Melihat berlarut-larutnya topik ini, saya akan menyampaikan pendapat saya:
Soal Nyanadasa seharusnya tidak terus dipergunjingkan seperti ini. Dalam kasus yang kurang lebih mirip dengan Nyanadasa demikianlah yang dilakukan oleh Sang Buddha:
... Suatu saat YM Udayin mendekati seorang wanita muda (anak perempuan
dari seorang penyokong YM Udayin yang baru menikah), dan setelah dekat,
beliau duduk bersama dengan wanita muda tersebut, seorang pria dan
seorang wanita, di suatu tempat tersembunyi, di tempat duduk yang nyaman
dan tersendiri, berbicara pada waktu yang tempat, membicarakan Dhamma
pada waktu yang tepat pula ... Visakha melihat YM Udayin duduk bersama
dengan wanita muda itu, seorang pria dan seorang wanita, di suatu tempat
tersembunyi, diatas tempat duduk yang nyaman dan tersendiri. Melihat hal
ini, Visakha berkata kepada YM Udayin: "Hal ini tidak patut, yang mulia,
hal ini tidak pantas, bahwa seorang guru duduk bersama seorang wanita,
seorang pria dan seorang wanita, di tempat tersembunyi, diatas tempat
duduk yang nyaman dan tersendiri. Meskipun yang mulia tidak memiliki
hasrat untuk hal tersebut (hubungan seksual), orang yang tidak percaya
akan sulit untuk diyakinkan." Namun YM Udayin tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh Visakha sehingga Visakha pun menceritakan hal tersebut
kepada para bhikkhu. Para bhikkhu menjadi terganggu dan marah dan
kemudian meneruskannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menegur YM
Udayin: "Bagaimana mungkin kamu, orang bodoh, duduk bersama dengan
wanita, seorang pria dan seorang wanita, di suatu tempat tersembunyi di
atas tempat duduk yang nyaman dan tersendiri? ..... "Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/16351?var=1Oleh karena itu saran saya adalah langsung saja tegur yang bersangkutan. Jika menggosip terus seperti ini, saya rasa hanya akan menghabis-habiskan waktu. Salah-salah malah dikuasai oleh kebencian.
Dalam Samagama Sutta (Majjhima Nikaya 16), terdapat kritik terhadap pengikut Nigantha Nataputta yang isinya berikut ini:
"2. Pada waktu itu Nigantha Nataputta baru saja meninggal di Pava.976 Setelah kematian Nigantha Nataputta, kelompok Nigantha pun pecah, terbagi menjadi dua; dan mereka seringkali bertengkar dan cekcok dan berselisih tajam, saling menusuk dengan belati-kata: "
Engkau tidak memahami Dhamma dan Vinaya ini. Sayalah yang memahami Dhamma dan Vinaya ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Vinaya ini? Caramu salah. Cara sayalah yang betul. Saya konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya dikatakan di awal, [244] engkau katakan terakhir. Apa yang seharusnya dikatakan terakhir, engkau katakan di awal. Apa yang tadinya telah dengan cermat engkau pikirkan, sekarang dijungkir-balikkan. Penegasanmu telah terlihat. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lagi dengan lebih bak, atau lepaskan dirimu dari kekusutan ini jika engkau bisa!" Tampaknya tidak ada yang lain kecuali pembantaian di antara para siswa Nigantha Nataputta. Maka para siswa awamnya yang berpakaian-putih pun merasa muak, cemas, dan kecewa terhadap para siswa Nigantha Nataputta, karena mereka berada bersama Dhamma dan Vinaya yang dicetuskan secara buruk dan dijelaskan secara buruk oleh Nigantha Nataputta, yang tidak-membebaskan, tidak menopang kedamaian, dijelaskan oleh orang yang tidak sepenuhnya tercerahkan. Dan mereka sekarang -dengan kuilnya yang hancur- ditinggaikan tanpa perlindungan."
Sumber:
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/sutta/majjhima/samagama.htmlCona bandingkan situasi ini dengan diskusi di thread ini, saya kok melihat banyak kesamaannya ya.... Mengapa kita yang sama-sama adalah siswa Sang Buddha harus saling membantai demikian? Mengapa setiap kita melihat ada yang tidak sesuai dengan penafsiran kita, tidak kita diskusikan dengan santun? Mengapa kalau ada anggota sangha yang kita rasa melakukan kesalahan tidak kita tegur langsung saja ke yang bersangkutan? Mengapa sampai harus ada adegan kata-kata menyerang yang tidak pantas muncul dalam thread ini?
Sang Buddha dalam sutta yang sama justru menganjurkan untuk mengembangkan "enam sifat yang patut diingat, yang menciptakan cinta kasih dan rasa hormat, dan kondusif untuk sifat suka menolong, untuk tanpa-perselisihan, untuk harmoni, dan untuk kesatuan." Keenam sifat itu antara lain:
1. Mempertahankan tindakan-tindakan penuh cinta-kasih melalui jasmani -baik di muka umum maupun secara pribadi- terhadap sesama teman di dalam kehidupan suci.
2. Mempertahankan tindakan-tindakan penuh cinta-kasih melalui ucapan -baik di muka umum maupun secara pribadi- terhadap sesama teman di dalarn kehidupan suci.
3. Mempertahankan tindakan-tindakan penuh cinta-kasih melalui mental-baik di muka umum maupun secara pribadi- terhadap sesama teman di dalam kehidupan suci.
4. Menikmati benda-benda bersama-sama dengan sesama temannya yang bermoral di dalam kehidupan suci; tanpa syarat, dia berbagi dengan mereka apa pun jenis perolehan yang sesuai Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai Dhamma, termasuk bahkan apa yang ada di mangkuknya.
5. Berdiam, baik di tempat umum maupun secara pribadi, dengan memiliki -seperti juga sesama temannya di dalam kehidupan suci- moralitas yang tak terpatahkan, tak-terkoyak, tak-ternoda, tak-burik, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak salah dimengerti, dan menimbulkan konsentrasi.
6. Berdiam, baik di depan umum maupun secara pribadi, dengan memiliki -seperti juga sesama temannya di dalam kehidupan suci- pandangan yang mulia dan membebaskan, dan membimbing orang yang berpraktek sesuai dengannya menuju hancur totalnya penderitaan. Meskipun keenam sifat ini ditujukan kepada para anggota Sangha, bukankah kita yang umat awam sudah seharusnya bersikap mendukung terjuwudnya hubungan yang harmonis dalam seluruh umat Buddha, baik yang monastik maupun awam, tanpa membeda-bedakan aliran? Daripada menciptakan perselisihan, lebih baik sampaikan keberatan dan teguran Anda kepada yang bersangkutan secara langsung. Mengapa harus dibawa ke forum.
Soal apakah bhiksu dan bhiksuni boleh bermain alat musik atau tidak. Saya sepakat sepenuhnya dengan apa yang telah disampaikan oleh Bro Gandalf.
Dalam hal ini saya akan menambahkan soal ini dari sudut pandang pendapat saya sendiri.
Musik dan menari pada dasarnya adalah media yang netral dalam menyampaikan pesan, sama dengan kata-kata lisan dan tulisan. Bedanya adalah medianya saja. Kalau alat musik menggunakan bunyi-bunyian abstrak yang berasal dari gesekan, pukulan atau gema yang keluar dari benda sebuah benda, tarian adalah "kata-kata" yang diucapkan dengan menggunakan tubuh sebagai media.
Ketika seseorang membaca paritta/mantra/dharani dsb. meski tidak dimaksudkan sebagai nyanyian kadang-kadang juga terdengar merdu. Begitu juga bunyi-bunyian yang kita dengar sehari-hari, apakah bunyi burung, angin, aliran air, kebisingan orang berbicara dan lalu lintas, semuanya ini jika didengarkan dengan netral dan tanpa terpengaruh stereotipe tentang bunyi tersebut dapat terdengar "indah" juga, bahkan tidak beda dengan bunyi musik. Sebuah alat musik pada hakikatnya tak ubahnya dengan sebuah pena atau alat tulis. Ia dapat digunakan untuk menyampaikan hal negatif juga hal yang positif. Ia dapat digunakan untuk menyebabkan seseorang melekat pada LMD, tapi bisa juga membantu seseorang lepas dari LMD. Tergantung bagaimana ia digunakan. Kemelekatan kepada musik semata-mata timbul karena kita seringkali menggunakannya sebagai alat untuk menghibur belaka.
Begitu juga dengan tarian. Menari adalah menggunakan tubuh kita sebagai alat penyampaian pesan. Seseorang bahkan bisa menyampaikan Dharma melalui menari. Tubuh yang digunakan untuk menari juga tidak berbeda dengan alat tulis dan bunyi-bunyian. Ia bis adigunakan untuk menyampaikan hal yang tidak senonoh, tapi juga bisa digunakan untuk mengajak orang untuk lebih sadar sesuatu yang suci. Bahkan penari yang mindful adalah penari yang benar-benar sadar akan gerak tubuhnya hingga setiap jengkal, selalu hadir "di sini dan di saat ini" hingga tidak ada kesalahan gerakan. Beberapa penari yang kukenal pada dasarnya adalah seorang seorang spiritualis juga. Menurut seorang penari yang pernah kutemui, menari adalah praktik olah raga dan olah rasa. Suatu hal yang tidak jauh dari meditasi.
Oleh karena itu, ketika terdapat sila yang mengatur bahwa "tidak boleh menari, menyanyi dan memainkan alat musik", seharusnya kita tidak melihatnya secara dangkal belaka. Dalam Delapan Tuntunan Moralitas (aṣṭa-śīla, 八關齋戒) Mahayana, aturan ini juga diucapkan pada urutan kedelapan. Namun yang kurang diperhatikan adalah pengucapan bagian ini selalu berjajar dalam satu kesatuan dengan peraturan "tidak menggunakan perhiasan dan berhias diri." Dalam hal ini, "menyanyi, menari dan memainkan alat musik" dan juga termasuk "menonton" hal-hal tersebut, disetarakan dengan "menggunakan perhiasan dan berhias diri". Mengapa demikian? Karena dalam aturan-sila ini maksud "menyanyi, menari dan memainkan alat musik" dan "menonton"-nya adalah kegiatan yang menghibur diri, yaitu aktivitas yang berorientasi pada pencarian kesenangan untuk menghilangkan kebosanan. Aktivitas yang memungkinkan kita mendapatkan kepuasan dengan melarikan diri dari suasana yang biasa-biasa saja, netral dan tidak memikat dengan mencari kesenangan yang berlebihan. Dengan pengertian ini, maka yang termasuk dalam aturan ini seharusnya termasuk menonton film, membuka website kesukaan, membaca novel, bermain video game, ataupun kegiatan-kegiatan lain yang berpotensi untuk terjadi hal yang sama. Namun dikarenakan pada masa tersebut kegiatan-kegiatan ini belum dikenal maka tidak termasuk.
Akan tetapi, mudah sekali aturan-sila ini disalahpahami bahwa isinya adalah peraturan yang melarang suatu perilaku spesifik, jika ditafsirkan secara sempit. Saya tidak melihat sila sebagai sekumpulan peraturan yang mengatakan "tidak boleh ini, tidak boleh itu," sehingga kemudian kita merasa harus menjauhi suatu hal karena "dilarang". Cara pandang demikian, melupakan bahwa sila pada hakikatnya adalah tuntunan untuk menjauhkan kita dari tiga racun (dalam pali dikenal sebagai moha, lobha dan dosa), bukan hukum tentang apa yang boleh dan tidak boleh layaknya dalam syariat agama tetangga. Jika sila dipahami layaknya syariat agama tetangga, maka Buddha Dharma jadinya hanya ajaran tentang bagaimana cara menegakkan syariat dan kepatuhan umatnya terhadap peraturan yang ada. Apa yang kusaksikan pada agama tetangga tersebut, yang terjadi kemudian adalah perdebatan terus menerus tiada henti mengenai suatu perilaku halal, haram, sunnah atau makruh (singkatnya: apa dibolehkan atau tidak diperbolehkan). Sungguh menyedihkan kalau Buddha Dharma jadinya hanya seperti itu: hanya mempersoalkan perilaku yang boleh dan tidak boleh dengan sangat rigid, sehinga kehilangan esensinya. Saya melihat Buddhisme tidak demikian. Esensi lebih penting daripada penampilan luar. Oleh karena itu, apa yang hendak disampaikan itu yang lebih utama daripada yang tampak. Setidaknya itu yang kupelajari dari Buddhisme CXh'an (Zen).
Nah, kembali ke soal "menari, menyanyi dan bermain alat musik." Menurut saya, tidak benar bahwa mengatakan sila tersebut "melarang" semata-mata perbuatan kongkritnya. Sila itu adalah tuntunan untuk menghindari perbuatan yang dapat mempertebal MLD. Oleh karena itu, seperti yang saya sampaikan di atas, tidak semua kegiatan "menari, menyanyi dan bermain alat musik" dilakukan dengan tujuan penuh nafsu melainkan bisa dilakukan dengan tujuan menyampaikan dharma, maka seharusnya dalam kasus tertentu perilaku tersebut tidak bermasalah. Dalam aṣṭa-śīla Mahayana, bagian sila tersebut selalu ditambah dengan kata-kata "dengan melekat" atau "disertai hawa nafsu". Lengkapnya berbunyi: "Avoid wearing jewellery, perfume, and make-up. Avoid singing, dancing or playing music
with attachment. "