//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah Ke Dua  (Read 39880 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #75 on: 18 October 2010, 10:12:15 AM »
SUTTA 87

828) Ungkapan ini sering digunakan sebagai bermakna penyakit berat dan kematian.

829) Viḍūḍabha adalah putera raja, yang akhirnya menggulingkannya. Kāsi dan Kosala adalah negeri yang dikuasai oleh raja.

830) MA: Ia menggunakan air ini untuk mencuci tangan dan kakinya dan membersihkan mulutnya sebelum memberi penghormatan kepada Sang Buddha.


SUTTA 88

831) MA menjelaskan bahwa raja mengajukan pertanyaan ini dengan merujuk pada kasus yang melibatkan pengembara perempuan bernama Sundari, yang penyelidikannya tertunda pada saat itu. Dengan niat untuk mendiskreditkan Sang Buddha, beberapa petapa pengembara membujuk Sundari untuk mengunjungi Hutan Jeta di malam hari dan kemudian membiarkan dirinya terlihat ketika berjalan pulang di pagi hari, agar orang-orang menjadi curiga. Setelah beberapa lama mereka membunuhnya dan menguburnya di dekat Hutan Jeta, dan ketika mayatnya ditemukan, mereka menuding Sang Buddha. Setelah seminggu berita bohong itu terungkap ketika mata-mata raja menemukan kisah sebenarnya di balik pembunuhan itu. Baca Ud 4:8/42-45.

Di sini saya mengikuti BBS dan SBJ, yang menambahkan kualifikasi “bijaksana” pada frasa “petapa dan brahmana” (samaṇehi brāhmaṇehi viññūhi). Dengan demikian jawaban Ānanda menyiratkan bahwa adalah celaan mereka dan bukan bukan celaan para petapa biasa yang harus dihindari. Bahwa kalimat ini benar didukung oleh pernyataan raja persis di bawah bahwa Ānanda telah memecahkan dengan jawabannya atas apa yang tidak mampu pecahkan, yaitu, membedakan antara si bijaksana dan si dungu.

832) Secara singkat, paragraf ini menjelaskan lima kriteria perbuatan buruk: ketidak-bermanfaatan menekankan kualitas psikologis dari perbuatan, efek ketidak-sehatannya bagi pikiran; ketercelaan  menekankan sifat menggangu secara moral; kapasitanya untuk menghasilkan akibat-akibat menyakitkan mengalihkan perhatian pada potensi kamma yang tidak disukai; dan pernyataan terakhir mengalihkan baik kepada motivasi buruk maupun akibat jangka panjang yang bahaya seperti perbuatan yang berdampak baik pada diri sendiri maupun pada makhluk lain. Penjelasan yang berlawanan yang diterapkan pada perbuatan baik, dibahas dalam §14.

833) MA: Jawaban YM Ananda melampaui pertanyaannya, karena tidak hanya menunjukkan bahwa Sang Buddha memuji ditinggalkannya segala kondisi tidak bermanfaat, tetapi juga bahwa Beliau bertindak sesuai dengan kata-katanya dengan telah meninggalkan segala kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

834) MA menjelaskan kata bāhitikā, yang menjadi nama dari sutta ini, sebagai mantel yang dihasilkan di luar negeri.


SUTTA 89

835) Dīgha Kārāyaṇa adalah jenderal atas bala tentara Raja Pasenadi. Ia adalah keponakan Bandhula, jenderal Malla dan seorang mantan-sahabat Raja Pasenadi, yang mana raja telah membunuh tiga puluh dua puteranya ketika terungkapnya pengkhianatan para menterinya yg korup. Kārāyaṇa bersekongkol dengan Pangeran Viḍūḍabha, putera Raja Pasenadi, untuk membantu Pangeran Viḍūḍabha merampas takhta ayahnya.

836) Tiga liga (yojana) kira-kira sejauh dua puluh mil.

837) MA mengatakan bahwa ia berpikir: “Sebelumnya, setelah berunding secara pribadi dengan Petapa Gotama, raja menangkap pamanku dan tiga puluh dua puteranya. Mungkin kali ini ia akan menangkapku.” Lambang-lambang kerajaan yang diserahkan kepada Dīgha Kārāyaṇa juga termasuk kipas, payung, dan sandal. Dīgha Kārāyaṇa bergegas kembali ke ibukota dengan lambang-lambang kerajaan dan menobatkan Viḍūḍabha menjadi raja.

838) Pada MN 13.11 pertengkaran ini dikatakan muncul karena kenikmatan indria.

839) Seperti pada MN 77.6.

840) Seperti pada MN 27.4-7.

841) Pada saat kematian mereka keduanya dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang-kembali-sekali. Baca AN 6:44/iii.348.

842) Pernyataan ini menunjukkan bahwa sutta ini terjadi pada tahun terakhir kehidupan Sang Buddha.

843) Ketika Raja Pasenadi kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Dīgha Kārāyaṇa, ia hanya menemukan seorang pelayan perempuan yang melaporkan berita itu kepadanya. Ia kemudian bergegas ke Rājagaha untuk meminta bantuan dari keponakannya, Raja Ajātasattu. Tetapi karena ia tiba di malam hari Gerbang kota telah ditutup. Karena lelah akibat perjalanan itu, ia berbaring di sebuah aula di luar kota dan meninggal dunia pada malam itu.

844) MA: “Monumen Dhamma” berarti kata-kata yang mengungkapkan penghormatan terhadap Dhamma. Kapanpun penghormatan ditunjukkan kepada salah satu dari Tiga Permata, itu juga ditunjukkan kepada Permata lainnya.
   

SUTTA 90

845) MA: Kedua bersaudari ini adalah istri-istri raja (bukan saudarinya!)

846) MA: Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dan melihat segalanya – masa lampau, masa sekarang, dan masa depan – dengan satu tindakan pengalihan pikiran, dengan satu tindakan kesadaran; demikianlah persoalan ini dibahas dalam hal satu tindakan kesadaran tunggal (ekacitta). Mengenai pertanyaan tentang jenis kemahatahuan yang oleh tradisi Theravāda dianggap berasal dari Sang Buddha, baca n. 714.

847) Yaitu, ia tidak menanyakan tentang status social mereka melainkan tentang prospek kemajuan spiritual dan pencapaian mereka.

848) Seperti pada MN 85.58.

849) MA menjelaskan kembali dan tidak kembali sebagai merujuk pada kelahiran kembali, dengan demikian menyiratkan bahwa para dewa yang tidak kembali adalah para yang-tidak-kembali, sementara mereka yang kembali adalah yang masih menjadi ‘kaum duniawi.’ Keluhuran yang sama berlaku pada pembahasan tentang Brahmā dalam §15. Kedua kata kunci di sini yang membedakan kedua jenis dewa muncul dalam edisi PTS sebagai savyāpajjhā dan abyāpajjhā, “tunduk pada niat buruk” dan “bebas dari niat buruk,” berturut-turut; dalam SBJ, sebagai sabyāpajjhā dan abyāpajjhā (yang bermakna sama secara efektif): dalam BBS, kata itu muncul sebagai sabyābajjhā dan abyābajjhā, “tunduk pada penderitaan” dan “tidak tunduk pada penderitaan.” Versi terakhir ini didukung oleh MA, yang menjelaskan perbedaannya melalui penderitaan batin. Dalam edisi sebelumnya dari terjemahan ini saya menerjemahkan sesuai dengan tulisan BBS, tetapi sekarang tulisan PTS-SBJ tampak lebih mungkin. Lagipula, sepertinya lebih mungkin bahwa seorang pangeran akan lebih memperhatikan niat jahat para dewa daripada pengalaman penderitaan mereka. Catatan bahwa kata itthatta,  yang dalam penjelasan umum Kearahatan menyiratkan kondisi perwujudan kehidupan manapun, di sini dikemas oleh MA sebagai manussaloka, alam manusia.

K.R. Norman, dalam suatu makalah yang menarik, mengusulkan suatu penyuntingan yang radikal atas bagian ini dari sutta ini, yang mengemukakan perbedaan penting dalam terjemahan, tetapi karena usulannya tidak didukung oleh edisi manapun maka saya tidak mengikutinya. Baca Norman, Collected Papers, 2:162-71.


SUTTA 91

850) Ini adalah penggambaran umum atas seorang brahmana terpelajar. Menurut MA, ketiga Veda adalah Iru, Yaju, dan Sāma (= Rig, Yajur, dan Sāman). Veda ke empat, Atharva, tidak disebutkan, tetapi MA mengatakan bahwa keberadaanya disiratkan ketika sejarah (Itihāsa) disebut “yang ke lima,” yaitu, karya-karya yang dianggap sebagai otoritas oleh para brahmana. Akan tetapi, lebih mungkin, bahwa sejarah-sejarah disebut “yang ke lima” sehubungan dengan empat cabang pelajaran tambahan pada Veda yang mendahuluinya dalam penjelasan. Terjemahan istilah-istilah teknis di sini mengikuti MA, dengan bantuan Sanskrit-English Dictionary dari Monier-William (Oxford, 1899). Mengenai tanda-tanda Manusia Luar Biasa, MA mengatakan bahwa ini adalah suatu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada 12,000 karya yang menjelaskan karakteristik-karakteristik manusia luar biasa seperti para Buddha, para Paccekabuddha, para siswa utama, para siswa besar, para Raja Pemutar Roda, dan sebagainya. Karya-karya ini yang terdiri dari 16,000 syair disebut “Buddha Mantra.”

851) Ketiga puluh dua tanda, yang diuraikan pada §9 di bawah, adalah topik dari keseluruhan sutta dalam Digha Nikāya, DN 30, Lakkhaṇa Sutta. Di sana masing-masing tanda dijelaskan sebagai akibat kamma dari suatu moralitas tertentu yang disempurnakan oleh Sang buddha selama kehidupan-kehidupan sebelumnya sebagai Bodhisatta.

852) Ketujuh pusaka dibahas dalam MN 129.34-41. Perolehan Pusaka-Roda menjelaskan mengapa ia disebut seorang “Raja Pemutar Roda.”

853) Loke vicattacchaddo. Untuk hipotesa tentang bentuk asli dan makna dari ungkapan ini, baca Norman, Group of Discourses II, n. Atas 372, pp. 217-18. MA: Dunia ini, diselimuti dalam kegelapan kekotoran, tertutup oleh tujuh selubung: nafsu, kebencian, khayalan, keangkuhan, pandangan-pandangan, kebodohan, dan perilaku tidak bermoral. Setelah menyingkapkan selubung-selubung ini, Sang Buddha berdiam dengan memancarkan cahaya ke sekeliling. Demikianlah Beliau adalah seorang yang menyingkapkan selubung dunia. Atau dengan kata lain vivattacchando dapat dipecah menjadi vivatto dan vicchaddo; yaitu, Beliau adalah hampa dari lingkaran (vaṭṭharahito) dan hampa dari selubung (chadanarahito). Dengan tidak adanya lingkaran (yaitu, saṁsāra) Beliau adalah seorang Arahant; dengan tidak adanya selubung, Beliau adalah Yang Tercerahkan Sempurna.

854) MA menjelskan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kesaktian ini setelah terlebih dulu memastikan bahwa Guru Uttara, Brahmāyu, memiliki potensi untuk mencapai buah yang-tidak-kembali, dan bahwa pencapaian buah ini bergantung pada lenyapnya keragu-raguan Uttara.

855) Ketujuh ini adalah bagian belakang ke empat tangan dan kakinya, kedua bahu, dan batang tubuhnya.

856) Rasaggasaggi. Lakkhaṇa Sutta memperluas (DN 30.2.7/iii.1666): “Apapun yang Beliau sentuh dengan ujung lidahnya Beliau rasakan dalam tenggorokannya, dan rasa itu menyebar ke seluruh tubuh.” Akan tetapi, adalah sulit untuk memahami bagaimana kualitas ini dapat dianggap sebagai karakteristik fisik, dan bagaimana hal ini dapat terlihat oleh orang lain.

857) Tanda ini, uṇhīsa, adalah tonjolan yang biasa terlihat di atas kepala patung-patung Buddha.

858) Ini adalah perenungan standard pada penggunaan dana makanan yang seharusnya, seperti pada MN 2.14.

859) Pemberkahan (anumodana) adalah khotbah singkat setelah makan, memberikan instruksi kepada pemberi dalam beberapa aspek Dhamma dan mengungkapkan kehendak bahwa kamma baik mereka akan menghasilkan buah berlimpah.

860) Di sini saya mengikuti BBS, yang lebih lengkap daripada SBJ dan PTS. MA: maksudnya adalah sebagai berikut: “Kualitas-kualitas baik yang belum kusebutkan adalah jauh lebih banyak daripada yang telah kusebutkan. Kualitas-kualitas baik Guru Gotama adalah bagaikan bumi yang besar dan samudera luas; digambarkan secara terperinci kualitas-kualitas itu adalah tidak terbatas dan tidak terukur, bagaikan angkasa.”

861) Kata Pali untuk lidah, jivhā, adalah berjenis perempuan.

862) Apa yang harus diketahui secara langsung (abhiññeyya) adalah Empat Kebenaran Mulia, apa yang harus dikembangkan (bhāvetabba) adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan apa yang harus ditinggalkan (pahātabba) adalah kekotoran-kekotoran yang dipimpin oleh keinginan. Di sini konteks ini mengharuskan bahwa kata “Buddha” dipahami dalam makna spesifik sebagai Yang Tercerahkan Sempurna (sammāsambuddha).

863) Vedagū. Kata ini dan dua berikutnya –tevijja dan sothiya – sepertinya mewakili jenis ideal di antara para brahmana; baca juga MN 39.24, 26, dan 27. kata ke enam dan ke tujuh – kevali dan muni – mungkin adalah jenis ideal di antara sekte-sekte pertapaan non-Veda. Dengan jawaban ini, Sang buddha memberikan makna baru pada kata-kata ini yang diturunkan dari sistem spiritual Beliau sendiri.

864) Di sini dan dalam jawabannya kata “Buddha” hanya menyiratkan seorang yang tercerahkan atau tersadarkan, dalam makna yang berlaku pada Arahant mana pun, walaupun tanggapan Brahmāyu juga menyiratkan bahwa itu dapat dimaksudkan dalam makna yang lebih sempit sebagai seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

865) MA memberikan penjelasan terselubung atas bagaimana jawaban Sang Buddha menjawab seluruh delapan pertanyaan Brahmāyu.

866) Seperti pada MN 56.18.


SUTTA 92

867) Teks sutta ini tidak termasuk dalam Majjhima Nikāya edisi PTS, karena identik dengan sutta dengan judul yang sama dalam Sutta Nipata, yang diterbitkan dalam dua versi yang berbeda oleh PTS. Oleh karena itu nomor halaman dalam kurung siku di sini merujuk pada edisi Sn yang lebih baru dari PTS, yang disunting oleh Dines Anderson dan Helmer Smith.

868) Yaitu, Jambudīpa, benua India.


SUTTA 93

869) Argumen yang digunakan dalam tesis ini dijelaskan pada MN 90.10-12.

870) MA: Mereka mengatakan demikian dengan maksud untuk mengatakan: “Setelah mempelajari Tiga Veda, engkau telah terlatih dalam mantra-mantra yang dengannya mereka yang meninggalkan keduniawian menjalankan pelepasan keduniawian mereka dan mantra-mantra yang mereka lestarikan setelah mereka meninggalkan keduniawian. Engkau telah mempraktikkan cara mereka berperilaku. Oleh karena itu, engkau tidak akan kalah. Kemenangan akan menjadi milikmu.”

871) Pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa para brahmana terlahir dari para perempuan, sama seperti manusia lainnya, dan dengan demikian tidak selayaknya mereka mengaku bahwa mereka terlahir dari mulut Brahmā.

872) Yona  adalah kata Pali untuk Ionia. Kamboja adalah suatu wilayah barat laut “Negeri Tengah” India.

873) Argumen pada §§7-8 di sini pada dasarnya identik dengan argumen pada MN 84.

874) MA mengidentifikasi Devala si Gelap, Asita Devala, sebagai Sang Buddha dalam kehidupan lampau. Sang Buddha membabarkan ajaran ini untuk menunjukkan: “Di masa lampau, ketika engkau berkelahiran tinggi dan aku berkelahiran rendah, engkau tidak dapat menjawab pertanyaan yang Kuajukan tentang pernyataan sehubungan dengan kelahiran. Jadi bagaimana mungkin engkau dapat melakukannya sekarang, ketika engkau adalah seorang rendah dan aku telah menjadi seorang Buddha?”

875) Seperti pada MN 38.26. baca n.411. Perhatikan bahwa dialog persis di bawah menegaskan makna gandhabba sebagai makhluk yang telah meninggal dunia menjelang kelahiran kembali.

876) MA: Puṇṇa adalah nama pelayan ketujuh petapa brahmana itu; ia mengambilkan sendok, memasak dedaunan, dan melayani mereka.
« Last Edit: 18 October 2010, 10:13:59 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Catatan Kaki
« Reply #76 on: 18 October 2010, 10:13:10 AM »


SUTTA 94

877) MA: Ia melakukan hal ini setelah menyadari bahwa suatu diskusi yang panjang akan dilakukan.

878) Kahāpaṇa adalah unit mata uang pada masa itu.

879) Pada masa hari-hari terakhir Sang Buddha, kota ini hanyalah sebuah pemukiman kecil yang dikenal sebagai Pāṭaligāma. Pada DN 16.1.28/iii.87, Sang Buddha meramalkan perkembangannya di masa depan. Kota ini akhirnya menjadi ibukota Magadha. Pada masa sekarang ini dikenal sebagai kota Patna, ibukota Negara bagian Bihar.


SUTTA 95

880) Paragraf pembuka sutta ini, hingga §10, sebenarnya identik dengan paragraf pembuka Soṇadaṇḍa Sutta (DN 4).

881) MA: Disebut demikian karena persembahan diberikan di sana kepada para dewa.

882) Seorang brahmana kaya lainnya yang menetap di Ukkaṭṭhā,  wilayah tanah kerajaan diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi. Dalam DN 2.21/i.110 ia mendengarkan khotbah dari Sang Buddha, mencapai memasuki-arus, dan menyatakan berlindung bersama dengan seluruh keluarga dan pengikutnya.

883) Mereka ini adalah para rishi masa lampau yang oleh para brahmana dianggap sebagai para penulis syair-syair pujian Veda.

884) Dalam Pali: saddhā, ruci, anussava, ākāparivitakka, diṭṭhinijjhānakkhanti. Di antara kelima landasan bagi kepastian ini, dua yang pertama sepertinya umumnya berdasarkan perasaan, yang ke tiga adalah penerimaan tradisi secara membuta, dan dua terakhir umumnya adalah penalaran rasional. “dua cara berbeda” masing-masing adalah terbukti benar dan salah.

885) Tidaklah selayaknya baginya untuk sampai pada kesimpulan karena ia belum secara pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya menerimanya atas dasar yang tidak dapat menghasilkan kepastian.

886) Saccānurakkhana: atau, mengamankan kebenaran, perlindungan kebenaran.

887) Saccānubodha: atau, tercerahkan pada kebenaran.

888) Prosedur penemuan kebenaran yang direkomendasikan oleh sutta ini tampak sebagai suatu penjelasan atas pendekatan yang dibabarkan pada MN 47.

889) Tūleti. MA: Ia menyelidiki hal-hal sehubungan dengan ketidak-kekalan, dan seterusnya. Tahap ini sepertinya merupakan tahap perenungan pandangan terang.

890) Walaupun pengerahan tekad (ussahati) terlihat serupa dengan usaha (padahati), namun pengerahan tekad dapat dipahami sebagai usaha yang dikerahkan sebelum perenungan pandangan terang, sedangkan usaha sebagai pengerahan yang membawa pandangan terang hingga pada tingkat jalan lokuttara.

891) MA: Ia mencapai Nibbāna dengan tubuh batin (dari jalan memasuki-arus), dan setelah menembus kekotoran-kekotoran, ia melihat Nibbāna dengan kebijaksanaan, nyata dan terbukti.

892) Sementara penemuan kebenaran dalam konteks ini sepertinya menyiratkan pencapaian memasuki-arus, kedatangan akhir pada kebenaran (saccānuppati) sepertinya bermakna pencapaian penuh Kearahatan.

893) Baca n.524.


SUTTA 96

894) MA: Adalah praktik sejak masa lampau di antara para brahmana untuk mengembara mengumpulkan dana makanan bahkan walaupun mereka memiliki kekayaan berlimpah.

895) Walaupun pertanian sepertinya adalah pekerjaan yang tidak seharusnya bagi seseorang yang digambarkan sebagai pedagang, harus dipahami bahwa para vessa tidak hanya menjalankan usaha perkotaan, tetapi juga memiliki dan mengawasi pekerjaan pertanian.

896) Ariyaṁ kho ahaṁ brāhmaṇa lokuttaraṁ dhammaṁ purissa sandhanaṁ paññāpemi.

897) Attabhāvassa abhinibbatti: secara literal, “di mana pun pembuahan kembali individunya terjadi.”


SUTTA 97

898) Sati uttarakaraṇiye. YM. Sāriputta pergi tanpa memberikan ajaran yang dapat membantunya untuk sampai pada jalan lokuttara dan pasti mencapai pencerahan. Dibandingkan dengan ini, bahkan kelahiran kembali di alam-Brahma digambarkan sebagai “rendah” (hina),

899) Pernyataan ini memiliki kekuatan sebuah teguran yang halus. Sang Buddha pasti telah melihat bahwa Dhānañjāni memiliki potensi untuk mencapai jalan lokuttara, karena di tempat lain (misalnya dalam MN 99.24-27) Beliau sendiri mengajarkan hanya jalan menuju alam-Brahma ketika potensi itu tidak dimiliki oleh para pendengarnya.


SUTTA 98

900) Teks dari sutta ini tidak termasuk dalam Majjhima Nikāya edisi PTS, untuk alasan yang sama seperti pada n.867. Nomor halaman dalam kurung siku merujuk pada edisi Sn dari Anderson-Smith.

901) Di sini kata “kamma” harus dipahami sebagai perbuatan atau tindakan sekarang, dan bukan perbuatan lampau yang menghasilkan akibat sekarang.

902) Sāmaññā. MA: Di antara binatang-binatang keberagaman bentuk dari bagian-bagian tubuh mereka ditentukan oleh spesiesnya (yoni), tetapi hal itu (perbedaan spesies) tidak terdapat pada tubuh para brahmana dan kasta-kasta manusia lainnya. Oleh karena itu, perbedaan antara brahmana, khattiya, dan sebagainya, hanyalah sebutan verbal; diucapkan hanya sekadar sebagai ungkapan konvensional.

903) MA: Hingga pada titik ini Sang Buddha telah mengkritik pernyataan Bhāradvāja bahwa kelahiran menjadikan seseorang sebagai brahmana. Sekarang Beliau akan mendukung pernyataan Vāseṭṭha bahwa perbuatan menjadikan seseorang sebagai brahmana. Karena para brahmana masa lampau dan para bijaksana lainnya di dunia ini tidak akan mengakui kebrahmanaan seseorang yang cacat dalam penghidupan, moralitas, dan perilaku.

904) Bhavādi. Bho, “Tuan,” adalah cara menyapa yang biasanya digunakan di antara para brahmana. Mulai titik ini dan seterusnya Sang Buddha akan mengidentifikasikan brahmana sejati sebagai Arahant., bait 27-54 di sini identik dengan Dhp 396-423, kecuali pada bait tambahan dalam Dhp 423.

905) MA: Melalui perbuatan kehendak sekarang yang menyelesaikan pekerjaan bertani, dan sebagainya.

906) Dengan bait ini kata “kamma” mengalami pergeseran makna yang ditandai oleh kata “sebab-akibat yang saling bergantungan.” “Kamma” di sini bukan lagi hanya berarti perbuatan sekarang yang menentukan statu sosial seseorang, melainkan perbuatan dalam makna khusus kekuatan yang mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kehidupan. Pemikiran yang sama ini menjadi lebih jelas pada bait berikutnya.

907) Bait ini dan yang berikutnya sekali lagi merujuk pada Arahant. Akan tetapi, di sini, perbedaannya tidak terletak pada perbedaan Arahant sebagai seorang yang menjadi suci melalui perbuatannya dan brahmana melalui kelahiran yang tidak layak menyandang sebutan itu, melainkan pada perbedaan antara Arahant sebagai seorang yang terbebaskan dari belenggu perbuatan dan akibat dan semua makhluk lainnya yang masih terikat oleh perbuatan mereka pada lingkaran kelahiran dan kematian.


SUTTA 99

908) Todeyya adalah seorang brahmana kaya, penguasa Tudigāma, sebuah desa di dekat Sāvatthī. MN 135 juga dibabarkan kepada Subha yang sama ini.

909) Vibhajjavādo kho aham ettha. Pernyataan ini menjelaskan sebutan belakangan dari Buddhisme sebagai vibhajjavāda, “doktrin analisis.” Seperti yang dijelaskan dalam konteks ini, Sang Buddha menyebut dirinya sebagai seorang vibbhajjavādin, bukan karena Beliau menganalisis segala sesuatu ke dalam unsur-unsurnya (seperti yang dipercayai secara umum), tetapi karena Beliau membedakan implikasi yang berbeda dari suatu pertanyaan tanpa menjawabnya secara sepihak.

910) Jelas pada masa itu perdagangan masih dalam tahap awal perkembangan. Pernyataan yang sama sulit untuk diberlakukan pada masa kini.

911) Seperti pada MN 95.13

912) Pernyataan ini pasti dibuat sebelum Pokkharasāti menjadi seorang pengikut Sang Buddha, seperti disebutkan pada MN 95.9.

913) Anukampājātika.

914) Pengetahuan ini berhubungan dengan kekuatan Sang Tathāgata yang ke tiga, mengetahui jalan-jalan menuju segala alam tujuan kelahiran. Baca MN 12.12.

915) MA menjelaskan perbuatan yang membatasi (pamāṇakataṁ kammaṁ) sebagai kamma yang berhubungan dengan alam indria (kāmāvacara). Ini berlawanan dengan perbuatan tanpa batas atau perbuatan tidak terukur, yaitu, jhāna-jhāna yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah brahmavihāra yang dikembangkan hingga tingkat-tingkat jhāna. Ketika jhāna yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi dicapai dan dikuasai, kamma yang berhubungan dengan alam indria tidak dapat mengalahkannya dan tidak dapat memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibatnya. Sebaliknya, kamma yang berhubungan dengan alam bermateri-halus atau alam tanpa-materi mengalahkan kamma alam-indria dan menghasilkan akibatnya. Dengan menghalangi akibat dari kamma alam-indria, brahmavihāra yang telah dikuasai menuntun menuju kelahiran kembali di alam Brahmā.

916) Seperti pada MN 27.2.


SUTTA 100

917) Dhānañjāni adalah seorang pemasuk-arus. MA mengatakan bahwa Sangārava adalah adik laki-laki suaminya.

918) Diṭṭhadhammābhiññāvosānapāramippattā ādibrahmacariyaṁ paṭijānanti. MA mengemas: Mereka mengaku sebagai perintis, pencipta, pembentuk kehidupan suci, dengan mengatakan: “Setelah secara langsung mengetahui di sini dan saat ini dalam kehidupan ini dan setelah mencapai kemuliaan, kami telah mencapai Nibbāna, disebut ‘kesempurnaan’ karena melampaui segalanya.”

919) Mengherankan bahwa para pemikir logis dan penyelidik (takkī, vīmaṁsī) di sini dikatakan bersandar hanya pada landasan keyakinan (saddhāmattakena). Di tempat lain keyakinan dan logika adalah berlawanan sebagai dua landasan pendirian yang berbeda (MN 95.14). dan “sekadar keyakinan” sepertinya lebih dekat pada bersandar pada tradisi lisan daripada pemikiran logis dan penyelidikan.

920) Sāmaṁ yeva dhammaṁ abhiññāya. Frasa ini menekankan pencapaian langsung secara pribadi sebagai landasan untuk mengajarkan kehidupan suci.

921) MA mengatakan bahwa Sangārava memiliki gagasan bahwa Sang Buddha mengatakan demikian tanpa pengetahuan sebenarnya, dan oleh karena itu ia menuduh Sang Buddha berbohong. Urutan gagasan dalam paragraf ini sulit diikuti dan kemungkinan ada perubahan pada teks. K.R. Norman mengusulkan suatu rekonstruksi pada bagian dialog ini, tetapi sulit mengikutinya secara terperinci. Baca Norman, Collected Papers, 2:1-8.

 

anything