhura memperoleh nama ‘Vidhura'.  Tetapi Yang Mulia Sañjiva, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, tanpa kesulitan masuk ke dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

10. “Pernah terjadi pada suatu ketika, Yang Mulia Sañjiva telah duduk di bawah sebatang pohon dan memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Beberapa orang penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva sedang duduk di bawah pohon setelah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini mati sambil duduk. Mari kita mengkremasinya'. Kemudian para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara itu mengumpulkan rumput, kayu, dan kotoran sapi, dan setelah menumpuknya di atas tubuh Yang Mulia Sañjiva, mereka membakarnya dan pergi.

11.  “Sekarang, Yang Jahat, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Sañjiva keluar dari pencapaian itu.  Ia mengibaskan jubahnya, karena hari telah pagi, ia merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa untuk menerima dana makanan. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva berjalan menerima dana makanan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini yang mati sambil duduk telah hidup kembali!’ [334] Itulah sebabnya Yang Mulia Sañjiva memperoleh nama ‘Sañjiva'.

12. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan: ‘terdapat para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini, tetapi aku tidak mengetahui kedatangan dan kepergian mereka. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan godalah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan digoda oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

13. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: 'Marilah, caci, maki, cela, dan godalah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan digoda oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan'. Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka mencaci, memaki, mencela, dan menggoda para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik sebagai berikut:  ‘Para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur,[ ] mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah.  Seperti halnya seekor burung hantu yang menghinggapi sebuah dahan menunggu sekor tikus, bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah, atau seperti halnya seekor serigala di tepi sungai menunggu ikan,  bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah, atau seperti halnya seekor kucing, menunggu seekor tikus di lorong, atau saluran pembuangan, atau tempat sampah, bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah, atau seperti halnya seekor keledai yang tanpa beban, berdiri di dekat tiang pintu, atau tempat sampah, atau saluran pembuangan, bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah, demikian pula, para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur, mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah'. [ ]Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. [335]

14. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan godalah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan digoda oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka, di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan". Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh cinta kasih, demikian pula dengan arah ke dua, demikian pula dengan arah ke tiga, demikian pula dengan arah ke empat; ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri kalian sendiri, berdiamlah dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk. Berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan … dengan pikiran penuh dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran penuh dengan keseimbangan … berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk'.

15. "Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih … dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan … dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan … tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk.

16. “Kemudian, siYang Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Walaupun aku melakukan seperti apa yang sedang kulakukan, namun aku masih tidak mengetahui kedatangan dan kepergian para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; [336] dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

17. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: ‘Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan'. Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka menghormati, menghargai, menyembah, dan memuliakan para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik itu. Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi bahagia, bahkan di alam surga.

18. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan". Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan'.

19. "Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan.

20. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi ke desa untuk menerima dana makanan, dengan Yang Mulia Vidhura sebagai pelayan-Nya.

21. “Kemudian, Māra Dūsi menguasai seorang anak, dan dengan mengambil sebutir batu, ia melempar Yang Mulia Vidhura di kepalanya dengan batu itu dan melukai kepalanya. Dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, [337] Yang Mulia Vidhura mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Kemudian, Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berbalik dan melihatnya dengan tatapan gajah: ‘Māra Dūsi ini tidak mengenal batas'. Dan dengan tatapan itu, siYang Jahat, Māra Dūsi jatuh dari tempat itu dan muncul kembali di Neraka Besar.

22. “Sekarang, Yang Jahat, ada tiga sebutan bagi Neraka Besar: Neraka Enam Landasan Kontak", Neraka Tusukan Tombak, dan Neraka yang Dirasakan Untuk Diri Sendiri. [ ]Kemudian, Yang Jahat, penjaga neraka mendatangiku dan berkata: ‘Tuan, ketika tombak bertemu tombak di jantungmu, maka engkau akan tahu: “Aku sudah terpanggang di neraka selama seribu tahun.”’

23. “Selama bertahun-tahun, Yang Jahat, selama berabad-abad, selama bermilenium-milenium, aku terpanggang di Neraka Besar. Selama sepuluh millenium aku terpanggang di Neraka Besar tambahan, mengalami perasaan yang disebut muncul dari kematangan.  Tubuhku berbentuk sama dengan tubuh manusia, Yang Jahat, tetapi kepalaku menyerupai kepala ikan.

24. [   ]“Bagaimanakah neraka dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Brahmana Kakusandha?
   Tombak-tombak baja, bahkan berjumlah seratus,
   Masing-masing diderita secara terpisah;
   Dengan inilah neraka itu dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Brahmana Kakusandha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

25. [   ]“Di tengah samudera
   Terdapat istana yang bertahan selama satu kappa,
   Bersinar safir, memancarkan api
   Dengan kilauan jernih dan tembus pandang,
   Di mana bidadari laut warna-warni menari
   Dalam irama yang rumit dan sulit diikuti

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

26. [  ]“Aku adalah seorang yang, ketika dinasihati
   Oleh Yang Tercerahkan secara pribadi,
   Mengguncang Istana Ibu Migāra
   Dengan jari kaki, dengan disaksikan oleh Sangha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

27. [   ]“Aku adalah seorang yang, secara kokoh mengerahkan
   Kekuatan batin,
   Mengguncang seluruh Istana Vejayanta
   Dengan jari kaki untuk mendorong para dewa:  [338]

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

28. [  ]“Aku adalah seorang yang, di Istana itu
   Mengajukan pertanyaan ini kepada Sakka:
   ‘Tahukah engkau, teman, kebebasan
   Dalam hancurnya keinginan?’
   Yang mana Sakka menjawab
   Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

29. [   ]“Aku adalah seorang yang, terpikir untuk mengajukan
   Pertanyaan ini kepada Brahmā
   Di Aula Suddhama di surga:
   ‘Masih adakah padamu, teman,
   Pandangan salah yang pernah engkau terima?
   Apakah engkau melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā?'
   Kemudian Brahmā menjawab pertanyaanku
   Dengan jujur dan sesuai urutan:
   ‘Tidak ada lagi padaku,
   Tuan, pandangan salah yang pernah kuanut;
   Sungguh aku melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā.
   Sekarang bagaimana mungkin aku mempertahankan
   Bahwa aku adalah kekal dan abadi?’:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

30. [   ]“Aku adalah seorang yang, dengan kebebasan,
   Telah menyentuh puncak Gunung Sineru,
   Mengunjungi hutan Pubbavidehi
   Dan manusia manapun yang mendiami bumi.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.


31. [   ]“Tidak pernah ada api
   Yang berniat, ‘aku akan membakar si dungu'.
   Tetapi si dungu yang menyerang api
   Membakar dirinya dengan perbuatannya sendiri
   Demikian pula engkau, O Māra:
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Bagaikan si dungu yang bermain api
   Engkau hanya akan membakar dirimu sendiri.
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Engkau menghasilkan banyak keburukan.
   Yang Jahat, apakah engkau membayangkan
   Bahwa kejahatanmu tidak akan matang?
   Dengan melakukan demikian, engkau menimbun kejahatan
   Yang akan bertahan lama, O Pembuat-Akhir!
   Māra, menjauhlah dari Yang Tercerahkan,
   Jangan lagi memainkan tipuanmu pada para bhikkhu.”

[   ]Demikianlah, Bhikkhu itu menyadarkan Māra, dalam belantara Bhesakaḷā. Kemudian, makhluk gelap itu, lenyap di sana pada saat itu juga.

CMIIW

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #82 on: 28 August 2010, 08:45:03 PM »
30  Cūḷasāropama Sutta
Khotbah Pendek tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[198] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Pingalakoccha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, ada para petapa dan brahmana, masing-masing adalah pemimpin suatu aliran, pemimpin kelompok, guru kelompok, pendiri yang terkenal dan termasyhur dari suatu sekte yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suciseperti, Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambalin, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhiaputta, dan Nigaṇṭha Nātaputta. [ ]Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki?”

“Cukup, Brahmana! Biarlah demikian!‘Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki’? Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu, Brahmana. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Brahmana Pingalakoccha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Misalkan, Brahmana, seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’.

4. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya [199] dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’.

5. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’.

6. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana’.

7. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, [200] ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana’.

8. “Demikian pula, Brahmana, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga danjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga’. Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia enggan untuk maju dan mengendur. [ ]Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apa pun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

9. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga danjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai. [ ]Dan karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk’. Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; [201] ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulita dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apa pun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

10. ‘Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga danjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara’. Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apa pun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

11. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga danjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, [202] korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dantetapi tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. [ ]Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian pengetahuan dan penglihatan, dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat’. Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apa pun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

12. “Di sini, para bhikkhuBrahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga danjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui’. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, [203] ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. [ ]Ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur.

“Tetapi apakah, Brahmana, kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #83 on: 28 August 2010, 08:46:41 PM »
sambungan 30  Cūḷasāropama Sutta

13. “Di sini, Brahmana, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

14. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

15. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian’. Ini adalah [204] juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

16. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

21. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan. Ini adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

22. “Aku katakan bahwa orang ini, Brahmana, adalah seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, yang sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu; dan apa pun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana’.

23. “Demikian pula kehidupan suci ini, Brahmana, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan [205] kebebasan pikiran yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Pingalakoccha berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #84 on: 28 August 2010, 09:56:06 PM »
ko hendra, ada bbrp kalimat di bwh yg saya rasa perlu diganti di bagian kata “dan” nya, krn artinya agak rancu.

26  Ariyapariyesanā Sutta

4. Adalah selayaknya bagi kalian para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama dan mendiskusikan Dhamma.


29  Mahāsāropama Sutta

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran

3. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:

4. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:

5. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:

6. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:


30  Cūḷasāropama Sutta

8. “Demikian pula, Brahmana, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran

9. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran,

10. ‘Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:

11. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran

12. “Di sini, para bhikkhuBrahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan:


kata ko indra, yg dimksd adlh "yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan"
indra (8/28/2010 4:20:13 PM): meinggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah

mnrtku mgkn lbh tepat dignti gini:


4. Adalah selayaknya bagi kalian para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menjadi menjalani kehidupan tanpa rumah, untuk duduk bersama dan mendiskusikan Dhamma.

... beberapa anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga (men)jadi menjalani kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan ....

krn english nya kan as sons of good families who have gone forth out of faith from home to the homeless life
dari ... ke ... / dari ... menjadi ...

gmn mnrt ko hendra ato yg laen?
« Last Edit: 28 August 2010, 09:58:46 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #85 on: 29 August 2010, 01:05:00 PM »
31  Cūḷagosinga Sutta
Khotbah Pendek di Gosinga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Nandikā di Rumah Bata.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga.

3. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan pergi ke Taman Hutan pohon Sāla Gosinga. Dari jauh, penjaga taman melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Jangan memasuki taman ini, Petapa. Ada tiga anggota keluarga di sini mencari kebaikan mereka. Jangan mengganggu mereka.”

4. Yang Mulia Anuruddha mendengar penjaga taman itu berbicara dengan Sang Bhagavā dan memberitahunya: “Teman penjaga taman, jangan membiarkan Sang Bhagavā di luar. Beliau adalah Guru kami, Sang Bhagavā, yang telah datang.” Kemudian Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila dan berkata: “Keluarlah, Yang Mulia, keluarlah! Guru kita, [206] Sang Bhagavā, telah datang.”

5. Kemudian ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luar-Nya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kaki-Nya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya baik-baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Kami baik-baik, Bhagavā, kami nyaman, dan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

6. “Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

7. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘Adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci’. Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi. [ ]Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa aku tidak [207] menyampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan’? Kemudian aku menyampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, Yang Mulia, tetapi kami satu pikiran.”

Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila masing-masing mengatakan hal yang sama, dan menambahkan: “Itu adalah bagaimana, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

8. “Bagus, bagus, Anuruddha. Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

9. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, siapa pun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapa pun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apa pun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak, ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci dan ia menyapu ruang makan. Siapa pun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis, maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seseorang lain dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari, kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

10. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi ketika kalian berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh demikian, apakah kalian telah mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, suatu kediaman yang menyenangkan?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapan pun kami menghendaki, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, kami masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Yang Mulia, ini adalah kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kami capai ketika berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.”

11-13. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, [208] dengan meredakan kediaman itu?”
 
“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapan pun kami menghendaki, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua  … Dengan lenyapnya kegembiraan … kami masuk dan berdiam dalam jhāṅa ke tiga … Dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan … kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

14. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia … yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapan pun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, [209] kami masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

15-17. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapan pun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, kami masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, kami masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, kami masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia … yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

18. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapan pun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, kami masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-noda kami dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu. Dan, Yang Mulia, kami tidak melihat ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

“Bagus, bagus, Anuruddha. Tidak ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

19. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah memberikan instruksi, mendesak, membangkitkan semangat, dan mendorong Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila dengan khotbah Dhamma, Beliau bangkit dari duduk-Nya dan pergi.

20. Setelah mereka menyertai Sang Bhagavā, hingga jarak tertentu dan kembali lagi, Yang Mulia [210] Nandiya dan Yang Mulia Kimbila bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: “Pernahkah kami melaporkan kepada Yang Mulia Anuruddha bahwa kami telah mencapai kediaman dan pencapaian itu yang oleh Yang Mulia Anuruddha, di hadapan Sang Bhagavā, katakan berasal dari kami hingga pada hancurnya noda-noda?”

“Para Mulia tidak pernah melaporkan kepadaku bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Namun, dengan melingkupi pikiran para mulia dengan pikiranku, aku mengetahui bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Dan dewa juga telah melaporkan kepadaku: ‘Para mulia ini telah mencapai kediaman dan pencapaian itu’. Maka aku mengatakannya ketika secara langsung ditanya oleh Sang Bhagavā.”

21. Kemudian Yakkha Dīgha Parajana [ ]mendatangi Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” Mendengar seruan Yakkha Dīgha Parajana, para dewa bumi berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” Mendengar seruan para dewa bumi, para dewa dari alam Surga Empat Raja Dewa … para dewa dari alam Surga Tiga Puluh Tiga … para dewa Yāma … para dewa dari alam Surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain … para dewa pengikut Brahmā berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” Demikianlah dalam sekejap, pada saat itu, para mulia itu dikenal hingga ke alam Brahmā.

22. [Sang Bhagavā berkata:] “Demikianlah, Dīgha, demikianlah! Dan jika suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan suku itu untuk waktu yang lama. Dan jika para pengikut suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian [211] … desa dari mana mereka meninggalkan keduniawian … pemukiman dari mana mereka meninggalkan keduniawian … kota dari mana mereka meninggalkan keduniawian … negeri dari mana mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan negeri itu untuk waktu yang lama. Jika semua para mulia mengingat ketiga orang ini dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan para mulia itu untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … semua pedagang … semua pekerja mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan para pekerja itu untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā dan orang-orangnya, generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia untuk waktu yang lama. Lihatlah, Dīgha, bagaimana ketiga orang ini berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang, demi belas kasih pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yakkha Dīgha Parajana merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #86 on: 29 August 2010, 03:29:15 PM »
Tambahan 50 Māratajjanīya Sutta

5. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku’?

8. aku adalah Māra bernama Dūsi, [ ]dan aku memiliki saudara perempuan bernama Kāli. Engkau adalah putranya, maka engkau adalah keponakanku.

9. “Pada saat itu, Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia. [ ]Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna,
Di antara para siswa Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna, tidak ada yang menandingi
Itulah sebabnya Yang Mulia Vidhura memperoleh nama ‘Vidhura’. [ ]Tetapi Yang Mulia Sañjiva,

10. dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan-tuan, sungguh menakjubkan!

11. Yang Mulia Sañjiva keluar dari pencapaian itu. [ ]Ia mengibaskan jubahnya
dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini yang mati sambil duduk telah hidup kembali’!

12. Māra Dūsi mempertimbangkan: ‘Terdapat para bhikkhu

13. keluar dari meditasi, dan bermeditasi salah. [ ]Seperti halnya seekor burung hantu
menunggu ikan, [ ]bermeditasi, bersiap-siap
Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu, sebagian besar manusia, ketika mati,

14. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna
Ayo, Para bhikkhu, berdiamlah

15. oleh Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna

16. “Kemudian, siYang Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Walaupun aku melakukan seperti apa yang sedang kulakukan,
[at]  mitta, "si" tetap spt semula, "yang" dipake wkt dlm sapaan

17. Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu, sebagian besar manusia, ketika mati,

18. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna
Ayo, Para bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani,
merenungkan ketidakkekalan dalam segala bentukan

19. oleh Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna
merenungkan ketidakkekalan dalam segala bentukan.

20. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna
dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Ia pergi ke desa untuk menerima dana makanan

21. Yang Mulia Vidhura mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna
Kemudian, Sang Bhagavā Kakusandha, Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna, berbalik dan melihatnya dengan tatapan gajah

21. Dan dengan tatapan itu, siYang Jahat, Māra Dūsi jatuh dari tempat itu dan muncul kembali di Neraka Besar.

22. “Sekarang, Yang Jahat, ada tiga sebutan bagi Neraka Besar: Neraka Enam Landasan Kontak["], Neraka Tusukan Tombak, dan Neraka yang Dirasakan untuk Diri Sendiri.

23. mengalami perasaan yang disebut muncul dari kematangan. [ ]Tubuhku berbentuk sama dengan tubuh manusia

25. “Di tengah samudra

27. “Aku adalah seorang yang, secara kukuh mengerahkan

28. “Aku adalah seorang yang, di istana itu
‘Tahukah engkau, Teman, kebebasan

Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya:
mit, tnd titik dua biarkan tetap spt semula, coba bandingkan dgn yg SP, mgkn tar ada footnote.

29. ‘Masih adakah padamu, Teman,

30. Bahwa aku adalah kekal dan abadi?’:
Mengunjungi Hutan Pubbavidehi
   Dan manusia mana pun yang mendiami bumi.
Yang secara langsung mengetahui fakta ini.
[ ]

31. Yang berniat, ‘Aku akan membakar si dungu'.
Demikian pula engkau, O, Māra:
Yang akan bertahan lama, O, Pembuat-Akhir!

[   ]Demikianlah, Bhikkhu itu menyadarkan Māra, dalam belantara Bhesakaḷā. Kemudian, makhluk gelap itu, lenyap di sana pada saat itu juga.
   Demikianlah bhikkhu itu menyadarkan Māra
   Dalam belantara Bhesakaḷā
   Kemudian makhluk gelap itu
   Lenyap di sana pada saat itu juga
[at]  mitta, yg ini jg biarin tetap spt semula krn sumber (english) nya mmg gitu bentuknya.  ;D

ayo... lanjut lg mit..  ;)
« Last Edit: 29 August 2010, 03:33:28 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #87 on: 29 August 2010, 04:29:37 PM »
32  Mahāgosinga Sutta
Khotbah Panjang di Gosinga

[212] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga bersama dengan sejumlah siswa terkenalYang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa terkenal lainnya.

2. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mahā Moggallāna bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Mahā Kassapa, dan berkata kepadanya: “Teman[,] Kassapa, mari kita mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.”“Baik, Teman,” Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, dan Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

3. Yang Mulia Ānanda melihat mereka mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Revata dan berkata kepadanya: “Teman Revata, orang-orang mulia itu mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Mari kita juga mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.”“Baik, Teman,” Yang Mulia Revata menjawab. Kemudian Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

4. Dari jauh, Yang Mulia Sāriputta melihat kedatangan Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda, dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Silakan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda, pelayan Sang Bhagavā, yang selalu mendampingi Sang Bhagavā. Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, Teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, Teman [213] Sāriputta, seorang bhikkhu yang telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengukuhkan kehidupan suci yang murni dan sempurnaajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan pernyataan dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi. [ ]Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Revata: “Teman Revata, Yang Mulia Ānanda telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. [ ]Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Revata: Teman Revata, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, Teman Revata, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

Di sini, Teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing dan senang dalam meditasi terasing; ia menekuni ketenangan batin internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong. [ ]Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

6.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Teman Anuruddha, Yang Mulia Revata telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: Teman Anuruddha, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, Teman Anuruddha, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, Teman Sāriputta, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia. Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan yang baik, ketika ia naik ke kamar atas istana, dapat mengamati seribu roda kereta, demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia. [ ]Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

7.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: “Teman Kassapa, Yang Mulia Anuruddha telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: Teman Kassapa, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, Teman Kassapa, [214] yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, Teman Sariputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan; ia adalah seorang yang memakan makanan yang didanakan dan memuji perbuatan memakan makanan yang didanakan; ia adalah seorang pemakai jubah dari kain yang dibuang dan memuji perbuatan mengenakan jubah dari kain yang dibuang; ia adalah seorang yang mengenakan tiga jubah dan memuji perbuatan mengenakan tiga jubah; [ ]ia memiliki keinginan yang sedikit dan memuji keinginan yang sedikit; ia merasa puas dan memuji kepuasan; ia mengasingkan diri dan memuji keterasingan; ia jauh dari pergaulan dan memuji perbuatan menjauhi pergaulan; ia bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat: ia telah mencapai moralitas dan memuji pencapaian moralitas; ia telah mencapai konsentrasi dan memuji pencapaian konsentrasi; ia telah mencapai kebijaksanaan dan memuji pencapaian kebijaksanaan; ia telah mencapai kebebasan dan memuji pencapaian kebebasan; ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

8. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: “Teman Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: Teman Moggallāna, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, Teman Moggallāna, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, Teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi [ ]dan saling mempertanyakan satu sama lain, dan masing-masing ditanya oleh jawaban pihak lain tanpa menjatuhkan, dan pembicaraan mereka berlanjut sesuai dengan Dhamma. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, kami semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kami. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: Teman Sāriputta, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, Teman Sāriputta, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, Teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia [215] diami selama pagi hari; di siang hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama malam hari. Misalkan seorang raja atau menteri raja memiliki selemari penuh pakaian beraneka warna. Di pagi hari, ia akan mengenakan pakaian apa pun yang ingin ia kenakan di pagi hari; di siang hari, ia akan mengenakan pakaian apa pun yang ingin ia kenakan di siang hari; di malam hari, ia akan mengenakan pakaian apa pun yang ingin ia kenakan di malam hari. Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari … di siang hari … di malam hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama malam hari. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

10. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para mulia itu: “Teman-teman, kita semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kita. Mari kita menghadap Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Sebagaimana Sang Bhagavā menjawab, demikianlah kita harus mengingatnya.”“Baik, Teman,” mereka menjawab. Kemudian para mulia itu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā.

11. “Yang Mulia, Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangiku untuk mendengarkan Dhamma. Dari jauh aku melihat mereka datang dan [216] berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Silakan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda … Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, Teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Ketika ditanya demikian, Yang Mulia, Yang Mulia Ānanda menjawab: ‘Di sini, Teman Sāriputta, seorang bhikkhu telah banyak belajar … (seperti pada §4) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’.

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Ānanda harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Ānanda telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengukuhkan kehidupan suci yang murni dan sempurnaajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan pernyataan dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi.”

12. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Revata: ‘Teman Revata … Bhikkhu seperti apakah, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Dan Yang Mulia Revata menjawab: ‘Di sini, Teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing … (seperti pada §5) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’.”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Revata harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Revata bergembira dalam meditasi terasing, senang dalam meditasi terasing, menekuni ketenangan batin internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong.” [217]

13. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Teman Anuruddha … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Dan Yang Mulia Anuruddha menjawab: ‘Di sini, Teman Sāriputta, dengan mata dewa … (seperti pada §6) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’.

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Anuruddha harus berkata seperti yang ia katakan. Karena dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Anuruddha mengamati seribu dunia.”

14. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: ‘Teman Kassapa … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Dan Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab: ‘Di sini, Teman Sāriputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan … (seperti pada §7) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’.” [218]

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Kassapa harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Kassapa adalah seorang penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan … ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan.”

15. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: ‘Teman Moggallāna … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Dan Yang Mulia Mahā Moggallāna menjawab: ‘Di sini, Teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi … (seperti pada §8) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’.

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Moggallāna harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Moggallāna adalah seorang yang membicarakan Dhamma.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna memberi tahu Sang Bhagavā: “Kemudian, Yang Mulia, aku berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Teman Sāriputta … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’? Dan Yang Mulia Sāriputta menjawab: ‘Di sini, Teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya … [219] (seperti pada §9) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga’.

“Bagus, bagus, Moggallāna. Sesungguhnya, Sāriputta harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Sāriputta menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama pagi hari; di siang hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari, ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apa pun yang ingin ia diami selama malam hari.”

17. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, yang manakah di antara kami yang telah berkata dengan benar?”

“Kalian semua telah berkata dengan benar, Sāriputta, masing-masing dengan caranya masing-masing. Dengarkanlah juga dari-Ku, bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga. Di sini, Sāriputta, ketika seorang bhikkhu telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya, bertekad: ‘Aku tidak akan bangkit dari posisi duduk ini hingga batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidakmelekatan’. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para mulia itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.



[at]  ko indra, yg no. 4, 5 & 9, ada kata "menguar" yg aku grsbwhi, btw itu kata dasarnya apa ya? baru kali ini dgr.  ???
« Last Edit: 29 August 2010, 04:32:12 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #88 on: 01 September 2010, 09:31:14 PM »
33  Mahāgopālaka Sutta
Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi

[220] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini, seorang penggembala sapi tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

3. “Demikian pula, Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

4. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apa pun terdiri dari empat unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk.

5. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik? Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik.

6. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul, [ ]seorang bhikkhu seorang bhikkhu menerimanya; [221] ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat.

7. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun[,] ketika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga[,] sehingga kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, namun ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria mata, ia tidak menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengendali objek-pikiran dengan pikiran, ia menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun[,] ketika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga[,] sehingga kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, namun ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria pikiran, ia tidak menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal merawat luka.

8. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang? Di sini, seorang bhikkhu tidak mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang.

9. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui sungai? Di sini, seorang bhikkhu tidak dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan, [ ]dan ia tidak mempertanyakan dan tidak mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini’? Para mulia ini tidak mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, tidak menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, atau tidak melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui sungai.

10. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu tidak memperoleh inspirasi dalam makna, tidak memperoleh inspirasi dalam Dhamma, tidak memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma. [ ]Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan.

11. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan? Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan.

12. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput? Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana [222] seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput.

13. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu tidak mengetahui jumlah yang cukup dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memerah susu sampai kering.

14. [ ]“Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini, seorang bhikkhu tidak menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia tidak menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia tidak menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

15. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini, seorang penggembala sapi memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

16. “Demikian pula, Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

17. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apa pun terdiri dari empat [223] unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk.

18. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik.

19. “Bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul, [ ]seorang bhikkhu seorang bhikkhu tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya’. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat.

20. “Bagaimanakah seorang bhikkhu merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh objek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengendali objek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu merawat luka.

21. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengasapi kandang? Di sini, seorang bhikkhu mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengasapi kandang.

22. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui sungai? Di sini, seorang bhikkhu dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan, dan ia mempertanyakan dan mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini’? Para mulia ini mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, dan melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui sungai.

23. “Bagaimanakah [224] seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.  Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan.

24. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui jalan? Di sini, seorang bhikkhu memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui jalan.

25. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput? Di sini, seorang bhikkhu memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput.

26. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu mengetahui jumlah secukupnya dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering.

27. [ ]“Bagaimanakah seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini, seorang bhikkhu menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.
 
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #89 on: 01 September 2010, 10:26:27 PM »
34  Cūḷagopālaka Sutta
Khotbah Pendek tentang Penggembala Sapi

[225] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Vajji di Ukkācelā di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang dungu, yang[,] pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang Sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di Negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan. Kemudian sapi-sapi itu terjebak dalam arus di tengah Sungai Gangga, dan sapi-sapi itu menemui kemalangan dan bencana. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang dungu itu, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang Sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di Negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan.

3. “Demikian pula, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang tidak terampil dalam dunia ini dan dunia lain, tidak terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, tidak terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematianitu akan menuntun menuju bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana, yang[,] pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang Sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di Negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan. Ia menggiring sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu, masuk ke air pertama kali, dan mereka menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya, ia menggiring sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan, dan mereka juga menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya, ia menggiring sapi-sapi muda jantan dan betina, dan mereka juga menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya, ia menggiring anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah, dan mereka juga menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Pada saat itu, terdapat seekor bayi sapi yang baru dilahirkan, dan dengan didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana itu, [226] pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang Sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di Negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan.

5. “Demikian pula, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang [ ]terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematianitu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

6. “Para bhikkhu, seperti halnya sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok, menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan akhir, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhirdengan menyongsong arus Māra, mereka telah dengan selamat sampai di pantai seberang.

7. “Bagaikan sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itudengan menyongsong arus Māra, mereka akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

8. “Bagaikan sapi-sapi muda jantan dan betina menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan lemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, adalah yang-kembali-sekali, dengan kembali satu kali lagi ke alam ini akan mengakhiri penderitaandengan menyongsong arus Māra, mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

9. “Bagaikan anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahandengan menyongsong arus Māra, mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

10. “Bagaikan bayi sapi yang baru dilahirkan, didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus Sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, adalah para pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinandengan menyongsong arus Māra, mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

11. “Para bhikkhu, Aku [227] terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan Aku dan berkeyakinan pada-Ku.”

12. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Baik dunia ini maupun dunia lain
   Telah dijelaskan dengan baik oleh Ia yang mengetahui,
   Dan apa yang masih dalam jangkauan Māra
   Dan apa yang di luar jangkauan Kematian.
 
   Secara langsung mengetahui semua dunia,
   Yang Tercerahkan yang memahami
   Terbukalah pintu menuju kondisi tanpa-kematian
   Yang dengannya Nibbāna dapat dicapai dengan selamat;

   Karena arus Māra telah disongsong sekarang,
   Arusnya dihentikan, buluh-buluhnya disingkirkan;
   Bersoraklah, Para bhikkhu, dengan gembira
   Dan kukuhkan batin kalian di mana keamanan berada.”



no. 3 & 5, mereka itu kan merujuk pd para petapa dan brahmana, direplace aja lsg?  ;D
bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan para petapa dan brahmana tersebut dan berkeyakinan pada mereka.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~