//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sin Kim Lai,Diskriminasi Tak MembuatnyaMenyerah  (Read 1635 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Sin Kim Lai,Diskriminasi Tak MembuatnyaMenyerah
« on: 21 June 2010, 07:25:50 PM »


Mungkin tidak banyak orang yang
mengenal nama Sin Kim Lai (52).
Menjadi atlet di era 70-an yang penuh
dengan diskriminasi tidak membuatnya
menyerah untuk mencintai Indonesia.
Sempat menjadi tulang punggung tim
nasional bola basket di berbagai
kejuaraan internasional, dengan tinggi
184 sentimeter ia menjadi center
tangguh di lapangan tengah, baik
ketika menyerang maupun bertahan.
Sayang di jaman itu diskriminasi
terhadap kaum Tionghoa masih sangat
kental. Di tahun 1978, pengurusan
kewarganegaraan yang bertele-tele
membuanya gagal mendapatkan
paspor untuk berangkat ke kejuaraan
Bola Basket Yunior Asia di Malaysia.
Setahun kemudian baru impiannya
terwujud ketika ia kembali diturunkan
dalam SEA Games 1979 di Jakarta.
Basket adalah segala-galanya bagi Kim
Lai. Pensiun di tahun 1983
membuatnya beralih menjadi pelatih.
Lewat tangan dinginnyalah Jawa Timur
merebut medali emas PON XIV (1996)
dan medali perunggu bagi Indonesia
pada SEA Games XIX di Jakarta (1997).
Meskipun telah menjadi pemain dan
pelatih di tingkat nasional, Kim Lai
tetap bermimpi untuk memiliki klub
dan gedung olahraga sendiri dan
mencetak atlet dari kampung
halamannya, Blitar. 13 tahun bermimpi
ternyata bukanlah hal yang sia-sia.
Saat ini Kim Lai telah memiliki klub
basket dan gedung olahraga yang
dinamai Pelangi. GOR berkapasitas
1.000 penonton itu berdiri tahun 1997
berkat donasi dan tabungan yang
dikumpulkannya dengan susah payah.
Tidak hanya sekedar GOR yang
dilengkapi kantin dan mess untuk lima
atlet binaannya, Kim Lai juga
menyokong penuh kehidupan mereka.
Hanya satu impiannya, Kim Lai ingin
agar atlet yang berasal dari keluarga
ekonomi sulit berani untuk
berprestasi. Untuk mencari atlet
berbakat, tak jarang Kim Lai keluar
masuk kampung.
Apa yang dilakukan oleh Kim Lai
bukanlah sebuah hal yang mudah.
Karena membina klub kecil merupakan
sebuah perjuangan sulit dengan
investasi yang besar. Jika seorang
atlet dibiayai Rp 300.000 per bulan, itu
berarti Kim Lai harus merogoh kocek
Rp 3,6 juta setahun. Padahal untuk
mencetak atlet setidaknya butuh
waktu 4-5 tahun. Bayangkan saja jika
ada lima atlet yang ia biayai secara
penuh.
Namun ada rasa bangga ketika dua
anak binaan Klub Pelangi, Legal
Mahardika dan Bima Rizky,
memperkuat tim basket profesional
Bimasakti Nikko Steel Malang meskipun
perpindahan keduanya sempat
bermasalah karena uang transfer
pemain yang diberikan tidak sesuai
seperti yang dijanjikan.
Kim Lai berasal dari latar belakang
keluarga miskin. Ia merupakan anak
ke-12 dari 13 bersaudara buah
pernikahan Sin Sin Sing dan Sie Gie Nio.
Berasal dari keturunan Tionghoa murni
membuat ayahnya tidak boleh bekerja
formal. Untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari, ayahnya
menjemur kelapa sedangkan sang ibu
menjual makanan ringan. Merupakan
hal biasa bagi Kim Lai dan saudara-
saudaranya untuk melahap nasi
dengan garam dan parutan kelapa
karena tak sanggup membeli lauk.
Namun pertemuan Kim Lai dengan
basket membuat hidupnya terasa
berarti. Tanpa sepengetahuan
ayahnya, ia berlatih basket di Klub
Sahabat secara diam-diam. Tetapi
tekad Kim Lai sudah bulat. Di usia 16
tahun ia mendaftar ke klub basket
Halim Kediri yang berjarak 63 kilometer
dari Blitar. Blitar-Kediri dijalaninya
setiap hari sehingga tak jarang Kim Lai
sampai di rumah larut malam karena
menunggu kendaraan umum. Di
puncak karier basketnya, usai SEA
Games 1979, Kim Lai pun memutuskan
mundur dari basket karena olahraga
yang dicintainya itu tak mampu
menopang hidupnya dan juga masa
depannya.
Namun di saat putus asa itulah
pertolongan datang tanpa diduga.
Seorang pembina basket memberinya
modal satu kilogram emas tanpa
mengharapkan imbalan. Emas itu
kemudian diuangkan dan dipakai
untuk membuka toko-toko alat
olahraga bernama Toko Sport 12 di
Jalan Tanjung Blitar. Toko itu dulu
hanya berukuran 6 x 6 meter. Di
sanalah Kim Lai tinggal bersama
dengan istrinya yang juga mantan
atlet, Oenarni Tjakrakusuma. Dari
usaha yang dimulainya dari bawah,
saat ini toko itu telah berkembang
dengan pesat.
Sampai saat ini Kim Lai tidak pernah
mengubah nama aslinya menjadi nama
berbau Indonesia. Karena baginya
nasionalisme itu bukan bicara soal
nama tapi bicara soal kerja dan karya.
Bapak empat anak penyuka wayang
kulit ini pun mendorong anak-anaknya
untuk mencintai Indonesia dengan
cara berprestasi. Putrinya, Ivonne
Febriani Sinatra, berhasil meraih perak
dalam ASEAN School Sport Games 2009
di Thailand.
Sampai saat ini Kim Lai masih
menyayangkan sistem pembinaan
olahraga di Indonesia yang sepertinya
menjadi milik pengurus elit yang hanya
‘ menumpang hidup’ dari
organisasi. Banyak pengurus olahraga
yang banyak berbicara ketimbang
bekerja. Sikap vokal dan kritis
terhadap kebijakan olahraga membuat
dirinya tidak disukai oleh beberapa
orang. Ketika ada pengurus yang
pernah menegurnya karena
kejujurannya, dengan tegas Kim Lai
hanya menjawab, “Kalaupun sikap
jujur saya akhirnya membentur
tembok, saya memilih untuk
membentur dan menembusnya.”
Kekerasan dan keteguhan hati Kim Lai
inilah yang pada akhirnya mendorong
dirinya untuk melakukan hal-hal yang
nyata meskipun banyak orang yang
melupakannya. Bagi warga kota Blitar,
Kim Lai adalah ‘pahlawan kota’
yang senang pergi kemana-mana
tanpa alas kaki.
http://www.jawaban.com/index.php/
mon...20006/limit/0/
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

 

anything