38 Mahātaṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Panjang tentang
Hancurnya Keinginan
(SITUASI)
1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
2. Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada seorang bhikkhu bernama Sāti, putera seorang nelayan, sebagai berikut: “Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Sāti dan bertanya kepadanya: “Teman Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu?”
“Demikianlah, teman-teman. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
Kemudian para bhikkhu itu, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Sati, jangan berkata seperti itu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan demikian. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, [257] jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”
Namun walaupun ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh para bhikkhu ini, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, masih dengan keras kepala melekat pada pandangan sesat itu dan terus mempertahankannya.
4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, dari pandangan sesatnya, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”
5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, [258] bhikkhu, beritahu BHikkhu Sāti, putera seorang nelayan atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Sāti dan memberitahunya: Sang Guru memanggilmu, Teman Sāti.”
“Baik, teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian bertanya kepadanya: “Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu: ‘Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
“Apakah kesadaran itu, Sāti?”
“Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”
“Orang sesat, dari siapakah engkau pernah mengetahui bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran? Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”
6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, telah menyalakan bahkan sepercik kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”
“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”
Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”
7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sāti ini, [259] putera seorang nelayan, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”
“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”
“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, putera seorang nelayan, salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.
(KONDISIONALITAS KESADARAN)
8. “Para bhikkhu, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, maka dikenal sebagai kesadaran-telinga; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, [260] maka dikenal sebagai kesadaran-hidung; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, maka dikenal sebagai kesadaran-lidah; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada badan dan obyek-sentuhan, maka dikenal sebagai kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakar – ketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan; ketika api membakar dengan bergantung pada kayu bakar, maka dikenal sebagai api kayu bakar; ketika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka dikenal sebagai api rumput; ketika api membakar dengan bergantung pada kotoran sapi, maka dikenal sebagai api kotoran sapi; ketika api membakar dengan bergantung pada sekam, maka dikenal sebagai api sekam; ketika api membakar dengan bergantung pada sampah, maka dikenal sebagai api sampah – demikian pula, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata … ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran.
(PERTANYAAN UMUM TENTANG PENJELMAAN)
9. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Ini telah muncul’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”
10. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah ini telah muncul?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apakah yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” - “Ya, Yang Mulia.”
11. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”
12. “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”
13. “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”
14. “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian melekat padanya, memujanya, sangat menghargainya, dan memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, [261] jika kalian tidak melekat padanya, tidak memujanya, tidak sangat menghargainya, dan tidak memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?” – “Ya, Yang Mulia.”
(MAKANAN DAN KEMUNCULAN BERGANTUNGAN)
15. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah muncul dan untuk menyokong mereka yang sedang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.
16. “Sekarang, para bhikkhu, keempat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya dan dihasilkan? Keempat jenis makanan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari keinginan. Dan keinginan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Dan enam landasan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Dan batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya and dihasilkan? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari kebodohan.
(PENJELASAN TENTANG KEMUNCULAN DALAM URUTAN MAJU)
17, “Maka, para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG MUNCULNYA DALAM URUTAN MUNDUR)
18. “’Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian.’”
“’Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi, [262] Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran.’”
“’Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan.’”
“’Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan.’”
“’Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan.’”
“’Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah perasaan memiliki kontak sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Perasaan memiliki kontak sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan.’”
“’Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak.’”
“’Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan.’”
“’Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani.’”
“’Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran.’”
“’Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan.’”
(KESIMPULAN TENTANG MUNCULNYA)
19. “Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan adanya ini, maka itu ada; [263] dengan munculnya ini, maka muncul pula itu.’ Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
(PENJELASAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MAJU)
20. “Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.