Walaupun menurut saya jawaban di atas sudah cukup mewakili jawaban yang benar berdasarkan ajaran anatta, tetap saja si penanya (dan mungkin orang-orang yang berpandangan sama) tidak bisa terpuaskan dengan jawaban ini.
Di sinilah muncul ide untuk membuat topik diskusi ini dengan pokok bahasan: Jika seseorang yang berpandangan lain bertanya "Bagaimana kamma mengenali pelakunya sedangkan nama rupa si pelaku berbeda dengan nama rupa si pewaris kamma tersebut?", bagaimana kita umat Buddha yang berpandangan benar menjawab pertanyaan ini dengan tepat? Jika dari diskusi di atas terlihat bahwa perumpamaan dalam Milinda Panha dan ajaran Abhidhamma tidak cukup untuk menjelaskan hal ini, bagaimana kita bisa menjelaskan hal ini dengan lebih tepat dan lebih mudah dipahami/ditangkap oleh orang-orang yang demikian?
Bagaimana pendapat teman-teman se-Dhamma sekalian akan hal ini?
Sesuai dengan problem di awal, yang menjadi masalah bagaimana hubungan antara anatta, kamma dan tumimbal lahir karena jika batin dan jasmani tidak ada atta, konsep tumimbal lahir sulit untuk diterima. Jika tidak ada diri, pertanyaan2 lain akan muncul, seperti siapa yang melakukan perbuatan, siapa yang merasakan hasil perbuatan dan siapa yang bertumimbal lahir. Pertanyaan di atas juga muncul yakni bagaimana kamma mengenali pelakunya jika si pelaku kamma berbeda dari pewaris kamma. Pertanyaan2 ini juga sering muncul pada jaman Sang BUddha. Ajaran Upanishad dan Brahmaṇa pada jaman Sang Buddha tidak menghadapi kesulitan dengan pertanyaan2 demikian. Mereka dengan mudah menjawab yang melakukan perbuatan, mengalami hasil perbuatan dan bertumimbal lahir adalah 'atta' / 'diri'. Ajaran2 lain khususnya (materialism / ucchedavāda) pada jaman Buddha yang tidak percaya dengan keberadaan atta yang kekal, karena tidak bisa mendapatkan jawaban siapa yang mengalami tumimbal lahir, secara gampang, menolak adanya kelahiran kembali dan hukum kamma. Namun demikian, Sang Buddha, meskipun menolak adanya diri yang melakukan kamma, mengalami hasil kamma dan terlahir lagi di alam selanjutnya, tidak menolak konsep hukum kamma dan tumimbal lahir. Pertanyaannya, jika tidak ada diri / atta, bagaimana hukum kamma dan tumimbal lahir masih berlaku? Jawabannya terletak pada hukum sebab musabab yang saling bergantungan (paṭiccasamuppāda). Hukum alam ini, selain menolak adanya diri / atta pada makhluk, di saat yang sama, mengajarkan hukum tumimbal lahir atau continuity. Dalam hukum ini yang mana mengajarkan sifat saling ketergantungan antara satu fenomena yang satu dengan lainnya, semua fenomena (dhamma) yang menyebabkan seseorang bertumimbal lahir dijelaskan HANYA SEBAGAI SEKEDAR FENOMENA tanpa adanya diri di dalamnya. Hukum anatta, kamma dan tumimbal lahir secara bersamaan bisa terlihat dengan jelas dalam 12 mata rantai yang saling bergantungan (dvadasaṅgapaṭiccasamuppāda). Di sana, Sang BUddha menjelaskan bagaimana seseorang terlahir lagi karena faktor2 faktor yang saling bergantungan. Dan faktor2 ini pun tidak dijelaskan sebagai inti / diri melainkan hanya sekedar fenomena seperti avijja, saṅkhara, viññāṇa, nāmarūpa, dst.
Hubungan antara konsep anatta dan tumimbal lahir yang tentu di dalamnya mencakup hukum kamma juga tampak dalam Moḷiyaphaggunasutta dari Saṃyuttanikāya. Dalam sutta ini Sang BUddha mengatakan adanya empat makanan yang membantu mempertahankan makhluk2 yang telah terlahir dan mengarahkan makhluk2 yang belum lahir untuk lahir (cattārome, bhikkhave, āhārā bhūtānaṃ vā sattānaṃ ṭhitiyā sambhavesīnaṃ vā anuggahāya). Empat makanan ini adalah makanan kasar, kontak, kehendak dan kesadaran (Kabaḷīkāro āhāro – oḷāriko vā sukhumo vā, phasso dutiyo, manosañcetanā tatiyā, viññāṇaṃ catutthaṃ). Ketika ini dijelaskan, bhikkhu Moḷiyaphagguna bertanya, 'SIAPA yang memakan makanan kesadaran? (ko nu kho, bhante, viññāṇāhāraṃ āhāretī’’ti?). Sang Buddha menjawab bahwa pertanyaan tersebut tidak sah / valid, karena beliau tidak pernah mengatakan, 'SESEORANG makan (makanan kesadaran - Āhāretī’)'. Selanjutnya Sang Buddha mengatakan bahwa pertanyaaan akan menjadi valid / benar, jika seseorang bertanya, 'Bhante, untuk apa makanan kesadaran ini ada?' (kissa nu kho, bhante, viññāṇāhāro’ti). Ditanya demikian, Sang Buddha akan menjawab bahwa makanan kesadaran adalah kondisi yang menyebabkan kehidupan mendatang (āyatiṃ punabbhavābhinibbattiyā paccayo). Dan ketika ini ada, enam landasan indria muncul, dan dengan adanya enam landasan indria, kontak muncul ( tasmiṃ bhūte sati saḷāyatanaṃ, saḷāyatanapaccayā phasso’’’ti). Anehnya setelah dijelaskan demikian, Bhikkhu Moḷiyaphagguna kemudian bertanya, 'Bhante, SIAPA yang membuat kontak?. Ditanya demikian, Sang Buddha juga mengatakan bahwa pertanyaan demikian tidak benar karena beliau tidak pernah mengatakan, SESEORANG membuat kontak. Pertanyaan yang benar adalah, 'Melalui kondisi apa, kontak muncul'. Ditanya demikian Sang BUddha akan menjawab bahwa melalui enam landansan indria, kontak muncul dan dikondisikan kontak, perasaan muncul. Dari sutta di sini, kita melihat bahwa kelahiran kembali terjadi karena hukum sebab-musabab yang saling bergantungan antara fenomena yang satu dengan lainnya di mana fenomena2 ini hanyalah SEKEDAR fenomena tanpa melibatkan adanya diri di dalamnya. Berbasis pada hukum Paṭiccasamuppāda ini, dengan benar, Visuddhimagga mengatakan:
"Dukkhameva hi, na koci dukkhito;
kārako na, kiriyāva vijjati".
"Ada penderitaan, namun tidak ada 'diri' yang menderita,
ada perbuatan, namun tidak ditemukan si pembuat".
Jika kita menerima hukum anatta dan tumimbal lahir hanya sebagai proses fenomena2 yang bekerja saling bergantungan, sesungguhnya, pertanyaan bagaimana kamma mengenali si pelaku padahal si pelaku berbeda dari si pewaris bukan merupakan masalah. Ini disebabkan karena hukum kamma adalah sebuah proses fenomena2 yang saling bergantungan, the so called pelaku kamma dan juga pewaris kamma juga hanya merupakan proses fenomena2 yang saling bergantungan. Karena mereka hanya proses fenomena2 yang saling bergantungan sesuai dengan hukum paṭiccasamuppāda, pertanyaan tentang bagaimana kamma mengenali si pelaku juga kurang pas, karena jika dikatakan 'mengenali' di sana seakan-akan kamma merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri dan tidak berubah, seakan-akan satu kesatuan kamma ini mengawasinya dan akan menghantam si pelakunya jika ada kesempatan. Kata mengawasi ini juga memberikan kesan bahwa kamma ini seperti 'diri' padahal kamma juga merupakn proses.
Semoga jelas.
Be happy.