Jimat
Belakangan ini saya suka membuat pernyataan bahwa Buddhisme adalah agama tanpa unsur takhayul. Buddhisme adalah agama yg selalu menekuk keyakinan untuk menyesuaikan dengan realitas, dan tidak pernah sebaliknya. Jangan pernah mengalihkan fakta untuk dipas-paskan dengan keyakinan.
Akan tetapi, ketika kita melihat agama seperti Buddhisme masuk ke dalam budaya masyarakat, orang-orang selalu cenderung menambahkan unsur takhayul ke dalamnya. Misalnya saya melihat sebagian umat memakai liontin Buddha. Tambah lagi, sebagian orang tidak hanya mengenakan satu, tapi dua, tiga, empat, lima, sepuluh, bahkan dua puluh liontin! Mereka pikir liontin itu bisa membawa kemujuran. Jika anda terlalu banyak membawa liontin Buddha di leher anda, itu tidak akan memberi anda kemujuran melainkan sakit leher! Itu juga membuat anda kehilangan uang karena beberapa liontin Buddha ini harganya mahal sekali. Takhayul ini makin ditambah-tambahi lagi di beberapa negara seperti Thailand, tempat saya tumbuh sebagai biksu.
Astaga, kadang saya melihat umat Buddha Thai ini dengan ratusan liontin tergantung di leher mereka. Buat apa? Saya juga membaca sebuat berita besar di koran, ini kisah nyata, beberapa liontin Buddha bisa anda beli dengan harga sangat mahal. Ada seorang jenderal Thai dalam artikel ini yang memiliki sebuah liontin Buddha seharga setengah juta dolar amerika (kira-kira lima milyar rupiah)! Ini bukan main-main, harganya memang sampai segitu.
Jenderal ini membelinya karena katanya medali ini bisa menahan peluru. Ini sangat penting, terutama bagi para prajurit. Jadi, ketika ia berada di baraknya, di markas tentara di luar kota bangkok, ia menyombongkan mengenai liontin mahal yg baru dibelinya yang berkhasiat membuatnya anti peluru.
Ia berkata kepada ajudannya, "Jika kamu tidak percaya, ambil pistolku dan tembak aku!" Si ajudan menganggap ucapan atasannya sebagai perintah. Ia mengambil pistol atasannya dan menembaknya. Apa yang terjadi, saudara-saudara???
Menakjubkan!!!
Jenderal itu mati tertembak. Maka itulah beritanya masuk koran. Jenderal itu mati karena ia memercayai benda "murahan" seperti ini. Karena dia mati, dia juga tidak bisa meminta uangnya kembali.
Mengapa orang-orang masih melakukan hal seperti ini? Mengapa kita masih memiliki takhayul yang merusak wajah sebuah agama? Guru saya, Ajahn Chah, tidak pernah membagi-bagikan liontin. Suatu ketika, ia melihat liontin-liontin mungil dengan foto dirinya. Beliau menyelidiki siapa yang memproduksinya, pergi ke sana, dan menyitanya semua. "Kamu tidak punya izin dari saya, saya tidak setuju dengan ini," tukasnya.
Suatu hari, seorang umat datang, "Ajahn Chah, saya mau minta liontin. Saya ikut wajib militer. Sangat bahaya sekali. Meski kini tidak ada perang, tapi masih banyak bentrokan senjata. Jadi mohon beri saya liontin Buddha untuk melindungi saya dari peluru."
Ajahn Chah menjawab, "Tidak. Tidak bisa." Kata orang itu,"Tolong... tolong... tolong..."
Jawab Ajahn, "Tidak. Tidak. Tidak."
Akhirnya umat ini kesal juga, "Ajah selalu mengajari kami mengenai rasa terima kasih. Saya selama ini selalu memberi Ajahn makanan, mencukupi kebutuhan Ajahn. Setidaknya, rasa terima kasih Ajahn kepada saya adalah memberikan liontin Buddha agar saya terlindung dari peluru!"
Dibujuk-bujuk seperti itu, akhirnya Ajahn Chah melunak juga, "Memang benar tahu terima kasih itu penting. Kamu telah memberikan begitu banyak makanan untuk biksu ini. Kamu telah memberi sumbangan kepada wihara. Baiklah. Saya bisa memberi kamu patung Buddha untuk kamu kalungkan, yang benar-benar akan melindungi kamu dari peluru."
"Hebat! Di mana itu?"
"Itu. Patung Buddha besar di belakang sana. Kalungkan saja di lehermu, saya jamin itu akan melindungimu dari peluru!" Itulah satu-satunya liontin Buddha yang saya jamin bisa melindungi anda dari peluru, cukup sembunyi di baliknya dan anda akan kebal peluru.
Inilah yang kami maksudkan dengan berupaya mengatasi takhayul masyarakat. Ketika mereka tidak memahami kebenaran, mereka akan memiliki takhayul, maka mereka akan mendapat masalah. Sama pula dengan membacakan paritta dari biksu, Anda tidak perlu menjaga kesehatan anda - itu mengundang masalah besar. Atau jika saya mendapatkan pembacaan paritta dari Ajahn Brahm, saya bisa melampaui batas kecepatan karena kamera pengawas tidak bekerja.
Mohon jangan berpikir seperti itu, sebab itu bukanlah esensi Dharma. Suatu hari seseorang menanyai Buddha, "Apakah jika kita melafalkan paritta bagi orang lain, itu akan benar-benar berpengaruh kepada orang itu" Buddha berkata, "Jika engkau hendak mengambil kendi berisi minyak ke telaga lalu memecahkannya di atas telaga itu, maka bagian tanah liat yang berat akan tenggelam ke dasar telaga dan minyaknnya akan mengambang di permukaan." Lalu Buddha menjelaskan, "Seandainya seorang biksu pergi ke tepi telaga itu dan melakukan pembacaan paritta, apakah engaku pikir karena pelafalan itu maka tanah liat akan mengambang dan minyak akan tenggelam? Tentu saja tidak."
Sama pula, makhluk-makhluk akan pergi sesuai dengan karma mereka ketika mereka meninggal. Nyaris seluruh pelafalan di dunia ini tidak akan memengaruhinya. Mungkin jika anda berada di tengah-tengah -- di antara karma baik dan karma buruk, pelafalan bisa memberikan sedikit dorongan, tapi ya cuma itu.
Sumber : Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2!