//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: GONCANGNYA "KEYAKINAN"  (Read 3461 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« on: 04 January 2008, 06:34:39 PM »
GONCANGNYA “KEYAKINAN”  *)

Pendahuluan

“Tak seorang pun yang mendengarkan masalahku. Semua rekan-rekanku terlalu sibuk dengan hal mereka sendiri. Mereka tidak ada waktu untukku; betapa beruntungnya jika aku adalah Christine. Dia pandai, cerdik, berbakat, sehat dan gembira selalu. Tidakkah dia mempunyai masalah? Tidak...“, gumam Metta dalam batin, “hanya aku yang mempunyai masalah. Diriku demikian tidak berguna... Dokter pun turut putus asa.... Tak seorang pun memahamiku... Ibuku selalu menegur dan memanggilku ’bodoh’, tak berguna...,menyusahkan ... , tidak seperti kakak adikku.“

Tiada seorang pun yang mengetahui kepahitan batin Metta, tiap malam dia menghabiskan pemikiran atas masalah-masalahnya.  Betapa sunyinya dia. Tak seorang pun memahaminya. Metta tak dapat menghadapi kelemahan dirinya. Dibolak-baliknya buku agama yang kerap dipakainya untuk berdoa dan ceramah, tak juga kuasa dia menahan kesunyiannya, kepahitannya, dalam kehidupan ini. Kini dia terbaring... di sebuah ranjang berwarna hijau dengan penutup kain berwarna putih... dalam sebuah rumah sakit...
“Tadi Christine menjengukku..., benar kata Christine..., dalam ketakutan, dalam kehampaan dan keterpurukan ini... kita tak dapat bergantung penuh kepada keluarga dan rekan-rekanku untuk keselamatan dan kebahagiaan..., tak ada yang peduli denganku...., ajal mungkin telah mengintaiku... Aku harus memiliki sebuah pegangan .... pegangan yang ’menjanjikan’.... seperti yang tertulis di dalam kitab suci yang dibawa dan dibacakan Christine... yang ditinggalkannya untukku ini,“demikian Metta.

Metta mulai membalik-balik halaman kitab suci pemberian Christine, mulai membaca bagian yang telah ditandai Christine... ’Sungguh menjanjikan...’, demikian kesimpulannya. Dia menutup kelopak matanya. “Ku berserah kepada-Mu“, gumamnya. Dan....“Oh... betapa tenangnya batinku...“ Diletakkannya buku ’doa’ lamanya, dipeluknya buku barunya tersebut...  

Para pembaca, demikianlah kisah Metta. Tak mustahil banyak sekali di sekitar kita yang mengalami “nasib“ mirip Metta,  goncangnya batin, goncangnya ’keyakinan’, yang berujung pada penggantian label “keyakinan.“

Variasi pengalaman ’goncangnya dan ganti ‚’keyakinan’

Kasus di atas, memiliki beberapa variasi kemungkinan pengalaman yang berbeda bagi setiap orang;  misalnya:

1.   Seseorang yang tidak tahu banyak/tidak tahu ajaran agamanya, ketika ia sedang mengalami penderitaan (bisa saja miskin, sulit/belum mendapat pekerjaan, sakit keras, menjelang mati, tua, dijauhi keluarga, dijauhi teman-temannya, kurang diperhatikan, kurang mendapatkan penghargaan dan berbagai penderitaan ataupun keinginan yang mungkin sedang dihadapi).

2.   Seseorang yang banyak tahu ajaran agamanya bahkan mungkin ahli debat di agamanya atau rajin dan aktif berkunjung ke tempat ibadahnya, tetapi ketika ia sedang mengalami penderitaan (bisa saja miskin, sulit/belum mendapat pekerjaan, sakit keras, menjelang mati, tua, dijauhi keluarga, dijauhi teman-temannya, kurang diperhatikan, kurang mendapatkan penghargaan dan berbagai penderitaan ataupun keinginan yang mungkin sedang dihadapi), ia tak kuasa menahan penderitaannya tersebut.

3.   Seseorang yang diliputi hasrat yang tinggi untuk mendapatkan pasangan hidup yang sedang beragama lain.

4.   Seseorang yang diputus cinta / bercerai dengan pacar / pasangan hidup atau ’disakiti / dipermalukan’ batinnya oleh orang yang satu agama dengannya saat itu.

5.   Seseorang yang merasa ’dibohongi’ oleh  oknum atau oleh ajaran agama yang selama ini diikutinya, sementara masalahnya tidak juga terpecahkan.

6.   Seseorang merasakan ’kurang masuk akal’-nya ajaran yang dianutnya selama ini dan menemukan ajaran yang lebih masuk akal menurutnya.

7.   Seseorang merasakan ketertarikan atas tata upacara peribadatan ajaran lain dibandingkan ajarannya saat itu.

8.   Seseorang merasakan ketertarikan atas tata upacara peribadatan ajaran lain dibandingkan ajarannya saat itu.

9.   Seseorang merasakan keagungan figur ‚’Nabi atau Pembabar’ ajaran baru tersebut, bisa berupa moralitas, wibawa.

10.   Seseorang yang merasakan ajaran baru yang ditemuinya lebih moderen ketimbang ajaran lama yang dianutnya.

11.   seseroang yang merasakan ajaran barunya lebih mudah dipraktikkan ketimbang ajaran lama yang dianutnya.

12.   Seseorang merasakan adanya peluang ’karir / peruntungan / bisnis’ di lingkungan ajaran baru tersebut.

Saudara, variasi pengalaman yang berbeda ini dapat dialami oleh siapa pun, baik umat Buddha maupun umat beragama lain.

Pernahkah saudara pembaca mendengar atau mengalami kisah di atas dan mengalami satu atau beberapa variasi penderitaan atau keinginan yang tak kunjung terselesaikan ataupun kesan-kesan tampilan seperti di atas? Bila saudara pembaca pernah mengalami atau sedang mengalaminya, atau orang di sekitar saudara pembaca sedang mengalaminya, dan saudara ingin mengetahui lebih jauh apa penyebab / akar sesungguhnya yang menimbulkan goncangnya ’keyakinan’  tersebut dan bagaimana cara mengatasi goncangan ’keyakinan’ tersebut,  maka marilah kita bersama menyimak baik-baik uraian di bawah ini

Memahami Sifat Alamiah Kehidupan dan Segala Sesuatu

Misalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat.  Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya,  di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang dibangun. Oleh karena itu,  air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan, udang dan sebagainya. Dalam satu kata,  air yang kita perhatikan itu kemerahan, kotor, terpolusi, jarang penghuninya. Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu. Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain, namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut.

Sekarang kita diinformasikan bahwa  aliran air ini dinamakan sungai Ciliwung. Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula.  Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung mengalir sangat lambat.  Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung berwarna kemerahan.

Berdiri di tepi sungai, tampak pada kita bahwa  air yang kita amati itu sesungguhnya lengkap dengan sendirinya. Atribut-atribut bagi sungai itu, seperti berwarna kemerahan, kotor dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh berbagai faktor yang mengkondisikan, seperti: aliran air kontak dengan tanah merah.  Ditambah, air yang kita amati itu secara konstan mengalir. Air yang kita lihat pertama tidak lagi di sini, dan air yang kita amati saat ini akan berlalu dengan cepat. Demikian pula, sungai itu memiliki sifat unik (khas), yang tidak tampak berubah selama faktor-faktor yang mengkondisikannya belum tampak berubah (padahal berubah setiap saat secara kontinyu / ilustrasi dari Anicca).

Namun kita diberitahukan bahwa itu adalah sungai Ciliwung, mereka mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor, dan sedikit ikannya, tak sedap dipandang, tak memuaskan, ilustrasi dari dukkha. Secara sepintas, kita tidak dapat melihat “sungai Ciliwung” selain dari  air yang mengalir itu.  Ditambah lagi, mereka menceritakan kepada kita bahwa sungai Ciliwung memotong tanah merah yang dilaluinya, yang menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir seolah-olah  sungai Ciliwung ini melakukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan menyebabkan tanah merah itu “menghukum” sungai itu sehingga airnya menjadi merah.

Kita dapat dengan jelas melihat bahwa  aliran air itu merupakan subyek dari proses sebab dan akibat yang dipengaruhi oleh  berbagai  faktor yang mengkondisikan (ilustrasi dari: kamma-vipaka dan paticcasamuppada); air mencebur ke tanah merah dan tanah merah itu larut ke dalam air merupakan salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu berwarna merah. Kita tidak dapat menemukan “tubuh” (ilustrasi Pancakkhandha) yang melakukan sesuatu atau menerima akibatnya. Kita sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Ciliwung di manapun. Air yang mengalir di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu terlihat tidak lagi di sini. Air yang baru secara konstan segera  menggantikan kedudukan air yang telah mengalir.  Kita dapat mendefinisikan  air itu hanya dengan menggambarkan faktor-faktor yang mengkondisikannya dan kejadian-kejadian yang muncul sebagai akibat faktor kondisi tersebut, yang menyebabkan ciri-ciri seperti yang kita amati. Apabila terdapat sungai Ciliwung yang nyata dan tidak berubah, tidaklah mungkin bagi aliran air itu untuk berjalan menurut berbagai faktor penentunya. Akhirnya kita melihat bahwa sungai Ciliwung ini berlebihan dan tak berguna. Kita dapat berbicara tentang  air itu tanpa direpotkan dengan “sungai Ciliwung” ini. Dalam hakekat yang sesungguhnya tidak ada sungai Ciliwung lagi (Ilustrasi Anatta).

Seraya waktu berlalu, kita mengadakan perjalanan ke sebuah kota baru. Dengan berkehendak menceriterakan  air yang kita telah lihat pada waktu yang lewat kepada orang-orang di kota ini, kita menemukan kesulitan.  Kemudian kita memanggil seseorang yang menceriterakan kepada kita bahwa  air itu dikenal sebagai sungai Ciliwung. Mengetahui hal ini, kita dapat menghubungkan pengalaman kita dengan lancar, dan orang-orang dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketertarikan.  Kita memberitahukannya bahwa sungai Ciliwung memiliki air yang kotor, tidak banyak ikan, terpolusi dan berwarna merah.

Pada saat itu kita menyadari dengan jelas bahwa ‘sungai Ciliwung’  ini  dan hal-hal yang terjadi yang kita gambarkan itu, hanyalah sebuah konvensi bahasa yang digunakan bagi kemudahan dalam berkomunikasi (Ilustrasi Pannatti). Apakah konvensi sungai Ciliwung ada ataupun tidak, dan apakah kita menggunakannya ataupun tidak, tidaklah menentukan aktivitas aliran air itu.  Aliran air itu berlangsung sebagai proses reaksi keterkaitan sebab akibat.

Saudara pembaca, dengan ilustrasi di atas, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya sifat alamiah kehidupan ini secara singkat dapat kita sebut sebagai anicca (berubah), dukkha (tidak memuaskan) dan tanpa inti atau kepemilikan yang tetap (anatta). Segala sesuatu yang secara konvensi kita ketahui sebagai orang, yang kita beri nama, dan mengenai misalnya ‘aku’ dan ‘kamu’, penyakitku, penyakitmu, penderitaanku, penderitaanmu, ketenanganmu, ketenanganku, gengsiku, kekayaanku, dan seterusnya (Atta) ,dalam kenyataannya merupakan aliran kejadian yang berubah kontinyu (Anicca) dan terkait, tersusun dari faktor-faktor penentu yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah subyek kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang berhubungan,  baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar.  Ketika suatu rekasi tertentu terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reaksi itu muncul, menyebabkan perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian.  Kondisi-kondisi yang kita hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi, atau kata ‘aku’ dan ‘kamu’, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan, ataukah sebagai penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan berkomunikasi di dalam dunia sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran kejadian tertentu, seperti Tuan Amin dan sebagainya. Setelah menerima konvensi itu, kita juga menerima tanggung jawab bagi aliran kejadian, menjadi pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil atau akibatnya.  Akan tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita menerima label atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi, dikendalikan oleh sebab dan akibat. Setiap orang memandang fenomena tersebut secara berbeda dan tanggapan batinnya pun berbeda-beda.

~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #1 on: 04 January 2008, 06:35:24 PM »
Penyebab Goncangnya ‘Keyakinan’

Pembaca yang baik, setelah kita memahami hakekat sesungguhnya sifat alamiah kehidupan dan segala sesuatu, kita dapat menarik sebuah garis atau benang merah, mengapa seseorang tergoncang ‘keyakinannya’. Apakah penyebab sesungguhnya / akar dari goncangnya ‘keyakinan’ seseorang? Tidak lain dan tidak bukan… beberapa penyebabnya, sebagai berikut:

1.   Pandangan keliru (Micchaditthi)
Pemahaman yang tidak utuh atas sifat alamiah kehidupan dan segala sesuatu, sebagian besar mahluk (termasuk manusia) salah memahami sifat alamiah segala sesuatu. Dengan kesalahan memahami ini, maka pola pikir, paradigma atas fenomena yang dialami dan dihadapinya mengalami kesalahan, namun mahluk tersebut merasa seolah-olah benar. Kesalahan pola piker ini akan mengkondisikan kesalahan dalam bertindak dan berucap.

2.   Keraguan Skeptis (Vicikiccha)
Pemahaman intelektual atas satu ajaran tidaklah menjamin pemahaman emosional dan spiritual mahluk tersebut atas ajaran tersebut. Bisa saja seseorang merupakan ‘pakar’ di dalam ajaran itu karena disinyalir hafal isi kitab suci, atau  pandai berdebat dan mengalahkan pendapat umat lain, menjadi pemuka ajaran tersebut, namun tidak jarang mereka tersandung goncang ‘keyakinan’-nya ketika “terpepet” mengalami dan menghadapi situasi / kondisi yang tidak menyenangkan; ‘keyakinan’-nya goncang, dan akhirnya ia banting stir ke ‘keyakinan’ lain. Ia rela menggadaikan ‘keyakinan lama’-nya demi suatu ‘janji’ yang dijajakan di dalam ‘kitab suci’ lain.

3.   Nafsu indera (Kamaraga)
Saudara pembaca, nafsu indera, nafsu yang muncul dikondisikan oleh pengalaman melalui lima indera fisik dan satu indera batin, sungguh dapat membutakan. Dengan nafsu indera dan hasrat untuk pemuasan nafsu tersebut, seseorang terjebak dan terbuai, pujian atau suara lembut yang didengar, objek yang dilihat, sesuatu yang dicium, sentuhan khusus yang menggiurkan, wewangian yang dicium dalam berbagai bentuk variasi yang diinginkan seseorang maupun ditawarkan oleh objek yang memiliki ‘keyakinan’ lain. Termasuk di dalamnya pola berpikir yang menganggap tindakan tata cara peribadatan tertentu sebagai satu-satunya sarana untuk terlepas dari penderitaan atau mencapai kebahagiaan. Kerap kali seseorang merasa tergugah batinnya karena tata cara peribadatan baru yang sederhana yang ‘menyentuh hati’ dan ia melekat di dalamnya, ia membuang tata cara peribadatan lamanya yang tradisional, yang seolah kuno dan tak dapat dilakukan di jaman moderen ini dengan mengganti label ‘keyakinan’nya.

4.   Penolakan batin (Byapada)
Saat seseorang mengalami ketidakgenahan hati, kesedihan, kebencian, bahkan yang kasar dalam wujud keinginan jahat, ia cenderung batinnya menolak objek-objek yang tidak menyenangkannya tersebut. Saudara, teman kerja, teman seibadah, bisa menjadi alasan untuk hijrahnya ‘keyakinan’ dia, semata-mata karena sifat alamiah byapada ini.

5.   Kegelisahan batin (Uddhacca)
Saat mengalami goncangan batin menghadapi situasi tak menyenangkan, atau mengalami sensasi yang sangat menyenangkan,  batin yang tak terlatih akan sangat sulit memegang objek, sehingga ketenangan tidak dapat direalisasi, ketakutan butir 5 di atas pun dapat muncul, ketakutan tidak terlepas dari penderitaan (notabene masih ‘keyakinan’ lama) atau ketakutan kehilangan kesenangan yang diperoleh dari ajaran ‘keyakinan’ baru.

6.   Kemalasan dan kelambanan batin (Thina-Middha)
Saudara, kemalasan dan kelambanan batin ini, membuat seseorang cenderung tidak pro-aktif di dalam menanggapi situasi atau permasalahan yang dihadapinya. Ia cenderung mencari ‘cara yang paling mudah’ untuk ‘mencapai hasil yang paling tinggi’. Padahal saudara... hasil yang tinggi selalu dibayar dengan upaya tertentu yang setimpal. Andaikan cita-cita tumimbal lahir di surga itu terjadi, maka ini harus dibayar dengan upaya tertentu, tidak dengan gratis dan tidak ditentukan dengan baju yang berbeda.

7.   Kesombongan (mana)
Gengsi saudara... merupakan fenomena yang unik, gengsi akan harta, gengsi akan jabatan, gengsi akan penampilan, gengsi akan pergaulan, gengsi akan tata cara tradisional, gengsi akan tata cara tidak profesional, bisa menjadi pemicu gantinya label ‘keyakinan’ seseorang... demi sebuah gengsi.

8.   Kebodohan Batin (Avijja)
Ketidaktahuan fenomena segala sesuatu dalam hakekat sesungguhnya menimbulkan kekotoran lainnya di atas.
Demikianlah saudara, beberapa penyebab atau akar dari goncangnya ‘keyakinan’ atau mudah gantinya label ‘keyakinan’ seseorang, baik di dalam situasi terpojok, menderita atau situasi yang secara tampilan baik. Dimanakah posisi kita saat ini? Kita masing-masinglah yang dapat menilai diri kita masing-masing, aliran alam yang sedang berproses ini.

Bagaimana Kita Menyikapi Fenomena Goncangnya ‘Keyakinan”

Kembali kepada ilustrasi aliran sungai ‘Ciliwung’ di atas, setiap orang dapat menceritakan sungai Ciliwung dengan berbagai cara sesuai latar belakang, pendidikan, budaya, lingkungan, hasrat batin / harapan mereka dan sejauh mana informasi mengenai Ciliwung ini dipasarkan. Demikian pula, di dalam memandang aliran proses kehidupan ini, setiap orang memiliki latar belakang, pendidikan, budaya, lingkungan, hasrat batin / harapan yang menyertai serta informasi terkini yang tersedia baginya. Dengan landasan ini, upaya menyikapi fenomena goncangnya “keyakinan” umat Buddha pun seyogyanya memperhatikan variasi atau keragaman objek dan subjeknya tersebut. Penerapan tata cara atau metodologi-nya pun perlu disesuaikan tanpa mengabaikan tujuan utama “Buddhistme” dan tanpa menimbulkan efek samping munculnya kekotoran batin lain, yaitu fanatisme fatal.
Saudara pembaca, fenomena goncangnya ‘keyakinan’ ini, bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu dari sisi sebagai objek yang kita amati, atau dari sisi sebagai subjek di mana itu terjadi pada diri kita. Pada kesempatan ini, saya membatasi permasalahan yang terjadi untuk umat Buddha.

Sebagai umat Buddha, kita perlu mengadakan gerakan atau aksi untuk menolong rekan-rekan umat Buddha yang mengalami atau mengantisipasi agar tidak terjadi goncangnya ‘Keyakinan’, juga menolong diri sendiri agar tidak mengalami hal serupa dengan satu atau beberapa alternatif atau kombinasi  seperti sebagai berikut:

1.   Upaya meningkatkan pengetahuan secara komprehensif melalui pembelajaran (pariyatti):
•   Membanjiri informasi dengan isi Buddha Dhamma yang benar dan praktikal. Media informasi yang ada saat ini perlu dimanfaatkan secara optimum, mulai dari media cetak (leaflet, buku saku, flyer, brosur, majalah dinding, majalah buku, buku bacaan, buku pegangan/handbook, pedoman praktik, koran / surat kabar, kamus, dan sebagainya), media audio visual (audio cassette, CD-Rom, video CD, Compact Disc, DVD, Video, MP3, atau format multimedia lainnya), media komunikasi jarak jauh (telpon, ring tone, website internet, milis tanya jawab / sharing, correspondence course / kursus persuratan dan sebagainya). Penerbitan / penyebaran informasi Buddha Dhamma ini perlu didukung oleh pendana yang efektif dan penuh pengertian, sehingga sebagian besar umat Buddha yang tidak mampu dapat memperoleh informasi ini secara terjangkau oleh kemampuan finansialnya. Atau dalam arti kasar, penerbitan / penyebaran informasi ini hendaknya tidak didasari prinsip untung rugi materi (konsep jualan barang terima uang).

•   Membanjiri ceramah / khotbah Buddha Dhamma yang benar dan praktikal secara terencana, baik melalui Dhammadesana (pembabaran Dhamma) maupun Dhammasakacca (diskusi Dhamma) dalam kebaktian maupun kelas Dhamma.  Butir pertama dan kedua di atas menyebut istilah praktikal, artinya memasyarakat dan mudah untuk diterapkan, mengundang dan menantang untuk segera dipraktikkan karena masyarakat pendengar memang saat itu sangat  membutuhkannya. Untuk kebutuhan ini, para penyebar Buddha Dhamma baik dalam media komunikasi maupun ceramah / khotbah dituntut untuk menggali, ‘merasakan’, memahami keragaman persoalan-persoalan umum masyarakat pendengar/penggunanya. Penegasan-penegasan untuk mengajak praktik di dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting.

2.   Upaya meningkatkan pemahaman emosional / spiritual / pengembangan batin dengan praktik langsung secara berkesinambungan / kontinyu (patipatti):
•   Workshop ataupun training ataupun pelatihan langsung, lebih ditingkatkan frekuensi (tingkat keseringan), keterjangkauan lokasi (sebaran tempat)-nya dengan metodologi terkini di lingkungannya dengan kombinasi diselingi metode audio visual yang memadai.
•   Menghindari metode praktik mekanis tanpa penjelasan sebab akibat
•   Praktik meditasi disertai dengan pengarahan yang baik oleh instruktur di bidangnya yang kompeten mengkondisikan hasil yang optimal
•   Praktik tidak hanya dilakukan di dalam formal training dalam satu periode tertentu, namun juga di dalam kehidupan sehari-hari.

3.   Upaya meningkatkan kebijaksanaan melalui pengalaman langsung yang efektif (Pativedha)
•   Pengalaman langsung efektif yang dicapai seyogyanya diperoleh melalui pengalaman langsung di dalam kehidupan sehari-hari untuk setiap saat pengalaman hidup, tanpa memilih satu atau dua pengalaman yang diharapkan, sehingga kebijaksanaan penembusan langsung akan sifat alamiah kehidupan dan segala sesuatu menjadi bagian alamiah dari batin seseorang.

Penutup

Saudara, tiga tahap metodologi di atas bila kita lakukan dengan bertahap dan berkesinambungan di dalam kehidupan sehari-hari, maka secara alamiah akan menjadi ’serum juga antibody’ bagi tiap sensasi eksternal yang datang (’keyakinan lain’) maupun bagi kekotoran / penyebab / akar goncangnya ’keyakinan’ kita.

Marilah kita bersama-sama, bahu- membahu, menerjemahkan Dhamma nan Agung ini ke dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga fondasi batin kita tidak mudah bergoyang atau hancur terkena terpaan gempa kehidupan di dalam maupun di luar ’gedung’ pancakkhandha ini.

ooooo0ooooo
*) Disampaikan oleh Sdr. Selamat Rodjali untuk Majalah Dhammacakka. Agustus 2003.

 _/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Offline EVO

  • Sebelumnya Metta
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.369
  • Reputasi: 60
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #2 on: 04 January 2008, 07:04:06 PM »
bagus sekali artikelnya :)
makasih ya....

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #3 on: 05 January 2008, 12:28:21 AM »
_/\_

bagus sekali artikelnya, cc Lily.
Semoga bermanfaat untuk yang membacanya. :)


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline jamescoa

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 102
  • Reputasi: 8
  • Gender: Male
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #4 on: 06 January 2008, 12:06:45 AM »
nice artikel  _/\_
_/\_

James

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #5 on: 06 January 2008, 08:23:54 PM »
Anumodana. _/\_
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline kosdi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 102
  • Reputasi: 2
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #6 on: 11 January 2008, 12:29:14 PM »
senang sekali ce lily memeberikan artikel ini....
juga sekalian sedihhhhh skali soalnya ini kejadian nyata...  :'(

memang pada kasus diatas apabila yg sakit itu tidak memahami ajaran dengan baik maka, sesuatu yang diajarkan tetangga sangat2 menjanjikan...
janji janji dan harapan memang sangat membantu walaupun itu cuma harapan kosong.....

Offline Fei Lun Hai

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 686
  • Reputasi: 24
  • Gender: Female
Re: GONCANGNYA "KEYAKINAN"
« Reply #7 on: 11 January 2008, 12:55:25 PM »
Artikel yg bagus Ci lily  ^:)^ Thanks atas sharingnya  _/\_
your life simple or complex is depend on yourself

 

anything