//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: perbedaan mahayana ama theravada  (Read 137210 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #210 on: 22 November 2009, 03:23:44 AM »
kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^
Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu

Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #211 on: 22 November 2009, 09:24:50 AM »
[at]  marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]


Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.


kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^

Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu

Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini

sekarang posisi dimana "arahat [ entah asli atau aspal ] mengatakan pernyataan yang berbeda dengan Tipitaka"
itu sebabnya di sebut buku kontroversi sama om kumis kale...

nah sekarang, apabila kita memakai pandangan Tipitaka dalam melihat kasus "pernyataan Luanta" maka tentu menganggap Luanta bohong...
tetapi apakah anda cukup berani mengatakan bahwa Luanta bohong karena tidak sesuai dengan Tipitaka?

itulah sebabnya saya menyatakan "tipitaka pun tidak bisa di percaya-i 100% yg me-monopoli semua dhamma"
karena ada kasus "arahat[luanta]"
Kalau andaikata LUANTA bohong, tentu GA ADA MASALAH[ itu pun kalau anda berani ]
sekarang kalau BENAR beliau ARAHAT[ apa anda lebih menguasai sila,samadhi,panna dari pada beliau ? ]

jadi sekarang inti nya adalah "apakah anda berani mengatakan Luanta Bohong atau tidak"

kalau dibilang saya tidak bijaksana....sy tidak mengerti,jelas-jelas ini namanya diskusi berbeda pandangan....
lagian memang kok saya tidak bijaksana dalam hal tentang jalan "arahat" kalau sudah bijaksana tentu saya sudah seorang savaka-ARAHAT paling tidak. :)

« Last Edit: 22 November 2009, 09:27:58 AM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #212 on: 22 November 2009, 09:39:03 AM »
Quote
Yup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley

Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.

Yap. Tradisi Sukhavati walau kulit luarnya ada banyak kemiripan dengan Kristianitas, namun konsep / makna dasarnya / kulit dalamnya sangat-sangat berbeda dan ini sudah banyak para sejarawan yang membahasnya. Saya kutip tulisan saya yang dulu-dulu bahwa mustahil Kristinitas mempengaruhi tradisi Sukhavati:

Mereka mengklaim bahwa Mahayana adalah “Christianized Buddhism” atau agama Buddha dengan pengaruh Kristiani Nestorian, contohnya dengan adanya konsep “Juruselamat” seperti Amitabha.

Jawab: Problem teori ini adalah Mahayana muncul pada abad 1 M di kerajaan Kushan di Asia Tengah (sekarang Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan dsb), sedangkan kaum Kristiani khususnya Nestorian baru datang ke Asia Tengah 400 tahun kemudian yaitu sekitar abad ke-5 M. Oleh karena itu tidaklah mungkin Mahayana dipengaruhi oleh Kristianitas. Untuk menunujukkan bahwa agama Kristiani mempengaruhi agama Buddha sebelum kaum Nestorian datang, maka seseorang harus membuktikan terlebih dahulu bahwa ada kontak antara “Kristiani Thomasite” di India Selatan dan Kerajaan Kushan di India Utara (sekarang Pakistan).

"Kristiani Thomasite" sebagaimana secara tradisi berasal dari kedatangan rasul Thomas pada tahun 52 M di selatan India dan menyebarkan agama Kristiani serta mendirikan gereja di sana. Namun tampaknya tradisi ini kurang disertai bukti yang kuat. Untuk lebih jelasnya coba lihat www.hamsa.org, di mana di sana dijelaskan ketidakmungkinan Rasul Thomas datang ke India. Yang paling penting untuk diketahui adalah komunitas Kristiani di India Selatan baru eksis sekitar tahun 345 M, dibawa oleh pedagang Thomas Cananeus di mana mungkin terjadi kesalahpahaman bahwa Thomas Cananeus dianggap sebagai Rasul Thomas.

Sedangkan sebelum 345 M, Mahayana sudah eksis di India. Lagipula memang tidak ada kontak antara Mahayana di utara dengan “Kristiani Thomasite” di selatan. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila Mahayana dipengaruhi oleh agama Kristiani.

Bapa Pierre Humbertclaude menulis bahwa ajaran sekte Amitabha sangat mirip dengan Kristiani, sehingga ia mengatakan bahwa sekte Amitabha dipengaruhi oleh ajaran Kristiani Nestorian . Demikian juga oleh beberapa sejarawan lainnya yang mengklaim bahwa Mahayana dipengaruhi oleh Kristiani dan terutama lagi oleh para sejarawan Keikyo.

Shan Dao, Patriark Tanah Suci di Tiongkok, hidup pada masa Nestorian masuk ke Tiongkok. Berkatnyalah ajaran Tanah Suci mulai meluas. Ia adalah teman baik Raja Gaozong. Raja Gaozong adalah raja yang menerima dan mengakui serta menghormati agama Nestorian. Oleh karena itu banyak yang menduga bahwa Shan Dao mendapat pengaruh dari agama Kristiani Nestorian dikarenakan hubungan keduanya yang erat. Ajaran Amitabha juga dianggap mirip dengan Kristiani. Patriark Tanah Suci di Jepang seperti Honen dan Shinran juga diduga mendapat pengaruh dari agama Kristiani.

Jawab: Inskripsi tentang Amitabha ditemukan di Pakistan dan berasal dari abad ke-2 M. Amitabha Buddha dan Tanah Sucinya pertama kali diperkenalkan lewat Sutra Pratyutpanna dan Sutra Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan oleh Lokaksema dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Para sejarawan menduga bahwa penghormatan pada Amitabha Buddha dimulai pada abad 1 M atau 2 M di Asia Tengah dan India Utara. Tentu pada saat itu Kristiani belum masuk ke Asia Tengah maupun India Utara. Kristiani baru masuk ke Asia Tengah pada abad ke-5 M. Oleh karena itu pemujaan Amitabha Buddha sudah ada terlebih dahulu daripada agama Kristiani di Asia Tengah dan India. Tidak mungkin ajaran Amitabha dipengaruhi oleh agama Kristiani.

Demikian juga di Tiongkok, Sutra-sutra tentang ajaran Amitabha sudah ada sejak abad ke-2 M, jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Tiongkok. Bahkan Sutra Mahasukhavativyuha adalah salah satu sutra pondasi ajaran Tanah Suci.

Kemudian sutra-sutra tentang Amitabha yang lain yaitu: Amitayur-dhyana diterjemahkan oleh Jiangliang Yeshe pada masa dinasti Song eradinasti Utara Selatan (abad ke-5 M) dan juga oleh Dharmamitra pada masa dinasti Song era dinasti Utara Selatan (abad ke 5 M). Kemudian Suta Amitabha yang diterjemahkan 3 kali: oleh bhiksu asal kerajaan Kucha (Asia Tengah) Kumarajiva pada tahun 402 M, oleh bhiksu Gunabhadra sekitar tahun 446 M, oleh bhiksu Xuanzang pada tahun 650 M.

Sedangkan ada 12 versi terjemahan Mahasukhavativyuha, dikutip dari artikel yang dituli bro. Ching ik di milis Mahayana_Indonesia:

1.Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu asal Persia –An Shi Gao, pada abad ke 2 M. Masih menjadi pertanyaan apakah benar kitab ini adalah terjemahan bhiksu An Shi Gao, karena sejauh yang diketahui, semua kitab terjemahan An Shi Gao merupakan kitab Hinayana.
2.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (4 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Lokaraksha/Lokaksema pada abad ke 2 M.
3.Foshuo Amito Sanye Sanfo Shalou Fotan Guo Duren Daojing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu ZhiQian pada masa Tiga kerajaan (abad ke 3 M).
4.Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Sanghavarman pada 252 M.
5.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu BaiTing pada masa tiga kerajaan (abad ke 3 M).
6.Wuliang Shoujing (2 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmapala pada masa dinasti Jin Barat (antara abad ke 3 – 4 M).
7.Wuliang Shou Zhizhen Dengjue Jing (2 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabala pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M)
8.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu JueXian pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
9.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu BaoYun pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
10.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmamitra pada masa dinasti utara selatan (abad ke 5 M).
11.Wuliang Shou Rulai Hui (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Bodhiruci pada masa dinasti Tang (awal abad ke 8 M).
12.Daceng Wuliang Shouzhuang Yanjing (3 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabhadra pada masa dinasti Song (antara abad ke 10-12 M)

Kitab komentar Sukhavati seperti Wuliang Shoujing Youpo Tishe/ Wangshen Lun (Maha Sukhavati-vyuha Upadesa) karya Vasubandhu. Diterjemahkan oleh Bodhiruci di abad ke 6 M. Vasubandhu hidup pada abad ke-4 M, sebelum Nestorian masuk ke Asia Tengah.

Bisa kita lihat bahwa setidak-tidaknya sudah ada BUKTI bahwa pemujaan Amitabha beserta konsep Tanah Sucinya sudah ada di Asia Tengah dan Tiongkok pada abad 1 M sampai 4 M, di mana pada masa itu Kristiani Nestorian belum memasuki Asia Tengah maupun Tiongkok. Pondasi dan konsep fundamental dari sekte Tanah Suci semuanya berasal dari 2 sutra yaitu (Amitabha Sutra, Mahasukhavativyuha Sutra dan Amitayurdhyana Sutra). Dan ketiga sutra tersebut seperti kita lihat, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa sebelum Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok. Oleh karena itu tidaklah mungkin Kristiani Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.

Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok setidak-tidaknya tahun 578 M dan 631 M (abad 7 M). Sedangkan Patriark pertama dan pendiri sekte Tanah Suci di Tiongkok adalah Bhiksu Huiyuan yang hidup pada tahun 334-416 M. Oleh karena itu tidak mungkin sekte Tanah Suci di Tiongkok berkembang dari ajaran Kristiani Nestorian. Patriark kedua Tanah Suci Tan Luan juga hidup sebelum kedatangan Nestorian ke Tiongkok, yaitu tahun (476-542 M).

Dan memang benar ajaran sekte Tanah Suci disempurnakan oleh Shan Dao, namun kita lihat bahwa ajaran Shan Dao sendiri juga berdasarkan ajaran Huiyuan dan Tanluan serta Daochuo, patriark-patriark Tanah Suci sebelumnya. Tidak ada transformasi dalam ajaran Tanah Suci yang dilakukan oleh Shan Dao yang mengingatkan kita akan paham Kristiani ataupun yang membuat kita melihat paham Kristiani dalam sekte Tanah Suci. Tidak ada. Semua yang diajarkan Shan Dao adalah berdasar Patriark sebelumnya dan berdasarkan/berpondasikan 3 Sutra terpenting dalam Sekte Tanah Suci. Demikian juga Patriark sekte Amitabha di Jepang seperti Honen dan Shinran, mereka mendasarkan pengertian mereka pada ajaran Shan Dao yang notabene juga berdasarkan ajaran Tan Luan. Ini dapat dilihat bahwa pada aliran Jodo (Tanah Suci) di Jepang, Tan Luan dianggap sebagai Patriark pertama Tanah Suci Tiongkok.

Bahkan dalam The Pure Land Doctrine as illustrated in Shoku’s “Plain-wood” Nembutsu, in The Eastern Buddhist oleh Shidzutoshi Sugihira, disebutkan bahwa apabila inskripsi tahun 781 M menunjukkan hubungan yang dekat antara Buddhis dan Kristiani, maka malah mungkin akan menunjukkan sebaliknya, bahwa ada pengaruh dari agama Buddha, khususnya sekte Tanah Suci kepada ekspresi keimanan Kristiani yaitu “Untuk berlayar dengan kapal welas asih menuju kerajaan Cahaya”, orang yang menulis ungkapan barusan meminjam kata-kata dari sekte Buddhis Tanah Suci.

Bahkan Kepala Vihara dari Pagoda Yun Si Se dekat Hangchow, menulis pada Bapa Matthew Ricci mengkomplain: “Kristiani mengkopi ajaran Tanah Suci” (Hobogirin, art. Bodhai (= Bodhi), I, p. 92, according to the Jodo.)

Kesimpulan:Ajaran sekte Tanah Suci/Amitabha (Amidism) telah tumbuh, berakar dan memiliki pondasi yang kuat di Asia Tengah, India Utara dan Tiongkok beratus-ratus tahun sebelum kedatangan Kristiani Nestorian di Asia Tengah dan Tiongkok. Adalah omong kosong besar apabila ada orang yang menyatakan bahwa Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.

Quote
Menarik Smiley setahu saya justru munculnya tradisi pure land sebagai respons terhadap perkembangan agama Zoroastrianism dari Persia. Zoroastrianism menganut pandangan dualisme "kegelapan" dan "terang" .... di mana "terang" adalah jalan keselamatan, dan memiliki "Tuhan" yang disebut dengan Ahura Mazda. Untuk merespons tradisi ini, tradisi Pure Land mensistensis aspek "Cahaya" (yang di-embodi oleh Buddha Amithaba) untuk menyimbolkan "terang" dan lawan dari "kegelapan". Yang menarik, nama Amithaba sangat dekat bunyinya dengan Ahura Mazda Smiley

Di buku yang anda sarankan, tampaknya ada pendapat berbeda dari para sejarawan, yaitu sebenarnya pengaruh dari Zoroastrian tersebut patut dipertanyakan apakah benar atau tidak. Sebenarnya pengaruh tersebut hanya hipotesa para sejarawan saja dan sama sekali tidak ada bukti bahwa Amitabha dipengaruhi oleh dewa2 Zorosatrian.

Di buku yang anda sarankan sendiri dikatakan bahwa peneliti / sejarawan Jepang bernama Fujita menolak hipotesa tersebut mengatakan bahwa "cahaya yang tak terbatas" dan "umur yang tanpa batas" sebenarnya berasal dari konsep Buddhis sendiri, bukan dari Zoroastrianisme.

Memang dalam kitab Mahavastu dari aliran Mahasanghika mengatakan Sang Buddha sebagai "cahaya yang menghalau kegelapan." Selain itu "Cahaya tanpa batas" (immeasurable light) disebutkan sebagai ciri2 para Buddha oleh kitab Mahavibhasa dari aliran Sarvastivada.

Sedangkan "immeasurable life" yaitu umur tanpa batas adalah ciri-ciri para Buddha yang dikemukakan aliran Mahasanghika.

Jadi sebenarnya fondasi Amitabha tentang "immeasurable life" dan "immeasurable light" ada di ajaran-ajaran sekte Buddhis awal, bukan di dewa Mithra atau Ahura Mazda.

Kemiripan sebutan antara Amitabha dan Ahura Mazda juga tak ada kaitannya dengan saling mempengaruhi, karena makna kata "Amitabha" dan "Ahura Mazda" sendiri sudah sangat jauh berbeda. Ini hanya gathuk2an saja kalau pake metode mirip2an tanpa ada landasan yang jelas.

"Tidak ada satupun orang sekarang yang menerima ini (pengaruh antara Amitabha dan pemujaan matahari Zoroastrian) sebagai penjelasan yang layak."
(Buddhism oleh Peter Harvey)

"Perbandingan yang menjadi perhatian sampai sekarang ini hanya memiliki nilai yang kecil dan tidak membuktikan bahwa Amitabha adalah Ahura Mazda atau Apollo dalam samaran."

(Encyclopedia of Religion and Ethics oleh James Hastings)

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #213 on: 22 November 2009, 10:05:53 AM »
Quote
Yup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley

Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.

Yap. Tradisi Sukhavati walau kulit luarnya ada banyak kemiripan dengan Kristianitas, namun konsep / makna dasarnya / kulit dalamnya sangat-sangat berbeda dan ini sudah banyak para sejarawan yang membahasnya. Saya kutip tulisan saya yang dulu-dulu bahwa mustahil Kristinitas mempengaruhi tradisi Sukhavati:

Mereka mengklaim bahwa Mahayana adalah “Christianized Buddhism” atau agama Buddha dengan pengaruh Kristiani Nestorian, contohnya dengan adanya konsep “Juruselamat” seperti Amitabha.

Jawab: Problem teori ini adalah Mahayana muncul pada abad 1 M di kerajaan Kushan di Asia Tengah (sekarang Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan dsb), sedangkan kaum Kristiani khususnya Nestorian baru datang ke Asia Tengah 400 tahun kemudian yaitu sekitar abad ke-5 M. Oleh karena itu tidaklah mungkin Mahayana dipengaruhi oleh Kristianitas. Untuk menunujukkan bahwa agama Kristiani mempengaruhi agama Buddha sebelum kaum Nestorian datang, maka seseorang harus membuktikan terlebih dahulu bahwa ada kontak antara “Kristiani Thomasite” di India Selatan dan Kerajaan Kushan di India Utara (sekarang Pakistan).


Sedangkan sebelum 345 M, Mahayana sudah eksis di India. Lagipula memang tidak ada kontak antara Mahayana di utara dengan “Kristiani Thomasite” di selatan. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila Mahayana dipengaruhi oleh agama Kristiani.


Bapa Pierre Humbertclaude menulis bahwa ajaran sekte Amitabha sangat mirip dengan Kristiani, sehingga ia mengatakan bahwa sekte Amitabha dipengaruhi oleh ajaran Kristiani Nestorian . Demikian juga oleh beberapa sejarawan lainnya yang mengklaim bahwa Mahayana dipengaruhi oleh Kristiani dan terutama lagi oleh para sejarawan Keikyo.



Jawab: Inskripsi tentang Amitabha ditemukan di Pakistan dan berasal dari abad ke-2 M. Amitabha Buddha dan Tanah Sucinya pertama kali diperkenalkan lewat Sutra Pratyutpanna dan Sutra Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan oleh Lokaksema dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Para sejarawan menduga bahwa penghormatan pada Amitabha Buddha dimulai pada abad 1 M atau 2 M di Asia Tengah dan India Utara. Tentu pada saat itu Kristiani belum masuk ke Asia Tengah maupun India Utara. Kristiani baru masuk ke Asia Tengah pada abad ke-5 M. Oleh karena itu pemujaan Amitabha Buddha sudah ada terlebih dahulu daripada agama Kristiani di Asia Tengah dan India. Tidak mungkin ajaran Amitabha dipengaruhi oleh agama Kristiani.

Demikian juga di Tiongkok, Sutra-sutra tentang ajaran Amitabha sudah ada sejak abad ke-2 M, jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Tiongkok. Bahkan Sutra Mahasukhavativyuha adalah salah satu sutra pondasi ajaran Tanah Suci.

 _/\_
The Siddha Wanderer

oh ic, ternyata kirain aliran tanah suci, itu berusaha mengikut krist*n....

kalau begitu, saya kosongin cangkir saya dulu ya..... uda penuh soalnya, klu dituang trus, tar tumpah bro....

Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #214 on: 22 November 2009, 12:05:30 PM »
[at]  marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]


Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.


kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^

Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu

Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini

sekarang posisi dimana "arahat [ entah asli atau aspal ] mengatakan pernyataan yang berbeda dengan Tipitaka"
itu sebabnya di sebut buku kontroversi sama om kumis kale...

nah sekarang, apabila kita memakai pandangan Tipitaka dalam melihat kasus "pernyataan Luanta" maka tentu menganggap Luanta bohong...
tetapi apakah anda cukup berani mengatakan bahwa Luanta bohong karena tidak sesuai dengan Tipitaka?

itulah sebabnya saya menyatakan "tipitaka pun tidak bisa di percaya-i 100% yg me-monopoli semua dhamma"
karena ada kasus "arahat[luanta]"
Kalau andaikata LUANTA bohong, tentu GA ADA MASALAH[ itu pun kalau anda berani ]
sekarang kalau BENAR beliau ARAHAT[ apa anda lebih menguasai sila,samadhi,panna dari pada beliau ? ]

jadi sekarang inti nya adalah "apakah anda berani mengatakan Luanta Bohong atau tidak"

kalau dibilang saya tidak bijaksana....sy tidak mengerti,jelas-jelas ini namanya diskusi berbeda pandangan....
lagian memang kok saya tidak bijaksana dalam hal tentang jalan "arahat" kalau sudah bijaksana tentu saya sudah seorang savaka-ARAHAT paling tidak. :)



Dalam buku yg tertulis mengenai pengalaman Ajahn Mun, perlu diketahui beliau bertemu para arahat dan bertanya " bagaimana cara2 arahat dahulu kala parinibbana"

1. Tentu menjadi penuh tanda tanya mengapa arahat masih bisa muncul dalam 'pengalaman meditasi ajahn Mun' patut diingat penghuni para anagami adalah  alam dewa Suddhavasa. Perlu diketahui umur dialam ini sangat panjang dan para anagami yg di alam manusia belum menjadi arahat akan terlahir dialam tersebut. Dan kemudian Anagami itu akan menjadi arahat dialam Suddhavassa tersebut. Permasalahannya adakah tertulis dalam Tipitaka ketika para anagami tsb yg menjadi arahat di alam tersebut langsung parinibbana?atau menunggu sampai umurnya habis atau sesuai kehendak dari arahat yg ada dialam tsb? menurut hemat saya ketika anagami dialam suddhavasa telah menjadi arahat tidak serta merta langsung mencapai parinibbana, sehingga ini yg muncul dalam pengalaman meditasi Ajahn Mun. Jika memang ada tertulis dalam TIPITAKA bahwa ketika anagami di alam Suddhavasa mencapai kerahatan dan langsung parinibbana, maka fenomena no. 2 yg terjadi. Kalau ada yg punya referensi detil anagami di alam SUddhavasa, sebaiknya ditulis disini.

2. Bagaimana ketika Ajahn Mun melihat Buddha yg muncul dalam pengalaman meditasinya.Disana Ajahn Mun tidak mengatakan ia percaya ataupun tidak percaya. Beliau hanya mengatakan dia tidak memiliki keraguan pada Tiratana.Dan beliau mengatakan  entah Buddha ada atau tidak ada ketika ditanya apakah beliau ada keraguan dengan kemunculan Buddha dihadapannya , saddha beliau tidak pernah luntur sama sekali. Jadi kebanyakan yg mengatakan itu Buddha sesungguhnya yg muncul atau bukan Buddha atau tidak sesuai Tipitaka adalah kesimpulan dari beberapa pembaca sendiri. Ajahn Mun tidak menyimpulkan apa2 demikian Luangta Mahaboowa, ia hanya bersikap apa adanya. Dan dalam pengalaman meditasi fenomena apapun dapat muncul. Bahkan terkadang ketika Buddha muncul bisa saja itu nimitta, atau manifestasi mara atau kilesa. Tidak ada yang tahu bukan ,selain Maha panna yg dapat mengenali.
Jadi pengalaman meditasi semakin digali semakin kompleks.

3. Mengenai citta abadi. Banyak yg salah kaprah tentang pandangan Luangta Mahaboowa terhadap masalah ini. Semua trah/murid Ajahn Mun yg utama dalam tradisi dhutangga selalu menggunakan kata " CITTA" daripada menggunakan  kata "NAMA"  bahkan kadangkala menggunakan kata CITTA sebagai citta itu sendiri , saya pun tidak tahu alasannya. Tetapi pernah dibahas dalam penjelasan Luangta.  Sehingga kalau kita membaca tulisan Luangta atau pun murid utama Ajahn Mun berbicara tentang citta harus diperhatikan konteks kalimatnya agar tidak terjebak pada pengertian yg salah tentang citta . Seringkali kita alergi dengan kata "ABADI" sebagai eternalisme
Padahal dalam Abhidhamma ada dikatakan bahwa seseorang setelah parinibbana itu hanya ada NAMA DHAMMA. Ini saya ketahui dari diskusi saya dengan bro Markos. Nah Luangta menggunakan kata CITTA sebagai pengganti kata NAMA DHAMMA, karena begitulah tradisi mereka. Sehingga jika kita tidak menyelidiki lebih jauh maka kita hanya berpikir tentang CITTA dan NAMA DHAMMA hal yg berbeda jika menurut abhidhamma. Telah banyak penjelasan oleh Luangta mengenai anatta dan beliau meyakini dan jelas tahu tentang anatta. Jika beliau terperangkap dalam eteranalisme maka bukankah ia terperangkap dalam dualisme eternalis dan anatta juga?
Apakah jika setelah arahat parinibbana yg ada hanya NAMA DHAMMA bukan itu sama saja dengan pandangan eternalis? Tentu tidak semudah itu kita menyimpulkan.
Mengapa ketika Buddha ditanya mengenai Jiwa ada ada atau tidak ada , Dan SB diam saja? tidak menjawab? Karena penanya belum mengerti jelas tentang ADA dan TIDAK ADA sehingga kalau SB menjawabnya mereka akan semakin jauh dari pandangan benar dan terjerumus pada Eternalis dan NIhilisme. Jika saja Buddha hanya diam, dan kebetulan ada orang bertanya pada kita saat dan jaman sekarang? apakah yg Anda sekalian jawab? Kita menjawab ada  adalah salah dan tidak ada juga salah, kalaupun diam, dijaman sekarang akan bilang kita bingung bukan? kalau kita mengatakan bahwa pertanyaan itu salah? maka orang lain akan menjawab "bertanya koq kamu yg ngatur pertanyaanya"

Sebenarnya Masalah ini hanya dapat dimengerti oleh orang yg telah merealisasikan nibbana itu sendiri. Mengenai seseorang arahat itu asli atau aspal. Silakan semua dari kita menilai dengan seksama dan teliti. Katakan bukan arahat maka tidak ada gunanya kita menimbulkan akusala citta. Jika ya maka berbahagialah kita di dunia masih ada para arahat. Jika salah menilai maka keberuntungan tidak dipihak anda. Seperti Buddha dihadapan kita, kita tidak melihatnya sama sekali apalagi sampai muncul akusala citta. Kalaupun ragu sudah dimana tahapan mereka maka sikap yg paling baik adalah netral.
 
Tambahan : ini saya dapat dari link http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,13749.msg225250/topicseen.html#msg225250

yakni  :  

Question about which is better between faith and knowledge, Citta answered that knowledge is better than faith (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara) [S. IV. 298]

Terjemahan:
Saat ditanya mana yang lebih baik antara keyakinan dan pengetahuan, Citta menjawab bahwa pengetahuan adalah lebih baik bila dibandingkan dengan keyakinan (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara). [S. IV. 298]



Terkesan sepertinya citta sebagai atta, tetapi dan tentunya bukan...silakan direnungkan dengan seksama

_/\_

« Last Edit: 22 November 2009, 12:26:34 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #215 on: 22 November 2009, 02:15:33 PM »
Berikut saya quote tulisan sdr Peacemind dengan referensi suttanya tentang nibbana dan penjelasannya dan hubungannya dengan yg dimaksud Luangta tentang Citta Never dies yg kemudian oleh beberapa pembaca diartikan sendiri citta yg abadi  yg kemudian disalah artikan sebagai eternalis padahal penjelasan telah diberikan.

Quote
Terus terang saya baru mendengar bahwa nāmadhamma dan nāmakkhandha berbeda dari satu sama lain. Istilah nāmadhamma sendiri sangat jarang ditemukan dalam Abhidhamma. Tapi ada satu kutipan yang mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan anda. Kutipan ini bukan saya ambil dari Abhidhamma melainkan dari Sutta.

      Jika kita lihat pernyataan yang diambil dari Suttapiṭaka, salah satu definisi nibbāna adalh sebagai berikut:

‘Viññāṇaṃ anidassanaṃ, anantaṃ sabbatopabhaṃ;
Ettha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati.
Ettha dīghañca rassañca, aṇuṃ thūlaṃ subhāsubhaṃ;
Ettha nāmañca rūpañca, asesaṃ uparujjhati;
Viññāṇassa nirodhena, etthetaṃ uparujjhatī’ti".       ----- (Kevaṭṭasuttaṃ--Tīradassisakuṇupamā)

Yang bisa diterjemahkan sebagai berikut:

“(Dimana) kesadaran tanpa tanda (signless), tanpa batas dan seluruhnya bercahaya;
Di sini, air, tanah, api dan udara tidak memiliki tempat berpijak.
Di sini, panjang, pendek, kecil, besar, indah dan buruk,
Mental dan materi lenyap tanpa sisa;
Dengan lenyapnya kesadaran, di sini, semua lenyap.”

        Di atas ada dua macam viññāna. Pertama viññāna yang masih eksis dalam nibbāna. Viññana ini memiliki tiga keistimewaan, yakni anidassanaṃ, anantaṃ dan sabbatopabhaṃ. Viññana kedua adalah viññāna yang lenyap. Kitab komentar telah membedakan kedua viññāna ini. Viññāna pertama adalah nama lain dari nibbāna (viññāṇaṃ nibbānassetaṃ nāmaṃ), sedangkan viññāna kedua diidentifikasi sebagai abhisaṅkhāraviññāṇa (conditioned viññāna) atau singkatnya ini adalalh viññāṇa yang muncul karena kondisi. Jika kita menerima konsep nāmadhamma yang masih eksis dalam nibbāna, maka viññāṇaṃ anidassanaṃ anantaṃ sabbatopabhaṃ  bisa dikatakan sebagai nāmadhamma. Sementara itu, viññāna kedua yang lenyap adalah viññānakkhandha / nāmakkhandha yang lenyap dalam nibbāna.

Pernyataan diatas sangat relevan dengan contoh yg diberikan milinda panha. Sehingga orang yg mencapai parinibbana adalah bukan hilang seluruhnya atau ada seluruhnya. Hanya satu yaitu kebenaran diluar nalar manusia biasa.

Kalau salah dibaca dan diartikan  maka bisa dijadikan bahan pandangan sebagai eternalis. Dan bahkan dibilang eternalis lagi dan kontradikitf.
« Last Edit: 22 November 2009, 02:31:43 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #216 on: 22 November 2009, 07:45:11 PM »
[at]  marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]


Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.


kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^

Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu

Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini

sekarang posisi dimana "arahat [ entah asli atau aspal ] mengatakan pernyataan yang berbeda dengan Tipitaka"
itu sebabnya di sebut buku kontroversi sama om kumis kale...

nah sekarang, apabila kita memakai pandangan Tipitaka dalam melihat kasus "pernyataan Luanta" maka tentu menganggap Luanta bohong...
tetapi apakah anda cukup berani mengatakan bahwa Luanta bohong karena tidak sesuai dengan Tipitaka?

itulah sebabnya saya menyatakan "tipitaka pun tidak bisa di percaya-i 100% yg me-monopoli semua dhamma"
karena ada kasus "arahat[luanta]"
Kalau andaikata LUANTA bohong, tentu GA ADA MASALAH[ itu pun kalau anda berani ]
sekarang kalau BENAR beliau ARAHAT[ apa anda lebih menguasai sila,samadhi,panna dari pada beliau ? ]

jadi sekarang inti nya adalah "apakah anda berani mengatakan Luanta Bohong atau tidak"

kalau dibilang saya tidak bijaksana....sy tidak mengerti,jelas-jelas ini namanya diskusi berbeda pandangan....
lagian memang kok saya tidak bijaksana dalam hal tentang jalan "arahat" kalau sudah bijaksana tentu saya sudah seorang savaka-ARAHAT paling tidak. :)



Dalam buku yg tertulis mengenai pengalaman Ajahn Mun, perlu diketahui beliau bertemu para arahat dan bertanya " bagaimana cara2 arahat dahulu kala parinibbana"

1. Tentu menjadi penuh tanda tanya mengapa arahat masih bisa muncul dalam 'pengalaman meditasi ajahn Mun' patut diingat penghuni para anagami adalah  alam dewa Suddhavasa. Perlu diketahui umur dialam ini sangat panjang dan para anagami yg di alam manusia belum menjadi arahat akan terlahir dialam tersebut. Dan kemudian Anagami itu akan menjadi arahat dialam Suddhavassa tersebut. Permasalahannya adakah tertulis dalam Tipitaka ketika para anagami tsb yg menjadi arahat di alam tersebut langsung parinibbana?atau menunggu sampai umurnya habis atau sesuai kehendak dari arahat yg ada dialam tsb? menurut hemat saya ketika anagami dialam suddhavasa telah menjadi arahat tidak serta merta langsung mencapai parinibbana, sehingga ini yg muncul dalam pengalaman meditasi Ajahn Mun. Jika memang ada tertulis dalam TIPITAKA bahwa ketika anagami di alam Suddhavasa mencapai kerahatan dan langsung parinibbana, maka fenomena no. 2 yg terjadi. Kalau ada yg punya referensi detil anagami di alam SUddhavasa, sebaiknya ditulis disini.

2. Bagaimana ketika Ajahn Mun melihat Buddha yg muncul dalam pengalaman meditasinya.Disana Ajahn Mun tidak mengatakan ia percaya ataupun tidak percaya. Beliau hanya mengatakan dia tidak memiliki keraguan pada Tiratana.Dan beliau mengatakan  entah Buddha ada atau tidak ada ketika ditanya apakah beliau ada keraguan dengan kemunculan Buddha dihadapannya , saddha beliau tidak pernah luntur sama sekali. Jadi kebanyakan yg mengatakan itu Buddha sesungguhnya yg muncul atau bukan Buddha atau tidak sesuai Tipitaka adalah kesimpulan dari beberapa pembaca sendiri. Ajahn Mun tidak menyimpulkan apa2 demikian Luangta Mahaboowa, ia hanya bersikap apa adanya. Dan dalam pengalaman meditasi fenomena apapun dapat muncul. Bahkan terkadang ketika Buddha muncul bisa saja itu nimitta, atau manifestasi mara atau kilesa. Tidak ada yang tahu bukan ,selain Maha panna yg dapat mengenali.
Jadi pengalaman meditasi semakin digali semakin kompleks.

3. Mengenai citta abadi. Banyak yg salah kaprah tentang pandangan Luangta Mahaboowa terhadap masalah ini. Semua trah/murid Ajahn Mun yg utama dalam tradisi dhutangga selalu menggunakan kata " CITTA" daripada menggunakan  kata "NAMA"  bahkan kadangkala menggunakan kata CITTA sebagai citta itu sendiri , saya pun tidak tahu alasannya. Tetapi pernah dibahas dalam penjelasan Luangta.  Sehingga kalau kita membaca tulisan Luangta atau pun murid utama Ajahn Mun berbicara tentang citta harus diperhatikan konteks kalimatnya agar tidak terjebak pada pengertian yg salah tentang citta . Seringkali kita alergi dengan kata "ABADI" sebagai eternalisme
Padahal dalam Abhidhamma ada dikatakan bahwa seseorang setelah parinibbana itu hanya ada NAMA DHAMMA. Ini saya ketahui dari diskusi saya dengan bro Markos. Nah Luangta menggunakan kata CITTA sebagai pengganti kata NAMA DHAMMA, karena begitulah tradisi mereka. Sehingga jika kita tidak menyelidiki lebih jauh maka kita hanya berpikir tentang CITTA dan NAMA DHAMMA hal yg berbeda jika menurut abhidhamma. Telah banyak penjelasan oleh Luangta mengenai anatta dan beliau meyakini dan jelas tahu tentang anatta. Jika beliau terperangkap dalam eteranalisme maka bukankah ia terperangkap dalam dualisme eternalis dan anatta juga?
Apakah jika setelah arahat parinibbana yg ada hanya NAMA DHAMMA bukan itu sama saja dengan pandangan eternalis? Tentu tidak semudah itu kita menyimpulkan.
Mengapa ketika Buddha ditanya mengenai Jiwa ada ada atau tidak ada , Dan SB diam saja? tidak menjawab? Karena penanya belum mengerti jelas tentang ADA dan TIDAK ADA sehingga kalau SB menjawabnya mereka akan semakin jauh dari pandangan benar dan terjerumus pada Eternalis dan NIhilisme. Jika saja Buddha hanya diam, dan kebetulan ada orang bertanya pada kita saat dan jaman sekarang? apakah yg Anda sekalian jawab? Kita menjawab ada  adalah salah dan tidak ada juga salah, kalaupun diam, dijaman sekarang akan bilang kita bingung bukan? kalau kita mengatakan bahwa pertanyaan itu salah? maka orang lain akan menjawab "bertanya koq kamu yg ngatur pertanyaanya"

Sebenarnya Masalah ini hanya dapat dimengerti oleh orang yg telah merealisasikan nibbana itu sendiri. Mengenai seseorang arahat itu asli atau aspal. Silakan semua dari kita menilai dengan seksama dan teliti. Katakan bukan arahat maka tidak ada gunanya kita menimbulkan akusala citta. Jika ya maka berbahagialah kita di dunia masih ada para arahat. Jika salah menilai maka keberuntungan tidak dipihak anda. Seperti Buddha dihadapan kita, kita tidak melihatnya sama sekali apalagi sampai muncul akusala citta. Kalaupun ragu sudah dimana tahapan mereka maka sikap yg paling baik adalah netral.
 
Tambahan : ini saya dapat dari link http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,13749.msg225250/topicseen.html#msg225250

yakni  : 

Question about which is better between faith and knowledge, Citta answered that knowledge is better than faith (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara) [S. IV. 298]

Terjemahan:
Saat ditanya mana yang lebih baik antara keyakinan dan pengetahuan, Citta menjawab bahwa pengetahuan adalah lebih baik bila dibandingkan dengan keyakinan (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara). [S. IV. 298]



Terkesan sepertinya citta sebagai atta, tetapi dan tentunya bukan...silakan direnungkan dengan seksama

_/\_
wah bro bond bagus sekali dalam menjelaskan, akan tetapi sayang nya pengalaman beliau tidak pernah ada dalam Tipitaka..
nah sekarang, bagaimana waktu Luanta menangis?
dalam Abhidhamma yg pernah saya baca, seorang arahat tidak mungkin menangis,dan jika tertawa tidak akan kelihatan gigi-nya..gitu.

kalau tertawa tidak kelihatan gigi, memang kalau buka mulut pasti kelihatan gigi...yah mungkin yg dimaksud adalah tertawa tidak mungkin sampai terbahak-bahak..paling tawa biasa saja....

tapi kalau menangis?....gimana?
air mata mengalir dikarenakan banyak hal...
1.debu
2.cabe/pedas/bawang
3....

dikatakan Arahat adalah seorang yang penuh dengan keseimbangan batin..
apakah waktu Luanta ceramah sehingga beliau menitikkan air mata karena terkagum-kagum sewaktu mengingat pertama kali tercerahkan? berarti masih melekat kah dengan perasaan-nya?

mengenai Tipitaka yg tidak bisa di jadikan acuan 100% tentu bro bond masih ingat dengan masalah "dosa-mula citta"
dikatakan yang berbau penolakan oleh bro Markos pasti "dosa"
nah pada saat di kehidupan nyata saya merasa justru tidak demikian...
apa karena saya kurang dalam meditasi atau kah memang Tipitaka nya eror...i don't know untill become arahat.


salah satu kutipan biografi tsb.
Quote
A sãvaka Arahant having delivered such a discourse and departed,
Ãcariya Mun humbly received that Dhamma teaching. He carefully
contemplated every aspect of it, isolating each individual point, and
then thoroughly analyzed them all, one by one. As more and more
sãvaka Arahants came to teach him in this way,
he gained many new
insights into the practice just by listening to their expositions.
Hearing
their wonderful discourses increased his enthusiasm for meditation, thus
greatly enhancing his understanding of Dhamma.
dikatakan bahwa "savaka-arahat"[ bukan cuma 1 savaka ] datang dan terus mengajarkan dhamma kepada AjahnMun dan Ajahn Mun mendapatkan banyak pengetahuan baru.

bagaimana mungkin nimitta bisa mengajarkan seseorang pencerahan? apalagi nimitta dalam bentuk suara? [ sy pribadi baru dengar atau saya yg kolot ]

andai kata yang datang bukan seorang arahat...bagaimana mungkin AjahnMun bisa mendapat pencerahan dari seorang katakanlah mara yg mengajar...ini spekulasi lebih rancu lagi.

Quote
During his lengthy sojourn at Sarika Cave, Ãcariya Mun entertained
many sãvaka Arahants and heeded their words of advice,
making this
cave unique among all the places where he had ever stayed. While living
there, the Dhamma of unimpeachable certainty arose in his heart;
that is, he attained the fruition of Anãgãmï.
jadi dalam gua itu, AjahnMun mencapai Anagami setelah di ajar oleh para Savaka-arahat...
sekali lagi jika seorang mara yg datang, bagaimana mungkin orang buta menuntun orang buta mencapai pencerahan...
apalagi nimitta, apabila nimitta yg muncul...bagaimana mungkin nimitta mengajarkan kita?, bukankah nimitta adalah produk dalam negeri sendiri....as i know..

Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #217 on: 22 November 2009, 07:45:41 PM »
dan yg paling kontroversional waktu di bahas adalah
Quote
The Most Exalted Appreciation
On the nights subsequent to Ãcariya Mun’s attainment of vimutti, a
number of Buddhas, accompanied by their Arahant disciples, came to
congratulate him on his vimuttidhamma. One night, a certain Buddha,
accompanied by tens of thousands of Arahant disciples, came to visit;
the next night, he was visited by another Buddha who was accompanied
by hundreds of thousands of Arahant disciples. Each night a different
Buddha came to express his appreciation, accompanied by a different
number of Arahant disciples. Ãcariya Mun stated that the number of
accompanying Arahant disciples varied according to each Buddha’s
relative accumulation of merit – a factor that differed from one Buddha
to the next. The actual number of Arahant disciples accompanying each

Buddha did not represent the total number of his Arahant disciples;
they merely demonstrated the relative levels of accumulated merit and
perfection that each individual Buddha possessed. Among the Arahant
disciples accompanying each of those Buddhas were quite a few young
novices.23 Ãcariya Mun was skeptical about this, so he reflected on it and
realized that the term “Arahant” does not apply exclusively to monks.
Novices whose hearts are completely pure are also Arahant disciples,
so their presence did not raise issue with the term in any way.
Most of the Buddhas who came to show their appreciation to Ãcariya
Mun addressed him in much the following manner:

“I, the Tathãgata, am aware that you have escaped from the harmful effects
of that monstrous suffering which you endured in the prison of saÿsãra,24
so I have come to express my appreciation. This prison is enormous, and quite
impregnable. It is full of seductive temptations which so enslave those who
are unwary that it is extremely difficult for anyone to break free. Of the vast
number of people living in the world, hardly anyone is concerned enough
to think of looking for a way out of dukkha that perpetually torments their
bodies and minds. They are like sick people who cannot be bothered to take
medicine. Even though medicines are plentiful, they are of no use to a person
who refuses to take them.
“Buddha-Dhamma is like medicine. Beings in saÿsãra are afflicted with
the painful, oppressive disease of kilesas, which causes endless suffering.
Inevitably, this disease can be cured only by the medicine of Dhamma. Left
uncured, it will drag living beings through an endless succession of births
and deaths, all of them bound up with physical and mental pain. Although
Dhamma exists everywhere throughout the whole universe, those who are
not really interested in properly availing themselves of its healing qualities are
unable to take advantage of it.
“Dhamma exists in its own natural way. Beings in saÿsãra spin around,
like wheels, through the pain and suffering of each successive life – in the
natural way of saÿsãra. They have no real prospect of ever seeing an end
to dukkha. And there is no way to help them unless they are willing to help
themselves by holding firmly to the principles of Dhamma, earnestly trying to
put them into practice. No matter how many Buddhas become enlightened,
or how extensive their teachings are, only those willing to take the prescribed
medicine will benefit.“The Dhamma, taught by all the Buddhas, is invariably the same: to renounce
evil and do good. There exists no Dhamma teaching more exceptional
than this: For even the most exceptional kilesas in the hearts of living beings
are not so exceptional that they can transcend the power of Dhamma taught
by all the Buddhas. This Dhamma in itself is sufficient to eradicate every kind
of kilesa there is – unless, of course, those practicing it allow themselves to be
defeated by their kilesas, and so conclude that Dhamma must be worthless.
“By nature, kilesas have always resisted the power of Dhamma.
Consequently, people who defer to the kilesas are people who disregard
Dhamma. They are unwilling to practice the way, for they view it as something
difficult to do, a waste of the time they could otherwise spend enjoying
themselves – despite the harm such pleasures cause them. A wise, far-sighted
person should not retreat into a shell, like a turtle in a pot of boiling water
– it is sure to die because it can’t find a way to escape. The world is a cauldron,
boiling with the consuming heat of the kilesas. Earthly beings of every
description, every where, must endure this torment, for there is no safe place
to hide, no way to elude this conflagration burning in their own hearts – right
there where the dukkha is.
“You have seen the truly genuine Tathãgata, haven’t you? What is the
genuine Tathãgata? The genuine Tathãgata is simply that purity of heart
you have just realized. The bodily form in which I now appear is merely a
manifestation of relative, conventional reality.25 This form does not represent
the true Buddha, or the true Arahant; it is just our conventional bodily appearance.”

Ãcariya Mun replied that he had no doubts about the true nature of
the Buddha and the Arahants. What still puzzled him was: how could
the Buddha and the Arahants, having attained anupãdisesa-nibbãna26
without any remaining trace of relative, conventional reality, still appear
in bodily form. The Buddha explained this matter to him:

“If those who have attained anupãdisesa-nibbãna wish to interact with
other Arahants who have purified their hearts but still possess a physical,
mundane body, they must temporarily assume a mundane form in order to
make contact. However, if all concerned have already attained anupãdisesa-
nibbãna without any remaining trace of relative, conventional reality,
then the use of conventional constructs is completely unnecessary. So it is
necessary to appear in a conventional form when dealing with conventional

reality, but when the conventional world has been completely transcended,
no such problem exists.
“All Buddhas know events concerning the past and the future through
nimittas that symbolize for them the original conventional realities of the occurrences
in question.27 For instance, when a Buddha wishes to know about
the lives of the Buddhas who preceded him, he must take the nimitta of each
Buddha, and the particular circumstances in which he lived, as a device
leading directly to that knowledge. If something exists beyond the relative
world of conventional reality, that being vimutti, then there can be no symbol
representing it. Because of that, knowledge about past Buddhas depends on
mundane conventions to serve as a common basis for understanding, as my
present visit illustrates. It is necessary that I and all of my Arahant disciples
appear in our original mundane forms so that others, like yourself, have a
means of determining what our appearance was like. If we did not appear in
this form, no one would be able to perceive us.28
“On occasions when it is necessary to interact with conventional reality,
vimutti must be made manifest by the use of suitable conventional means. In
the case of pure vimutti, as when two purified cittas interact with one another,
there exists only the essential quality of knowing – which is impossible to
elaborate on in any way. So when we want to reveal the nature of complete
purity, we have to bring in conventional devices to help us portray the experience
of vimutti. We can say that vimutti is a ‘self-luminous state devoid of
all nimittas representing the ultimate happiness’, for instance, but these are
just widely-used, conventional metaphors. One who clearly knows it in his
heart cannot possibly have doubts about vimutti. Since its true characteristics
are impossible to convey, vimutti is inconceivable in a relative, conventional
sense. Vimutti manifesting conventionally and vimutti existing in its original
state are, however, both known with absolute certainty by the Arahant. This
includes both vimutti manifesting itself by means of conventional constructs
under certain circumstances, and vimutti existing in its original, unconditioned
state. Did you ask me about this matter because you were in doubt, or simply
as a point of conversation?”

“I have no doubts about the conventional aspects of all the Buddhas,
or the unconditioned aspects. My inquiry was a conventional way of
showing respect. Even without a visit from you and your Arahant disciples, I would have no doubts as to where the true Buddha, Dhamma,
and Sangha lie. It is my clear conviction that whoever sees the Dhamma
sees the Tathãgata. This means that the Lord Buddha, the Dhamma,
and the Sangha each denote the very same natural state of absolute
purity, completely free of conventional reality, collectively known as
the Three Jewels.”

“I, the Tathãgata, did not ask you that question thinking you were in
doubt, but rather as a friendly greeting.” 29

On those occasions when the Buddhas and their Arahant disciples
came to visit, only the Buddhas addressed Ãcariya Mun. None of the
disciples accompanying them spoke a word as they sat quietly composed,
listening in a manner worthy of the highest respect. Even the small
novices, looking more adorable than venerable, showed the same quiet
composure. Some of them were quite young, between the ages of nine
and twelve, and Ãcariya Mun found them truly endearing.

mohon om indra terjemahkan... ;D

bahkan sesudah-nya Ajahn Mun bahkan sempat berpikir "apakah dalam buddha-sasana" tidak mengajarkan senioritas....
dan buddha pun memberikan penjelasan....apakah ini nimitta bro bond?

bagaimana mungkin seseorang yang sudah tercerahkan [arahat] bahkan tidak bisa membedakan nimitta dengan kenyataan..
karena pada saat itu AjahnMun sudah mencapai Arahat.

dan jika di lihat dari percakapan tersebut, apakah seseorang yang telah anupadisesa-nibbana, bisa bercakap-cakap?
bagian TIPITAKA mana yang menjelaskan hal ini? bahkan menurut Tipitaka n kitab komentar "citta/pikiran" itu padam..jadi yg buddha yang bercakap dengan AjahnMun itu pakai pikiran ga?
« Last Edit: 22 November 2009, 07:52:29 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #218 on: 22 November 2009, 09:55:11 PM »
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak.

Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #219 on: 22 November 2009, 10:05:00 PM »
Quote
Yup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley

Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.

Spoiler: ShowHide

Yap. Tradisi Sukhavati walau kulit luarnya ada banyak kemiripan dengan Kristianitas, namun konsep / makna dasarnya / kulit dalamnya sangat-sangat berbeda dan ini sudah banyak para sejarawan yang membahasnya. Saya kutip tulisan saya yang dulu-dulu bahwa mustahil Kristinitas mempengaruhi tradisi Sukhavati:

Mereka mengklaim bahwa Mahayana adalah “Christianized Buddhism” atau agama Buddha dengan pengaruh Kristiani Nestorian, contohnya dengan adanya konsep “Juruselamat” seperti Amitabha.

Jawab: Problem teori ini adalah Mahayana muncul pada abad 1 M di kerajaan Kushan di Asia Tengah (sekarang Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan dsb), sedangkan kaum Kristiani khususnya Nestorian baru datang ke Asia Tengah 400 tahun kemudian yaitu sekitar abad ke-5 M. Oleh karena itu tidaklah mungkin Mahayana dipengaruhi oleh Kristianitas. Untuk menunujukkan bahwa agama Kristiani mempengaruhi agama Buddha sebelum kaum Nestorian datang, maka seseorang harus membuktikan terlebih dahulu bahwa ada kontak antara “Kristiani Thomasite” di India Selatan dan Kerajaan Kushan di India Utara (sekarang Pakistan).

"Kristiani Thomasite" sebagaimana secara tradisi berasal dari kedatangan rasul Thomas pada tahun 52 M di selatan India dan menyebarkan agama Kristiani serta mendirikan gereja di sana. Namun tampaknya tradisi ini kurang disertai bukti yang kuat. Untuk lebih jelasnya coba lihat www.hamsa.org, di mana di sana dijelaskan ketidakmungkinan Rasul Thomas datang ke India. Yang paling penting untuk diketahui adalah komunitas Kristiani di India Selatan baru eksis sekitar tahun 345 M, dibawa oleh pedagang Thomas Cananeus di mana mungkin terjadi kesalahpahaman bahwa Thomas Cananeus dianggap sebagai Rasul Thomas.

Sedangkan sebelum 345 M, Mahayana sudah eksis di India. Lagipula memang tidak ada kontak antara Mahayana di utara dengan “Kristiani Thomasite” di selatan. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila Mahayana dipengaruhi oleh agama Kristiani.

Bapa Pierre Humbertclaude menulis bahwa ajaran sekte Amitabha sangat mirip dengan Kristiani, sehingga ia mengatakan bahwa sekte Amitabha dipengaruhi oleh ajaran Kristiani Nestorian . Demikian juga oleh beberapa sejarawan lainnya yang mengklaim bahwa Mahayana dipengaruhi oleh Kristiani dan terutama lagi oleh para sejarawan Keikyo.

Shan Dao, Patriark Tanah Suci di Tiongkok, hidup pada masa Nestorian masuk ke Tiongkok. Berkatnyalah ajaran Tanah Suci mulai meluas. Ia adalah teman baik Raja Gaozong. Raja Gaozong adalah raja yang menerima dan mengakui serta menghormati agama Nestorian. Oleh karena itu banyak yang menduga bahwa Shan Dao mendapat pengaruh dari agama Kristiani Nestorian dikarenakan hubungan keduanya yang erat. Ajaran Amitabha juga dianggap mirip dengan Kristiani. Patriark Tanah Suci di Jepang seperti Honen dan Shinran juga diduga mendapat pengaruh dari agama Kristiani.

Jawab: Inskripsi tentang Amitabha ditemukan di Pakistan dan berasal dari abad ke-2 M. Amitabha Buddha dan Tanah Sucinya pertama kali diperkenalkan lewat Sutra Pratyutpanna dan Sutra Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan oleh Lokaksema dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Para sejarawan menduga bahwa penghormatan pada Amitabha Buddha dimulai pada abad 1 M atau 2 M di Asia Tengah dan India Utara. Tentu pada saat itu Kristiani belum masuk ke Asia Tengah maupun India Utara. Kristiani baru masuk ke Asia Tengah pada abad ke-5 M. Oleh karena itu pemujaan Amitabha Buddha sudah ada terlebih dahulu daripada agama Kristiani di Asia Tengah dan India. Tidak mungkin ajaran Amitabha dipengaruhi oleh agama Kristiani.

Demikian juga di Tiongkok, Sutra-sutra tentang ajaran Amitabha sudah ada sejak abad ke-2 M, jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Tiongkok. Bahkan Sutra Mahasukhavativyuha adalah salah satu sutra pondasi ajaran Tanah Suci.

Kemudian sutra-sutra tentang Amitabha yang lain yaitu: Amitayur-dhyana diterjemahkan oleh Jiangliang Yeshe pada masa dinasti Song eradinasti Utara Selatan (abad ke-5 M) dan juga oleh Dharmamitra pada masa dinasti Song era dinasti Utara Selatan (abad ke 5 M). Kemudian Suta Amitabha yang diterjemahkan 3 kali: oleh bhiksu asal kerajaan Kucha (Asia Tengah) Kumarajiva pada tahun 402 M, oleh bhiksu Gunabhadra sekitar tahun 446 M, oleh bhiksu Xuanzang pada tahun 650 M.

Sedangkan ada 12 versi terjemahan Mahasukhavativyuha, dikutip dari artikel yang dituli bro. Ching ik di milis Mahayana_Indonesia:

1.Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu asal Persia –An Shi Gao, pada abad ke 2 M. Masih menjadi pertanyaan apakah benar kitab ini adalah terjemahan bhiksu An Shi Gao, karena sejauh yang diketahui, semua kitab terjemahan An Shi Gao merupakan kitab Hinayana.
2.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (4 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Lokaraksha/Lokaksema pada abad ke 2 M.
3.Foshuo Amito Sanye Sanfo Shalou Fotan Guo Duren Daojing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu ZhiQian pada masa Tiga kerajaan (abad ke 3 M).
4.Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Sanghavarman pada 252 M.
5.Wuliang Qingjing Pingdeng Juejing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu BaiTing pada masa tiga kerajaan (abad ke 3 M).
6.Wuliang Shoujing (2 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmapala pada masa dinasti Jin Barat (antara abad ke 3 – 4 M).
7.Wuliang Shou Zhizhen Dengjue Jing (2 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabala pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M)
8.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu JueXian pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
9.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu BaoYun pada masa dinasti Jin Timur (abad ke 4 M).
10.Xin Wuliang Shoujing (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmamitra pada masa dinasti utara selatan (abad ke 5 M).
11.Wuliang Shou Rulai Hui (2 jilid).
Diterjemahkan oleh bhiksu Bodhiruci pada masa dinasti Tang (awal abad ke 8 M).
12.Daceng Wuliang Shouzhuang Yanjing (3 jilid)
Diterjemahkan oleh bhiksu Dharmabhadra pada masa dinasti Song (antara abad ke 10-12 M)

Kitab komentar Sukhavati seperti Wuliang Shoujing Youpo Tishe/ Wangshen Lun (Maha Sukhavati-vyuha Upadesa) karya Vasubandhu. Diterjemahkan oleh Bodhiruci di abad ke 6 M. Vasubandhu hidup pada abad ke-4 M, sebelum Nestorian masuk ke Asia Tengah.

Bisa kita lihat bahwa setidak-tidaknya sudah ada BUKTI bahwa pemujaan Amitabha beserta konsep Tanah Sucinya sudah ada di Asia Tengah dan Tiongkok pada abad 1 M sampai 4 M, di mana pada masa itu Kristiani Nestorian belum memasuki Asia Tengah maupun Tiongkok. Pondasi dan konsep fundamental dari sekte Tanah Suci semuanya berasal dari 2 sutra yaitu (Amitabha Sutra, Mahasukhavativyuha Sutra dan Amitayurdhyana Sutra). Dan ketiga sutra tersebut seperti kita lihat, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa sebelum Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok. Oleh karena itu tidaklah mungkin Kristiani Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.

Kristiani Nestorian masuk ke Tiongkok setidak-tidaknya tahun 578 M dan 631 M (abad 7 M). Sedangkan Patriark pertama dan pendiri sekte Tanah Suci di Tiongkok adalah Bhiksu Huiyuan yang hidup pada tahun 334-416 M. Oleh karena itu tidak mungkin sekte Tanah Suci di Tiongkok berkembang dari ajaran Kristiani Nestorian. Patriark kedua Tanah Suci Tan Luan juga hidup sebelum kedatangan Nestorian ke Tiongkok, yaitu tahun (476-542 M).

Dan memang benar ajaran sekte Tanah Suci disempurnakan oleh Shan Dao, namun kita lihat bahwa ajaran Shan Dao sendiri juga berdasarkan ajaran Huiyuan dan Tanluan serta Daochuo, patriark-patriark Tanah Suci sebelumnya. Tidak ada transformasi dalam ajaran Tanah Suci yang dilakukan oleh Shan Dao yang mengingatkan kita akan paham Kristiani ataupun yang membuat kita melihat paham Kristiani dalam sekte Tanah Suci. Tidak ada. Semua yang diajarkan Shan Dao adalah berdasar Patriark sebelumnya dan berdasarkan/berpondasikan 3 Sutra terpenting dalam Sekte Tanah Suci. Demikian juga Patriark sekte Amitabha di Jepang seperti Honen dan Shinran, mereka mendasarkan pengertian mereka pada ajaran Shan Dao yang notabene juga berdasarkan ajaran Tan Luan. Ini dapat dilihat bahwa pada aliran Jodo (Tanah Suci) di Jepang, Tan Luan dianggap sebagai Patriark pertama Tanah Suci Tiongkok.

Bahkan dalam The Pure Land Doctrine as illustrated in Shoku’s “Plain-wood” Nembutsu, in The Eastern Buddhist oleh Shidzutoshi Sugihira, disebutkan bahwa apabila inskripsi tahun 781 M menunjukkan hubungan yang dekat antara Buddhis dan Kristiani, maka malah mungkin akan menunjukkan sebaliknya, bahwa ada pengaruh dari agama Buddha, khususnya sekte Tanah Suci kepada ekspresi keimanan Kristiani yaitu “Untuk berlayar dengan kapal welas asih menuju kerajaan Cahaya”, orang yang menulis ungkapan barusan meminjam kata-kata dari sekte Buddhis Tanah Suci.

Bahkan Kepala Vihara dari Pagoda Yun Si Se dekat Hangchow, menulis pada Bapa Matthew Ricci mengkomplain: “Kristiani mengkopi ajaran Tanah Suci” (Hobogirin, art. Bodhai (= Bodhi), I, p. 92, according to the Jodo.)

Kesimpulan:Ajaran sekte Tanah Suci/Amitabha (Amidism) telah tumbuh, berakar dan memiliki pondasi yang kuat di Asia Tengah, India Utara dan Tiongkok beratus-ratus tahun sebelum kedatangan Kristiani Nestorian di Asia Tengah dan Tiongkok. Adalah omong kosong besar apabila ada orang yang menyatakan bahwa Nestorian mempengaruhi sekte Tanah Suci.

Bertele-tele dan tidak mengena, Bro Luis tdk menyatakan Kristiani memengaruhi munculnya Mahayana aliran Pure-Land.

Quote
Menarik Smiley setahu saya justru munculnya tradisi pure land sebagai respons terhadap perkembangan agama Zoroastrianism dari Persia. Zoroastrianism menganut pandangan dualisme "kegelapan" dan "terang" .... di mana "terang" adalah jalan keselamatan, dan memiliki "Tuhan" yang disebut dengan Ahura Mazda. Untuk merespons tradisi ini, tradisi Pure Land mensistensis aspek "Cahaya" (yang di-embodi oleh Buddha Amithaba) untuk menyimbolkan "terang" dan lawan dari "kegelapan". Yang menarik, nama Amithaba sangat dekat bunyinya dengan Ahura Mazda Smiley

Di buku yang anda sarankan, tampaknya ada pendapat berbeda dari para sejarawan, yaitu sebenarnya pengaruh dari Zoroastrian tersebut patut dipertanyakan apakah benar atau tidak. Sebenarnya pengaruh tersebut hanya hipotesa para sejarawan saja dan sama sekali tidak ada bukti bahwa Amitabha dipengaruhi oleh dewa2 Zorosatrian.

Di buku yang anda sarankan sendiri dikatakan bahwa peneliti / sejarawan Jepang bernama Fujita menolak hipotesa tersebut mengatakan bahwa "cahaya yang tak terbatas" dan "umur yang tanpa batas" sebenarnya berasal dari konsep Buddhis sendiri, bukan dari Zoroastrianisme.

Memang dalam kitab Mahavastu dari aliran Mahasanghika mengatakan Sang Buddha sebagai "cahaya yang menghalau kegelapan." Selain itu "Cahaya tanpa batas" (immeasurable light) disebutkan sebagai ciri2 para Buddha oleh kitab Mahavibhasa dari aliran Sarvastivada.

Sedangkan "immeasurable life" yaitu umur tanpa batas adalah ciri-ciri para Buddha yang dikemukakan aliran Mahasanghika.

Jadi sebenarnya fondasi Amitabha tentang "immeasurable life" dan "immeasurable light" ada di ajaran-ajaran sekte Buddhis awal, bukan di dewa Mithra atau Ahura Mazda.

Kemiripan sebutan antara Amitabha dan Ahura Mazda juga tak ada kaitannya dengan saling mempengaruhi, karena makna kata "Amitabha" dan "Ahura Mazda" sendiri sudah sangat jauh berbeda. Ini hanya gathuk2an saja kalau pake metode mirip2an tanpa ada landasan yang jelas.

"Tidak ada satupun orang sekarang yang menerima ini (pengaruh antara Amitabha dan pemujaan matahari Zoroastrian) sebagai penjelasan yang layak."
(Buddhism oleh Peter Harvey)

"Perbandingan yang menjadi perhatian sampai sekarang ini hanya memiliki nilai yang kecil dan tidak membuktikan bahwa Amitabha adalah Ahura Mazda atau Apollo dalam samaran."

(Encyclopedia of Religion and Ethics oleh James Hastings)

 _/\_
The Siddha Wanderer
Nah masih lebih bersinggungan jawabannya soal ini Bro Gandalf. Perbedaan dan persamaan sah-sah saja sbg pembanding dan penyaji sisi lain dr apa yg kita ketahui selama ini. Lagi, memang fakta Mahayana selalu berusaha dalam membuat wajah Buddhisme yg ramah dan friendly user thdp masyarakat dibandingkan saudaranya 1 ayah lain ibu yg kolot itu. Gmn permintaan pasar dan konsumen lah istilah orang kasar kaya aku gini. Ga aneh kalo ada yg penyajian mengenai Mahayana dr sisi lain yg ditawarkan Bro Luis. Itu yg membuat menarik utk dibahas kan? Meski .... saya ga tertarik sih selain sebatas informasi saja. Anyway, thanks to you both. _/\_
appamadena sampadetha

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #220 on: 22 November 2009, 10:32:35 PM »
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak.

Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.

Yang menarik ada murid Ajahn Mun lain yang terang-terangan mengatakan "My teacher doesn't teach that way".
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #221 on: 22 November 2009, 10:34:08 PM »
Gini deh bond, 2 cucu muridnya Ajahn Mun akan datang ke Bandung dan ke Bali akhir tahun ini.
Aye yang tanya eternal citta, ente yang tanya dikunjungi para Arahat. Gimana? :D
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #222 on: 22 November 2009, 10:38:05 PM »
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak.

Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
_/\_ Sdr Peacemind

Bagian terakhir, terus terang saya kurang menyetujui. Pernyataan dan pandangan demikian yg seringkali berbalik menjadi bumerang bagi kemurnian Buddha-Dhamma (bukan agama Buddha) itu sendiri dan menjadikan Buddhisme sbg lahan subur bagi banyak pihak yg menyelewengkan Buddha-Dhamma dengan mengatasnamakan Ti-pitaka, dhamma atau Buddha dsb. Salah 1 contohnya, yg mengaku Buddha hidup. Demikian pula yg sering digadang-gadang oleh pengikutnya, kita tdk bisa menyimpulkan beliau bukan Buddha hidup selama kita belum mencapai kebuddhaan.

Any better idea? :)

Mettacittena,
appamadena sampadetha

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #223 on: 22 November 2009, 11:27:09 PM »
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak.

Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
_/\_ Sdr Peacemind

Bagian terakhir, terus terang saya kurang menyetujui. Pernyataan dan pandangan demikian yg seringkali berbalik menjadi bumerang bagi kemurnian Buddha-Dhamma (bukan agama Buddha) itu sendiri dan menjadikan Buddhisme sbg lahan subur bagi banyak pihak yg menyelewengkan Buddha-Dhamma dengan mengatasnamakan Ti-pitaka, dhamma atau Buddha dsb. Salah 1 contohnya, yg mengaku Buddha hidup. Demikian pula yg sering digadang-gadang oleh pengikutnya, kita tdk bisa menyimpulkan beliau bukan Buddha hidup selama kita belum mencapai kebuddhaan.

Any better idea? :)

Mettacittena,

Soalnya ini bukan hal yang sepele. Ini berhubungan dengan kemungkinan kesucian arahat. Sulitnya untuk menentukan kebenaran cerita ini juga terletak pada kenyataan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Yang dikatakan beliau apakah harus benar2 dimengerti secara literal ataukah tidak juga tidak bisa dimengerti karena beliau telah meninggal. Sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa beberapa BUddha memberikan bimbingan kepadanya. Dalam Tipitaka sendiri dikatakan bahwa seseorang yang melihat Dhamma akan melihat Buddha (yo dhammaṃ passati so mam 'Buddham' passati). Mungkin beberapa orang akan berpikir bahwa ketika melihat Dhamma, seseorang benar2 melihat Buddha secara personal, meskipun saya pribadi lebih cenderung pada opini bahwa Buddha di sini adalah pencapaian enlightenment.
Namun bagaimanapun, ini juga masih menjadi pertanyaan. Selain itu, dalam tradisi Theravāda sendiri masih ada beberapa yang masih menimbun beberapa misteri mengenai BUddha. Sebagai contoh, dikatakan dalam kitab komentar bahwa ketika Buddhadhamma akan lenyap dari alam manusia, seluruh relik Sang Buddha akan mengumpul dan membentuk tubuh Sang Buddha sebelum akhirnya lenyap. Kitab komentar juga mengatakan bahwa ini terjadi karena tekad Sang BUddha ketika masih hidup. Mungkin (tapi jangan percaya dengan saya, karena hanya logika) Buddha2 yang mewujudkan dirinya di depan Ajahn Mun merupakan kekuatan tekad Buddha2 sebelumnya bahwa nimitta mereka akan menampakkan dirinya lagi di depan para arahat.

Sebenarnya apa yang saudara Jerry katakan benar. Memberikan peluang terhadap kesimpulan2 yang bertentangan dengan Tipitaka seringkali menjadi bumerang bagi kemurnian Buddhadhamma. Sebenarnya, apa yang saya ungkapan lebih pada personal opinion. Sesungguhnya, jika cerita di atas benar adanya, tidak terpungkiri bahwa saya pribadi memiliki keraguaan terhadap kebenaran bahwa Ajahn Mun telah mencapai arahat. Namun saya kembali pada diri saya. Melihat kondisi pikiran saya yang belum arahat, saya tidak berani menentukan secara definit bahwa pengalaman yang tertuang di atas bukan pengalaman seorang arahat sejati. Jadi dalam hal ini, saya pribadi meragukan kesucian tersebut setelah menimbang apa yang terkandung dalam Tipitaka, namun  di saat yang sama, saya tidak bisa memberikan definit kesimpulan karena keterbatasan kondisi pikiran saya. Kesalahan saya di sini  terletak pada statemen kalau saya mengajak teman2 untuk berpikir seperti saya. :D

Saya pernah bertemu dengan seorang guru meditasi. Beliau mengatakn bahwa ketika ada seseorang yang datang kepadanya dan mengatakn bahwa ia telah mencapai  ini dan itu. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak langsung mengambil kesimpulan saat itu, namun beliau akan menunggu dan melihat. Seiring dengan waktu, kebijaksanaan orang tersebut akan tampak dengan jelas dan tampak pula apakah apa yang diklaim benar atau tidak.

Be Happy.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: perbedaan mahayana ama theravada
« Reply #224 on: 23 November 2009, 12:04:10 AM »
Throughout the remainder of that night Ãcariya Mun considered
with a sense of dismay how pathetically ignorant he had been in the
past, being dragged endlessly from one existence to another – like a
puppet. He wept as he thought of how he finally came upon a pool
of crystal-clear, wondrous-tasting water. He had reached Nong Aw,14
that sparkling pool of pure Dhamma that the Lord Buddha and his
Arahant disciples encountered and then proclaimed to the world over
2500 years ago. Having at long last encountered it himself, he tirelessly
paid heartfelt homage, prostrating himself over and over again to the
Buddha, the Dhamma, and the Sangha. Should people have seen him
then, tears streaming down his face as he prostrated over and over again,
surely they would have assumed that this monk was suffering immensely,
shedding tears so profusely. They probably would have suspected him
of beseeching the guardian spirits, living in all directions, to help ease
his pain; or else of being on the verge of madness, for his behavior
was extremely unusual. In fact, he had just arrived at the truth of the
Buddha, Dhamma, and Sangha with utmost clarity, as epitomized in
the maxim: He who sees the Dhamma, sees the Tathãgata, and thus abides
in the presence of the Buddha, the Dhamma, and the Sangha.
Ãcariya Mun
was simply engaged in the kind of conduct befitting someone who is
overwhelmed by a sincere sense of gratitude.
That night celestial devas of all realms and terrestrial devas from every
direction, paid tribute in a resounding exclamation of approval that
reverberated throughout the world systems, and then gathered to listen
to Ãcariya Mun expound the Dhamma. But being still fully engaged in
his immediate commitment to the Supreme Dhamma, he was not yet
ready to receive visitors. So, he signaled to the assembled devas that he
was occupied, indicating they should return on a later occasion. The
devas then left, thoroughly delighted that they had seen a visuddhi-deva
on the very night when he attained Nibbãna.15
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

 

anything