//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 584199 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1620 on: 27 May 2013, 01:44:50 PM »
Bukan "waktu malam" tapi saat itu adalah lewat tengah hari, tapi makanan belum dibuang, dikisahkan saat itu baru saja Buddha selesai makan.


kalau begitu jelas, tidak ada pelanggaran vinaya di sini, karena Sang Buddha selesai makan pun biasanya belum tengah hari, dalam banyak sutta dikatakan bahwa Sang Buddha bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi pindapatta, kemudian makan, saya pikir aktivitas ini tidak akan sampai lewat tengah hari. jadi option pelanggaran vinaya tidak berlaku di sini, dan tidak bisa dijadikan contoh kasus.

Quote
Betul, saya juga salah malah gegabah bawa-bawa latihan pengendalian diri terhadap nafsu ke dalam bahasan atthasila yang sudah jelas-jelas bahas 'waktu keramat'.
Jam segitu belum disiapkan. Seperti banyak dalam sutta, Buddha dan bhikkhu sudah merapikan jubah dan mangkuk, tapi merasa terlalu pagi untuk pindapata.


menurut saya ini termasuk moksologi, karena bisa saja ada keluarga2 yg sudah selesai masak pada jam 10 misalnya, apakah Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi perumah tangga harus selesai masak pada jam tertentu?

Quote
Betul, itulah sebabnya "Buddhis baik" cenderung akan mati jika tinggal di kutub.
menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?

Quote
Sudah diatur dalam besar mangkuk. Pindola Bharadvaja dulu memiliki mangkuk special extra large, tapi disuruh oleh Buddha diletakkan di bawah ranjang, terkikis oleh bagian bawah ranjang ketika ia tertidur dan akhirnya jadi ukuran normal. Porsi makannya juga berkurang bersamaan dengan mengecilnya mangkuk.

sebenarnya mangkuk yg menuruti vinaya itu pun sangat besar, lagipula kita di sini sedang membahas atthasila (kalo gak salah) boleh nyerempet ke vinaya tapi jangan dijadikan acuan utama.

Quote
Dari awal saya sudah katakan bahwa ada hal-hal yang sifatnya tergantung situasi dan budaya setempat, oleh karena itu, dalam hal tersebut, saya tidak mengartikan istilah secara persis sesuai sutta. Istilah ini tentu saja termasuk "ekabhattika", bukan hanya "vikala". Karena saya "Bukan Buddhis Baik-baik" maka tentu tidak terikat menyatakan 'ekabhattika' harus makan dalam "sekali matahari terbit sampai terbit kembali". Lebih tepatnya, saya belum mendefinisikannya. Sebaliknya, untuk Buddhis Baik2 yang verbatim et literatim sesuai vinaya, di kutub, "vikala" berarti 6 bulan makan, 6 bulan puasa, dan "ekabhattika" berarti setahun makan sekali.



Baik Buddhis baik2 maupun Buddhis tidak baik, saya pikir tidak menjadi alasan untuk menafsirkan ajaran secara berbeda. seseorang boleh saya menafsirkan suatu ajaran menurut apa yg ia sukai tapi hal ini tidak berhubungan dengan kualitas kebuddhisannya.

Pada awalnya Sang Buddha juga menetapkan vinaya mandi 2 minggu sekali, tapi kemudian karena mempertimbangkan wilayah yg airnya berlimpah maka Sang Buddha memperbolehkan mandi setiap hari. tapi revisi ini dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, sedangkan untuk kasus makan yg setahun sekali jadi setahun 365 kali, saya belum pernah membaca revisinya. Tentunya kita sebaiknya tidak mencoba untuk menggantikan peran Sang Buddha untuk merevisi vinaya yg telah ditetapkan.

Ingat pesan Sang Buddha dalam mahaparinibbana sutta yaitu "tidak meniadakan peraturan yg sudah ada dan tidak menambah peraturan yg belum ada."

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1621 on: 27 May 2013, 01:46:16 PM »
sepengetahuan ku kontak pantat dan bahan kursi bisa membawa orang tersebut terlena hingga bisa menimbulkan kemelekatan yang kuat sekali.
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1622 on: 27 May 2013, 01:46:32 PM »
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.

pernyataan ini yg seharusnya dibatasi pada kursi telah dibuat menjadi terbuka menjadi bahan tertentu yg tidak spesifik. Saya pikir kontak bokong dengan bokong dapat berpengaruh besar pada batin seseorang.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1623 on: 27 May 2013, 01:47:16 PM »
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:




kalau dibuang kakinya seharusnya tidak terlarang

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1624 on: 27 May 2013, 02:07:23 PM »
numpang duduk menyimak sambil minum kopi   [at] -)

eh, tapi boleh sambil lempar pertanyaan kan?
menurut yang ngaku Bukan Buddhis Baik-baik, 'seharusnya' atthasila ini harus dilaksanakan sesuai dengan aturannya dalam kalimat baku sampe ke titik koma atau lebih mengedepankan esensi latihan sila per silanya?


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1625 on: 27 May 2013, 02:10:09 PM »
kalau begitu jelas, tidak ada pelanggaran vinaya di sini, karena Sang Buddha selesai makan pun biasanya belum tengah hari, dalam banyak sutta dikatakan bahwa Sang Buddha bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi pindapatta, kemudian makan, saya pikir aktivitas ini tidak akan sampai lewat tengah hari. jadi option pelanggaran vinaya tidak berlaku di sini, dan tidak bisa dijadikan contoh kasus.
Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?

Quote
menurut saya ini termasuk moksologi, karena bisa saja ada keluarga2 yg sudah selesai masak pada jam 10 misalnya, apakah Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi perumah tangga harus selesai masak pada jam tertentu?
Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.

Quote
menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?
Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.

Quote
sebenarnya mangkuk yg menuruti vinaya itu pun sangat besar, lagipula kita di sini sedang membahas atthasila (kalo gak salah) boleh nyerempet ke vinaya tapi jangan dijadikan acuan utama.
Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.

Quote
Baik Buddhis baik2 maupun Buddhis tidak baik, saya pikir tidak menjadi alasan untuk menafsirkan ajaran secara berbeda. seseorang boleh saya menafsirkan suatu ajaran menurut apa yg ia sukai tapi hal ini tidak berhubungan dengan kualitas kebuddhisannya.
Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.


Quote
Pada awalnya Sang Buddha juga menetapkan vinaya mandi 2 minggu sekali, tapi kemudian karena mempertimbangkan wilayah yg airnya berlimpah maka Sang Buddha memperbolehkan mandi setiap hari. tapi revisi ini dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, sedangkan untuk kasus makan yg setahun sekali jadi setahun 365 kali, saya belum pernah membaca revisinya. Tentunya kita sebaiknya tidak mencoba untuk menggantikan peran Sang Buddha untuk merevisi vinaya yg telah ditetapkan.
Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".


Quote
Ingat pesan Sang Buddha dalam mahaparinibbana sutta yaitu "tidak meniadakan peraturan yg sudah ada dan tidak menambah peraturan yg belum ada."
Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.

Mengapa bukan makan siang dan malam, sudah saya jelaskan di awal bahwa itu berkenaan dengan situasi dan budaya setempat pada masa itu. Contoh lain yang adalah situasional sudah pernah saya singgung juga, untuk vinaya misalnya peraturan untuk kencing berjongkok yang tujuannya adalah menghindari mengenai makhluk-makhluk di tanah. Saya pikir tidak ada juntrungannya jika bhikkhu sedang kebelet dan hanya ada urinoir, maka demi tegaknya dhamma-vinaya, dia naik dan berjongkok dia atas urinoir demi menghindari kencing berdiri.

Lain halnya dengan emas dan perak yang merupakan kekayaan, kepemilikan, bisa disiasati dengan kartu kredit atau perwakilan kapiya, namun sebenarnya sudah melanggar peraturan, walaupun tidak melanggar vinaya verbatim et literatim. Sebaliknya kalau bhikkhu menggunakan barang elektronik seperti komputer, yang mana microprocessornya terbuat dari emas, bisa disebut melanggar vinaya verbatim et literatim, namun sebetulnya tidak melanggar aturan secara maknanya.
« Last Edit: 27 May 2013, 02:15:33 PM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1626 on: 27 May 2013, 02:26:56 PM »
Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?

Dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan tentang warisan Dhamma, bukan soal makan. Sang Buddha hanya mengatakan bahwa di antara kedua bhikkhu itu, yg melewatkan malam dengan berlatih walaupun kelaparan adalah lebih terpuji dibandingkan dengan yg menerima warisan makanannya.

Quote
Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.
Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.


bukan statistik tentang kematian orang yg saya minta, melainkan statistik populasi buddhis di kutub.

Quote
Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.

Walaupun demikian, namun Sang Buddha mengajarkan batasan2 tertentu dalam meniru, bukan meniru secara keseluruhan, dalam hal makan, yaitu tidak makan di waktu yg salah.

Quote
Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.

Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".


okay, tapi saya tidak tertarik untuk membahas soal definisi buddhis itu, karena seperti yg anda katakan bahwa setiap orang punya definisi masing2, jadi biarlah tetap demikian.

Quote
Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.


bisa minta refnya? karena sepengetahuan saya, dalam hal makan ada dibagi 2 periode, yaitu periode yg benar dan periode yg salah, periode yg benar adalah dari matahari terbit hingga tengah hari sedangkan periode yg salah adalah dari tengah hari hingga matahari terbit.

Quote
Mengapa bukan makan siang dan malam, sudah saya jelaskan di awal bahwa itu berkenaan dengan situasi dan budaya setempat pada masa itu. Contoh lain yang adalah situasional sudah pernah saya singgung juga, untuk vinaya misalnya peraturan untuk kencing berjongkok yang tujuannya adalah menghindari mengenai makhluk-makhluk di tanah. Saya pikir tidak ada juntrungannya jika bhikkhu sedang kebelet dan hanya ada urinoir, maka demi tegaknya dhamma-vinaya, dia naik dan berjongkok dia atas urinoir demi menghindari kencing berdiri.



ini menarik tapi nantilah kita bahas setelah yg satu ini tuntas, gak asik kalo diskusinya loncat2.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1627 on: 27 May 2013, 02:28:59 PM »
numpang duduk menyimak sambil minum kopi   [at] -)

eh, tapi boleh sambil lempar pertanyaan kan?
menurut yang ngaku Bukan Buddhis Baik-baik, [...]
Maksudnya saya donk?

Quote
[...] 'seharusnya' atthasila ini harus dilaksanakan sesuai dengan aturannya dalam kalimat baku sampe ke titik koma atau lebih mengedepankan esensi latihan sila per silanya?
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 

Misalnya untuk 'kursi', yang saya pahami adalah kursi pada jaman itu menandakan kedudukan seseorang. Jika berbagai kasta dan jabatan kumpul dalam satu tempat, maka masing-masing duduk di kursi yang tinggi rendahnya sesuai dengan statusnya. Misalnya dalam Brahmajalasutta disebutkan kursi berlapis kulit gajah atau kuda, ini sepertinya kursi khattiya karena gajah dan kuda adalah kendaraan para raja; kulit kijang, kalau tidak salah digunakan para brahmana. Hal lainnya adalah yang berhiaskan permata melambangkan seberapa besar kekayaan seseorang, atau hiasan kursi warna tertentu yang melambangkan status tertentu.

Jadi saya menyimpulkan bahwa sila ini adalah untuk meninggalkan kesombongan status seseorang dan merenungkan kerendah-hatian para Arahant yang paling mulia, namun puas dengan duduk dan berbaring di atas tempat butut yang seadanya. Kesombongan ini jelas berhubungan dengan noda-batin, bukan masalah pemilihan sentuhan bokong dengan kursi. 
« Last Edit: 27 May 2013, 02:32:40 PM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1628 on: 27 May 2013, 02:55:21 PM »
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 



6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1629 on: 27 May 2013, 03:00:17 PM »
Dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan tentang warisan Dhamma, bukan soal makan. Sang Buddha hanya mengatakan bahwa di antara kedua bhikkhu itu, yg melewatkan malam dengan berlatih walaupun kelaparan adalah lebih terpuji dibandingkan dengan yg menerima warisan makanannya.
Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.
Dan sutta ini saya singgung untuk menunjukkan bahwa bhikkhu yang sudah seragam jadwalnya, kadang bisa kena 'sial' dan telat dalam makan siang, dan jika kasusnya seperti di perumpamaan sutta, dia bisa memilih antara makan walaupun waktunya sudah kurang sesuai, atau kelaparan dan berlatih lebih keras.

Quote
bukan statistik tentang kematian orang yg saya minta, melainkan statistik populasi buddhis di kutub.
Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?

Quote
Walaupun demikian, namun Sang Buddha mengajarkan batasan2 tertentu dalam meniru, bukan meniru secara keseluruhan, dalam hal makan, yaitu tidak makan di waktu yg salah.
Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.


Quote
okay, tapi saya tidak tertarik untuk membahas soal definisi buddhis itu, karena seperti yg anda katakan bahwa setiap orang punya definisi masing2, jadi biarlah tetap demikian.
OK

Quote
bisa minta refnya? karena sepengetahuan saya, dalam hal makan ada dibagi 2 periode, yaitu periode yg benar dan periode yg salah, periode yg benar adalah dari matahari terbit hingga tengah hari sedangkan periode yg salah adalah dari tengah hari hingga matahari terbit.
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.


Quote
ini menarik tapi nantilah kita bahas setelah yg satu ini tuntas, gak asik kalo diskusinya loncat2.
OK.

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1630 on: 27 May 2013, 03:05:38 PM »

6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.



kalau begitu, bukankah sama aja dengan percaya secara membabi buta dulu pertama kaliny?

seperti bila saya ngefans sama bro Indra, apapun perkataan anda akan saya ikuti terlebih dahulu, demi cinta kasih dan penghormatan kepada bro indra.... manfaat hanya akan diketahui setelah menjalankannya ???

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1631 on: 27 May 2013, 03:09:45 PM »
Spoiler: ShowHide

6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)


Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.
Tidak masalah. Itu adalah Udayi dengan kecenderungannya. Dalam konteks ini, jika saya di masa itu, akan mengerti bahwa yang dikatakan adalah dalam hal penahanan diri dan porsi wajar dalam makan.

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1632 on: 27 May 2013, 03:12:14 PM »
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.

jd pada waktu yang tidak salah, kita tetap boleh makan berulang kalikah?
pandangan makan satu kali sehari itu, didasarkan kepada kebiasaan Buddha kah?




Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1633 on: 27 May 2013, 03:13:27 PM »
Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.
Dan sutta ini saya singgung untuk menunjukkan bahwa bhikkhu yang sudah seragam jadwalnya, kadang bisa kena 'sial' dan telat dalam makan siang, dan jika kasusnya seperti di perumpamaan sutta, dia bisa memilih antara makan walaupun waktunya sudah kurang sesuai, atau kelaparan dan berlatih lebih keras.
contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?

Quote
Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?
saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.

Quote
Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.

Juga dalam banyak sutta Sang Buddha memang mengajarkan makan secukupnya, tapi hal ini tidak dijadikan aturan wajib khususnya pada umat awam. kalau ada saya belum tau. melainkan yg menjadi aturan dalam atthasila adalah batasan waktunya.

Quote
OK
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.

bukankah jelas, kala dan vikala adalah pembagian periode waktu yg benar dan yg salah, ketika suatu waktu makan diperbolehkan maka itu adalah kala, sedangkan ketika suatu waktu tidak diperbolehkan maka itu adalah vikala. kala dan vikala memang bukan satuan waktu, melainkan suatu sebutan yg definisinya ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri. ketika Sang Buddha mengubah definisi waktu yg benar dan yg salah, maka definisi baru itu otomatis merevisi definisi dari terminologi yg digunakan. Dan ketika suatu peraturan diamandemen, maka adalah peraturan yg terakhir yg berlaku dan menjadi acuan.

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1634 on: 27 May 2013, 03:14:10 PM »
hmm, ketika seseorang melatih athasila masing masing akan mempunyai perkembangan dan pemahaman sendiri sendiri.

pada awalnya tentu saja kita mengikuti seperti di katakan di paritta dan berkembang pemahaman dari trial and error, hingga masing masing mempunyai penafsiran sendiri.

Wa sendiri merasakan jatuh dari tempat tidur yang rendah tidak sakit di banding kalau tidur di tempat tinggi jatuh nya akan lebih sakit, tidak hanya tempat tidur tempat duduk yang tinggi juga berbahaya bila tidak hati hat naik dan turun dari bangku, wa pikir dan mengaitkan dengan gempa hingga kita bisa lari keluar rumah dengan cepat.

 

anything