//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: help!!  (Read 32367 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #45 on: 07 October 2010, 05:26:21 PM »
Spoiler: ShowHide

Peristiwa bersejarah diterimanya wanita dan didirikannya Sangha Bhikkhuni.

kalo saya kok beda ya, menurut saya ini Devadatta meminta kepada Sang Buddha agar memimpin Sangha (tangan menengadah, artinya meminta), sedangkan tangan yg membentuk mudra "Abhaya" bukan sembarang membentuk mudra, hanya sang Buddha yang memblessing "Abhaya" tapi ini beliau mencanangkan "Pancavara"nya.

sedangkan lukisan yang satunya dg latar belakang pancavaggiya bhikkhu, itu adalah Ibu Yassa yang mencari Yassa dan ayahnya, sedangkan yassa telah mencapai arahat, ayahnya belum maka yg terlihat itu adalah ayahnya, sedang yassa tidak terlihat, tapi bagi Ibunya semua tidak terlihat.

ayo sapa lagi yg mau menambahkan  ;D ;D (***bro Virya jadi bingung klo banyak yg memberi data berbeda2***)

mettacittena,

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #46 on: 07 October 2010, 05:30:22 PM »
Spoiler: ShowHide
Sapa yg sakit?

Spoiler: ShowHide

Sapa ke-dua orang ini? ...

lukisan yg sakit blm ktmu, tp klo yg 2 org ini sepertinya kok tangannya membentuk mudra yg sll dilakukan Devadatta ya?

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #47 on: 07 October 2010, 05:39:15 PM »
Nomer 3 hintnya ada di air, 2 guci tertutup yang ditunjuk oleh Sang Buddha, 2 orang yang sedang menonton dan seorang brahmana(?) yang memegang tongkat.

Nomer 4 mungkin, sangat mungkin adalah 2 bhikkhuni berdasarkan raut wajahnya yang lebih feminin, Ananda dan Raja Pasenadi. Mungkin perihal Ratu yang berniat menjadi bhikkhuni dan seorang dayangnya?

Nomer 5 sulit disimpulkan sebagai Ambattha, karena dalam Ambattha Sutta lokasinya adalah ruangan tertutup, sedangkan dalam gambar adalah terbuka. Dengan membawa tongkat dan berkepala botak, tetapi bagian belakang terdapat sejumput rambut. Ini mungkin harus diselidiki petapa dari aliran apakah orang tersebut untuk mengetahui. Selain itu untuk mempersempit ruang pencarian, mungkin ada baiknya di cari di Digha Nikaya terlebih dulu.

Nomer 7, adalah kaum pembersih jalan yang kedudukannya dibawah kasta Sudda dan konon bahkan tidak boleh sampai bayangannya bersentuhan dengan kasta Sudda ke atas, tetapi kemudian dihampiri oleh Sang Buddha dan dibabarkan dhamma. Saya kurang ingat ada di mana, masih harus dicari lagi nantinya. Sementara petunjuknya demikian.

Nomer 8, sepertinya tidak sedang sakit melainkan duduk dan memakai alas dan sandaran punggung bahkan ketika menerima kedatangan Sang Buddha.

saya kok beda ya :

no.3 itu kalo ga salah ttg Sudhika yang memiliki pandangan salah bhw air dpt mensucikan kita (sangarava sutta, majjhima nikaya)

no.4 itu kalo ga salah ttg bhikkhuni yang diusir dari bhikkhuni sasana nya Devadatta karena hamil, terlihat gambar dia memegang perut nampak sedih, yg satu nya menghibur dg membelai bahu (ga bakalan bhikkhu memegangi perut dan teman sesama bhikkhu mengelus bahu) ;D ;D selain wajahnya cantik juga terlihat membusung perutnya, dan yg paling menonjol adalah jelas2 temannya menghibur membelai bahunya, sudah pasti bukan bhikkhu. Raja yg terlihat duduk disitu adalah Ajatasattu yg memang memiliki hubungan dengan Devadatta (kita semua sdh tahu riwayat beliau yg dipengaruhi Devadatta)


oleh sang Buddha dikembalikan status bhikkhuninya karena sang Buddha mengetahui dia tidak bersalah, sewaktu memasuki sasana tidak mengetahui telah hamil, kemudian beliau mampu mencapai arahat sedang anaknya kemudian juga mencapai arahat. (kumara sutta, tapi sptnya bukan kumara panha sutta)

mettacittena,
« Last Edit: 07 October 2010, 05:50:49 PM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #48 on: 07 October 2010, 05:56:37 PM »
Nomer 9 itu loh.. Suppiya paribbajjaka bersama muridnya Brahmadatta yang berbeda pendapat ketika mengikuti rombongan Sang Buddha bersama para muridnya dalam Brahmajala Sutta.

Nomer 10 nyerah.. :))
Tapi kemungkinan bukan petapa dari aliran Samana Gotama, secara kepalanya botak tetapi berjubah putih, bukan pula dari aliran Nigantha. Sepertinya tidak terdapat di cerita Dhammapada Atthakatha, sejauh ini tidak dapat recall 1 cerita yang mendekati gambaran dari gambar 10.



no.10 kalo sy ga salah, itu ttg seorang princess (kumari) yang pura2 mengajak jalan2 (spt biasanya seorang putri kalo berjalan2 maka pengiringnya ikut semua, latar belakang ada kereta berderet, jadi itu adalah kekayaan yang dilepaskan oleh putri ini dan meninggalkan keduniawian, memilih menjadi petapa wanita, diwaktu itu blm ada bhikkhuni sasana, jadi dia bergabung dg Nigantha yg mana utk petapa wanita mengenakan serba putih (klo ga salah ada di foto patung buddha diolok2, ada gambar disana nun dr nigantha mengenakan serba putih duduk dibelakang para petapa [maaf!] telanjang).  Putri ini memilih menggundul kepalanya, diwkt itu petapa wanita udah lazim menggundul kepala, sorry suttanya sdg dicari bro.

mettacittena,
« Last Edit: 07 October 2010, 06:01:01 PM by pannadevi »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: help!!
« Reply #49 on: 07 October 2010, 11:13:02 PM »
no.3 itu kalo ga salah ttg Sudhika yang memiliki pandangan salah bhw air dpt mensucikan kita (sangarava sutta, majjhima nikaya)

MN 100 Sangarava Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg295486#msg295486
sptnya tidak ada menyebutkan guci air

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #50 on: 08 October 2010, 11:40:07 AM »

Lukisan 3


Lukisan 4


Nomer 3 hintnya ada di air, 2 guci tertutup yang ditunjuk oleh Sang Buddha, 2 orang yang sedang menonton dan seorang brahmana(?) yang memegang tongkat.

Nomer 4 mungkin, sangat mungkin adalah 2 bhikkhuni berdasarkan raut wajahnya yang lebih feminin, Ananda dan Raja Pasenadi. Mungkin perihal Ratu yang berniat menjadi bhikkhuni dan seorang dayangnya?


saya kok beda ya :

no.3 itu kalo ga salah ttg Sudhika yang memiliki pandangan salah bhw air dpt mensucikan kita (sangarava sutta, majjhima nikaya)

no.4 itu kalo ga salah ttg bhikkhuni yang diusir dari bhikkhuni sasana nya Devadatta karena hamil, terlihat gambar dia memegang perut nampak sedih, yg satu nya menghibur dg membelai bahu (ga bakalan bhikkhu memegangi perut dan teman sesama bhikkhu mengelus bahu) ;D ;D selain wajahnya cantik juga terlihat membusung perutnya, dan yg paling menonjol adalah jelas2 temannya menghibur membelai bahunya, sudah pasti bukan bhikkhu. Raja yg terlihat duduk disitu adalah Ajatasattu yg memang memiliki hubungan dengan Devadatta (kita semua sdh tahu riwayat beliau yg dipengaruhi Devadatta)


oleh sang Buddha dikembalikan status bhikkhuninya karena sang Buddha mengetahui dia tidak bersalah, sewaktu memasuki sasana tidak mengetahui telah hamil, kemudian beliau mampu mencapai arahat sedang anaknya kemudian juga mencapai arahat. (kumara sutta, tapi sptnya bukan kumara panha sutta)

mettacittena,

MN 100 Sangarava Sutta
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg295486#msg295486
sptnya tidak ada menyebutkan guci air

Batara Indra yg baik,
thanks atas tanggapannya, memang Sangarava bersaudara ada 3 orang, maka lukisan itu dibuat gambar 3 org brahmana, sbg petunjuk. sedangkan guci 2 buah itu sbg petunjuk pelukis bhw Sangarava bungsu ini memiliki pandangan salah membasuh dg air 2 kali sehari dapat membersihkan diri dari kamma buruk, bahasa lukisan kadang memang merupakan isyarat maksud dari sipelukis ini ingin mengatakan sesuatu.

jadi dlm Sangarava sutta dpt diketemukan ada 3 bersaudara, yg pertama menemui sang Buddha sendiri dg sombongnya menyatakan bhw hny kaum brahmana saja yg suci, sedang yg ke2 adalah suami dari umat sang Buddha yg bernama Dhananjani yang sewaktu jatuh menyebut nama Sang Buddha: "Namo tassa bhagavato arahato sammàsambuddhassa" kemudian ditegur suaminya krn telah menyebut nama seorang samana yg secara kasta dari kalangan bawah brahmana, lalu dijelaskan oleh beliau mengenai kehebatan Sang Buddha, sehingga beliau tertarik utk menemui sang Buddha, dapat dibaca di Sangarava sutta (MN.100), sedang yg bungsu ya yang ini kisahnya dapat dibaca di Samyutta Nikaya (S.7.11).

mettacittena,
« Last Edit: 08 October 2010, 12:05:14 PM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #51 on: 08 October 2010, 04:14:12 PM »
Lukisan 3




ya ampun....saya sempat kaget, membaca quote kok dari Aditthana, pdhal sy klik post nya bro Virya....setelah cek lagi ke depan, ternyata ga salah....ganti nama rupa2nya....(*** sayang sy ga bisa ganti nama... ;D ;D***)

Sutta yg berkaitan utk gambar ini Sangarava Sutta (S.7.11)
Quote
Suttantapitake, Samyuttanikāyo, Pathamo bhāgo, Sagāthavaggo, 7.Brāhmanasamyuttam, 2. Upāsakavaggo

7. Brāhmaṇasaṃyuttaṃ
2. Upāsakavaggo
11. Saṅgāravasuttaṃ
207. Sāvatthinidānaṃ. Tena kho pana samayena saṅgāravo nāma brāhmaṇo sāvatthiyaṃ paṭivasati udakasuddhiko, udakena parisuddhiṃ pacceti, sāyaṃ pātaṃ udakorohanānuyogamanuyutto viharati. Atha kho āyasmā ānando pubbaṇhasamayaṃ nivāsetvā pattacīvaramādāya sāvatthiṃ piṇḍāya pāvisi. Sāvatthiyaṃ piṇḍāya caritvā pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkanto yena bhagavā tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā bhagavantaṃ abhivādetvā ekamantaṃ nisīdi. Ekamantaṃ nisinno kho āyasmā ānando bhagavantaṃ etadavoca – ‘‘idha, bhante, saṅgāravo nāma brāhmaṇo sāvatthiyaṃ paṭivasati udakasuddhiko , udakena suddhiṃ pacceti, sāyaṃ pātaṃ udakorohanānuyogamanuyutto viharati. Sādhu, bhante, bhagavā yena saṅgāravassa brāhmaṇassa nivesanaṃ tenupasaṅkamatu anukampaṃ upādāyā’’ti. Adhivāsesi bhagavā tuṇhībhāvena.
Atha kho bhagavā pubbaṇhasamayaṃ nivāsetvā pattacīvaramādāya yena saṅgāravassa brāhmaṇassa nivesanaṃ tenupasaṅkami ; upasaṅkamitvā paññatte āsane nisīdi. Atha kho saṅgāravo brāhmaṇo yena bhagavā tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā bhagavatā saddhiṃ sammodi. Sammodanīyaṃ kathaṃ sāraṇīyaṃ vītisāretvā ekamantaṃ nisīdi. Ekamantaṃ nisinnaṃ kho saṅgāravaṃ brāhmaṇaṃ bhagavā etadavoca – ‘‘saccaṃ kira tvaṃ, brāhmaṇa, udakasuddhiko, udakena suddhiṃ paccesi, sāyaṃ pātaṃ udakorohanānuyogamanuyutto viharasī’’ti? ‘‘Evaṃ, bho gotama’’. ‘‘Kiṃ pana tvaṃ, brāhmaṇa, atthavasaṃ sampassamāno udakasuddhiko, udakasuddhiṃ paccesi, sāyaṃ pātaṃ udakorohanānuyogamanuyutto viharasī’’ti? ‘‘Idha me, bho gotama [idha me bho gotama ahaṃ (pī. ka.)], yaṃ divā pāpakammaṃ kataṃ hoti, taṃ sāyaṃ nhānena [nahānena (sī. syā. kaṃ. pī.)] pavāhemi, yaṃ rattiṃ pāpakammaṃ kataṃ hoti taṃ pātaṃ nhānena pavāhemi. Imaṃ khvāhaṃ, bho gotama, atthavasaṃ sampassamāno udakasuddhiko, udakena suddhiṃ paccemi, sāyaṃ pātaṃ udakorohanānuyogamanuyutto viharāmī’’ti.
‘‘Dhammo rahado brāhmaṇa sīlatittho,
Anāvilo sabbhi sataṃ pasattho;
Yattha have vedaguno sinātā,
Anallagattāva [anallīnagattāva (ka.)] taranti pāra’’nti.
Evaṃ vutte, saṅgāravo brāhmaṇo bhagavantaṃ etadavoca – ‘‘abhikkantaṃ, bho gotama, abhikkantaṃ, bho gotama…pe… upāsakaṃ maṃ bhavaṃ gotamo dhāretu ajjatagge pāṇupetaṃ saraṇaṃ gata’’nti.

karena Sangarava bersaudara ada 3 orang, maka untuk membedakan dg yg lainnya, sering juga sutta ini disebut Suddhika Sangarava Sutta. berbeda lagi dg Sangarava Sutta yang di Majjhima Nikaya (MN.100).

ini yang versi bhs Inggris nya :
Quote
http://www.metta.lk/tipitaka/2Sutta-Pitaka/3Samyutta-Nikaya/Samyutta1/07-Brahmana-Samyutta/02-Upasakavaggo-e.html
Sutta Pitaka
Samyutta Nikàya
Division I Ý Sagàtha
Book 7 Ý Brahmaõa Saüyutta
Chapter 2 Ý Upàsaka Vaggo

7. 2. 11.
(21) Sangarava Ý The Brahmin Sangarava
1. The origin is Sàvatthi.
2. At that time a Brahmin by the name Sangarava was living in Sàvatthi. He did water ablution, believing purity through water. He lived yoked to diving in the water at dawn and dusk.
3. Venerable ânanda putting on robes in the morning and taking bowl and robes entered Sàvatthi for alms. Going the alms round in Sàvatthi and after the meal approached the Blessed One, worshipped and sat on a side.
4. Seated, venerable ânanda said to the Blessed One: ßVenerable sir, a Brahmin by the name Sangarava living in Sàvatthi does water ablution, believing purity through water, he lives yoked to diving in the water at dawn and dusk. Venerable sir, it is good, if the Blessed One approaches him out of compassion.û
5. The Blessed One accepted it in silence.
6. The Blessed One put on robes in the morning and taking bowl and robes approached the house of the Brahmin Sangarava and sat on the prepared seat.
7. Then the Brahmin Sangarava approached the Blessed One, exchanged friendly greetings and sat on a side.
8. To the Brahmin Sangarava, seated on a side the Blessed One said: ßBrahmin, is it true that you do water ablution, believing purity through water. Do you live, with the habit of diving in the water at dawn and dusk?û
9. ßYes, good Gotama, I do it.û
10. ßBrahmin, seeing what benefit do you do the water ablution, believing purity through water and live yoked to diving in the water at dawn and dusk?û
11. ßGood Gotama, whatever demerit, had been done by me during the day is washed off at dusk. And whatever demerit, had been done by me during the night is washed off at dawn. Seeing this good, I do the water ablution, believing purity through water and live yoked to diving in the water at dawn and dusk.
12. ßBrahmin, the Teaching is a deep pond and virtues the ford.
When the water is undisturbed, it is constantly praised.
There, those who have attained knowledge take a bath,
And cross to the other shore with a not sticky body.û
13. Then the Brahmin Sangarava said to the Blessed One: ßGood Gotama, now I understand. It's like something overturned is put upright. Something covered is made manifest. It's like one who was lost was shown the path. It's like a lamp lighted for the darkness, for those who have sight to see forms. In this and other ways the Teaching is well explained. Now I take refuge in good Gotama, in the Teaching and the Community of bhikkhus. I am a lay disciple who has taken refuge from today until I die.û


wah tulisan nya kok jadi beda ya? maaf saya juga hanya copas dari mettanet.
untuk arti suddhiko agar jangan bingung, dlm bhs Inggris telah diterjemahkan menjadi water ablution, dari kata asli nya bhs Pali "udaka suddhiko"

ini sama case nya dg jika kita membaca "Veluvana arama" di Tipitaka, maka kita tidak akan menemukan nama itu dlm buku terjemahan karena telah diterjemahkan bhs Inggris menjadi "Bamboo groove park".

mettacittena,

« Last Edit: 08 October 2010, 04:31:10 PM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #52 on: 08 October 2010, 04:32:53 PM »
Lukisan 4



kisah ini ada di Dhammapadaatthakatha :

http://www.mahindarama.com/e-library/dhammapada12.htm

Quote
XII:4 SELF IS ONE’S REFUGE
________________________________________

Atta hi attano natho - ko hi natho paro siya
Attana’ va sudantena - natham labhati dullabham.
Oneself is one’s own protector (refuge); what other protector (refuge) can there be? With oneself fully controlled, one obtains a protection (refuge) which is hard to gain.


XII:4 The son of a bhikkhuni (Kumara Kassapa)
________________________________________

Once, a young married woman having received permission from her husband, became a bhikkhuni. She joined the bhikkhunis who were the pupils of Devadatta. This young woman was already pregnant when she became a bhikkhuni but she was not aware of that. But in due course, the pregnancy became obvious and the other bhikkhunis took her to their teacher, Devadatta, who told her to go back to the household life.
She then said to the other bhikkhunis, 'I had not intended to become a bhikkhuni under your teacher Devadatta. I have come here by mistake. Please take me to the Jetavana monastery where the Buddha lives.' Thus she came to the Buddha. The Master knew that she was pregnant before she became a bhikkhuni and was therefore innocent, but he did not want to handle the case. The Buddha sent for King Pasenadi of Kosala, Anatha Pindika and Visakha, the famous lay devotees of the Buddha.Then he told Venerable Upali (master of Vinaya - rules of conduct) to settle the case in public.
Lady Visakha examined the young bhikkhuni and reported to Upali that she had already been pregnant when she became a bhikkhuni. Upali then declared to the audience that the nun had not violated her morality (sila). In due course, she gave birth to a son. King Pasenadi adopted the boy who was named Kumara Kassapa. When the boy was seven years old, and on learning that his mother was a bhikkhuni, he also became a novice monk. When he came of age he was admitted to the Order as a bhikkhu.
One day, he took a subject of meditation from the Buddha and went to the forest. There, he practised meditation ardently and diligently, and within a short time attained Arahanthood. However, he continued to live in the forest for twelve more years.
Thus, his mother had not seen him for twelve years and she longed to see her son very much. One day, on seeing him, the mother bhikkhuni ran after her son weeping and calling out his name. Seeing his mother, Kumara Kassapa thought that if he were to speak pleasantly to his mother she would still be attached to him. So for the sake of her spiritual progress he deliberately addressed her in an indifferent way: 'How is it that you, a member of the Order, cannot even cut off this affection for a son?' The mother thought that her son was very ungrateful to her, and she asked him what he meant. Kumara Kassapa repeated what he had said before. On hearing his answer, she reflected: 'O yes, for twelve years, I have shed tears for this son of mine. Yet, he has spoken harshly to me.
What is the use of my affection for him?' Then, the futility of her emotional attachment to her son dawned upon her, and uprooting affection for her son, on that very day she attained Arahanthood.
At the monastery, some bhikkhus told the Buddha, 'Venerable Sir! You are a refuge to them. If the mother of Kumara Kassapa had listened to Devadatta, she and her son would not have become Arahants. Surely
Devadatta had judged her wrongly.' The Buddha answered, 'Bhikkhus! In trying to reach the deva world, or in trying to attain Arahanthood, you cannot depend on others, you must strive on your own.'


Versi Palinya : Suttantapitaka, Khuddakanikayaatthakatha, Dhammapadaatthakatha, 12. Attavaggo, 4. Kumārakassapamātutherīvatthu

Quote
4. Kumārakassapamātutherīvatthu

Attāhi attano nāthoti imaṃ dhammadesanaṃ satthā jetavane viharanto kumārakassapattherassa mātaraṃ ārabbha kathesi.

Sā kira rājagahanagare seṭṭhidhītā viññutaṃ pattakālato paṭṭhāya pabbajjaṃ yāci. Atha sā punappunaṃ yācamānāpi mātāpitūnaṃ santikā pabbajjaṃ alabhitvā vayappattā patikulaṃ gantvā patidevatā hutvā agāraṃ ajjhāvasi. Athassā na cirasseva kucchismiṃ gabbho patiṭṭhahi. Sā gabbhassa patiṭṭhitabhāvaṃ ajānitvāva sāmikaṃ ārādhetvā pabbajjaṃ yāci. Atha naṃ so mahantena sakkārena bhikkhunupassayaṃ netvā ajānanto devadattapakkhikānaṃ bhikkhunīnaṃ santike pabbājesi. Aparena samayena bhikkhuniyo tassā gabbhinibhāvaṃ ñatvā tāhi ‘‘kiṃ ida’’nti vuttā nāhaṃ, ayye, jānāmi ‘‘kimetaṃ’’, sīlaṃ vata me arogamevāti. Bhikkhuniyo taṃ devadattassa santikaṃ netvā ‘‘ayaṃ bhikkhunī saddhāpabbajitā, imissā mayaṃ gabbhassa patiṭṭhitabhāvaṃ jānāma, kālaṃ na jānāma, kiṃ dāni karomā’’ti pucchiṃsu. Devadatto ‘‘mā mayhaṃ ovādakārikānaṃ bhikkhunīnaṃ ayaso uppajjatū’’ti ettakameva cintetvā ‘‘uppabbājetha na’’nti āha. Taṃ sutvā sā daharā mā maṃ, ayye, nāsetha, nāhaṃ devadattaṃ uddissa pabbajitā, etha, maṃ satthu santikaṃ jetavanaṃ nethāti. Tā taṃ ādāya jetavanaṃ gantvā satthu ārocesuṃ. Satthā ‘‘tassā gihikāle gabbho patiṭṭhito’’ti jānantopi paravādamocanatthaṃ rājānaṃ pasenadikosalaṃ mahāanāthapiṇḍikaṃ cūḷaanāthapiṇḍikaṃ visākhāupāsikaṃ aññāni ca mahākulāni pakkosāpetvā upālittheraṃ āṇāpesi – ‘‘gaccha, imissā daharāya bhikkhuniyā catuparisamajjhe kammaṃ parisodhehī’’ti. Thero rañño purato visākhaṃ pakkosāpetvā taṃ adhikaraṇaṃ paṭicchāpesi. Sā sāṇipākāraṃ parikkhipāpetvā antosāṇiyaṃ tassā hatthapādanābhiudarapariyosānāni oloketvā māsadivase samānetvā ‘‘gihibhāve imāya gabbho laddho’’ti ñatvā therassa tamatthaṃ ārocesi. Athassā thero parisamajjhe parisuddhabhāvaṃ patiṭṭhāpesi. Sā aparena samayena padumuttarabuddhassa pādamūle patthitapatthanaṃ mahānubhāvaṃ puttaṃ vijāyi.

Athekadivasaṃ rājā bhikkhunupassayasamīpena gacchanto dārakasaddaṃ sutvā ‘‘kiṃ ida’’nti pucchitvā, ‘‘deva, ekissā bhikkhuniyā putto jāto, tassesa saddo’’ti vutte taṃ kumāraṃ attano gharaṃ netvā dhātīnaṃ adāsi. Nāmaggahaṇadivase cassa kassapoti nāmaṃ katvā kumāraparihārena vaḍḍhitattā kumārakassapoti sañjāniṃsu. So kīḷāmaṇḍale dārake paharitvā ‘‘nimmātāpitikenamhā pahaṭā’’ti vutte rājānaṃ upasaṅkamitvā, ‘‘deva, maṃ ‘nimmātāpitiko’ti vadanti, mātaraṃ me ācikkhathā’’ti pucchitvā raññā dhātiyo dassetvā ‘‘imā te mātaro’’ti vutte ‘‘na ettikā me mātaro, ekāya me mātarā bhavitabbaṃ, taṃ me ācikkhathā’’ti āha. Rājā ‘‘na sakkā imaṃ vañcetu’’nti cintetvā, tāta, tava mātā bhikkhunī, tvaṃ mayā bhikkhunupassayā ānītoti. So tāvatakeneva samuppannasaṃvego hutvā, ‘‘tāta, pabbājetha ma’’nti āha. Rājā ‘‘sādhu, tātā’’ti taṃ mahantena sakkārena satthu santike pabbājesi. So laddhūpasampado kumārakassapattheroti paññāyi. So satthu santike kammaṭṭhānaṃ gahetvā araññaṃ pavisitvā vāyamitvā visesaṃ nibbattetuṃ asakkonto ‘‘puna kammaṭṭhānaṃ visesetvā gahessāmī’’ti satthu santikaṃ gantvā andhavane vihāsi.

Atha naṃ kassapabuddhakāle ekato samaṇadhammaṃ katvā anāgāmiphalaṃ patvā brahmaloke nibbattabhikkhu brahmalokato āgantvā pannarasa pañhe pucchitvā ‘‘ime pañhe ṭhapetvā satthāraṃ añño byākātuṃ samattho nāma natthi, gaccha, satthu santike imesaṃ atthaṃ uggaṇhā’’ti uyyojesi. So tathā katvā pañhavissajjanāvasāne arahattaṃ pāpuṇi. Tassa pana nikkhantadivasato paṭṭhāya dvādasa vassāni mātubhikkhuniyā akkhīhi assūni pavattiṃsu. Sā puttaviyogadukkhitā assutinteneva mukhena bhikkhāya caramānā antaravīthiyaṃ theraṃ disvāva, ‘‘putta , puttā’’ti viravantī taṃ gaṇhituṃ upadhāvamānā parivattitvā pati. Sā thanehi khīraṃ muñcantehi uṭṭhahitvā allacīvarā gantvā theraṃ gaṇhi. So cintesi – ‘‘sacāyaṃ mama santikā madhuravacanaṃ labhissati, vinassissati. Thaddhameva katvā imāya saddhiṃ sallapissāmī’’ti. Atha naṃ āha – ‘‘kiṃ karontī vicarasi, sinehamattampi chindituṃ na sakkosī’’ti. Sā ‘‘aho kakkhaḷā therassa kathā’’ti cintetvā ‘‘kiṃ vadesi, tātā’’ti vatvā punapi tena tatheva vuttā cintesi – ‘‘ahaṃ imassa kāraṇā dvādasa vassāni assūni sandhāretuṃ na sakkomi, ayaṃ panevaṃ thaddhahadayo, kiṃ me iminā’’ti puttasinehaṃ chinditvā taṃdivasameva arahattaṃ pāpuṇi.

Aparena samayena dhammasabhāyaṃ kathaṃ samuṭṭhāpesuṃ – ‘‘āvuso, devadattena evaṃ upanissayasampanno kumārakassapo ca therī ca nāsitā, satthā pana tesaṃ patiṭṭhā jāto, aho buddhā nāma lokānukampakā’’ti . Satthā āgantvā ‘‘kāya nuttha, bhikkhave, etarahi kathāya sannisinnā’’ti pucchitvā ‘‘imāya nāmā’’ti vutte ‘‘na, bhikkhave, idāneva ahaṃ imesaṃ paccayo patiṭṭhā jāto, pubbepi nesaṃ ahaṃ patiṭṭhā ahosiṃyevā’’ti vatvā –

‘‘Nigrodhameva seveyya, na sākhamupasaṃvase;

Nigrodhasmiṃ mataṃ seyyo, yañce sākhasmi jīvita’’nti. (jā. 1.1.12; 1.10.81) –

Imaṃ nigrodhajātakaṃ vitthārena kathetvā ‘‘tadā sākhamigo devadatto ahosi, parisāpissa devadattaparisā, vārappattā migadhenu therī ahosi, putto kumārakassapo, gabbhinīmigiyā jīvitaṃ pariccajitvā gato nigrodhamigarājā pana ahamevā’’ti jātakaṃ samodhānetvā puttasinehaṃ chinditvā theriyā attanāva attano patiṭṭhānakatabhāvaṃ pakāsento, ‘‘bhikkhave, yasmā parassa attani ṭhitena saggaparāyaṇena vā maggaparāyaṇena vā bhavituṃ na sakkā, tasmā attāva attano nātho, paro kiṃ karissatī’’ti vatvā imaṃ gāthamāha –

160.

‘‘Attā hi attano nātho, ko hi nātho paro siyā;

Attanā hi sudantena, nāthaṃ labhati dullabha’’nti.

Tattha nāthoti patiṭṭhā. Idaṃ vuttaṃ hoti – yasmā attani ṭhitena attasampannena kusalaṃ katvā saggaṃ vā pāpuṇituṃ, maggaṃ vā bhāvetuṃ, phalaṃ vā sacchikātuṃ sakkā . Tasmā hi attāva attano patiṭṭhā hoti, paro ko nāma kassa patiṭṭhā siyā. Attanā eva hi sudantena nibbisevanena arahattaphalasaṅkhātaṃ dullabhaṃ nāthaṃ labhati. Arahattañhi sandhāya idha ‘‘nāthaṃ labhati dullabha’’nti vuttaṃ.

Desanāvasāne bahū sotāpattiphalādīni pāpuṇiṃsūti.

Kumārakassapamātutherīvatthu catutthaṃ.



mettacittena,
« Last Edit: 08 October 2010, 04:51:29 PM by pannadevi »

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: help!!
« Reply #53 on: 12 October 2010, 01:33:10 AM »
Lukisana 15

Ini cerita ketika Sang Buddha beserta murid2nya .... bervassa ditmp musim paceklik
umat ber-pindapata kepada Sang Buddha dan muridnya dengan memberi dedak (makanan utk Kuda) selama masa vassa .....

om Kumis .... pernah cerita di tmp sipad-pad
minta suttanya .....
 ;D
kamsia yaaah  _/\_
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: help!!
« Reply #54 on: 12 October 2010, 02:17:52 AM »
Lukisana 15

Ini cerita ketika Sang Buddha beserta murid2nya .... bervassa ditmp musim paceklik
umat ber-pindapata kepada Sang Buddha dan muridnya dengan memberi dedak (makanan utk Kuda) selama masa vassa .....

om Kumis .... pernah cerita di tmp sipad-pad
minta suttanya .....
 ;D
kamsia yaaah  _/\_

copas dari RAPB

Quote
Kelaparan di kota Veranja

Pada waktu itu Veranja sedang kekurangan makanan. Sulit untuk hidup di sana. Tulang-belulang putih berserakan di seluruh kota. Orang-orang banyak yang pindah ke tempat lain untuk bertahan hidup. (Oleh karena itu) tidak mudah bagi para bhikkhu untuk memperoleh cukup makanan dalam kegiatan mengumpulkan dana makanan. Seorang pedagang kuda dari Uttarapatha di wilayah uatara sedang menetap bersama lima ratus kuda di Veranja untuk berteduh dari hujan selama musim hujan. Di kandang kuda itu si pedagang memberikan dana secara rutin sebanyak satu pattha gandum kepada setiap bhikkhu. Ketika para bhikkhu memasuki kota di pagi hari untuk mengumpulkan dana makanan dan tidak memperoleh makanan, mereka pergi ke kandang kuda dan menerima satu pattha gandum yang mereka bawa ke vihara dan mengaduknya menjadi bubur dan memakannya.

N.B: perjalanan tidak mungkin dilakukan karena hujan deras selama empat bulan musim hujan di Veranja. Oleh karena itu para pedagang kuda menetap di sana untuk berteduh dari hujan. Mereka membangun pondok, kandang dan pagar di atas tanah kering di luar kota sebagai tempat tinggal. Tempat si pedagang kuda ini dikenal sebagai kandang kuda.

(Mereka membawa gandum yang mereka peroleh dan memasaknya agar dapat bertahan lama dan bebas dari ulat dan mereka menampinya sehingga dapat digunakan sebagai makanan kuda jika tidak ada rumput. Para pedagang ini (dari Uttarapatha) memiliki keyakinan tidak seperti penduduk Dakkhinapatha. Mereka berkeyakinan dan memuja Tiga Permata. Suatu pagi saat merka pergi ke kota untuk mengadakan perdagangan, mereka melihat sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh atau delapan orang sedang mengumpulkan dana makanan tetapi tidak memperoleh apapun; dan mereka berdiskusi: “Para bhikkhu yang baik ini sedang menjalankan vassa dan bergantung pada kota Veranja ini. Tetapi sedang terjadi bencana kelaparan di sini. Mereka akan kesulitan jika tidak memperoleh makanan. Karena kita hanyalah pengunjung, kita tidak dapat memberikan nasi bubur dan makanan lain setiap hari. Tetapi kuda-kuda kita mendapatkan makanan dua kali sehari, siang dan malam. Sebaiknya kita mengambil satu pattha gandum dari makanan kuda pagi hari dan mempersembahkannya kepada para bhikkhu. Jika kita berbuat demikian, para bhikkhu baik ini tidak akan sangat menderita; dan kuda-kuda masih mendapatkan cukup makanan.” Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan melaporkan hal itu; mereka juga mengajukan permohonan dengan berkata “Yang Mulia, mohon menerima persembahan satu pattha gandum dan buatlah makanan yang layak untuk kalian makan.” Demikianlah mereka secara rutin memberikan persembahan satu pattha gandum kepada setiap bhikkhu setiap hari.

(Saat para bhikkhu memasuki Veranja di pagi hari untuk mengumpulkan dana makanan dan berkeliling seluruh kota, mereka bahkan tidak memperoleh kata-kata maaf apalagi makanan; hanya setelah merka tiba di kandang kuda di luar kota baru masing-masing dari mereka memperoleh satu pattha gandum dan membawanya pulang ke vihara. Karena mereka tidak memiliki pelayan awam yang memasak untuk mereka, maka mereka membentuk kelompok yang terdiri dari delapan atau sepuluh orang dan menumbuk gandum itu dalam sebuah lumpang kecil; masing-masing memakannya setelah menambahkan air ke dalam bubur gandum itu, mereka berpikir “Dengan cara ini mereka telah menjalani kehidupan yang mudah (sallahukavutti) dan bebas dari pelanggaran memasak untuk diri sendiri (samapaka-dukkata apatti). Setelah makan baru mereka menjalani latihan pertapaan tanpa merasa khawatir.)

Sedangkan untuk Sang Buddha, para pedagang kuda itu mempersembahkan satu pattha gandum dan mentega, madu dan gula merah dalam jumlah yang mencukupi. Yang Mulia Ananda membawa persembahan itu dan menghamparkan (gandum itu) di atas batu datar. Apapun yang dipersembahkan oleh seorang yang cerdas adalah menggembirakan. Setelah menghamparkan gandum itu di atas batu datar, ia mencampurnya dengan air, dan lain-lain dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Kemudian para Dewa menambahkan sari makanan Dewa ke dalam hamparan gandum itu. Kemudian sang Buddha memakan gandum itu dan melewatkan waktunya dengan berdiam di dalam Phala-samapatti. Sejak terjadinya bencana kelaparan, Sang Buddha tidak keluar untuk mengumpulkan dana makanan.

Kamma masa lampau Sang Buddha yang menyebabkan Beliau mengalami kelaparan

Kamma masa lampau Sang Buddha yang meneybabkan Beliau mengalami bencana kelaparan bersama lima ratus bhikkhu siswanya adalah: sembilan puluh dua kappa yang lalu, pada masa Buddha Phussa, Sang Bodhisatta adalah seorang yang jahat karena bergaul dengan teman-teman yang jahat; saat itu Beliau mengucapkan kata-kata jahat kepada para siswa Buddha Phussa “Lebih baik kalian memakan makanan gandum yang kasar; jangan memakan nasi sali yang lezat!” kamma jahat masa lampau inilah yang menjadi penyebab Beliau mengalami kelaparan sewaktu menjalankan vassa di Veranja. (dalam Apadana Pali, kisah ini dijelaskan dengan lengkap.)


kalo gak salah kisah ini bersumber dari Vinaya

Offline Asia

  • Teman
  • **
  • Posts: 74
  • Reputasi: 9
  • Gender: Male
Re: help!!
« Reply #55 on: 21 October 2010, 12:05:43 PM »
Untuk menambah koleksi (kalau belum punya):


Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: help!!
« Reply #56 on: 30 December 2010, 12:22:51 AM »

Sapa ini?? .... Bahiya kah?
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #57 on: 31 December 2010, 03:50:13 AM »
no.10 kalo sy ga salah, itu ttg seorang princess (kumari) yang pura2 mengajak jalan2 (spt biasanya seorang putri kalo berjalan2 maka pengiringnya ikut semua, latar belakang ada kereta berderet, jadi itu adalah kekayaan yang dilepaskan oleh putri ini dan meninggalkan keduniawian, memilih menjadi petapa wanita, diwaktu itu blm ada bhikkhuni sasana, jadi dia bergabung dg Nigantha yg mana utk petapa wanita mengenakan serba putih (klo ga salah ada di foto patung buddha diolok2, ada gambar disana nun dr nigantha mengenakan serba putih duduk dibelakang para petapa [maaf!] telanjang).  Putri ini memilih menggundul kepalanya, diwkt itu petapa wanita udah lazim menggundul kepala, sorry suttanya sdg dicari bro.

mettacittena,

yang ini saya ralat ya bro, jawaban ada di link ini

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=19086.msg314957;topicseen#msg314957

« Last Edit: 31 December 2010, 03:52:15 AM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #58 on: 31 December 2010, 03:53:37 AM »
Lukisan 9


lukisan 10

Maksudnya apa yooo ??  ::) .... memberi tanda batas?? .... benar2 gelap, gak tau ada cerita seperti ini


gmbr 10 adalah Nanduttara Theri, ada di link   http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=19086.msg314957;topicseen#msg314957
« Last Edit: 31 December 2010, 03:56:24 AM by pannadevi »

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: help!!
« Reply #59 on: 31 December 2010, 03:59:14 AM »

Sapa ini?? .... Bahiya kah?

bukan Bahiya bro...ini King Pasenadi, kisahnya ada di Majjhima Nikaya 89, Dhammacetiya sutta.

cuplikan kisah ini :
8. “Itu adalah tempat kediaman Beliau, Baginda, yang pintunya tertutup. Pergilah ke sana dengan tenang, tanpa terburu-buru, masuki berandanya, berdehemlah, dan ketuk pintunya. Sang Bhagavā akan membukakan pintunya untukmu.” Raja Pasenadi menyerahkan pedang dan turbannya kepada Dīgha Kārāyaṇa di sana pada saat itu juga. Kemudian Dīgha Kārāyaṇa berpikir: “Raja akan melakukan pertemuan pribadi sekarang! Dan aku harus menunggu di sini sendirian!”  Tanpa terburu-buru, Raja Pasenadi dengan tenang mendatangi kediaman dengan pintu tertutup itu, memasuki beranda, berdehem, dan mengetuk pintu. Sang Bhagavā membuka pintu.

9. Kemudian Raja Pasenadi [120] memasuki tempat kediaman itu. Bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia; aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia.”

“Tetapi, Baginda, atas alasan apakah yang engkau lihat sehingga memberikan penghormatan yang begitu tinggi pada tubuh ini dan memperlihatkan persahabatan demikian?”

selengkapnya bisa dibaca dari terjemahan batara Indra, ada di link ini  http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.msg293659#msg293659


mettacittena,
« Last Edit: 31 December 2010, 04:01:08 AM by pannadevi »

 

anything