Raja Suddhodana Mengadakan Upacara Pembajakan Sawah
…
Ketika Raja Suddhodana meninggalkan kota kerajaan dengan para menteri, penasihat, pengawal, dan para pengikut lainnya, ia membawa serta putranya, Bodhisatta, ke lapangan upacara tersebut dan meletakkannya di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) yang rindang. Tanah di bawah pohon tersebut dilapisi dengan kain beludru di mana Pangeran duduk di atasnya. Dan di atasnya dibuatkan sebuah kanopi dari beludru merah tua dengan hiasan bintang-bintang emas dan perak, seluruh tempat itu dikelilingi oleh tirai yang tebal dan ditempatkan beberapa pengawal untuk menjaga keamanan si anak.
Raja kemudian mengenakan pakaian kebesaran yang biasanya dipakai khusus untuk upacara ini dan kemudian dengan disertai oleh para menteri memasuki arena di mana upacara akan diadakan.
… Raja Suddhodana melakukan pembajakan hanya satu kali untuk memberikan berkah bagi upacara tersebut dengan menyeberangi lahan itu dari satu sisi ke sisi yang lain. Upacara tersebut diadakan dengan sangat megah. Para pengawal dan perawat yang ditugaskan menjaga Bodhisatta Pangeran meninggalkan posnya keluar dari tempat si anak berada dan berkata, “Mari kita melihat pertunjukan besar dari junjungan kita dalam upacara pembajakan.”
SANG BODHISATTA PANGERAN MENCAPAI ÂNÀPÀNA JHÀNA PERTAMA
Sementara itu, Bodhisatta, setelah melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun, segera mengambil posisi duduk bersila dengan tenang. Kemudian Beliau mempraktikkan meditasi ànàpàna, berkonsentrasi pada napas masuk dan keluar, dan segera mencapai rupavacara Jhàna Pertama. (Sehubungan dengan hal ini, harus dipahami bahwa Bodhisatta dapat mencapai rupavacara Jhàna Pertama dalam waktu singkat adalah karena kebiasaannya melatih meditasi ànàpàna selama banyak kehidupan dalam banyak kappa.)
Para perawat yang meninggalkan tugasnya berkeliaran ke sana kemari di meja-meja makan dan bersenang-senang sebentar. Semua pohon-pohon kecuali pohon jambu tempat Bodhisatta duduk, memiliki bayangan alami sesuai pergerakan matahari, pada sore hari, bayangan pohon akan berada di sebelah timur. Namun, bayangan pohon jambu tempat di mana Bodhisatta duduk tidak bergerak sesuai posisi matahari, bahkan di tengah hari, aneh, bayangan pohon itu tetap seperti semula, besar dan bundar, dan tidak berpindah.
Para perawat, tiba-tiba teringat, “Oh, putra junjungan kita tertinggal di belakang sendirian.” Mereka bergegas kembali dan masuk ke tirai, melihat dengan takjub, Bodhisatta Pangeran duduk bersila dalam kemuliaan, dan juga melihat keajaiban (pàtihàriya) dari bayangan pohon yang tetap berada di posisi dan bentuk yang sama, tidak berpindah. Mereka berlari menuju raja dan melaporkan, “Yang Mulia, Pangeran duduk dengan tenang dalam postur yang aneh. Dan meskipun bayangan pohon-pohon lain bergerak sesuai posisi matahari, namun bayangan pohon jambu di mana Pangeran duduk, tetap tidak berubah bahkan di tengah hari ini, tetap besar dan bundar.”
Raja Suddhodana dengan tenang mendatangi Bodhisatta dan mengamati, melihat dengan mata kepala sendiri dua keajaiban tersebut, ia mengucapkan, “O Putra Mulia, ini adalah kedua kalinya bahwa, aku, ayah-Mu, bersujud pada-Mu,” kemudian bersujud di depan anaknya dengan penuh cinta dan penuh hormat.
~RAPB I, pp. 489-491~