//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - g.citra

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 92
46
upss maaf ... maksud saya yang masih bersisa (upadisesa nibbāna) ... ;D



Meskipun upadisesanibbāna, sutta2 biasanya menjelaskan nibbāna  ini pun sebagai lenyapnya saṅkhara. Dvayatānupassanasutta dari suttanipāta mendeskripsikan nibbāna / akhir penderitaan sebagai saṅkharānaṃ asesavirāganirodhā - tanpa nafsu dan lenyapnya secara total saṅkhara. Ariyapariyesanasutta dan banyak sutta mengatakan nibbāna sebagai sabbasaṅkharasamatha / the appeasement of all saṅkhara. Jika kita mengacu kepada dvadasaṅgapaticcasamuppāda, lenyapnya penderitaan adalah juga lenyapnya saṅkhara (sankharanirodhā). Dalam Ajitamanavapuccha of Suttanipāta, Sang BUddha menjelaskan bahwa nibbāna adalah lenyapnya nāmarūpa dan viññāṇa. Ini juga menunjukkan lenyapnya saṇkhara. Sebenarnya dalam hal ini, kita harus membedakan antara the fruit of nibbāna dan dalam keadaan normal. Dalam keadaan normal, seorang arahat pun tidak mengalami nibbāna. Hanya ketika ia mau, ia bisa masuk kepada pengalaman nibbāna. Ada sutta yang mengatakan demikian, cuma lupa namanya. Oleh karena itu, Bhikkhu BOdhi berpendapat bahwa the fruit of nibbāna adlah sama apakah seseorang mengalami nibbāna ketika masih hidup atau setelah meninggal. 

Oh begitu ... :)

Jadi semakin jelas (sebelumnya juga pernah diberitahu oleh 'para sesepuh' di sini), memang istlah 'mencicipi' nibbana itu memang bisa 'dikehendaki' oleh ariya pugala ...

Anumodana Samanera ... Senang bisa belajar dari anda dan 'para sesepuh' lainnya ... :)

 _/\_

47
upss maaf ... maksud saya yang masih bersisa (upadisesa nibbāna) ... ;D


48
Quote
Tapi kalau kita menggunakan kata2 'stop / berhentinya sankhara, di sana seakan-akan  sankhara masih eksis, hanya saat itu sankharanya berhenti.

Kalau begitu, bagaimana dengan anupadisesa nibbana ? Mohon penjelasannya ... :)

_/\_

49
bagaimanakah caranya menerima tisarana sebagai perlindungan dan pancasila sebagai landasan moral? tentu saja saya sudah melakukan keduanya malah sering tapi kok saya tetap merasa sbg umat awam ya?

Baguslah kalo begitu ... anda tidak 'terikat' oleh 'label upasaka' (kalau anda memang sudah di visudhi) ... :)

Toh menurut saya gak ada salahnya kalau seorang umat awam menjalankan pancasila, athasila, dasasila atau vinaya sekalipun (sepanjang orang tersebut mau melaksanakannya) ...

Itu semua hanya aturan-aturan berdasarkan standar moralitas dan masih berkaitan dengan hubungan interaksi dengan 'luar diri' dimana penafsirannya masih sangat terkondisi ... :)

salam,

50
apa bedanya umat awam dengan Upasaka/Upasika?

Pendapat saya,
- umat awam >> gak ada keterikatan secara moral terhadap triratna dan pancasila
- upasaka/upasika >> telah ada keterikatan secara moral terhadap triratna dan pancasila (telah mengucapkan janji telah menerima tisarana dan pancasila dihadapan altar dan pe-visudhi)



apakah yg dimaksudkan di sini umat awam adalah Non-buddhis?

Yang saya maksud umat awam adalah orang-orang yang belum menerima tisarana sebagai perlindungan dan pancasila sebagai landasan moral ...

Quote
tentu saja non-buddhis tidak ada hubungannya sama sekali dengan ajaran Buddha

Lho koq gak ada hubungannya ? Bukannya ajaran Buddha bersifat Universal (tak mengenal label) ?

51
apa bedanya umat awam dengan Upasaka/Upasika?

Yang saya tau,
- umat awam >> gak ada keterikatan secara moral terhadap triratna dan pancasila
- upasaka/upasika >> telah ada keterikatan secara moral terhadap triratna dan pancasila (telah mengucapkan janji telah menerima tisarana dan pancasila dihadapan altar dan pe-visudhi)

Namun yang nyata dan pasti sih, menurut saya perbedaannya hanya mengenai 'label' ...  ;D

52
Pengalaman Pribadi / Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« on: 20 March 2010, 06:48:31 PM »
Ikut kasih pendapat ...

Quote
"ketenangan bisa merupakan sebuah masalah dalam kehidupan". benarkah ini? kemudian kemukakan argumen-argumen anda.

Penilaian tentang hal ini sangat bergantung dan tidak mutlak, karena 'ketenangan' hanya sebuah kondisi yang masih akan terkondisi oleh faktor-faktor lain ...

Kalau ketenangan itu dialami oleh 'diri' sendiri, sepanjang ketenangan itu 'tidak terganggu' oleh bentuk pikiran lain yang timbul (misal: penilaian benar/salah dari kondisi itu serta akibat-akibatnya), itu tak jadi masalah ... Sebaliknya, kalau sudah muncul bentuk-bentuk pikiran lain (seperti contoh diatas), maka itu akan menjadi masalah ...

Sekedar saran, kalau ketenangan itu telah 'berubah bentuk' menjadi sebuah kegelisahan, itu harus dipahami, bahwa segala sesuatu yang berkondisi tidak akan pernah tetap (kekal) bersifat berubah-ubah (anicca) ... Ketenangan itu hanyalah kondisi yang dipertahankan dan akan berubah seiring dengan timbulnya bentuk-bentuk pikiran lain ...

Dengan demikian, akan ada kemungkinan untuk keluar dari ketenangan itu (tidak melekat pada kondisi) dengan mengerti secara jelas perubahan-perubahan ini dengan apa adanya ...

Quote
jika benar ketenangan bisa menjadi sebuah masalah, maka yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah "ketenangan seerti apa yang bisa menjadi masalah". dan "bagaimana cara mengatasinya".

Kalau ketenangan yang anda maksud bukan sebatas internal (hanya sebatas berkata-kata), memang ketenangan bisa menimbulkan penilaian 'ganjil' seperti ketenangan yang 'tidak berada pada tempatnya'  ... Sebagai contoh: Bagaimana kalau ketenangan (suasana tenang) itu terjadi dipasar tradisional ...

salam,

53
Ada beberapa yang bilang tujuan dari meditasi adalah berhenti / stopping, ada juga yang bilang 'pelenyapan / cessation'. Mana yang benar ya? Para guru meditasi harus menjelaskan nih.. :)

Setelah 'pelenyapan / cessation' apa akan ada yang 'berlanjut' ? Kalau ada paling hanya 'sisa' saja deh ... dan setelah itu ? 'Berhenti' juga kan ? :)

54

Quote
Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran?

IMO, saat menyadari kita sedang terobsesi, itu sudah 'awal' dari kesuksesan meditasi walau kalau ditinjau dari jeda waktu, mungkin kondisinya masih sangat cepat (sesaat atau beberapa saat), dengan 'berkehendak' untuk menelusuri (menyelidiki) lebih lanjut tentang hal-hal yang menimbulkan pikiran kita terobsesi, nantinya akan ada 'bentuk' dualisme yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau hal ini terjadi, bukankah secara tidak disengaja kita malah melenceng dari makna perhatian (vipassana)/pemusatan (samatha) pikiran kita dalam bermeditasi ?

salam,

Ada satu sutta bernama Vitakkasaṇṭhānasutta dari Majjimanikāya. Di sana Sang BUddha menjelaskan lima cara untuk membuang kekotoran batin. Salah satu caranya adalah dengan melihat bahaya kekotoran batin tersebut. Pertanyaannya adalah apakah pada saat seseorang berusaha melihat bahaya kekotoran batin tersebut sebagai upaya untuk melenyapkan kekotoran batin tersebut, tidak ada 'kehendak' di sana?

Upaya memang kehendak, dan setiap ada kehendak ada akibat ...

Dan kalau kekotoran batin itu 'diusahakan' untuk dilihat, saya setuju akan ada usaha disana ...  :)

OOT dikit ...
Dalam menggambarkan tentang cara 'berpraktek', telah banyak 'perdebatan' terjadi dikalangan para 'praktisi' (mungkin sampai temurun) ...

Padahal apa yang dicari? Lha wong yang dicita-citakan itu hanya untuk 'berhenti koq' ... (tidak menenun) ... :)

salam,

55
Ikutan kasih pendapat ...

Quote
Pertanyaannya, jika kita tidak diperbolehkan untuk melakukan penyelidikan, bagaimana kita menerapkan paññā / kebijaksanaan / pengetahuan Dhamma kita dalam bermeditasi?

IMO, paññā timbul dari samadhi, bersifat apa adanya karena telah mengerti segala hal dengan jelas adanya ...
Kalau penerjemahan paññā masih sebagai usaha yang timbul dari kehendak, saya pikir, disitulah kita masih terjebak oleh lingkaran kondisi (yang dituju, dipersiapkan dsb) dimana masih sangat jelas akan ada 'aku' yang bermain disitu ...

Quote
Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran?

IMO, saat menyadari kita sedang terobsesi, itu sudah 'awal' dari kesuksesan meditasi walau kalau ditinjau dari jeda waktu, mungkin kondisinya masih sangat cepat (sesaat atau beberapa saat), dengan 'berkehendak' untuk menelusuri (menyelidiki) lebih lanjut tentang hal-hal yang menimbulkan pikiran kita terobsesi, nantinya akan ada 'bentuk' dualisme yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau hal ini terjadi, bukankah secara tidak disengaja kita malah melenceng dari makna perhatian (vipassana)/pemusatan (samatha) pikiran kita dalam bermeditasi ?

Quote
Seperti patungkah kita dalam bermeditasi?

IMO, kalau meditasinya dikondisikan, kemungkinan besar akan seperti itu (mungkin lebih tepatnya seperti robot) dan kalau terlalu dibebaskan, bukan tak mungkin kita mengenali 'lamunan' sebagai suatu pencapaian sehingga 'perhatian' kita lengah sama sekali ...

Sekedar share, ada syair yang memang sangat berkesan bagi saya akhir-akhir ini, yakni syair tentang dawai gitar yang tidak ditarik terlalu kencang, juga terlalu kendur ... :)

salam,

56

Apakah hanya dengan "doa" dan lafal sana lafal sini,maka "keinginan" seseorang bisa terkabul?


"...Semoga memakan makanan ini membuat perut saya kenyang..."

Kalo isi doanya kayak gini trus kondisinya pas (ada yang traktir sepuasnya direstoran kesukaan), otomatis terkabul ... :))

57
Quote
tidak peduli siapapun yang gagal,entah si murid atau si guru,tapi intinya adalah Buddha dan muridNya tidak sama dalam hal yang sangat mencolok.. :)

jadi buat pernyataan anda,tidak bisa menjawab kasus yang saya ajukan.. :)

Nah bro Riki, kalau sudah begini, apakah saya yang 'gagal' menjawab atau anda yang 'gagal' mencerap, itu hanya kondisi ... kondisi yang timbul dari sebuah contoh kecil dari 'sebab akibat' ... :)

Quote
yang saya bold itu,tolong anda koreksi..Sang Buddha = SammaSambuddha,yang benar adalah Petapa Sumedha berkeinginan mencapai keBuddhaAn/SammaSambuddha.. :)

"Berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa,penyerahan,pelepasan,membiarkan pergi dan penolakkan akan nafsu keinginan.Keinginan berlebihan yang melekat dapat dihilangkan.Ketika keinginan menjadi wajar,tidak melekat,tidak serakah maka Kebahagian Sejati(Nibbana) telah dialami"

[Sammaditthi Sutta,Majjhima Nikaya 9.17]

dalam Sammaditthi Sutta,Majjhima Nikaya,jelas tertulis padamnya nafsu keinginan = nibbana..apakah Buddha masih punya "keinginan"?silakan dijawab sendiri.. :)

... Tak berbuat kesalahan, walaupun kecil yang dapat dicela oleh 'para bijaksana' ...

Kesalahan diatas merupakan bukti bahwa saya masih 'awam' dalam 'hidup', dimana masih banyak 'celah' yang masih saya perbuat sampai saya masih harus berputar didalamnya ...

Anumodana sudah meng-koreksi ... :) ... _/\_

salam,

58
Quote
saya rasa sutta ini memiliki "cacat" atau terjemahannya yang salah?sebelum Buddha,jauh sebelum Buddha juga ada yang mencapai "pencerahan" yang disebut "pacceka Buddha".. bagaimana dengan hal tersebut?bukankah "pacceka buddha" lebih duluan nemuin Dhamma daripada SammaSambuddha kalau begitu?kalau begitu SammaSambuddha bisa dikatakan "gelar belaka" kalau sutta ini benar adanya

Coba anda baca lagi bro ...

Disitu, ditulis :
"Dalam Sutta Nipata 22.6.58, Buddha menjelaskan bahwa perbedaan antara diri-Nya dan siswa-siswa Arahat-Nya adalah Beliau lebih dulu menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan dan siswa-siswa Arahat-Nya menjalani jalan yang sama setelah diri-Nya – tidak ada perbedaan utama lainnya antara Beliau dan siswa-Nya. "

Beliau tidak mengaku sebagai yang peling dulu (pertama) di alam semesta, tapi hanya membandingkan dengan para siswa-Nya... Sekedar contoh lain, mana yang 'lebih dulu' bisa matematika, si guru atau si murid ? Itu aja koq ...


kalau memang sutta itu benar,maka tidak mungkin SammaSambuddha lebih bijak dari para muridNya..itu yang fatal menurut saya..coba anda baca,kenapa para muridNya SammaSambuddha,bahkan YM Sariputta sekalipun bisa "gagal" mengajari muridnya[murid YM Sariputta] untuk merealisasikan nibbana? :)

kalau memang dikatakan SAMA dan LETAK PERBEDAANNYA HANYA ITU..maka bagaimana kasus tersebut dijawab? :)

Apakah bro mengetahui dengan pasti bahwa YA Sariputta 'ingin' muridnya merealisasikan Nibbana ? Atau memang ajaran yang diberikan oleh YA Sariputta tidak dapat membuat muridnya merealisasi Nibbana ? Keduanya beda lho bro ...

Kalau ada keinginan dari si Guru agar muridnya mendapatkan sesuatu, itu baru dikatakan GAGAL kalau si murid tidak mengalami perkembangan ...
Tapi sebaliknya ... Kalau memang si Guru telah melaksanakan tugasnya dengan baik, tapi si murid tidak bisa berkembang, itu namanya muridnya yang gagal (bukan gurunya)

Sang Buddha telah bertekad untuk menjadi seorang Sammasam Buddha, berarti ada keinginan untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain (dan kalau dilihat dari cerita-cerita, Dhamma yang diberikan itu hanya kepada orang-orang yang memang sudah 'pantas' menerimanya), sedangkan para muridnya ? apakah ada tertulis bahwa mereka juga bertekad untuk menjadi seorang Sammasam Buddha ? Tidak kan ? :)


59
Quote
saya rasa sutta ini memiliki "cacat" atau terjemahannya yang salah?sebelum Buddha,jauh sebelum Buddha juga ada yang mencapai "pencerahan" yang disebut "pacceka Buddha".. bagaimana dengan hal tersebut?bukankah "pacceka buddha" lebih duluan nemuin Dhamma daripada SammaSambuddha kalau begitu?kalau begitu SammaSambuddha bisa dikatakan "gelar belaka" kalau sutta ini benar adanya

Coba anda baca lagi bro ...

Disitu, ditulis :
"Dalam Sutta Nipata 22.6.58, Buddha menjelaskan bahwa perbedaan antara diri-Nya dan siswa-siswa Arahat-Nya adalah Beliau lebih dulu menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan dan siswa-siswa Arahat-Nya menjalani jalan yang sama setelah diri-Nya – tidak ada perbedaan utama lainnya antara Beliau dan siswa-Nya. "

Beliau tidak mengaku sebagai yang peling dulu (pertama) di alam semesta, tapi hanya membandingkan dengan para siswa-Nya... Sekedar contoh lain, mana yang 'lebih dulu' bisa matematika, si guru atau si murid ? Itu aja koq ...

60
Kenapa di gereja2 yg terdengar hanya puji2an-iman dan iman???
Kenapa tidak ayat2 sejenis ini yg diteriakan?

Kalau ente jadi pendetanya itu mungkin aja bisa bro .. :))

Becanda mode >>> ON

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 92