Saudara Bond,
bagaimana pendapat anda dengan artikel yang ditulis oleh Mahasi Sayadaw ini? Apakah cahaya yang dimaksud adalah Nimitta?
IV.3. PERANGKAP SENSASI CAHAYA
Setelah kita mampu melihat ke dalam bahwa segala fenomena jasmani dan batin tunduk pada ketiga karakteristik alam konsentrasi semakin menguat. Rasa sakit pun semakin berkurang. Kita semakin mampu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi rasa sakit. Kita semakin mempu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi rasa sakit. Kita mampu melihat dan mencatat apapun objek yang muncul melalui keenam pintu panca indera.
Dalam hal ini seolah-olah daya upaya kita terlihat konstan, tak terlalu bergiat pun tak terlalu santai, tak terlalu kuat atau pun lemah. Upaya semacam ini secara otomatis muncul menolong kesadaran untuk siap mencatat setiap objek yang muncul pada saat itu juga. Keadaan ini memunculkan perasaan bahagia.
Pada tahap ini cukup sering terlihat pengalaman munculnya cahaya-cahaya atau sinar-sinar. Sinar-sinar ini kadang terang benderang seperti sorot lampu senter atau lampu mobil di malam hari. Yang perlu dicatat adalah semua sensasi ini tak akan berlangsung selamanya.
Kembali ke sensasi cahaya. Ketika sensasi cahaya ini datang kita mencatatnya. Tak lama kemudian proses ini pun lewat. Hanya ada beberapa sinar yang bisa bertahan antara sepuluh sampai dua puluh detik. Tak ada yang lebih lama dari ini.
Hanya saja sensasi sinar-sinar ini mendatangkan “perangkap” tersendiri bagi beberapa yogi yakni munculnya perasaan nikmat, takjub atau terpesona. Bila seorang yogi terlambat, lalai mencatatnya sensasi cahaya atau sinar-sinar ini akan muncul lebih sering dan lebih terang.
Bagaimana pun indahnya sensasi ini akan berakhir pula suatu saat. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencatat sensasi ini dalam batin dengan menyebut, “melihat … melihat”.
Jika kita lakukan pencatatan seperti itu cahaya ini kemudian lenyap. Tak lama cahaya atau sinar yang baru muncul lagi. Lakukan hal yang sama, catat lagi, “melihat … melihat”. Demikian seterusnya.
Perlu dicatat, kita tetap berada pada perangkap cahaya bila kita melakukan pencatatan tapi bawah sadar kita “berkeras” terus menikmati sensasi ini. Saya (penceramah, D.V.P) akan menceritakan tentang seorang yogi perempuan berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Yogi ini melihat sinar-sinar muncul ketika ia sedang bermeditasi.
Herannya cahaya-cahaya ini muncul semakin terang dari waktu ke waktu. Yogi perempuan ini sangat menikmati munculnya sinar-sinar ini. Meski demikian ia berusaha keras mencatat setiap sinar yang muncul.
Jadi ketika seberkas sinar muncul ia mencatat, “melihat … melihat”. Tak lama sinar itu lenyap. Tapi hanya sebentar. Sinar yang baru muncul lagi. Ia kembali mencatat seperti tadi. Sinar yang baru ini pun lenyap.
Meski demikian bawah sadarnya sangat menikmati pengalaman ini. Bila saat wawancara tiba ia menjadi sangat malu karena terus-menerus menceritakan pengalaman yang sama.
Ia bercerita demikian, ketika sinar-sinar ini muncul ia merasa seperti masuk ke dalam koper. Ia merasa masuk ke dalam perangkap yang menyesakkan, benar-benar tak berdaya untuk keluar dari sana.
Yogi perempuan ini terperangkap dalam pengalaman ini sehingga ia membutuhkan dua puluh hari untuk benar-benar keluar dari perangkap yang mengasyikkan ini. Pengalaman ini dinamakan nikanti. Nikanti artinya kekotoran batin yang sangat halus. Kerinduan atau rasa kangen termasuk ke dalam nikanti.
Lihatlah bagaimana kekotoran batin yang sangat halus ini diam-diam telah menyusup ke dalam pikiran kita, mencuri kesadaran kita. Nikanti termasuk ke dalam sepuluh kekotoran batin. Sesuatu yang justru sangat berbahaya karena halusnya.
Pada masa kehidupan Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bermeditasi samatha sampai memperoleh tingkat konsentrasi yang tinggi. Ketika sampai ke jhana (tingkat konsentrasi) yang tinggi ia merubah meditasinya dari samatha ke vipassana.
Bhikkhu ini tekun berlatih dan rajin mencatat setiap proses apapun yang muncul. Sampailah ia pada nana kedua dalam vipassana. Sayangnya setelah itu bhikkhu ini tak mampu meraih pengetahuan batin yang lebih tinggi karena keterikatannya pada jhana. Ia memiliki salah satu nikanti, ya itu tadi, keterikatan yang sangat halus akibat terkonsentrasinya pikiran pada jhana-jhana.
Bhikkhu ini hanya mampu mondar-mandir dari nana satu sampai kedua. Begitu terus bolak-balik. Ia benar-benar terperangkap pada konsentrasinya yang tinggi. Sang Buddha menyebut pengalaman ini sebagai Dhamma raga, dhamma nandi. Artinya kenikmatan yang timbul akibat meraih dhamma. Dhamma yang dimaksud disini adalah jhana-jhana. Baik Dhamma raga maupun Dhamma Nandi adalah nikanti.
Bhikkhu ini sendiri tak menyadari ia masuk dalam perangkap nikanti. Sang Buddhalah yang memberitahu Bhikkhu Ananda alasan kenapa bhikkhu itu tak mampu meraih kearahatan.