//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 583988 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1590 on: 24 May 2013, 05:58:42 PM »
ini sutta uposatha yg meniru arahant

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html

lainnya

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html

Mudaha2an kita cepat jadi arahat dengan praktek seperti ini :
(dari source di atas)

Quote
"[He considers:] 'For all their lives the arahants having abandoned high beds[9] and large beds,[10] refraining from high beds and large beds, they make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass; so today I have abandoned high beds and large beds, refraining from high beds and large beds, I make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass. By this practice, following after the arahants the Uposatha will be entered on by me.'

"It is undertaken by this eighth practice.

Quote
8. "Bhikkhus. Ariyan disciples in this Religion reflect thus:

"'All arahants, for as long as life lasts, have given up lying on large or high beds. They are content with low beds or bedding made of grass.'

"All of you have given up lying on large or high beds. You are content with low beds or beds made of grass
. For all of this day and night, in this manner, you will be known as having followed the arahants, and the Uposatha will have been observed by you. This is the eighth factor of the Uposatha.

Tapi detail dari om Indra gw belum ketemu di sutta yg disebutkanNya nya. :-?
« Last Edit: 24 May 2013, 06:00:49 PM by sanjiva »
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1591 on: 24 May 2013, 06:06:10 PM »
Tapi detail dari om Indra gw belum ketemu di sutta yg disebutkanNya nya. :-?

dari brahmajala sutta:
1.15. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brāhmaṇa masih menyukai tempat tidur yang tinggi dan lebar dan tempat duduk yang tinggi, alas duduk berhiaskan kulit binatang,[22] dilapisi wol atau dengan berbagai macam penutup, penutup dengan bulu di kedua sisi atau di satu sisi, penutup sutra, berhiaskan dengan atau tanpa permata, permadani-kereta, -gajah, -kuda, berbagai selimut dari kulit-kijang, bantal bertenda, atau dengan bantal merah di kedua sisi, Petapa Gotama menjauhi tempat tidur tinggi dan lebar demikian.”’

samanaphala sutta menyingkat bagian ini dengan merujuk pada paragraf di atas.

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: [Note] Kursi
« Reply #1592 on: 25 May 2013, 07:54:09 PM »
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: , sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:


Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:


Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
om kainyn, ini serius atau becanda??
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1593 on: 25 May 2013, 10:49:57 PM »
Di buku paritta ku sih jelas tertulis tidak lebih tinggi dari 60cm baik untuk bangku maupun tempat tidur.



Untuk yang ini masih bisa digunakan untuk duduk.

nah gambar di bawah ini sebaiknya dihindari


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1594 on: 27 May 2013, 08:57:10 AM »
inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?

Quote
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?
Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.

Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.

Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.

Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.

IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.


Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.

Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam Dhammadayadasutta. Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan. 

« Last Edit: 27 May 2013, 05:26:49 PM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1595 on: 27 May 2013, 09:01:56 AM »
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?

seorang wasit yg duduk di lantai dan wasit yg duduk di kursi tinggi akan memiliki tingkat kesombongan berbeda.

Quote
Spoiler: ShowHide
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?

Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.

Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.

Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.

Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.

IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.


Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.

Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam Dhammadayadasutta. Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan. 



Jadi menurut uraian panjang di atas, makan setelah tengah hari walaupun hanya sehari sekali bukanlah suatu pelanggaran terhadap sila atau vinaya?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: [Note] Kursi
« Reply #1596 on: 27 May 2013, 09:06:43 AM »
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.
Sudah dibantu sama teman-teman (Indra, Sumedho, Ariyakumara). Uposatha dijalankan untuk meniru perilaku Arahant. Dalam Uposathasutta (baik yang ringkas maupun yang terperinci), tidak dijelaskan detail dari uccāsayanamahāsayanaṃ (tempat berbaring tinggi, tempat berbaring besar), namun merujuk pada apa yang dilakukan Buddha sebagai teladan (Gurunya para Arahant), sila yang dijalani dijelaskan dalam Brahmajalasutta itu.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1597 on: 27 May 2013, 09:12:44 AM »
Di buku paritta ku sih jelas tertulis tidak lebih tinggi dari 60cm baik untuk bangku maupun tempat tidur.



Untuk yang ini masih bisa digunakan untuk duduk.
Tidak bisa, karena dalamnya juga ada kapas/wol.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1598 on: 27 May 2013, 09:23:16 AM »
seorang wasit yg duduk di lantai dan wasit yg duduk di kursi tinggi akan memiliki tingkat kesombongan berbeda.
Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?

Quote
Jadi menurut uraian panjang di atas, makan setelah tengah hari walaupun hanya sehari sekali bukanlah suatu pelanggaran terhadap sila atau vinaya?

Untuk vinaya, jika kasusnya seperti di kasus Dhammadayadasutta yang masih ada makanan sisa dari bhikkhu lain, tidak terima dana dari umat lagi, maka bukan pelanggaran. Lain dari itu, adalah pelanggaran, kecuali bhikkhu itu sakit.

Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Namun ada 2 hal di sini:
-Jika ia melihat sila itu sebagai "aturan waktu keramat untuk makan", maka apakah ia melanggar atau menjalani, ia tidak akan mendapatkan manfaat bagi latihan.
-Jika ia melakukan latihan makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak.

Nah balik lagi kembali ke masing-masing orang apakah menjalankan sila karena mengerti latar belakang dan manfaatnya, atau hanya untuk mengikuti apa yang tertulis. Hal ini saya singgung setelah membaca thread sebelah tentang "Sigalovadasutta" yang katanya relevan sepanjang masa, padahal ada hal-hal tertentu adalah bersifat budaya kontemporer, ada hal-hal yang bersifat kemoralan dan pengikisan noda batin. Hal ke dua ini yang relevan sepanjang masa, namun tidak untuk yang pertama.

« Last Edit: 27 May 2013, 09:25:35 AM by Kainyn_Kutho »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1599 on: 27 May 2013, 09:24:51 AM »
om kainyn, ini serius atau becanda??
Saya sih dua-duanya. Tapi untuk definisi kursi yang dihindari dalam aturan atthasila yang beredar sekarang, memang setahu saya begitu.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1600 on: 27 May 2013, 10:06:23 AM »
Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?


tapi tentu saja seorang Buddhist yg sungguh2 berlatih pasti akan lebih menuruti instruksi Sang Buddha daripada saran anda.

Quote
Untuk vinaya, jika kasusnya seperti di kasus Dhammadayadasutta yang masih ada makanan sisa dari bhikkhu lain, tidak terima dana dari umat lagi, maka bukan pelanggaran. Lain dari itu, adalah pelanggaran, kecuali bhikkhu itu sakit.

dalam kasus sutta itu, IMO Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan dengan makanan sisa dari Sang Buddha sendiri, bukan dari bhikkhu lain, dan itu pun hanya perumpamaan dengan penekanan "walaupun mati kelaparan yg penting latihan".

Quote
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Namun ada 2 hal di sini:
-Jika ia melihat sila itu sebagai "aturan waktu keramat untuk makan", maka apakah ia melanggar atau menjalani, ia tidak akan mendapatkan manfaat bagi latihan.
-Jika ia melakukan latihan makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak.


Nah balik lagi kembali ke masing-masing orang apakah menjalankan sila karena mengerti latar belakang dan manfaatnya, atau hanya untuk mengikuti apa yang tertulis. Hal ini saya singgung setelah membaca thread sebelah tentang "Sigalovadasutta" yang katanya relevan sepanjang masa, padahal ada hal-hal tertentu adalah bersifat budaya kontemporer, ada hal-hal yang bersifat kemoralan dan pengikisan noda batin. Hal ke dua ini yang relevan sepanjang masa, namun tidak untuk yang pertama.



sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1601 on: 27 May 2013, 10:55:47 AM »
tapi tentu saja seorang Buddhist yg sungguh2 berlatih pasti akan lebih menuruti instruksi Sang Buddha daripada saran anda.
Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.


Quote
dalam kasus sutta itu, IMO Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan dengan makanan sisa dari Sang Buddha sendiri, bukan dari bhikkhu lain, dan itu pun hanya perumpamaan dengan penekanan "walaupun mati kelaparan yg penting latihan".
Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.


Quote
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.
Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis". 

Dan yang paling penting di sini, saya tidak membuat komentar. Kita sama-sama punya logika untuk berpikir apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Saya melihat latar belakang "vikala" (waktu salah) adalah sudut pandang budaya di mana dulu jalanan gelap dan tidak ada aktifitas malam hari. Sebelum ada aturan makan hanya sekali, dikatakan ada bhikkhu yang cari makanan malam-malam bikin kaget umat, meresahkan. Selain itu juga bisa dikira rampok atau dibunuh oleh rampok. Beberapa, karena jalan gelap, masuk ke parit, selokan, lobang kakus. Dalam kasus ekstrem bahkan diculik dan dimakan yakkha. Karena itu, jika harus memilih waktu yang tepat dari 3 pilihan waktu, sebelum tengah hari adalah yang terbaik.

Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.

« Last Edit: 27 May 2013, 11:04:51 AM by Kainyn_Kutho »

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1602 on: 27 May 2013, 11:10:14 AM »
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.


 :)) :)) :))  :jempol:

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1603 on: 27 May 2013, 11:12:40 AM »
Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.


seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.

Quote
Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.
Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?

Quote
Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis". 

Dan yang paling penting di sini, saya tidak membuat komentar. Kita sama-sama punya logika untuk berpikir apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Saya melihat latar belakang "vikala" (waktu salah) adalah sudut pandang budaya di mana dulu jalanan gelap dan tidak ada aktifitas malam hari. Sebelum ada aturan makan hanya sekali, dikatakan ada bhikkhu yang cari makanan malam-malam bikin kaget umat, meresahkan. Selain itu juga bisa dikira rampok atau dibunuh oleh rampok. Beberapa, karena jalan gelap, masuk ke parit, selokan, lobang kakus. Dalam kasus ekstrem bahkan diculik dan dimakan yakkha. Karena itu, jika harus memilih waktu yang tepat dari 3 pilihan waktu, sebelum tengah hari adalah yang terbaik.



menurut saya itu adalah komentar, yaitu menafsirkan vikala-bhojjana sebagai "makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak." yg kemudian ditafsirkan lagi jadi "makan jam 7 malam pun bukan pelanggaran, asalkan cuma satu kali sehari." Hal ini jelas tidak sesuai dengan Dhammavinaya, tapi oke lah jika anda menganggap hal ini bukan berkomentar.

Lalu apa latar belakang Sang Buddha memberikan batasan waktu jika parameter sesungguhnya adalah "keserakahan pada lidah"? Dan jika karena alasan malam gelap, jam 5 sore tentu masih terang benderang bukan? dan kenapa harus memilih dari 3 pilihan waktu, jika ada 4, 5, atau 6 pilihan?

Quote
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.


Jadi untuk kasus kutub itu anda juga menyarankan makan sekali dalam 6 bulan agar bisa sesuai dengan kala versi anda?
« Last Edit: 27 May 2013, 11:15:53 AM by Indra »

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1604 on: 27 May 2013, 11:13:04 AM »
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.

 tentunya setiap orang akan menciptakan komentar sendiri setiap kali membaca, hanya sang penulis sendiri yang tahu apa maksud sebenarnya dari yang dia tulis bukan?


lalu bagaimana pandangan anda mengenai latihan atthasila ini ? kita sudah membaca pandangan dari KK, menurut bro Indra sendiri bagaimana?