(6) Evam anantapunnehi, siddham dehamimam pana
yathàbhutam ajànanto, manussoti hi mannati
Màra tidak tahu, manusia seperti apakah Aku ini; bahwa Aku memiliki pribadi yang seperti ini dalam kehidupan ini adalah sebagai hasil dari kebajikan-kebajikan yang telah Kulakukan. Dan dia pikir Aku hanyalah manusia biasa.
(7) Nàham namusso nàmanussi, na Brahmà na ca devatà
Jaràmaranam lokassa, dassetum panidhàgato
Sebenarnya, Aku bukanlah manusia biasa berumur 7 hari; Aku juga bukan raksasa, atau brahmà atau dewa. Aku dikandung dalam rahim seorang perempuan meskipun Aku bukan seorang manusia biasa berumur tujuh tahun untuk menunjukkan penderitaan karena usia tua, sakit, dan kematian dalam lingkaran kelahiran kepada semua makhluk.
Untuk lebih jelas: tidak dapat dikatakan bahwa Bodhisatta adalah seorang manusia, raksasa, dewa, Màra atau brahmà. Karena makhluk-makhluk ini tidak memiliki tugas dan kewajiban seperti yang dilakukan oleh Bodhisatta. [...]
Penjelasan lebih lanjut: tidak ada dewa, Màra, brahmà atau suatu pribadi (Atta) yang dapat tercipta atau menciptakan makhluk-makhluk. Kenyataannya, itu adalah karena kemelekatan, tanhà, yang timbul dari batin masing-masing individu, yang bertanggung jawab atas kelahiran yang berulang-ulang (patisandhi). Juga karena kekuatan kemelekatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Lebih jelasnya: Suatu perbuatan (kamma) adalah bagaikan tanah di (ladang); kesadaran (vinnàna) yang menyertainya adalah bagaikan benih; kemelekatan atau keserakahan (tanhà atau lobha) adalah bagaikan air. Melalui kombinasi tanah, benih, dan air muncullah tunas dari suatu pohon.
Demikian pula, melalui kombinasi tanah kamma, benih vinnàna, dan air tanhà atau lobha muncullah makhluk-makhluk. Jika tidak ada air tanhà atau lobha, meskipun ada tanah kamma dan ada benih vinnàna, tunas dari suatu pohon kelahiran tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, Para Arahanta mulia yang telah melenyapkan air tanhà atau lobha tidak akan terlahir lagi.
Dengan demikian, makhluk-makhluk yang tercipta karena tiga penyebab ini, dikuasai oleh banjir penderitaan seperti kelahiran, dan lain-lain. Bodhisatta adalah seseorang yang ingin melenyapkan semua penderitaan ini yang diderita oleh makhluk-makhluk.
Akar penyebab dari semua penderitaan seperti kelahiran, dan lain-lain adalah kemelekatan (tanhà);
jika kemelekatan dicabut, kelahiran tidak akan terjadi.
Jika kelahiran tidak terjadi, usia tua, kematian, dan lain-lain juga tidak terjadi.
Oleh karena itu, hanya kemelekatan yang harus dihilangkan terlebih dahulu; dan karena berkembangnya kebodohan (moha), kemelekatan dari makhluk-makhluk yang menginginkan kebahagiaan melalui enam objek indria, (àramanà), seperti objek-objek penglihatan (rupàrammana), dan lain-lain, sebagai suatu yang kekal (nicca sannà), penuh kebahagiaan (sukha sannà), menyenangkan (subha sannà) atau bertahan lama (atta sannà).
Dan kemelekatan hanya dapat disingkirkan jika cacat dari enam objek indria, penyebab utama kemelekatan, dapat terlihat jelas.
Cacat dari enam objek indria ini adalah ketidakkekalan, dan lain-lain, yang menjadi sifatnya.
Sifat ketidakkekalan ini hanya dapat terlihat jelas ketika (sifat-sifat dari) usia tua dan kematian terlihat jelas;
hanya jika usia tua dan kematian dapat terlihat maka cacat dari enam objek indria ini seperti ketidakkekalan, dan lain-lain dapat terlihat pula;
dan hanya jika cacat dari enam objek indria ini terlihat maka kemelekatan dan keserakahan yang menempel pada enam objek indria ini dapat dilepaskan.
Hanya jika kemelekatan dan keserakahan dilepaskan maka penderitaan samsàra seperti kelahiran dan lain-lain, dapat dilenyapkan.
Dan oleh karena itu, Bodhisatta turun ke alam manusia ini dan dikandung di dalam rahim mirip teratai dari Ratu Màyà, untuk menunjukkan sifat-sifat dari usia tua dan kematian yang membentuk dasar dan merupakan faktor penting dalam melenyapkan penderitaan samsàra.
Penjelasan lebih lanjut: Jika Bodhisatta, terlahir sebagai dewa atau brahmà, dan mengajarkan (sifat-sifat dari usia tua dan kematian) dan memperlihatkan keajaiban, makhluk-makhluk lain tidak akan mempercayainya, [...] Ia dapat melakukan semua keajaiban. Jadi ajaran-ajarannya atau pertunjukan keajaibannya bukanlah suatu hal yang luar biasa.”
Seperti yang disaksikan oleh banyak orang; Bodhisatta dilahirkan oleh Ratu Màyà; ketika menginjak usia dewasa, Beliau menikmati kenikmatan indria; ketika putra-Nya lahir, Beliau meninggalkan putra-Nya, melepaskan keduniawian dan menjadi petapa; setelah mempraktikkan dukkaracariya, Beliau akhirnya mencapai pengetahuan mengenai Jalan dan Kemahatahuan (menjadi Buddha). Ketika, Beliau mulai mengajar Dhamma, atau mengajarkan sifat-sifat dari usia tua dan kematian, atau menjelaskan tiga karakteristik (anicca, dukkha, anatta), semua manusia mendengarkan ajaran-Nya dengan penuh hormat, dengan berpikir, “Bahkan manusia mulia ini, yang memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan yang luar biasa, mengetahui semua segi Dhamma, tidak dapat mengalahkan usia tua, penyakit, dan kematian, apalagi kita?”
“Buddha kita, yang mengajarkan cara untuk menghindar dari penderitaan seperti kelahiran, dan lain-lain, sesungguhnya benar-benar memahami, (sifat dari segala sesuatu)!
Sesungguhnya Nibbàna, di mana tidak ada lagi penderitaan seperti kelahiran, dan lain-lain adalah sangat membahagiakan!”
Dengan keyakinan ini mereka mengikuti ajaran Bodhisatta dengan penuh ketekunan dan mereka melihat jelas tubuh attabhava ini, yang merupakan lima kelompok kemelekatan, upadanakkhandha, adalah dukkha, dan asal mula dukkha; mereka juga melihat jelas cacat dari kemelekatan dan keserakahan yang menyebabkan terciptanya tubuh ini yang merupakan lima kelompok kemelekatan.
Setelah melihat jelas hal-hal ini, makhluk-makhluk akan menjadi takut, malu, dan jijik akan kemelekatan, yang disebut Kebenaran Tentang Penyebab Dukkha (Samudaya Saccà); dan juga dengan lima kelompok kemelekatan; yang disebut Kebenaran Tentang Dukkha (Dukkha Saccà); timbul karena kemelekatan; dan mereka akan melenyapkan penyebab kemelekatan secara total.
Setelah melakukan ini, mereka akan dapat mencapai Nibbàna (Anupàdaparinibbàna), lenyapnya dukkha secara total. [...]
~RAPB 1, pp. 611-614~