Lagi iseng... saya delete2 email yahoo ku...dan ketemu artikel yg sangat bermanfaat ini (maaf yah kalo repost)...sbb:
MEMBANGUN CITRA DIRI PEKERJA SUKSES
Oleh : Y.M. Bhikkhu Uttamo Thera
Bhikkhu Sangha yang saya muliakan serta saudara-saudari sedharma yang berbahagia, malam ini saya memperoleh kesempatan untuk MEMBANGUN. Biasanya membangun vihara, kali ini membangun citra. Membangun citra diri pekerja sukses.
Saya pikir kok saya disuruh ceramah? Apakah saya ini termasuk seorang pekerja atau pengangguran? Mengapa demikian? Karena seorang bhikkhu sering dianggap pengangguran. Lebih parah lagi, ada ada yang mengatakan, "Enak ya jadi bhikkhu." Kenapa? "Nganggur, tenang-tenang saja, nggak pikirin apa-apa." Saya ngomong, "Lho, kalau enak jadi bhikkhu, kamu jadi bhikkhu saja. Mestinya yang jadi bhikkhu rombongan, buktinya yang jadi bhikkhu sedikit." Kalau kita ngomong restauran disana enak, pasti pelanggannya banyak. Kalau menjadi bhikkhu enak, pasti yang jadi bhikkhu juga banyak.
Ya, tapi bagaimanapun juga bhikkhu bukanlah pengangguran, karena pekerjaannya banyak. Memang kami tidak mencangkul, tidak pergi ke kantor, tetapi kehidupan kami ini sama dengan yang lain. Kalau Anda mengatakan bhikkhu itu pengangguran, berarti Anda mengatakan guru juga pengangguran, karena bhikkhu juga adalah guru. Seperti malam ini, masa saya menganggur, duduk-duduk saja disini?
Jadi psikiater / psikolog juga pengangguran, kenapa? Karena menjadi bhikkhu juga merangkap jadi psikiater dan psikolog. Sering kita bertemu, "Bhante, anak saya nakal, Bhante." Sebetulnya kami juga berpikir, "Justru saya jadi bhikkhu ini biar nggak punya anak, kamu kok tanya saya tentang anak kamu yang nakal. Gimana ini?" Tapi kan kami harus menasehati. Kalau menjawab begitu, ya besok pagi vihara tutup, orang-orang pada ngomel semua, "Bhantenya sadis." Jadi yah…. Kami akhirnya menjawab.
Nah, kegiatan membimbing seperti ini kan kegiatannya seorang psikolog sebetulnya, tetapi kenapa kami berikan? Dan kenapa kami dianggap pengangguran? Karena bedanya kami tidak menerima gaji. Itu saja. Coba kalau sekarang orang konsultasi dengan bhikkhu, lalu dikenakan biaya sekali duduk sekian menit dibiayai sekian rupiah. Satu pertanyaan dikenai biaya sekali, dua pertanyaan dikenai biaya kali dua. Itu mungkin baru disebut bhikkhu pekerja, karena terima upah.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa seorang bhikkhu juga bekerja, tetapi di bidang batin. Anda juga jelas, karena Anda juga seorang pekerja. Pekerja tentunya bermacam-macam; pekerja di rumah sendiri, pekerja sebagai karyawan, pekerja sebagai atasan, semuanya termasuk dalam konteks pekerja. Apa boleh sih bekerja menurut Agama Buddha? Boleh, umat Buddha boleh bekerja.
Seorang umat itu boleh bekerja. Bahkan, kalau mau bekerja bukan sembarang kerja. Umat Buddha sebetulnya harus kaya. Wah….. kok harus kaya, gimana sih? O… iya, kalau umat Buddha nggak kaya, bagaimana vihara bisa dibangun? Kalau umat Buddha semuanya berkata, "Saya jadi umat Buddha sajalah, nggak usah pegang duit." Kalau semua umat Buddha nggak pegang duit, vihara ini bagaimana? Anda datang kesini juga butuh duit. Sepeda motor, mobil juga butuh duit. Anda pakai pakaian juga perlu duit, tempat ini dibangun juga perlu duit. Kalau sekarang umat Buddha nggak punya duit, kan susah. Kenapa boleh kaya? Kenapa harus kaya? Karena memang kekayaan adalah merupakan salah satu tujuan umat Buddha.
Anda tentu tahu, di dalam kegiatan beberapa tradisi, atau Anda di rumah juga punya patung, Patung, FUK LUK SHOU. Punya Patung FUK LUK SHOU? Tahu nggak Patung FUK LUK SHOU itu? FUK LUK SHOU itu patung tiga dewa. FUK itu rezeki, patung yang membawa seperti tongkat di dada. LUK adalah pangkat atau kedudukan, patung yang topinya seperti Judge Bao. SHOU adalah panjang usia, digambarkan orang tua yang jidatnya maju. Apa Anda punya atau pernah melihat patung tersebut?
FUK LUK SHOU artinya punya rezeki, punya pangkat atau kedudukan dan umur yang panjang. Itu sebetulnya di dalam Agama Buddha juga ada, bahkan lebih dari itu, karena Agama Buddha selalu punya nilai tambah. Kalau Anda punya FUK LUK SHOU 3 in 1, dalam ketiga patung itu Anda punya tujuan, maka Agama Buddha pada malam ini akan memberikan 4 in 1.
Banyak rezeki atau kekayaan, punya kedudukan, umur panjang dan mati masuk surga. Ini…ngeri, 4 in 1 namanya. Ya… jadi disini kita akan melihat apa yang disebut kebahagiaan duniawi, atau kesuksesan. Apakah yang disebut sukses? Kesuksesan di dalam kehidupan dunia ini ada 4 hal. Yang tadi dikenal dengan FUL LUK SHOU cuma tiga. Kita punya yang ke empat, `mati masuk surga'.
Jadi mulai sekarang arahkan pikiran Anda, bahwa orang sukses di dalam Agama Buddha minimal 4 hal. Kalau Anda bekerja belum kaya, belum sukses, nanti kaya itu bagaimana? Kaya apa nanti kami terangkan. Mau kaya apa saja bisa. Kaya uang? Bisa. Kaya orang? Bisa. Pokoknya kaya apa saja bisa.
Punya pangkat kalau pendek umur, percuma. Kaya raya kalau pendek umur, percuma. Anda kerja susah payah, yang menikmati orang lain, pacar Anda, anak Anda masih kecil, cucu Anda. Kenaoa? Karena Anda tidak panjang umur, Karena itu, harus panjang umur.
Sukses di dalam Agama Buddha, bukan di dalam kehidupan ini saja. Kalau hanya di dalam kehidupan ini saja, suksesnya masih terlalu kecil. Mati saja harus sukses. Mati dengan sukses itu berarti terlahir di surga. Itu baru mati sukses. Kalau kaya raya, berpangkat, panjang umur, mati lahir di neraka, itu belum sukses.
Kalau di dalam Agama Buddha dibicarakan tentang kekayaan, sekarang apa yang disebut kekayaan? Dan bagaimana cara memperolehnya? Karena kalau sekarang hanya diberitahu, "Ayo, kalian kaya, ayo kaya." Kaya itu apa sih? Kaya itu bagaimana caranya? Jangan kuatir, di dalam ajaran Sang Buddha, yang merupakan sumber pengetahuan, cara untuk mecapai kekayaan juga diberikan.
Apa usaha untuk mencapai kekayaan? Kita ingat di dalam pepatah sewaktu kita masih kecil, `rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya'. Disini kelihatan, kalau kekayaan akan kita peroleh kalau punya kerajinan dan punya semangat. Bagaimana caranya kita bisa rajin di dalam bekerja? Tentu ada cara untuk rajin di dalam bekerja. Salah satu caranya adalah memilih pekerjaan harus sesuai dengan kita. Kadang-kadang saya tanya, "Kerja di bank ya?" "Iya." "Wah enak dong, dulu jurusan apa?" "Saya lulusan STM, Bhante." "Jurusan apa?" "Mesin." "Jurusan mesin kerja di bank? Rugi kamu sekolah, investasinya rugi." Lalu saya tanya lagi, "Wah, hebat, daganganmu lancar." "Iya, Bhante." "Dulu kuliah nggak?" "Kuliah, Bhante." "Pasti Jurusan Manajemen ya." "Bukan Bhante, Arsitektur." "Lho, arsitek kok dagang di pasar?"
Orang yang hidup seperti ini sebetulnya sudah kuliahnya sulit, malah tersia-siakan. Sebetulnya yang terpenting dalam memilih pekerjaan supaya rajin, pekerjaan harus sesuai dengan hobby kita. Hal ini penting. Kesenangan apa saja di dalam diri kita bisa dipakai untuk bekerja.
Saya teringat ada seorang murid saya sewaktu mengajar di SMA, murid ini kurang cerdas. Kelas I mengikuti pelajaran susah, akhirnya tinggal kelas. Lalu tahun berikutnya, seharusnya tidak naik lagi, tapi kami guru-guru berpikir, "kasihan ya masa kelas I sampai 2 tahun." Okelah dinaikkan, jadi sekarang kelas II. Di kelas II, eh tidak naik lagi. Wah sudah nggak ketulungan nih. Lalu bagaimana, "Sudahlah, kamu hobbynya apa?" "Saya hobbynya bercocok tanam. Jadi saya di kelas ngantuk saja." "Baik, kalau begitu kamu salurkan hobby kamu yang bercocok tanam itu." "Lho, cocok tanam apa?" "Kamu ikut orang yang suka bikin-bikin tanaman, nah disitu hobby kamu yang cocok tanam itu dikembangkan. " Lalu anak ini keluar dari sekolah. Satu tahun kemudian, saat rekan-rekannya di kelas III baru EBTANAS, anak ini datang membawa sedan, bergaya. Lalu kami tanya, "Lho, ini sedan kreditan ya?" "Bukan, ini saya beli sendiri." "Dari mana duitnya?" "Bercocok tanam." Ternyata dari kerja bercocok tanam itu dia sukses. Jadi dia kerjanya senang karena hobby, dan dapat duit lagi. Itu yang membuat dia rajin dan bersemangat.
Anda kalau hobby memasak, buka catering. Jadi yang menyicipinya banyak, dan duitnya dapat. Dulu ada yang tanya sama saya, "Kok Bhante mau jadi bhikkhu, dulu hobbynya apa?" Saya jawab, "Hobby saya ngomong." Saya di kelas sewaktu kecil, di rapor saya ditulis, `banyak cakap-cakap dalam kelas'. Memang dari kecil saya senang ngomong, makanya sekarang saya jadi bhikkhu. Ngomong saja selama berjam-jam… ngomong saja, karena memang hobby. Jadi hobby tersalurkan, teman jadi banyak, kan senang. Kalau Anda senang ngomong, boleh jadi bhikkhu, atau jadi sales juga bisa. Karena jadi bhikkhu itu SALES DHARMA. Sekarang kan saya dalam rangka PROMOSI DHARMA nih.
Ada yang iseng tanya begini, "Bhante, sekarang kalau hobbynya tidur, apa kerja yang cocok?" Saya jawab, "Buka hotel. Kalau kamu buka hotel atau penyewaan kamar, kamu harus tahu ksur yang bagaimana yang enak untuk tidur, lampu yang bagaimana biar enak tidur, musik yang bagaimana untuk enak tidur. Jadi tidurmu nyenyak, tidurmu bisa dijadikan duit."
Lebih nakal lagi, orang ngomong lagi, "Sekarang Bhante, saya kasih tebakan lagi. Kalau ada orang yang hobbynya ngintip, bagaimana?" Saya langsung jawab, `Jadi tukang photo. Jangan kuatir jadi tukang photo, yang ngintip dapat duit, dan yang diintip action. Nah…kan senang." Akhirnya kita sedang, aktivitas kita ngintip… ngintip terus. Mana ada tukang photo yang melek kedua-dua matanya, harus ngintip.
Ada orang suka ngurusin dompetnya orang lain. Dompet orang dilihat, dihitungin duitnya. Karena nggak jadi akuntan sekalian, audit duit orang. Kan enak itu, sekalian dapat duit lagi.
Karena itu, di dalam memilih pekerjaan, hobby sangat menentukan. Supaya bisa kaya, hobby ini sangat penting.
Berikutnya, karena kita hobby, maka kita rajin, dan akhirnya tentu kita memiliki harta. Setelah memiliki harta, kita harus berhati-hati menjaga milik kita. Apakah yang kita jaga? Yang pertama adalah `sistem', sistem yang sudah kita gunakan. Kalau sistem sudah maju, kembangkan terus, dievaluasi untuk terus ditingkatkan. Sedangkan hasilnya, misalkan kita bisa beli rumah, maka rumah itu harus dijaga. Jangan rumahnya bocor disana, kita mengatakan, "Yang bocor kan masih disana, aku tidur disini saja. Nggak apa-apa, biarlah air turun mengalir kan ku tampung dan ku salurkan dengan pipa wavin…" Akhirnya rusak tempat kita. Lalu bocor lagi disini, "Sudahlah, kalau bocor disana, bocor disini, saya pindah kesitu saja." Tidak diperbaiki akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada harta milik kita. Oleh karena itu, apa yang sudah kita miliki harus kita jaga. Agama Buddha, ajaran Sang Buddha ini mengajarkan orang hidup effisien. Jangan bisa kita beli, terus kita biarkan terbengkalai. Itu tidak boleh, harus effisien. Karena effisien adalah harta yang kita miliki harus dijaga; sistem yang kita kerjakan, sistem kita bekerja harus ditingkatkan, dievaluasi. Ini yang disebut berhati-hati dalam menjaga harta milik kita.
Nah berikutnya, kadang-kadang ini tidak dibahas dalam beberapa ilmu manajemen, punya teman yang baik. Teman sangat menentukan gaya hidup kita. Ada satu ilmu yang sudah lama yang tertulis dalam buku paritta kita, ASEVANĀ CA BĀLĀ NAM PANDITANAŇ CA SEVANĀ, yang artinya jangan bergaul dengan orang yang tidak bijaksana, bergaullah dengan orang yang bijaksana. Teman pergaulan sangat mempengaruhi gaya hidup kita. Diakatakan di dalam Dharma, andaikan sepotong kayu cendana dibungkus dengan daun, maka daun tersebut akan wangi kayu cendana. Tetapi kalau sepotong daging busuk kita bungkus dengan daun, daun ini pun akan busuk baunya.
Oleh karena itu, teman sangat mempengaruhi. Kalu teman kita malas ke vihara, begitu kita ke vihara dia akan bertanya, "Mau kemana kamu, pakai lipstik segala?" "Mau ke vihara." "Sok suci kamu, gaya lu, kuno lu… Gimana sih, sekarang yang trendi bukan ke tempat ibadah, apalagi ke vihara. Yang trendi kalau minggu ke Dufan." "Oh ya?" "Iya." "Saya ketinggalan zaman ya? Ya sudahlah… saya ikut kamu deh."
Itu adalah pengaruh lingkungan. Akhirnya orang malas ke vihara. Kenapa? Kalau ditanya, "Kenapa malas ke vihara?" "Nggak punya teman." Hayo, siapa diantara kalian yang menjawab kalau malas ke vihara karena nggak punya teman? Berarti Anda di rumah selalu diintrik, "Mau kemana?" Ke vihara." "Sok lu…" Akhirnya nggak punya teman. Sekarang harus diubah! Kalau nggak punya teman, harus cari teman. Ajak yang malas-malas itu!
Nah, sebaliknya, kalau sekarang teman kita yang rajin ke vihara ngajak ke vihara, "Hei, ayo ke vihara." "Malas ah, capek…" "Eh… ke vihara itu seminggu cuma sekali, setahun cuma 52 kali. Masa kamu gitu saja ditinggal, sayang kan. Ayo berangkat." Nah kan kita berangkat juga. Ini yang dikatakan teman yang mendukung.
Demikian pula di dalam pekerjaan. Kalau kita sudah mendapat hasil yang besar, nanti kadang-kadang teman kita ngajak, "Ayo, kamu kan sudah kaya… kamu kan sudah sukses, sekarang bagaimana kalau kita lipatgandakan kekayaanmu." "Lho, caranya bagaimana?" "Setiap malam kan ada bola, dua kali main… tiga kali main, kita ikut saja. Mau pegang yang mana, Juventus…? Ikut. Mau satu banding satu setengah, Oke." "Lho kan sayang duitnya." Kamu kuno, nggak trendi. Zaman sekarang tuh kalo kaya, duit disimpan di bank itu jamuran, dan kalau kita ngambil nanti ditodong. Jadi… lebih bagus main pakai telepon, duit datang, kan enak…" "Iyalah… coba-coba." "Ya, hari ini pegang apa?" "Jeventuslah. " "Berapa?" "Satu juta." "Kurang…bos besar kok satu juta."
"Okelah, dua juta." Rupa-rupanya kalah. Dari mana cerita ini? Dari teman kita yang nggak beres tuh. Oleh karena itu, hati-hati punya teman karena itu akan mempengaruhi gaya hidup kita.
Dan yang berikutnya supaya kita bisa lebih kaya, ada cara untuk menjaga kekayaan kita, yaitu jangan boros. Boros itu bagaimana? Apakah belanja Rp. 1.000,-/hari itu boros? Apakah belanja Rp. 1.000.000,-/ hari termasuk boros? Nanti dulu, di dalam Dharma sudah disebutkan bagaimana cara kita untuk tidak boros, tetapi juga tidak kikir. Kalau boros, tidak boros tapi kikir itu juga keliru. Nah, di dalam Dharma disebutkan cara membagi / menggunakan kekayaan kita supaya kita bisa bertambah kaya. Omset/penghasilan bersih dibagi empat bagian.
Satu bagian dipakai untuk hidup (25%), termasuk untuk makan, minum, bayar PLN, PAM, Telkom, bayar pembantu dan untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, kalau ada orang yang menggunakan Rp. 1.000,- sehari jangan ngomong pelit. "Kamu hidup masa belanja makan untuk lauk sehari hanya seribu?" Rp. 1.000,- yang dibelanjakan dari Rp. 1.500,- yang dia peroleh pada hari itu, sebetulnya dia itu boros. Jadi Sang Buddha tidak memakai nilai tertentu, tetapi perbagian. Ini yang bisa bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Sekarang, "kamu sehari kok menghabiskan Rp. 1.000.000,-? " Nggak apa-apa kalau penghasilannya sehari Rp. 10.000.000,- Ini masih irit, karena baru 1/10 yang dibelanjakan. Kalau penghasilan bersihnya sehari Rp. 10.000.000,- dia boleh membelanjakan uangnya Rp. 2.500.000,-/ hari. Tapi kalau cukup hanya belanja Rp. 5.000,- ya jangan Rp. 2.500.000,- dipakai semuanya, kan bisa ditabung di tempat lain.
Satu bagian hidup, dua bagian (50%) digunakan untuk menambah modal. Ini canggih, Dharma ini benar-benar mengajari manajemen yang baik. 50% untuk menambah modal, jadi usaha kita semakin besar. Kenapa? Karena duitnya masuk ke penambahan modal. Dan akhirnya, apa yang terjadi pada 25% yang terakhir? Didepositokan. Kenapa? Karena kita nggak sehat untuk selamanya. Kita bisa sakit. Sakit nggak bisa kerja, depositonya dipakai. Mau jalan-jalan ke luar negeri, depositonya yang dipakai. Jangan memakai bagian yang pertama, atau yang kedua, depositonya yang dipakai. Kalau Anda mau berdana, juga yang 25% yang terakhir yang dipakai.
Nah, cara membagi keuntungan juga begitu. Ini yang disebut tidak boros. 25% untuk hidup, 50% untuk modal usaha, dan 25% didepositokan atau untuk melakukan perbuatan baik. Ini yang disebut cara memperoleh kekayaan.
Berikutnya lagi, kalau tadi disebutkan kebahagiaan duniawi adalah punya kekayaan, pangkat, panjang usia dan lahir masuk surga, seperti yang termuat dalam Anguttara Nikaya II, 65. Maka akan kita lihat, setelah kaya itu kita tahu bagaimana cara memperolehnya, sekarang bagaimana cara kita menjaganya, bagaimana cara kita menggunakannya.
Kita akan lihat apakah yang disebut dengan memiliki pangkat. Anda memiliki pangkat, memiliki kedudukan itu sebetulnya dicapai bukan dengan main sikut-sikutan, bukan main intrik-intrikan, juga bukan dengan magic. Ada yang datang ke tempat saya, "Bhante, saya butuh bantuan, apakah Bhante bisa menolong? Begini Bhante, saya sudah lama jadi asisten manager, kenapa saya nggak naik-naik jadi manager? Tolong Bhante bikin managernya sakit, mati kalau perlu supaya saya diangkat jadi manager." Saya ngomong, "Kamu datang bukan ngajak saya untuk berbuat baik, malah menjerumuskan saya ke lembah penderitaan. Apa dikira kalau menjadi bhikkhu kita ngurusin yang begituan? Bikin orang sakit? Orang sakit saja mau saya sembuhkan, kok orang sehat mau disakiti. Ini kan namanya nggak masuk akal.
Jadi bukan dengan cara itu supaya bisa menjadi manager. Tetapi ada caranya, dan caranya di dalam Agama Buddha adalah perjuangan dengan kerja keras. Kalau tadi kita lihat bahwa di dalam mencari pekerjaan supaya kaya kita harus mulai dari senang dengan pekerjaan itu, hobby dengan pekerjaan itu, sekarang kalau kita sudah hobby makan akan muncul semangat untuk berjuang, loyal pada pekerjaan kita. Sehingga memang syarat yang baik adalah mempunya kesenangan pada pekerjaan.
Kembali pada sumber kekayaan tadi, kita harus senang pada pekerjaan kita. Kalau sudah senang, maka akhirnya akan muncul sikap bertahan menghadapi kesulitan. Sebagai asisten manager, dihajar terus-terusan oleh manager, "Ya…saya senang pada pekerjaan ini, gangguanmu merupakan cambuk bagiku untuk maju. Ayo terus… ngomel terus…!"
Ada seorang filosof mengatakan, istrinya ngomel terus, tiap hari ngomel terus. Suatu hari ketika dia tampak susah., lalu teman-temannya bertanya, "Kenapa kamu? Mukamu kok tampak susah?" Hari ini istriku nggak ngomel…." "Lho, seharusnya kan kamu senang kalau istrimu tidak mengomel." "Nggak, saya malah susah, karena hari ini hilang kesempatanku untuk melatih kesabaran." Jadi dia melihat penderitaan itu ada hikmahnya, bukan ngawur-ngawur nggak karuan.
bersambung...