IMHO, bila kita semua sudah menyadari (secara teoritis) mengenai 'anatta' bahwa yang disebut 'atta' / 'diri' ini sebenarnya ilusif alias tak pernah ada karena hanya gabungan dari kandha, maka semestinya kita tak mungkin kembali lagi terjebak dalam praktek sejenis 'atta'.
Dalam kehidupan sehari-hari, anatta ini, IMHO, diwujudkan dengan hidup penuh kesadaran setiap saat. Hidup sadar setiap saat (mengenai anatta, dukkha, anicca) akan mengubah pikiran kita yang timbul tenggelam menjadi tenang, jernih dan fokus, dan otomatis ucapan/perilaku kita yang semula (misalnya) kasar/ceroboh menjadi (misalnya) lembut/berhati-hati.
Kalau 'anatta' kemudian hanya menjadi teori melulu dan tanpa praktek, ujung-ujungnya ya kembali menjadi semacam 'atta'. Jadi walaupun secara teoritis kita menolak habis-habisan keberadaan 'atta' namun tanpa kita sadari perilaku/ucapan kita bisa jadi bahkan lebih buruk dari orang yang jelas-jelas mengakui keberadaan 'atta'.
IMHO, anatta adalah merupakan pendekatan yang bersifat 'semi-psikologis' agar pikiran kita tidak melekat pada 'atta' (yang erat kaitannya, bahkan sama dengan ego) sebagaimana yang dipromosikan Brahmanisme. Dan setelah kita mengakui 'anatta' maka seharusnya dalam praktek pikiran-ucapan-badan (yang ketiga-tiganya adalah 'karma') sehari-hari, kita bisa lebih baik dan bukannya malah menjadi lebih buruk dibandingkan orang-orang yang jelas-jelas mengakui keberadaan 'atta'.
Jadi bukan Dharma Buddha yang salah, namun pemahaman Dharma yang kurang membumi dan mengawang-awang sehingga akhirnya tak punya korelasi dengan praktek hidup sehari-hari yang seharusnya menunjukkan keunikan dan keistimewaan Buddha Dharma.