Tanya Jawab : SEPUTAR BUDDHISME
T : Sebagai seorang umat Buddha yang sejati, kita harus melenyapkan pikiran yang sombong. Untuk itu, melatih kesabaran adalah hal yang utama. Apakah kesabaran itu memiliki batas? Sampai di mana batasnya?
J : Harus menggunakan Tujuh Penerangan Sejati sebagai acuan. Bila bermanfaat bagi makhluk hidup atau dapat menumbuhkan Pencerahan Batin (Bodhi), maka kesabaran itu tidak memiliki batas. Seperti halnya Guru Sakyamuni yang dipotong-potong tubuhnya oleh Raja Kalabu. Tidak menahan kesabaran tetapi dapat memberi manfaat bagi makhluk hidup, ini tergolong kesabaran yang memiliki batas. Seperti kisah Guru Sakyamuni yang membunuh seorang penjahat demi menyelamatkan 500 pedagang (di atas sebuah kapal). Motif pembunuhan yang dilakukan waktu itu adalah demi welas asih, bukan didasarkan pada kebencian. Ini merupakan perbuatan mencegah calon pelaku kejahatan melakukan karma buruk meski untuk itu diri sendiri harus jatuh ke dalam karma buruk. walaupun perbuatan ini tampaknya bukan kesabaran, tetapi sebenarnya tetap tergolong kesabaran.
T : Sejak memasuki gerbang Buddha dan menerapkan Buddha Dharma, saya merasa bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak menarik lagi. Sekarang saya tidak memiliki keinginan lagi untuk mengikuti ujian Negara. Demikian juga pupus sudah keinginan untuk melanjutkan mempelajari ilmu filsafat dan ekonomi. Benarkah perasaan seperti ini? Mohon petunjuk.
J : Boleh saja tidak tamak akan nama dan keuntungan, tetapi jangan menjadi pasif dalam berbuat kebajikan dan berlatih Jalan Suci. Belajar Buddha Dharma adalah demi membahagiakan semua makhluk hidup dan itu juga harus disertai dengan belajar pengetahuan duniawi, dengan demikian kita baru bisa memandu dan menjadi tangga agar makhluk hidup dapat naik ke atas kapal (yang akan mengantar ke Pantai Seberang).
T : Bisakah penganut aliran Lii terlahir di alam Sukhavati? (aliran Lii atau Vinaya adalah salah satu aliran dalam Mahayana Tiongkok, tokoh kontemporari yang terkenal dari aliran ini adalah Alm. Master Hong Yi).
J : Setiap aliran menekankan metode tersendiri, karena itu bisa terdapat perbedaan dalam pengembangan tekad masing-masing. Terlahir di alam Sukhavati adalah buah dari aliran Tanah Suci yang harus disertai dengan benih keyakinan, tekad dan berlatih. Meski menganut aliran Vinaya, asal memiliki tekad ingin terlahir di alam Sukhavati maka tekadnya ini akan dapat terpenuhi juga.
T : Dewasa ini, umat Buddha yang menerima Trisarana harus memiliki nama Buddhis yang di dalamnya juga mengandung nama sekte yang dianut. Pada awalnya para murid Yang Mulia Sakyamuni tidak diberi nama Buddhis ataupun nama sekte. Saat Buddhisme baru masuk ke Tiongkok, para anggota Sangha tetap menggunakan nama sebenarnya. Master Dharma Tao An semasa dinasti Cin, menganjurkan mengganti marga asli para anggota Sangha dengan marga Shi (Sakya). Sejak itulah nama dan marga asli digantikan dengan nama dan marga Buddhis. Tetapi waktu itu masih belum dikenal nama sekte. Semenjak dinasti Song, nama sekte mulai membudaya di kalangan anggota Sangha dan perumah tangga. Jadi, sejak menjadi anggota Sangha, nama dan marga asli dirubah total. Perubahan nama ini sulit untuk tidak terpengaruh oleh kebiasaaan masyarakat awam sehingga terbentuk nama sekte. Apakah ini tergolong budaya buruk akibat kekotoran batin yang harus dibasmi total?
J : Permasalahan ini pernah dibahas oleh Alm. Master Ou Yi, tetapi hingga sekarang masih belum ada perubahan. Bila tidak bertentangan dengan makna Dharma dan tujuan Sila, kita boleh saja tidak terlalu kaku mengikuti tradisi, apalagi kalau kekakuan itu dapat mengakibatkan timbulnya banyak hambatan. Bila demikian, untuk apa harus secara kaku mengikuti tradisi? Persoalan sandang, pangan dan papan para anggota Sangha masih menjadi polemik hingga saat ini. Semasa Buddha Sakyamuni, anggota Sangha tidak mengenakan Hai Ching (jubah panjang hitam yang dikenakan selama kebaktian Mahayana Tiongkok), makan harus berpindapatta, tidak menetap di Vihara serta masih banyak hal-hal kecil lain yang berbeda antara zaman dahulu dan sekarang. Secara prinsip kita harus mengikuti isi Sutra, tetapi dalam penerapannya boleh saja mengikuti perubahan zaman asal tidak merugikan Dharma. Kemudian bila dikatakan pemberian nama ini membentuk sekte, itu tidak benar. Ada yang namanya sama, apa mereka satu sekte? Ada pula yang namanya berbeda, tetapi apakah ini merupakan hambatan bagi mereka untuk menjadi satu sekte? Jadi, itu benar bila dikatakan mengikuti budaya, tetapi tidak ada hubungannya dengan kekotoran batin.
Sumber : Majalah Sinar Dharma Edisi 09 Waisak 2549 BE/2005