GONCANGNYA “KEYAKINAN” *)
Pendahuluan“Tak seorang pun yang mendengarkan masalahku. Semua rekan-rekanku terlalu sibuk dengan hal mereka sendiri. Mereka tidak ada waktu untukku; betapa beruntungnya jika aku adalah Christine. Dia pandai, cerdik, berbakat, sehat dan gembira selalu. Tidakkah dia mempunyai masalah? Tidak...“, gumam Metta dalam batin, “hanya aku yang mempunyai masalah. Diriku demikian tidak berguna... Dokter pun turut putus asa.... Tak seorang pun memahamiku... Ibuku selalu menegur dan memanggilku ’bodoh’, tak berguna...,menyusahkan ... , tidak seperti kakak adikku.“
Tiada seorang pun yang mengetahui kepahitan batin Metta, tiap malam dia menghabiskan pemikiran atas masalah-masalahnya. Betapa sunyinya dia. Tak seorang pun memahaminya. Metta tak dapat menghadapi kelemahan dirinya. Dibolak-baliknya buku agama yang kerap dipakainya untuk berdoa dan ceramah, tak juga kuasa dia menahan kesunyiannya, kepahitannya, dalam kehidupan ini. Kini dia terbaring... di sebuah ranjang berwarna hijau dengan penutup kain berwarna putih... dalam sebuah rumah sakit...
“Tadi Christine menjengukku..., benar kata Christine..., dalam ketakutan, dalam kehampaan dan keterpurukan ini... kita tak dapat bergantung penuh kepada keluarga dan rekan-rekanku untuk keselamatan dan kebahagiaan..., tak ada yang peduli denganku...., ajal mungkin telah mengintaiku... Aku harus memiliki sebuah pegangan .... pegangan yang ’menjanjikan’.... seperti yang tertulis di dalam kitab suci yang dibawa dan dibacakan Christine... yang ditinggalkannya untukku ini,“demikian Metta.
Metta mulai membalik-balik halaman kitab suci pemberian Christine, mulai membaca bagian yang telah ditandai Christine... ’Sungguh menjanjikan...’, demikian kesimpulannya. Dia menutup kelopak matanya. “Ku berserah kepada-Mu“, gumamnya. Dan....“Oh... betapa tenangnya batinku...“ Diletakkannya buku ’doa’ lamanya, dipeluknya buku barunya tersebut...
Para pembaca, demikianlah kisah Metta. Tak mustahil banyak sekali di sekitar kita yang mengalami “nasib“ mirip Metta,
goncangnya batin, goncangnya ’keyakinan’, yang berujung pada penggantian label “keyakinan.“Variasi pengalaman ’goncangnya dan ganti ‚’keyakinan’Kasus di atas, memiliki beberapa variasi kemungkinan pengalaman yang berbeda bagi setiap orang; misalnya:
1. Seseorang yang
tidak tahu banyak/tidak tahu ajaran agamanya, ketika ia sedang mengalami penderitaan (bisa saja miskin, sulit/belum mendapat pekerjaan, sakit keras, menjelang mati, tua, dijauhi keluarga, dijauhi teman-temannya, kurang diperhatikan, kurang mendapatkan penghargaan dan berbagai
penderitaan ataupun keinginan yang mungkin sedang dihadapi).
2. Seseorang yang
banyak tahu ajaran agamanya bahkan mungkin ahli debat di agamanya atau rajin dan aktif berkunjung ke tempat ibadahnya, tetapi ketika ia sedang mengalami penderitaan (bisa saja miskin, sulit/belum mendapat pekerjaan, sakit keras, menjelang mati, tua, dijauhi keluarga, dijauhi teman-temannya, kurang diperhatikan, kurang mendapatkan penghargaan dan berbagai
penderitaan ataupun keinginan yang mungkin sedang dihadapi),
ia tak kuasa menahan penderitaannya tersebut.
3. Seseorang yang diliputi
hasrat yang tinggi untuk mendapatkan pasangan hidup yang sedang beragama lain.4. Seseorang yang
diputus cinta / bercerai dengan pacar / pasangan hidup atau
’disakiti / dipermalukan’ batinnya oleh orang yang satu agama dengannya saat itu.
5. Seseorang yang merasa
’dibohongi’ oleh oknum atau oleh ajaran agama yang selama ini diikutinya, sementara masalahnya tidak juga terpecahkan.
6. Seseorang merasakan
’kurang masuk akal’-nya ajaran yang dianutnya selama ini dan menemukan ajaran yang lebih masuk akal menurutnya.
7. Seseorang merasakan
ketertarikan atas tata upacara peribadatan ajaran lain dibandingkan ajarannya saat itu.8. Seseorang merasakan
ketertarikan atas tata upacara peribadatan ajaran lain dibandingkan ajarannya saat itu.
9. Seseorang merasakan
keagungan figur ‚’Nabi atau Pembabar’ ajaran baru tersebut, bisa berupa moralitas, wibawa.
10. Seseorang yang merasakan ajaran baru yang ditemuinya
lebih moderen ketimbang ajaran lama yang dianutnya.
11. seseroang yang merasakan ajaran barunya lebih mudah dipraktikkan ketimbang ajaran lama yang dianutnya.
12. Seseorang merasakan adanya peluang ’karir / peruntungan / bisnis’ di lingkungan ajaran baru tersebut.
Saudara,
variasi pengalaman yang berbeda ini dapat dialami oleh siapa pun, baik umat Buddha maupun umat beragama lain.Pernahkah saudara pembaca mendengar atau mengalami kisah di atas dan mengalami satu atau beberapa variasi penderitaan atau keinginan yang tak kunjung terselesaikan ataupun kesan-kesan tampilan seperti di atas? Bila saudara pembaca pernah mengalami atau sedang mengalaminya, atau orang di sekitar saudara pembaca sedang mengalaminya, dan saudara ingin mengetahui lebih jauh apa penyebab / akar sesungguhnya yang menimbulkan goncangnya ’keyakinan’ tersebut dan bagaimana cara mengatasi goncangan ’keyakinan’ tersebut, maka marilah kita bersama menyimak baik-baik uraian di bawah ini
Memahami Sifat Alamiah Kehidupan dan Segala SesuatuMisalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat. Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya, di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang dibangun. Oleh karena itu, air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan, udang dan sebagainya. Dalam satu kata, air yang kita perhatikan itu kemerahan, kotor, terpolusi, jarang penghuninya. Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu. Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain, namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut.
Sekarang kita diinformasikan bahwa aliran air ini dinamakan sungai Ciliwung. Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula. Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung mengalir sangat lambat. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung berwarna kemerahan.
Berdiri di tepi sungai, tampak pada kita bahwa air yang kita amati itu sesungguhnya lengkap dengan sendirinya. Atribut-atribut bagi sungai itu, seperti berwarna kemerahan, kotor dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh berbagai faktor yang mengkondisikan, seperti: aliran air kontak dengan tanah merah. Ditambah, air yang kita amati itu secara konstan mengalir. Air yang kita lihat pertama tidak lagi di sini, dan air yang kita amati saat ini akan berlalu dengan cepat. Demikian pula, sungai itu memiliki sifat unik (khas), yang tidak tampak berubah selama faktor-faktor yang mengkondisikannya belum tampak berubah
(padahal berubah setiap saat secara kontinyu / ilustrasi dari Anicca).Namun kita diberitahukan bahwa itu adalah sungai Ciliwung, mereka mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor, dan sedikit ikannya, tak sedap dipandang, tak memuaskan, ilustrasi dari dukkha. Secara sepintas, kita tidak dapat melihat “sungai Ciliwung” selain dari air yang mengalir itu. Ditambah lagi, mereka menceritakan kepada kita bahwa sungai Ciliwung memotong tanah merah yang dilaluinya, yang menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir seolah-olah sungai Ciliwung ini melakukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan menyebabkan tanah merah itu “menghukum” sungai itu sehingga airnya menjadi merah.
Kita dapat dengan jelas melihat bahwa aliran air itu merupakan subyek dari proses sebab dan akibat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengkondisikan
(ilustrasi dari: kamma-vipaka dan paticcasamuppada); air mencebur ke tanah merah dan tanah merah itu larut ke dalam air merupakan salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu berwarna merah. Kita tidak dapat menemukan
“tubuh” (ilustrasi Pancakkhandha) yang melakukan sesuatu atau menerima akibatnya. Kita sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Ciliwung di manapun. Air yang mengalir di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu terlihat tidak lagi di sini. Air yang baru secara konstan segera menggantikan kedudukan air yang telah mengalir. Kita dapat mendefinisikan air itu hanya dengan menggambarkan faktor-faktor yang mengkondisikannya dan kejadian-kejadian yang muncul sebagai akibat faktor kondisi tersebut, yang menyebabkan ciri-ciri seperti yang kita amati. Apabila terdapat sungai Ciliwung yang nyata dan tidak berubah, tidaklah mungkin bagi aliran air itu untuk berjalan menurut berbagai faktor penentunya. Akhirnya kita melihat bahwa sungai Ciliwung ini berlebihan dan tak berguna. Kita dapat berbicara tentang air itu tanpa direpotkan dengan “sungai Ciliwung” ini. Dalam
hakekat yang sesungguhnya tidak ada sungai Ciliwung lagi
(Ilustrasi Anatta).Seraya waktu berlalu, kita mengadakan perjalanan ke sebuah kota baru. Dengan berkehendak menceriterakan air yang kita telah lihat pada waktu yang lewat kepada orang-orang di kota ini, kita menemukan kesulitan. Kemudian kita memanggil seseorang yang menceriterakan kepada kita bahwa air itu dikenal sebagai sungai Ciliwung. Mengetahui hal ini, kita dapat menghubungkan pengalaman kita dengan lancar, dan orang-orang dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketertarikan. Kita memberitahukannya bahwa sungai Ciliwung memiliki air yang kotor, tidak banyak ikan, terpolusi dan berwarna merah.
Pada saat itu kita menyadari dengan jelas bahwa ‘sungai Ciliwung’ ini dan hal-hal yang terjadi yang kita gambarkan itu, hanyalah sebuah konvensi bahasa yang digunakan bagi kemudahan dalam berkomunikasi
(Ilustrasi Pannatti). Apakah konvensi sungai Ciliwung ada ataupun tidak, dan apakah kita menggunakannya ataupun tidak, tidaklah menentukan aktivitas aliran air itu. Aliran air itu berlangsung sebagai proses reaksi keterkaitan sebab akibat.
Saudara pembaca, dengan ilustrasi di atas, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya sifat alamiah kehidupan ini secara singkat dapat kita sebut sebagai
anicca (berubah), dukkha (tidak memuaskan) dan tanpa inti atau kepemilikan yang tetap (anatta). Segala sesuatu yang secara konvensi kita ketahui sebagai orang, yang kita beri nama, dan mengenai misalnya ‘aku’ dan ‘kamu’, penyakitku, penyakitmu, penderitaanku, penderitaanmu, ketenanganmu, ketenanganku, gengsiku, kekayaanku, dan seterusnya (Atta) ,dalam kenyataannya merupakan aliran kejadian yang berubah kontinyu (Anicca) dan terkait, tersusun dari faktor-faktor penentu yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah subyek kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang berhubungan, baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar. Ketika suatu rekasi tertentu terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reaksi itu muncul, menyebabkan perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian. Kondisi-kondisi yang kita hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi, atau kata ‘aku’ dan ‘kamu’, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan, ataukah sebagai penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan berkomunikasi di dalam dunia sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran kejadian tertentu, seperti Tuan Amin dan sebagainya. Setelah menerima konvensi itu, kita juga menerima tanggung jawab bagi aliran kejadian, menjadi pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil atau akibatnya. Akan tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita menerima label atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi, dikendalikan oleh sebab dan akibat. Setiap orang memandang fenomena tersebut secara berbeda dan tanggapan batinnya pun berbeda-beda.