Perbedaan???wah kapan loe jadi pinter? ;D
Ibarat sungai yang berasal mata air sama, kemudian berpecah di tengah , dan bertemu kembali di laut...
ow...Pantes kaum theravada kaga suka kalo disebut hinayana...Karena artinya rendah yah?? Tapi kalo cullavada rasanya aneh yah?? Hahaha..
_/\_ apalah arti sebuah istilah setelah menembus nibbana?mulai skarang gw panggil loe "Keluarga Hina"
Salam,
Riky
"Hina" hanyalah sebuah perjuangan untuk mempertahankan "Dhamma" yg "asli"WAh kalimat ini 'bahaya' nih.... :))
_/\_ apalah arti sebuah istilah setelah menembus nibbana?mulai skarang gw panggil loe "Keluarga Hina"
Salam,
Riky
boleh gk?
Kenyataan yang ada adalah, nibbana "ditembus' hanya sebagian orang yang biasanya diam...Nah kan yang bakal ribut kan orang yang 'vokal'...Kan sudah bilang SB,"Ada manusia yang debunya dimatanya banyak,...."
"Hina" hanyalah sebuah perjuangan untuk mempertahankan "Dhamma" yg "asli"
[at] atas
dari yg gw pelajari di Vajra..(baru dipermukaan ajah/beginner)
persepsi mereka tentang Theravada itu beda..dengan yg gw dipelajari di Theravada..
so, kalo dibilank Vajrayana itu mempelajari Hinayana<--mungkin iyah.. tapi kalo Vajra mempelajari Theravada<--I dun think so..
Ugh...gpp lah namanya kan jg belajar.. ^^
Theravada adalah jalan lengkap, ada Sammasambuddha, Pacekka Buddha, Savaka Buddha.
Hal ini sudah berulang kali muncul.
Theravada = salah satu bagian dari Hinayanakalo gitu selain theravada, apa lg yg ada dlm bagian hinayana??
Dalam masyarakat Buddhis berkembang Agama Buddha dengan dua tradisi besar yaitu tradisi India yang dikenal dengan istilah Theravada, dan tradisi Tiongkok yang dikenal dengan istilah Mahayana. Tantrayana atau Vajrayana atau Agama Buddha dengan tradisi Tibet lebih sering digolongkan sebagai bagian dari Agama Buddha tradisi Tiongkok.
Perbedaan Agama Buddha tradisi India dengan tradisi Tiongkok secara sederhana dapat dilihat dari saat Pangeran Siddhattha mencapai kebuddhaan. Saat Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Sempurna di Bodhgaya menjadi Buddha Gotama dapat dianggap sebagai titik nol untuk mempelajari kedua tradisi besar dalam Agama Buddha.
Theravada lebih banyak memberikan keterangan dan penjelasan yang berhubungan dengan berbagai kejadian setelah Pangeran Siddhattha mencapai kebuddhaan. Karena itu, berbagai kotbah Sang Buddha banyak dikutip dalam penjelasan secara Theravada.
Mahayana lebih banyak memberikan keterangan dan penjelasan yang berhubungan dengan berbagai kejadian sebelum Pangeran Siddhattha mencapai kebuddhaan. Karena itu, berbagai penjelasan Dhamma dalam Mahayana banyak membabarkan tentang bodhisatta atau calon Buddha.
Adanya perbedaan itu pula yang menyebabkan beberapa bagian kitab suci yang dipergunakan di kedua aliran tidaklah sama. Dharani dan sutra yang ditanyakan di atas tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka yang dipergunakan Agama Buddha tradisi India atau Theravada.
Meskipun ada sedikit perbedaan di antara kedua aliran besar ini, hendaknya para umat Buddha tidak mempertajam perbedaan tersebut. Umat Buddha hendaknya lebih banyak membicarakan berbagai persamaan yang ada di kedua tradisi.
Dalam bahasa sederhana, berbagai hal yang sama dalam kedua tradisi hendaknya tidak dibeda-bedakan. Sebaliknya, hal yang berbeda dalam kedua tradisi hendaknya tidak dipersamakan. Setiap umat Buddha dapat memilih dan menjalani Agama Buddha dengan tradisi yang sesuai kecocokan masing-masing tanpa harus saling menjelekkan tradisi lain.
Sumber http://www.samaggi-phala.or.id/ftj_win.php?id=3175 (http://www.samaggi-phala.or.id/ftj_win.php?id=3175)
Semoga membantu..
_/\_
IMO,Sutra xin cing memank salah satu sutra yang paling terkenal dalam tradisi mahayana...Tetapi, seperti yg kita ketahui, mahayana pun terbagi dalam berbagai sub aliran tersendiri..Dan setiap sub aliran, memiliki "pegangan" sutra masing2...Bukan bearti setiap sub aliran tersebut menafikan makna xin cing..Mereka memiliki jalan masing2 yg dipercaya dapat menghantarkan ke nibbana.
Saya sendiri, setelah berkali2 membaca xin cing, belum sepenuh-nya memahami makna terdalamnya..
Dan untuk memahaminya, tidak hanya dengan melakukan kontemplasi terhadap sutra tersebut, tetapi dengan mengembangkan sila, samadhi, panna..Dan dengan berbagai jalan yg ada, kondisi yg digambarkan dalam sutra xin cing tersebutlah yg ingin dicapai...Tetapi, dalam sutra tersebut pun sudah tertulis dengan jelas, jika masih ada keinginan untuk "mencapai", maka tidak akan mencapai pantai seberang...
Karena itulah xin cing dikatakan sutra tertinggi, karena sesuai yg saya dengar, merupakan sutra yg sangat jelas mendeskripsikan kondisi "nibbana"
Begitulah opini saya yg masih dangkal ini, mungkin teman2 yg lebih berkompeten bisa lebih menjelaskan...
Demikian pula halnya dengan perasaan, pikiran, keinginan, dan kesadaran.", kalo praktek yg diajarkan itu uda di lakukan, maka pencapaian nibbana sudah bukan sebagai keinginan, tp karena kesadaran (mendalam) akan shunyata pada kesuluruhan fenomena diri.
kita kembali lagi ke masa Pangeran Siddharta mengambil jalan penyiksaan diri. Di dalam hal itu , pikirannya tidak mengerti akan Nibbana bahkan menyebut Nibbana juga tidak tahu,hanya setelah ia mencapai Pencerahan maka Ia mengetahui Nibbana itu sendiri, dan akhirnya Ia mengajarkan orang jalan menuju Nibbana.
Satu hal yan gmesti diperhatikan adlah kecenderungan manusia untuk selalu menitik beratkan pada HASIL bukan PROSES sedangkan Siddhatta sendiri menekankan pada PROSES maka dicapai HASIL. oleh karena titik beratnya pada HASIL yang merupakan spekulasi masa depan maka manusia melupakan PROSES dan tidak menghasilkan APA-APA melainkan persepsi pikiran dan omong kosong.
di Jakarta sangat susah menemukan yang bisa mengajarkan Dharma Mahayana secara baik, ada rekomendasi ke Yayasan Amitabha saja.menurut gw masih top.sisanya ga rekomendasi.
di Jakarta sangat susah menemukan yang bisa mengajarkan Dharma Mahayana secara baik, ada rekomendasi ke Yayasan Amitabha saja.menurut gw masih top.sisanya ga rekomendasi.
Dimana alamatnya yah Bro?
tapi setidaknya yang masih bisa mengajarkan ajaran Mahayana dengan baik ya disitu, menurut pengalaman gw karena ada beberapa v.mahayana malah ngasih2 hu,suruh pai pai jadinya kayak klenteng. mungkin bro chingik ada referensi yang baik juga untuk mereka mendalami mahayana.
di Jakarta sangat susah menemukan yang bisa mengajarkan Dharma Mahayana secara baik, ada rekomendasi ke Yayasan Amitabha saja.menurut gw masih top.sisanya ga rekomendasi.
Dimana alamatnya yah Bro?
Yayasan Buddha Amitabha Indonesia Pro Mandiri Bld Lt. 4-Komplek Sentra Latumeten Jl. Prof. Dr. Latumeten, No.50 Jarkarta 11460.
Pengajaran dharma di alamat ini lebih menekankan aspek Pureland.
Thx Bro Nyana. _/\_di Jakarta sangat susah menemukan yang bisa mengajarkan Dharma Mahayana secara baik, ada rekomendasi ke Yayasan Amitabha saja.menurut gw masih top.sisanya ga rekomendasi.
Dimana alamatnya yah Bro?
Yayasan Buddha Amitabha Indonesia Pro Mandiri Bld Lt. 4-Komplek Sentra Latumeten Jl. Prof. Dr. Latumeten, No.50 Jarkarta 11460.
Pengajaran dharma di alamat ini lebih menekankan aspek Pureland.
Thx Bro Chingik, mdh2an saya berjodoh.
_/\_
Kepada saudara dilbert, sungguh menarik..
Saya ingin belajar mengenai apa yang anda dengar sebelumnya, bolehkah diceritakan?
Sebelumnya untuk menghindari salah paham, ijinkan saya mencoba menjelaskan istilah yang saya pakai: 'tradisi' saya pakai menggantikan 'sekte' (sect), sementara 'ajaran' dari 'teaching'; karena demikianlah yang saya ketahui dari berbagai sumber mengenai Theravada dan Mahayana.
Salam,
Kalau Pureland/Sukhavati, kemudian Chan/Zen itu sekte dari Mahayana...
Apakah Theravada itu tradisi/sekte dari Hinayana ?
Kalau Pureland/Sukhavati, kemudian Chan/Zen itu sekte dari Mahayana...
Apakah Theravada itu tradisi/sekte dari Hinayana ?
Saudara dilbert,
Sebenarnya saya menunggu gambaran anda mengenai Theravada dan Mahayana. Tetapi karena anda bertanya, saya mencoba menjelaskan:
Mahayana adalah ajaran, diungkapkan oleh sang Buddha untuk menggambarkan salah satu kualitas yang dimiliki oleh para bodhisattva. Hinayana adalah istilah yang terbentuk akibat dualisme ketika istilah Mahayana muncul, menggambarkan kualitas yang dimiliki mereka yang bukan bodhisattva. Dalam kotbah mengenai Mahayana dan Hinayana yang ditanyakan oleh para bodhisattva kepada Tathagata, sang Buddha selalu berkata: there is only One Buddha Vehicle. Istilah Mahayana dan Hinayana sendiri muncul pada sutra-sutra tertentu, tidak semua sutra.
Pureland/Sukhavati, Chan/Zen adalah sekte. Theravada adalah sekte. Keduanya terbentuk oleh sekelompok orang dengan dasar pemikiran tertentu. Pureland/Sukhavati dan Chan/Zen BUKAN "sekte dari Mahayana." Theravada BUKAN "sekte dari Hinayana".
Pureland/Sukhavati, Chan/Zen seringkali diidentikkan dengan Mahayana, karena mereka menggunakan sutra-sutra yang menggunakan menggunakan istilah tersebut. Mereka juga seringkali dilabel sebagai "Northern Buddhism," karena tumbuh di belahan bumi utara (Tibet, China, Asia Timur).
Theravada tidak mengenal Hinayana dan Mahayana, mereka memiliki istilah sendiri untuk kualitas-kualitas mengenai tingkat pencerahan. Theravada seringkali disebut sebagai "Southern Buddhism," karena tumbuh di belahan bumi selatan (India, Sri Lanka, Asia Tenggara).
Mohon diperhatikan bahwa sebenarnya saya tidak ingin menggunakan istilah sekte, karena bertendensi memecah belah. Itu sebabnya kata tradisi dipakai.
Salam,
Terlalu banyak aliran didunia manusia. Kenapa? Karena kalian tidak percaya diri akan kebenaran
Kebenaran tidak perlu dicari, coba kalian bercermin. Itulah kebenaran.
Disini-disana adalah sama saja. Yang kalian cuma 1 kenapa harus mengikuti belenggu sutra? oh kasihan
Sebenarnya tidak sulit untuk mempraktekkannya. Kalian manusia hanya melihat keatas atau yang kalian sebut adalah tujuan. Kalian hanya perlu mengenali diri mu sendiri.
Mengenali diri sendiri adalah mengakui bahwa dirimu sekarang ada. Tidak semua manusia bisa mengenali dirinya sendiri. Meditasi adalah pelarian dari lingkungan mu sendiri. Karena lingkungan terlalu bising. Maka kau mengucilkan diri mu sendiri dengan alasan meditasi. Itulah kesalahan yang terbesar. Mengenali diri adalah mengetahui dari mana kau sebenarnya berasal. Ketika dirimu mengetahui asalnya maka wahai manusia yang aneh akan kau bilang sempurna
Terlalu banyak sutra yang kalian puja wahai manusia buat apa? Buat mengejar hanya 1 jalan? oh, kalian begitu susah untuk mencari jawaban. oh manusia-manusia
Pernah tahu Tipitaka Pali (yang dipakai oleh Theravada) = Agama Sutra dalam Mahayana ?
Note : Kelompok Sutra dalam Mahayana ada 5 yaitu (Avatamsaka Sutra, Agama Sutra, Vaipulya Sutra, MahaPrajnaparamita Sutra, Saddharmapundarika serta Mahaparinirvana Sutra)...
Pernah tahu Tipitaka Pali (yang dipakai oleh Theravada) = Agama Sutra dalam Mahayana ?
Note : Kelompok Sutra dalam Mahayana ada 5 yaitu (Avatamsaka Sutra, Agama Sutra, Vaipulya Sutra, MahaPrajnaparamita Sutra, Saddharmapundarika serta Mahaparinirvana Sutra)...
Saya rasa perlu penjelasan kata Mahayana di sini diartikan sebagai apa? Siapa yang mengelompokkan seperti itu? Kenapa 'Mahayana' punya lima kelompok sutra seperti itu?
Sebelumnya saya ingin mengutarakan isi hati bahwa: saya benar-benar menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas, mohon dijawab semua. Samasekali bukan untuk memojokkan atau membantah, tetapi perlu penjelasan untuk menghindari salah paham. Bagi saya sungguh absurd jika sebuah ajaran -yang tidak ada bentuknya, bukan pelaku, bukan organisasi- dapat "memiliki lima kelompok sutra." Bahkan dikatakan bahwa patriarch Zen, Hui Neng, adalah seorang buta huruf; ketika ada seseorang yang bertanya mengenai arti sebuat ayat sutra tertentu beliau meminta si penanya mengucapkan ayat tersebut terlebih dahulu.
Sejujurnya, saya merasa bahwa anda masih berpikir bahwa 'Mahayana' adalah satu organisasi, satu kelompok orang yang berideologi tertentu. Itu akan menjadi pernyataan sepihak, jika ternyata orang-orang di Pure Land, di Zen, bahkan tidak mengenal pengelompokkan seperti itu.
Bayangkan: sekelompok orang memakai ikat kepala berlabel tertentu menuding semua orang yang tidak bergabung dengan mereka, "Hey you, cults!" Kemudian orang-orang lain itu bingung dan membalas dengan emosi "Hey you, moron!" Mau jadi apa? :)
Salam,
coba ke link ini...
http://www.buddhistdoor.com/OldWeb/passissue/9710/sources/lotus3.htm
"In studying Buddhist Sutras, some methods have to be used to analyse the nature of the teaching of each Sutra. According to Tien Tai School, the Buddha's Sutras are divided into Five Periods and Eight Teachings."
"Sometimes, The Five Periods are represented by an analogy of milk products: ...."
"According to the Tien Tai School, before lecturing the Sutra proper, one first examines its principles by means of the Five Profound Meanings."
Tien Tai Sect
One of the Ten Great Sect in Chinese Buddhism. It was initiated by Hui Man in the dynasty of Bei-Chai, and was promoted by Chi-Hai in Tsui Dynasty. Mainly based on Lotus Sutra, Tien Tai Sect explains all universal phenomena with Three Dogmas. For the practices, it emphasizes cutting off Three Delusions, thus establishes the method of Three Meditations of One Mind.
coba ke link ini...
http://www.buddhistdoor.com/OldWeb/passissue/9710/sources/lotus3.htm
Dan ini kutipan dari halaman di link yang anda sebutkan:Quote"In studying Buddhist Sutras, some methods have to be used to analyse the nature of the teaching of each Sutra. According to Tien Tai School, the Buddha's Sutras are divided into Five Periods and Eight Teachings."
"Sometimes, The Five Periods are represented by an analogy of milk products: ...."
"According to the Tien Tai School, before lecturing the Sutra proper, one first examines its principles by means of the Five Profound Meanings."
dari http://www.buddhistdoor.com/OldWeb/passissue/9710/sources/glosst-z.htm#tientai:QuoteTien Tai Sect
One of the Ten Great Sect in Chinese Buddhism. It was initiated by Hui Man in the dynasty of Bei-Chai, and was promoted by Chi-Hai in Tsui Dynasty. Mainly based on Lotus Sutra, Tien Tai Sect explains all universal phenomena with Three Dogmas. For the practices, it emphasizes cutting off Three Delusions, thus establishes the method of Three Meditations of One Mind.
Saudara dilbert,
Tanpa niat merendahkan keyakinan Tradisi Tien Tai (karena ini juga untuk semua tradisi), saya ingin mengajak kita mengingat lagi pesan yang sangat terkenal dari Kalama Sutra:
"Do not believe anything just because it is a legend.
Do not believe anything just because it belongs to a tradition.
Do not believe anything just because many people talk about it.
Do not believe anything just because it is written in the scriptures or books.
Do not believe anything just because it is a metaphysical argument.
Do not believe anything just because it agrees with your own ideas.
Do not believe anything just because it is based on superficial data.
Do not believe anything just because it agrees with your own prejudices.
Do not believe anything just because it has the support of an authority or a power.
Do not believe anything just because it is preached by missionaries or by your spiritual teachers.
When you hear anything, you have to examine it, think about it, and experience it. When you know for yourselves that certain things are wholesome and good, moral, beneficial to yourself and to others, only after that you should believe in them, accept them, and practice them."
Kita semua datang/mulai dari satu tradisi tertentu, mengenal dharma yang indah melalui seorang guru, membaca dari sutra tertentu, menganalisa dan mengambil kesimpulan berdasarkan pengalaman, dan kemudian menjalaninya sepenuh hati untuk meraih hidup yang lebih berarti. Sangat wajar jika setiap dari kita memiliki interpretasi masing-masing, teknik masing-masing, tujuan masing-masing. Tetapi di luar semua itu, dharma bersifat universal. Tidak mahayana atau hinayana, seperti ini atau seperti itu, tidak dengan ini atau itu, dst. Bahkan.. saat kita menyadari dan mengalami benar "universal dharma," dikatakan bahwa itu hanyalah perahu yang kita gunakan untuk menyeberang ke sisi lain (prajnapramita), saat sampai di sisi lain tersebut kita akan melanjutkan perjalanan meninggalkan perahu itu.
Sedari awal teman-teman di sini telah berusaha mengungkapkan tentang "universal dharma" ini, setiap orang berusaha memberikan penjelasan kenapa menjadi tidak universal. Tanyakan kepada 100 orang, maka akan muncul 100 pendapat berbeda mengenai dharma. Jika setiap orang menjadi "secangkir teh yang penuh," maka 100 orang tersebut akan selalu berdebat siapa yang paling benar. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Theravadin keras kepala, menutup diri, picik, dsb.. saya sudah bertemu orang-orang Theravada yang membaca sutra-sutra mahayana dan merasa puas, malahan ada orang dari aliran tertentu yang katanya "mengenal dharma universal" selalu menjelekjelekkan tradisi lain. Demikianlah jika kita mencari perbedaan, maka perbedaan lah yang kita dapatkan. Tetapi apakah berarti semua sama? Tidak seperti itu juga, kita hanya perlu dapat membedakan dengan tepat.
Semoga.. diskusi ini bermanfaat, menjawab pertanyaan dan mengakhiri semua perdebatan dalam pikiran kita.
Salam,
Apakah yang kita diskusi kan di forum DC ini tentang perbedaan mahayana dan theravada tidak tepat ?
atau ada hal hal yang kita politisir ?
Saya ulang lagi apa yang pernah tulis di awal postingan saya: membandingkan Mahayana dan Theravada adalah TIDAK tepat. Di mana ada Ajaran Theravada? yang ada hanya Ajaran Buddha. Di mana ada Tradisi Mahayana? Yang ada Tradisi Pure Land, Tradisi Zen, dsb.
btw friends, saya sering dengar buddha menyatakan kira2 begini: "setelah meninggal, kalau ada ajaranku yang perlu diubah, ubah lah (sesuai kebutuhan (?))" sampai sekarang saya belum sempat mencari sutra mana yang ada pernyataan itu. apa ada yang bisa beritahu ada yang seperti itu di mana?
itu sebabnya saya bilang: bedanya theravada dan mahayana adalah: theravada itu sekte, dan mahayana adalah ajaran. ya beda, tapi bukannya lawan kata.
bro edy, anda katakan yang ada hanya ajaran Buddha... oke... yang mana satu yang anda katakan ajaran buddha ? bisakah disebutkan apa saja kitab kitab pegangan yang dikatakan sebagai ajaran buddha ?
theravada itu sekte ? sekte dari mana bro ?sekte alias tradisi alias school, whatever disebut apa. karena nama tersebut berkaitan dengan sekelompok orang yang menganut gagasan tertentu. right?
bro edy, anda katakan yang ada hanya ajaran Buddha... oke... yang mana satu yang anda katakan ajaran buddha ? bisakah disebutkan apa saja kitab kitab pegangan yang dikatakan sebagai ajaran buddha ?
itu.. barusan saya posting, beberapa sutra yang mencantumkan kata mahayana di dalamnya.Quotetheravada itu sekte ? sekte dari mana bro ?sekte alias tradisi alias school, whatever disebut apa. karena nama tersebut berkaitan dengan sekelompok orang yang menganut gagasan tertentu. right?
btw friends, saya sering dengar buddha menyatakan kira2 begini: "setelah meninggal, kalau ada ajaranku yang perlu diubah, ubah lah (sesuai kebutuhan (?))" sampai sekarang saya belum sempat mencari sutra mana yang ada pernyataan itu. apa ada yang bisa beritahu ada yang seperti itu di mana?
coba cari dulu sutra/sutta mana yang ada pernyataan seperti yang sdr.edy katakan ? ini menjadi tugas sdr.edy karena sdr.edy telah melemparkan pernyataan ini ke forum. dan ini menjadi pertanyaan dari saya.
theravada itu sekte ? sekte dari mana bro ?sekte alias tradisi alias school, whatever disebut apa. karena nama tersebut berkaitan dengan sekelompok orang yang menganut gagasan tertentu. right?
terus... theravada itu adalah berkaitan dengan gagasan ? gagasan yang mana satu bro ?
Theravada (Pāli: थेरवाद theravāda (cf Sanskrit: स्थविरवाद sthaviravāda); literally, "the Teaching of the Elders", or "the Ancient Teaching") is the oldest surviving Buddhist school. It was founded in India. It is relatively conservative, and generally closest to early Buddhism.
theravada itu sekte ? sekte dari mana bro ?sekte alias tradisi alias school, whatever disebut apa. karena nama tersebut berkaitan dengan sekelompok orang yang menganut gagasan tertentu. right?
terus... theravada itu adalah berkaitan dengan gagasan ? gagasan yang mana satu bro ?
terlalu panjang lebar, dan untuk theravada saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan (karena ada 'para pemiliknya'). link ini (ini yang paling baik yang bisa saya temukan) mungkin bisa membantu: http://en.wikipedia.org/wiki/Theravada. Sebagai sekte, Theravada memiliki properti selayaknya sekte seperti: history, philosophy, monastic order, dsb.QuoteTheravada (Pāli: थेरवाद theravāda (cf Sanskrit: स्थविरवाद sthaviravāda); literally, "the Teaching of the Elders", or "the Ancient Teaching") is the oldest surviving Buddhist school. It was founded in India. It is relatively conservative, and generally closest to early Buddhism.
Mahayana (Sanskrit: mahāyāna, Devanagari: महायान, 'Great Vehicle') is one of the two main existing schools of Buddhism and a term for classification of Buddhist philosophies and practice. It was founded in India (founded? founded by who? should it be written? "written in bla bla bla.."). The name Mahayana is used in three main senses:
1. As a living tradition, Mahayana is the larger of the two major traditions of Buddhism existing today, the other being Theravada. This classification is largely undisputed by all Buddhist schools.
2. According to the Mahayana scheme of classification of Buddhist philosophies, Mahayana refers to a level of spiritual motivation[1] (also known as Bodhisattvayana[2]). According to this classification, the alternative approach is called Hinayana, or Arhatyana. It is also recognized by Theravada Buddhism, but is not considered very relevant for practice.[3]
3. According to the Vajrayana scheme of classification of practice paths, Mahayana refers to one of the three routes to enlightenment, the other two being Hinayana and Vajrayana. This classification is part of the teachings of Vajrayana Buddhism, and is not recognized by Mahayana and Theravada Buddhism.
Nah, dari wikipedia sendiri menyatakan bahwa Mahayana juga buddhism School seperti halnya Theravada... Darimana sdr.edy menyimpulkan bahwa Theravada itu Tradisi/Sekte/School sedangkan Mahayana adalah ajaran/teaching ?
very good.. saya menantikan pertanyaan ini :) ketika membaca satu resource, kita tidak langsung percaya "ya, ini benar." kita analisa dan kita cek kebenarannya (dan kita harus jujur, kalau kita tidak tahu ya bilang tidak tahu, tidak berasumsi). oya.. wikipedia adalah satu ensiklopedi yang penulis content-nya bukanlah otoritas, oleh banyak orang, dan open (dapat dimodifikasi oleh siapa pun). Jadi sebenarnya kita tidak boleh menyebutkan "wikipedia sendiri." ;)
mari kita perhatikan untuk kasus theravada, disebutkan theravada sebagai schools. kita cek di lapangan, di di indonesia saja sebagai contoh, adakah satu school yang menyebutkan diri dengan nama theravada? apakah bercabang? apakah cabang kecil atau aliran besar? pengakuan sepihak atau memang diakui oleh semua theravada (kalau ada subaliran)? kalau confirmed, maka kita katakan: informasi tersebut benar. adalah ada shangha teravada indonesia, dengan pengikut-pengikutnya yang menerima ajaran dari guru-guru di sana. ada pemimpinnya, struktur organisasi, filosofi, histori organisasi, bahkan ada kerjasama internasional, dsb. dan semua school teravada itu sepakat dengan satu filosofi (baca di wiki), mereka junjung tinggi, dan dijalankan secara konsisten.
sekarang kita perhatikan untuk kasus mahayana. di wikipedia pun langsung disebutkan arti mahayana dalam 3 poin, dan hanya poin satu yang mengatakan mahayana sebagai schools (itu pun "largely undisputed by all Buddhist schools." walaupun largely, tetap bukan fully.. menunjukkan masih ada debat mengenai penggunakan kata ini untuk me-refer semua schools sekaligus. kemudian kita cek di lapangan, adakah school mahayana (titik)? adakah pemimpin, struktur organisasi? pengikut? tidak ada yang seperti itu selain school-school Pure Land, Nichiren, Soto Zen, Rinzai, dst. Bahkan tidak ada yang namanya school Zen yang berdiri sendiri. Mungkin ditemukan di beberapa negara yang menyebutkan diri "Mahayana School", tapi itu hanya nama mereka sendiri, samasekali tidak mewakili semua schools di dunia. tidak ada konsistensi "mahayana" di antara semua school tersebut, bahkan sutra yang digunakan pun berbeda, bahkan sebagian membebaskan anggotanya untuk menggunakan sutra apa pun sebagai dasar.
kenapa saya berani berkomentar banyak mengenai mahayana? karena mahayana tidak ada yang memiliki. mahayana adalah istilah dalam buddhism; sama seperti halnya nirvana, dharma, dukkha, samadi, dsb. setiap orang berhak mempunyai tafsir sendiri untuk tiap istilah tersebut. hal ini tidak berlaku untuk theravada, mereka adalah school resmi dengan pengurus-pengurusnya. diberi nama tersebut dengan maksud tertentu sesuai kepentingan mereka. saya tidak berhak memberikan penilaian atau penjelasan selain pengamatan dari luar, apalagi membuat pernyataan atas nama mereka. demikian juga saya tidak berhak memberikan penilaian atau penjelasan dan pernyataan atas nama Pure Land, Nichiren, Soto, Rinzai, selama saya bukan anggota mereka.
demikian saudara dilbert, mengenai school dan non-school.. semoga berguna.
salam,
http://www.kasi.or.id/index.php?hal=about
Konferensi Agung Sangha Indonesia yang dapat disingkat KASI, berdiri pada tanggal 14 November 1998, dimana lembaga ini diprakarsai oleh para Ketua Sangha yang ada di Indonesia yakni :
Y.M. Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira : Ketua Sangha Mahayana Indonesia
Y.M. Bhikkhu Pannavaro Mahathera : Ketua Sangha Theravadha Indonesia
Y.M. Bhiksu Arya Maitri Mahasthavira : Wakil Ketua Sangha Agung Indonesia
KASI adalah Perhimpunan Sangha -Sangha dalam suatu persidangan (konferensi) Agung, dengan berpedoman pada Kitab Suci Agama Buddha (Tripitaka Pali, Mahayana, Tibet/kanjur), Lembaga ini sebagai pengambilan keputusan berpedoman Dhamma (Dhammaniyoga).
[/color]
http://www.kasi.or.id/index.php?hal=about3
SANGHA MAHAYANA INDONESIA
Berdiri tanggal 10 September 1978
Para pendiri :
Bhiksu Dharmabatama Mahasthavira ( Suhu Huat Sien)
Bhiksu Heng Sin
Bhiksu Sakyaputra Mahasthavira ( Suhu Seng Hiong)
Bhiksu Dharmasagaro Sthavira ( Suhu Ting Hay)
Bhiksu Mioa Kai
Bhiksu Ru Kong
Bhiksu Dharmasetya Sthavira ( Suhu Xing Xiu)
Bhiksu Miao Huat
Bhiksu Cong Gie
Bhiksuni Ti Yao
Bhiksuni Beng Kie
Bhiksuni Tuan Sin
LATAR BELAKANG & TUJUAN Menyatukan para bhiksu dan bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan
Melestarikan dan menyebarkan Buddha Dharma di Nusantara
Saat ini Sangha Mahayana dipimpin oleh
YA Sasana Keerthi Dharmasagaro Mahasthavira
Didampingi oleh Sekretaris Jenderal
YM Bhiksu Andhanavira Mahasthavira
Sekretariat :
Vihara Vajra Bodhi
Jl. Padjajaran No. 1 Bogor
Jawa Barat
Tel : 0251 - 325740
[at] sdr.edy,
di KASI nyata nyata ada digolongkan Sangha Mahayana Indonesia setara dengan Sangha Theravada Indonesia. Apakah ini bukan berarti Mahayana dan Theravada dalam artian organisasi ataupun apapun yang dianggap adalah sama. Sedangkan di WALUBI sekarang ini tidak berani mencantumkan Majelis di website-nya karena mayoritas substituen-nya sudah mundur dari WALUBI dan bergabung dalam KASI.
http://www.kasi.or.id/index.php?hal=about
Konferensi Agung Sangha Indonesia yang dapat disingkat KASI, berdiri pada tanggal 14 November 1998, dimana lembaga ini diprakarsai oleh para Ketua Sangha yang ada di Indonesia yakni :
Y.M. Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira : Ketua Sangha Mahayana Indonesia
Y.M. Bhikkhu Pannavaro Mahathera : Ketua Sangha Theravadha Indonesia
Y.M. Bhiksu Arya Maitri Mahasthavira : Wakil Ketua Sangha Agung Indonesia
KASI adalah Perhimpunan Sangha -Sangha dalam suatu persidangan (konferensi) Agung, dengan berpedoman pada Kitab Suci Agama Buddha (Tripitaka Pali, Mahayana, Tibet/kanjur), Lembaga ini sebagai pengambilan keputusan berpedoman Dhamma (Dhammaniyoga).
[/color]
http://www.kasi.or.id/index.php?hal=about3
SANGHA MAHAYANA INDONESIA
Berdiri tanggal 10 September 1978
Para pendiri :
Bhiksu Dharmabatama Mahasthavira ( Suhu Huat Sien)
Bhiksu Heng Sin
Bhiksu Sakyaputra Mahasthavira ( Suhu Seng Hiong)
Bhiksu Dharmasagaro Sthavira ( Suhu Ting Hay)
Bhiksu Mioa Kai
Bhiksu Ru Kong
Bhiksu Dharmasetya Sthavira ( Suhu Xing Xiu)
Bhiksu Miao Huat
Bhiksu Cong Gie
Bhiksuni Ti Yao
Bhiksuni Beng Kie
Bhiksuni Tuan Sin
LATAR BELAKANG & TUJUAN Menyatukan para bhiksu dan bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan
Melestarikan dan menyebarkan Buddha Dharma di Nusantara
Saat ini Sangha Mahayana dipimpin oleh
YA Sasana Keerthi Dharmasagaro Mahasthavira
Didampingi oleh Sekretaris Jenderal
YM Bhiksu Andhanavira Mahasthavira
Sekretariat :
Vihara Vajra Bodhi
Jl. Padjajaran No. 1 Bogor
Jawa Barat
Tel : 0251 - 325740
[at] sdr.edy,
di KASI nyata nyata ada digolongkan Sangha Mahayana Indonesia setara dengan Sangha Theravada Indonesia. Apakah ini bukan berarti Mahayana dan Theravada dalam artian organisasi ataupun apapun yang dianggap adalah sama. Sedangkan di WALUBI sekarang ini tidak berani mencantumkan Majelis di website-nya karena mayoritas substituen-nya sudah mundur dari WALUBI dan bergabung dalam KASI.
Mari kita analisa apa sebenarnya KASI dan "produk"-nya ini..
1. KASI adalah 'konferensi', yang dihadiri oleh berbagai schools of buddhism yang ada di INDONESIA. Tujuannya tentu kira-kira melindungi kepentingan umat buddha di Indonesia menghadapi tantangan secara bersama.
2. KASI, yang didalamnya ada sesepuh Theravada Indonesia (Y.M. Bhikkhu Pannavaro Mahathera) meresmikan keberadaan Sangha Mahayana Indonesia. (Bagaimana ini bisa terjadi? Sampai di sini status Sangha Mahayana ini sudah mulai tidak jelas dasarnya)
3. LATAR BELAKANG & TUJUAN Menyatukan para bhiksu dan bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan Melestarikan dan menyebarkan Buddha Dharma di Nusantara. (Sangha Mahayana, apa tidak seharusnya melestarikan dan menyebarkan Mahayana di Nusantara?)
4. Apa mengajar? Siapa pengikutnya? Apa saja aturan yang ada di SMI yang harus dipatuhi oleh pengikutnya? Jika dikatakan sebagai satu tradisi. (Di sini terlihat sangat besar perbedaannya dengan Sangha Theravada Indonesia).
5. Siapa di dunia ini, yang mengakui Sangha Mahayana Indonesia sebagai otoritas yang berhak mewakili seluruh schools di dunia? Atau setidaknya di Indonesia?
Saudara dilbert, semisal saya memiliki dana yang cukup besar, memberikan sumbangan dalam jumlah yang tidak terkira ke vihara-vihara yang tersebar di Indonesia, merekrut orang-orang pintar dan saya beri gelar kepada mereka Ven.A, Ven.B, Ven.C, kemudian saya mengadakan bakti sosial, mengambil hati umat, dan pada akhirnya saya membentuk Sangha Mahayana Perjuangan Indonesia. Lebih dari apa yang dilakukan SMI, saya kemudian membentuk laskar, cell group (real member), dan dewan perwakilan. Membentuk aturan pokok dan menyiapkan bahan ajaran. Kemudian dengan koneksi pejabat di DPR dan pemerintahan dapat mempengaruhi peresmiannya oleh Dept.Agama, apakah itu berarti akan ada Sekte Mahayana tandingan? Kemudian jika saya proklamirkan sebagai Shangha Mahayana meliputi semua non-Theravada, apa berarti semua school non-Theravada di Indonesia harus patuh dengan satu aturan yang saya tentukan?
SMI, merupakan 'wadah persatuan.' bukan school, bukan tradisi, bukan sekte. Tidak mewakili siapa pun, tidak memiliki filosofi apa pun, dan tidak mempunyai aturan apa pun. SMI berfungsi saat dibutuhkan untuk mengadakan kegiatan bersama antar umat buddha non-Theravada di Indonesia.
Salam,
LANKAVATARA SUTRA
Chapter 7
THEN MAHAMATI ASKED the Blessed One, saying: Pray tell us, Blessed One, about the One Vehicle which the Blessed One has said characterises the attainment of the inner self-realisation of Noble Wisdom?
...
I call this the One Vehicle, not because it is the One Vehicle, but because it is only in solitude that one is able to recognise and realise the path of the One Vehicle. So long as the mind is distracted and is making conscious effort, there can be no culmination as regards the various vehicles; it is only when the mind is alone and quiet that it is able to forsake the discriminations of the external world and seek realisation of an inner realm where there is neither vehicle nor one who rides in it. I speak of the three vehicles in order to carry the ignorant.
Sutra of the Sixth Patriarch
Chapter 6
Moreover, the Sutra plainly teaches that there is only the one Buddha vehicle; that there are no others, no second, no third. It is because there is only one vehicle that Buddha had to preach to us with innumerable skillful means such as various reasons and argument, various parables and illustrations, etc. Do you not understand that the other three vehicles are makeshifts, useful for the past only; while the sole vehicle, the Buddha vehicle, is for the present because it is ultimate?
Chapter 8
The Patriarch continued, "Defilement (klesa) is wisdom (bodhi); The two are the same and are not different from each other. To break up klasa by Bodhi is only a teaching of the followers of the 'Small' and 'Middle' vehicles. To those of keen intellect and superior mental attainment, such teaching is disapproved."
"What, then, is the teaching of the Mahayana?"
"From the point of ordinary men," replied the Patriarch, "enlightenment and ignorance are two separate things. Wise men who thoroughly realise Mind-essence, know that they are of the same nature. This sameness of nature, that is, this non-duality of nature, is what is called 'true nature'; it neither decreases in the case of an ordinary man and ignorant person, nor increases in the case of an enlightened sage; it is undisturbed in an annoying situation, and is calm in Samadhi. It is neither eternal, nor not-eternal; it neither goes, nor comes, it is to be found neither in the interior, nor in exterior, nor in the space intervening between. It is beyond existence and nonexistence; its nature and its phenomena are always in a state of 'tathata'; it is both permanent and immutable. Such is the Norm."
Lotus Sutra Chapter 2
"By means of one sole vehicle, to wit, the Buddha-vehicle, Sâriputra, do I teach
creatures the law; there is no second vehicle, nor a third."
"I myself also, Sâriputra, am at the present period a Tathâgata, &c., for the
weal of many (&c., till) manifold; I myself also, Sâriputra, am preaching the law
to creatures (&c., till) the right path. Such is the law I preach to creatures.
And those creatures, Sâriputra, who now are hearing the law from me, shall all of
them reach supreme, perfect enlightenment. In this sense, Sâriputra, it must be
understood that nowhere in the world a second vehicle is taught, far less a
third."
"There is but one vehicle, Sâriputra, and that the Buddha-vehicle."
"53. There is, indeed, but one vehicle; there is no second, nor a third anywhere
in the world, apart from the case of the Purushottamas using an expedient to show
that there is a diversity of vehicles"
"68. It is but my skilfulness which prompts me to manifest three vehicles; for
there is but one vehicle and one track; there is also but one instruction by the
leaders."
btw friends, saya sering dengar buddha menyatakan kira2 begini: "setelah meninggal, kalau ada ajaranku yang perlu diubah, ubah lah (sesuai kebutuhan (?))" sampai sekarang saya belum sempat mencari sutra mana yang ada pernyataan itu. apa ada yang bisa beritahu ada yang seperti itu di mana?
Sangha MAhayana Indonesia terbentuk pada tahun 1978, Sedangkan KASI sendiri terbentuk pada tahun 1998, karena tiga organisasi buddhis utama di Indonesia (yaitu Sangha theravada, Sangha Mahayana dan Sangha Agung) keluar dari WALUBI dan sepakat membentuk suatu Konferensi...
kelihatannya sdr.edy membela argumen awal yang dari semula sudah "SALAH", mengatakan bahwa Mahayana itu seperti contoh kasus di Indonesia tidak ada organisasinya dsbnya... Tetapi ketika disodorkan bukti bahwa ada Organisasi yang menaungi kaum Mahayana, malah sdr.edy berkilah bahwa Sangha Mahayana Indonesia itu diresmikan oleh KASI (yang malah dalam kurung dikatakan ada sesepuh Theravada Pannavaro "bermain")...
boleh sdr.edy bentuk yang semacam ini, lihat apakah memang bisa di"giring" para non-theravada ke dalam ?
justru KASI itu terbentuk karena para anggota SANGHA sudah tidak mau dipelintir oleh oknum oknum yang notabene bukan anggota SANGHA tetapi memperdaya anggota SANGHA demi kepentingan kelompok sendiri. Sekarang ini KASI murni terdiri dari para anggota SANGHA yang tahu persis apa yang terbaik baik organisasi buddhis.
btw friends, saya sering dengar buddha menyatakan kira2 begini: "setelah meninggal, kalau ada ajaranku yang perlu diubah, ubah lah (sesuai kebutuhan (?))" sampai sekarang saya belum sempat mencari sutra mana yang ada pernyataan itu. apa ada yang bisa beritahu ada yang seperti itu di mana?
tepatnya bukan ajaran yang diperbolehkan diubah tp berkaitan dgn pelaksanaan peraturan2 minor dalam vinaya.
_/\_
Before the Buddha’s was to pass into nirvana, he told Ananda that if the Order wished to amend or modify some 'minor' rules after his passing, they could do so. But on that occasion Ananda, overpowered by grief on hearing of the Buddha’s impending passing, it did not occur to him to ask what the “minor” rules were.
As the members of the First Council were unable to agree as to what constituted those minor rules, Maha Kassapa finally ruled that no disciplinary rule laid down by the Buddha should be changed and that no new ones should be introduced. No intrinsic reason was given. Maha Kassapa did say one thing, however: “If we changed the rules, people would say that Ven. Gautama’s disciples changed them even before his funeral pyre had gone out.
Nah.. ini kutipan dari sutra-sutra yang ditanyakan saudara dilbert, mengenai One Buddha Vehicle. Tujuan saya posting di sini adalah untuk menunjukkan tidak ada kata mahayana/great vehicle/one vehicle/buddha vehicle yang merajuk ke satu kelembagaan/sekte. Semua tentang ajaran.QuoteLANKAVATARA SUTRA
Chapter 7
THEN MAHAMATI ASKED the Blessed One, saying: Pray tell us, Blessed One, about the One Vehicle which the Blessed One has said characterises the attainment of the inner self-realisation of Noble Wisdom?
...
I call this the One Vehicle, not because it is the One Vehicle, but because it is only in solitude that one is able to recognise and realise the path of the One Vehicle. So long as the mind is distracted and is making conscious effort, there can be no culmination as regards the various vehicles; it is only when the mind is alone and quiet that it is able to forsake the discriminations of the external world and seek realisation of an inner realm where there is neither vehicle nor one who rides in it. I speak of the three vehicles in order to carry the ignorant.QuoteSutra of the Sixth Patriarch
Chapter 6
Moreover, the Sutra plainly teaches that there is only the one Buddha vehicle; that there are no others, no second, no third. It is because there is only one vehicle that Buddha had to preach to us with innumerable skillful means such as various reasons and argument, various parables and illustrations, etc. Do you not understand that the other three vehicles are makeshifts, useful for the past only; while the sole vehicle, the Buddha vehicle, is for the present because it is ultimate?
Chapter 8
The Patriarch continued, "Defilement (klesa) is wisdom (bodhi); The two are the same and are not different from each other. To break up klasa by Bodhi is only a teaching of the followers of the 'Small' and 'Middle' vehicles. To those of keen intellect and superior mental attainment, such teaching is disapproved."
"What, then, is the teaching of the Mahayana?"
"From the point of ordinary men," replied the Patriarch, "enlightenment and ignorance are two separate things. Wise men who thoroughly realise Mind-essence, know that they are of the same nature. This sameness of nature, that is, this non-duality of nature, is what is called 'true nature'; it neither decreases in the case of an ordinary man and ignorant person, nor increases in the case of an enlightened sage; it is undisturbed in an annoying situation, and is calm in Samadhi. It is neither eternal, nor not-eternal; it neither goes, nor comes, it is to be found neither in the interior, nor in exterior, nor in the space intervening between. It is beyond existence and nonexistence; its nature and its phenomena are always in a state of 'tathata'; it is both permanent and immutable. Such is the Norm."QuoteLotus Sutra Chapter 2
"By means of one sole vehicle, to wit, the Buddha-vehicle, Sâriputra, do I teach
creatures the law; there is no second vehicle, nor a third."
"I myself also, Sâriputra, am at the present period a Tathâgata, &c., for the
weal of many (&c., till) manifold; I myself also, Sâriputra, am preaching the law
to creatures (&c., till) the right path. Such is the law I preach to creatures.
And those creatures, Sâriputra, who now are hearing the law from me, shall all of
them reach supreme, perfect enlightenment. In this sense, Sâriputra, it must be
understood that nowhere in the world a second vehicle is taught, far less a
third."
"There is but one vehicle, Sâriputra, and that the Buddha-vehicle."
"53. There is, indeed, but one vehicle; there is no second, nor a third anywhere
in the world, apart from the case of the Purushottamas using an expedient to show
that there is a diversity of vehicles"
"68. It is but my skilfulness which prompts me to manifest three vehicles; for
there is but one vehicle and one track; there is also but one instruction by the
leaders."
Saya cukup yakin mengenai isi sutra-sutra tersebut karena liburan tahun baru kemaren saya habiskan untuk membaca semua. ;) Tidak ada maksud lain.. saya cuma ingin mengutarakan betapa confident mengatakan bahwa mahayana itu adalah ajaran, bukan tradisi/sekte.
Mengenai bahwa Theravada mengajarkan ajaran Buddha, itu adalah kesimpulan saya. Dari mana? Karena mereka adalah orang-orang yang berusaha mempertahankan Kanon Pali Tipitaka sebagai pedoman belajar. Rasanya Kanon Pali tidak perlu dijelaskan kenapa bisa dipastikan sebagai "ajaran Buddha." Dan di sana kita tidak mengenal istilah mahayana dan hinayana, apalagi sebagai definisi kelembagaan/sekte.
Salam,
point point inilah yang mendasari perbedaan pendapat antara Theravada dan MAhayana dimana pada Theravada dikatakan bahwa seorang Savaka Buddha adalah SUDAH FINAL (FINISH), sedangkan menurut Mahayana, para Sravaka masih bisa melanjutkan "perjalanan hidup" lagi dan menempuh karir bodhisatva hingga mencapai tingkat 10.
Kata Theravada sendiri artinya adalah Ajaran sesepuh, (Thera = sesepuh/tetua dan vada = ajaran/ucapan), adalah diidentikkan dengan ajaran dari aliran Sthavira yang menurut "cerita" dalam konsili Sangha III itu berusaha mempertahankan ajaran-ajaran lama. Sedangkan kata-kata Mahayana sendiri muncul dari sutra sutra mahayana, dan ...
... menurut ajaran Mahayana, dan juga dikatakan sebagai satu kendaraan, karena ajaran Mahayana juga membawa kepada satu tujuan yaitu pencapaian penerangan sempurna (kebuddhaan)."
Hanya saja ajaran Mahayana menitikberatkan pada jalur bodhisatva untuk pencapaian sammasambuddha, dimana dikenal adanya tingkatan tingkatan bodhisatva, dan para sravaka (diidentikkan dengan pencapaian oleh para sthaviradin/theravadin) adalah setara dengan bodhisatva tingkat ke-7, dan menurut sutra mahayana, bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
point point inilah yang mendasari perbedaan pendapat antara Theravada dan MAhayana dimana pada Theravada dikatakan bahwa seorang Savaka Buddha adalah SUDAH FINAL (FINISH), sedangkan menurut Mahayana, para Sravaka masih bisa melanjutkan "perjalanan hidup" lagi dan menempuh karir bodhisatva hingga mencapai tingkat 10.
tepatnya bukan ajaran yang diperbolehkan diubah tp berkaitan dgn pelaksanaan peraturan2 minor dalam vinaya.
_/\_
http://wisdomquarterly.blogspot.com/2008/08/mahayana-theravada-difference.html (dari buku Gems of Buddhist Wisdom, karangan Dr. W. Rahula):QuoteBefore the Buddha’s was to pass into nirvana, he told Ananda that if the Order wished to amend or modify some 'minor' rules after his passing, they could do so. But on that occasion Ananda, overpowered by grief on hearing of the Buddha’s impending passing, it did not occur to him to ask what the “minor” rules were.
As the members of the First Council were unable to agree as to what constituted those minor rules, Maha Kassapa finally ruled that no disciplinary rule laid down by the Buddha should be changed and that no new ones should be introduced. No intrinsic reason was given. Maha Kassapa did say one thing, however: “If we changed the rules, people would say that Ven. Gautama’s disciples changed them even before his funeral pyre had gone out.
Then the Blessed One said to Ven. Ananda, "Now, if it occurs to any of you — 'The teaching has lost its authority; we are without a Teacher' — do not view it in that way. Whatever Dhamma & Vinaya I have pointed out & formulated for you, that will be your Teacher when I am gone.
"At present, the monks address one another as 'friend,' but after I am gone they are not to address one another that way. The more senior monks are to address the newer monks by their name or clan or as 'friend.' The newer monks are to address the more senior monks as 'venerable' or 'sir.'
"After I am gone, the sangha — if it wants — may abolish the lesser & minor training rules.
The Cullavagga (XI.9) tells of how the monks at the First Council could not agree on which rules should be classed as lesser & minor. Ven. Ananda himself confessed that he neglected to ask the Buddha on this point. One of the monks made a motion that — since many of the rules affect the laity, and the laity would look down on the monks for rescinding them after the Buddha's death — none of the rules should be rescinded. This motion was adopted by the Council.
Waduh... ada lagi anggapan kalau Theravada bukan sekte ya..... ya sudah.... kalau gitu rame2 aja kita ganti nama Sangha Theravada jadi Sangha Mahaviharavasin terus ada juga Majelis Agama Buddha Mahaviharavasin Indonesia......wkwkwk....atau..... Majelis Buddha Dhammayut Indonesia??
Soalnya kalau pake "Theravada"..... para bhiksu Mahayana dan Vajrayana di Indonesia semuanya ya bhiksu Theravada [Sthaviravada]!!
Hinayana tentu anda sudah tahu, tidak hanya mencakup Theravada saja. Bahkan ketika penulis Mahayana di India mengatakan Hinayana, biasanya yang dimaksud adalah sekte Sarvastivada dan Sautantrika. Bahkan kelompok Mahasanghika juga Hinayana.
Theravada (Skt. Sthaviravada) sebenarnya mencakup berbagai anak sekte di dalamnya.... seperti Pudgalavadin, Vatsiputriya, Mahisasaka, Dharmagupta, Mahaviharavasin, Sarvastivada, Mula-sarvastivada, Abhayagirivasin dan Sammitiya.
Namun di masa modern ini, istilah "Theravada" hanya menunjuk pada golongan Mahaviharavasin saja.
Padahal kalau mau dilihat lagi, semua bhiksu Tiongkok dan Tibet yang juga bhiksu Theravada [Sthaviravada]. Maka dari itu di belakang nama para Bhiksu Mahayana digunakan "Sthavira" [Thera] atau "Mahasthavira" [Mahathera], karena mereka menggunakan Vinaya Dharmagupta yang merupakan salah satu percabangan dari Sthaviravada, seperti:
Bhiksu Dharmabatama Mahasthavira ( Suhu Huat Sien)
Bhiksu Sakyaputra Mahasthavira ( Suhu Seng Hiong)
Bhiksu Dharmasagaro Sthavira ( Suhu Ting Hay)
Bhiksu Dharmasetya Sthavira ( Suhu Xing Xiu)
Dalam sosiologi agama "sekte" umumnya adalah sebuah kelompok keagamaan atau politik yang memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-masalah doktriner.
Nah, Mahayana adalah kebalikannya. Mahayana tidak memisahkan diri. Mahayana adalah kendaraan atau wahana (yana) yang menyatukan semua sekte, seperti yang kita lihat pada kitab Manjusri Pariprccha Sutra. 18 aliran agama Buddha adalah keluarga besar Mahayana. Mahayana adalah gerakan non-sektarian. Mahayana adalah gerakan reformasi ketika 18 aliran saling gontok-gontokan dengan Abhidharma-nya masing-masing.
“Sekte Mahasanghika akan terbagi menjadi tujuh bagian
Sekte Sthavira menjadi sebelas bagian,
Inilah apa yang kita istilahkan sebagai 12 sekte [dari Mahasthavira],
Delapan belas termasuk di dalamnya dua sekte awal,
Semua ini muncul dari Mahayana"
(Manjusri Pariprccha Sutra)
“Meskipun kelima sekte [utama - Mahasanghika, Dharmagupta, Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka] ini berbeda satu sama lainnya, namun mereka tidak mengganggu semua Dharmadhatu dari Buddha dan Nirvana Agung”
(Mahavaipulyamahasamnipata Sutra)
Sehelai pakaian yang tidak terobek oleh tangan 18 orang pria, setelah helai pakaian yang mula-mula dibagi menjadi 18 helai, menandakan bahwa meskipun Ajaran Buddha akan terbagi menjadi 18 sekte, masing-masing sekte akan mendapatkan kesempatan untuk mencapai pencerahan.
(Sumagadhavadana)
Bahkan para pandita Mahayana semuanya ditahbiskan menurut Vinaya yang berbeda-beda... ada yang Mahasanghika... ada yang Sarvastivada.... ada yang Sammitiya... ada yang Mulasarvastivada.....Bahkan di Srilanka, vihara Abhayagiri adalah tempat "Mahayana Theravadin [-Vibhajyavadin]". Dan sekarang kita lihat di Vihara-vihara Mahayana ada "Mahayana Dharmaguptaka" dan di vihara-vihara Vajrayana ada "Mahayana Mulasarvastivada".
Namun sesuai hukum alamiah, maka tak dihindari lagi Mahayana juga menjadi sebuah sekte di negara-negara Asia Timur, namun aslinya di India, Mahayana adalah sebuah gerakan. Sama seperti Buddhayana di Indonesia, konsep yang mendasari Buddhayana adalah gerakan non-sekte, tapi akhirnya malah menjadi sebuah sekte. Tapi toh meskipun demikian saya masih sangat menghargai Buddhayana, karena meskipun sudah menjadi sekte, semangat non-sekte mereka masih sangat kuat.
Bahkan Handaka Vijjananda dari Buddhayana pun mampu menyajikan buku Theravada yang sangat bagus dan otentik seperti Riwayat Agung Para Buddha, tanpa tercampur-campur dengan aliran lain!!
_/\_
The Siddha Wanderer
Gak masalah donk... kalau Theravada mau diganti jadi Mahaviharavasin atau yang lain... bagaimanapun kan yang diganti label... yang jadi masalah kan katanya theravada itu adalah sekte sedangkan mahayana adalah ajaran... Lha yang diquote oleh sdr.edy tentang mengapa mahayana disebut ajaran sedangkan theravada bukan adalah berkaitan dengan organisasi, dan sbg-nya... dan semua itu kan sudah dibuktikan bahwa mahayana pun memiliki apa yang dimiliki oleh theravada khususnya di Indonesia... kalau mau bandingkan, juga bandingkan dengan mahayana, theravada dan tantra di luar negeri.
BAgaimana dengan di Malaysia, Singapura dan beberapa negara yang memiliki keragaman aliran buddhisme... Kalau dibandingkan dengan di Thailand yang notabene mayoritas Theravada tentunya yang mahayana tidak begitu eksis... kalau di daerah asia timur seperti China, Jepang dan Taiwan, maka yang mayoritas adalah aliran aliran mahayana sedangkan yang theravada tidak begitu eksis... kalau di Tibet, kan yang mayoritas adalah tantra/vajrayana sedangkan mahayana (diluar tantra) dan theravada juga tidak begitu eksis...
Apakah Theravada di Thailand bukan ajaran ? apakah mahayana (beserta semua aliran spt aliran sukhavati, aliran chan, aliran tian tai dsbnya) di Asia Timur bukan ajaran ? Apakah Tantra/Vajrayana di Tibet bukan ajaran ? Saya kira semuanya di daerah tersebut menyatakan bahwa ajaran yang diikuti merupakan ajaran buddha...
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
sutra mahayana konsisten ga?
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
duh pak dia ajah masih salah mengartikan arti teravada ( tera = kecil vada = kendaraan). dia aja masih salah mengartikannya
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
duh pak dia ajah masih salah mengartikan arti teravada ( tera = kecil vada = kendaraan). dia aja masih salah mengartikannya
tera = kecil vada = kendaraan -> ambil dari kamus mana?
theravada tanpa mahayana tidak seimbang, bergitu juga sebaliknya ha..
sama2 ajaran buddha kok beda yah
saya baru baca buku Mahayana karangan Jo Priastana ,buku berwarna merah,disitu terang2an tertulis bahwa Hinayana = Theravada karena bersikukuh pada keterikatan Vinaya dimana dianggap Mahayana sebagai 2 ekstrim yaitu pemuasaan diri dan penyiksaan diri. sedangkan Mahayana menitikberatkan pada penafsiran yang lebih liberal dari Ajaran Buddha.
Mereka menggunakan penolakan Arahat Purana pada Konsili I sebagai titik awal kemunculan Mahayana,dan pada konsili ketiga terdapat rapat dari mereka yang sudah Arahat(Mahasangiti) dan tergabung mereka yang belum mencapai apa-apa(Mahasanghika) sehingga terjadilah sebuah sistem tafsir menafsir sesuai keperluan pribadi.
saya baru baca buku Mahayana karangan Jo Priastana ,buku berwarna merah,disitu terang2an tertulis bahwa Hinayana = Theravada karena bersikukuh pada keterikatan Vinaya dimana dianggap Mahayana sebagai 2 ekstrim yaitu pemuasaan diri dan penyiksaan diri. sedangkan Mahayana menitikberatkan pada penafsiran yang lebih liberal dari Ajaran Buddha.
Mereka menggunakan penolakan Arahat Purana pada Konsili I sebagai titik awal kemunculan Mahayana,dan pada konsili ketiga terdapat rapat dari mereka yang sudah Arahat(Mahasangiti) dan tergabung mereka yang belum mencapai apa-apa(Mahasanghika) sehingga terjadilah sebuah sistem tafsir menafsir sesuai keperluan pribadi.
nama bukunya ?
Terbitannnya?
menurut pandangan g mah dia tulis itu yang teravadanya itu hinaya fanatik kale.
saya baru baca buku Mahayana karangan Jo Priastana ,buku berwarna merah,disitu terang2an tertulis bahwa Hinayana = Theravada karena bersikukuh pada keterikatan Vinaya dimana dianggap Mahayana sebagai 2 ekstrim yaitu pemuasaan diri dan penyiksaan diri. sedangkan Mahayana menitikberatkan pada penafsiran yang lebih liberal dari Ajaran Buddha.
Mereka menggunakan penolakan Arahat Purana pada Konsili I sebagai titik awal kemunculan Mahayana,dan pada konsili ketiga terdapat rapat dari mereka yang sudah Arahat(Mahasangiti) dan tergabung mereka yang belum mencapai apa-apa(Mahasanghika) sehingga terjadilah sebuah sistem tafsir menafsir sesuai keperluan pribadi.
nama bukunya ?
Terbitannnya?
menurut pandangan g mah dia tulis itu yang teravadanya itu hinaya fanatik kale.
gw ada bukunya warna merah sama.kalo baca buku itu pengen gw bakar iya.hahahha
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
Bro Purnama,
apakah anda mengatakan bahwa Mahayana berkembang karena tidak mampu menjaga Vinaya?
setau gw referensinya dari kitab gede mahayana indonesia ..tau ga yang segede kamus itu,nah dia sarikan ke buku kecil.Refrensi dia pasti banyak pak, penulis kadang itu menulis dari segi pandangnya sendiri atau asal mengecap
referensi dia sedikit pak...kebanyakan dari kitab besar itu..lihat aja daftar pustakanya
ntahlah begitulah terkadang mereka yang mengaku memiliki sarjana buddhist belum tentu ngerti pendidikan dia sendiri.
referensi dia sedikit pak...kebanyakan dari kitab besar itu..lihat aja daftar pustakanya
gimana g mau liat pak. Aku belum baca ???.
nah kalo refrensi sedikit biasanya salah tuh.
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
duh pak dia ajah masih salah mengartikan arti teravada ( tera = kecil vada = kendaraan). dia aja masih salah mengartikannya
tera = kecil vada = kendaraan -> ambil dari kamus mana?
Pelajaran agama buddha dasar dari departemen pendidikan pak
Kalau yang dimaksudkan oleh Bro Purnama dengan "Kendaraan Kecil" , maka itu dalam terminoloy Buddhis yang saya pahami adalah "Hinayana" ( Hina = Kecil ; Yana = Jalan / Kendaraan ).
_/\_
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
duh pak dia ajah masih salah mengartikan arti teravada ( tera = kecil vada = kendaraan). dia aja masih salah mengartikannya
tera = kecil vada = kendaraan -> ambil dari kamus mana?
Pelajaran agama buddha dasar dari departemen pendidikan pak
Thera = Sesepuh ( The Elders ). Untuk yang satu ini saya sangat yakin.
Sedangkan Vada, saya agak lupa, tapi sepertinya berarti ( atau sinonim dengan ) = Ajaran.
Itulah sebabnya, mengapa kata "Theravada" bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya menjadi : Ajaran Para Sesepuh.
Bila ada kekeliruan, mohon yang lebih mengerti untuk sudi memberikan koreksinya.
Mettacittena.
_/\_ :lotus:
aku tidak setuju kalau Theravada adalah tradisi, Vada sendiri kan artinya ajaran, thera : Sesepuh. sedangkan Mahayana lebih sebagai gerakan (kendaraan) yang besar, menurut saya mengarah pada gagasan.
mahayana yang dulu (yang bukan skolastik) tidak bisa dibandingkan dengan theravada.
koreksi teravada bukan itu artinya, kalo artinya seperti itu anda namanya baru belajar
Bro Purnama,
dengan menyebut orang lain sebagai "baru belajar" anda telah memposisikan diri sebagai "advance", bagaimana definisi theravada dari sudut pandang anda "yang advance"?
duh pak dia ajah masih salah mengartikan arti teravada ( tera = kecil vada = kendaraan). dia aja masih salah mengartikannya
tera = kecil vada = kendaraan -> ambil dari kamus mana?
Pelajaran agama buddha dasar dari departemen pendidikan pak
Thera = Sesepuh ( The Elders ). Untuk yang satu ini saya sangat yakin.
Sedangkan Vada, saya agak lupa, tapi sepertinya berarti ( atau sinonim dengan ) = Ajaran.
Itulah sebabnya, mengapa kata "Theravada" bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya menjadi : Ajaran Para Sesepuh.
Bila ada kekeliruan, mohon yang lebih mengerti untuk sudi memberikan koreksinya.
Mettacittena.
_/\_ :lotus:
Kalau yang dimaksudkan oleh Bro Purnama dengan "Kendaraan Kecil" , maka itu dalam terminoloy Buddhis yang saya pahami adalah "Hinayana" ( Hina = Kecil ; Yana = Jalan / Kendaraan ).
_/\_
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
mensakralkan vinaya ?
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
mensakralkan vinaya ?
Ada kemungkinan beberapa aliran teravada masih bro, kayaknya ada juga yang mengalami perkembangan, kadang sulit diketahui pasti yang mana aliran yang masih menjaga vinaya dari pertama, ada juga aliran tera yang mengalami perkembangan, perlu investigasi, dan penelitian bro
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
Ajahn Mun bahwa para Arahanta datang mendiskusikan Dhamma dengannya dan mendemostrasikan cara mereka merealisai Parinibbana
For all:
Mahāyāna: Kendaraan besar.
Hinayāna: Kendaraan rendah. Hina berarti 'rendah'. Sebenarnya, istilah 'hina' dalam bahasa Indonesia juga bermakna sama dengan kata 'hina' dalam bahasa Pali ini.
Theravāda: Ajaran para sesepuh. Selain bermakna 'ajaran' istilah 'vāda' memang bisa diartikan 'ucapan dan juga 'pandangan'.
Meskipun para penganut Theravāda dianggap Mahāyāna sebagai orang2 yang mengikuti Kendaraan rendah (Hinayāna), ajaran Theravāda sendiri tidak menganggap ajarannya sebagai Hinayāna. Istilah Hinayāna digunakan oleh para penganut Mahāyana semata-mata untuk membedakan mereka dari para penganut sekte2 agama Buddha lain yang puas hanya dengn pencapaian arahat.
Be happy.
Tipitaka juga tidak bisa dipercayai 100% sebagai monopoli dhamma[ diluar tipitaka semua salah] , apalagi Tripitaka yg menurut saya lebih parah.
misalkan saja dalam Tipitaka dikatakan bahwa setelah kematian seorang arahat, maka ibarat lilin habis berserta sumbu nya habis....
bagaimana mungkin seorang bhante yg dikagumi sentaro Thailand AjahnMun, malah berbalik kata
bahwaQuoteAjahn Mun bahwa para Arahanta datang mendiskusikan Dhamma dengannya dan mendemostrasikan cara mereka merealisai Parinibbana
apakah buku-nya salah? atau isinya salah? atau pengarang nya keliru mendengar...atau gimana?
tentu saja berkontradiksi jauh dengan apa yg terjadi dalam sutta setelah parinibbana....
kemudian dalam salah satu buku Mahaboowa, tertulis bahwa disana para buddha memberi selamat atas pencapaian beliau[AM]...
apakah ini kasus sama juga dengan kasus Albert Enstein yg memuji-muji agama buddha yang ternyata tidak ada tulisan sama sekali mengenai agama kosmis dan agama buddha.
---------------------------------------------------------------------------------
sy rasa lebih baik kembali ke basic,
belajar sendiri, lihat sendiri, rasakan sendiri.......
ini di-ibaratkan main dalam labirin,dhamma dalam Tipitaka buat saya saat ini ibarat penunjuk arah [ sebelum masuk labirin ]...ditulis bahwa finish nya nanti akan ada buah mangga di atas piring..!!!
tetapi ketika kita memasuki labirin, entah mana pengangan kita, bisa saja finish nya itu ternyata ada mangga dan apel di atas piring....
jadi cukup dengan nasehat sederhana yg tercatat....
Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`”
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.`”
Begitu juga dalam SatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Upali :
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.`"
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.`”
yg pada point nya adalah "akhir dari dukkha"
[at] dilbert, rasanya emang cocok koq...
Theravada itu kumpulan orang-orang kolot yg ngikutin bulat-bulat apa yg diajarin siddartha
smentara
Mahayana itu Ajaran yang sudah dikembangkan, ditambah oleh beberapa orang-orang,
bahwa seorang sravaka bahkan bisa "keluar" lagi dari kondisi sravaka untuk maju meningkatkan kualitas mencapai annutara samyaksambuddha (bodhisatva tingkat 10).
bro kemenyan. saya rasa tidak baik menuduh teravada seperti itu, Sang Buddha itu tidak pernah mengajari sistem monesterik, alias fanatisme, justru malahan orang yang fanatik buta ditentang Buddha. masalahnya sistem ortodoktisme aliran teravada dan mahayana sangat berbeda, Tera mampu menjaga vinaya mereka jadi mensakralkan vinaya mereka, kekurangannya saking disakralkannya itu tidak berkembang. hanya itu itu saja, lagi pula yang menulis sutta dan sutra jelas muridnya beliau, bukan beliau sendiri
mensakralkan vinaya ?
Ada kemungkinan beberapa aliran teravada masih bro, kayaknya ada juga yang mengalami perkembangan, kadang sulit diketahui pasti yang mana aliran yang masih menjaga vinaya dari pertama, ada juga aliran tera yang mengalami perkembangan, perlu investigasi, dan penelitian bro
Vinaya itu timbul tidak serta merta lengkap sekaligus, melainkan muncul satu persatu sesuai dengan pertimbangan BUDDHA maupun USULAN dari sangha pada waktu itu sebagai tuntunan yang dianggap perlu sebagai tuntunan dalam kehidupan seorang siswa sangha yang meninggalkan keluarga dan hidup sebagaimana seorang brahmana sejati.
seorang anggota sangha yang mengambil sila bhikkhu/
semuanya menuju ke jalan beruas delapan , apa pandangan theravada dan mahayana berbeda pada hal tsb? dimana perbedaannya?
saking fleksibelnya sutta palsu pun di biarkan berkembang sehingga orang2 mempunyai pandangan salah pun yah fleksibel lah ckckckckck
by Purnama
4. Konsep ajaran teravada lebih condoh Self center sebagai jalan kesempurnaan, alias semua berasal dari diri sendiri, kalo mahayana lebih kearah metta, Alias sikap menghilangkan dualitas, selain diri sendiri dan juga mau membantu semua mahluk menuju kesempurnaan.
6 Teravada tidak melakukan sosialisasi budaya dengan masyarakat setempat, sedangkan mahanyana mampu menembus sistem akar budaya masyarakat setempat.
Wah, pandangan diatas dapat darimana om pur? kalau bhikkhu theravada bacaiin paritta kepada umat yg meninggal, memberi blessing, lalu mengajarkan meditasi agar umat atau bhikkhu lainnya menjadi sempurna , apakah itu SELF CENTRE dan tidak membantu makhluk lain untuk menjadi sempurna.? Dan kalau juga Self- centre maka tidak perlu ada umat bukan?
==> dimaksud self center itu adalah keakuan, lebih mengarah kesana, bukan arah ke egoan, u maksud itu ke egoan,
Theravada pada puncaknya menghancurkan keakuan ^-^ makanya ada anatta bos.
Pernyataan diatas sangat tidak relevan dan kesimpulan sepihak. Buktinya membaca parita saja ada intonasi Srilangka , Myanmar dan Thailand sesuai dengan kultur setempat. Seharusnya ada hal2 yg bisa mengikuti budaya setempat dan hal2 yg tidak bisa. Contohnya jika kebudayaan setempat mempercayai ketakhayulan apakah harus diikuti?
==> anda lihat beberapa kasus myanmar dan thailand bhiksu pada demontrasi apa yang dilakukan pemerintah,
Beberapa contoh tera juga mengalami ketakahayulan yang harus diikuti contoh thailand, Dewa empat muka si mien fo ada ngak ?. itu Dewa lokh diangkat tinggi direspek orang tailand bahkan ditempatkan divihara teravada.
Berarti Mahayana juga tidak lebih baik bukan? :)) dan artinya anda juga mengiyakan bahwa theravada bisa masuk ke akar budaya setempat sekalipun itu takhayul seperti yg anda katakan sendiri. ^-^
Dan yang fatalnya ada beberapa bhikkhu yg dari tiongkok(yg katanya mahayana menurut om pur) ngajarin juga fengshui,kwamia dsb yg sebenarnya banyak ajaran dari Taoisme. Akhirnya gado2, apakah itu juga dikatakan menembus akar kebudayaan setempat?. Menurut saya tidak pada tempatnya dalam kehidupan beragama. Jangan salahkan orba melulu, tetapi periksa fakta2 yg ada.
Dan kalau katanya mahayana dari Tiongkok, banyak nih kalo mo dibahas... chuckle tapi ngak perlu akh nanti banyak yg sensi lagi. chuckle =>
Jawab fengsui itu tao kata siapa ?
Kwamia itu Tao kata siapa ?
menurut ente siapa?
Buddha meramal dhamma bakalan menghilang 10000 tahun itu bukan kwamia namanya, ramal Buddha maitreya akan muncul itu bukan ramalan namanya,
beda bos....sama ilmu kwamia
Buddha Tiongkok itu gado gado kata siapa?. Kata anda, anda kalau mempelajari dengan seksama dan teliti, jangan kata siapa, jangan kayak orang MUI teriak 2012 kata orang itu sesat, baca aja belum, teliti belum, mau bicara kata siapa?
Gado2 kata gue tapi bukan Buddhanya tapi kebanyakan buddhismnya.
Kalo di mahayana kesempurnaan dilatih oleh diri sendiri atau tinggal orang lain bacakan mantra maka orang itu langsung masuk surga?
==> apa beda pernyataan anda dengan tulisan anda sendiri mengenai
"alau bhikkhu theravada bacaiin paritta kepada umat yg meninggal, memberi blessing, lalu mengajarkan meditasi agar umat atau bhikkhu lainnya menjadi sempurna , apakah itu SELF CENTRE dan tidak membantu makhluk lain untuk menjadi sempurna.? Dan kalau juga Self- centre maka tidak perlu ada umat bukan?" ini baca mantra juga dong, kalo gitu orangnya belum tentu masuk surga yah ?.
Jangan pikiran anda jadi self spectrum sendiri alias dipersempit, berpandangan luas, bergaul dulu dengan orang lain, baru paham kebenarannya
sory bos gua ngak banyak gaul, dan emang sempit tapi ngak salah seperti anda mengartikan Thera=kecil, vada= kendaraan. Dan tidak ada kamus yg namanya hinaya teravada. yg ada kata hinayana pada sutra mahayana. gitu bos pandangan saya yg sempit dan kurang gaul. Silakan dicek ya.. ;D
Untuk bro bond Sorry bro u mesti tau beberapa sekte teravada asal u mau tau ada yang hinaya masih megang tradisi lama, alias tradisi hutan, asal u tahu bhiku teravada yang menjalankan tradisi hutan, akan mengatakan bhiku yang hidup divihara itu sudah terkontiminasi sama yang namanya era modern, alias hinayanya udah luntur. memang ada tudingan Teravada akan egoism, asal anda tau, karena banyak bante teravada di luar Indonesia itu peduli diri sendiri dari pada umat asal anda tahu, sering sering bergaul sama orang Budhis di birma, srilangka, bakalan tau kebernarannya ternyata teravada ngak sepikir anda kira, itu namanya The ugly Truth( kenyataan yang paling pahit). Tidak ada satupun aliran itu mulus perjalanannya atau paling benar.
Satu hal lagi masalah tread ini ngak cocok di thread mahayana. please di moving.
Kalo nanya perbandingan tera dan maha jangan thread maha kenapa?
Untuk bro bond Sorry bro u mesti tau beberapa sekte teravada asal u mau tau ada yang hinaya masih megang tradisi lama, alias tradisi hutan, asal u tahu bhiku teravada yang menjalankan tradisi hutan, akan mengatakan bhiku yang hidup divihara itu sudah terkontiminasi sama yang namanya era modern, alias hinayanya udah luntur. memang ada tudingan Teravada akan egoism, asal anda tau, karena banyak bante teravada di luar Indonesia itu peduli diri sendiri dari pada umat asal anda tahu, sering sering bergaul sama orang Budhis di birma, srilangka, bakalan tau kebernarannya ternyata teravada ngak sepikir anda kira, itu namanya The ugly Truth( kenyataan yang paling pahit). Tidak ada satupun aliran itu mulus perjalanannya atau paling benar.
Anda belajar dharma dari aliran ibarat anda mau minum teh atau kopi ?. itu aja
Tidak perlu diperpanjang masalah ini
sekte itu muncul hanya untuk menjembatani keterbatasan pola pikir manusia....sekte pure land muncul karna dorongan perkembangan kristiani waktu itu makanya ada pola salvation ala kristin..
sekte itu muncul hanya untuk menjembatani keterbatasan pola pikir manusia....sekte pure land muncul karna dorongan perkembangan kristiani waktu itu makanya ada pola salvation ala kristin..
oh yeah, pertikaian antar sekte mulai meruncing saudara2 sedharma.. kita liat siapakah pemenang nya :)tentu gw donk ;D narsis mode on...
saking fleksibelnya sutta palsu pun di biarkan berkembang sehingga orang2 mempunyai pandangan salah pun yah fleksibel lah ckckckckck;D
Tipitaka anda katakan parah kerancuannya, tripitaka anda katakan lebih parah kerancuannya, trs yang benar siapa ?, dhamma versi anda kah .bro pur,
sekte itu muncul hanya untuk menjembatani keterbatasan pola pikir manusia....sekte pure land muncul karna dorongan perkembangan kristiani waktu itu makanya ada pola salvation ala kristin..
Menarik :) setahu saya justru munculnya tradisi pure land sebagai respons terhadap perkembangan agama Zoroastrianism dari Persia. Zoroastrianism menganut pandangan dualisme "kegelapan" dan "terang" .... di mana "terang" adalah jalan keselamatan, dan memiliki "Tuhan" yang disebut dengan Ahura Mazda. Untuk merespons tradisi ini, tradisi Pure Land mensistensis aspek "Cahaya" (yang di-embodi oleh Buddha Amithaba) untuk menyimbolkan "terang" dan lawan dari "kegelapan". Yang menarik, nama Amithaba sangat dekat bunyinya dengan Ahura Mazda :)
Referensi lebih lanjut bisa dibaca di sini:
http://www.chinaknowledge.de/Literature/Religion/xianjiao.html
http://books.google.com.sg/books?id=jhKVXrkVlZsC&pg=PA8&dq=amitabha#v=onepage&q=amitabha&f=false
Semoga semua makhluk berbahagia.
Mettacittena,
Luis
Jadi kalau ada aliran lain punya sutta palsu maka tidak apa2 ya sutra di palsukan? pemikiran yang aneh.saking fleksibelnya sutta palsu pun di biarkan berkembang sehingga orang2 mempunyai pandangan salah pun yah fleksibel lah ckckckckck
mau sutta mau sutra banyak dipalsukan pak ???. Setau g teliti penggunaan sutra / sutta palsu yang menyesatkan itu kebanyakan digunakan sekte tertentu, u ngak tau bukan saja mahayana mengalami seperti itu tera juga, banyak bante bhiku menggunakan bahasa sutta pali untuk dipergunakan untuk ilmu hitam, intinya apa?
nihil semua
Tradisi Pure Land sudah ada jauh sebelum kristiani masuk ke China Bro..
sejauh buku yang pernah saya baca mengenai perkembangan agama di china....amitabha muncul berdekatan dengan masuknya kr****n yang kalo kita ntn cerita wong fei hung saat itu ya disitu titiknya.mengenai kemunculan awal di sutra mahayana mengenai pure land.saya agak bingung.sebenarnya mulai dari sutra india dulu atau orang cung kuok kreatif bikin sutra?
oh yeah, pertikaian antar sekte mulai meruncing saudara2 sedharma.. kita liat siapakah pemenang nya :)tentu gw donk ;D narsis mode on...
Hati2x...QuoteTipitaka anda katakan parah kerancuannya, tripitaka anda katakan lebih parah kerancuannya, trs yang benar siapa ?, dhamma versi anda kah .bro pur,
Tipitaka sendiri tidak bisa dipercayai, itu karena adanya sesuatu yg di luar Tipitaka....
makanya AjahnMun sendiri yang aliran Theravada malah mengatakan Tipitaka bukan monopoli dhamma...
dan sudah saya katakan "coba sendiri, laksanakan sendiri, rasakan sendiri"
Kalo Lu Sheng yen lulusan mana yak?Varian turunannya di Jepang lebih lebih lagi.. Kalo yg bhikshu shaolin ikut perang juga biasanya utk memadamkan pemberontakan, for a greater good lah.. Senjatanya juga masih toya. Beda lg dgn yg di Jepang, ada bhikshu militan yg memang dibentuk utk siap berperang. Senjatanya udah naginata, yg seperti pegangan Kuan Kong. Trus di Jepang juga ada aliran Buddhisme yg kepala biara boleh menikah. Yah kalo bahasa politiknya partai Koalisi Reformasi lah lawan partai Orthodoks lah.. ;D
Tantra sex(tantrayana) itu bagian dari mahayana bukan?
Biksu2 shaolin yg mengajarkan bela diri bahkan konon dalam cerita kadangkala ikut dalam dunia persilatan , apakah itu sesuai dengan ajaran Buddha?
Apa batasan aliran2 buddhism digolongkan sebagai mahayana? kalau theravada batasannya kan sudah jelas sekali.
Hati2x...QuoteTipitaka anda katakan parah kerancuannya, tripitaka anda katakan lebih parah kerancuannya, trs yang benar siapa ?, dhamma versi anda kah .bro pur,
Tipitaka sendiri tidak bisa dipercayai, itu karena adanya sesuatu yg di luar Tipitaka....
makanya AjahnMun sendiri yang aliran Theravada malah mengatakan Tipitaka bukan monopoli dhamma...
dan sudah saya katakan "coba sendiri, laksanakan sendiri, rasakan sendiri"
dalam mentafsirkan ucapan penuh kebijaksanaan dari seorang Ajahn
Yang kalau diralat sedikit, mungkin yang diucapkan Ajahn tersebut adalah:
"Dhamma bukan hanya di monopoli Tipitaka"
itu benar, itu cocok,
Tapi kalau ucapan tersebut yang menjadi landasan anda untuk
"Tidak menganggap Dhamma didalam Tipitaka",
Kalau boleh saya sedikit frontal, maaf...
anda bisa dikategorikan terlalu pinter hingga tersesat dalam dhamma ...
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`”
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.`”
...........................
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.`"
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.`”
yg pada point nya adalah "akhir dari dukkha"
Saat Sakyamuni Tathagata muncul di sahalokadhatu, Sang Bhagavan dimulai dari lahir hingga mencapai PariNirvana mengajarkan Dua kendaraan yakni Hinayana dan Mahayana.
Para Maha Bhiksu Sangha termasuk Aggasravaka Maha Moggallanassa dan Sariputrassa juga diangkat oleh Sang Tathagata dengan Hinayana akibat kelalaian awal yang menyebabkan timbul pemikiran bahwa pencapaian Arhantah Maggha dan Phala sudah merupakan tujuan akhir. Tetapi akhirnya Para Maha Sravaka Sangha menyatakan penyesalan diri mereka dihadapan Sang Buddha, dan mereka semua masuk kedalam Mahayana.
Saat Sakyamuni Tathagata muncul di sahalokadhatu, Sang Bhagavan dimulai dari lahir hingga mencapai PariNirvana mengajarkan Dua kendaraan yakni Hinayana dan Mahayana.
Dalam Mahayana, dijelaskan Hinayana dimana merupakan kendaraan kecil yang seharusnya tidak digunakan oleh Para Sravaka untuk membebaskan diri. Terdapat Tiga yana yang diberikan oleh Tathagata:
[1] Sravakayana
[2] PratyekaBuddhayana
[3] Bodhisattvayana (Inilah Mahayana)
(Ketiga yana diatas juga merupakan Kendaraan yang dinamakan dan dianugrahkan oleh Semua Tathagata, bukan baru ada setelah kemokshaan Sang Tathagata)
Kalau begitu adanya,
Dhamma yang kita kenal dalam Tipitaka, yang apa bila di praktikan
a. Apakah Menurut anda bisa membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana
atau
b. tidak bisa membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana.
Namun,
c. mengingat besarnya dan tebalnya tipitaka, sudilah kiranya anda untuk berbagi, tipitaka / sutta yang mana yang menurut anda rancu, dimana nantinya kita coba bahas bersama pada Studi Sutta/Sutra (http://dhammacitta.org/forum/index.php/board,25.0.html)
Menanggapi hal ini, dilakukan Persamuan Sangha Agung untuk melafalkan kembali semua Dharma dan vinaya yang diikuti oleh semua Arhantah Patisambhidapato dimana Bhikshu Ananda juga ikut dalam Pesamuan Agung tersebut dengan menunjukkan Pencapaian Arhantah Patisambhidapato tepat sebelum kepalanya menyentuh tanah saat hendak tidur.
"Sang Tathagata adalah yang Tertinggi. Para Tathagata sangat teliti dalam menggunakan waktu dan tidak pernah berhenti sekalipun menolong para mahluk hidup yang masih berada diTriloka. Maka Sang Tathagata selalu muncul disaat yang tepat."maaf saya agak frontal saja...[kemenyan mode on]
(Mahayana dhamma)
Para Tathagata sangat teliti dalam menggunakan waktu dan tidak pernah berhenti sekalipun menolong para mahluk hidup yang masih berada diTriloka.dari pada menulis sesuatu yang luar biasa enak di dengar [ alias talk less do more]
buku itu memang sangat kontroversial, sptnya tidak valid untuk dijadikan referensinah arahat[ngaku-nya] hidup vs Tipitaka...kira-kira benar mana?
kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^
[at] marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]
Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.
kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu
Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini
Yup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley
Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.
Menarik Smiley setahu saya justru munculnya tradisi pure land sebagai respons terhadap perkembangan agama Zoroastrianism dari Persia. Zoroastrianism menganut pandangan dualisme "kegelapan" dan "terang" .... di mana "terang" adalah jalan keselamatan, dan memiliki "Tuhan" yang disebut dengan Ahura Mazda. Untuk merespons tradisi ini, tradisi Pure Land mensistensis aspek "Cahaya" (yang di-embodi oleh Buddha Amithaba) untuk menyimbolkan "terang" dan lawan dari "kegelapan". Yang menarik, nama Amithaba sangat dekat bunyinya dengan Ahura Mazda Smiley
QuoteYup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley
Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.
Yap. Tradisi Sukhavati walau kulit luarnya ada banyak kemiripan dengan Kristianitas, namun konsep / makna dasarnya / kulit dalamnya sangat-sangat berbeda dan ini sudah banyak para sejarawan yang membahasnya. Saya kutip tulisan saya yang dulu-dulu bahwa mustahil Kristinitas mempengaruhi tradisi Sukhavati:
Mereka mengklaim bahwa Mahayana adalah “Christianized Buddhism” atau agama Buddha dengan pengaruh Kristiani Nestorian, contohnya dengan adanya konsep “Juruselamat” seperti Amitabha.
Jawab: Problem teori ini adalah Mahayana muncul pada abad 1 M di kerajaan Kushan di Asia Tengah (sekarang Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan dsb), sedangkan kaum Kristiani khususnya Nestorian baru datang ke Asia Tengah 400 tahun kemudian yaitu sekitar abad ke-5 M. Oleh karena itu tidaklah mungkin Mahayana dipengaruhi oleh Kristianitas. Untuk menunujukkan bahwa agama Kristiani mempengaruhi agama Buddha sebelum kaum Nestorian datang, maka seseorang harus membuktikan terlebih dahulu bahwa ada kontak antara “Kristiani Thomasite” di India Selatan dan Kerajaan Kushan di India Utara (sekarang Pakistan).
Sedangkan sebelum 345 M, Mahayana sudah eksis di India. Lagipula memang tidak ada kontak antara Mahayana di utara dengan “Kristiani Thomasite” di selatan. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila Mahayana dipengaruhi oleh agama Kristiani.
Bapa Pierre Humbertclaude menulis bahwa ajaran sekte Amitabha sangat mirip dengan Kristiani, sehingga ia mengatakan bahwa sekte Amitabha dipengaruhi oleh ajaran Kristiani Nestorian . Demikian juga oleh beberapa sejarawan lainnya yang mengklaim bahwa Mahayana dipengaruhi oleh Kristiani dan terutama lagi oleh para sejarawan Keikyo.
Jawab: Inskripsi tentang Amitabha ditemukan di Pakistan dan berasal dari abad ke-2 M. Amitabha Buddha dan Tanah Sucinya pertama kali diperkenalkan lewat Sutra Pratyutpanna dan Sutra Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan oleh Lokaksema dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Para sejarawan menduga bahwa penghormatan pada Amitabha Buddha dimulai pada abad 1 M atau 2 M di Asia Tengah dan India Utara. Tentu pada saat itu Kristiani belum masuk ke Asia Tengah maupun India Utara. Kristiani baru masuk ke Asia Tengah pada abad ke-5 M. Oleh karena itu pemujaan Amitabha Buddha sudah ada terlebih dahulu daripada agama Kristiani di Asia Tengah dan India. Tidak mungkin ajaran Amitabha dipengaruhi oleh agama Kristiani.
Demikian juga di Tiongkok, Sutra-sutra tentang ajaran Amitabha sudah ada sejak abad ke-2 M, jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Tiongkok. Bahkan Sutra Mahasukhavativyuha adalah salah satu sutra pondasi ajaran Tanah Suci.
_/\_
The Siddha Wanderer
[at] marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu
Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini
sekarang posisi dimana "arahat [ entah asli atau aspal ] mengatakan pernyataan yang berbeda dengan Tipitaka"
itu sebabnya di sebut buku kontroversi sama om kumis kale...
nah sekarang, apabila kita memakai pandangan Tipitaka dalam melihat kasus "pernyataan Luanta" maka tentu menganggap Luanta bohong...
tetapi apakah anda cukup berani mengatakan bahwa Luanta bohong karena tidak sesuai dengan Tipitaka?
itulah sebabnya saya menyatakan "tipitaka pun tidak bisa di percaya-i 100% yg me-monopoli semua dhamma"
karena ada kasus "arahat[luanta]"
Kalau andaikata LUANTA bohong, tentu GA ADA MASALAH[ itu pun kalau anda berani ]
sekarang kalau BENAR beliau ARAHAT[ apa anda lebih menguasai sila,samadhi,panna dari pada beliau ? ]
jadi sekarang inti nya adalah "apakah anda berani mengatakan Luanta Bohong atau tidak"
kalau dibilang saya tidak bijaksana....sy tidak mengerti,jelas-jelas ini namanya diskusi berbeda pandangan....
lagian memang kok saya tidak bijaksana dalam hal tentang jalan "arahat" kalau sudah bijaksana tentu saya sudah seorang savaka-ARAHAT paling tidak. :)
Terus terang saya baru mendengar bahwa nāmadhamma dan nāmakkhandha berbeda dari satu sama lain. Istilah nāmadhamma sendiri sangat jarang ditemukan dalam Abhidhamma. Tapi ada satu kutipan yang mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan anda. Kutipan ini bukan saya ambil dari Abhidhamma melainkan dari Sutta.
Jika kita lihat pernyataan yang diambil dari Suttapiṭaka, salah satu definisi nibbāna adalh sebagai berikut:
‘Viññāṇaṃ anidassanaṃ, anantaṃ sabbatopabhaṃ;
Ettha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati.
Ettha dīghañca rassañca, aṇuṃ thūlaṃ subhāsubhaṃ;
Ettha nāmañca rūpañca, asesaṃ uparujjhati;
Viññāṇassa nirodhena, etthetaṃ uparujjhatī’ti". ----- (Kevaṭṭasuttaṃ--Tīradassisakuṇupamā)
Yang bisa diterjemahkan sebagai berikut:
“(Dimana) kesadaran tanpa tanda (signless), tanpa batas dan seluruhnya bercahaya;
Di sini, air, tanah, api dan udara tidak memiliki tempat berpijak.
Di sini, panjang, pendek, kecil, besar, indah dan buruk,
Mental dan materi lenyap tanpa sisa;
Dengan lenyapnya kesadaran, di sini, semua lenyap.”
Di atas ada dua macam viññāna. Pertama viññāna yang masih eksis dalam nibbāna. Viññana ini memiliki tiga keistimewaan, yakni anidassanaṃ, anantaṃ dan sabbatopabhaṃ. Viññana kedua adalah viññāna yang lenyap. Kitab komentar telah membedakan kedua viññāna ini. Viññāna pertama adalah nama lain dari nibbāna (viññāṇaṃ nibbānassetaṃ nāmaṃ), sedangkan viññāna kedua diidentifikasi sebagai abhisaṅkhāraviññāṇa (conditioned viññāna) atau singkatnya ini adalalh viññāṇa yang muncul karena kondisi. Jika kita menerima konsep nāmadhamma yang masih eksis dalam nibbāna, maka viññāṇaṃ anidassanaṃ anantaṃ sabbatopabhaṃ bisa dikatakan sebagai nāmadhamma. Sementara itu, viññāna kedua yang lenyap adalah viññānakkhandha / nāmakkhandha yang lenyap dalam nibbāna.
wah bro bond bagus sekali dalam menjelaskan, akan tetapi sayang nya pengalaman beliau tidak pernah ada dalam Tipitaka..[at] marcedes, sangat tidak bijaksana engkau mengkonfrontasi saya dengan seorang bhikkhu yg Arahat pulak [ngaku-nya]Arahat hidup yang mengatakan citta abadi.kalau anda yg memang menguasai lebih banyak sutta, tolong perlihatkan bagian sutta mana menjelaskan hal itu?Maaf, jikalau saya terlalu bodoh dan tulalit,
atau apa perlu saya kutip biografi itu dan dibahas...soal nya bahasa inggris saya jelek habis ^^
Namun... sampai sekarang,
saya masih belum mampu menebak mengapa dan bagaimana anda menyimpulkan tipitaka rancu
Jikalau menurut anda kutipan-kutipan pendukung perlu diikut sertakan untuk menjelaskan kerancuan,
Sudilah kiranya untuk menuliskan kembali disini
sekarang posisi dimana "arahat [ entah asli atau aspal ] mengatakan pernyataan yang berbeda dengan Tipitaka"
itu sebabnya di sebut buku kontroversi sama om kumis kale...
nah sekarang, apabila kita memakai pandangan Tipitaka dalam melihat kasus "pernyataan Luanta" maka tentu menganggap Luanta bohong...
tetapi apakah anda cukup berani mengatakan bahwa Luanta bohong karena tidak sesuai dengan Tipitaka?
itulah sebabnya saya menyatakan "tipitaka pun tidak bisa di percaya-i 100% yg me-monopoli semua dhamma"
karena ada kasus "arahat[luanta]"
Kalau andaikata LUANTA bohong, tentu GA ADA MASALAH[ itu pun kalau anda berani ]
sekarang kalau BENAR beliau ARAHAT[ apa anda lebih menguasai sila,samadhi,panna dari pada beliau ? ]
jadi sekarang inti nya adalah "apakah anda berani mengatakan Luanta Bohong atau tidak"
kalau dibilang saya tidak bijaksana....sy tidak mengerti,jelas-jelas ini namanya diskusi berbeda pandangan....
lagian memang kok saya tidak bijaksana dalam hal tentang jalan "arahat" kalau sudah bijaksana tentu saya sudah seorang savaka-ARAHAT paling tidak. :)
Dalam buku yg tertulis mengenai pengalaman Ajahn Mun, perlu diketahui beliau bertemu para arahat dan bertanya " bagaimana cara2 arahat dahulu kala parinibbana"
1. Tentu menjadi penuh tanda tanya mengapa arahat masih bisa muncul dalam 'pengalaman meditasi ajahn Mun' patut diingat penghuni para anagami adalah alam dewa Suddhavasa. Perlu diketahui umur dialam ini sangat panjang dan para anagami yg di alam manusia belum menjadi arahat akan terlahir dialam tersebut. Dan kemudian Anagami itu akan menjadi arahat dialam Suddhavassa tersebut. Permasalahannya adakah tertulis dalam Tipitaka ketika para anagami tsb yg menjadi arahat di alam tersebut langsung parinibbana?atau menunggu sampai umurnya habis atau sesuai kehendak dari arahat yg ada dialam tsb? menurut hemat saya ketika anagami dialam suddhavasa telah menjadi arahat tidak serta merta langsung mencapai parinibbana, sehingga ini yg muncul dalam pengalaman meditasi Ajahn Mun. Jika memang ada tertulis dalam TIPITAKA bahwa ketika anagami di alam Suddhavasa mencapai kerahatan dan langsung parinibbana, maka fenomena no. 2 yg terjadi. Kalau ada yg punya referensi detil anagami di alam SUddhavasa, sebaiknya ditulis disini.
2. Bagaimana ketika Ajahn Mun melihat Buddha yg muncul dalam pengalaman meditasinya.Disana Ajahn Mun tidak mengatakan ia percaya ataupun tidak percaya. Beliau hanya mengatakan dia tidak memiliki keraguan pada Tiratana.Dan beliau mengatakan entah Buddha ada atau tidak ada ketika ditanya apakah beliau ada keraguan dengan kemunculan Buddha dihadapannya , saddha beliau tidak pernah luntur sama sekali. Jadi kebanyakan yg mengatakan itu Buddha sesungguhnya yg muncul atau bukan Buddha atau tidak sesuai Tipitaka adalah kesimpulan dari beberapa pembaca sendiri. Ajahn Mun tidak menyimpulkan apa2 demikian Luangta Mahaboowa, ia hanya bersikap apa adanya. Dan dalam pengalaman meditasi fenomena apapun dapat muncul. Bahkan terkadang ketika Buddha muncul bisa saja itu nimitta, atau manifestasi mara atau kilesa. Tidak ada yang tahu bukan ,selain Maha panna yg dapat mengenali.
Jadi pengalaman meditasi semakin digali semakin kompleks.
3. Mengenai citta abadi. Banyak yg salah kaprah tentang pandangan Luangta Mahaboowa terhadap masalah ini. Semua trah/murid Ajahn Mun yg utama dalam tradisi dhutangga selalu menggunakan kata " CITTA" daripada menggunakan kata "NAMA" bahkan kadangkala menggunakan kata CITTA sebagai citta itu sendiri , saya pun tidak tahu alasannya. Tetapi pernah dibahas dalam penjelasan Luangta. Sehingga kalau kita membaca tulisan Luangta atau pun murid utama Ajahn Mun berbicara tentang citta harus diperhatikan konteks kalimatnya agar tidak terjebak pada pengertian yg salah tentang citta . Seringkali kita alergi dengan kata "ABADI" sebagai eternalisme
Padahal dalam Abhidhamma ada dikatakan bahwa seseorang setelah parinibbana itu hanya ada NAMA DHAMMA. Ini saya ketahui dari diskusi saya dengan bro Markos. Nah Luangta menggunakan kata CITTA sebagai pengganti kata NAMA DHAMMA, karena begitulah tradisi mereka. Sehingga jika kita tidak menyelidiki lebih jauh maka kita hanya berpikir tentang CITTA dan NAMA DHAMMA hal yg berbeda jika menurut abhidhamma. Telah banyak penjelasan oleh Luangta mengenai anatta dan beliau meyakini dan jelas tahu tentang anatta. Jika beliau terperangkap dalam eteranalisme maka bukankah ia terperangkap dalam dualisme eternalis dan anatta juga?
Apakah jika setelah arahat parinibbana yg ada hanya NAMA DHAMMA bukan itu sama saja dengan pandangan eternalis? Tentu tidak semudah itu kita menyimpulkan.
Mengapa ketika Buddha ditanya mengenai Jiwa ada ada atau tidak ada , Dan SB diam saja? tidak menjawab? Karena penanya belum mengerti jelas tentang ADA dan TIDAK ADA sehingga kalau SB menjawabnya mereka akan semakin jauh dari pandangan benar dan terjerumus pada Eternalis dan NIhilisme. Jika saja Buddha hanya diam, dan kebetulan ada orang bertanya pada kita saat dan jaman sekarang? apakah yg Anda sekalian jawab? Kita menjawab ada adalah salah dan tidak ada juga salah, kalaupun diam, dijaman sekarang akan bilang kita bingung bukan? kalau kita mengatakan bahwa pertanyaan itu salah? maka orang lain akan menjawab "bertanya koq kamu yg ngatur pertanyaanya"
Sebenarnya Masalah ini hanya dapat dimengerti oleh orang yg telah merealisasikan nibbana itu sendiri. Mengenai seseorang arahat itu asli atau aspal. Silakan semua dari kita menilai dengan seksama dan teliti. Katakan bukan arahat maka tidak ada gunanya kita menimbulkan akusala citta. Jika ya maka berbahagialah kita di dunia masih ada para arahat. Jika salah menilai maka keberuntungan tidak dipihak anda. Seperti Buddha dihadapan kita, kita tidak melihatnya sama sekali apalagi sampai muncul akusala citta. Kalaupun ragu sudah dimana tahapan mereka maka sikap yg paling baik adalah netral.
Tambahan : ini saya dapat dari link http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,13749.msg225250/topicseen.html#msg225250
yakni :
Question about which is better between faith and knowledge, Citta answered that knowledge is better than faith (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara) [S. IV. 298]
Terjemahan:
Saat ditanya mana yang lebih baik antara keyakinan dan pengetahuan, Citta menjawab bahwa pengetahuan adalah lebih baik bila dibandingkan dengan keyakinan (Saddhāya kho, gahapati, ñāṇaṃyeva paṇītatara). [S. IV. 298]
Terkesan sepertinya citta sebagai atta, tetapi dan tentunya bukan...silakan direnungkan dengan seksama
_/\_
A sãvaka Arahant having delivered such a discourse and departed,dikatakan bahwa "savaka-arahat"[ bukan cuma 1 savaka ] datang dan terus mengajarkan dhamma kepada AjahnMun dan Ajahn Mun mendapatkan banyak pengetahuan baru.
Ãcariya Mun humbly received that Dhamma teaching. He carefully
contemplated every aspect of it, isolating each individual point, and
then thoroughly analyzed them all, one by one. As more and more
sãvaka Arahants came to teach him in this way, he gained many new
insights into the practice just by listening to their expositions. Hearing
their wonderful discourses increased his enthusiasm for meditation, thus
greatly enhancing his understanding of Dhamma.
During his lengthy sojourn at Sarika Cave, Ãcariya Mun entertainedjadi dalam gua itu, AjahnMun mencapai Anagami setelah di ajar oleh para Savaka-arahat...
many sãvaka Arahants and heeded their words of advice, making this
cave unique among all the places where he had ever stayed. While living
there, the Dhamma of unimpeachable certainty arose in his heart;
that is, he attained the fruition of Anãgãmï.
The Most Exalted Appreciation
On the nights subsequent to Ãcariya Mun’s attainment of vimutti, a
number of Buddhas, accompanied by their Arahant disciples, came to
congratulate him on his vimuttidhamma. One night, a certain Buddha,
accompanied by tens of thousands of Arahant disciples, came to visit;
the next night, he was visited by another Buddha who was accompanied
by hundreds of thousands of Arahant disciples. Each night a different
Buddha came to express his appreciation, accompanied by a different
number of Arahant disciples. Ãcariya Mun stated that the number of
accompanying Arahant disciples varied according to each Buddha’s
relative accumulation of merit – a factor that differed from one Buddha
to the next. The actual number of Arahant disciples accompanying each
Buddha did not represent the total number of his Arahant disciples;
they merely demonstrated the relative levels of accumulated merit and
perfection that each individual Buddha possessed. Among the Arahant
disciples accompanying each of those Buddhas were quite a few young
novices.23 Ãcariya Mun was skeptical about this, so he reflected on it and
realized that the term “Arahant” does not apply exclusively to monks.
Novices whose hearts are completely pure are also Arahant disciples,
so their presence did not raise issue with the term in any way.
Most of the Buddhas who came to show their appreciation to Ãcariya
Mun addressed him in much the following manner:
“I, the Tathãgata, am aware that you have escaped from the harmful effects
of that monstrous suffering which you endured in the prison of saÿsãra,24
so I have come to express my appreciation. This prison is enormous, and quite
impregnable. It is full of seductive temptations which so enslave those who
are unwary that it is extremely difficult for anyone to break free. Of the vast
number of people living in the world, hardly anyone is concerned enough
to think of looking for a way out of dukkha that perpetually torments their
bodies and minds. They are like sick people who cannot be bothered to take
medicine. Even though medicines are plentiful, they are of no use to a person
who refuses to take them.
“Buddha-Dhamma is like medicine. Beings in saÿsãra are afflicted with
the painful, oppressive disease of kilesas, which causes endless suffering.
Inevitably, this disease can be cured only by the medicine of Dhamma. Left
uncured, it will drag living beings through an endless succession of births
and deaths, all of them bound up with physical and mental pain. Although
Dhamma exists everywhere throughout the whole universe, those who are
not really interested in properly availing themselves of its healing qualities are
unable to take advantage of it.
“Dhamma exists in its own natural way. Beings in saÿsãra spin around,
like wheels, through the pain and suffering of each successive life – in the
natural way of saÿsãra. They have no real prospect of ever seeing an end
to dukkha. And there is no way to help them unless they are willing to help
themselves by holding firmly to the principles of Dhamma, earnestly trying to
put them into practice. No matter how many Buddhas become enlightened,
or how extensive their teachings are, only those willing to take the prescribed
medicine will benefit.“The Dhamma, taught by all the Buddhas, is invariably the same: to renounce
evil and do good. There exists no Dhamma teaching more exceptional
than this: For even the most exceptional kilesas in the hearts of living beings
are not so exceptional that they can transcend the power of Dhamma taught
by all the Buddhas. This Dhamma in itself is sufficient to eradicate every kind
of kilesa there is – unless, of course, those practicing it allow themselves to be
defeated by their kilesas, and so conclude that Dhamma must be worthless.
“By nature, kilesas have always resisted the power of Dhamma.
Consequently, people who defer to the kilesas are people who disregard
Dhamma. They are unwilling to practice the way, for they view it as something
difficult to do, a waste of the time they could otherwise spend enjoying
themselves – despite the harm such pleasures cause them. A wise, far-sighted
person should not retreat into a shell, like a turtle in a pot of boiling water
– it is sure to die because it can’t find a way to escape. The world is a cauldron,
boiling with the consuming heat of the kilesas. Earthly beings of every
description, every where, must endure this torment, for there is no safe place
to hide, no way to elude this conflagration burning in their own hearts – right
there where the dukkha is.
“You have seen the truly genuine Tathãgata, haven’t you? What is the
genuine Tathãgata? The genuine Tathãgata is simply that purity of heart
you have just realized. The bodily form in which I now appear is merely a
manifestation of relative, conventional reality.25 This form does not represent
the true Buddha, or the true Arahant; it is just our conventional bodily appearance.”
Ãcariya Mun replied that he had no doubts about the true nature of
the Buddha and the Arahants. What still puzzled him was: how could
the Buddha and the Arahants, having attained anupãdisesa-nibbãna26
without any remaining trace of relative, conventional reality, still appear
in bodily form. The Buddha explained this matter to him:
“If those who have attained anupãdisesa-nibbãna wish to interact with
other Arahants who have purified their hearts but still possess a physical,
mundane body, they must temporarily assume a mundane form in order to
make contact. However, if all concerned have already attained anupãdisesa-
nibbãna without any remaining trace of relative, conventional reality,
then the use of conventional constructs is completely unnecessary. So it is
necessary to appear in a conventional form when dealing with conventional
reality, but when the conventional world has been completely transcended,
no such problem exists.
“All Buddhas know events concerning the past and the future through
nimittas that symbolize for them the original conventional realities of the occurrences
in question.27 For instance, when a Buddha wishes to know about
the lives of the Buddhas who preceded him, he must take the nimitta of each
Buddha, and the particular circumstances in which he lived, as a device
leading directly to that knowledge. If something exists beyond the relative
world of conventional reality, that being vimutti, then there can be no symbol
representing it. Because of that, knowledge about past Buddhas depends on
mundane conventions to serve as a common basis for understanding, as my
present visit illustrates. It is necessary that I and all of my Arahant disciples
appear in our original mundane forms so that others, like yourself, have a
means of determining what our appearance was like. If we did not appear in
this form, no one would be able to perceive us.28
“On occasions when it is necessary to interact with conventional reality,
vimutti must be made manifest by the use of suitable conventional means. In
the case of pure vimutti, as when two purified cittas interact with one another,
there exists only the essential quality of knowing – which is impossible to
elaborate on in any way. So when we want to reveal the nature of complete
purity, we have to bring in conventional devices to help us portray the experience
of vimutti. We can say that vimutti is a ‘self-luminous state devoid of
all nimittas representing the ultimate happiness’, for instance, but these are
just widely-used, conventional metaphors. One who clearly knows it in his
heart cannot possibly have doubts about vimutti. Since its true characteristics
are impossible to convey, vimutti is inconceivable in a relative, conventional
sense. Vimutti manifesting conventionally and vimutti existing in its original
state are, however, both known with absolute certainty by the Arahant. This
includes both vimutti manifesting itself by means of conventional constructs
under certain circumstances, and vimutti existing in its original, unconditioned
state. Did you ask me about this matter because you were in doubt, or simply
as a point of conversation?”
“I have no doubts about the conventional aspects of all the Buddhas,
or the unconditioned aspects. My inquiry was a conventional way of
showing respect. Even without a visit from you and your Arahant disciples, I would have no doubts as to where the true Buddha, Dhamma,
and Sangha lie. It is my clear conviction that whoever sees the Dhamma
sees the Tathãgata. This means that the Lord Buddha, the Dhamma,
and the Sangha each denote the very same natural state of absolute
purity, completely free of conventional reality, collectively known as
the Three Jewels.”
“I, the Tathãgata, did not ask you that question thinking you were in
doubt, but rather as a friendly greeting.” 29
On those occasions when the Buddhas and their Arahant disciples
came to visit, only the Buddhas addressed Ãcariya Mun. None of the
disciples accompanying them spoke a word as they sat quietly composed,
listening in a manner worthy of the highest respect. Even the small
novices, looking more adorable than venerable, showed the same quiet
composure. Some of them were quite young, between the ages of nine
and twelve, and Ãcariya Mun found them truly endearing.
QuoteYup betul Jerry, tradisi Pure Land sudah ada sebelum kr****n masuk ke China. Karena konsep dalam Zoroastrian ada kemiripan dengan agama kr****n (ada Tuhan dan dualisme Surga-Neraka), mungkin jadi dirancukan dengan kr****n Smiley
Untuk Sutra Amitabha, setahu saya ditulis dalam bahasa Sansekerta dahulu baru ditranslate ke Chinese oleh Kumarajiva. Walaupun tradisi Pure Land baru berkembang pesat di China, tetapi sebenarnya tradisi ini bermula di India, sewaktu Zoroastrian mempengaruhi kondisi di sana pada waktu itu.
Nah masih lebih bersinggungan jawabannya soal ini Bro Gandalf. Perbedaan dan persamaan sah-sah saja sbg pembanding dan penyaji sisi lain dr apa yg kita ketahui selama ini. Lagi, memang fakta Mahayana selalu berusaha dalam membuat wajah Buddhisme yg ramah dan friendly user thdp masyarakat dibandingkan saudaranya 1 ayah lain ibu yg kolot itu. Gmn permintaan pasar dan konsumen lah istilah orang kasar kaya aku gini. Ga aneh kalo ada yg penyajian mengenai Mahayana dr sisi lain yg ditawarkan Bro Luis. Itu yg membuat menarik utk dibahas kan? Meski .... saya ga tertarik sih selain sebatas informasi saja. Anyway, thanks to you both. _/\_QuoteMenarik Smiley setahu saya justru munculnya tradisi pure land sebagai respons terhadap perkembangan agama Zoroastrianism dari Persia. Zoroastrianism menganut pandangan dualisme "kegelapan" dan "terang" .... di mana "terang" adalah jalan keselamatan, dan memiliki "Tuhan" yang disebut dengan Ahura Mazda. Untuk merespons tradisi ini, tradisi Pure Land mensistensis aspek "Cahaya" (yang di-embodi oleh Buddha Amithaba) untuk menyimbolkan "terang" dan lawan dari "kegelapan". Yang menarik, nama Amithaba sangat dekat bunyinya dengan Ahura Mazda Smiley
Di buku yang anda sarankan, tampaknya ada pendapat berbeda dari para sejarawan, yaitu sebenarnya pengaruh dari Zoroastrian tersebut patut dipertanyakan apakah benar atau tidak. Sebenarnya pengaruh tersebut hanya hipotesa para sejarawan saja dan sama sekali tidak ada bukti bahwa Amitabha dipengaruhi oleh dewa2 Zorosatrian.
Di buku yang anda sarankan sendiri dikatakan bahwa peneliti / sejarawan Jepang bernama Fujita menolak hipotesa tersebut mengatakan bahwa "cahaya yang tak terbatas" dan "umur yang tanpa batas" sebenarnya berasal dari konsep Buddhis sendiri, bukan dari Zoroastrianisme.
Memang dalam kitab Mahavastu dari aliran Mahasanghika mengatakan Sang Buddha sebagai "cahaya yang menghalau kegelapan." Selain itu "Cahaya tanpa batas" (immeasurable light) disebutkan sebagai ciri2 para Buddha oleh kitab Mahavibhasa dari aliran Sarvastivada.
Sedangkan "immeasurable life" yaitu umur tanpa batas adalah ciri-ciri para Buddha yang dikemukakan aliran Mahasanghika.
Jadi sebenarnya fondasi Amitabha tentang "immeasurable life" dan "immeasurable light" ada di ajaran-ajaran sekte Buddhis awal, bukan di dewa Mithra atau Ahura Mazda.
Kemiripan sebutan antara Amitabha dan Ahura Mazda juga tak ada kaitannya dengan saling mempengaruhi, karena makna kata "Amitabha" dan "Ahura Mazda" sendiri sudah sangat jauh berbeda. Ini hanya gathuk2an saja kalau pake metode mirip2an tanpa ada landasan yang jelas.
"Tidak ada satupun orang sekarang yang menerima ini (pengaruh antara Amitabha dan pemujaan matahari Zoroastrian) sebagai penjelasan yang layak."
(Buddhism oleh Peter Harvey)
"Perbandingan yang menjadi perhatian sampai sekarang ini hanya memiliki nilai yang kecil dan tidak membuktikan bahwa Amitabha adalah Ahura Mazda atau Apollo dalam samaran."
(Encyclopedia of Religion and Ethics oleh James Hastings)
_/\_
The Siddha Wanderer
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak.
Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak._/\_ Sdr Peacemind
Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak._/\_ Sdr Peacemind
Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
Bagian terakhir, terus terang saya kurang menyetujui. Pernyataan dan pandangan demikian yg seringkali berbalik menjadi bumerang bagi kemurnian Buddha-Dhamma (bukan agama Buddha) itu sendiri dan menjadikan Buddhisme sbg lahan subur bagi banyak pihak yg menyelewengkan Buddha-Dhamma dengan mengatasnamakan Ti-pitaka, dhamma atau Buddha dsb. Salah 1 contohnya, yg mengaku Buddha hidup. Demikian pula yg sering digadang-gadang oleh pengikutnya, kita tdk bisa menyimpulkan beliau bukan Buddha hidup selama kita belum mencapai kebuddhaan.
Any better idea? :)
Mettacittena,
Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak._/\_ Sdr Peacemind
Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
Bagian terakhir, terus terang saya kurang menyetujui. Pernyataan dan pandangan demikian yg seringkali berbalik menjadi bumerang bagi kemurnian Buddha-Dhamma (bukan agama Buddha) itu sendiri dan menjadikan Buddhisme sbg lahan subur bagi banyak pihak yg menyelewengkan Buddha-Dhamma dengan mengatasnamakan Ti-pitaka, dhamma atau Buddha dsb. Salah 1 contohnya, yg mengaku Buddha hidup. Demikian pula yg sering digadang-gadang oleh pengikutnya, kita tdk bisa menyimpulkan beliau bukan Buddha hidup selama kita belum mencapai kebuddhaan.
Any better idea? :)
Mettacittena,
Soalnya ini bukan hal yang sepele. Ini berhubungan dengan kemungkinan kesucian arahat. Sulitnya untuk menentukan kebenaran cerita ini juga terletak pada kenyataan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Yang dikatakan beliau apakah harus benar2 dimengerti secara literal ataukah tidak juga tidak bisa dimengerti karena beliau telah meninggal. Sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa beberapa BUddha memberikan bimbingan kepadanya. Dalam Tipitaka sendiri dikatakan bahwa seseorang yang melihat Dhamma akan melihat Buddha (yo dhammaṃ passati so mam 'Buddham' passati). Mungkin beberapa orang akan berpikir bahwa ketika melihat Dhamma, seseorang benar2 melihat Buddha secara personal, meskipun saya pribadi lebih cenderung pada opini bahwa Buddha di sini adalah pencapaian enlightenment.
Namun bagaimanapun, ini juga masih menjadi pertanyaan. Selain itu, dalam tradisi Theravāda sendiri masih ada beberapa yang masih menimbun beberapa misteri mengenai BUddha. Sebagai contoh, dikatakan dalam kitab komentar bahwa ketika Buddhadhamma akan lenyap dari alam manusia, seluruh relik Sang Buddha akan mengumpul dan membentuk tubuh Sang Buddha sebelum akhirnya lenyap. Kitab komentar juga mengatakan bahwa ini terjadi karena tekad Sang BUddha ketika masih hidup. Mungkin (tapi jangan percaya dengan saya, karena hanya logika) Buddha2 yang mewujudkan dirinya di depan Ajahn Mun merupakan kekuatan tekad Buddha2 sebelumnya bahwa nimitta mereka akan menampakkan dirinya lagi di depan para arahat.
Sebenarnya apa yang saudara Jerry katakan benar. Memberikan peluang terhadap kesimpulan2 yang bertentangan dengan Tipitaka seringkali menjadi bumerang bagi kemurnian Buddhadhamma. Sebenarnya, apa yang saya ungkapan lebih pada personal opinion. Sesungguhnya, jika cerita di atas benar adanya, tidak terpungkiri bahwa saya pribadi memiliki keraguaan terhadap kebenaran bahwa Ajahn Mun telah mencapai arahat. Namun saya kembali pada diri saya. Melihat kondisi pikiran saya yang belum arahat, saya tidak berani menentukan secara definit bahwa pengalaman yang tertuang di atas bukan pengalaman seorang arahat sejati. Jadi dalam hal ini, saya pribadi meragukan kesucian tersebut setelah menimbang apa yang terkandung dalam Tipitaka, namun di saat yang sama, saya tidak bisa memberikan definit kesimpulan karena keterbatasan kondisi pikiran saya. Kesalahan saya di sini terletak pada statemen kalau saya mengajak teman2 untuk berpikir seperti saya. :D
Saya pernah bertemu dengan seorang guru meditasi. Beliau mengatakn bahwa ketika ada seseorang yang datang kepadanya dan mengatakn bahwa ia telah mencapai ini dan itu. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak langsung mengambil kesimpulan saat itu, namun beliau akan menunggu dan melihat. Seiring dengan waktu, kebijaksanaan orang tersebut akan tampak dengan jelas dan tampak pula apakah apa yang diklaim benar atau tidak.
Be Happy.
Bertele-tele dan tidak mengena, Bro Luis tdk menyatakan Kristiani memengaruhi munculnya Mahayana aliran Pure-Land.
Nah masih lebih bersinggungan jawabannya soal ini Bro Gandalf. Perbedaan dan persamaan sah-sah saja sbg pembanding dan penyaji sisi lain dr apa yg kita ketahui selama ini. Lagi, memang fakta Mahayana selalu berusaha dalam membuat wajah Buddhisme yg ramah dan friendly user thdp masyarakat dibandingkan saudaranya 1 ayah lain ibu yg kolot itu. Gmn permintaan pasar dan konsumen lah istilah orang kasar kaya aku gini. Ga aneh kalo ada yg penyajian mengenai Mahayana dr sisi lain yg ditawarkan Bro Luis. Itu yg membuat menarik utk dibahas kan? Meski .... saya ga tertarik sih selain sebatas informasi saja. Anyway, thanks to you both.
Ya, memang bisa saja hal tersebut menarik. Perbandingan adalah hal yang wajar. Tapi kita harus selalu melihat secara objektif dari 2 sisi pendapat yang berbeda sekaligus berusaha memiliki landasan yang jelas.
Kebanyakan orang ketika diberitahu ada kemungkinan Amitabha dipengaruhi oleh Zoroastrian, secara arogan terburu2 untuk menerimanya sebagai sebuah kebenaran, padahal pernyataan tersebut cuma hipotesa saja. Sehingga akhirnya muncullah anggapan Mahayana tidak murni dsb karena orang2 awam cenderung untuk menerima mentah-mentah apa yang mereka baca. Maka dari itu saya juga menyajikan bahwa ada kemungkinan pula Amitabha dipengaruhi oleh konsep Buddhis itu sendiri, bukan dari pengaruh luar yang ternyata masih sangat diragukan kebenarannya.
Malah ada beberapa sejarawan yang menganggap Amitabha itu diwujudkan sebagai "bentuk ideal" dari Sakyamuni Buddha sendiri, bukan Ahura Mazda. Dan ini memang bersesuaian dengan konsep Tantra di mana Panca Dhyani Buddha dihubungkan dengan Lima Buddha di Bhadrakalpa, Amitabha sebagai Sambhogakaya Sakyamuni.
Ketika saya banyak membaca literatur Mahayana dan komentar2nya baik oleh para guru Buddhis atau para sejarawan, maka yang saya temukan malah banyak dasar konsep Mahayana itu ada di ajaran2 Buddhis awal. Meskipun se-"friendly" apapun Mahayana, tetap memiliki integritas yang kuat terhadap Buddha Dharma.
_/\_
The Siddha Wanderer
saya juga setuju,kita tidak mungkin mengatakan bahwa Ajahn Mun dan Luanta bukanlah Arahat, karena pengalaman meditasi mereka jauh di atas kita...jadi mengenai kebenaran cerita tsb, biarlah waktu menjawab...Pengalaman Ajahn Mun yang tertulis di atas memang bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Tipitaka. Sayangnya beliau sudah meninggal. Jika masih hidup, kita bisa menanyakan kembali apakah laporan tersebut benar ataukah tidak._/\_ Sdr Peacemind
Namun perlu diingat di sini bahwa, meskipun cerita tersebut tidak sesuai dengan Tipitaka, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa pengalaman tersebut salah selama kita belum mencapai arahat.
Bagian terakhir, terus terang saya kurang menyetujui. Pernyataan dan pandangan demikian yg seringkali berbalik menjadi bumerang bagi kemurnian Buddha-Dhamma (bukan agama Buddha) itu sendiri dan menjadikan Buddhisme sbg lahan subur bagi banyak pihak yg menyelewengkan Buddha-Dhamma dengan mengatasnamakan Ti-pitaka, dhamma atau Buddha dsb. Salah 1 contohnya, yg mengaku Buddha hidup. Demikian pula yg sering digadang-gadang oleh pengikutnya, kita tdk bisa menyimpulkan beliau bukan Buddha hidup selama kita belum mencapai kebuddhaan.
Any better idea? :)
Mettacittena,
Soalnya ini bukan hal yang sepele. Ini berhubungan dengan kemungkinan kesucian arahat. Sulitnya untuk menentukan kebenaran cerita ini juga terletak pada kenyataan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Yang dikatakan beliau apakah harus benar2 dimengerti secara literal ataukah tidak juga tidak bisa dimengerti karena beliau telah meninggal. Sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa beberapa BUddha memberikan bimbingan kepadanya. Dalam Tipitaka sendiri dikatakan bahwa seseorang yang melihat Dhamma akan melihat Buddha (yo dhammaṃ passati so mam 'Buddham' passati). Mungkin beberapa orang akan berpikir bahwa ketika melihat Dhamma, seseorang benar2 melihat Buddha secara personal, meskipun saya pribadi lebih cenderung pada opini bahwa Buddha di sini adalah pencapaian enlightenment.
Namun bagaimanapun, ini juga masih menjadi pertanyaan. Selain itu, dalam tradisi Theravāda sendiri masih ada beberapa yang masih menimbun beberapa misteri mengenai BUddha. Sebagai contoh, dikatakan dalam kitab komentar bahwa ketika Buddhadhamma akan lenyap dari alam manusia, seluruh relik Sang Buddha akan mengumpul dan membentuk tubuh Sang Buddha sebelum akhirnya lenyap. Kitab komentar juga mengatakan bahwa ini terjadi karena tekad Sang BUddha ketika masih hidup. Mungkin (tapi jangan percaya dengan saya, karena hanya logika) Buddha2 yang mewujudkan dirinya di depan Ajahn Mun merupakan kekuatan tekad Buddha2 sebelumnya bahwa nimitta mereka akan menampakkan dirinya lagi di depan para arahat.
Sebenarnya apa yang saudara Jerry katakan benar. Memberikan peluang terhadap kesimpulan2 yang bertentangan dengan Tipitaka seringkali menjadi bumerang bagi kemurnian Buddhadhamma. Sebenarnya, apa yang saya ungkapan lebih pada personal opinion. Sesungguhnya, jika cerita di atas benar adanya, tidak terpungkiri bahwa saya pribadi memiliki keraguaan terhadap kebenaran bahwa Ajahn Mun telah mencapai arahat. Namun saya kembali pada diri saya. Melihat kondisi pikiran saya yang belum arahat, saya tidak berani menentukan secara definit bahwa pengalaman yang tertuang di atas bukan pengalaman seorang arahat sejati. Jadi dalam hal ini, saya pribadi meragukan kesucian tersebut setelah menimbang apa yang terkandung dalam Tipitaka, namun di saat yang sama, saya tidak bisa memberikan definit kesimpulan karena keterbatasan kondisi pikiran saya. Kesalahan saya di sini terletak pada statemen kalau saya mengajak teman2 untuk berpikir seperti saya. :D
Saya pernah bertemu dengan seorang guru meditasi. Beliau mengatakn bahwa ketika ada seseorang yang datang kepadanya dan mengatakn bahwa ia telah mencapai ini dan itu. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak langsung mengambil kesimpulan saat itu, namun beliau akan menunggu dan melihat. Seiring dengan waktu, kebijaksanaan orang tersebut akan tampak dengan jelas dan tampak pula apakah apa yang diklaim benar atau tidak.
Be Happy.
setuju dgn pandangan sdr. peacemind...
_/\_
by marcedes
wah bro bond bagus sekali dalam menjelaskan, akan tetapi sayang nya pengalaman beliau tidak pernah ada dalam Tipitaka..
nah sekarang, bagaimana waktu Luanta menangis?
by marcedes
bahkan sesudah-nya Ajahn Mun bahkan sempat berpikir "apakah dalam buddha-sasana" tidak mengajarkan senioritas....
dan buddha pun memberikan penjelasan....apakah ini nimitta bro bond?
by gachapin
Gini deh bond, 2 cucu muridnya Ajahn Mun akan datang ke Bandung dan ke Bali akhir tahun ini.
Aye yang tanya eternal citta, ente yang tanya dikunjungi para Arahat. Gimana? Cheesy
by Peacemind
Saya pernah bertemu dengan seorang guru meditasi. Beliau mengatakn bahwa ketika ada seseorang yang datang kepadanya dan mengatakn bahwa ia telah mencapai ini dan itu. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak langsung mengambil kesimpulan saat itu, namun beliau akan menunggu dan melihat. Seiring dengan waktu, kebijaksanaan orang tersebut akan tampak dengan jelas dan tampak pula apakah apa yang diklaim benar atau tidak.
by Marcedes
mengenai pengalaman Ajahn Mun, mumpung Luanta masih hidup, mengapa tidak ke-Thai saja dan bertanya?
hehehe...saya sih tidak mau buang uang untuk pertanyaan tidak perlu..
..yg aku anggap lebih mirip kristiani tuh... maitreya
1.dari bro bond dulu, bro beberapa sekte teravada masih ada menjalani tradisi hutan khususnya Birma, Kalo thailand emang u katakan udah ngak ada lagi kayak gitu, srilangka memang udah ngak ada, tapi ada yang satu sekte teravada masih mempertahankan ajaran sesepuh lama. G pernah ngobrol aktivis Buddhis dari Birma, pernah diundang di Vihara ekayana, g obrol sendiri, adanya satu sekte itu masih memempertahankan ajaran sesepuh lama. Alias tidak diubah, kalo jaman sekarang banyak ikut teknologi, ikut trend sekarang, dulu dulu ngak kayak yang u duga, kasus kayak birma contohnya ketika bencana alam Bhante sana cuman bisa Sumo ngak bisa berbuat apa, yang turun tangan juga orang Buddhis mahayana kebanyakan dari organisasi Buddha Tzu chi.
Kalo gitu tanggapannya nge-quote ke tulisannya bro Nyana. Secara bro Luis dan saya juga setuju kalau tradisi Sukhavati lebih dulu ada dibanding ketika kristianitas masuk ke Tiongkok.QuoteBertele-tele dan tidak mengena, Bro Luis tdk menyatakan Kristiani memengaruhi munculnya Mahayana aliran Pure-Land.
??? ??? ??? Loh memang bro. luis tidak ngomong begitu, yang mengajukan pendapat kalau tradisi Sukhavati dipengaruhi Kristiani kan bro. nyanadhana. Postingan saya juga tidak sedang menyanggah pendapat bro luis tentang Sukhavati - Kristianitas, dan postingan saya memang mendukung pernyataan bro luis ttg Sukhavati - Kristianitas. Atau ada yang lain yang bro. jerry maksud bertele2?
1.dari bro bond dulu, bro beberapa sekte teravada masih ada menjalani tradisi hutan khususnya Birma, Kalo thailand emang u katakan udah ngak ada lagi kayak gitu, srilangka memang udah ngak ada, tapi ada yang satu sekte teravada masih mempertahankan ajaran sesepuh lama. G pernah ngobrol aktivis Buddhis dari Birma, pernah diundang di Vihara ekayana, g obrol sendiri, adanya satu sekte itu masih memempertahankan ajaran sesepuh lama. Alias tidak diubah, kalo jaman sekarang banyak ikut teknologi, ikut trend sekarang, dulu dulu ngak kayak yang u duga, kasus kayak birma contohnya ketika bencana alam Bhante sana cuman bisa Sumo ngak bisa berbuat apa, yang turun tangan juga orang Buddhis mahayana kebanyakan dari organisasi Buddha Tzu chi.
2. Masalah Pengaruh Buddha sama kr****n, tidak banyak bapak - bapak, pengaruh kr****n udah ada dari dinasti Tang cuman komunitasnya kecil banget, besar di Dinasti Ming, neokr****n di Tiongkok itu sedikit memberi pengaruh.
Quote3. Masalah pengaruh Tao sama Buddha, Ngak mahayana, Tera juga, Khususnya Indonesia, u mesti teliti dulu dilapangan, banyak Cetiya, vihara Teravada naruh dewa tao atau ngak dibawahnya klenteng Sam kau, yang bikin ide Buddha dan tao siape, orang -orang oknum bante teravada juga, dengan alasan membina hubungan keluarga besar, dijalin pada masa lampau.
4. Teravada ada di Indonesia asal loe orang tau. itu jasanya Orang Sam Kau alias Buddha Tridharma. Janganlah suatu alasan harga diri aliran lah. Semua aliran akhirnya ujungnya sama.
QuoteYup saya setuju sekali dengan pendapat Bro Galdalf di sini. Ada berbagai macam approach dalam mempelajari Buddhism, tentu saja dalam aspek praktik kita harus "experience on our own" yaitu tidak lain lewat mengembangkan dan menjaga sila kita, mengembangkan batin kita, dan mengembangkan kebijaksanaan kita.
Tetapi aspek lain yang juga berguna adalah aspek intelektualitas yang salah satunya adalah mengenai "sejarah Buddhism" dan juga pengetahuan2 mengenai berbagai tradisi yang ada. Dan salah satu metode penting dalam mempelajari aspek yang satu ini adalah mindset seorang scholar (pelajar) yang biasanya digunakan oleh para researcher. Seperti apa? Yaitu memandang teks2 Buddhism dan komentar2nya sebagai literatur. Para sejarawan Buddhisme memiliki set2 dari literatur nya sendiri, dan sebetulnya tidak ada satupun dari mereka yang memiliki set yang komplit Smiley sama dengan dunia penelitian yang lain, tidak ada satu penelitipun yang memiliki set yang komplit dari apa yang mereka research.
Makanya walaupun sama2 scholar, dua sejarawan yang berbeda dapat memiliki 2 hipotesis yang berbeda mengenai bagaimana suatu tradisi itu terbentuk. Itulah gunanya kita membandingkan hipotesis2 yang ada ... karena bagaimanapun semua itu adalah hipotesis yang didukung oleh bukti2 pendukung, tetapi belum tentu merepresentasikan kejadian sebenarnya. Semua kejadian itu adalah masa lalu Smiley dan sudah tidak ada lagi saksi hidup yang bisa ditanya hehehe. Lagipula ... walaupun ada saksi hidup, belum tentu apa yang mereka lihat juga sudah komplit Smiley sama seperti kalau ada suatu kecelakaan di jalan, seringkali 2 saksi mata yang berbeda punya cerita versinya masing2 dan kedua cerita itu didukung oleh bukti2 yang rasional.
Oleh karena itulah, apa yang kita pelajari dari literatur juga belum tentu benar Smiley dan sebagai scholar, tentunya dengan melihat hasil studi dari scholar lain akan memperkaya wawasan kita semua ... dan juga meningkatkan keyakinan terhadap apa yang kita yakini. Semua itu bisa berguna dan menunjang dalam menjalankan praktik kita.
Saya sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai scholar dalam Buddhism seperti Bro Gandalf yang studi literaturnya lebih mendalam dan mantap Smiley saya juga hanya mempelajari potongan2 literatur sebagai hobi saja hehehe dan juga tidak memiliki waktu yang banyak untuk me-research semua itu. Makanya buat saya pribadi, saya selalu hepi berdiskusi dengan Bro Gandalf (walaupun tidak sering) karena studi literatur beliau dapat melengkapi potongan yang saya utarakan dan juga jadi cara cepat dalam menggali aspek2 lain dari topik itu tanpa perlu mencari2 sendiri ke banyak buku hehehehe. Anumodana Bro Gandalf Namaste
Untuk stand point saya sendiri, walaupun saya lebih memegang pandangan bahwa secara historis Mahayana bukanlah "early Buddhism", tetapi bukan berarti Mahayana adalah "corrupted version" dari Buddhism. Yang jelas, perbedaan utama early Buddhism dan Mahayana adalah dalam Mahayana banyak terdapat simbolisasi yang membuat tradisi ini lebih "berwarna" daripada early Buddhism yang cenderung straighforward dan simple. Tetapi bila kita melihat aspek2 di balik simbolisasi tersebut, dan juga sejarah munculnya dan berkembangnya simbolisasi, esensi Buddha Dhamma nya tetap konsisten dengan early Buddhism. Apalagi saat kita bermeditasi, tembus deh semua perbedaan2 itu Wink
Yang menjadi tantangan hanyalah bagaimana kita bisa melihat esensi di balik simbolisme tersebut, dan bukan "terjebak" dengan menganggap secara literal simbolisme tersebut Smiley
Semoga semua makhluk berbahagia.
Mettacittena,
Luis
Quote1.dari bro bond dulu, bro beberapa sekte teravada masih ada menjalani tradisi hutan khususnya Birma, Kalo thailand emang u katakan udah ngak ada lagi kayak gitu, srilangka memang udah ngak ada, tapi ada yang satu sekte teravada masih mempertahankan ajaran sesepuh lama. G pernah ngobrol aktivis Buddhis dari Birma, pernah diundang di Vihara ekayana, g obrol sendiri, adanya satu sekte itu masih memempertahankan ajaran sesepuh lama. Alias tidak diubah, kalo jaman sekarang banyak ikut teknologi, ikut trend sekarang, dulu dulu ngak kayak yang u duga, kasus kayak birma contohnya ketika bencana alam Bhante sana cuman bisa Sumo ngak bisa berbuat apa, yang turun tangan juga orang Buddhis mahayana kebanyakan dari organisasi Buddha Tzu chi.
Memang Tzu Chi dikenal sebagai organisasi Buddhis yang selalu cepat tanggap dalam membantu korban-korban bencana alam. Sungguh sebuah usaha mulia dan nyata seorang Bodhisattva bhiksuni yang benar-benar menjalankan ajaran Guru Buddha. ;D
Bahkan Gyalwang Drukpa Rinpoche sangat mengapresiasi dan memuji Tzu Chi, meyakinkan dirinya akan gerakan sosial "A Live to Love" yang beliau pelopori untuk membantu mereka yang kurang beruntung.
Namun bukan berarti para bhikkhu Myanmar (Burma) mendem semua. Pada saat bencana badai Nargis yang kemarin bhikkhu-bhikkhu Theravada Myanmar juga turut aktif membantu para korban. Coba lihat:
http://www.wildmind.org/blogs/news/monks-succeed-in-cyclone-relief
http://www.msnbc.msn.com/id/24582349/
http://www.global-sisterhood-network.org/content/view/2106/59/
http://www.encyclopedia.com/doc/1A1-D91G5FJG0.html
http://www.buddhistchannel.tv/index.php?id=88,6446,0,0,1,0Quote2. Masalah Pengaruh Buddha sama kr****n, tidak banyak bapak - bapak, pengaruh kr****n udah ada dari dinasti Tang cuman komunitasnya kecil banget, besar di Dinasti Ming, neokr****n di Tiongkok itu sedikit memberi pengaruh.
kr****n yang pas di Dinasti Tang itu beraliran Nestorian dan yang masuk di Dinasti Ming itu beraliran ka****k Roma. DI kitab Nestorian kuno di Tiongkok malah ditemukan kata-kata "Buddha" dan pada saat Dinasti Ming, agama kr****n ka****k disanggah dan dikritik oleh para master Buddhis seperti YA Zhuhong dan YA Zhixiu Ouyi, para bhiksu yang pencapaian Dharmanya tak diragukan lagi. Ini dikarenakan oknum2 K pada masa itu menyerang agama Buddha dengan memanfaatkan secara tidak benar ajaran Khonghucu.QuoteQuote3. Masalah pengaruh Tao sama Buddha, Ngak mahayana, Tera juga, Khususnya Indonesia, u mesti teliti dulu dilapangan, banyak Cetiya, vihara Teravada naruh dewa tao atau ngak dibawahnya klenteng Sam kau, yang bikin ide Buddha dan tao siape, orang -orang oknum bante teravada juga, dengan alasan membina hubungan keluarga besar, dijalin pada masa lampau.
Setahu saya, yang naruh rupang dewa dewi Tao itu umat-umat vihara yang bersangkutan yang masih terpengaruh ajaran-ajaran Tao di Tridharma (kelenteng) dulu. Tapi itupun setahu saya cuman sedikit yang seperti itu. Kalaupun ada dewa dewi Tao biasanya kelenteng yang diurus sama pihak Theravada seperti Vihara Nimmala atau Boen San Bio.
Yang banyak saya temukan adalah Vihara Theravada yang menaruh rupang Bodhisattva Avalokitesvara. Di Vihara Dhamma Jaya di Surabaya banyak rupang Avalokitesvara. Vihara Eka Dharma Loka di Surabaya altar Avalokitesvara ditempatkan di samping altar utama Buddha Sakyamuni. Di Vihara Dhammadipa Arama-nya tempat Bhante Khanti juga kalau tidak salah ada altar Avalokitesvara. Di Vihara Padma Graha yang dibina Bhante Dhammavijayo juga ada rupang Avalokitesvara. Kelenteng yang tuan rumahnya Bodhisattva Avalokitesvara seperti Boen tek Bio (Wen De Miao) juga menjadi Vihara Theravada Padumuttara.Quote4. Teravada ada di Indonesia asal loe orang tau. itu jasanya Orang Sam Kau alias Buddha Tridharma. Janganlah suatu alasan harga diri aliran lah. Semua aliran akhirnya ujungnya sama.
Jasa kelenteng memang sangat besar dalam perkembangan Buddha Dharma. Namun sebenarnya tidak ada aliran yang namanya "Buddha Tridharma" karena Tridharma itu sendiri berarti ketiga agama di bawah satu atap, tetapi tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak campur aduk. Namun karena dulu materi-materi Dharma dan materi-materi agama Tao dan Khonghuchu belumlah banyak dan orang yang paham masih sedikit, sehingga terjadilah campur aduk alias gado-gado.
Nah sekarang sudah banyak pakar-pakar Dharma yang bermunculan dan materi Dharma sudah banyak, maka umat juga otomatis mulai mengetahui perbedaan antara ketiga agama tersebut, perbedaan akan mana yang kelenteng Buddhis mana yang kelenteng Taois. Merupakan usaha yang patut dipuji apabila seseorang berusaha untuk menunjukkan dan menyebarkan ajaran Buddha yang tidak gado-gado dengan konsep agama lain, namun jangan sampai seseorang itu malah merendahkan agama Tao atau Khonghuchu ataupun melupakan jasa-jasa baik itu kelenteng Buddhis ataupun Taois, karena walau bagaimanapun juga unsur Tridharma yang ada di kelenteng2 memberikan kesempatan bagi agama Buddha bangkit kembali setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Mari kita galakkan komunitas Tridharma yang benar-benar mempertahankan integritas agama sendiri-sendiri dan berusaha untuk melepaskan Tridharma yang sukanya gado-gado / sinkretis dan mungkin beberapa cenderung masih percaya dengan takhayul.
_/\_
The Siddha Wanderer
Yang banyak saya temukan adalah Vihara Theravada yang menaruh rupang Bodhisattva Avalokitesvara. Di Vihara Dhamma Jaya di Surabaya banyak rupang Avalokitesvara. Vihara Eka Dharma Loka di Surabaya altar Avalokitesvara ditempatkan di samping altar utama Buddha Sakyamuni. Di Vihara Dhammadipa Arama-nya tempat Bhante Khanti juga kalau tidak salah ada altar Avalokitesvara. Di Vihara Padma Graha yang dibina Bhante Dhammavijayo juga ada rupang Avalokitesvara. Kelenteng yang tuan rumahnya Bodhisattva Avalokitesvara seperti Boen tek Bio (Wen De Miao) juga menjadi Vihara Theravada Padumuttara.
==> jawa timur atau surabaya . wajar lah berarti u udah mulai mencoba analisis pratek lapangan namanya, u musti cek beberapa hal lagi seperti jawa tengah, jawa barat, kalimatan barat, sumatera utara, lebih unik lagi, lebih ribet lagi.
kr****n yang pas di Dinasti Tang itu beraliran Nestorian dan yang masuk di Dinasti Ming itu beraliran ka****k Roma. DI kitab Nestorian kuno di Tiongkok malah ditemukan kata-kata "Buddha" dan pada saat Dinasti Ming, agama kr****n ka****k disanggah dan dikritik oleh para master Buddhis seperti YA Zhuhong dan YA Zhixiu Ouyi, para bhiksu yang pencapaian Dharmanya tak diragukan lagi. Ini dikarenakan oknum2 K pada masa itu menyerang agama Buddha dengan memanfaatkan secara tidak benar ajaran Khonghucu.
==> penyerangan kr****n itu tidak dimulai dari Dinasti ming tapi Chin. Ming ada kelompok trinitas tapi tidak menlakukan 3 g, Masih sifatnya diplomatis, Kalo Chin iya, tau sejarahnya Pemberontakan Boxer, sama Sekte Lotus putih itu semua perlawanan terhadap barat, orang barat di bantai dianggap menjajah, merusak agama dan kepercayaan orang lain. Yang paling parah tuh di Dinasti Chin
oiya baru teringat sebuah pertanyaan menarik soal ini maha dan thera....dikatakan bodhisatva avalokitesvara adalah bhumi ke 9 dalam artian setelah merasakan arahatta phala ia memutuskan tidak nibbana dan menjadi bodhisatva. dikatakan lagi arahat tidak algi menangis kenapa setelah mencapai arahat dan lebih tinggi lagi bisa menangis?
ooo itu Setahu pandangan g baca kayak sudut pandang u kearah cerita avalokitesvara seribu tangan, gini bro avalokitesvara itu Bodhisatva Compassion alias Boddhisatva cinta kasih, Begitulah beliau mendengar kesulitan semua mahluk, pasti di bantu dia, itu sudah sumpah dalam diriNya, dan tertulis dalam sutra ape g lupa, ada di milis, kebetulan beliau dalam legendanya itu dalam kepercayaan masyarakat kenapa bisa menjadi seperti itu, karena tidak adanya para arahat dan Bodhisatva tidak bisa membantu kesulitan semua mahluk, maka beliau sedih. Kira - kira gitu, Jelasnya u baca story legendnya, garis besarnya seingat g saja, kalo ada yang bisa jelasin detail baguslar.mau tanya, yang di bantu itu syaratnya apa ya? apa harus mengucapkan sesuatu? atau harus berdoa kepada Boddhisatva? atau otomatis semua mahluk di tolong? berapa banyak yang telah di tolong?
ooo itu Setahu pandangan g baca kayak sudut pandang u kearah cerita avalokitesvara seribu tangan, gini bro avalokitesvara itu Bodhisatva Compassion alias Boddhisatva cinta kasih, Begitulah beliau mendengar kesulitan semua mahluk, pasti di bantu dia, itu sudah sumpah dalam diriNya, dan tertulis dalam sutra ape g lupa, ada di milis, kebetulan beliau dalam legendanya itu dalam kepercayaan masyarakat kenapa bisa menjadi seperti itu, karena tidak adanya para arahat dan Bodhisatva tidak bisa membantu kesulitan semua mahluk, maka beliau sedih. Kira - kira gitu, Jelasnya u baca story legendnya, garis besarnya seingat g saja, kalo ada yang bisa jelasin detail baguslar.mau tanya, yang di bantu itu syaratnya apa ya? apa harus mengucapkan sesuatu? atau harus berdoa kepada Boddhisatva? atau otomatis semua mahluk di tolong? berapa banyak yang telah di tolong?
Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
==> biayanya besar, penelitian seperti ini butuh waktu lama, project besar, tidak semudah anda dikira, peneliti Agama Buddha saja tidak sanggup semua, hanya sebagian besar, yang kecil- kecil sudah sulit Tongue
==> jawa timur atau surabaya . wajar lah berarti u udah mulai mencoba analisis pratek lapangan namanya, u musti cek beberapa hal lagi seperti jawa tengah, jawa barat, kalimatan barat, sumatera utara, lebih unik lagi, lebih ribet lagi.
==> penyerangan kr****n itu tidak dimulai dari Dinasti ming tapi Chin. Ming ada kelompok trinitas tapi tidak menlakukan 3 g, Masih sifatnya diplomatis, Kalo Chin iya, tau sejarahnya Pemberontakan Boxer, sama Sekte Lotus putih itu semua perlawanan terhadap barat, orang barat di bantai dianggap menjajah, merusak agama dan kepercayaan orang lain. Yang paling parah tuh di Dinasti Chin
sejauh mana pertolongan yang bisa di perbuat oleh Boddhisatva? lebih hebat mana Boddhisatva dengan Tuhan?ooo itu Setahu pandangan g baca kayak sudut pandang u kearah cerita avalokitesvara seribu tangan, gini bro avalokitesvara itu Bodhisatva Compassion alias Boddhisatva cinta kasih, Begitulah beliau mendengar kesulitan semua mahluk, pasti di bantu dia, itu sudah sumpah dalam diriNya, dan tertulis dalam sutra ape g lupa, ada di milis, kebetulan beliau dalam legendanya itu dalam kepercayaan masyarakat kenapa bisa menjadi seperti itu, karena tidak adanya para arahat dan Bodhisatva tidak bisa membantu kesulitan semua mahluk, maka beliau sedih. Kira - kira gitu, Jelasnya u baca story legendnya, garis besarnya seingat g saja, kalo ada yang bisa jelasin detail baguslar.mau tanya, yang di bantu itu syaratnya apa ya? apa harus mengucapkan sesuatu? atau harus berdoa kepada Boddhisatva? atau otomatis semua mahluk di tolong? berapa banyak yang telah di tolong?
konon syaratnya adalah ketulusan. dan mengucapkan permohonan, kalo tidak membuat permohonan (aksi) tentu tidak ada reaksi. Tidak otomatis semua makhluk tertolong. Sudah banyak yg telah ditolong. :P
Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
:))pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
bro Indra hanya menanya pendapat saya, dan apa salahnya saya menjawab apa adanya sesuai jalan pikiran saya?pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
mungkin ada rekan lain yang sudi menjelaskan, silahkan ...
[at] 7tail, maaf gw bukan avalo =))
[at] gandalf, saya melihat koq jadinya seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu seperti sosok imajinasi untuk memberikan pengharapan buat manusia? Kalau diri sendiri dan juga pikiran adalah pelopor nah sosok2 seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu bukankah akan menjadi pelopor suatu kondisi yang membingungkan.
semisal ada seorang yang menginginkan kesembuhan dia memohon pada Kwan Im kemudian dia sembuh, pertanyaannya apakah karena Kwan Im atau karena pikirannya dia sembuh atau karena karmanya dia sembuh (bisa juga jadi contoh misalnya dari ajaran lain ada kasus yang seperti ini apakah Tuhan dia yang menyembuhkan atau karena kepercayaannya yang menyembuhkan dia)
Quote[at] gandalf, saya melihat koq jadinya seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu seperti sosok imajinasi untuk memberikan pengharapan buat manusia? Kalau diri sendiri dan juga pikiran adalah pelopor nah sosok2 seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu bukankah akan menjadi pelopor suatu kondisi yang membingungkan.
semisal ada seorang yang menginginkan kesembuhan dia memohon pada Kwan Im kemudian dia sembuh, pertanyaannya apakah karena Kwan Im atau karena pikirannya dia sembuh atau karena karmanya dia sembuh (bisa juga jadi contoh misalnya dari ajaran lain ada kasus yang seperti ini apakah Tuhan dia yang menyembuhkan atau karena kepercayaannya yang menyembuhkan dia)
Wah tampaknya anda masih bingung dengan penjelasan saya.
Bila anda sebutkan begitu tentu maka ketiga2nya adalah faktoryang bekerjasama yang membuat sang pasien sembuh.
Faktor pertama adalah bantuan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang memiliki kekuatan agung dan membantu memberikan faktor2 yang dapat memasakkan karma baik si pasien.
Faktor kedua adalah karma sang pasien sendiri yang mana apakah sudah cukup untuk dimatangkan oleh Sang Bodhisattva? Bila halangan karmanya terlalu berat, maka Bodhisattva juga tidak bisa membantu.
Faktor ketiga adalah pikiran yaitu dari tekadnya sendiri yang pengen sembuh sehingga mempercepat penyembuhan, pun juga karena ketulusan, keyakinan dan batin Bodhicittanya maka Sang Bodhisattva turut membantu.
Sudah saya tegaskan bahwa dalam Mahayana sosok-sosok itu tentu bukan imajinasi. Tidak ada bukti historis kalau Sariputra atau Mahakasyapa ada dalam sejarah. Demikian juga dengan para Bodhisattva. Apakah mereka itu imajinasi? Dalam paham keyakinan Buddhis, tentu tidak bukan? Sampai saat ini, keberadaan mereka diketahui hanya dari teks-tekls relijius.
Diri sendiri adalah pelopor, namun para Bodhisattva adalah bagaikan guru ataupun kalyanamitra yang membimbing kita. Misal kita belajar berenang dari seorang guru, kita berserah dan menuruti segala perintah guru, memohon pertolongan guru untuk melatih diri kita, tapi ini semua pun bergantung pada latihan berenang kita sendiri, usaha kita sendiri. Ini yang dimaksud memohon pertolongan Bodhisattva tanpa mengabaikan bahwa diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Para Bodhisattva dan Buddha memiliki tubuh Sambhogakaya yang bertujuan untuk membantu praktik kita dalam meditasi ataupun mengenali batin kita sendiri, bagaimana bisa mereka malah membingungkan pikiran? Guru-guru Mahayana dan Vajrayana banyak yang mendapatkan manfaat dari metode-metode ini, sehingga dari mananya yang membingungkan?
_/\_
The Siddha Wanderer
setidaknya ada relik nya Y.A. Sariputta, Maha Mogallana, Kassapa dll... Apakah Bodhisatva Avalokitesvara ada meninggalkan RELIK ?
Bro chingik, apa bedanya seorang boddhisatva dengan dewa?sudah dijelaskan bro Gandalf
pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
mungkin ada rekan lain yang sudi menjelaskan, silahkan ...
kenapa tidak? apa orang dari agama lain yang batinnya baik tidak pernah ditemukan reliknya? apa pernah ada yang coba melihat relik dari agama lain?Quotesetidaknya ada relik nya Y.A. Sariputta, Maha Mogallana, Kassapa dll... Apakah Bodhisatva Avalokitesvara ada meninggalkan RELIK ?
Ah ini pernyataan konyol.....
Saya kira tidak ada sejarawan yang mau mengakui keberadaan para murid Buddha dengan hanya melihat "oh ada relik".
Dan seorang Bodhisattva pun bisa memilih untuk tidak menghasilkan relik. Lagipula sepemahaman saya para Bodhisattva seperti Avalokitesvara dsb itu tidak mengambil wujud seorang manusia, tapi dalam tubuh makhluk dewa.... nah reliknya dari mana?
Lagipula para master Buddhis Tiongkok dan Tibetan yang dikenali sebagai emanasi beragam Bodhisattva pun menghasilkan sharira. Kalau menurut anda Avalokitesvara itu imajinasi, maka kenapa master Buddhis di Tiongkok dan Tibet yang yakin pada beliau / emanasi beliau bisa menghasilkan relik? Apakah orang yang berimajinasi bisa menghasilkan relik? ::) ::)
_/\_
The Siddha Wanderer
Ada yg pernah liat reliknya udang?
Gue pernah liat ^-^ temen saya malah masih simpan tuh relik. ;D
Bentuknya putih dan bulat
bro Indra hanya menanya pendapat saya, dan apa salahnya saya menjawab apa adanya sesuai jalan pikiran saya?pendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
Saya tahu maksud beliaupendapat saya, Sang Buddha telah memberi nasihat yang bijaksana.Dan bagaimana tahu kalau pertolongan yg kita dapat itu berasal dari beliau 'para mahluk suci' dan bukan karena perlindungan kamma kita sendiri? Adakah cara yg dpt dipercaya dan diandalkan dlm membedakan 2 pertolongan di atas? Thanks :)
tidak ada cara , karena sesungguhnya keduanya tak terpisah.
Bro Chingik, bagaimana pendapat anda dengan sabda Sang Buddha berikut ini yg terdapat dalam Samyutta Nikaya:
"Ananda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulaumu, dengan dirimu sendiri sebagai perlindunganmu, tidak ada perlindungan lainnya."
pendapat saya, Bro Chingik Benar !, tapi tidak bisa menjawab apa yang dimaksud dengan yang ditanya Bro Indra, melenceng kemana2 ! Bingung !
Lebih baik Bro Chingik menyatakan saya tidak bisa menjawab, Jujur adalah Niat yang BAIK !
_/\_
mungkin ada rekan lain yang sudi menjelaskan, silahkan ...
saya mengerti apa yg ingin disampaikan bro Indra. Bahwa minta pertolongan kpd Avalokitesvara adalah rancu dengan nasihat Buddha yg menyatakan kita harus menjadikan diri sendiri sebagai pulau.
Tetapi saya dapat memaklumi bahwa masih byk yg tidak memahami prinsip Mahayana, lalu menggunakan konsep yg dipegang sendiri utk menilai ini benar itu salah.
Mohon pertolongan kepada Avalokitesvara tidak bisa diartikan secara sempit bahwa berarti kita hanya duduk dan menunggu pertolongan dan kita sepenuhnya bergantung padanya, dan menganggap kontradiktif dgn nasihat Buddha ttg menjadikan diri sebagai tempat berlindung.
Jika secara kaku mengartikan bahwa menjadikan diri sebagai pelindung tidak berlindung pada yang lain, maka seharusnya kita juga menyanggah pernyataan Berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha.
Permohonan kepada Avalokitesvara bukan berarti kita hanya berlindung pada yg luar, dan tidak berlindung pada diri sendiri.
Sama seperti ketika anda mengalami kecelakaan lalu minta pertolongan kepada orang sekitar, bukan berarti anda sepenuhnya berlindung pada orang lain dan tidak pernah lagi berlindung/ berusaha sendiri.
Praktisi mahayana juga tidak mengabaikan prinsip tentang usaha sendiri/ menjadikan diri sebagai pelita. Secara mutlak Avalokitesvara tidak bisa menyulap orang menjadi Tercerahkan, tetapi bagaimanapun juga ketika Dia dgn batin Maitri Karunanya memberikan sedikit "uluran tangan", itu sudah merupakan nilai yang sangat berarti, mengapa?
1. Avalokitesvara adalah siswa dari Buddha, siswa yg mengekspresikan Maitri Karuna melalui adhitana yg demikian agung, maka apalagi dengan keagungan Buddha, tentu menjadi lebih besar, hingga kita menjadi sangat respek terhadap Buddha.
2. Avalokistesvara mengaktualisasi Dharma melalui adhitana yg demikian agung, maka kita menjadi kagum dan terinpirasi utk mengikuti praktik2 Dharma yg agung seperti itu.
3. Avalokitesvara adalah bagian dari Ariya Sangha, maka kita menjadi sangat respek terhadap Sangha.
Berikut ada satu kisah yg menggambarkan bahwa pemujaan Avalokitesvara dalam Mahayana bukan berarti bergantung/berlindung spenuhnya pada Nya:
Seorang pemuda melihat patung Avalokitesvara yg sedang memegang tasbih, lalu ia bertanya pada seorang bhiksu mengapa Avalokitesvara memegang tasbih. Bhiksu itu menjawab, "Avalokitesvara menggunakan tasbih utk melafal "Namo Avalokitesvara Bodhisatvaya". Pemuda ini menjadi heran, "mengapa melafal nama sendiri?" , Bhiksu itu lalu menjawab, "Memohon kepada orang lain, bukankah lebih baik memohon pada diri sendiri?"
So, janganlah salah memahami makna pemujaan pada Avalokitesvara. Ada yang bertanya, "kalo gitu, apakah sia-sia memohon pada Nya?" Relatif, tergantung apa tujuan anda, yg jelas adalah sia2 jika anda ingin memohon rejeki hanya demi memuaskan nafsu keinginan anda.
Demikian penjelasan singkatnya. (Mohon jgn menggunakan kacamata sekte utk mencari penilaian penjelasan di atas, mari kita saling memahami pandangan masing2, terima kasih) :)
Quotesetidaknya ada relik nya Y.A. Sariputta, Maha Mogallana, Kassapa dll... Apakah Bodhisatva Avalokitesvara ada meninggalkan RELIK ?
Ah ini pernyataan konyol.....
Saya kira tidak ada sejarawan yang mau mengakui keberadaan para murid Buddha dengan hanya melihat "oh ada relik".
Dan seorang Bodhisattva pun bisa memilih untuk tidak menghasilkan relik. Lagipula sepemahaman saya para Bodhisattva seperti Avalokitesvara dsb itu tidak mengambil wujud seorang manusia, tapi dalam tubuh makhluk dewa.... nah reliknya dari mana?
Lagipula para master Buddhis Tiongkok dan Tibetan yang dikenali sebagai emanasi beragam Bodhisattva pun menghasilkan sharira. Kalau menurut anda Avalokitesvara itu imajinasi, maka kenapa master Buddhis di Tiongkok dan Tibet yang yakin pada beliau / emanasi beliau bisa menghasilkan relik? Apakah orang yang berimajinasi bisa menghasilkan relik? ::) ::)
Oya kemarin waktu pameran relik di Surabaya, ada reliknya Kasyapa Buddha sama Vajrasattva malah... nah lho?
_/\_
The Siddha Wanderer
Ada yg pernah liat reliknya udang?
Gue pernah liat ^-^ temen saya malah masih simpan tuh relik. ;D
Bentuknya putih dan bulat
Ow ya?? Ternyata hewan juga bisa pencerahan.... 8) 8)...cool bro....
_/\_
The Siddha Wanderer
yg tidak mengakui akan keberadaan avalokitesvara,sudah bisa di pastikan mereka bukan agama buddha, apalagi menganggap avalokites adalah racun,kalau saya,,,,,,,,,,,,,,
jangankan avalokites yesus dan muhammad aja saya yakini sebab beliu adalah manusia yg pernah hidup untuk kebahagian semua mahluk hidup di muka bumi ini.
sudah di baca, thanksBro chingik, apa bedanya seorang boddhisatva dengan dewa?sudah dijelaskan bro Gandalf
sejauh mana pertolongan yang bisa di perbuat oleh Boddhisatva? lebih hebat mana Boddhisatva dengan Tuhan?ooo itu Setahu pandangan g baca kayak sudut pandang u kearah cerita avalokitesvara seribu tangan, gini bro avalokitesvara itu Bodhisatva Compassion alias Boddhisatva cinta kasih, Begitulah beliau mendengar kesulitan semua mahluk, pasti di bantu dia, itu sudah sumpah dalam diriNya, dan tertulis dalam sutra ape g lupa, ada di milis, kebetulan beliau dalam legendanya itu dalam kepercayaan masyarakat kenapa bisa menjadi seperti itu, karena tidak adanya para arahat dan Bodhisatva tidak bisa membantu kesulitan semua mahluk, maka beliau sedih. Kira - kira gitu, Jelasnya u baca story legendnya, garis besarnya seingat g saja, kalo ada yang bisa jelasin detail baguslar.mau tanya, yang di bantu itu syaratnya apa ya? apa harus mengucapkan sesuatu? atau harus berdoa kepada Boddhisatva? atau otomatis semua mahluk di tolong? berapa banyak yang telah di tolong?
konon syaratnya adalah ketulusan. dan mengucapkan permohonan, kalo tidak membuat permohonan (aksi) tentu tidak ada reaksi. Tidak otomatis semua makhluk tertolong. Sudah banyak yg telah ditolong. :P
kenapa tidak? apa orang dari agama lain yang batinnya baik tidak pernah ditemukan reliknya? apa pernah ada yang coba melihat relik dari agama lain?
yg tidak mengakui akan keberadaan avalokitesvara,sudah bisa di pastikan mereka bukan agama buddha, apalagi menganggap avalokites adalah racun,kalau saya,,,,,,,,,,,,,,
jangankan avalokites yesus dan muhammad aja saya yakini sebab beliu adalah manusia yg pernah hidup untuk kebahagian semua mahluk hidup di muka bumi ini.
ya memang saya masih bingung, soal faktor pertama itu apa bedanya dengan misalkan seseorang itu meminta2 kepada dewa .... atau dewi ....? atau bahkan kepada Penciptanya?Quote[at] gandalf, saya melihat koq jadinya seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu seperti sosok imajinasi untuk memberikan pengharapan buat manusia? Kalau diri sendiri dan juga pikiran adalah pelopor nah sosok2 seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu bukankah akan menjadi pelopor suatu kondisi yang membingungkan.
semisal ada seorang yang menginginkan kesembuhan dia memohon pada Kwan Im kemudian dia sembuh, pertanyaannya apakah karena Kwan Im atau karena pikirannya dia sembuh atau karena karmanya dia sembuh (bisa juga jadi contoh misalnya dari ajaran lain ada kasus yang seperti ini apakah Tuhan dia yang menyembuhkan atau karena kepercayaannya yang menyembuhkan dia)
Wah tampaknya anda masih bingung dengan penjelasan saya.
Bila anda sebutkan begitu tentu maka ketiga2nya adalah faktoryang bekerjasama yang membuat sang pasien sembuh.
Faktor pertama adalah bantuan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang memiliki kekuatan agung dan membantu memberikan faktor2 yang dapat memasakkan karma baik si pasien.
Faktor kedua adalah karma sang pasien sendiri yang mana apakah sudah cukup untuk dimatangkan oleh Sang Bodhisattva? Bila halangan karmanya terlalu berat, maka Bodhisattva juga tidak bisa membantu.
Faktor ketiga adalah pikiran yaitu dari tekadnya sendiri yang pengen sembuh sehingga mempercepat penyembuhan, pun juga karena ketulusan, keyakinan dan batin Bodhicittanya maka Sang Bodhisattva turut membantu.
Sudah saya tegaskan bahwa dalam Mahayana sosok-sosok itu tentu bukan imajinasi. Tidak ada bukti historis kalau Sariputra atau Mahakasyapa ada dalam sejarah. Demikian juga dengan para Bodhisattva. Apakah mereka itu imajinasi? Dalam paham keyakinan Buddhis, tentu tidak bukan? Sampai saat ini, keberadaan mereka diketahui hanya dari teks-tekls relijius.
Diri sendiri adalah pelopor, namun para Bodhisattva adalah bagaikan guru ataupun kalyanamitra yang membimbing kita. Misal kita belajar berenang dari seorang guru, kita berserah dan menuruti segala perintah guru, memohon pertolongan guru untuk melatih diri kita, tapi ini semua pun bergantung pada latihan berenang kita sendiri, usaha kita sendiri. Ini yang dimaksud memohon pertolongan Bodhisattva tanpa mengabaikan bahwa diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Para Bodhisattva dan Buddha memiliki tubuh Sambhogakaya yang bertujuan untuk membantu praktik kita dalam meditasi ataupun mengenali batin kita sendiri, bagaimana bisa mereka malah membingungkan pikiran? Guru-guru Mahayana dan Vajrayana banyak yang mendapatkan manfaat dari metode-metode ini, sehingga dari mananya yang membingungkan?
_/\_
The Siddha Wanderer
tapi sayangnya, saya yakin kepada TIRATANA !
Namaste
Kalo ga salah pernah ada seorang nenek dia membaca liamkengnya rajin, kemudian ketika meninggal di bakar ada sariranya apakah dia telah mencapai nirwana?Quotekenapa tidak? apa orang dari agama lain yang batinnya baik tidak pernah ditemukan reliknya? apa pernah ada yang coba melihat relik dari agama lain?
Karena setahu saya relik di agama lain nggak kaya sharira di agama Buddha.... misalnya relik para Santo kan bukan hasil dibakar, karena dalam paham Kristianitas harus dikubur, sedangkan sharira kan ditemukan setelah kremasi.... bentuknya pun saya lihat beda. Di tradisi Jain dan Hindu setahu saya juga tidak ada sharira.
Lagipula relik [sharira] itu hanya muncul dari tubuh seseorang yang telah mencapai Nirvana...
_/\_
The Siddha Wanderer
ya memang saya masih bingung, soal faktor pertama itu apa bedanya dengan misalkan seseorang itu meminta2 kepada dewa .... atau dewi ....? atau bahkan kepada Penciptanya?Quote[at] gandalf, saya melihat koq jadinya seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu seperti sosok imajinasi untuk memberikan pengharapan buat manusia? Kalau diri sendiri dan juga pikiran adalah pelopor nah sosok2 seperti Buddha Amitabha, kwan Im dll itu bukankah akan menjadi pelopor suatu kondisi yang membingungkan.
semisal ada seorang yang menginginkan kesembuhan dia memohon pada Kwan Im kemudian dia sembuh, pertanyaannya apakah karena Kwan Im atau karena pikirannya dia sembuh atau karena karmanya dia sembuh (bisa juga jadi contoh misalnya dari ajaran lain ada kasus yang seperti ini apakah Tuhan dia yang menyembuhkan atau karena kepercayaannya yang menyembuhkan dia)
Wah tampaknya anda masih bingung dengan penjelasan saya.
Bila anda sebutkan begitu tentu maka ketiga2nya adalah faktoryang bekerjasama yang membuat sang pasien sembuh.
Faktor pertama adalah bantuan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang memiliki kekuatan agung dan membantu memberikan faktor2 yang dapat memasakkan karma baik si pasien.
Faktor kedua adalah karma sang pasien sendiri yang mana apakah sudah cukup untuk dimatangkan oleh Sang Bodhisattva? Bila halangan karmanya terlalu berat, maka Bodhisattva juga tidak bisa membantu.
Faktor ketiga adalah pikiran yaitu dari tekadnya sendiri yang pengen sembuh sehingga mempercepat penyembuhan, pun juga karena ketulusan, keyakinan dan batin Bodhicittanya maka Sang Bodhisattva turut membantu.
Sudah saya tegaskan bahwa dalam Mahayana sosok-sosok itu tentu bukan imajinasi. Tidak ada bukti historis kalau Sariputra atau Mahakasyapa ada dalam sejarah. Demikian juga dengan para Bodhisattva. Apakah mereka itu imajinasi? Dalam paham keyakinan Buddhis, tentu tidak bukan? Sampai saat ini, keberadaan mereka diketahui hanya dari teks-tekls relijius.
Diri sendiri adalah pelopor, namun para Bodhisattva adalah bagaikan guru ataupun kalyanamitra yang membimbing kita. Misal kita belajar berenang dari seorang guru, kita berserah dan menuruti segala perintah guru, memohon pertolongan guru untuk melatih diri kita, tapi ini semua pun bergantung pada latihan berenang kita sendiri, usaha kita sendiri. Ini yang dimaksud memohon pertolongan Bodhisattva tanpa mengabaikan bahwa diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Para Bodhisattva dan Buddha memiliki tubuh Sambhogakaya yang bertujuan untuk membantu praktik kita dalam meditasi ataupun mengenali batin kita sendiri, bagaimana bisa mereka malah membingungkan pikiran? Guru-guru Mahayana dan Vajrayana banyak yang mendapatkan manfaat dari metode-metode ini, sehingga dari mananya yang membingungkan?
_/\_
The Siddha Wanderer
ya memang saya masih bingung, soal faktor pertama itu apa bedanya dengan misalkan seseorang itu meminta2 kepada dewa .... atau dewi ....? atau bahkan kepada Penciptanya?
QuoteKalo ga salah pernah ada seorang nenek dia membaca liamkengnya rajin, kemudian ketika meninggal di bakar ada sariranya apakah dia telah mencapai nirwana?
berarti bodhisatva tiidak usah di beri sesembahan yak? ;DQuoteya memang saya masih bingung, soal faktor pertama itu apa bedanya dengan misalkan seseorang itu meminta2 kepada dewa .... atau dewi ....? atau bahkan kepada Penciptanya?
Minta pada para dewa dan Sang pencipta kagak perlu Bodhicitta boss..... huehuehue...... asal dikasih berbagai persembahan dan puja2 udah bakalan senang si makhluk alam dewa.
Bedanya ada satu lagi..... kalau di agama lain kan gak ada faktor karma! Di agama H aja Tuhannya bisa ngehapus karma buruk..... hmmmm.....
_/\_
The Siddha Wanderer
berarti bodhisatva tiidak usah di beri sesembahan yak? Grin
apakah dia maha tau?
Soal pembuktian-pembuktian seperti ini tidak akan pernah habis perdebatannya. Karena keterbatasan alat dan kemampuan kita sendiri. Misalnya kita bilang ini lho relik Buddha Gotama, pasti ditanya lagi "tau dari mana itu relik Buddha?" Atau relik gigi Buddha, apakah bisa diuji DNA nya, kalo teruji, bgm bisa tau itu DNAnya benar punya Buddha Gotama?Quotesetidaknya ada relik nya Y.A. Sariputta, Maha Mogallana, Kassapa dll... Apakah Bodhisatva Avalokitesvara ada meninggalkan RELIK ?
Ah ini pernyataan konyol.....
Saya kira tidak ada sejarawan yang mau mengakui keberadaan para murid Buddha dengan hanya melihat "oh ada relik".
Dan seorang Bodhisattva pun bisa memilih untuk tidak menghasilkan relik. Lagipula sepemahaman saya para Bodhisattva seperti Avalokitesvara dsb itu tidak mengambil wujud seorang manusia, tapi dalam tubuh makhluk dewa.... nah reliknya dari mana?
Lagipula para master Buddhis Tiongkok dan Tibetan yang dikenali sebagai emanasi beragam Bodhisattva pun menghasilkan sharira. Kalau menurut anda Avalokitesvara itu imajinasi, maka kenapa master Buddhis di Tiongkok dan Tibet yang yakin pada beliau / emanasi beliau bisa menghasilkan relik? Apakah orang yang berimajinasi bisa menghasilkan relik? ::) ::)
Oya kemarin waktu pameran relik di Surabaya, ada reliknya Kasyapa Buddha sama Vajrasattva malah... nah lho?
_/\_
The Siddha Wanderer
Mantap.... Analogi yang sdr.gandalf katakan bisa juga diterapkan untuk Buddha Gotama... Tidak bisa dibuktikan keberadaan Buddha Gotama secara historis hanya berdasarkan Relik-nya saja... Iya donk...
_/\_
Saya mau tanya ke pihak Mahayanis... :)
Jubah bhikkhu di Theravada dan bhiksu di Mahayana kan berbeda. Kenapa bisa berbeda seperti itu? Kadang seorang bhiksu di Mahayana juga memakai jubah yang lengkap dengan berbagai aksesoris spiritual lainnya. Dan antar sub-aliran di Mahayana sendiri, juga terdapat perbedaan di jubahnya. Misalnya bhiksu Aliran Zen di Jepang memakai jubah berwarna hitam, sedangkan bhiksu Aliran Sukhavati di Taiwan memakai jubah berwarna kelabu.
Apa yang menyebabkan perbedaan ini?
masalah meminta kepada dewa, ada kok bikkhu thai, pernah mengajak beberapa umat ke ruang dhammasala...
kemudian bikkhu thai itu membacakan paritta dalam bahasa thai, sesudah itu umat disuruh ber-addhithana...setelah selesai bikkhu itu menyuruh namaskara ke dewata...
loh ,bukankah Ananda disebutkan telah mencapai Savaka-buddha sebelum sang buddha parinibbana.....ada kok dalam saddhamapundarika sutra...
benar mana neh..
masalah meminta kepada dewa, ada kok bikkhu thai, pernah mengajak beberapa umat ke ruang dhammasala...
kemudian bikkhu thai itu membacakan paritta dalam bahasa thai, sesudah itu umat disuruh ber-addhithana...setelah selesai bikkhu itu menyuruh namaskara ke dewata...
Hmm.... sampai bernamaskara segala....
Ngomong2 dewa apa itu? Apa secara Buddhisme Thai sang dewa sudah bertekad untuk melindungi Buddha Dhamma dan berlindung pada Tiratana? Apakah sang dewa telah mencapai tingkat-tingkat kesucian?
Kalau memang sudah, maka umat bernamaskara bisa dimaklumi, namun kalau berlindung saja dewanya nggak, kesucian aja belum nyampe, maka namaskara ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa umat Buddhis yang berlindung pada Tiratana menghormat dewa dewi duniawi seperti menghormat pada Tiratana?
Kalau saya, sama dewa dewi duniawi biasanya saya cuma namaste, kalau terhadap para Buddha, Bodhisattva dan para Dewa Pelindung Dharma saya baru bernamaskara.
Quote from: bond on 20 November 2009, 09:48:20 PM
Kalo Lu Sheng yen lulusan mana yak?
Tantra sex(tantrayana) itu bagian dari mahayana bukan?
Biksu2 shaolin yg mengajarkan bela diri bahkan konon dalam cerita kadangkala ikut dalam dunia persilatan , apakah itu sesuai dengan ajaran Buddha?
Quote from: Jerry
Apa batasan aliran2 buddhism digolongkan sebagai mahayana? kalau theravada batasannya kan sudah jelas sekali.
Varian turunannya di Jepang lebih lebih lagi.. Kalo yg bhikshu shaolin ikut perang juga biasanya utk memadamkan pemberontakan, for a greater good lah.. Senjatanya juga masih toya. Beda lg dgn yg di Jepang, ada bhikshu militan yg memang dibentuk utk siap berperang. Senjatanya udah naginata, yg seperti pegangan Kuan Kong. Trus di Jepang juga ada aliran Buddhisme yg kepala biara boleh menikah. Yah kalo bahasa politiknya partai Koalisi Reformasi lah lawan partai Orthodoks lah.. Grin
Tujuan saya bernamaskara 3x, adalah
kepada Buddha, Mengormati Beliau adalah Guru Agung
kepada Dhamma, Menghormati Ajaran yang dapat menuntun tuk mencapai Pencerahan/Kebebasan Sejati (Nibbana)
kepada Sangha, Menghormati Sangha Bhikkhu karena melestarikan Buddha Dhamma, Sangha Bhikkhu Mempratekkan kehidupan Suci, Sangha Bhikkhu Menjalakan Vinaya & Sila dengan Sempurna
Dan jika ada umat yang menghormati para Dewata, itu juga perbuatan Baik, tidak peduli para Dewa sudah mencapai kesucian atau tidak !
Emang ada manusia biasa yang bisa tahu ada dewa yang sudah mencapai kesucian atau tidak ?
Dapat menjadi Makhluk Dewa(penghuni Surga), adalah karena KEBAJIKAN mereka,
jadi kita tidak salah apabila menghormati para Dewata, baik dengan namaskara maupun cara lain ataupun disuruh menghormati
:)) kepada orangtuanya yg masih hidup tidak namaste tapi kepada seongok tulang namaste (liat di sutra bakti yang palsu :)) ) ko gak di ceritain tulangnya pecah :))QuoteTujuan saya bernamaskara 3x, adalah
kepada Buddha, Mengormati Beliau adalah Guru Agung
kepada Dhamma, Menghormati Ajaran yang dapat menuntun tuk mencapai Pencerahan/Kebebasan Sejati (Nibbana)
kepada Sangha, Menghormati Sangha Bhikkhu karena melestarikan Buddha Dhamma, Sangha Bhikkhu Mempratekkan kehidupan Suci, Sangha Bhikkhu Menjalakan Vinaya & Sila dengan Sempurna
Dan jika ada umat yang menghormati para Dewata, itu juga perbuatan Baik, tidak peduli para Dewa sudah mencapai kesucian atau tidak !
Emang ada manusia biasa yang bisa tahu ada dewa yang sudah mencapai kesucian atau tidak ?
Dapat menjadi Makhluk Dewa(penghuni Surga), adalah karena KEBAJIKAN mereka,
jadi kita tidak salah apabila menghormati para Dewata, baik dengan namaskara maupun cara lain ataupun disuruh menghormati
Ooh... berarti apakah anda bernamaskara pada Triratna itu - cuma sekedar menghormati? Apakah berlindung itu sama dengan menghormati? Umat K dan I aja bisa hormat sama Triratna, tapi apa mereka berlindung, kan ya nggak toh!
Menghormati dewa memang adalah hal yang baik, ini menunjukkan kalau kita sebenarnya punya etika untuk menghormati orang yang banyak melakukan kebajikan. Maka dari itu saya bernamaste pada para dewa, yang mana saya lakukan karena saya menghormati mereka.
Di kehidupan bermasyarakat pula kita menghormati ornag-orang juga dengan cara yang berbeda. Bila ketemu bhiksu kita bahkan bernamaste dan bernamaskara, nah kalau kita ketemu ulama atau pastor ya apa kita bernamaste dan bernamaskara? Kan ya nggak toh? Demikain juga kita sebgaai umat Buddhis yang bernamaskaranya pada Triratna, kalau pada dewa dewi duniawi yang nggak jelas tercerahkan atau belum ya cukup namaste saja.
Dewa sudah tercerahkan atau belum, sementara kita hanya tahu lewat teks-teks Buddhis saja, baik yang diucapkan oleh Sang Buddha maupun guru-guru yang tercerahkan lainnya. karena setidaknya ada patokannya.
Tapi bukan berarti kalau nggak ada dalam catatan maka dewanya tidak tercerahkan. Tidak, bukan begitu. Tapi setidaknya kita mencari jalan amannya saja, karena kita tahu bahwa dewa dewi duniawi bisa memunculkan niat buruk juga, contohnya lihat Mara Putradewa. Apa mau anda saya suruh namaskara pada Mara Putradewa alias Vessavati Mara? Bahkan bernamaste aja orang belum tentu mau.
Maka dari itu ketika guru2 agung tercerahkan sudah memastikan bahwa sang dewa telah berlindung pada Triratna dan mencapai tingkat kesucian, setidaknya kita sudah ada dasar yang jelas, tidak sembarang main hormat, nanti salah2 pada dewa yang hatinya jelek juga kita hormati! Nah lho?
Maka dari itu sebenarnya Tripitaka dan anjuran guru2 yang tercerahkan itu setidaknya dapat menjadi pegangan bagi kita2 yang belum memiliki divyacakshu atau mencapai tingkat-tingkat pencerahan.
Bahkan Sang Buddha yang menghormati ayahnya saja, tidak bernamaskara pada beliau karena tidak mungkin seorang Samyaksambuddha menghormat pada umat awam dengan cara demikian, karena akan menyebakan kepala orang yang dihormati menjadi terbelah. Mahasiddha Virupa yang tercerahkan ketika dipaksa oleh umat Hindu untuk menghormat patung dewa Shiva, merangkapkan kedua tangannya beranjali menghormat pada Shiva sembari mengucapkan Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya di hadapan rupang Shiva. Tapi setelah mengucapkan hal tersebut, rupang Shiva malah hancur berantakan.
Maka dari itu jangan menggampangkan arti dari sebuah tindakan namaskara.
Kalau saya, saya bernamaskara terhadap Triratna tidak hanya menghormati, namun juga dengan keyakinan dan perlindungan pada Sang Triratna. Dan tampaknya pandangan Buddhis juga demikian.
Kalau sembarang, bisa2 umat Buddhis namaskara di gereja, namaskara di mesjid, namaskara di pura, yah katanya menghormati, ya dinamaskara aja semua. Kita juga nggak tahu pasti Tuhan mereka tercerahkan atau tidak.
_/\_
The Siddha Wanderer
loh apa bedanya? bukankah di sutra2 sering di sebut asal memperbanyak sutra maka karma buruk bisa hilang, apalagi kalau baca liamkeng beribu2 X.Quoteya memang saya masih bingung, soal faktor pertama itu apa bedanya dengan misalkan seseorang itu meminta2 kepada dewa .... atau dewi ....? atau bahkan kepada Penciptanya?
Minta pada para dewa dan Sang pencipta kagak perlu Bodhicitta boss..... huehuehue...... asal dikasih berbagai persembahan dan puja2 udah bakalan senang si makhluk alam dewa.
Bedanya ada satu lagi..... kalau di agama lain kan gak ada faktor karma! Di agama H aja Tuhannya bisa ngehapus karma buruk..... hmmmm.....
_/\_
The Siddha Wanderer
laugh kepada orangtuanya yg masih hidup tidak namaste tapi kepada seongok tulang namaste (liat di sutra bakti yang palsu laugh ) ko gak di ceritain tulangnya pecah laugh
loh apa bedanya? bukankah di sutra2 sering di sebut asal memperbanyak sutra maka karma buruk bisa hilang, apalagi kalau baca liamkeng beribu2 X.
sudah dibaca, sayangnya di sutra2 yang di perbanyak tidak ada kek gitu boss, cuma adanya perbanyak sutra doang yang di tegaskan laugh
Sebenarnya penjelasan2 seperti itu tidak ada bedanya dengan ajaran lain yang katanya asal percaya masuk surga (itu juga ada penjelasannya dan tidak akan beda jauh sama penjelasan di link itu)
nah kenapa yang populernya itu yang gampangnya saja?bukan yang keterangan2 itu? tidak beda jauh khan? yang populer itu perbanyak sutra, baca liamkeng, trus kalo ga salah ada san bu yi pai (buat nebus dosa juga yak?) Grin
Bukan soal mau atau tidak belajar, sejauh mana sutra2 itu berkembang di indonesia? Dan sejauh mana penjelasan2 nya di berikan kepada umat? Dan sejauh mana pembuktian sutra2 itu benar2 di sabdakan oleh Buddha?
Quotekenapa tidak? apa orang dari agama lain yang batinnya baik tidak pernah ditemukan reliknya? apa pernah ada yang coba melihat relik dari agama lain?
Karena setahu saya relik di agama lain nggak kaya sharira di agama Buddha.... misalnya relik para Santo kan bukan hasil dibakar, karena dalam paham Kristianitas harus dikubur, sedangkan sharira kan ditemukan setelah kremasi.... bentuknya pun saya lihat beda. Di tradisi Jain dan Hindu setahu saya juga tidak ada sharira.
Lagipula relik [sharira] itu hanya muncul dari tubuh seseorang yang telah mencapai Nirvana...
_/\_
The Siddha Wanderer
IMO, relik hanyalah sisa2 jasmani setelah pemakaman, sama sekali tidak berhubungan dengan nirvana,
QuoteIMO, relik hanyalah sisa2 jasmani setelah pemakaman, sama sekali tidak berhubungan dengan nirvana,
Apa semua orang bisa menghasilkan relik ketika dikremasi?
_/\_
The Siddha Wanderer
Quotesudah dibaca, sayangnya di sutra2 yang di perbanyak tidak ada kek gitu boss, cuma adanya perbanyak sutra doang yang di tegaskan laugh
Sebenarnya penjelasan2 seperti itu tidak ada bedanya dengan ajaran lain yang katanya asal percaya masuk surga (itu juga ada penjelasannya dan tidak akan beda jauh sama penjelasan di link itu)
nah kenapa yang populernya itu yang gampangnya saja?bukan yang keterangan2 itu? tidak beda jauh khan? yang populer itu perbanyak sutra, baca liamkeng, trus kalo ga salah ada san bu yi pai (buat nebus dosa juga yak?) Grin
Ya makanya kalau orang mau belajar, harus sungguh-sungguh dan secara holistik, jangan sepenggal2, apalagi belajar Sutra...hehe....
Jangan pake kata2 "nebus dosa" ah, istilah "purifikasi karma" lebih cocok.
_/\_
The Siddha Wanderer
Tujuan saya bernamaskara 3x, adalah
kepada Buddha, Mengormati Beliau adalah Guru Agung
kepada Dhamma, Menghormati Ajaran yang dapat menuntun tuk mencapai Pencerahan/Kebebasan Sejati (Nibbana)
kepada Sangha, Menghormati Sangha Bhikkhu karena melestarikan Buddha Dhamma, Sangha Bhikkhu Mempratekkan kehidupan Suci, Sangha Bhikkhu Menjalakan Vinaya & Sila dengan Sempurna
Dan jika ada umat yang menghormati para Dewata, itu juga perbuatan Baik, tidak peduli para Dewa sudah mencapai kesucian atau tidak !
Emang ada manusia biasa yang bisa tahu ada dewa yang sudah mencapai kesucian atau tidak ?
Dapat menjadi Makhluk Dewa(penghuni Surga), adalah karena KEBAJIKAN mereka,
jadi kita tidak salah apabila menghormati para Dewata, baik dengan namaskara maupun cara lain ataupun disuruh menghormati
Ooh... berarti apakah anda bernamaskara pada Triratna itu - cuma sekedar menghormati? Apakah berlindung itu sama dengan menghormati? Umat K dan I aja bisa hormat sama Triratna, tapi apa mereka berlindung, kan ya nggak toh!
Menghormati dewa memang adalah hal yang baik, ini menunjukkan kalau kita sebenarnya punya etika untuk menghormati orang yang banyak melakukan kebajikan. Maka dari itu saya bernamaste pada para dewa, yang mana saya lakukan karena saya menghormati mereka.
Di kehidupan bermasyarakat pula kita menghormati ornag-orang juga dengan cara yang berbeda. Bila ketemu bhiksu kita bahkan bernamaste dan bernamaskara, nah kalau kita ketemu ulama atau pastor ya apa kita bernamaste dan bernamaskara? Kan ya nggak toh? Demikain juga kita sebgaai umat Buddhis yang bernamaskaranya pada Triratna, kalau pada dewa dewi duniawi yang nggak jelas tercerahkan atau belum ya cukup namaste saja.
Dewa sudah tercerahkan atau belum, sementara kita hanya tahu lewat teks-teks Buddhis saja, baik yang diucapkan oleh Sang Buddha maupun guru-guru yang tercerahkan lainnya. karena setidaknya ada patokannya.
Tapi bukan berarti kalau nggak ada dalam catatan maka dewanya tidak tercerahkan. Tidak, bukan begitu. Tapi setidaknya kita mencari jalan amannya saja, karena kita tahu bahwa dewa dewi duniawi bisa memunculkan niat buruk juga, contohnya lihat Mara Putradewa. Apa mau anda saya suruh namaskara pada Mara Putradewa alias Vessavati Mara? Bahkan bernamaste aja orang belum tentu mau.
Maka dari itu ketika guru2 agung tercerahkan sudah memastikan bahwa sang dewa telah berlindung pada Triratna dan mencapai tingkat kesucian, setidaknya kita sudah ada dasar yang jelas, tidak sembarang main hormat, nanti salah2 pada dewa yang hatinya jelek juga kita hormati! Nah lho?
Maka dari itu sebenarnya Tripitaka dan anjuran guru2 yang tercerahkan itu setidaknya dapat menjadi pegangan bagi kita2 yang belum memiliki divyacakshu atau mencapai tingkat-tingkat pencerahan.
Bahkan Sang Buddha yang menghormati ayahnya saja, tidak bernamaskara pada beliau karena tidak mungkin seorang Samyaksambuddha menghormat pada umat awam dengan cara demikian, karena akan menyebakan kepala orang yang dihormati menjadi terbelah. Mahasiddha Virupa yang tercerahkan ketika dipaksa oleh umat Hindu untuk menghormat patung dewa Shiva, merangkapkan kedua tangannya beranjali menghormat pada Shiva sembari mengucapkan Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya di hadapan rupang Shiva. Tapi setelah mengucapkan hal tersebut, rupang Shiva malah hancur berantakan.
Maka dari itu jangan menggampangkan arti dari sebuah tindakan namaskara.
Kalau saya, saya bernamaskara terhadap Triratna tidak hanya menghormati, namun juga dengan keyakinan dan perlindungan pada Sang Triratna. Dan tampaknya pandangan Buddhis juga demikian.
Kalau sembarang, bisa2 umat Buddhis namaskara di gereja, namaskara di mesjid, namaskara di pura, yah katanya menghormati, ya dinamaskara aja semua. Kita juga nggak tahu pasti Tuhan mereka tercerahkan atau tidak.
Saya mau tanya ke pihak Mahayanis... :)
Jubah bhikkhu di Theravada dan bhiksu di Mahayana kan berbeda. Kenapa bisa berbeda seperti itu? Kadang seorang bhiksu di Mahayana juga memakai jubah yang lengkap dengan berbagai aksesoris spiritual lainnya. Dan antar sub-aliran di Mahayana sendiri, juga terdapat perbedaan di jubahnya. Misalnya bhiksu Aliran Zen di Jepang memakai jubah berwarna hitam, sedangkan bhiksu Aliran Sukhavati di Taiwan memakai jubah berwarna kelabu.
Apa yang menyebabkan perbedaan ini?
- Ada yang lupa jawab yang ini, saking asiknya bahas shaolin kungfu, Perbedaan pakaian atau jubah tidak hanya mahayana saja tapi juga teravada juga. dalam lingkungan di India jubah teravada berbeda kita temui di thailand, birma, maupun kamboja, biasanya kalo di India Full jubahnya, sementara kalo yang di thailand dsbnya, samping bahunya terbuka, semua tergantung dari adat istiadat dan wilayah.
- Dalam lingkungan mahayana Seperti China,jepang korea dan Taiwan, itu hampir sama, kewajiban menggunakan jubah warna kuning sebenarnya, kalau warna kelabu atau coklat biasanya kalo tidak sedang upacara, atau sedang santai, kalau upacara besar diwajibkan kuning, Warna kelabu dipakai kalau dia sedang tidak mengadakan upacara besar atau sembayang, kalau upacara besar sudah dipastikan diharuskan warna kuning.
- Dalam lingkungan vajrayana biasanya bajunya warnanya merah, pakaian kalau sedang umum biasanya warnanya kuning, kadang merah, kadang orannye.
garis besarnya seperti itu .
Di kehidupan bermasyarakat pula kita menghormati ornag-orang juga dengan cara yang berbeda. Bila ketemu bhiksu kita bahkan bernamaste dan bernamaskara, nah kalau kita ketemu ulama atau pastor ya apa kita bernamaste dan bernamaskara? Kan ya nggak toh? Demikain juga kita sebgaai umat Buddhis yang bernamaskaranya pada Triratna, kalau pada dewa dewi duniawi yang nggak jelas tercerahkan atau belum ya cukup namaste saja._/\_
Dewa sudah tercerahkan atau belum, sementara kita hanya tahu lewat teks-teks Buddhis saja, baik yang diucapkan oleh Sang Buddha maupun guru-guru yang tercerahkan lainnya. karena setidaknya ada patokannya.
Tapi bukan berarti kalau nggak ada dalam catatan maka dewanya tidak tercerahkan. Tidak, bukan begitu. Tapi setidaknya kita mencari jalan amannya saja, karena kita tahu bahwa dewa dewi duniawi bisa memunculkan niat buruk juga, contohnya lihat Mara Putradewa. Apa mau anda saya suruh namaskara pada Mara Putradewa alias Vessavati Mara? Bahkan bernamaste aja orang belum tentu mau.
Maka dari itu ketika guru2 agung tercerahkan sudah memastikan bahwa sang dewa telah berlindung pada Triratna dan mencapai tingkat kesucian, setidaknya kita sudah ada dasar yang jelas, tidak sembarang main hormat, nanti salah2 pada dewa yang hatinya jelek juga kita hormati! Nah lho?
Maka dari itu sebenarnya Tripitaka dan anjuran guru2 yang tercerahkan itu setidaknya dapat menjadi pegangan bagi kita2 yang belum memiliki divyacakshu atau mencapai tingkat-tingkat pencerahan.
Bahkan Sang Buddha yang menghormati ayahnya saja, tidak bernamaskara pada beliau karena tidak mungkin seorang Samyaksambuddha menghormat pada umat awam dengan cara demikian, karena akan menyebakan kepala orang yang dihormati menjadi terbelah. Mahasiddha Virupa yang tercerahkan ketika dipaksa oleh umat Hindu untuk menghormat patung dewa Shiva, merangkapkan kedua tangannya beranjali menghormat pada Shiva sembari mengucapkan Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya di hadapan rupang Shiva. Tapi setelah mengucapkan hal tersebut, rupang Shiva malah hancur berantakan.
Maka dari itu jangan menggampangkan arti dari sebuah tindakan namaskara.
Kalau saya, saya bernamaskara terhadap Triratna tidak hanya menghormati, namun juga dengan keyakinan dan perlindungan pada Sang Triratna. Dan tampaknya pandangan Buddhis juga demikian.
Kalau sembarang, bisa2 umat Buddhis namaskara di gereja, namaskara di mesjid, namaskara di pura, yah katanya menghormati, ya dinamaskara aja semua. Kita juga nggak tahu pasti Tuhan mereka tercerahkan atau tidak.
:)) kepada orangtuanya yg masih hidup tidak namaste tapi kepada seongok tulang namaste (liat di sutra bakti yang palsu :)) ) ko gak di ceritain tulangnya pecah :))
- Ada yang lupa jawab yang ini, saking asiknya bahas shaolin kungfu, Perbedaan pakaian atau jubah tidak hanya mahayana saja tapi juga teravada juga. dalam lingkungan di India jubah teravada berbeda kita temui di thailand, birma, maupun kamboja, biasanya kalo di India Full jubahnya, sementara kalo yang di thailand dsbnya, samping bahunya terbuka, semua tergantung dari adat istiadat dan wilayah.
- Dalam lingkungan mahayana Seperti China,jepang korea dan Taiwan, itu hampir sama, kewajiban menggunakan jubah warna kuning sebenarnya, kalau warna kelabu atau coklat biasanya kalo tidak sedang upacara, atau sedang santai, kalau upacara besar diwajibkan kuning, Warna kelabu dipakai kalau dia sedang tidak mengadakan upacara besar atau sembayang, kalau upacara besar sudah dipastikan diharuskan warna kuning.
- Dalam lingkungan vajrayana biasanya bajunya warnanya merah, pakaian kalau sedang umum biasanya warnanya kuning, kadang merah, kadang orannye.
garis besarnya seperti itu .
Saya rasa hanya perbedaan wilayah dan tradisi, kalau ada perbedaan sudah pasti. Kalo tidak salah di india mahayananya mengunakan baju warna orange, mirip pakaian teravada, terkadang kita tidak bisa membedakan dia mahayana atau teravada kalau di india. Kalau di daerah utara seperti cina dsbnya, ketara banget perbedaannya dengan di selatan, kayak myanmar- Ada yang lupa jawab yang ini, saking asiknya bahas shaolin kungfu, Perbedaan pakaian atau jubah tidak hanya mahayana saja tapi juga teravada juga. dalam lingkungan di India jubah teravada berbeda kita temui di thailand, birma, maupun kamboja, biasanya kalo di India Full jubahnya, sementara kalo yang di thailand dsbnya, samping bahunya terbuka, semua tergantung dari adat istiadat dan wilayah.
- Dalam lingkungan mahayana Seperti China,jepang korea dan Taiwan, itu hampir sama, kewajiban menggunakan jubah warna kuning sebenarnya, kalau warna kelabu atau coklat biasanya kalo tidak sedang upacara, atau sedang santai, kalau upacara besar diwajibkan kuning, Warna kelabu dipakai kalau dia sedang tidak mengadakan upacara besar atau sembayang, kalau upacara besar sudah dipastikan diharuskan warna kuning.
- Dalam lingkungan vajrayana biasanya bajunya warnanya merah, pakaian kalau sedang umum biasanya warnanya kuning, kadang merah, kadang orannye.
garis besarnya seperti itu .
Setahu saya saat ini tidak ada Aliran Theravada di India. Kalau di Sri Lanka, memang Aliran Theravada eksis...
Jubah bhikkhu Aliran Theravada di tiap negara itu sama. Mungkin ada perbedaan yang ketara hanya di pola warna. Misalnya jubah bhikkhu di Myanmar warnanya kuning agak kemerahan, kalau di Sri Lanka warnanya kuning agak kejinggaan, kalau di Thailand dan Indonesia warnanya kuning agak kecoklatan. Ini mungkin hanya karena perbedaan bahan pewarna kain saja. Dan memang dalam cara pakainya juga, ada yang membuka bahu sebelah kanan, ada juga yang menutup bahu sebelah kanan.
Lalu kenapa jubah bhiksu di Aliran Mahayana berbeda dengan jubah bhikku dari aliran ortodoks? Apa yang menyebabkan bhiksu di Aliran Mahayana memakai jubah yang tidak sama dengan jubah yang dipakai oleh Sang Buddha Gotama dulu?
Sebelumnya saya sudah bertanya tapi belum dijawab. Saya coba tanyakan lagi di sini...
Beberapa bhiksu memakai ornamen jubah yang mewah. Beberapa memakai mahkota yang berhiaskan properti indah. Beberapa memakai tongkat yang kelihatan anggun. Apakah fungsi dari semua itu? Dan siapa yang mempelopori hal ini?
Apakah ada perbedaan jubah bhiksu Aliran Mahayana di Asia Timur dengan bhiksu Aliran Mahayana di sekitar India dulu?
Setahu saya kalau masalah "full" atau tidak, tergantung situasi. Ketika berada di tempat yang memiliki simbol Buddha (Gotama) DAN tidak ada simbol lainnya, para bhikkhu "membuka" pundak kanan sebagai penghormatan. (Ini berarti di kelenteng di mana ada Rupang Buddha namun banyak rupang dewa lainnya, seorang bhikkhu tidak "membuka" pundak kanannya.)
QuoteSetahu saya kalau masalah "full" atau tidak, tergantung situasi. Ketika berada di tempat yang memiliki simbol Buddha (Gotama) DAN tidak ada simbol lainnya, para bhikkhu "membuka" pundak kanan sebagai penghormatan. (Ini berarti di kelenteng di mana ada Rupang Buddha namun banyak rupang dewa lainnya, seorang bhikkhu tidak "membuka" pundak kanannya.)
Kalau begitu, Bhikkhu Theravada ada masalah !
_/\_
Bro Gandalf, Mohon penjelasan lebih rinci, pada waktu kapan-kah dikatakan Bodhisatva Siddharta melakukan karmamudra dengan Gopa (Yasodhara) ? Karena ini bisa menimbulkan interpretasi yang berlainan jika karmamudra dilakukan dari periode periode tertentu.QuoteQuote from: bond on 20 November 2009, 09:48:20 PM
Di Tibet, Atisha Dipamkara yang berpengatahuan dalam mengenai Sutra, Tantra dan Vinaya melakukan reformasi Buddhisme Tibet disebabkan kemerosotan moral praktisi Tantra diakibatkan pemahaman yang salah akan karmamudra. Jadi karmamudra ini sebenarnya hanya boleh dilakukan dalam koridor moral Buddhis yaitu sila ketiga, seperti yang Vajra Tip Tantra sebutkan bahwa praktisi Tantra sekalipun harus menaati sila ketiga dari Pancasila / Pratimoksha. Contoh yang paling ideal adalah Bodhisattva Siddharta yang melakukan karmamudra dengan Gopa [Yasodhara], dalam ikatan pernikahan, dalam sebuah hubungan monogami yang mengasihi satu sama lain.
Sang Buddha dalam Shurangama Sutra pernah mengatakan:
"Praktisi akan kehilangan pikirannya yang tenang ... keliru menganggap seorang yang dikuasai Iblis Mara sebagai Bodhisattva sejati dan akan mengikutinya untuk melanggar sila-sila Buddha dengan bersenang-senang di dialam nafsu seksual. Orang ini akan mengatakan bahwa .... organ kelamin pria dan wanita adalah tempat dari Bodhi dan Nirvana, dan para pendengar yang bodoh akan mempercayai ajaran menyimpang ini."
_/\_
The Siddha Wanderer
Setahu saya kalau masalah "full" atau tidak, tergantung situasi. Ketika berada di tempat yang memiliki simbol Buddha (Gotama) DAN tidak ada simbol lainnya, para bhikkhu "membuka" pundak kanan sebagai penghormatan. (Ini berarti di kelenteng di mana ada Rupang Buddha namun banyak rupang dewa lainnya, seorang bhikkhu tidak "membuka" pundak kanannya.)
[at] upasaka
Mengenai perbedaan jubah, sepertinya karena pengaruh situasi dan tempat. Jika para bhiksu Mahayana di tempat dingin menggunakan jubah seperti di tradisi Theravada, tentu tidak sesuai. Begitu juga dengan Tibetan yang tempatnya di pegunungan tinggi, jubahnya perlu penyesuaian. Mengenai ornamennya juga dipengaruhi tradisi dan budaya setempat. Salah satu ciri khas penyebaran Buddhisme adalah sama sekali tidak menggeser budaya setempat (baca: tidak menjajah budaya orang lain).
Saya rasa hanya perbedaan wilayah dan tradisi, kalau ada perbedaan sudah pasti. Kalo tidak salah di india mahayananya mengunakan baju warna orange, mirip pakaian teravada, terkadang kita tidak bisa membedakan dia mahayana atau teravada kalau di india. Kalau di daerah utara seperti cina dsbnya, ketara banget perbedaannya dengan di selatan, kayak myanmar
Buddha sesudah Nibbana
Mahayana: Masih ada entah dimana.
Theravada: Tak ada lagi, selain kekosongan itu sendiri.
Bro itu yang masih ada entah dimana vajrayana.
saya rasa kutipannya garis besarnya saja, masih ada beberapa yang di koreksi, mau lengkap mendingan bukunya bro tan punya, dia lebih lengkap, penulisannya juga berdasarkan tesis
kalau gak salah ada vinaya yang menyebutkan gak boleh pake warna hitamKalau ini penyebabnya apa ya ngak boleh warna hitam?
==> ada peraturan sangha bro, begini, dalam aturan tera memang dilarang memakai baju berlapis lapis, sementara dalam lingkungan mahayana diperbolehkan karena kondisi iklim disana
==> pakai mesin penghangat badan kali bro, jaman dulu mana ada mesin penghangat badan, u tulis kan jaman modern punya berita, kalo didaerah tibet terus terang aja g ngak ahli vajra, loe tanya sama ahlinya si gandalf.
ini g mesti liat buku lagi bro, hari ini g ngak bawa, ada sih tulisan mengenai jubah mahayana nama namanya dan kegunaannya, masalah aksesoris adalah masalah budaya saja bro, Kalau di lingkungan Tiongkok, memang kalo kepala bhiku yang masa vassanya 40 tahun memakai aksesoris seperti mahkota, jubah merah dan sebagainya itu diperuntukan hanya pada acara kebaktian besar, itu hanya menunjukan seorang pemimpin kebaktian, dalam budaya tiongkok pakaian tersebut untuk bertemu dengan orang besar, seperti kaisar, atau Buddha, tandanya menghormati sang Buddha itu dalam budaya tionghoa saja.
Garis besarnya kayak gt
Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa jubah Mahayana didesain untuk beradaptasi dengan iklim. Jubah Mahayana justru lebih tipis dari jubah Theravada. Kalau pun dikatakan jubah Mahayana bisa menghangatkan tubuh, itu karena seorang bhiksu memakai baju dalaman yang berlapis-lapis sehingga terasa hangat. Kalau mau dicoba, justru bahan jubah Theravada lebih tebal dan lebar. Kalau dipakai juga lebih hangat. Jangan hanya karena melihat jubah Theravada bisa dibuka bahu kanannya, maka muncul kesan kalau jubah itu lebih dingin. Sama sekali tidak saya katakan. Di India ada tiga musim, salah satunya adalah musim hujan yang dingin. Sejak dahulu bhikkhu di India juga bisa bertahan dengan kain pembungkus mayat saat berdiam di dalam hutan.Menurut saya, tidak bisa dipukul rata. Ada kisah seorang bhikkhu yang memiliki penyakit kulit dan tidak ingin mengotori kutinya. Selama musim dingin, ia tidur di udara terbuka hanya dengan modal jubahnya saja. Ia berkata bisa bertahan karena memiliki "kebahagiaan pikiran" (yang mungkin merujuk pada jhana). Tetapi tidak bisa dibilang semua bhikkhu harus bisa hidup demikian. Mungkin saya salah, tetapi setahu saya, sedingin-dinginnya di India, tidak ada daerah yang sampai turun salju walaupun sedang musim dingin.
Bhikkhu Theravada yang tinggal di London juga bisa bertahan meskipun tinggal di lingkungan yang dingin. Sekadar info, suhu lingkungan di London juga bisa lebih dingin dari suhu di Antartika. Tetapi kita bisa melihat bahwa tidak ada masalah jika seorang bhikkhu memakai jubah Theravada saat hidup dalam kondisi seperti itu.
- Suhu London (http://www.inilah.com/berita/teknologi/2009/01/08/74076/london-lebih-dingin-dari-antartika/)
Bhiksu di Tibet malah memakai jubah yang lebih terbuka dari jubah Theravada. Padahal lingkungan Tibet itu gersang dan dingin.
Oke, sekarang marilah kita asumsikan jubah Mahayana itu didesain untuk mengatasi dinginnya suhu di Asia Timur. Kalau keragaman jubah itu didesain hanya untuk beradaptasi dengan lingkungan, seharusnya bhiksu Mahayana yang tinggal di daerah hangat / tropis bisa bertahan dengan jubah "original" Sang Buddha dong. Apakah [mau] bisa?Yang ini saya kurang tahu. Di India, ada "tradisi" mengambil kain pembungkus mayat sebagai jubah. Di Tibet, mayat "dicincang", diberi "bumbu" dan diberikan ke burung bangkai, jadi sepertinya "tradisi" tersebut tentu hilang. Lalu para bhikkhu juga hidup dari pemberian umat. Kalau umatnya di tempat berbeda, kemungkinan juga memberikan jubah dengan "fashion" yang berbeda, mungkin yang dianggap sesuai dengan mereka.
Berasimilasi dengan kebudayaan setempat sebenarnya tidak masalah. Tapi perlu dipertanyakan apabila:
- Beradaptasi sampai kehilangan karakter dari jubah murid Sang Buddha itu sendiri.
- Beradaptasi sampai melahirkan karakter jubah yang cukup fashionable
Menurut saya, tidak bisa dipukul rata. Ada kisah seorang bhikkhu yang memiliki penyakit kulit dan tidak ingin mengotori kutinya. Selama musim dingin, ia tidur di udara terbuka hanya dengan modal jubahnya saja. Ia berkata bisa bertahan karena memiliki "kebahagiaan pikiran" (yang mungkin merujuk pada jhana). Tetapi tidak bisa dibilang semua bhikkhu harus bisa hidup demikian. Mungkin saya salah, tetapi setahu saya, sedingin-dinginnya di India, tidak ada daerah yang sampai turun salju walaupun sedang musim dingin.
Yang ini saya kurang tahu. Di India, ada "tradisi" mengambil kain pembungkus mayat sebagai jubah. Di Tibet, mayat "dicincang", diberi "bumbu" dan diberikan ke burung bangkai, jadi sepertinya "tradisi" tersebut tentu hilang. Lalu para bhikkhu juga hidup dari pemberian umat. Kalau umatnya di tempat berbeda, kemungkinan juga memberikan jubah dengan "fashion" yang berbeda, mungkin yang dianggap sesuai dengan mereka.
Kalau saya lebih cenderung pada pola pikir, bukan tampilan luar. Biarpun seorang memakai jubah penuh kemewahan, namun tidak ada lagi kesombongan dalam hatinya, maka ia bisa tetap dikatakan "murid Buddha", misalnya seperti Santathi yang parinibbana dalam jubah kebesaran menteri. Sebaliknya seseorang yang hanya menggunakan kain pembungkus mayat sebagai jubah, makan sehari hanya sekali, namun pikirannya tetap angkuh, maka belum bisa dikatakan sebagai "murid Buddha", misalnya Devadatta yang menerapkan peraturan keras dan memecah Sangha.
Di lereng Himava (Gunung Himalaya), itu merupakan tempat yang dingin. Dikatakan bahwa Puncak Himalaya adalah salju abadi.Ada pihak-pihak tertentu menyalahkan "ubah-ubah peraturan", sedangkan di lain pihak ada yang mencibir mengatakan "terlalu kaku". Hal ini sudah tidak ada "obat"-nya kecuali masing-masing mau mengerti satu sama lain.
Tentu bhikkhu tidak perlu bertindak bodoh bila ia kedinginan. Ia bisa saja menghangatkan dirinya sembari bertahan hidup dengan cara yang baik.
Yang sering diartikan keliru oleh orang lain adalah kaum ortodoks itu terlalu kaku, sehingga seperti katak yang mati-matian tidak mau keluar dari tempurung. Padahal yang perlu dipahami adalah seorang bhikkhu harus tegas dalam prinsip, tapi fleksibel dalam metode.
Saya tidak menyinggung soal batin dalam konteks ini. Dalam menghormati seseorang, yang perlu kita junjung tinggi adalah moralitas dan kebijaksanaannya. Saya sendiri menjunjung-tinggi para bhiksu sesepuh Mahayana yang tinggi moralitas dan kebijaksanaannya.OK. Kalau begitu, no comment.
Yang sedang saya bahas adalah perbedaan busana antara anggota Sangha Theravada dengan Mahayana. Dan dalam poin ini, saya mempertanyakan faedah dari keindahan jubah dan ornamennya di Mahayana.
Di lereng Himava (Gunung Himalaya), itu merupakan tempat yang dingin. Dikatakan bahwa Puncak Himalaya adalah salju abadi.Ada pihak-pihak tertentu menyalahkan "ubah-ubah peraturan", sedangkan di lain pihak ada yang mencibir mengatakan "terlalu kaku". Hal ini sudah tidak ada "obat"-nya kecuali masing-masing mau mengerti satu sama lain.
Tentu bhikkhu tidak perlu bertindak bodoh bila ia kedinginan. Ia bisa saja menghangatkan dirinya sembari bertahan hidup dengan cara yang baik.
Yang sering diartikan keliru oleh orang lain adalah kaum ortodoks itu terlalu kaku, sehingga seperti katak yang mati-matian tidak mau keluar dari tempurung. Padahal yang perlu dipahami adalah seorang bhikkhu harus tegas dalam prinsip, tapi fleksibel dalam metode.
Ya, saya setuju seseorang harus bijaksana dalam vinaya. Seseorang yang terlalu kaku dan merugikan diri sendiri adalah tidak dianjurkan, namun juga seseorang yang menahan lapar karena mematuhi peraturan tidak makan setelah tengah hari, dikatakan mulia. Kembali pada masing-masing kitanya saja.QuoteSaya tidak menyinggung soal batin dalam konteks ini. Dalam menghormati seseorang, yang perlu kita junjung tinggi adalah moralitas dan kebijaksanaannya. Saya sendiri menjunjung-tinggi para bhiksu sesepuh Mahayana yang tinggi moralitas dan kebijaksanaannya.OK. Kalau begitu, no comment.
Yang sedang saya bahas adalah perbedaan busana antara anggota Sangha Theravada dengan Mahayana. Dan dalam poin ini, saya mempertanyakan faedah dari keindahan jubah dan ornamennya di Mahayana.
lanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :Quotesudah dibaca, sayangnya di sutra2 yang di perbanyak tidak ada kek gitu boss, cuma adanya perbanyak sutra doang yang di tegaskan laugh
Sebenarnya penjelasan2 seperti itu tidak ada bedanya dengan ajaran lain yang katanya asal percaya masuk surga (itu juga ada penjelasannya dan tidak akan beda jauh sama penjelasan di link itu)
nah kenapa yang populernya itu yang gampangnya saja?bukan yang keterangan2 itu? tidak beda jauh khan? yang populer itu perbanyak sutra, baca liamkeng, trus kalo ga salah ada san bu yi pai (buat nebus dosa juga yak?) Grin
Ya makanya kalau orang mau belajar, harus sungguh-sungguh dan secara holistik, jangan sepenggal2, apalagi belajar Sutra...hehe....
Jangan pake kata2 "nebus dosa" ah, istilah "purifikasi karma" lebih cocok.
_/\_
The Siddha Wanderer
Hmm.... sampai bernamaskara segala....maksud bikkhu tersebut adalah, semoga keinginan kita akan terpenuhi dan di bantu oleh para dewata.....
Ngomong2 dewa apa itu? Apa secara Buddhisme Thai sang dewa sudah bertekad untuk melindungi Buddha Dhamma dan berlindung pada Tiratana? Apakah sang dewa telah mencapai tingkat-tingkat kesucian?
Kalau memang sudah, maka umat bernamaskara bisa dimaklumi, namun kalau berlindung saja dewanya nggak, kesucian aja belum nyampe, maka namaskara ini patut dipertanyakan. Bagaimana bisa umat Buddhis yang berlindung pada Tiratana menghormat dewa dewi duniawi seperti menghormat pada Tiratana?
Kalau saya, sama dewa dewi duniawi biasanya saya cuma namaste, kalau terhadap para Buddha, Bodhisattva dan para Dewa Pelindung Dharma saya baru bernamaskara.
Kalau anda memakai terjemahan yang salah maka ya bisa saja anda menemukan bahwa Ananda sudah Arhat sebelum Sang Buddha Parinirvana.yg di pakai adalah terjemahan dari www.nshi.org
Pencapaian tertinggiapabila ini benar, maka dalam pandangan Tipitaka, mahayana adalah sebuah Ajaran yang layak di cela... ref Lohicca sutta.
Mahayana: Menolong orang baru menolong diri sendiri.
Theravada: Menolong diri sendiri baru menolong orang.
2.17. ‘Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian … tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran, dengan mengatakan: “ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu.” Muridnya ingin memerhatikan, mereka mendengarkan, [231] mereka membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru tidak dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: “Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian …” Ini bagaikan, meninggalkan ladangnya sendiri, ia memikirkan ladang orang lain yang perlu dikerjakan. Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan … ini adalah guru ke dua yang layak dicela .…’
Buddha sesudah Nibbanadalam Sutra sendiri dikatakan bahwa memang SangBuddha akan muncul lagi entah di kalpa mana mengajarkan dharma...ini merupakan bagian dari Tripitaka....jadi merujuk pada mahayana loh.
Mahayana: Masih ada entah dimana.
Theravada: Tak ada lagi, selain kekosongan itu sendiri.
Bro itu yang masih ada entah dimana vajrayana.
saya rasa kutipannya garis besarnya saja, masih ada beberapa yang di koreksi, mau lengkap mendingan bukunya bro tan punya, dia lebih lengkap, penulisannya juga berdasarkan tesis
Terserah Bro Gandalf, suka kata2 apa, mau menghormati atau berlindung ! ndak masalah
ndak ada hubungan umat I & K, mereka tidak mengenal Tiratana !
kalau umat Buddhis tahu seperti Bro Gandalf (Buddhis), jadi tidak peduli kata itu (perlindungan atau penghormatan), yang penting Pikiran dan Batin mereka mengerti apa yang sedang lakukan.
Bro Gandalf, Anda hanya suka permaikan kata2 dalam penjelasan, supaya kamu kelihatan lebih bagus dalam menjelaskan ! saya hargai, tapi hasilnya bukan mempermudah orang belajar Dhamma, tapi malah membingungkan, bolak balik, panjang lebar !
Pakai kata yang sederhana, simple, supaya gampang dimengerti, dan umat yang baru mengenal Dhamma, bisa dapat pencerahan yang Baik di batin mereka, sesudah mendapat penjelasan.
kata perlindungan, penghormatan, tidak masalah, yang penting Batin mengerti apa yang sedang dilakukan, bukan dengan kata2.
maksud kata Perlindungan arti yang benar dalam bahasa Indonesia, juga tidak cocok seperti yang Bro Gandalf jelaskan diatas jika dipadankan dengan arti bahasa Pali yang dimaksud.
Misalnya Bro Gandalf bernamaskara di depan Altar Buddha, apabila saya sebagai umat yang tidak mengerti juga bisa tertawa, apa saja yang dilakukan Bro Gandalf ini, gila ya !, masak rupang di sembah sujud ! menyesatkan sekali !.
Tapi karena saya mengerti, jadinya ikut Bahagia dengan Bro Gandalf melakukan namaskara, ternyata Bro Gandalf sangat menghormati Tiratana ! gitu lho Smiley
Buddha tidak bisa di bandingin dengan Manusia.
Jadi contoh anda tidak tepat, Raja Sudhodana masih manusia biasa, Sorry ! Grin
Buddha memang tidak boleh namaskara kepada makhluk lainnya, karena itu udah hukum Alam (bahasa gaulnya)
Kepada orang tua kita bukan hanya namaste, tapi juga wajib Namaskara.
Bro Gandalf, jangan meninggikan namaskara, jadinya Mana (sombong)
Namaskara kepada Yesus/Dewa-i yang di Pura/Tuhan(kalau ada) juga ndak masalah ! jangan di tawa in. laugh
yang masalah itu, pikiran manusia yang melihat orang yang sedang bernamaskara !
lanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8021.msg132275.html#msg132275
tapi Tuhan nya di ganti sama Buddha (mau amitabha atau bhaisajyaguru atau avalokitesvara) Cheesy
yg di pakai adalah terjemahan dari www.nshi.org
jadi itu terjemahan salah yah?
-------------------------------------------------------------------
Quote
Pencapaian tertinggi
Mahayana: Menolong orang baru menolong diri sendiri.
Theravada: Menolong diri sendiri baru menolong orang.
apabila ini benar, maka dalam pandangan Tipitaka, mahayana adalah sebuah Ajaran yang layak di cela... ref Lohicca sutta.
bukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".Quotelanjuttttt, bagaimana pandangan mahayana apabila ada komentar seperti link ini :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8021.msg132275.html#msg132275
tapi Tuhan nya di ganti sama Buddha (mau amitabha atau bhaisajyaguru atau avalokitesvara) Cheesy
Buddha / Bodhisattva kan nggak memegang kuasa atas nasib kita dan segala sesuatunya, ya beda lah.... :hammer:
_/\_
The Siddha Wanderer
bukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".
kalau antar manusia itu suatu hal yang wajar dan dapat di buktikan kebenarannya, sedangkan antar manusia => Boddhisatva? darimana tau itu Boddhisatva yang mengabulkan permohonan bukannya dari Mara?Quotebukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".
Yah seperti kata Master Shengyen kan... adalah manusiawi kalau manusia terkadang merasa lemah dan tidak berdaya dalam situasi tertentu.... setegar2nya dia, nah pada saat itu ia dapat meminta pertolongan Bodhisattva.
Namun seorang praktisi sejati tidak pernah meminta2, idealnya seperti itu, meskipun kita bisa meminta pertolongan para Bodhisattva, pada prinsipnya kita jangan manja... apa2 minta pertolongan..... tetap saja kita harus berpraktik sendiri untuk mencapai Bodhi.
Seperti kita hidup di dunia ini kita berusaha mandiri, segala sesuatu kalau bisa kita lakukan sendiri, baru kalau memang tidak mampu, minta pertolongan orang lain. Ini wajar, krn manusia tdk dapat hidup sendiri dalam hal apapun. ;)
_/\_
The Siddha Wanderer
kalau antar manusia itu suatu hal yang wajar dan dapat di buktikan kebenarannya, sedangkan antar manusia => Boddhisatva? darimana tau itu Boddhisatva yang mengabulkan permohonan bukannya dari Mara?
Apabila terjawab permohonannya manusia bisa bilang Boddhisatva menjawab doanya apabila tidak terjawab manusia bisa bilang yang lain lagi, terdengar bagi saya itu adalah suatu pembenaran atau suatu penghiburan bukan suatu kebenaran
kalau antar manusia itu suatu hal yang wajar dan dapat di buktikan kebenarannya, sedangkan antar manusia => Boddhisatva? darimana tau itu Boddhisatva yang mengabulkan permohonan bukannya dari Mara?Quotebukan memegang kuasa tapi soal permintaan, manusia khan kadang suka meminta2 kepada "sesuatu".
Yah seperti kata Master Shengyen kan... adalah manusiawi kalau manusia terkadang merasa lemah dan tidak berdaya dalam situasi tertentu.... setegar2nya dia, nah pada saat itu ia dapat meminta pertolongan Bodhisattva.
Namun seorang praktisi sejati tidak pernah meminta2, idealnya seperti itu, meskipun kita bisa meminta pertolongan para Bodhisattva, pada prinsipnya kita jangan manja... apa2 minta pertolongan..... tetap saja kita harus berpraktik sendiri untuk mencapai Bodhi.
Seperti kita hidup di dunia ini kita berusaha mandiri, segala sesuatu kalau bisa kita lakukan sendiri, baru kalau memang tidak mampu, minta pertolongan orang lain. Ini wajar, krn manusia tdk dapat hidup sendiri dalam hal apapun. ;)
_/\_
The Siddha Wanderer
Apabila terjawab permohonannya manusia bisa bilang Boddhisatva menjawab doanya apabila tidak terjawab manusia bisa bilang yang lain lagi, terdengar bagi saya itu adalah suatu pembenaran atau suatu penghiburan bukan suatu kebenaran ;D
Sebenarnya praktisi Mahayana yang sejati tidak melihat seseorang dari aspek "status"nya, melainkan "nilai"nya. Apa kriteria untuk mengetahui bahwa itu adalah bodhisatva atau bukan , bukanlah dilihat dari wujudnya. Maka mengapa diajarkan konsep Sunyata, dan menekankan tentang ilusifitas segala wujud fenomena.
Dengan memahami prinsip ini , menjadi tidak penting yang datang menolong itu siapa sosoknya. Yang penting adalah "nilai-nilai" pertolongannya, dan dari situ kita belajar mengembangkan batin kita. Dan bagaimana cara penilainnya? Tidaklah susah utk mengetahuinya, hanya ada 2 kemungkinan dan anda akan tahu manakah yang benar bodhisatva atau mara. Anda membuat permohonan, dan hingga suatu saat buah pertolongan itu datang, namun bila hasil pertolongan itu justru menambah kekokotan batin anda, memicu untuk bertindak ke arah kusala karma, maka jelaslah sudah itu adalah mara.
Dan bila sebaliknya, maka itulah bodhisatva.
Ingat , prinsip mahayana menekankan aspek nilai, bukan wujud fenomena yang mengelabui. Oleh karena itu, belajar dharma bukan menilai orang dari status. Siapapun yg mengeluarkan kata-kata yang bijak, mengarah ke tujuan pembebasan, dll, walaupun dia seorang perampok , sesaat dari ucapan itu telah membuat dia menjadi "bodhisatva" dalam makna "nilai". Bahkan ketika Mara datang dan mengucapkan kata-kata yang baik, Mara tidaklah sebagai Mara. Ketika seorang mafia kelas kakap datang menyuapi anaknya yg masih bayi, sesaat itu mafia adalah "ibu yg baik" dalam aspek nilainya. Maka seorang praktisi sejati tidak memandang orang dari statusnya. Mau dewa, hantu, binatang, bodhisatva, tidak penting. Seseorang disebut jahat bukan karena sosoknya, tapi bentukan2 batin yg dimunculkannya sesaat itu juga.
Ketika seorang praktisi mahayana memohon pada bodhisatva, dia melihat bodhisatva dari aspek batinnya, batin yang bajik, suci barulah dapat kita jadikan topang agar kita dapat mengikuti jejaknya. Maka sesungguhnya, memohon pada bodhisatva harus ditujukan ke tujuan agar dapat terbebas dari samsara. Bukan mempertabal LDM. Dan permohonan itu bukan dalam arti kita minta disulap jadi suci, karena kita juga memahami tidak ada prinsip seperti itu. (hehe...jadi bertele2 yach) okelah, mudah2an memahaminya
Maraku sayang, Maraku malang.. Ternyata selama ini Mara-lah yg menolong dan memicu agar orang berbuat ke arah kusala karma, sebaliknya Bodhisattva memicu agar orang berbuat ke arah akusala karma. =))QuoteSebenarnya praktisi Mahayana yang sejati tidak melihat seseorang dari aspek "status"nya, melainkan "nilai"nya. Apa kriteria untuk mengetahui bahwa itu adalah bodhisatva atau bukan , bukanlah dilihat dari wujudnya. Maka mengapa diajarkan konsep Sunyata, dan menekankan tentang ilusifitas segala wujud fenomena.
Dengan memahami prinsip ini , menjadi tidak penting yang datang menolong itu siapa sosoknya. Yang penting adalah "nilai-nilai" pertolongannya, dan dari situ kita belajar mengembangkan batin kita. Dan bagaimana cara penilainnya? Tidaklah susah utk mengetahuinya, hanya ada 2 kemungkinan dan anda akan tahu manakah yang benar bodhisatva atau mara. Anda membuat permohonan, dan hingga suatu saat buah pertolongan itu datang, namun bila hasil pertolongan itu justru menambah kekokotan batin anda, memicu untuk bertindak ke arah kusala karma, maka jelaslah sudah itu adalah mara.
Dan bila sebaliknya, maka itulah bodhisatva.
Ingat , prinsip mahayana menekankan aspek nilai, bukan wujud fenomena yang mengelabui. Oleh karena itu, belajar dharma bukan menilai orang dari status. Siapapun yg mengeluarkan kata-kata yang bijak, mengarah ke tujuan pembebasan, dll, walaupun dia seorang perampok , sesaat dari ucapan itu telah membuat dia menjadi "bodhisatva" dalam makna "nilai". Bahkan ketika Mara datang dan mengucapkan kata-kata yang baik, Mara tidaklah sebagai Mara. Ketika seorang mafia kelas kakap datang menyuapi anaknya yg masih bayi, sesaat itu mafia adalah "ibu yg baik" dalam aspek nilainya. Maka seorang praktisi sejati tidak memandang orang dari statusnya. Mau dewa, hantu, binatang, bodhisatva, tidak penting. Seseorang disebut jahat bukan karena sosoknya, tapi bentukan2 batin yg dimunculkannya sesaat itu juga.
Ketika seorang praktisi mahayana memohon pada bodhisatva, dia melihat bodhisatva dari aspek batinnya, batin yang bajik, suci barulah dapat kita jadikan topang agar kita dapat mengikuti jejaknya. Maka sesungguhnya, memohon pada bodhisatva harus ditujukan ke tujuan agar dapat terbebas dari samsara. Bukan mempertabal LDM. Dan permohonan itu bukan dalam arti kita minta disulap jadi suci, karena kita juga memahami tidak ada prinsip seperti itu. (hehe...jadi bertele2 yach) okelah, mudah2an memahaminya
:jempol: :jempol:
Itulah dikatakan mengapa Bodhsiattva membantu seseorang itu dalam batin, membuat orang menyadari Pikiran Sejatinya, karena pertolongan yang diberikan itu yang penting adalah nilainya, untuk kemudian dipakai sebagai alat untuk menyadari hakekat pikiran. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
Maraku sayang, Maraku malang.. Ternyata selama ini Mara-lah yg menolong dan memicu agar orang berbuat ke arah kusala karma, sebaliknya Bodhisattva memicu agar orang berbuat ke arah akusala karma. =))QuoteSebenarnya praktisi Mahayana yang sejati tidak melihat seseorang dari aspek "status"nya, melainkan "nilai"nya. Apa kriteria untuk mengetahui bahwa itu adalah bodhisatva atau bukan , bukanlah dilihat dari wujudnya. Maka mengapa diajarkan konsep Sunyata, dan menekankan tentang ilusifitas segala wujud fenomena.
Dengan memahami prinsip ini , menjadi tidak penting yang datang menolong itu siapa sosoknya. Yang penting adalah "nilai-nilai" pertolongannya, dan dari situ kita belajar mengembangkan batin kita. Dan bagaimana cara penilainnya? Tidaklah susah utk mengetahuinya, hanya ada 2 kemungkinan dan anda akan tahu manakah yang benar bodhisatva atau mara. Anda membuat permohonan, dan hingga suatu saat buah pertolongan itu datang, namun bila hasil pertolongan itu justru menambah kekokotan batin anda, memicu untuk bertindak ke arah kusala karma, maka jelaslah sudah itu adalah mara.
Dan bila sebaliknya, maka itulah bodhisatva.
Ingat , prinsip mahayana menekankan aspek nilai, bukan wujud fenomena yang mengelabui. Oleh karena itu, belajar dharma bukan menilai orang dari status. Siapapun yg mengeluarkan kata-kata yang bijak, mengarah ke tujuan pembebasan, dll, walaupun dia seorang perampok , sesaat dari ucapan itu telah membuat dia menjadi "bodhisatva" dalam makna "nilai". Bahkan ketika Mara datang dan mengucapkan kata-kata yang baik, Mara tidaklah sebagai Mara. Ketika seorang mafia kelas kakap datang menyuapi anaknya yg masih bayi, sesaat itu mafia adalah "ibu yg baik" dalam aspek nilainya. Maka seorang praktisi sejati tidak memandang orang dari statusnya. Mau dewa, hantu, binatang, bodhisatva, tidak penting. Seseorang disebut jahat bukan karena sosoknya, tapi bentukan2 batin yg dimunculkannya sesaat itu juga.
Ketika seorang praktisi mahayana memohon pada bodhisatva, dia melihat bodhisatva dari aspek batinnya, batin yang bajik, suci barulah dapat kita jadikan topang agar kita dapat mengikuti jejaknya. Maka sesungguhnya, memohon pada bodhisatva harus ditujukan ke tujuan agar dapat terbebas dari samsara. Bukan mempertabal LDM. Dan permohonan itu bukan dalam arti kita minta disulap jadi suci, karena kita juga memahami tidak ada prinsip seperti itu. (hehe...jadi bertele2 yach) okelah, mudah2an memahaminya
:jempol: :jempol:
Itulah dikatakan mengapa Bodhsiattva membantu seseorang itu dalam batin, membuat orang menyadari Pikiran Sejatinya, karena pertolongan yang diberikan itu yang penting adalah nilainya, untuk kemudian dipakai sebagai alat untuk menyadari hakekat pikiran. :)
_/\_
The Siddha Wanderer
Sungguh indah, Bro Chingik dan Bro Gandalf, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana.
Thanks penjelasannya 2 sesepuh.. Jelas sudah.. ^:)^
;DQuoteTerserah Bro Gandalf, suka kata2 apa, mau menghormati atau berlindung ! ndak masalah
ndak ada hubungan umat I & K, mereka tidak mengenal Tiratana !
kalau umat Buddhis tahu seperti Bro Gandalf (Buddhis), jadi tidak peduli kata itu (perlindungan atau penghormatan), yang penting Pikiran dan Batin mereka mengerti apa yang sedang lakukan.
Wah baru kali ini saya menemukan ada umat Buddhis yang tidak peduli kata perlindungan atau penghormatan.QuoteBro Gandalf, Anda hanya suka permaikan kata2 dalam penjelasan, supaya kamu kelihatan lebih bagus dalam menjelaskan ! saya hargai, tapi hasilnya bukan mempermudah orang belajar Dhamma, tapi malah membingungkan, bolak balik, panjang lebar !
Pakai kata yang sederhana, simple, supaya gampang dimengerti, dan umat yang baru mengenal Dhamma, bisa dapat pencerahan yang Baik di batin mereka, sesudah mendapat penjelasan.
kata perlindungan, penghormatan, tidak masalah, yang penting Batin mengerti apa yang sedang dilakukan, bukan dengan kata2.
Huahahaha..... kata anda suka2 saya mau ngomong apa lah kemudian anda kok malah protes??? wkwkwkwk.....
Dan katanya anda menghargai tulisan saya, tapi ternyata di balik itu mencela saya itu pura2 bagus dalam menjelaskan, suka bermain kata2 hingga membuat bingung...... sikap macam apa ini? ^-^ ^-^ Lucu banget misalnya kalau anda menghargai sesuatu yang anda anggap tidak benar... ^-^ ^-^ ... ini semakin menunjukkan suatu ketidakkonsistenan dan menggambarkan sebuah permainan kata2 yang sesungguhnya...
Yah emang bukan kata2, tapi tanpa kata2 apa batin anda bisa mengerti? Tanpa kata2 di dalam Tripitaka atau tanpa kata2 yang diucapkan pada saat pembabaran Dharma apa anda bisa anda memahami Dharma? Tanpa kata2 apakah anda bisa mengetahui makna / cara berlindung dan menghormati?
Ah konyol.Quotemaksud kata Perlindungan arti yang benar dalam bahasa Indonesia, juga tidak cocok seperti yang Bro Gandalf jelaskan diatas jika dipadankan dengan arti bahasa Pali yang dimaksud.
Misalnya Bro Gandalf bernamaskara di depan Altar Buddha, apabila saya sebagai umat yang tidak mengerti juga bisa tertawa, apa saja yang dilakukan Bro Gandalf ini, gila ya !, masak rupang di sembah sujud ! menyesatkan sekali !.
Tapi karena saya mengerti, jadinya ikut Bahagia dengan Bro Gandalf melakukan namaskara, ternyata Bro Gandalf sangat menghormati Tiratana ! gitu lho Smiley
Wkwkwkwk..... namaskara itu yang memang sudah tradisi Buddhis sejak zaman dahulu untuk menghormati Sang Triratna. Oleh karena itu umat lain yang tidak mengerti lalu mencela ya sah2 aja karena mmg tidak ada tradisi demikian dalam agama mereka.
Nah tapi dalam agama Buddha sesungguhnya nggak ada yang namanya tradisi namaskara sama dewa dewi duniawi (kalau pada para Dewa Pelindung Dharma yang telah mencapai tingkat keuscian tertentu, baru ada). Nah kalau umat Buddhis berusaha meluruskan hal ini, maka itu adalah hal yang wajar. Anda menghormati guru dan ortu pun dengan cara yang berbeda, anda menghormati teman dan saudara pun juga dengan cara yang berbeda pula, demikian juga ketika anda menghormati orang dari dalam negeri sendiri dengan luar negeri juga menggunakan cara yang berbeda sesuai dengan konteks / peran sosial masing2.
Demikian juga dalam agama Buddha, sebaiknya semuanya dilakukan menurut tata cara yang udah ada yang dibentuk oleh para guru2 agung (yang memang setelah dianalisa kita sendiri, itu memang baik dan bermanfaat untuk dilakukan), ini menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang arogan dalam bertindak.
Kalau semuanya itu pikiran, berarti biar aja kalau kita pake baju gembel ke pesta pernikahan teman kita. Orang2 yang melihat akan berpikir bahwa kita benar2 tidak hormat bahkan mungkin sinting, diketawain. Tapi kitanya sendiri secara arogan berpikir, "Ah yang penting kan pikiranku hormat." Dalam kehidupan bermasayarakat, ini suatu perilaku dan pemikiran yang patut dipertanyakan.QuoteBuddha tidak bisa di bandingin dengan Manusia.
Jadi contoh anda tidak tepat, Raja Sudhodana masih manusia biasa, Sorry ! Grin
Buddha memang tidak boleh namaskara kepada makhluk lainnya, karena itu udah hukum Alam (bahasa gaulnya)
Kepada orang tua kita bukan hanya namaste, tapi juga wajib Namaskara.
Bro Gandalf, jangan meninggikan namaskara, jadinya Mana (sombong)
Namaskara kepada Yesus/Dewa-i yang di Pura/Tuhan(kalau ada) juga ndak masalah ! jangan di tawa in. laugh
Semuanya pikiran... pikiran... pikiran... tau nggak sih kenapa kok bisa sampai muncul istilah "pikiran / sifat seseorang itu tercermin dari tindakannya!"
Ya sudah kalau menurut anda nggak papa... silahkan anda namaskara itu urusan anda sendiri toh... sekalian juga sama Mara Devaputra... kan yang penting kata anda itu... "pikiran ketika bernamaskara"... sedangkan kaidah namaskara dalam konteks sosial maupun relijius anda abaikan beserta objek dewanya siapa juga anda abaikan.
Saya menggunakan contoh Sang Buddha itu untuk menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak semudah itu menggampangkan makna namaskara .... bahkan ada hukum alam yang mengatur "namaskara" seorang Buddha bukan? Ini menunjukkan betapa namaskara itu memiliki makna yang cukup penting kedudukannya.Quoteyang masalah itu, pikiran manusia yang melihat orang yang sedang bernamaskara !
Woww.... berarti ketika kita bertindak keliru dan ada orang yang mencela kita, kita bisa dengan mudah mengatakan "ah itu kan pikiranmu yang kotor".
_/\_
The Siddha Wanderer
[-o<
Om gate-gate parasamgate Bodhisvaha.
[-o<
Om gate-gate parasamgate Bodhisvaha.
Tidak pake Om pak, Juga ngak pake tante, ^-^
mantra jangan dimain-in
tunjukan kalau kita ini forum yang menghargai ke beragaman
Tambah Parah !
Selesai Bro gandalf, Semoga Anda Berbahagia ya ! ^:)^
_/\_
^
^
Sorry pak, kalau ente tersinggung.Ngak ada niat mainin. Saya cuma komentarin om purnama supaya suasana lebih santai.