//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Mangkok

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 9
1
Thanks, yang share artikel ini sempat menulis kalimat ini (cuma ga saya sertakan di atas  ;)): Keep in mind he is speaking as an emprical scientist.

 _/\_

2
Strategi yang Menipu dan Harapan-harapan Palsu

Beberapa waktu yang lampau, ada beberapa kasus para manajer yang tidak bertanggung-jawab yang mengurusi tanah/ rumah para Lama yang cukup berada, yang terlibat dalam metode-metode tidak tepat dalam mengenali para reinkarnasi, yang tentu saja telah meremehkan Dharma, komunitas monastik dan masyarakat kami. Lebih lanjut, sejak era Manchu, otoritas politik Cina telah berulang kali menggunakan beragam cara yang licik dan menipu dengan memanfaatkan Buddhisme, guru-guru Buddhis, dan para Tulku sebagai alat untuk memenuhi tujuan-tujuan politik mereka seiring dengan keterlibatan mereka di dalam urusan-urusan Tibet dan Mongolia. Kini, penguasa-penguasa otoriter dari Republik Rakyat Cina, yang selaku komunis menolak agama, tapi masih saja melibatkan diri pada urusan-urusan agama, telah memaksakan apa yang disebut sebagai kampanye re-edukasi dan mendeklarasikan sesuatu yang dinamakan Peraturan Nomor Lima, sehubungan dengan kontrol dan pengenalan para reinkarnasi, yang diberlakukan sejak 1 September 2007. Ini sungguh memalukan dan amat tercela. Pemaksaan beragam metode yang tidak benar untuk mengenali para reinkarnasi dalam rangka menghapuskan tradisi-tradisi budaya Tibet yang unik  akan berakibat kerusakan yang akan sulit untuk diperbaiki.
 
Lebih jauh lagi, mereka mengatakan bahwa mereka sedang menanti kematian saya dan akan mengenali Dalai Lama Kelimabelas berdasarkan pilihan mereka. Sudah jelas terlihat dari aturan dan regulasi mereka baru-baru ini, berikut deklarasi-deklarasi selanjutnya yang telah dikeluarkan, bahwa mereka memiliki strategi terperinci untuk menipu orang-orang Tibet, pengikut Buddhis tradisi Tibet, dan komunitas dunia. Dari itu, karena saya memiliki tanggung-jawab untuk melindungi Dharma dan semua makhluk dan melawan skema yang sangat merugikan itu, dengan ini saya mendeklarasikan pernyataan berikut.
 
Inkarnasi Dalai Lama berikutnya


Sebagaimana yang sudah saya sebutkan sebelumnya, reinkarnasi adalah sebuah fenomena yang seharusnya terjadi melalui pilihan sukarela dari orang yang bersangkutan atau setidak-tidaknya dari kekuatan karma, kebajikan, dan doa-doa aspirasinya. Karena itu, orang yang ber-reinkarnasi memiliki otoritas tunggal yang sah mengenai di mana dan bagaimana ia akan terlahir kembali dan bagaimana cara reinkarnasi itu akan dikenali nantinya. Itu adalah sebuah realita yang tidak bisa dipaksakan oleh pihak lain kepada yang bersangkutan, ataupun memanipulasi dirinya. Secara khusus, sangat tidak pantas bagi pihak komunis Cina, yang secara eksplisit menolak bahkan pemikiran adanya kelahiran lampau dan akan datang, apalagi konsep Tulku-tulku yang bereinkarnasi, untuk turut campur dalam sistem reinkarnasi ini dan terutama reinkarnasi para Dalai Lama dan Panchen Lama. Tindakan turut-campur yang tidak pantas ini berlawanan dengan ideologi politis mereka sendiri dan mengungkapkan standar ganda yang mereka terapkan. Seandainya situasi ini masih terus berlanjut di masa yang akan datang, mustahil bagi orang-orang Tibet dan mereka yang mengikuti tradisi Buddhis Tibet untuk menerima ataupun mengakuinya.
 
Ketika saya sudah berusia sekitar sembilan puluh, saya akan berkonsultasi dengan Lama-lama tinggi dari tradisi-tradisi Buddhis Tibet, masyarakat Tibet, dan pihak-pihak bersangkutan lainnya yang mengikuti Buddhisme Tibet, dan meninjau kembali apakah institusi Dalai Lama perlu dilanjutkan atau tidak. Berdasarkan konsultasi tersebut nantinya kami akan mengambil sebuah keputusan. Jika diputuskan bahwa reinkarnasi Dalai Lama harus dilanjutkan dan perlunya Dalai Lama Kelimabelas untuk dikenali, maka tanggung-jawab untuk melakukannya terletak utamanya pada pejabat-pejabat berwenang di dalam Gaden Phodrang Dalai Lama yang Terpercaya. Mereka haruslah berkonsultasi dengan beragam pemimpin dalam tradisi Buddhis Tibet dan Protektor-protektor Dharma terikat sumpah yang bisa diandalkan, yang secara tak terpisahkan terkait dengan silsilah para Dalai Lama. Mereka haruslah meminta nasihat dan petunjuk dari orang-orang yang bersangkutan ini dan melaksanakan prosedur-prosedur pencarian dan pengenalan yang sejalan dengan tradisi masa lampau. Saya akan meninggalkan instruksi tertulis yang jelas mengenai hal ini. Harap diingat, terlepas dari reinkarnasi yang dikenali melalui metode-metode yang sah seperti itu, tidak akan ada pengenalan ataupun penerimaan yang boleh diberikan kepada seorang kandidat terpilih yang memiliki tujuan-tujuan politik dari siapa pun, termasuk pihak Republik Rakyat Cina.
 
 
Dalai Lama
 
Dharamsala
24 September  2011
 

Sumber:
http://www.kadamchoeling.or.id/news.php?nav_id=1&lang=id&id=367&title=Pernyataan%20Yang%20Mulia%20Dalai%20Lama%20ke-14,%20Tenzin%20Gyatso,%20Sehubungan%20Reinkarnasi%20Beliau

3
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Menggunakan Kendi Emas
« on: 27 September 2011, 01:55:05 PM »
Menggunakan Kendi Emas

Seiring dengan memburuknya zaman kemerosotan, dan semakin banyaknya Lama-lama tingkat tinggi yang dikenali, beberapa untuk tujuan-tujuan politis, maka semakin banyak reinkarnasi yang dikenali melalui cara-cara tidak pantas dan patut dipertanyakan, yang berakibat kerusakan parah terhadap Dharma.
 
Semasa konflik antara Tibet dan orang-orang Gurkha (1791-93), Pemerintah Tibet terpaksa meminta bantuan militer dari pihak Manchu. Hasilnya, pasukan militer Gurkha bisa diusir keluar Tibet, tapi setelah itu, pejabat-pejabat Manchu mengajukan sebuah proposal yang terdiri dari 29-poin dengan tameng untuk menjadikan administrasi Pemerintahan Tibet lebih efisien. Proposal ini mencakup saran untuk menarik undian dari sebuah Kendi Emas untuk memutuskan reinkarnasi para Dalai Lama, Panchen Lama, dan Hutuktu, sebuah gelar Mongolia yang diberikan kepada Lama-lama tingkat tinggi. Karena itu, prosedur ini diikuti dalam kasus mengenali para reinkarnasi Dalai Lama, Panchen Lama, dan Lama-lama tingkat tinggi lainnya. Ritual yang harus diikuti ditulis oleh Dalai Lama Kedelapan, Jampel Gyatso. Bahkan walaupun sebuah sistem seperti ini telah diperkenalkan, prosedur ini dihapuskan oleh Dalai Lama Kesembilan, Ketiga-belas, dan saya sendiri, Dalai Lama Keempat Belas.
 
Bahkan dalam kasus Dalai Lama Kesepuluh, reinkarnasi otentiknya telah ditemukan dan sesungguhnya prosedur ini tidak diikuti, tapi semata-mata untuk melucu kepada orang-orang Manchu, ketika itu diumumkan bahwa prosedur ini telah dijalankan.
 
Sistem Kendi Emas sesungguhnya hanya digunakan dalam kasus Dalai Lama Kesebelas dan Keduabelas. Namun, Dalai Lama Keduabelas sudah berhasil dikenali sebelum prosedur ini digunakan. Karena itu, hanya ada satu kasus ketika seorang Dalai Lama dikenali dengan menggunakan metode ini. Sama halnya, di antara para reinkarnasi Panchen Lama, terkecuali yang Kedelapan dan Kesembilan, belum pernah ada contoh-contoh di mana metode ini digunakan. Sistem ini dipaksakan oleh orang-orang Manchu, tapi orang-orang Tibet tidak memiliki keyakinan terhadapnya karena tidak memiliki kualitas spiritual apa pun. Akan tetapi, jika dilaksanakan dengan sejujur-jujurnya, kelihatannya kita bisa saja menganggapnya sama dengan cara peramalan dengan metode bulatan adonan (zen tak).
 
Di tahun 1880, pada saat pengenalan Dalai Lama Ketigabelas selaku reinkarnasi dari Dalai Lama Keduabelas, jejak-jejak hubungan Pemuka Agama-Pelindung antara Tibet dan Manchu masih ada. Beliau dikenali sebagai reinkarnasi tanpa kesalahan oleh Panchen Lama Kedelapan, ramalan dari peramal Nechung dan Samye, dan dari pengamatan terhadap penglihatan yang muncul di Lhamoi Latso, itu sebabnya prosedur Kendi Emas tidak diikuti. Ini bisa dipahami dengan jelas dari kesaksian terakhir Dalai Lama Ketigabelas di Tahun Monyet Air (1933) yang mana Beliau menyatakan:
“Sebagaimana yang Anda semua ketahui, saya tidak terpilih melalui undian dari kendi emas, tapi pemilihan diri saya sudah diprediksi dan diramal. Sejalan dengan ramalan dan prediksi inilah, saya dikenali selaku reinkarnasi Dalai Lama dan naik takhta.”
 
Ketika saya dikenali sebagai inkarnasi Dalai Lama Keempatbelas di tahun 1939, hubungan Pemuka Agama-Pelindung antara Tibet dan Cina sudah berakhir. Karenanya, sama sekali tidak dibutuhkan konfirmasi reinkarnasi dengan menggunakan Kendi Emas. Sudah banyak diketahui bahwa Wali Tibet dan Majelis Nasional Tibet telah mengikuti prosedur pengenalan reinkarnasi Dalai Lama dengan mempertimbangkan ramalan Lama-lama besar, ramalan dan penglihatan di Lhamoi Latso; pihak Cina tidak terlibat sama sekali. Meski demikian, beberapa pejabat Kuomintang yang prihatin belakangan secara licik menebar kebohongan di surat-surat kabar dengan mengklaim bahwa  mereka telah menyetujui untuk melanjutkan penggunaan Kendi Emas dan bahwasanya Wu Chung-tsin memimpin upacara penobatan saya, dan seterusnya. Kebohongan ini dibongkar oleh Ngabo Ngawang Jigme, Wakil Ketua Komite Tetap Kongres Nasional Rakyat, yang dianggap oleh Republik Rakyat Cina sebagai seseorang yang paling progresif, pada Sesi Kedua Kongres Rakyat Kelima mengenai Wilayah Otonomi Tibet (31 Juli 1989). Ini sangat jelas, ketika pada akhir pidatonya, yang mana ia memberikan penjelasan rinci dan memaparkan bukti-bukti dokumenter, ia mempertanyakan:
 
“Apa gunanya Partai Komunis menuruti dan melanjutkan kebohongan-kebohongan Kuomintang?”

4
Cara-cara Mengenali Reinkarnasi

Setelah munculnya sistem mengenali para Tulku, beragam prosedur untuk melaksanakannya pun tumbuh dan berkembang. Di antara ini semua, beberapa yang paling penting mencakup surat ramalan dari para pendahulu dan instruksi-instruksi lain berikut indikasi-indikasi mengenai apa yang mungkin terjadi; kemampuan sang reinkarnasi untuk mengingat kehidupannya yang sebelumnya dan berbicara mengenainya; mengenali barang-barang milik pendahulunya dan mengenali orang-orang yang dulunya dekat dengannya. Terlepas dari ini semua, metode-metode tambahan mencakup bertanya pada guru-guru spiritual yang bisa dipercaya untuk meminta ramalan, berikut konsultasi dengan peramal untuk urusan duniawi, yang muncul melalui perantara yang dirasuki, serta mengamati penglihatan yang muncul di danau-danau keramat para pelindung seperti Lhamoi Latso, sebuah danau keramat di selatan Lhasa.
 
Semisalnya ada lebih dari satu kandidat prospektif untuk dikenali sebagai seorang Tulku, dan apabila sulit untuk diputuskan, ada sebuah praktik untuk mengambil keputusan akhir melalui peramalan yang menggunakan metode bulatan adonan (zen tak) di hadapan sebuah rupang suci sambil memohon kekuatan kebenaran.
 
Emanasi sebelum meninggalnya sang pendahulu (ma-dhey tulku)


Biasanya seorang reinkarnasi adalah seseorang yang terlahir kembali sebagai seorang manusia setelah sebelumnya telah meninggalkan dunia. Makhluk-makhluk biasa secara umum tidak akan mampu memanifestasikan seorang emanasi sebelum dirinya meninggal (ma-dhey tulku), tapi para Bodhisattva tingkat tinggi, yang mampu bermanifestasi dalam ratusan bahkan ribuan tubuh secara bersamaan, bisa memanifestasikan sebuah emanasi sebelum dirinya meninggal. Di dalam sistem pengenalan para Tulku bangsa Tibet, ada emanasi-emanasi yang termasuk arus batin yang sama dengan sang pendahulu, emanasi-emanasi yang terhubung antara satu dengan lainnya melalui kekuatan karma dan doa-doa aspirasi, dan emanasi-emanasi yang muncul sebagai hasil dari berkah dan janji.
 
Tujuan utama dari kemunculan seorang reinkarnasi adalah untuk melanjutkan aktivitas sang pendahulu yang belum selesai dalam rangka melayani Dharma dan para makhluk. Dalam kasus seorang Lama yang merupakan makhluk biasa, sebagai pengganti dari reinkarnasi yang termasuk dalam arus batin yang sama, maka ada orang lain yang memiliki koneksi dengan Lama tersebut melalui karma dan doa-doa yang murni, bisa saja dikenali sebagai emanasinya. Sebagai alternatif, bisa juga sang Lama menunjuk seorang penerus, yang kalau bukan muridnya adalah seseorang yang masih muda yang dikenali sebagai emanasinya. Karena pilihan-pilihan ini dimungkinkan dalam kasus seorang makhluk biasa, maka seorang emanasi sebelum seorang pendahulu meninggal yang tidak berada dalam arus batin yang sama juga dimungkinkan. Dalam beberapa kasus, seorang Lama tingkat tinggi bisa memiliki beberapa reinkarnasi pada waktu bersamaan, misalnya inkarnasi tubuh, ucapan, dan batin, dan seterusnya. Dewasa ini, sudah dikenali adanya emanasi-emanasi sebelum kematian seperti Dudjom Jigdral Yeshe Dorje dan Chogye Trichen Ngawang Khyenrab.

5
Pencarian para Reinkarnasi

Praktik mencari dan mengenali siapa adalah siapa, dengan mengidentifikasi kehidupan lampau seseorang, dilakukan bahkan ketika Buddha Shakyamuni sendiri masih hidup. Banyak catatan yang ditemukan di keempat bagian Agama pada Vinaya Pitaka, Kisah-kisah Jataka, Sutra yang Bijak dan Dungu, Sutra Seratus Karma, dan seterusnya, di mana Tathagata mengungkapkan cara kerja karma, menceritakan tak terhingga banyaknya kisah-kisah mengenai bagaimana akibat-akibat dari karma-karma tertentu yang dilakukan di kehidupan lampau, dialami oleh seseorang dalam kehidupannya sekarang. Juga, dalam riwayat-riwayat hidup para guru India, yang hidup setelah zaman Buddha, banyak yang bisa mengungkapkan tempat kelahiran mereka dalam kehidupan sebelumnya. Ada banyak kisah-kisah seperti itu, tapi sistem mengenali dan menomori reinkarnasinya tidak terbentuk di India.
 
Sistem Mencari para Reinkarnasi di Tibet

Kehidupan lampau dan yang akan datang sudah ditegaskan dalam tradisi asli Tibet, Bon, sebelum datangnya Buddhisme. Sejak penyebaran Buddhisme di Tibet, praktis semua orang Tibet meyakini kelahiran lampau dan akan datang. Menyelidiki reinkarnasi dari begitu banyak guru-guru spiritual yang menegakkan Dharma, berikut tradisi berdoa dengan penuh rasa bakti kepada mereka, berkembang di mana-mana di Tibet. Banyak teks-teks otentik, kitab-kitab asli Tibet, seperti Mani Kabum dan Lima Bagian Ajaran Kathang dan lain-lain, misalnya Kitab Para Murid Kadam dan Untaian Permata: Jawaban terhadap Pertanyaan, yang diceritakan oleh Guru India yang jaya dan tiada bandingannya, Dipankara Atisha, pada abad ke-11 di Tibet, yang menceritakan kisah-kisah reinkarnasi Arya Avalokiteshvara, Sang Bodhisattva welas asih. Akan tetapi, tradisi saat ini, yang secara resmi mengenali para reinkarnasi guru-guru, pertama-tama dimulai pada awal abad ke-13, yakni dari pengenalan Karmapa Pagshi selaku reinkarnasi dari Karmapa Dusum Khyenpa oleh murid-muridnya sesuai dengan ramalan Beliau sendiri. Sejak saat itu, sudah ada tujuh belas inkarnasi Karmapa selama lebih dari sembilan ratus tahun. Sama halnya, sejak dikenalinya Kunga Sangmo selaku reinkarnasi dari Khandro Choekyi Dronme di abad ke-15, sudah ada lebih dari sepuluh inkarnasi dari Samding Dorje Phagmo. Jadi, di antara para Tulku yang dikenali di Tibet, ada yang merupakan praktisi monastik dan praktisi tantra umat awam, laki-laki dan perempuan. Sistem mengenali para reinkarnasi ini pada akhirnya menyebar hingga tradisi-tradisi Buddhis lainnya, berikut Bon, di Tibet. Di masa sekarang, ada Tulku-tulku yang sudah dikenali dalam semua tradisi Buddhist Tibet, Sakya, Geluk, Kagyu dan Nyingma, berikut Jonang dan Bodong, yang melayani Dharma. Tentu saja ada di antara para Tulku ini yang merupakan sosok tercela.
 
Gedun Drub yang maha mengetahui, yang merupakan murid langsung dari Je Tsongkhapa, mendirikan Biara Tashi Lhunpo di Tsang dan merawat murid-muridnya. Beliau meninggal di tahun 1474 pada usia 84 tahun. Walaupun pada awalnya tidak ada upaya untuk mencari reinkarnasinya, orang-orang terpaksa mengenali seorang anak kecil bernama Sangye Chophel, yang terlahir di Tanak, Tsang (1476), dikarenakan apa yang dikatakan oleh anak tersebut mengenai ingatannya yang luar biasa dan tanpa cela akan kehidupan lampaunya. Sejak itu, sebuah tradisi dimulai untuk mencari dan mengenali reinkarnasi-reinkarnasi secara berurut dari para Dalai Lama yang dilakukan oleh Gaden Phodrang Labrang dan di kemudian hari oleh Pemerintahan Gaden Phodrang.

6
Bagaimana Terjadinya Kelahiran Kembali

Ada dua cara bagaimana seseorang terlahir kembali setelah mengalami proses kematian: terlahir kembali di bawah pengaruh karma dan emosi-emosi destruktif dan kelahiran kembali melalui kekuatan welas asih dan doa.  Sehubungan dengan cara yang pertama, dikarenakan kebodohan batin maka terciptalah karma positif dan negatif dan jejak-jejaknya bertahan di dalam kesadaran. Jejak-jejak ini kemudian diaktifkan kembali oleh nafsu keinginan [tanha] dan kemelekatan [upadana], yang kemudian melemparkan kita ke kelahiran berikutnya. Dengan terpaksa kita kemudian terlahir kembali di alam-alam tinggi atau rendah. Demikianlah cara makhluk-makhluk biasa berputar-putar tanpa henti dalam lingkaran keberadaan ibarat perputaran sebuah roda. Walau demikian, dalam kondisi seperti itu, para makhluk masih tetap bisa mempraktikkan kebajikan dengan aspirasi yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bisa membiasakan batin mereka dengan kebajikan sehingga pada saat kematian, batin yang bajik bisa diaktifkan kembali, yang akan memungkinkan mereka untuk terlahir kembali dalam alam-alam yang lebih tinggi. Di sisi lain, para Bodhisattva yang unggul, yang telah mencapai Marga Penglihatan, sudah tidak terlahir kembali karena kekuatan karma dan emosi-emosi yang destruktif, tapi karena kekuatan welas asih mereka terhadap semua makhluk dan berdasarkan doa-doa aspirasi mereka untuk memberikan manfaat kepada makhluk lain. Mereka juga memiliki kemampuan untuk memilih tempat dan waktu kelahiran serta memilih orangtua pada kelahiran yang akan datang. Kelahiran kembali seperti ini, yang semata-mata ditujukan untuk memberikan manfaat kepada makhluk lain, adalah sebuah kelahiran yang didorong oleh kekuatan welas asih dan doa aspirasi.
 
Pengertian Tulku

Kelihatannya tradisi orang Tibet menggunakan gelar ‘Tulku’ (Tubuh Emanasi Buddha) untuk mengenali para reinkarnasi dimulai ketika para penganut yang berbakti menggunakannya sebagai gelar kehormatan, tapi sebutan ini sudah menjadi panggilan umum. Secara umum, istilah Tulku merujuk pada sebuah aspek tertentu dari Buddha, satu dari tiga atau empat yang dijelaskan dalam Kendaraan Sutra. Menurut penjelasan aspek-aspek Buddha ini, seseorang yang sepenuhnya dilingkupi oleh emosi-emosi destruktif dan karma memiliki potensi untuk mencapai Tubuh Kebenaran (Dharmakaya), yang terdiri dari Tubuh Kebenaran Kebijaksanaan dan Tubuh Kebenaran Sifat Dasar. Yang pertama merujuk pada batin pencerahan seorang Buddha, yang mencerap segala sesuatu secara langsung dan tepat, sebagaimana adanya, dalam sekejap. Tubuh ini telah dimurnikan dari segala bentuk emosi-emosi negatif, berikut dengan jejak-jejaknya, yang dicapai melalui akumulasi kebajikan dan kebijaksanaan selama kurun waktu yang sangat panjang. Yang kedua, Tubuh Kebenaran Sifat Dasar, merujuk pada sifat dasar yang sunya terhadap batin pencerahan yang maha mengetahui tersebut. Kedua hal ini merupakan aspek-aspek para Buddha itu sendiri. Akan tetapi, karena aspek ini tidak bisa diakses secara langsung oleh makhluk lain, tapi hanya bisa diakses oleh sesama Buddha itu sendiri, maka dari itu, penting sekali bagi para Buddha untuk bermanifestasi dalam bentuk-bentuk fisik yang bisa diakses oleh semua makhluk agar bisa menolong mereka. Dengan demikian, aspek fisik tertinggi seorang Buddha adalah Tubuh Kenikmatan Sepenuhnya (Sambhogakaya), yang bisa diakses oleh Bodhisattva tingkat tinggi, dan memiliki lima kualifikasi pasti, misalnya menetap di Surga Akanishta. Dari Tubuh Kenikmatan Sepenuhnya, Buddha memanifestasikan tak terhingga banyaknya Tubuh-tubuh Emanasi atau para Tulku (Nirmanakaya), yang muncul dalam wujud dewa atau manusia sehingga bisa dilihat bahkan oleh makhluk-makhluk biasa. Kedua aspek fisik seorang Buddha ini disebut Tubuh-tubuh Fisik, yang diperuntukkan untuk makhluk lain.
 
Tubuh Emanasi memiliki tiga bagian: a) Tubuh Emanasi Unggul seperti Buddha Shakyamuni, Buddha historis, yang memanifestasikan dua belas aktivitas seorang Buddha, seperti terlahir di tempat yang dipilihnya, dan seterusnya; b) Tubuh Emanasi Artistik yang melayani makhluk lain dengan cara muncul sebagai seniman, artis, dan sebagainya; dan c) Tubuh Emanasi Inkarnasi, yang mana dengan tubuh ini para Buddha muncul dalam beragam bentuk seperti manusia, istadewata, sungai, jembatan, tanaman-tanaman obat, dan pepohonan untuk menolong para makhluk. Dari ketiga jenis Tubuh Emanasi ini, reinkarnasi para guru-guru spiritual yang ditemukan kembali dan dikenal sebagai para ‘Tulku’ di Tibet, termasuk kategori yang ketiga. Di antara para Tulku ini, bisa jadi ada banyak yang merupakan Tubuh-tubuh Emanasi Inkarnasi para Buddha yang benar-benar berkualifikasi, tapi tidak berarti ini berlaku untuk semuanya. Di antara para Tulku Tibet, ada yang merupakan reinkarnasi Bodhisattva tingkat tinggi, Bodhisattva yang berada pada Marga Akumulasi dan Persiapan, berikut para guru yang baru akan memasuki jalan-jalan Bodhisattva ini. Karena itu, gelar Tulku diberikan kepada para Lama reinkarnasi, apakah itu berdasarkan tingkatan makhluk tercerahkan yang sudah dicapai atau kaitan yang mereka miliki dengan kualitas-kualitas tertentu dari makhluk-makhluk tercerahkan.
 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Jamyang Khyentse Wangpo:
 
“Reinkarnasi adalah proses yang terjadi ketika seseorang terlahir kembali setelah pendahulunya meninggal; emanasi adalah proses yang terjadi ketika manifestasi-manifestasi bermunculan tanpa harus didahului oleh meninggalnya sang sumber.”

7
Kelahiran-kelahiran Lampau dan Yang Akan Datang

Untuk bisa menerima reinkarnasi atau realita mengenai para Tulku, kita perlu mengakui adanya kelahiran-kelahiran lampau dan yang akan datang. Semua makhluk yang terlahir pada kehidupan yang sekarang berasal dari kelahiran sebelumnya dan akan terlahir kembali setelah mengalami kematian. Kelahiran kembali terus-menerus seperti ini diakui oleh semua tradisi spiritual dan aliran-aliran spiritual India kuno, terkecuali para Carvaka, sebuah gerakan yang bersifat materialis. Beberapa pemikir modern mengingkari kelahiran lampau dan akan datang semata-mata berdasarkan premis bahwasanya kita tidak bisa melihatnya. Pihak-pihak lainnya tidak menarik kesimpulan tegas seperti itu berdasarkan premis ini.
 
Walaupun ada banyak tradisi religius yang mengakui konsep kelahiran kembali, namun semuanya berbeda pandangan mengenai apa yang terlahir kembali, bagaimana kelahiran kembali terjadi, dan bagaimana seorang makhluk melalui periode transisi antara dua kelahiran. Beberapa tradisi religius mengakui adanya kemungkinan kelahiran yang akan datang, namun mengingkari konsep adanya kelahiran-kelahiran yang lampau.
 
Secara umum, penganut Buddhis meyakini bahwa kelahiran tidak memiliki titik awal dan begitu kita sudah mencapai pembebasan dari lingkaran keberadaan dengan mengatasi karma dan emosi-emosi destruktif kita sendiri, maka kita sudah tidak akan terlahir kembali di bawah pengaruh kondisi-kondisi ini. Karena itu, penganut Buddhis meyakini adanya penghentian atau akhir dari proses kelahiran kembali akibat karma dan emosi-emosi destruktif, tapi sebagian besar aliran-aliran filosofis Buddhis tidak mengakui berakhirnya arus-batin atau kesadaran. Pengingkaran terhadap kelahiran masa lampau dan yang akan datang bertentangan dengan konsep Buddhis akan adanya dasar, jalan, dan hasil (buah), yang harus dijelaskan dalam kaitannya dengan batin yang terlatih atau tidak. Kalau kita menerima argumen ini, maka secara logis, kita harus mengakui bahwa dunia beserta penghuninya muncul tanpa adanya sebab dan kondisi. Dengan demikian, selama Anda masih seorang Buddhis, maka penting sekali bagi Anda untuk mengakui adanya kelahiran masa lalu dan masa yang akan datang.
 
Bagi mereka yang bisa mengingat kelahiran-kelahiran lampaunya, kelahiran kembali adalah sebuah pengalaman yang nyata. Namun, sebagian besar orang-orang biasa akan melupakan kelahiran-kelahiran lampaunya seiring dengan mereka menjalani proses kematian, alam antara, dan kemudian terlahir kembali. Karena kelahiran lampau dan yang akan datang telah menjadi sesuatu yang kabur bagi mereka, maka kita perlu menggunakan logika berdasarkan pembuktian untuk membuktikan kelahiran lampau dan yang akan datang kepada mereka.
 
 
Ada banyak argumen logis berbeda yang disampaikan oleh kata-kata Buddha sendiri berikut ulasan-ulasan terkait untuk membuktikan adanya kelahiran lampau dan yang akan datang. Secara ringkas, pembuktian itu bisa dirangkum dalam empat poin: logika bahwa segala sesuatu berasal dari atau didahului oleh sesuatu yang sejenis dengannya, logika bahwa segala sesuatu berasal dari atau didahului oleh sebab yang kuat, logika bahwa batin telah terbiasa atau mengenal hal-hal yang ditemuinya di kehidupan lampau, dan logika seorang makhluk telah mendapatkan pengalaman akan beragam hal dari kehidupan lampau.
 
Pada ujungnya, semua argumen in didasarkan pada pemikiran bahwa  sifat dasar batin, dengan kejelasan dan kesadarannya, haruslah memiliki kejelasan dan kesadaran akan sebab substansialnya. Batin tidak mungkin berasal dari entitas lain, misalnya sebuah objek mati, sebagai sebab utamanya. Ini adalah sesuatu yang sangat jelas. Dengan analisis berdasarkan logika, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebuah sebuah arus kejelasan dan kesadaran tidak mungkin muncul tanpa adanya sebab atau muncul dari sebab yang tidak berkaitan. Seiring dengan kita mengamati bahwa batin tidak bisa diproduksi dalam sebuah laboratorium, kita juga menyimpulkan bahwa tidak ada sesuatu hal yang bisa menghentikan kelanjutan dari kejelasan dan kesadaran yang subtil. 
 
Sejauh yang saya ketahui, belum ada psikolog, fisikawan, atau ahli ilmu syaraf (neuroscientist) modern yang bisa mengamati atau meramalkan dari mana asalnya batin, baik itu asumsi bahwa batin berasal dari materi ataupun tanpa sebab.
 
Ada orang-orang yang bisa mengingat satu kelahiran lampaunya sebelum kelahiran yang sekarang ini, bahkan ada yang mampu mengingat banyak kelahiran lampau lainnya, serta mampu mengenali tempat-tempat dan sanak keluarga dari kelahiran lampau tersebut. Ini bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di masa lampau. Bahkan dewasa ini ada banyak orang di Timur maupun Barat, yang mampu mengingat kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman dari kehidupan lampau mereka. Mengingkari fakta ini bukanlah tindakan yang jujur sekaligus merupakan metode penelitian yang mencakup sebagian saja, karena pengingkaran tersebut tentu saja bertentangan dengan bukti ini. Sistem pencarian reinkarnasi bangsa Tibet merupakan modus penyelidikan yang otentik berdasarkan ingatan orang-orang akan kelahiran lampau mereka. 

8
Pernyataan Yang Mulia Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, Sehubungan Reinkarnasi Beliau
24 September 2011
(diterjemahkan dari bahasa Inggris)
 
Pendahuluan
Saudara-saudaraku sesama bangsa Tibet, baik di dalam maupun di luar Tibet, para pengikut Buddhisme tradisi Tibet, dan semua pihak yang memiliki hubungan dengan Tibet dan orang-orang Tibet: berkat pandangan jauh ke depan dari raja-raja, menteri, dan ahli-ahli terpelajar masa lampau kami, maka ajaran Buddha yang lengkap, yang mencakup ajaran-ajaran berdasarkan teks berikut pengalaman dari Tiga Yana dan Empat Kelas Tantra beserta topik-topik dan disiplin ilmu yang terkait dengannya, telah berkembang dengan sangat luas di Tanah Bersalju. Tibet telah berfungsi sebagai sebuah sumber tradisi Buddhis, berikut tradisi-tradisi lain yang terkait dengannya, bagi dunia ini. Secara khusus, Tibet telah memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kebahagiaan begitu banyak orang di Asia, termasuk mereka yang berada di Cina, Tibet, dan Mongolia.
 
Dalam perjalanan menegakkan tradisi Buddhis di Tibet, kami sudah mengembangkan sebuah tradisi Tibet yang unik dalam hal menemukan reinkarnasi para ahli-ahli terpelajar, yang mana tradisi ini sudah sangat membantu Dharma dan semua makhluk, khususnya terhadap komunitas monastik.
 
Sejak yang maha mengetahui Gedun Gyatso dikenali dan dikukuhkan sebagai reinkarnasi dari Gedun Drub di abad kelima-belas dan Gaden Phodrang Labrang (institusi Dalai Lama) terbentuk, maka rangkaian reinkarnasi-reinkarnasi berikutnya pun telah ditemukan. Reinkarnasi ketiga, Sonam Gyatso, dianugerahi gelar Dalai Lama. Dalai Lama Kelima, Ngawang Lobsang Gyatso, yang mendirikan Pemerintahan Gaden Phodrang pada tahun 1642, menjadi pemimpin spiritual dan politik Tibet. Lebih dari 600 tahun sejak Gedun Drub, serangkaian reinkarnasi-reinkarnasi yang tepat dan tanpa kesalahan telah berhasil dikenali dalam garis silsilah Dalai Lama.
 
Para Dalai Lama telah berfungsi, baik sebagai pemimpin politik maupun spiritual, bagi bangsa Tibet selama 369 tahun sejak tahun 1642. Sekarang, saya, dengan sukarela, mengakhiri tradisi ini, serta dengan bangga dan berpuas diri karena kami bisa mengikuti sistem pemerintahan yang demokratis yang tumbuh subur di mana-mana di dunia. Sesungguhnya, sejak tahun 1969, saya sudah menegaskan dengan jelas bahwa pihak-pihak terkait harus memutuskan apakah reinkarnasi-reinkarnasi Dalai Lama perlu dilanjutkan di masa yang akan datang. Akan tetapi, dikarenakan ketiadaan patokan-patokan yang jelas, apabila publik yang bersangkutan mengutarakan keinginan yang kuat agar silsilah para Dalai Lama tetap dilanjutkan, maka ada resiko besar akan adanya kepentingan-kepentingan politik terselubung yang bisa menyalah-gunahi sistem reinkarnasi ini untuk memenuhi kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, berhubung saya masih segar secara fisik dan mental, penting sekali bagi kita untuk menentukan patokan dan panduan yang tegas untuk menemukan Dalai Lama berikutnya, sehingga tidak ada ruang bagi munculnya keraguan ataupun penipuan. Agar panduan-panduan ini bisa sepenuhnya dipahami, penting sekali untuk mengerti sistem pengenalan Tulku dan konsep-konsep dasar di baliknya. Karena itu, saya akan menjelaskannya secara ringkas di bawah ini.

9
Many of Buddhism’s core tenets significantly overlap with findings from modern neurology and neuroscience. So how did Buddhism come close to getting the brain right?

SEEDMAGAZINE.COM September 25, 2011
Buddhism and the Brain

Opinion by David Weisman / March 9, 2011

Many of Buddhism’s core tenets significantly overlap with findings from modern neurology and neuroscience. So how did Buddhism come close to getting the brain right?

Over the last few decades many Buddhists and quite a few neuroscientists have examined Buddhism and neuroscience, with both groups reporting overlap. I’m sorry to say I have been privately dismissive. One hears this sort of thing all the time, from any religion, and I was sure in this case it would break down upon closer scrutiny. When a scientific discovery seems to support any religious teaching, you can expect members of that religion to become strict empiricists, telling themselves and the world that their belief is grounded in reality. They are always less happy to accept scientific data they feel contradicts their preconceived beliefs. No surprise here; no human likes to be wrong.

But science isn’t supposed to care about preconceived notions. Science, at least good science, tells us about the world as it is, not as some wish it to be. Sometimes what science finds is consistent with a particular religion’s wishes. But usually not.

Despite my doubts, neurology and neuroscience do not appear to profoundly contradict Buddhist thought. Neuroscience tells us the thing we take as our unified mind is an illusion, that our mind is not unified and can barely be said to “exist” at all. Our feeling of unity and control is a post-hoc confabulation and is easily fractured into separate parts. As revealed by scientific inquiry, what we call a mind (or a self, or a soul) is actually something that changes so much and is so uncertain that our pre-scientific language struggles to find meaning.

Buddhists say pretty much the same thing. They believe in an impermanent and illusory self made of shifting parts. They’ve even come up with language to address the problem between perception and belief. Their word for self is anatta, which is usually translated as ‘non self.’  One might try to refer to the self, but the word cleverly reminds one’s self that there is no such thing.

When considering a Buddhist contemplating his soul, one is immediately struck by a disconnect between religious teaching and perception. While meditating in the temple, the self is an illusion. But when the Buddhist goes shopping he feels like we all do: unified, in control, and unchanged from moment to moment. The way things feel becomes suspect. And that’s pretty close to what neurologists deal with every day, like the case of Mr. Logosh.

Mr. Logosh was 37 years old when he suffered a stroke. It was a month after knee surgery and we never found a real reason other than trivially high cholesterol and smoking. Sometimes medicine is like that: bad things happen, seemingly without sufficient reasons. In the ER I found him aphasic, able to understand perfectly but unable to get a single word out, and with no movement of the right face, arm, and leg. We gave him the only treatment available for stroke, tissue plasminogen activator, but there was no improvement. He went to the ICU unchanged. A follow up CT scan showed that the dead brain tissue had filled up with blood. As the body digested the dead brain tissue, later scans showed a large hole in the left hemisphere.

Although I despaired, I comforted myself by looking at the overlying cortex. Here the damage was minimal and many neurons still survived. Still, I mostly despaired. It is a tragedy for an 80-year-old to spend life’s remainder as an aphasic hemiplegic. The tragedy grows when a young man looks towards decades of mute immobility. But you can never tell with early brain injuries to the young. I was yoked to optimism. After all, I’d treated him.

The next day Mr. Logosh woke up and started talking. Not much at first, just ‘yes’ and ‘no.’ Then ‘water,’ ‘thanks,’ ‘sure,’ and ‘me.’ We eventually sent him to rehab, barely able to speak, still able to understand.

One year later he came back to the office with an odd request. He was applying to become a driver and needed my clearance, which was a formality. He walked with only a slight limp, his right foot a bit unsure of itself. His voice had a slight hitch, as though he were choosing his words carefully.

When we consider our language, it seems unified and indivisible. We hear a word, attach meaning to it, and use other words to reply. It’s effortless. It seems part of the same unified language sphere. How easily we are tricked! Mr. Logosh shows us that unity of language is an illusion. The seeming unity of language is really the work of different parts of the brain, which shift and change over time, and which fracture into receptive and expressive parts.

Consider how easily Buddhism accepts what happened to Mr. Logosh. Anatta is not a unified, unchanging self. It is more like a concert, constantly changing emotions, perceptions, and thoughts. Our minds are fragmented and impermanent. A change occurred in the band, so it follows that one expects a change in the music.

Both Buddhism and neuroscience converge on a similar point of view: The way it feels isn’t how it is. There is no permanent, constant soul in the background. Even our language about ourselves is to be distrusted (requiring the tortured negation of anatta). In the broadest strokes then, neuroscience and Buddhism agree.

How did Buddhism get so much right? I speak here as an outsider, but it seems to me that Buddhism started with a bit of empiricism. Perhaps the founders of Buddhism were pre-scientific, but they did use empirical data. They noted the natural world: the sun sets, the wind blows into a field, one insect eats another. There is constant change, shifting parts, and impermanence. They called this impermanence anicca, and it forms a central dogma of Buddhism.

This seems appropriate as far as the natural world is concerned. Buddhists don’t apply this notion to mathematical truths or moral certainties, but sometimes, cleverly, apply it to their own dogmas. Buddhism has had millennia to work out seeming contradictions, and it is only someone who was not indoctrinated who finds any of it strange. (Or at least any stranger than, say, believing God literally breathed a soul into the first human.)

Early on, Buddhism grasped the nature of worldly change and divided parts, and then applied it to the human mind. The key step was overcoming egocentrism and recognizing the connection between the world and humans. We are part of the natural world; its processes apply themselves equally to rocks, trees, insects, and humans. Perhaps building on its heritage, early Buddhism simply did not allow room for human exceptionalism.

I should note my refusal to accept that they simply got this much right by accident, which I find improbable. Why would accident bring them to such a counterintuitive belief? Truth from subjective religious rapture is also highly suspect. Firstly, those who enter religious raptures tend to see what they already know. Secondly, if the self is an illusion, then aren’t subjective insights from meditation illusory as well?

I don’t mean to dismiss or gloss over the areas where Buddhism and neuroscience diverge. Some Buddhist dogmas deviate from what we know about the brain. Buddhism posits an immaterial thing that survives the brain’s death and is reincarnated. After a person’s death, the consciousness reincarnates. If you buy into the idea of a constantly changing immaterial soul, this isn’t as tricky and insane as it seems to the non-indoctrinated. During life, consciousness changes as mental states replace one another, so each moment can be considered a reincarnation from the moment before. The waves lap, the sand shifts. If you’re good, they might one day lap upon a nicer beach, a higher plane of existence. If you’re not, well, someone’s waves need to supply the baseline awareness of insects, worms, and other creepy-crawlies.

The problem is that there’s no evidence for an immaterial thing that gets reincarnated after death. In fact, there’s even evidence against it. Reincarnation would require an entity (even the vague, impermanent one called anatta) to exist independently of brain function. But brain function has been so closely tied to every mental function (every bit of consciousness, perception, emotion, everything self and non-self about you) that there appears to be no remainder. Reincarnation is not a trivial part of most forms of Buddhism. For example, the Dalai Lama’s followers chose him because they believe him to be the living reincarnation of a long line of respected teachers.

Why have the dominant Western religious traditions gotten their permanent, independent souls so wrong? Taking note of change was not limited to Buddhism. The same sort of thinking pops up in Western thought as well. The pre-Socratic Heraclitus said, “Nothing endures but change.” But that observation didn’t really go anywhere. It wasn’t adopted by monotheistic religions or held up as a central natural truth. Instead, pure Platonic ideals won out, perhaps because they seemed more divine.

Western thought is hardly monolithic or simple, but monotheistic religions made a simple misstep when they didn’t apply naturalism to themselves and their notions of their souls. Time and again, their prominent scholars and philosophers rendered the human soul exceptional and otherworldly, falsely elevating our species above and beyond nature. We see the effects today. When Judeo-Christian belief conflicts with science, it nearly always concerns science removing humans from a putative pedestal, a central place in creation. Yet science has shown us that we reside on the fringes of our galaxy, which itself doesn’t seem to hold a particularly precious location in the universe. Our species came from common ape-like ancestors, many of which in all likelihood possessed brains capable of experiencing and manifesting some of our most precious “human” sentiments and traits. Our own brains produce the thing we call a mind, which is not a soul. Human exceptionalism increasingly seems a vain fantasy. In its modest rejection of that vanity, Buddhism exhibits less error and less original sin, this one of pride.

How well will any religion apply the lessons of neuroscience to the soul? Mr. Logosh, like every person who’s brain lesion changes their mind, challenges the Western religions. An immaterial soul cannot easily account for even a stroke associated with aphasia. Will monotheistic religions change their idea of the soul to accommodate data? Will they even try? It is doubtful. The rigid human exceptionalism is cemented firmly into dogma.

Will Buddhists allow neuroscience to render their idea of reincarnation obsolete? This is akin to asking if the Dalai Lama and his followers will decide he’s only the symbolic reincarnation of past teachers. This is also doubtful, but Buddhism’s first steps at least made it possible. Unrelated to neuroscience and neurology, in 1969 the Dalai Lama said his “office was an institution created to benefit others. It is possible that it will soon have outlived its usefulness.” Impermanence and shifting parts entail constant change, so perhaps it is no surprise that he’s lately said he may choose the next office holder before his death.

Buddhism’s success was to apply the world’s impermanence to humans and their souls. The results have carried this religion from ancient antiquity into modernity, an impressive distance. With no fear of impermanent beliefs or constant change, how far will they go?

Source: http://seedmagazine.com/content/print/buddhism_and_the_brain/

10
Deceptive strategy and false hopes

In the recent past, there have been cases of irresponsible managers of wealthy Lama-estates who indulged in improper methods to recognize reincarnations, which have undermined the Dharma, the monastic community and our society. Moreover, since the Manchu era Chinese political authorities repeatedly engaged in various deceitful means using Buddhism, Buddhist masters and Tulkus as tools to fulfil their political ends as they involved themselves in Tibetan and Mongolian affairs. Today, the authoritarian rulers of the People’s Republic of China, who as communists reject religion, but still involve themselves in religious affairs, have imposed a so-called re-education campaign and declared the so-called Order No. Five, concerning the control and recognition of reincarnations, which came into force on 1st September 2007. This is outrageous and disgraceful. The enforcement of various inappropriate methods for recognizing reincarnations to eradicate our unique Tibetan cultural traditions is doing damage that will be difficult to repair.

Moreover, they say they are waiting for my death and will recognize a Fifteenth Dalai Lama of their choice. It is clear from their recent rules and regulations and subsequent declarations that they have a detailed strategy to deceive Tibetans, followers of the Tibetan Buddhist tradition and the world community. Therefore, as I have a responsibility to protect the Dharma and sentient beings and counter such detrimental schemes, I make the following declaration.

The next incarnation of the Dalai Lama

As I mentioned earlier, reincarnation is a phenomenon which should take place either through the voluntary choice of the concerned person or at least on the strength of his or her karma, merit and prayers. Therefore, the person who reincarnates has sole legitimate authority over where and how he or she takes rebirth and how that reincarnation is to be recognized. It is a reality that no one else can force the person concerned, or manipulate him or her. It is particularly inappropriate for Chinese communists, who explicitly reject even the idea of past and future lives, let alone the concept of reincarnate Tulkus, to meddle in the system of reincarnation and especially the reincarnations of the Dalai Lamas and Panchen Lamas. Such brazen meddling contradicts their own political ideology and reveals their double standards. Should this situation continue in the future, it will be impossible for Tibetans and those who follow the Tibetan Buddhist tradition to acknowledge or accept it.

When I am about ninety I will consult the high Lamas of the Tibetan Buddhist traditions, the Tibetan public, and other concerned people who follow Tibetan Buddhism, and re-evaluate whether the institution of the Dalai Lama should continue or not. On that basis we will take a decision. If it is decided that the reincarnation of the Dalai Lama should continue and there is a need for the Fifteenth Dalai Lama to be recognized, responsibility for doing so will primarily rest on the concerned officers of the Dalai Lama’s Gaden Phodrang Trust. They should consult the various heads of the Tibetan Buddhist traditions and the reliable oath-bound Dharma Protectors who are linked inseparably to the lineage of the Dalai Lamas. They should seek advice and direction from these concerned beings and carry out the procedures of search and recognition in accordance with past tradition. I shall leave clear written instructions about this. Bear in mind that, apart from the reincarnation recognized through such legitimate methods, no recognition or acceptance should be given to a candidate chosen for political ends by anyone, including those in the People’s Republic of China.


The Dalai Lama
Dharamsala

(Translated from the Tibetan)
Source: http://dalailama.com/messages/tibet/reincarnation-statement

11
Using the Golden Urn

As the degenerate age gets worse, and as more reincarnations of high Lamas are being recognized, some of them for political motives, increasing numbers have been recognized through inappropriate and questionable means, as a result of which huge damage has been done to the Dharma.

During the conflict between Tibet and the Gurkhas (1791-93) the Tibetan Government had to call on Manchu military support. Consequently the Gurkha military was expelled from Tibet, but afterwards Manchu officials made a 29-point proposal on the pretext of making the Tibetan Government’s administration more efficient. This proposal included the suggestion of picking lots from a Golden Urn to decide on the recognition of the reincarnations of the Dalai Lamas, Panchen Lamas and Hutuktus, a Mongolian title given to high Lamas. Therefore, this procedure was followed in the case of recognizing some reincarnations of the Dalai Lama, Panchen Lama and other high Lamas. The ritual to be followed was written by the Eighth Dalai Lama Jampel Gyatso.  Even after such a system had been introduced, this procedure was dispensed with for the Ninth, Thirteenth and myself, the Fourteenth Dalai Lama.

Even in the case of the Tenth Dalai Lama, the authentic reincarnation had already been found and in reality this procedure was not followed, but in order to humour the Manchus it was merely announced that this procedure had been observed.

The Golden Urn system was actually used only in the cases of the Eleventh and Twelfth Dalai Lamas. However, the Twelfth Dalai Lama had already been recognized before the procedure was employed. Therefore, there has only been one occasion when a Dalai Lama was recognized by using this method. Likewise, among the reincarnations of the Panchen Lama, apart from the Eighth and the Ninth, there have been no instances of this method being employed. This system was imposed by the Manchus, but Tibetans had no faith in it because it lacked any spiritual quality. However, if it were to be used honestly, it seems that we could consider it as similar to the manner of divination employing the dough-ball method (zen tak).

In 1880, during the recognition of the Thirteenth Dalai Lama as the reincarnation of the Twelfth, traces of the Priest-Patron relationship between Tibet and the Manchus still existed. He was recognized as the unmistaken reincarnation by the Eighth Panchen Lama, the predictions of the Nechung and Samye oracles and by observing visions that appeared in Lhamoi Latso, therefore the Golden Urn procedure was not followed. This can be clearly understood from the Thirteenth Dalai Lama’s final testament of the Water-Monkey Year (1933) in which he states:

“As you all know, I was selected not in the customary way of picking lots from the golden urn, but my selection was foretold and divined. In accordance with these divinations and prophecies I was recognized as the reincarnation of the Dalai Lama and enthroned.”

When I was recognized as the Fourteenth incarnation of the Dalai Lama in 1939, the Priest-Patron relationship between Tibet and China had already come to an end. Therefore, there was no question of any need to confirm the reincarnation by employing the Golden Urn. It is well-known that the then Regent of Tibet and the Tibetan National Assembly had followed the procedure for recognizing the Dalai Lama’s reincarnation taking account of the predictions of high Lamas, oracles and the visions seen in Lhamoi Latso; the Chinese had no involvement in it whatever. Nevertheless, some concerned officials of the Guomintang later cunningly spread lies in the newspapers claiming that they had agreed to forego the use of the Golden Urn and that Wu Chung-tsin presided over my enthronement, and so on. This lie  was exposed by Ngabo Ngawang Jigme, the Vice-Chairman of the Standing Committee of the National People’s Congress, who the People’s Republic of China considered to be a most progressive person, at the Second Session of the Fifth People’s Congress of the Tibet Autonomous Region (31st July 1989). This is clear, when, at the end of his speech, in which he gave a detailed explanation of events and presented documentary evidence, he demanded:

“What need is there for the Communist Party to follow suit and continue the lies of the Guomintang?”

12
The ways of recognizing reincarnations

After the system of recognizing Tulkus came into being, various procedures for going about it began to develop and grow. Among these some of the most important involve the predecessor’s predictive letter and other instructions and indications that might occur; the reincarnation’s reliably recounting his previous life and speaking about it; identifying possessions belonging to the predecessor and recognizing people who had been close to him. Apart from these, additional methods include asking reliable spiritual masters for their divination as well as seeking the predictions of mundane oracles, who appear through mediums in trance, and observing the visions that manifest in sacred lakes of protectors like Lhamoi Latso, a sacred lake south of Lhasa.

When there happens to be more than one prospective candidate for recognition as a Tulku, and it becomes difficult to decide, there is a practice of making the final decision by divination employing the dough-ball method (zen tak) before a sacred image while calling upon the power of truth.

Emanation before the passing away of the predecessor (ma-dhey tulku)

Usually a reincarnation has to be someone’s taking rebirth as a human being after previously passing away. Ordinary sentient beings generally cannot manifest an emanation before death (ma-dhey tulku), but superior Bodhisattvas, who can manifest themselves in hundreds or thousands of bodies simultaneously, can manifest an emanation before death. Within the Tibetan system of recognizing Tulkus there are emanations who belong to the same mind-stream as the predecessor, emanations who are connected to others through the power of karma and prayers, and emanations who come as a result of blessings and appointment.

The main purpose of the appearance of a reincarnation is to continue the predecessor’s unfinished work to serve Dharma and beings. In the case of a Lama who is an ordinary being, instead of having a reincarnation belonging to the same mind-stream, someone else with connections to that Lama through pure karma and prayers may be recognized as his or her emanation. Alternatively it is possible for the Lama to appoint a successor who is either his disciple or someone young who is to be recognized as his emanation. Since these options are possible in the case of an ordinary being, an emanation before death that is not of the same mind-stream is feasible. In some cases one high Lama may have several reincarnations simultaneously, such as incarnations of body, speech and mind and so on. In recent times, there have been well-known emanations before death such as Dudjom Jigdral Yeshe Dorje and Chogye Trichen Ngawang Khyenrab.

13
Recognition of Reincarnations

The practice of recognizing who is who by identifying someone’s previous life occurred even when Shakyamuni Buddha himself was alive. Many accounts are found in the four Agama Sections of the Vinaya Pitaka, the Jataka Stories, the Sutra of the Wise and Foolish, the Sutra of One Hundred Karmas and so on, in which the Tathagata revealed the workings of karma, recounting innumerable stories about how the effects of certain karmas created in a past life are experienced by a person in his or her present life. Also, in the life stories of Indian masters, who lived after the Buddha, many reveal their previous places of birth. There are many such stories, but the system of recognizing and numbering their reincarnations did not occur in India.

The system of recognizing reincarnations in Tibet

Past and future lives were asserted in the indigenous Tibetan Bon tradition before the arrival of Buddhism. And since the spread of Buddhism in Tibet, virtually all Tibetans have believed in past and future lives. Investigating the reincarnations of many spiritual masters who upheld the Dharma, as well as the custom of praying devotedly to them, flourished everywhere in Tibet. Many authentic scriptures, indigenous Tibetan books such as the Mani Kabum and the Fivefold Kathang Teachings and others like the The Books of Kadam Disciples and the Jewel Garland: Responses to Queries, which were recounted by the glorious, incomparable Indian master Dipankara Atisha in the 11th century in Tibet, tell stories of the reincarnations of Arya Avalokiteshvara, the Bodhisattva of compassion. However, the present tradition of formally recognizing the reincarnations of masters first began in the early 13th century with the recognition of Karmapa Pagshi as the reincarnation of Karmapa Dusum Khyenpa by his disciples in accordance with his prediction. Since then, there have been seventeen Karmapa incarnations over more than nine hundred years. Similarly, since the recognition of Kunga Sangmo as the reincarnation of Khandro Choekyi Dronme in the 15th century there have been more than ten incarnations of Samding Dorje Phagmo. So, among the Tulkus recognized in Tibet there are monastics and lay tantric practitioners, male and female. This system of recognizing the reincarnations gradually spread to other Tibetan Buddhist traditions, and Bon, in Tibet. Today, there are recognized Tulkus in all the Tibetan Buddhist traditions, the Sakya, Geluk, Kagyu and Nyingma, as well as Jonang and Bodong, who serve the Dharma. It is also evident that amongst these Tulkus some are a disgrace.

The omniscient Gedun Drub, who was a direct disciple of Je Tsongkhapa, founded Tashi Lhunpo Monastery in Tsang and took care of his students. He passed away in 1474 at the age of 84. Although initially no efforts were made to identify his reincarnation, people were obliged to recognize a child named Sangye Chophel, who had been born in Tanak, Tsang (1476), because of what he had to say about his amazing and flawless recollections of his past life. Since then, a tradition began of searching for and recognizing the successive reincarnations of the Dalai Lamas by the Gaden Phodrang Labrang and later the Gaden Phodrang Government.

14
How rebirth takes place

There are two ways in which someone can take rebirth after death: rebirth under the sway of karma and destructive emotions and rebirth through the power of compassion and prayer. Regarding the first, due to ignorance negative and positive karma are created and their imprints remain on the consciousness. These are reactivated through craving and grasping, propelling us into the next life. We then take rebirth involuntarily in higher or lower realms. This is the way ordinary beings circle incessantly through existence like the turning of a wheel. Even under such circumstances ordinary beings can engage diligently with a positive aspiration in virtuous practices in their day-to-day lives. They familiarise themselves with virtue that at the time of death can be reactivated providing the means for them to take rebirth in a higher realm of existence. On the other hand, superior Bodhisattvas, who have attained the path of seeing, are not reborn through the force of their karma and destructive emotions, but due to the power of their compassion for sentient beings and based on their prayers to benefit others. They are able to choose their place and time of birth as well as their future parents. Such a rebirth, which is solely for the benefit of others, is rebirth through the force of compassion and prayer.

The meaning of Tulku

It seems the Tibetan custom of applying the epithet ‘Tulku’ (Buddha’s Emanation Body) to recognized reincarnations began when devotees used it as an honorary title, but it has since become a common expression. In general, the term Tulku refers to a particular aspect of the Buddha, one of the three or four described in the Sutra Vehicle. According to this explanation of these aspects of the Buddha, a person who is totally bound by destructive emotions and karma has the potential to achieve the Truth Body (Dharmakaya), comprising the Wisdom Truth Body and Nature Truth Body. The former refers to the enlightened mind of a Buddha, which sees everything directly and precisely, as it is, in an instant. It has been cleared of all destructive emotions, as well as their imprints, through the accumulation of merit and wisdom over a long period of time. The latter, the Nature Truth Body, refers to the empty nature of that all-knowing enlightened mind. These two together are aspects of the Buddhas for themselves. However, as they are not directly accessible to others, but only amongst the Buddhas themselves, it is imperative that the Buddhas manifest in physical forms that are accessible to sentient beings in order to help them. Hence, the ultimate physical aspect of a Buddha is the Body of Complete Enjoyment (Sambhogakaya), which is accessible to superior Bodhisattvas, and has five definite qualifications such as residing in the Akanishta Heaven. And from the Body of Complete Enjoyment are manifested the myriad Emanation Bodies or Tulkus (Nirmanakaya), of the Buddhas, which appear as gods or humans and are accessible even to ordinary beings. These two physical aspects of the Buddha are termed Form Bodies, which are meant for others.

The Emanation Body is three-fold: a) the Supreme Emanation Body like Shakyamuni Buddha, the historical Buddha, who manifested the twelve deeds of a Buddha such as being born in the place he chose and so forth; b) the Artistic Emanation Body which serves others by appearing as craftsmen, artists and so on; and c) the Incarnate Emanation Body, according to which Buddhas appear in various forms such as human beings, deities, rivers, bridges, medicinal plants, and trees to help sentient beings. Of these three types of Emanation Body, the reincarnations of spiritual masters recognized and known as ‘Tulkus’ in Tibet come under the third category. Among these Tulkus there may be many who are truly qualified Incarnate Emanation Bodies of the Buddhas, but this does not necessarily apply to all of them. Amongst the Tulkus of Tibet there may be those who are reincarnations of superior Bodhisattvas, Bodhisattvas on the paths of accumulation and preparation, as well as masters who are evidently yet to enter these Bodhisattva paths. Therefore, the title of Tulku is given to reincarnate Lamas either on the grounds of their resembling enlightened beings or through their connection to certain qualities of enlightened beings.

As Jamyang Khyentse Wangpo said:

“Reincarnation is what happens when someone takes rebirth after the predecessor’s passing away; emanation is when manifestations take place without the source’s passing away.”

15
Past and future lives

In order to accept reincarnation or the reality of Tulkus, we need to accept the existence of past and future lives. Sentient beings come to this present life from their previous lives and take rebirth again after death. This kind of continuous rebirth is accepted by all the ancient Indian spiritual traditions and schools of philosophy, except the Charvakas, who were a materialist movement. Some modern thinkers deny past and future lives on the premise that we cannot see them. Others do not draw such clear cut conclusions on this basis.

Although many religious traditions accept rebirth, they differ in their views of what it is that is reborn, how it is reborn, and how it passes through the transitional period between two lives. Some religious traditions accept the prospect of future life, but reject the idea of past lives.

Generally, Buddhists believe that there is no beginning to birth and that once we achieve liberation from the cycle of existence by overcoming our karma and destructive emotions, we will not be reborn under the sway of these conditions. Therefore, Buddhists believe that there is an end to being reborn as a result of karma and destructive emotions, but most Buddhist philosophical schools do not accept that the mind-stream comes to an end. To reject past and future rebirth would contradict the Buddhist concept of the ground, path and result, which must be explained on the basis of the disciplined or undisciplined mind. If we accept this argument, logically, we would also have to accept that the world and its inhabitants come about without causes and conditions. Therefore, as long as you are a Buddhist, it is necessary to accept past and future rebirth.

For those who remember their past lives, rebirth is a clear experience. However, most ordinary beings forget their past lives as they go through the process of death, intermediate state and rebirth. As past and future rebirths are slightly obscure to them, we need to use evidence-based logic to prove past and future rebirths to them.
 
There are many different logical arguments given in the words of the Buddha and subsequent commentaries to prove the existence of past and future lives. In brief, they come down to four points: the logic that things are preceded by things of a similar type, the logic that things are preceded by a substantial cause, the logic that the mind has gained familiarity with things in the past, and the logic of having gained experience of things in the past.

Ultimately all these arguments are based on the idea that the nature of the mind, its clarity and awareness, must have clarity and awareness as its substantial cause. It cannot have any other entity such as an inanimate object as its substantial cause. This is self-evident. Through logical analysis we infer that a new stream of clarity and awareness cannot come about without causes or from unrelated causes. While we observe that mind cannot be produced in a laboratory, we also infer that nothing can eliminate the continuity of subtle clarity and awareness.

 As far as I know, no modern psychologist, physicist, or neuroscientist has been able to observe or predict the production of mind either from matter or without cause.

There are people who can remember their immediate past life or even many past lives, as well as being able to recognise places and relatives from those lives. This is not just something that happened in the past. Even today there are many people in the East and West, who can recall incidents and experiences from their past lives. Denying this is not an honest and impartial way of doing research, because it runs counter to this evidence. The Tibetan system of recognising reincarnations is an authentic mode of investigation based on people’s recollection of their past lives.

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 9